33
38 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Euthanasia dan Hak Hidup Menurut Perspektif Sosiologis Masyarakat yang sedang mengalami perubahan karena upaya pembangunan, hukum juga akan mengalami perubahan sesuai dengan keadaan masyarakat. Karena itu hukum tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan tentang kemasyarakatan dan kenegaraan. Dengan landasan pemikiran ini, untuk memahami hukum tidak cukup hanya mempelajari hukum dari aspek yang tertulis saja, melainkan juga perlu mempelajari hukum dalam konteks penerapan dalam kehidupan masyarakat atau sosial dan situasi negara yang menghasilkan hukum tertulis itu. 1 Beberapa tahun belakangan ini kasus euthanasia mulai bermunculan di masyarakat Indonesia yang sebagian besar belum mengetahui sama sekali apa itu euthanasia. Euthanasia merupakan budaya barat yang berasal dari luar Indonesia yang dilihat dan dicoba untuk diterapkan di Indonesia. 2 Namun secara sosiologis, fakta menunjukkan bahwa walaupun euthanasia merupakan hal yang awam bagi masyarakat Indonesia tetapi ada juga yang berkeinginan mengajukan permohonan euthanasia tersebut ke Pengadilan Negeri dengan alasan bahwa euthanasia merupakan jalan satu-satunya yang dapat ditempuh. Kasus euthanasia pertama di Indonesia terjadi pada tahun 2004 di Rumah Sakit Islam, Bogor. Data yang didapatkan dari Detik News menuliskan bahwa 1. Burhan Ashofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, hlm 61 2. Zamroni Abdussamad, Dosen Ilmu Hukum, Wawancara, 21 Oktober 2013

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Euthanasia dan Hak …eprints.ung.ac.id/276/6/2013-2-74201-271409009-bab4-09012014112536.pdf · 4.1 Euthanasia dan Hak Hidup Menurut Perspektif Sosiologis

  • Upload
    dangnhu

  • View
    227

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

38

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Euthanasia dan Hak Hidup Menurut Perspektif Sosiologis

Masyarakat yang sedang mengalami perubahan karena upaya pembangunan,

hukum juga akan mengalami perubahan sesuai dengan keadaan masyarakat.

Karena itu hukum tidak dapat dilepaskan dari pengetahuan tentang

kemasyarakatan dan kenegaraan. Dengan landasan pemikiran ini, untuk

memahami hukum tidak cukup hanya mempelajari hukum dari aspek yang tertulis

saja, melainkan juga perlu mempelajari hukum dalam konteks penerapan dalam

kehidupan masyarakat atau sosial dan situasi negara yang menghasilkan hukum

tertulis itu.1

Beberapa tahun belakangan ini kasus euthanasia mulai bermunculan di

masyarakat Indonesia yang sebagian besar belum mengetahui sama sekali apa itu

euthanasia. Euthanasia merupakan budaya barat yang berasal dari luar Indonesia

yang dilihat dan dicoba untuk diterapkan di Indonesia.2 Namun secara sosiologis,

fakta menunjukkan bahwa walaupun euthanasia merupakan hal yang awam bagi

masyarakat Indonesia tetapi ada juga yang berkeinginan mengajukan

permohonan euthanasia tersebut ke Pengadilan Negeri dengan alasan bahwa

euthanasia merupakan jalan satu-satunya yang dapat ditempuh.

Kasus euthanasia pertama di Indonesia terjadi pada tahun 2004 di Rumah

Sakit Islam, Bogor. Data yang didapatkan dari Detik News menuliskan bahwa

1.

Burhan Ashofa, 2001, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rineka Cipta, hlm 61 2.

Zamroni Abdussamad, Dosen Ilmu Hukum, Wawancara, 21 Oktober 2013

39

permohonan euthanasia tersebut diajukan oleh Panca Satrya Hasan Kusumo

selaku suami dari pasien Ny. Agian Isna Nauli Siregar (33 tahun) yang menderita

kerusakan saraf permanen di otak besar kanan dan kiri, otak kecil kanan dan kiri,

batang saraf dan pusat saraf di otak setelah menjalani perawatan pasca melahirkan

dan mengalami koma.3

Permohonan euthanasia ini diajukan oleh Hasan karena tidak mampu lagi

menyediakan dana untuk pengobatan dan perawatan istrinya juga merasa kasihan

melihat penderitaan yang dialami oleh sang istri dimana kondisi kesehatan sang

istri sudah tidak bisa pulih lagi. Hal inilah yang menjadi alasan Hasan untuk

mengajukan permohonan euthanasia aktif yaitu suntik mati kepada dokter yang

menangani istrinya agar penderitaan sang istri tidak berkepanjangan. Tetapi

permohonan suntik mati tersebut ditolak oleh dokter.

Kemudian pada tanggal 22 Oktober 2004 secara formal Hasan mengajukan

permohonan euthanasia terhadap istrinya ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.4

Pada hari itu juga Hasan meminta penetapan euthanasia kepada Menteri

Kesehatan. Tetapi, pihak Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menolak permohonan

tersebut karena dinilai menyalahi hukum. Atas permohonan tersebut diberikan

solusi oleh Menteri Kesehatan yang menjabat saat itu yakni Siti Fadillah Supari

bahwa untuk selanjutnya biaya perawatan dan pengobatan Ny. Agian akan

ditanggung oleh pemerintah. Hal ini dianggap sebagai jalan terbaik dari pada

3.

Suwarjono, “Wawancara Suami Ny. Again : Pernah Minta Istri Disuntik Mati”, Detik News

Online, http://news.detik.com/read/2004/09/07/092925/204040/10/pernah-minta-istri-disuntik-

mati?nd771104bcj, diakses tanggal 8 September 2013. 4.

Brian A. Prasetyo, “Kompilasi Kasus Terkait Pelayanan Rumah Sakit : Sebuah Bahan Renungan

Untuk Reformasi Pelayanan Rumah Sakit”, http://hadikurniawanapt.blogspot.com/2012/07/ka

sus-dan-kode-etik-serta.html, diakses tanggal 8 September 2013.

40

melakukan suntik mati terhadap Ny. Again. Tanpa diduga pada tanggal 6 Januari

2005 Ny. Agian yang berbulan-bulan koma telah sadar kembali.

Beberapa bulan kemudian setelah kasus Ny. Again muncul kasus euthanasia

baru yang terjadi di Rumah Sakit Pasar Rebo, Jakarta Timur sesuai dengan data

yang didapat dari Bali Post, yaitu permohonan euthanasia yang diajukan oleh

Rudi Hartono terhadap istrinya Siti Zulaeha yang sudah tidak sadarkan diri selama

6 bulan pasca menjalani operasi caesar anak keduanya.5 Permohonan euthanasia

aktif atau suntik mati tersebut diajukan Rudi Hartono ke Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat yang laporannya langsung diterima oleh Ketua Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat I Made Karna. Alasan Rudi mengajukan permohonan suntik mati

tidak jauh berbeda dengan alasan Hasan pada kasus Ny. Again sebelumnya,

bahwa kondisi Siti Zulaeha saat itu dalam status vegetative state (kelumpuhan

total) dan tidak ada cara lain untuk melepaskan sang istri dari penderitaan itu

kecuali suntik mati seperti yang dituturkan Rudi kepada Ketua Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat.6

Kasus euthanasia aktif yang lainnya yaitu terjadi pada tahun 2011 lalu

seperti yang telah disebutkan pada Sub Bab Latar Belakang di BAB I, yaitu

permohonan suntik mati (euthanasia aktif) oleh keluarga miskin Kardjali Karsoud

(69 tahun) berkaitan dengan sakit kanker payudara yang diderita istrinya, Samik

5.

