belajar

Embed Size (px)

DESCRIPTION

cv

Citation preview

LAPORAN MODUL 2 BLOK XIII

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK

FAKULTAS KEDOKTERAN UMUM

UNIVERSITAS MULAWARMAN

2010

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nyalah laporan dengan tema Sesak ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Laporan ini disusun dari berbagai sumber ilmiah sebagai hasil dari diskusi kelompok kecil (DKK) kami. Laporan ini secara garis besar berisikan tentang PPOK, diagnosis diferensialnya dan patomekanisme gejala penyertanya.

Dalam proses penyusunan laporan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada:

1. dr. Yudanti,M.Kes selaku tutor kelompok V yang telah membimbing kami dalam melaksanakan diskusi kelompok kecil pada modul 1 mengenai sesak ini.

2. Dosen-dosen yang telah mengajarkan materi perkuliahan kepada kami sehingga dapat membantu dalam penyelesaian laporan hasil diskusi kelompok kecil ini.

3. Teman-teman kelompok V yang telah mencurahkan pikiran, tenaga dan waktunya sehingga diskusi sehingga dapat berjalan dengan baik dan dapat menyelesaikan laporan hasil diskusi ini.

4. Teman-teman mahasiswa kedokteran Universitas Mulawarman angkatan 2008 khususnya yang telah bersedia untuk sharing bersama mengenai materi yang kita bahas.Akhirnya, tak ada gading yang tak retak, tentunya laporan ini sangat jauh dari sempurna. Oleh karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil diskusi kelompok kecil (dkk) ini.

Hormat Kami,

Penyusun

DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................2

Daftar Isi......................................................................................................3

Bab I : Pendahuluan

Latar Belakang.........................................................................4

Tujuan Modul...........................................................................4

Bab II : Isi

Identifikasi Masalah.................................................................5

Analisis Masalah......................................................................5

Strukturisasi..............................................................................8Learning Objective...................................................................8Belajar Mandiri........................................................................9Sintesis.....................................................................................9Bab III : Penutup

Kesimpulan...............................................................................78Daftar Pustaka.............................................................................................79BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

PPOK merupakan penyakit yang sudah umum dijumpai di Indonesia. Penyebabnya pun sudah cukup umum, yaitu merokok. Selain merokok, paparan jangka panjang terhadap pekerjaan tertentu juga dapat menjadi faktor resiko seseorang menderita PPOK, diantaranya yaitu Pak Dori yang sudah lama bekerja di pabrik semen. Dimana semen juga dapat memicu terjadinya kerusakan pada saluran pernapasan.

Sebagai seorang dokter umum yang akan pertama kali menangani kasus tersebut, harus mengerti bagaimana perjalanan penyakitnya, gejala klinis, pemeriksaan yang diperlukan dan penatalaksanaan kasusnya. Selain itu juga harus mengetahui bagaimana pencegahannya dan hal-hal yang harus diperhatikan sehingga tidak menimbulkan komplikasi.

B. Tujuan Modul

Tujuan Modul 2 Blok 13 ini adalah mempelajari tentang penyakit saluran pernapasan, terutama yang kronik. Modul 2 ini digambarkan dengan jelas di skenario sehingga dapat mengarahkan ke learning objective yang harus dicapai.

BAB II

PEMBAHASAN

STEP I

Terminologi asing

1. Wheezing: Suara napas abnormal yang continue yang nadanya tinggi terjadi pada saat ekspirasi karena obstruksi saluran pernapasan2. Ronki: Bunyi singkat yang terputus-putus dikarenakan adanya cairan / sekret pada saluran napas3. Tear drops: Gambaran yang tampak pada hasil foto rontgen jantung, dimana jantung meramping (tampak berbentuk tetesan air), khas pada emfisema akibat penekanan oleh paru yang membesar 4. Emfisema: Berkurangnya elastisitas dari paru, kolapsnya saluran pernapasan, rusaknya dinding alveolus yang irreversible.STEP II