Bali Post, “Mohon Suntik Mati”, Bali Post Online, http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2005/

2/22/n8.htm, diakses tanggal 8 September 2013 6.

Ibid.

41

(52 tahun) di kota Surabaya tepatnya di RSUD Dr. Soetomo, Surabaya.7 Namun

permohonan euthanasia tersebut lagi-lagi tidak dikabulkan oleh Pengadilan.

Permintaan euthanasia memang pernah diajukan di Indonesia tetapi belum

pernah ditemukan kasus euthanasia di Gorontalo secara legal dan secara ilegal

atau dilakukan secara diam-diam publikasinya belum ada baik di Gorontalo

maupun di daerah lain.8 Pasien yang meminta untuk dieuthanasia memang banyak

tetapi untuk kasus pengajuan permohonan euthanasia yang dikabulkan belum ada.

Pengajuan permohonan euthanasia ini biasa diajukan pada kasus-kasus penyakit

tertentu salah satunya adalah pada kasus penderita penyakit kanker yang sudah

tidak bisa menahan penderitaannya, baik kelelahan psikis, tidak tahan terhadap

nyeri yang ditimbulkan oleh penyakit kanker tersebut dan juga kenyataan bahwa

hasil diagnosis dokter menyatakan penyakit kanker yang diderita tidak dapat

disembuhkan lagi karena sudah dalam stadium terminal yang jika diobati hanya

bisa memperbaiki kualitas hidup pasien. Rata-rata yang mengajukan permohonan

euthanasia adalah penderita kanker karena merasakan rasa sakit yang tidak dapat

ditolerir lagi oleh si penderita.9

Berdasarkan pernyataan dari dua dokter di atas maka dapat disimpulkan

bahwa permintaan euthanasia ada dan pernah terjadi di Indonesia sesuai dengan

beberapa kasus yang telah dipaparkan sebelumnya. Tetapi untuk Gorontalo belum

pernah ditemukan kasus euthanasia dan permohonan yang dikabulkan pun belum

7.

Joseph Henricus Gunawan, Euthanasia Vs. Etika, 8 September 2013,

http://budisansblog.blogspot.com/2012/01/euthanasia-vs-etika.html, (11.26). 8.

Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober 2013 9.

Dr. Sri Manovita Pateda, Dokter dan Dosen Kesehatan Masyarakat, Wawancara, 10 Oktober

2013

42

ada. Pengajuan permohonan euthanasia ini disebabkan oleh beberapa alasan yaitu

antara lain karena pasien tidak sanggup lagi menahan sakit yang ditimbulkan oleh

penyakit yang diderita serta kenyataan bahwa walaupun dilakukan perawatan dan

pengobatan penyakit tersebut tidak dapat disembuhkan lagi dan harapan pasien

untuk hidup sangat kecil.

Permohonan euhanasia belum pernah terjadi di Gorontalo sesuai dengan

pengalaman kerja Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf dan Dr. Sri Manovita

Pateda bahwa kedua dokter tersebut belum pernah menangani kasus euthanasia

aktif. Dr. Muhamad menjelaskan bahwa selama menjadi dokter belum pernah ada

pasien yang mengajukan suntik mati atau euthanasia aktif. Jika ada pasien yang

mengajukan maka akan diberikan solusi lain selain suntik mati kepada pasien.

Solusi tersebut adalah memperbaiki kualitas hidup pasien walaupun tindakan

tersebut tidak dapat menyembuhkan sakit yang diderita oleh pasien. Caranya

antara lain dengan memberikan obat penghilang nyeri bagi penderita kanker atau

biasa disebut morfin, karena tugas seorang dokter untuk mengobati pasien dengan

tujuan untuk meringankan dan menyembuhkan penderitaan pasien dengan segala

usaha tanpa harus mematikan pasien dengan cara suntik amti atau euthanasia

aktif, sampai pasien tersebut sembuh atau mati karena sesuai dengan takdir yang

telah ditentukan oleh Allah SWT.10

Hal serupa juga dijelaskan oleh Dr. Novi bahwa selama menjadi dokter

belum pernah menangani pasien yang mengajukan permohonan euthanasia aktif

dan dianjurkan agar tidak mengambil keputusan euthanasia ini. Karena masih

10.

Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober 2013

43

banyak cara yang dapat dilakukan tanpa harus melakukan euthanasia dengan

melihat tekhnologi pengobatan yang semakin berkembang dan setiap penyakit

pasti akan ada obatnya dengan perkembangan tekhnologi. Bisa juga dengan

memberikan morfin atau obat penghilang rasa sakit, tapi untuk morfin sendiri

tidak bisa terlalu sering dikonsumsi oleh pasien karena dapat merusak organ tubuh

lain.11

Dr. Muhamad maupun Dr. Novi merupakan pihak yang tidak setuju dengan

euthanasia terutama suntik mati atau euthanasia aktif berdasarkan pada pemaparan

pendapat masing-masing di atas. Karena kematian seseorang bukanlah ditangan

manusia termasuk dokter, kematian datangnya dari Allah dan tidak bisa didahului

oleh manusia. Selain itu, euthanasia juga belum diperbolehkan dalam dunia medis

tidak seperti kasus abortus yang sekarang sudah dilegalkan dalam suatu peraturan

perundang-undangan.

Untuk euthanasia pasif Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf dan Dr. Sri

Manovita Pateda memiliki pendapat yang berbeda dari euthanasia aktif atau suntik

mati. Pasien yang dalam keadaan koma dan hidupnya dibantu oleh alat

pernapasan sebenarnya pasien tersebut sudah mati tetapi organ-organ di dalam

tubuh pasien masih dapat difungsikan dan alat bantu pernapasan ini digunakan

untuk mempertahankan jasad pasien serta organ-organ lain yang masih berfungsi

11.

Dr. Sri Manovita Pateda, Dokter dan Dosen Kesehatan Masyarakat, Wawancara, 10 Oktober

2013

44

tersebut. Apabila alat bantu ini dilepaskan maka secara otomatis pasien akan

mati.12

Alat bantu pernapasan tersebut digunakan untuk memperpanjang hidup

pasien dengan menjaga fungsi otak dari pasien yang mengalami koma karena

jantung dan paru-paru sudah tidak berfungsi. Alat bantu itulah yang menggantikan

kerja jantung dan paru-paru agar pasien tersebut bisa bertahan hidup. Jika alat

bantu pernapasan tersebut dikeluarkan atas permintaan keluarga pasien maka

dokter selaku tenaga medis yang bertanggung jawab terhadap pengobatan pasien

menyetujui permintaan keluarga pasien karena pada dasarnya pasien sudah

dinyatakan mati secara biologis.13

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa euthanasia pasif

bisa dilakukan karena kondisi pasien sebenarnya sudah dalam keadaan mati secara

biologis berbeda halnya dengan euthanasia aktif yang menurut Dr. Muhamad

diminta secara sadar oleh pasien agar dokter melakukan manipulasi-manipulasi

medis yang dapat menyebabkan pasien tersebut mati sehingga mendahului

kehendak Allah sebagai sang Pencipta dan hal itu tidak diperbolehkan. Euthanasia

pasif dapat dilakukan karena memang pada dasarnya pasien tersebut sudah mati

secara biologis dan kehidupannya hanya dibantu oleh alat bantu tersebut.

Setiap manusia memiliki hak hidup yang telah diberikan sejak manusia

berada di dalam kandungan dan hak hidup tersebut merupakan hak mutlak yang

harus dihormati oleh setiap insan. Pada kasus euthanasia ini secara tidak langsung

12.

Dr. Sri Manovita Pateda, Dokter dan Dosen Kesehatan Masyarakat, Wawancara, 10 Oktober

2013 13.

Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober 2013

45

menjelaskan bahwa hak hidup dari seorang pasien tidak dihargai. Hak hidup yang

dimaksud disini adalah hak untuk mempertahankan hidupnya. Jika euthanasia atau

suntik mati dilakukan pasien akan mati dan haknya untuk mempertahankan hidup

telah dilanggar dan juga melanggar Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999

tentang HAM.

Hak hidup dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM

diatur dalam Pasal 4 yang menjelaskan bahwa setiap manusia atau setiap orang

tanpa kecuali memiliki hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan

pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak

untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk

tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang

tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun. Hak hidup yang

dimaksud dalam Pasal 4 UU HAM ini merupakan hak yang sudah melekat sejak

manusia berada di dalam kandungan setelah ditiupkan roh oleh Allah SWT.

Hak hidup ini juga berkaitan dengan adanya larangan pengguguran

kandungan atau biasa disebut abortus. Abortus diperbolehkan dalam dunia medis

tetapi ada syarat-syarat tertentu antara lain jika kehamilan tersebut mengancam

nyawa bayi itu sendiri atau mengancam nyawa ibu yang mengandung.14

Abortus

ini biasa disebut abortus teraupetik atau medis yaitu abortus yang dilakukan atas

dasar pertimbangan-pertimbangan medis. Euthanasia dianggap berbeda dengan

kasus abortus karena pada prinsipnya sebelum abortus dilakukan akan dilihat

14.

Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober 2013

46

terlebih dahulu usia bayi yang ada di dalam kandungan.15

Jika bayi dalam

kandungan masih berusia dibawah 4 minggu sebelum roh ditiupkan kedalam janin

oleh Allah SWT maka aborsi dapat dilakukan. Selain itu alasan aborsi dilakukan

apabila sang ibu mengalami pendarahan atau kehamilan terganggu artinya proses

kehamilan terjadi di luar rahim yang nantinya bisa membahayakan nyawa sang

ibu yang mengandung. Pada kasus euthanasia seolah-olah dokter telah mengambil

alih hak Allas SWT untuk mengambil nyawa seseorang yang masih memiliki hak

untuk hidup walaupun kesempatan untuk hidup dibawah 50%. Berdasarkan alasan

di atas maka hingga saat ini para dokter belum sepakat untuk melakukan

euthanasia atau suntik mati jika ada pasien yang mengajukan permohonan

euthanasia.

Pelanggaran HAM menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1

ayat (6) adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat

negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan

hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi

seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-Undang ini, dan tidak

mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum

yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku. Jika dikaitkan

dengan euthanasia maka bisa dilihat dengan jelas bahwa euthansia melanggar

ketentuan dalam pasal ini karena perbuatan euthanasia sama saja dengan

mencabut hak asasi manusia dari si pasien yang telah dijamin oleh UU HAM

yaitu hak untuk mempertahankan hidupnya. Hak hidup ini merupakan hak mutlak

15.

Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober 2013

47

yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun seperti yang

terkandung dalam Pasal 4 UU HAM walaupun euthanasia atau suntik mati

tersebut diminta oleh pasien yang bersangkutan atau oleh keluarga pasien.

Dr. Muhamad dan Dr. Novi pun mengatakan hal yang sama bahwa

euthanasia merupakan perbuatan yang melanggar HAM terutama hak hidup.

Euthanasia merupakan pengakhiran hidup seseorang dengan alasan tertentu.16

Pengakhiran hidup yang dilakukan dalam euthanasia ini merupakan pelanggaran

terhadap hak mutlak yang dimiliki oleh pasien yaitu hak untuk mempertahankan

hidupnya karena setiap orang memiliki hak untuk hidup. Selain melanggar hak

hidup, euthanasia juga dilarang dalam agama terutama agama Islam.

Euthanasia dikatakan dilarang dan diharamkan oleh agama Islam

sebagaimana fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang

dipublikasikan pada NU Online bahwa MUI mengharamkan dilakukannya

tindakan euthanasia atau tindakan mematikan seseorang untuk meringankan

penderitaan sekarat.17

Euthanasia diharamkan karena termasuk melakukan

perbuatan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. Euthanasia boleh

dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat khusus, dimana seseorang yang

tergantung oleh alat penunjang kehidupan tetapi ternyata alat tersebut lebih

dibutuhkan oleh orang lain atau pasien lain yang memiliki tingkat peluang

hidupnya lebih besar, dan pasien tersebut keberadaannya sangat dibutuhkan oleh

masyarakat. Kondisi aktif adalah kondisi orang yang tidak akan mati bila hanya

16.

Dr. Sri Manovita Pateda, Dokter dan Dosen Kesehatan Masyarakat, Wawancara, 10 Oktober

2013

17. NU Online, “Fatwa MUI Larang Euthanasia”, Jakarta, 23 Oktober 2004, pukul 01:44

48

dicabut alat medis perawatan, tetapi memang harus dimatikan.18

MUI

menjelaskan bahwa pelarangan euthanasia secara umum yaitu tindakan

membunuh orang dan karena faktor keputus-asaan yang tidak diperbolehkan

dalam Islam.

Berkaitan dengan penjelasan MUI bahwa kematian adalah proses

berpisahnya roh atau nyawa seseorang dengan jasadnya sesuai dengan ketentuan

yang sudah ditetapkan Allah SWT sedangkan euthanasia melanggar ketentuan

Allah SWT karena hidup atau mati seseorang sudah ditentukan sejak roh

ditiupkan kedalam janin pada saat janin tersebut masih berada di dalam

kandungan.19

Kematian adalah suatu ketentuan dan takdir dari Allah SWT

terhadap seluruh makhluknya termasuk manusia. Euthanasia menurut kajian

hukum Islam bertentangan dengan ajaran agama Islam dan hukumnya haram. 20

Sesuai dengan firman Allah SWT pada surat An Nisa‟ ayat 29 “Hai orang-

orang beriman, jangan makan harta yang beredar diantaramu secara batil, kecuali

ada transaksi yang disepakati diantaramu. Jangan membunuh dirimu (dengan

melanggar ketentuan Allah). Allah sangat menyayangi kepadamu semuanya”. 21

Pada ayat tersebut dijelaskan bahwa Allah SWT melarang umatnya untuk

membunuh dirinya sendiri. Euthanasia dapat diartikan sebagai tindakan bunuh diri

dengan bantuan orang lain dengan cara meminta dokter untuk menyuntik mati

dirinya sendiri agar terlepas dari penderitaan penyakit dan tidak membebankan

18.

Ibid. 19.

Hasan A.Ibrahim, Tokoh Agama, Wawancara, 10 Otober 2013 20.

Ando, Tokoh Agama, Wawancara, 11 Otober 2013 21.

Zaini Dahlan (Penerjemah), 2008, Qur’an Karim dan Terjemahan Artinya, Cetakan ke-7,

Yogyakarta, UII Press, hlm. 146-147

49

keluarganya. Menurut sebuah riwayat dari Anas bin Malik, suatu harus Rasulullah

SAW bersabda kepada para sahabatnya, “Janganlah salah satu dari kamu meminta

mati karena kesulitan hidup yang menimpanya. Jika memang sangat perlu dia

berbuat demikian, maka ucapkan doa sebagai berikut, „Ya Allah, panjangkanlah

umurku kalau memang hidup adalah lebih baik bagiku, dan matikanlah aku

manakala memang kematian lebih baik bagiku‟.” (HR Bukhari Muslim).22

Berputus asa dalam hukum Islam tidak dibenarkan begitu halnya terhadap

sebuah penyakit yang sedang diderita oleh seseorang sehingga euthanasia tidak

seharusnya dilakukan demi mengakhiri penderitaan yang disebabkan oleh sakit

yang sedang diderita tetapi mencari solusi lain agar mendapatkan kesembuhan dan

tidak beputus asa.23

Sebagaimana dalam firman Allah SWT surat Yusuf ayat 87

“...jangan berputus asa dari rahmat Allah karena hanya orang kafir yang berputus

asa dari rahmat-Nya,”24

jadi kita harus tetap berusaha mencari solusi terbaik dari

pada melakukan euthanasia atau suntik mati. Euthanasia termasuk sebuah

tindakan pembunuhan walaupun atas permintaan pasien itu sendiri dengan alasan

ingin menghilangkan penderitaan pasien dan kesempatan hidup pasien yang kecil.