Identifikasi masalah

1. Apa causa dari batuk kering dan sesak napas yang dialami Pak Dori ?

2. Apakah kaitan antara kebiasaan merokok dan pekerjaan dengan batuk yang dialami Pak Dori ?

3. Apakah hubungan debu dan dingin terhadap keluhan Pak Dori ?

4. Apa interpretasi dari pemeriksaan fisik dan hasil foto thoraks ?5. Apakah kemungkinan penyakit dari keluhan dan hasil pemeriksaan fisik ?6. Pemeriksaan penunjang apa saja yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnose ?7. Bagaimana penanganan awal di UGD ?STEP III

Brainstorming

1. Batuk kering: Reaksi alergi terhadap iritan yang didapat pada saat bekerja

Sesak: Kemungkinan disebabkan kebanyakan batuk

Kedua gejala di atas dicurigai karena proses kronik.

2. Rokok: Kandungan rokok bias mempengaruhi hal-hal yaitu, merusak epitel, kekakuan silia, mempengaruhi enzim protease. Selain itu terjadi peningkatan oksidan yang membawa efek negative

Pekerjaan: karena iritan saat bekerja

Faktor lain yang mendukung yaitu usia yang cukup tua sehingga system imun menurun

3. Debu dan dingin dicurigai menjadi factor yang memperberat keadaan pasien4. Berat badan ( 45 kg, menunjukkan bahwa Pak Dori kurus, akibat napsu makan menurunTekanan darah ( 140/80, menunjukkan tekanan yang normal sesuai dengan usia Pak Dori

RR ( 36x/menit, menunjukkan takipnea akibat sesak

Suhu ( 36,5o C, menunjukkan suhu normal

Suara napas menurun ( keadaan patologis (misalnya massa atau cairan) pada saluran napas srhingga suara napas menurun

Wheezing +/+ ( karena obstruksi pada 2 lapangan paru

Ronki + ( secret yang berlebihan

ICS melebar ( pembesaran volume paru

Tear drops ( karena emfisema, volume paru meningkat, menekan diafragma, mendesak jantung, sehingga jantung menjadi ramping

Emfisema ( hiperinflasi,hiperlusen5. Kemungkinan Penyakit yaitu PPOK, Asma bronkial, bronkiektasis, Ca Paru6. Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan yaitu, spirometri, IgE serum, uji kortikosteroid, Analisis Gas Darah, dan pemeriksaan darah rutin7. Penanganan awal yaitu pemberian bronkodilator, oksigenasi dan nebulizerSTEP IV

Strukturisasi

STEP V

Learning objective

Mampu menjelaskan definisi, etiologi, epidemiologi, patogenesis, gejala, diagnosis, penatalaksanaan, dan komplikasi dari : 1. PPOK

2. Bronkitis Kronik

3. Emfisema

4. Astma bronkiale5. BronkiektasisSTEP VI

Belajar MandiriPENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Definisi

PPOK adalah penyakit paru yang ditandai oleh hambatan aliran udara yang bersifat non reversibel atau reversibel parsial. Hambatan aliran udara biasanya progresif dan ada hubungan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap noxius dan gas.

Faktor risiko

Meliputi faktor-faktor host dan paparan lingkungan dan penyakit biasanya muncul dari interaksi antara kedua faktor tersebut.

Faktor host:

Genetik

Faktor risiko genetik yang telah diketahui adalah: defisiensi alfa 1 anti tripsin. Suatu kelainan herediter yang jarang ditemukan. Gen lain yang terlibat patogenesis PPOK sampai saat ini belum ditemukan

Hiperreaktivitas bronkus

Asma dan hiperreaktivitas bronkus saluran nafas merupakan faktor risiko yangmemberi andil timbulnya PPOK. Bagaimana pengaruh kedua kelainan tersebut mempengaruhi timbulnya PPOK tidak diketahui.