Di Gorontalo sangat mempertimbangkan mengenai euthanasia ini karena

mayoritas masyarakat Gorontalo beragama Islam dan tidak setuju adanya

euthanasia ini karena euthanasia merupakan suatu hal yang melanggar hak-hak

hidup seseorang yang mengharapkan bantuan dari medis, sehingga dari segi

hukum adat tentu haruslah di upayakan kajian atau pembahasan dengan

22.

Rafinza, “Larangan Berputus Asa Dalam Islam”, 9 Desember 2013, http://rumahtahfidzcintara

sul.blogspot.com/2012/12/larangan-berputus-asa-dalam-islam.html?m=1, (21.34). 23.

Ando, Tokoh Agama, Wawancara, 11 Otober 2013 24.

Zaini Dahlan (Penerjemah), Op. Cit, hlm. 433

50

mengedepankan sendi-sendi adat seperti halnya yang ada di Gorontalo lebih

mengedepankan pandangan agama itu sendiri.25

Selain dokter dan tokoh agama beberapa masyarakat juga memiliki

pemahaman sendiri mengenai euthanasia bahwa euthanasia adalah sesuatu yang

dilarang oleh agama karena lebih mementingkan paham duniawi saja dan

melangkahi kodrat manusia yang menjadi ciptaan Allah SWT dan juga bisa

melanggar hak asasi manusia.26

Seharusnya sebagai makhluk ciptaan Allah SWT

manusia tidak berputus asa dalam mencari segala alternatif agar sakit yang

dideritanya bisa disembuhkan karena segala penyakit pasti ada obatnya,

pernyataan ini juga sesuai dengan hadits

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

euthanasia harus dipertimbangkan serta dikaji dan dibahas lebih lanjut untuk

diterima dilingkungan sosial karena banyak menimbulkan pertentangan di dalam

masyarakat maupun pada dokter sebagai tenaga medis karena lebih banyak

mengedepankan paham duniawi tanpa memikirkan adanya solusi lain, sama

halnya dengan firman Allah SWT surat Ar Ra‟d ayat 11 yang artinya “Sungguh

Allah tidak akan mengubah suatu kaum sampai mereka sendiri yang mengubah

dirinya”,27

dengan kata lain segala penyakit separah apapun pasti ada jalan untuk

mendapatkan kesembuhan asalkan manusia mau berusaha untuk mendapatkan

kesembuhan tersebut kecuali jika memang Allah SWT sudah menentukan ajal dari

25.

Musyakar Takaredas, Tokoh Agama, Wawancara, 12 Oktober 2013 26.

Moh. Saferi Dunggio, Masyarakat, Wawancara, 23 September 2013 27.

Zaini Dahlan (Penerjemah), Op. it, hlm. 441

51

seorang manusia maka takdir tersebut tidak dapat karena sudah ditentukan oleh

Allah SWT Sang Maha Pencipta.

Menurut adat pun euthanasia atau suntik mati tidak dibenarkan dan dilarang,

hidup dan mati seseorang merupakan ketentuan Allah SWT.28

Apabila seorang

pasien meminta untuk dieuthanasia dengan cara disuntik mati maka hal tersebut

sama saja dengan melakukan bunuh diri atau membunuh orang walaupun diminta

sendiri oleh pasien yang bersangkutan. Bunuh diri dilarang dalam agama

begitupun dalam adat karena agama merupakan patokan dan panduan dari sebuah

adat sehingga adat yang tumbuh di dalam masyarakat sejalan dan sesuai dengan

ajaran agama. Bunuh diri adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh orang kafir

sebab perbuatan bunuh diri tidak dibenarkan didalam agama Islam dan merupakan

perbuatan dosa. Sama halnya dengan suntik mati.

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa euthanasia aktif atau suntik

mati dalam perspektif sosiologis sesuai dengan pendapat dari berbagai kalangan

tidak disetujui dan dilarang untuk dilakukan di Indonesia. Hal ini dikarenakan

tidak sejalan dengan ajaran agama bahwa hidup dan mati seseorang telah

ditentukan oleh Sang Pencipta kehidupan sejak bayi berada di dalam kandungan,

juga melanggar hak asasi manusia terutama hak hidup baik hak untuk

mempertahankan hidup atau hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak, yaitu

hak hidup yang dihormati dan dijunjung tinggi oleh sesama makhluk ciptaan

Allah SWT.

28.

AR. Maksum dan Jumadi Botutihe, Tokoh Adat, Wawancara, 20 Oktober 2013

52

Dalam praktiknya, dokter tidaklah mudah melakukan euthanasia meskipun

dari sudut kemanusiaan dapat dibenarkan karena merupakan hak bagi pasien yang

menderita sakit akut. Akan tetapi dokter tidak dibenarkan melakukan upaya aktif

untuk memenuhi keinginan pasien tersebut. Sebab, perbuatan menghilangkan

nyawa orang lain disamping merupakan pelanggaran berat terhadap Kode Etik

Kedokteran, juga merupakan tindak pidana. Alasan inilah yang hingga kini

dijadikan dasar bagi larangan praktik euthanasia aktif yaitu suntik mati di

berbagai belahan dunia (termasuk Indonesia), kecuali di negara-negara yang

sudah melegalkan euthanasia seperti di Belanda dan Belgia.

4.2 Euthanasia dan Hak Hidup Menurut Perspektif Yuridis

Secara yuridis formal, hukum di Indonesia tidak mengizinkan euthanasia.

Pernyataan di atas sesuai dengan peraturan dalam KUHP Pasal 344 bahwa barang

siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri dengan

kesungguhan hati diancam hukuman penjara selama 12 tahun. Hal ini juga

disampaikan oleh MenKes A Sujudi pada Detik News sebagai tanggapan terhadap

permohonan pengajuan euthanasia atau suntik mati oleh Panca Satrya Hasan

Kusuma terhadap istrinya Ny. Again29

bahwa euthanasia di Indonesia tidak ada

hukumnya dan tidak boleh dilakukan, apabila tetap dilakukan maka akan

dikenakan sanksi karena telah melanggar hukum.

Jika dianalisis lagi mengenai pernyataan MenKes pada saat itu bahwa

euthanasia atau suntik mati di Indonesia tidak ada hukumnya maka sah-sah saja

29.

Suwarjono, “Wawancara Suami Ny. Again : Pernah Minta Istri Disuntik Mati”, Detik News

Online, http://news.detik.com/read/2004/09/07/092925/204040/10/pernah-minta-istri-disuntik-

mati?nd771104bcj, diakses tanggal 8 September 2013.

53

apabila euthanasia dilakukan. Dikatakan bahwa euthanasia bisa dilakukan karena

didasarkan pada Pasal 1 KUHP bahwa suatu perbuatan tidak dapat dipidana

kecuali berdasarkan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada atau

KUHP. Pernyataan tersebut memberikan peluang kepada orang-orang yang ingin

melakukan euthanasia walaupun pada kasus-kasus sebelumnya permohonan

euthanasia semuanya ditolak oleh Pengadilan karena dianggap melanggar

ketentuan dalam KUHP terutama pada Pasal 344 serta pasal-pasal pembunuhan

lainnya karena euthanasia atau suntik mati sama dengan merampas nyawa orang

lain walaupun hal itu atas kehendak korbang sendiri.

Hal ini yang membuat para dokter dihadapkan pada sebuah dilema untuk

melakukan euthanasia demi memenuhi permintaan pasien atau keluarga pasien

ataukah menolak. Tugas seorang dokter adalah untuk menolong jiwa seorang

pasien tetapi disisi lain apabila pengobatan diteruskan maka akan memperpanjang

penderitaan pasien dan menjadi sia-sia karena diagnosis menunjukkan bahwa

harapan hidup pasien sangat kecil. Penghentian pertolongan tersebut merupakan

salah satu bentuk euthanasia.

Euthanasia juga bisa diindikasikan sebagai sebuah tindakan pembunuhan

berencana yang telah direncanakan dan diinginkan oleh pihak-pihak tertentu.

Tidak selamanya euthanasia aktif diminta oleh pasien yang bersangkutan bisa saja

euthanasia aktif atau suntik mati tersebut diajukan permohonannya oleh keluarga

pasien yang tidak menutup kemungkinan menginginkan pasien mati walaupun

didasari oleh alasan-alasan yang bisa diterima oleh akal sehat seperti ketidak

mampuan untuk membiayai perawatan dan pengobatan pasien atau kasihan

54

melihat penderitaan yang dialami oleh pasien. Pembunuhan berencana

sebagaimana telah diatur dalam KUHP Pasal 340 bahwa barangsiapa dengan

sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam

karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara

seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Bisa saja

dokter terjerat melakukan tindak pidana pembunuhan berencana karena

mengabulkan permohonan euthanasia padahal dokter tidak memiliki maksud

tersembunyi dalam tindakan tersebut. Oleh karena itu, sekiranya harus dipikirkan

secara hati-hati mengenai kasus euthanasia aktif atau suntik mati untuk

menghindari jatuhnya korban akibat keputusan yang tidak diputuskan secara hati-

hati dan seksama.

Dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 2 dijelaskan bahwa “seorang

dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar

profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seorang dokter dalam melakukan kegiatan

kedokterannya sebagai seorang profesi dokter harus sesuai dengan ilmu

kedokteran mutakhir, hukum dan agama. Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal

7d juga menjelaskan bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan

kewajiban melindungi hidup insani”. Artinya dalam setiap tindakan dokter harus

bertujuan untuk memelihara kesehatan dan kebahagiaaan manusia. Jika dikaitkan

dengan euthanasia atau suntik mati maka jelas euthanasia telah melanggar

ketentuan dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 7d di atas. Karena dalam

kasus euthanasia aktif atau suntik mati berarti dokter memenuhi keinginan pasien

untuk mematikan dirinya sendiri dengan cara menyuntikkan jenis obat yang dapat

55

menyebabkan seseorang mati. Jika hal tersebut dilakukan oleh dokter maka dokter

tidak melakukan kewajibannya sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 7d yaitu

melindungi kehidupan insani tetapi melanggar ketentuan tersebut.

Kiranya persoalan euthanasia meskipun pelaksanaannya tidak harus dan

tidak selalu dengan suntikan tetap merupakan sebuah persoalan dilematis. Selain

hukum, praktik eutanasia tentu saja berbenturan dengan nilai-nilai etika dan moral

yang menjunjung tinggi harkat dan martabat kehidupan manusia seperti halnya

Undang-Undang HAM yang mengatur mengenai hak hidup seseorang yang harus

dihormati dan dijunjung tinggi. Adanya indikasi-indikasi baik medis maupun

ekonomis tidak secara otomatis melegitimasi praktik eutanasia mengingat

eutanasia berhadapan dengan nilai hak dan kewajiban menghormati dan membela

kehidupan yang terkandung dalam Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Euthanasia masih belum mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis

dan mungkinkah dalam perkembangan hukum positif Indonesia, euthanasia akan

mendapatkan tempat yang diakui secara yuridis. Kasus euthanasia pertama kali

dan paling banyak diketahui oleh masyarakat di Indonesia yaitu pengajuan

permohonan euthanasia oleh Panca Satrya Hasan Kusumo suami dari Ny Agian

Isna Nauli Siregar ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan tidak dikabulkan oleh

pengadilan. Tetapi akhirnya korban yang mengalami koma dan gangguan

permanen pada otaknya sempat dimintakan untuk dilakukan euthanasia tersebut

sembuh dari komanya dan dinyatakan sehat oleh dokter.30

Dari kasus di atas kita

bisa melihat bahwa untuk melakukan euthanasia tidak gampang tetapi harus

30.

Ibid.

56

melalui berbagai prosedur yang menjadi persyaratan wajib dalam pengajuan

permohonan euthanasia seperti prosedur di negara lain yang sangat ketat dan rapi.

Sehingga orang akan berpikir lagi untuk melakukan euthanasia.

Di lihat dari aspek yuridis, euthanasia bersinggungan langsung dengan

hukum pidana pada saat proses kematian. Berdasarkan hal itu, jika dilihat dari

segi hukum jelas bahwa pengaturan euthanasia yang lengkap sampai saat ini

belum ada, padahal masalah euthanasia ini menyangkut nyawa manusia di mana

kasus-kasusnya mulai banyak bermunculan kepermukaan. Untuk itu

penanggulangan masalah euthanasia, perlu diatur sedemikian rupa sehingga tidak

bertentangan dengan hukum dan moral.

Euthanasia berhubungan erat dengan tindak pidana menyangkut nyawa.

Salah satu pasal yang dapat dipakai sebagai landasan hukum guna pembahasan

selanjutnya adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) yaitu Pasal 344 KUHP salah satu pasal yang membicarakan

masalah kejahatan yang menyangkut tentang jiwa manusia. Pasal 344

menjelaskan bahwa barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan

orang itu sendiri yang jelas dinyataksn atas kesungguhan hati diancam dengan

pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pencantuman Pasal 344 KUHP menunjukkan bahwa pembentuk undang-

undang telah menduga masalah euthanasia pernah dan akan terjadi di Indonesia

sekalipun demikian pasal ini belum pernah menjaring perbuatan euthanasia

sebagai tindak pidana. Hal ini disebabkan perumusan pasal yang menimbulkan

57

kesulitan dalam pembuktian, yakni adanya kata-kata " atas permintaan sendiri "

yang disertai pula kalimat " yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati "

Oleh karena dalam kenyataannya Pasal 344 KUHP sulit untuk diterapkan

sehingga sebaiknya rumusan pada Pasal 344 KUHP dirumuskan kembali

berdasarkan perkembangan zaman serta kenyataan-kenyataan yang terjadi

sekarang. Dengan rumusan baru ini diharapkan dapat memungkinkan atau

memudahkan penanganan kasus-kasus euthanasia dengan hukum pidana.

Pasal 7 Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter kepada

pasien bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban

melindungi hidup makhluk insani. Pasal 7d menjelaskan bahwa menurut kode etik

kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit

meskipun menurut pengetahuan dan berdasarkan hasil diagnosa pasien tidak akan

sembuh lagi. Euthanasia memang tidak diperbolehkan dalam dunia medis karena

sangat bertentangan dengan hak manusia apalagi hak untuk hidup sehingga

dengan adanya perkembangan teknologi diharapkan masih banyak cara yang bisa

dilakukan tanpa harus mengambil jalan pintas dengan melakukan euthanasia.31

Manusia berhak dan harus berusaha untuk mendapatkan kesembuhan karena

setiap orang memiliki hak untuk hidup dan tidak ada hak untuk mati.32

Menyimak

apa yang dijelaskan oleh beberapa orang yang ahli dibidang kesehatan maka dapat

disimpulkan bahwa dari pandangan sosial keberadaan euthanasia tidak dianjurkan

untuk dilakukan karena masih terdapat solusi akan tetapi dari keberlangsungan

31.