Faktor lingkungan:

Asap tembakau

Merokok merupakanfaktor risiko utama. Perokok sigaret mempunyai prevalensi yang tinggi kelainan faal paru, keluhan respirasi dan penyakit obstruksi saluran nafas kronis. Pada perokok pipa dan cerutu dijumpai mortalitas dan morbiditas PPOK > dari bukan perokok, tetapi < dari perokok sigaret. Tidak semua perokok timbul PPOK secara klinis. Hal ini mengesankan bahwa faktor-faktor genetik harus memodifikasi tiap-tiap risiko individu.

Occupational dusts and chemicals

Paparan yang cukup intens dan lama dari occupational dust dan chemical dapat menyebabkan PPOK tidak tergantung faktor rokok dan meningkatkan risiko PPOK dengan adanya merokok sigaret.

Polusi udara

Peranan polusi udara outdoor tidak jelas, nampaknya pengaruh < dari merokok sigaret. Poluis udara indoor dari bahan bakar biomasa, asap dapur dan pemanasan pada ruangan dengan ventilasi jelek merupakan faktor risiko untuk PPOK.

Infeksi

Riwayat infeksi saluran nafas berat sewaktu anak-anak menyebabkan penurunan faal paru dan keluhan respirasi sewaktu dewasa.

Status sosial

Mortalitas dan morbiditas PPOK berbanding terbalik dengan status sosial dan lebih tinggi pada blue colar daripada white colar worker.

Patogenesis

Karakteristik PPOK adalah keradangan kronis mulai dari saluran nafas, parenkim paru sampai struktur vaskuler pulmonal. Di berbagai bagian paru dijumpai peningkatan makrofag, limfosit T (terutama CD8+) dan neutrofil. Sel-sel radang yang teraktivasi akan mengeluarkan berbagai mediator seperti leukotrien B4, IL8, TNF, dan lain-lain yang mampu merusak struktur paru dan atau mempertahankan inflamasi neurofilik. Di samping inflamasi ada 2 proses lain yang juga penting yaitu imbalance proteinase dan anti proteinase di paru dan stres oksidatif.

Patologi

Perubahan patologis yang khas dari PPOK dijumpai di saluran nafas besar (central airway), saluran nafas kecil (peripheral airway), parenkim paru, dan vaskuler pulmonal.

Saluran nafas besar

Dijumpai infiltrasi sel-sel radang pada permukaan epitel. Kelenjar-kelenjar yang mensekresi mukus membesar dan jumlah sel goblet meningkat. Kelainan ini menyebabkan hipersekresi mukus.

Saluran nafas kecil

Inflamasi kronis menyebabkan berulangnya siklus injury dan repair dinding saluran nafas. Proses repair akan menghasilkan struktural remodeling dari dinding saluran nafas dengan peningkatan kandungan kolagen dan pembentukan jaringan ikat yang menyebabkan penyempitan lumen dan obstruksi saluran nafas permanen.

Parenkim paru

Dekstruksi parenkim paru secara khas terjadi emfisema sentrilobuler. Kelainan tersebut lebih sering di bagian atas pada kasus ringan namun bila lanjut bisa terjadi di seluruh lapangan paru dan juga terjadi dekstruksi pulmonary capillary bed.

Perubahan vaskuler pulmonal

Ditandai oleh penebalan dinding pembuluh darah yang dimulai sejak awal perjalanan ilmiah PPOK. Perubahan struktur yang pertama kali adalah penebalan intima diikuti peningkatan otot polos dan infiltrasi dinding pembuluh darah oleh sel-sel radang. Jika penyakit bertambah lanjut jumlah otot polos, proteoglikans dan kolagen bertambah sehingga dinding pembuluh darah bertambah tebal.

Manifestasi klinis

Dua keluhan utama adalah sesak nafas dan batuk.

Sesak nafas

Timbul progresif secara gradual dalam beberapa tahun. Mula-mula ringan lebih lanjut akan mengganggu aktivitas sehari-hari. Sesak nafas bertambah berat mendadak menandakan adanya eksaserbasi.

Suara mengi (wheezing)

Riwayat wheezing tidak jarang ditemukan pada PPOK dan ini menunjukan komponen reversibel penyakitnya. Bronkospasme bukan satu-satunya penyebab wheezing. Banyak pasien PPOK mengeluh mengi pada pengerahan tenaga (exertion) mungkin oleh karena udara lewat saluran nafas yang sempit oleh radang atau sikatrik.