Dr. Sri Manovita Pateda, Dokter dan Dosen Kesehatan Masyarakat, Wawancara, 10 Oktober

2013 32.

Yunita Miu, S.KM, Masyarakat, Wawancara, 10 Oktober 2013

58

keinginan dan harapan antara seorang dokter dan seorang pasien terjalin informasi

dan penjelasan serta juga dilakukan hal yang penting bahwa adanya

penandatanganan kesepakatan untuk harus dilakukannya euthanasia.

Olehnya kondisi dunia kedokteran apabila pasien sudah dipastikan

mengalami kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali,

maka pasien tersebut secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih

berdenyut. Penghentian tindakan media harus diputuskan oleh dokter yang

berpengalaman yang mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya

hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman,

selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas

hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk

melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien

dan bukan mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di

Indonesia yang mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru

menegaskan bahwa euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang.

Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi

kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia

justru bertentangan radikal dengan hakikat itu.

Euthanasia termasuk dalam perbuatan pembunuhan yang telah diatur dalam

KUHP Pasal 344 walaupun sulit dalam pembuktiannya dan Undang-Undang

Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM pun tidak memberikan ruang untuk

melakukan euthanasia karena euthanasia bertentangan dengan ketentuan dalam

59

UU HAM terutama hak hidup seseorang.33

Alasan apapun tidak dapat diterima

walaupun euthanasia dilakukan dan didasarkan pada alasan sosial atau alasan

ekonomi karena pemerintah Indonesia telah memfasilitasi masyarakat kurang

mampu dengan jaminan sosial yang bisa meringankan beban masyarakat untuk

mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak tanpa terbebani dengan biaya

perawatan dan pengobatan yang mahal.

Euthanasia di Indonesia tidak diperbolehkan berbeda dengan di Belanda.34

Hal tersebut jelas diatur dalam Pasal 344 KUHP walaupun tidak disebutkan secara

tertulis dalam pasal tersebut mengenai dilarangnya euthanasia tetapi jika dilihat

secara prosedural makna dari Pasal 344 mengarah pada tindakan euthansia. Selain

melanggar ketentuan dalam Pasal 344 KUHP, euthanasia juga melanggar

ketentuan dalam Undang-Undang HAM terutama hak hidup yang merupakan hak

dasar yang telah didapatkan oleh setiap manusia sejak berada dalam kandungan.

Permohonan euthanasia bisa saja diajukan tetapi untuk di Negara Indonesia yang

menjunjung tinggi nilai kemanusiaan pasti akan permohonan tersebut akan ditolak

karena memang secara sosial dan yuridis euthanasia tidak diperbolehkan.

Euthanasia tidak dapat dilegalkan di Indonesia karena sistem hukum di

Indonesia berbeda dengan sistem hukum di Amerika yang telah melegalkan

euthanasia.35

Artinya, jika di Amerika seorang hakim memiliki hak untuk

membuat hukum baru atau peraturan baru pada saat menyidangkan suatu perkara

di pengadilan sedangkan di Indonesia tidak seperti itu. Di Indonesia, hakim dalam

33.

Rajab, Jaksa, Wawancara, 25 Oktober 2013 34.

Krido S. Sakali, Sarjana Hukum, Wawancara, 9 Oktober 2013 35.

Amirudin Kaso, Sarjana Hukum, Wawancara, 9 Oktober 2013

60

memutuskan suatu perkara dalam acara persidangan berdasarkan pada pedoman

hukum yaitu KUHP. Jadi, setiap keputusan yang dibuat tidak boleh keluar dari

peraturan tersebut. Termasuk masalah euthanasia yang belum diatur secara

eksplisit dalam undang-undang yang lebih khusus. Sehingga jika permohonan

euthanasia diajukan hakim akan menolak permohonan tersebut.

Euthanasia adalah upaya bunuh diri dengan menggunakan perantara yang

tidak dibenarkan dalam hukum di Indonesia.36

Sesuai dengan Undang-Undang

Dasar 1945 bahwa hak hidup adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apapun. Permohonan euthanasia boleh diajukan ke Pengadilan Negeri

berdasarkan pada azas peradilan bahwa siapa saja bisa mengajukan permohonan

perkara apa saja ke Pengadilan. Namun tidak serta merta pengajuan permohonan

tersebut akan dikabulkan oleh Pengadilan tetapi materi yang diajukan akan

dipertimbangkan terlebih dahulu oleh hakim apakah pengajuan permohonan

tersebut akan diterima atau ditolak oleh hakim. Euthanasia adalah tindakan atau

perbuatan untuk menghilangkan nyawa pasien yang sudah harapan untuk sembuh

sangat kecil yang melibatkan tim medis tetapi hal ini tidak dibenarkan dalam

hukum Indonesia.37

Untuk euthanasia tidak ada alasan apapun yang bisa dijadikan dasar agar

permohonannya diterima karena euthanasia telah melanggar hak hidup seseorang

yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun dan pihak yang akan dikenakan

sanksi nantinya adalah dokter yang melakukan euthanasia tersebut. Berdasarkan

36.

Burhanudin Mokodompit, Hakim, Wawancara, 2 Desember 2013 37.

Amin Umar, Sarjana Hukum, Wawancara, 4 Desember 2013

61

penjelasan tersebut maka euthanasia tidak bisa dilegalkan berbeda dengan aborsi

yang dapat dilakukan jika kehamilan tersebut mengancam nyawa ibu atau anak

yang berada di dalam kandungan sebagai syarat utamanya dan memperhatikan

usia kehamilan yaitu apabila usia kandungan dibawah 4 minggu.38

Beberapa penjelasan di atas menjelaskan bahwa euthanasia secara yuridis

telah diatur dalam Pasal 344 KUHP yang intinya adalah euthanasia dilarang di

Indonesia walaupun peraturan dalam pasal tersebut belum secara eksplisit

menyebukan tentang euthanasia tetapi maknanya mengarah pada masalah

euthanasia. Untuk menerapkan euthanasia di Indonesia pun sulit karena akan

berbenturan dengan peraturan lain seperti Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang

HAM karena negara Indonesia sangat menjunjung tinggi HAM terutama hak

hidup yang bertolak belakang dengan euthanasia aktif yang bertujuan untuk

membuat seseorang mati dengan cara menyuntikkan obat berdosis tinggi. Berbeda

dengan aborsi yang masih diperbolehkan sesuai pertimbangan medis.

Walaupun euthanasia dilarang di Indonesia ada beberapa kalangan yang

setuju apabila euthanasia dilegalkan di Indonesia. Euthanasia dapat dilakukan

apabila benar-benar untuk kepentingan pasien dengan melihat kondisi pasien

terlebih dahulu.39

Jika pasien kesempatannya untuk hidup kecil dan dilain pihak

keluarga pasien sudah tidak mampu lagi untuk membiayai segala biaya perawatan

dan pengobatan pasien selama di Rumah Sakit maka euthanasia bisa dilakukan.

Tetapi harus dengan pertimbangan dan persetujuan berbagai pihak agar tidak

38.

Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober 2013 39.