Batuk kronis

Batuk kronis biasanya berdahak kadang episodik dan memperberat waktu pagi. Dahak biasanya mukoid tetapi berubah purulen bila eksaserbasi.

Batuk darah

Bisa dijumpai terutama waktu eksaserbasi. Asal darah diduga dari saluran nafas yang radang dan khasnya blood-streaked purulen sputum. Penyebab batuk darah yang lain seperti tumor, bronkiektasis, tuberkulosis, dan dekompensasi kordis perlu dicari.

Nyeri dada

Nyeri dada biasanya bukan oleh karena PPOK. Nyeri dada bisa oleh karena pleuritis, pneumothoraks, dan emboli paru.

Anoreksia dan penurunan berat badan

Penurunan berat badan merupakan tanda progresif jelek.

Karakteristik PPOK adalah adanya eksaserbasi. Bila penyakit progresif, interval di anratara eksaserbasi akut makin dekat.

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik yang ditemukan tergantung derajat hambatan aliran udara, berat ringan hiperinflasi paru dan bentuk tubuhnya. Awalnya hanya ekspirasi memanjang dan wheezing pada ekspirasi paksa. Bila obstruksi lanjut akan tanpak hiperinflasi dan barrel chest.suara nafas menurun, ekspirasi memanjang, suara jantung terdengar jauh, ronki basah basal. Penggunaan otot pernafasan tambahan atau pursed-lips breathing menandakan obstruksi aliran udara berat. Oedem tungkai, JVP meningkat, hepar teraba, dan tanda hipertensi pulmonal adalah tanda kor pulmonal kronikum dekompensata.

Diagnosis

Diagnosis dibuat berdasarkan gambaran klinis berupa riwayat penyakit, faktor risiko, dan pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan penunjang rutin serta khusus. PPOK harus dipertimbangkan pada penderita dengan keluhan batuk dengan dahak atau sesak nafas dan atau riwayat terpapar faktor risiko. Diagnosis dipastikan dengan pemeriksaan objektif adanya hambatan aliran udara (dengan spirometri).

Pemeriksaan penunjang rutin:

Faal paru; spirometri merupakan pemeriksaan gold standar. Parameternya adalah FEV1 dan ratio FEV1/FVC. Hasil post bronkodilator FEV1 < 80% prediksi dan FEV1/FVC < 70% menunjukan obstruksi yang tidak reversibel penuh. Bila spirometri tidak tersedia dapat digunakan PEF (Peak Expiratory Flow).

Uji bronkodilator; menggunakan spirometri atau PEF. Setelah pemberian bronkodilator inhalasi 8 isap, 15-20 menit dilihat perubahan FEV1 atau PEF. Perubahan FEV1 atau PEF < 20% atau 200 ml menunjukan obstruksi saluran nafas tidak reversibel.uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil. Uji bronkodilator reversibilitas umumnya dikerjakan satu kali waktu diagnosis.

Darah rutin yang meliputi hemoglobin, hematokrit, dan leukosit.

Foto thoraks posisi PA dan lateral. Pada PPOK ringan foto thoraks normal. Bila lanjut pada emfisema akan dijumpai: diafragma datar, volume paru tambah besar, bayangan jantung ramping (tear drops), ruang retrosternal melebar, dan bronkovaskuler patern meningkat (pada bronkitis kronis)

Pemeriksaan penunjang khusus:

Faal paru: RV meningkat, FRC meningkat, TLC meningkat, DLCo menurun, dan variabilitas harian PEF < 20%

Uji latih kardio pulmonal: sepeda statis dan treadmil

Uji provokasi bronkus, untuk menilai derajat hiperreaktivitas bronkus. Sebagian kecil penderita PPOK dijumpai hipereaktivitas bronkus

Tes kortikosteroid, untuk menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral; yaitu: FEV1 meningkat > 20% dan minimal 250 ml post bronkodilator

Analisa gas darah; untuk menilai gagal nafas

Radiologi: HR CT scan dada

EKG

Pemeriksaan mikrobiologi

Pemeriksaan kadar alfa 1 antitripsin

Diagnosis banding

Asma bronkiale

Gagal jantung kronis

Penyakit paru dengan obstruksi saluran nafas lain seperti bronkiektasis

Penatalaksanaan

Tujuan

Mengurangi gejala

Mencegah eksaserbasi berulang

Menperbaiki dan mencegah penurunan faal paru

Meningkatkan kwalitas hidup

Modalitas terapi terdiri :

Edukasi

Obat-obatan

Oksigen

Ventlasi mekanik

Nutrisi

Rehabilitasi

Penatalaksanaan PPOK Stabil

Secara umum Karakteristiknya : intensitasnya terapi ditingkatkan berdasarkan berat penyakit

1. Edukasi

Tidak memperbaiki exercise performance atau faal paru tetapi dapat :

Memperbaiki skill, kemampuan untuk menanggulangi penyakitnya dan status kesehatan Efektif untuk mencapai tujuan khusus seperti berhenti merokok2. Obat-obatan

Tidak ada obat-obatan untuk PPOK yang telah terbukti mampu merubah penurunan faal paru jangka panjang. Jadi obat-obatan digunakan untuk mengurangi keluhan dan atau kompikasi.

Terdiri dari :

a. Bronkodilator agonis beta 2: salbutamol,terbutalin, fenoterol

Antikolinergis: patropium bromide

Derivat santin: aminofilin, teofilin

Terapi inhalasi lebih dianjurkan

Pemilihan antara agonis beta 2, antikolinergik dan santin atau terapi kombinasi tergantung dari obat yang tersedia dan respon individu terhadap terapi dan ESO ( efek samping obat).

Diberikan kalau perlu atau kontinyu untuk mencegah atau mengurangi gejala

Obat kombinaso dapat meningkatkan efikasi dan menurunkan resio ESO di banding peningkatan dosis obat tunggal.

b. Kortikosteroid

Terapi rutin kortikosteroid inhalasi hanya diberikan :

Bila terbukti responnya yang diukur dengan faal paru atau

PPOK dengan FEV115 jam/hari) pada PPOK dengan gagal nafas kronis terbukti dapat meningkatkan survival

Indikasi: Pa02< 55 mmHg (7,3 kPA) atau SaO2 88 % dengan atau tanpa hiperkapni atau

Pa02 antara 55 mmHg (7,3 kPA) dan 60 mmHg (8,0 kPA) atau SaO2 89 % tetapi ada hipertensi pulmonal. Udem perifer yang dicurigai karena congestive heart failure atau polisitemia ( Hct > 55 % )

4. Ventilator

Sampai saat ini belum ada data yang membuktikan bahwa ventilator punya peranan pada penatalaksanaan rutin PPOK stabil

5. Rehabilitasi medik

Dengan reha medik semua pasien menunjukan manfaat dari exercise training progam. Ada perbaikan exercise tolerance dan keluhan sesak nafas dan capek.

Rehab paru komprehensif terdiri atas : - exercise training

Konsultasi nutrisi

Edukasi

6. Operasi

Bulektomi

Pada pasien-pasien tertentu tindakan operasi ini efektif menurunkan sesak nafas dan memperbaiki faal paru.

Transplantasi paru

Pada PPOK stadium lanjut yang terseleksi dengan tepat, transplantasi terbukti memperbiki kwalitas hidup dan kapasitas fungsional.

BRONKITIS KRONIKDefinisi

Penyakit paru obstruktif kronik ialah penyakit saluran napas yang bersifat ireversibel dan progresif. Bila penyakit telah terjadi, maka akan berlangsung seumur hidup dan memburuk dari waktu ke waktu. Perburukan akan lebih cepat terjadi bila timbul fase-fase eksaserbasi akut. Usaha untuk menegakkan diagnosis lebih dini, pencegahan eksaserbasi akut, serta penatalaksanaan yang baik akan bermanfaat memperlambat perjalanan penyakit sehingga penderita dapat hidup lebih baik.