Krido S. Sakali, Sarjana Hukum, Wawancara, 9 Oktober 2013

62

bertentangan dengan peraturan lain.40

Euthanasia dapat dilakukan demi

kepentingan pasien itu sendiri juga harus berdasarkan pertimbangan pasien,

keluarga pasien dan juga tenaga medis yang merawat pasien tersebut disesuaikan

dengan prosedur yang legal agar euthanasia tidak disalah gunakan oleh pihak-

pihak yang tidak bertanggung jawab.41

Walaupun hak hidup dan hak atas tubuhnya merupakan hak individu itu

sendiri tetapi tidak seharusnya disalahgunakan oleh orang yang bersangkutan

untuk mengajukan permohonan euthanasia dengan alasan untuk mengakhiri

penderitaan yang sedang dialami.42

Karena dalam Undang-Undang HAM tidak

mengatur tentang hak untuk mati seperti dengan melakukan euthanasia.

4.3 Euthanasia dan Hak Hidup Menurut Perspektif Filosofis

Dasar filosofis negara Indonesia adalah Pancasila yang terdiri dari 5 sila

yang dijadikan pedoman bagi ketetapan peraturan seperti halnya KUHP.

Permasalahan euthanasia berhubungan erat dengan kebebasan manusia untuk

menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia akan mati (hak untuk mati) demi

mengakhiri penderitaan disebabkan oleh sakit yang dideritanya. Jika euthanasia

diizinkan maka cara ini bisa disalahgunakan demi kepentingan pribadi beberapa

pihak juga bisa dipakai terhadap orang cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain

yang dianggap tidak berguna lagi sedangkan di dalam Pancasila kita harus

menghormati kehidupan manusia begitu pula yang diatur dalam Undang-Undang

40.

Amirudin Kaso, Sarjana Hukum, Wawancara, 9 Oktober 2013 41.

Sudiar Pagau, Sarjana Hukum, Wawancara, 26 September 2013 42.

Rajab, Jaksa, Wawancara, 25 Oktober 2013

63

Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Sebagai sesama manusia kita seharusnya

tidak mengorbankan hidup manusia lain untuk suatu tujuan tertentu. Kehidupan

manusia adalah absolut dan merupakan hak mutlak yang dimiliki oleh setiap

orang, oleh karena itu harus dihormati.

Euthanasia bukan merupakan nilai esensi dari negara Indonesia karena nilai

bangsa Indonesia tidak mengajarkan bahwa meninggal itu bisa dengan bantuan

dari orang lain tidak terkecuali oleh bantuan dokter. Seseorang seharusnya

meninggal secara alamiah atau sesuai dengan kehendak Allah SWT. Tidak seperti

di Negara Belanda atau Amerika yang telah melegalkan euthanasia. Maka bisa

dikatakan bahwa euthanasia tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang

dijunjung tinggi dan dijadikan landasan filosofis negara Indonesia.43

Euthanasia bertentangan dengan nilai-nilai dalam Pancasila sebagai

landasan filosofis negara dan Undang-Undang Dasar tahun 1945.44

Bertentangan

dengan Pancasila artinya tidak sesuai dengan sila-sila yang ada terutama sila ke-1

yaitu ketuhanan Yang Maha Esa dan sila ke-2 yaitu kemanusiaan yang adil dan

beradab. Sila ke-1 apabila dikaitkan dengan euthanasia maka artinya adalah Tuhan

sebagai dzat yang menentukan hidup dan mati seseorang. Jika seseorang

mengajukan permohonan euthanasia untuk mengakhiri penderitannya maka telah

mendahului ketetapan yang sudah ditentukan oleh Allah SWT. Sila ke-2 artinya

setiap tindakan yang dilakukan oleh seseorang harus dengan mempertimbangkan

perasaan orang lain dan melihat hak-hak yang melekat pada diri seseorang sesuai

dengan hak-hak yang terdapat pada Undang-Undang HAM. Euthanasia jelas tidak

43.

Zamroni Abdussamad, Dosen Ilmu Hukum, Wawancara, 21 Oktober 2013 44.

Rajab, Jaksa, Wawancara, 25 Oktober 2013

64

sesuai dengan makna dari sila ke-2 ini karena euthanasia bertujuan untuk

mengakhiri hidup seseorang yang menurut pandapat sebagian besar masyarakat

sangat tidak beradab walaupun pengakhiran hidup tersebut berdasarkan pada

permintaan pasien itu sendiri atau oleh keluarga pasien. Euthanasia juga tidak

sesuai dengan norma-norma yang ada di dalam masyarakat Indonesia baik itu

norma agama, norma adat maupun norma hukum.

Euthanasia akan sulit jika diterapkan di Indonesia karena bangsa Indonesia

merupakan bangsa yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar

filosofis negara Indonesia sesuai dengan sila-sila Pancasila.45

Sehingga Zamroni

Abdussamad tidak setuju dengan euthanasia karena tidak sesuai dengan filosofis

negara indonesia yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan juga melanggar

nilai-nilai asasi HAM pada Undang-Undang HAM yaitu hak untuk hidup. Selain

bertentangan dengan Undang-Undang Hidup 1945 euthanasia juga tidak sesuai

dengan nilai keadilan sehingga euthanasia tidak dibenarkan baik dalam Undang-

Undang Dasar 1945, peraturan perundang-undangan lain juga dalam Kode Etik

Kedokteran.46

Dapat disimpulkan bahwa euthanasia sangat bertentangan dengan filosofis

negara Indonesia yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan juga tidak

sesuai dengan norma-norma dalam masyarakat yaitu norma agama, norma adat

dan norma hukum. Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung

euthanasia. Argumentasi yang banyak dipakai adalah hak pasien untuk mati yang

sudah dianggap sebagai hak asasi yang dimiliki setiap manusia sama halnya

45.

Zamroni Abdussamad, Dosen Ilmu Hukum, Wawancara, 21 Oktober 2013 46.

Amin Umar, Sarjana Hukum, Wawancara, 4 Desember 2013

65

dengan hak hidup seseorang. Menurut mereka, jika pasien sudah sampai pada

akhir hidupnya maka berhak meminta untuk mengajukan permohonan euthanasia

agar penderitaannya segera diakhiri. Euthanasia atau bunuh diri dengan bantuan

orang lain hanya sekedar mempercepat kematiannya tanpa penderitaan yang tidak

perlu.

Eutahanasia bisa diterapkan di Indonesia dengan syarat harus dilakukan

kajian atau pertimbangan-pertimbangan hukum dengan melahirkan suatu regulasi

bahwa hal tersebut dilegalkan dengan cara lebih banyak mensosialisasikan

terhadap euthanasia dimasyarakat, membuat kajian-kajian dengan para pihak yang

terkait terutama masyarakat agar nantinya regulasi yang lahir tidak bertentangan

dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi serta realita

dimasyarakat juga tidak bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat.47

Kesimpulannya, euthanasia sulit untuk diterapkan di Indonesia

selain menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai dengan Pancasila, sistem

hukum di Indonesia juga berbeda dengan sistem hukum di negara-negara lain

yang telah melegalkan euthanasia salah satunya seperti negara Amerika. Sistem

hukum di Indonesia mengharuskan para hakim selaku aparat hukum yang

berperan penting dalam memutuskan suatu perkara di persidangan dimana

keputusan tersebut didasari pada peraturan-peraturan yang ada.

47.

Amirudin Kaso, Sarjana Hukum, Wawancara, 9 Oktober 2013

66

4.4 Euthanasia dan Hak Hidup Menurut Perspektif HAM

Euthanasia dalam perspektif HAM merupakan pelanggaran karena

menyangkut hak hidup dari pasien yang harus dilindungi. Dilihat dari segi

perundang-undangan belum ada pengaturan yang baru dan lengkap tentang

euthanasia. Adapun pasal yang dapat dipakai sebagai landasan hukum pada

euthanasia adalah apa yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Indonesia khususnya pasal-pasal yang membicarakan masalah kejahatan yang

menyangkut jiwa manusia. Pasal yang paling mendekati dengan masalah adalah

Pasal 344 KUHP juga pasal lain yang menyangkut jiwa manusia seperti pada

Pasal 338, Pasal 339, Pasal 340 dan Pasal 359,

Hak asasi manusia harus dilindungi oleh negara baik itu hak hidup, hak

kebebasan dan hak-hak lain yang diakui, dihormati dan dijunjung tinggi oleh

negara hukum. Tindakan euthanasia adalah perbuatan melanggar hak asasi

manusia terutama hak hidup seseorang yang merupakan hak dasar dan mutlak

yang dimiliki oleh setiap orang. Selain melanggar hak hidup euthanasia juga

melanggar ketentuan dalam Undang-Undang Dasar tahun 1945 yaitu pada Pasal

28A bahwa setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup

dan kehidupannya, dan pada Pasal 28I ayat (1) bahwa hak untuk hidup, hak untuk

tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk

tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan umum, dan hak

untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi

manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Euthanasia juga

67

melanggar ketentuan dalam KUHP Pasal 344 dan melangkahi wewenang Yang

Maha Kuasa.

Euthanasia selain melanggar HAM juga melanggar Kode Etik Kedokteran

dan Undang-Undang Kesehatan walaupun dari segi medis hidup pasien tersebut

sudah tidak bisa tertolong lagi tetapi sebaiknya dilakukan upaya lain seperti

memberikan morfin atau obat penghilang rasa nyeri atau memberikan semangat

kepada pasien agar tidak putus asa dengan mengambil keputusan untuk

euthanasia.48

Berdasarkan Pasal 7c dalam Kode Etik Kedokteran yaitu dokter

harus menghormati hak-hak pasien dimana hak pasien itu antara lain hak hidup

dan hak atas tubuhnya sendiri. Hak hidup dan hak atas tubuhnya sendiri pada

Pasal 7c bukan termasuk hak untuk mati dengan cara dieuthanasia tetapi hak yang

dimaksud dalam pasal ini adalah persepektif pelayanan dokter terhadap pasien

dengan menghormati hak-hak pasien tersebut seperti hak hidup dan hak atas

tubuhnya sendiri. Pasal 7c ini untuk mencegah dokter melakukan tindakan

semena-mena terhadap pasien atau bahkan memberikan pelayanan yang tidak

sesuai dengan prosedur. Bukan berarti apabila seorang pasien meminta untuk

dieuthanasia maka dokter akan mengabulkan permohonan tersebut.

Euthanasia bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor

39 Tahun 1999 tentang HAM.49

Jika permohonanya dikabulkan maka akan

dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang HAM karena

negara Indonesia merupakan negara hukum yang menjunjung tinggi hak asasi

manusia termasuk hak hidup seseorang. Undang-Undang HAM tidak memberikan

48.

Dr. Muhamad Nur Syukriani Yusuf, Dokter, Wawancara, 17 Oktober 2013 49.

Krido S. Sakali, Sarjana Hukum, Wawancara, 9 Oktober 2013

68

ruang untuk melakukan euthanasia karena bertentangan dengan ketentuan dalam

Undang-Undang HAM itu sendiri.50

Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa euthanasia merupakan

tindakan yang keliru untuk dilakukan oleh seseorang walaupun dengan alasan

untuk mengakhiri penderitaan yang dialami karena masih bisa diatasi dengan

upaya lain tanpa harus melakukan euthanasia atau suntik mati. Perlu diingat

bahwa di dalam Undang-Undang HAM tidak mengatur mengenai hak untuk mati.

Maka dari itu tindakan euthanasia adalah sebuah tindakan yang bertentangan dan

melanggar ketentuan Undang-Undang HAM.

Dalam dunia medis yang serba canggih ternyata masih memerlukan tuntutan

etika, moral, dan hukum dalam pelaksanaannya. Hal ini erat sekali kaitannya

dengan penerapan hak asasi manusia pada praktek kedokteran. Begitu juga hak-

hak yang dimiliki oleh pasien maupun dokter dalam kaitannya dengan euthanasia

karena biasanya dalam prakteknya pasien itu sendiri yang meminta untuk

dieuthanasia, disebabkan oleh keadaan pasien yang sekarat dan juga didukung

dengan keterangan medis dari pihak dokter yang menyatakan bahwa pasien sudah

tidak dapat sembuh dan kasus seperti ini bisa dikaitkan dengan hak untuk

menentukan nasib sendiri. Masalah euthanasia yang kemudian dikaitkan dengan

hak untuk menentukan nasib sendiri kemudian juga menjadi problematika

tersendiri dalam hal pelanggaran hak asasi manusia atau tidak. Hak untuk

50.

Rajab, Jaksa, Wawancara, 25 Oktober 2013

69

menentukan nasib diatur secara khusus dalam instrumen Hukum Hak Asasi

Manusia dalam ICCPR antara lain51

:

1) Pasal 1 : “Setiap orang mempunyai hak menentukan nasib sendiri”

2) Pasal 9 : “Setiap orang mempunyai kebebasan dan keamanan dirinya”

3) Pasal 17 : “Tak seorangpun boleh dilecehkan kepasiniannya (privacynya)

atau kerahasiaan surat-menyuratnya”

4) Pasal 18 : “Setiap orang mempunyai hak atas kebebasan suara dan kata

hatinya...”

Hak menentukan nasib sendiri merupakan hak-hak dasar yang dimiliki oleh

seseorang dan jika dikaitkan dengan euthanasia maka ketika seorang pasien pada

akhirnya memutuskan untuk meminta mengakhiri kehidupannya dengan cara

euthanasia kemudian didasarkan pada hak dari pasien tersebut untuk menentukan

hidupnya sendiri. Sedangkan hak hidup seseorang yang terdapat pada ICCPR

sebagai berikut52

:

1) Pasal 3 : “Setiap orang mempunyai hak atas kehidupan, kebebasan dan

keamanan dirinya.”

2) Pasal 6 : “ Setiap orang mempunyai hak untuk hidup... Tak seorangpun

boleh dirampas nyawanya dengan semena-mena”

3) Pasal 7 : “Tak seorangpun boleh disiksa dan dianiaya atau diperlakukan

dengan bengis, tak berperikemanusiaan dan diperkosa hak-hak

asasinya..., khususnya tanpa persetujuannya tak seorang pun

51.

Lisnawaty Badu, “Perlindungan Terhadap Hak Hidup Pasien dalam Kasus Euthanasia Ditinjau

Dari Perspektif HAM” (Tesis pascasarjana tidak diterbitkan, Ilmu Hukum Universitas Sam

Ratulangi Manado), hlm. 37-38 52.

Ibid, hlm.37

70

boleh diobati dan dirawat atau diikutsertakan dalam eksperimen

medik”

Pasal-pasal diatas pada prinsipnya mengemukakan hak-hak dasar dari

manusia yang tidak bisa dilecehkan dan harus dijunjung tinggi oleh manusia lain

karena merupakan hak mutlak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun

dan oleh siapapun. Seorang pasien yang sekarat mempunyai hak untuk

menentukan nasibnya sendiri, ia juga mempunyai hak kebebasan dan rasa aman

dan nyaman terhadap dirinya. Euthanasia dipandang dari sudut HAM mungkin

dianggap telah melanggar akan hak hidup, namun seorang pasien juga manusia

yang mempunyai hak sendiri atas apa yang akan terjadi pada kehidupannya.

Pasien tersebut mempunyai hak untuk menentukan nasib hidupnya sendiri.

Keputusan untuk melakukan euthanasia merupakan hak dari pasien tersebut untuk

meminta sesuatu terhadapa keadaan dirinya dan terhadap kehidupannya.