Penyakit ini mempunyai berbagai definisi tergantung dari penulis yang mengemukakannya. Brinkman mendefinisikan penyakit ini sebagai suatu gangguan batuk berdahak yang terjadi tiap hari selama paling kurang enam bulan dan jumlah dahak minimal satu sendok teh. Definisi yang banyak dipakai adalah definisi dari American Thoracic Society, yaitu penyakit dengan gangguan batuk kronik dengan dahak yang banyak terjadi hampir tiap hari minimal tiga bulan dalam setahun selama dua tahun berturut-turut. Produksi dahak yang berlebihan ini tidak disebabkan oleh penyakit tuberkulosis atau bronkiektasis. Penyakit bronkitis kronik sering terdapat bersama-sama emfisema dan dikenal dengan nama bronkitis emfisema.

Bronchitis kronik dapat dibagi atas:

1) Simple chronic bronchitis: bila sputum bersifat mukoid.

2) Chronic atau recurrent mucopurulent bronchitis: bila sputum bersifat mukopurulen.

3) Chronic obstructive bronchitis: bila disertai obstruksi saluran napas yang timbul apabila terpajan zat iritan atau ada infeksi saluran napas akut.

Epidemiologi

Bronchitis kronik lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita. Hal ini kemungkinan disebabkan karena penyebab utamanya sampai saat ini adalah merokok, dan laki-laki lebih banyak yang merokok dibandingkan dengan wanita. Di Indonesia jumlah perokok menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga 1996 adalah 53% laki-laki dan 4% wanita.

Saat ini diperkirakan 20% laki-laki dewasa menderita bronchitis kronik, dan pada wanita dewasa lebih sedikit. Namun karena wanita yang merokok terus meningkat maka angka bronchitis kronik pada wanita akan meningkat pula.

Penyakit dan gangguan saluran napas masih merupakan masalah terbesar di Indonesia pada saat ini. Angka kesakitan dan kematian akibat penyakit saluran napas dan paru seperti infeksi saluran napas akut, tuberkulosis asma dan bronkitis masih menduduki peringkat tertinggi. Infeksi merupakan penyebab yang tersering.

Kemajuan dalam bidang diagnostik dan pengobatan menyebabkan turunnya insidens penyakit saluran napas akibat infeksi. Di lain pihak kemajuan dalam bidang industri dan transportasi menimbulkan masalah baru dalam bidang kesehatan yaitu polusi udara. Bertambahnya umur rata-rata penduduk, banyaknya jumlah penduduk yang merokok serta adanya polusi udara meningkatkan jumlah penderita bronkitis kronik.

Bronkitis kronik termasuk kelompok penrakit paru obstruktif kronik (PPOK). Di negara maju penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang besar, karena bertambahnya jumlah penderita dari tahun ke tahun. Pada tahun 1976 di Amerika Serikat ditemukan 1,5 juta kasus baru, dan pada tahun 1977 kematian yang disebabkan oleh PPOK berjumlah 45.000 orang. Penyakit ini merupakan penyebab kematian urutan ke lima.

Patogenesis Asap rokok, debu di tempat kerja dan polusi udara merupakan bahan-bahan iritan dan oksidan yang menyebabkan terjadinya bronkitis kronik. Dari semua ini, asap rokok merupakan penyebab yang paling penting. Tidak semua orang yang terpapar zat ini menderita bronkitis kronik, hal ini dipengaruhi oleh status imunologik dan kepekaan yang bersifat familial. Hipereaktivitas bronkus memang ditemukan pada sebagian penderita PPOK, dan persentasenya bervariasi.

Di dalam asap rokok terdapat campuran zat yang berbentuk gas dan partikel. Setiap hembusan asap rokok mengandung 10 radikal bebas yaitu radikal hidroksida (OH-). Sebagian bebas radikal bebas ini akan sampai ke alveolus. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Kerusakan parenkim paru oleh oksidan ini terjadi karena:

1) Kerusakan dinding alveolus.

2) Modifikasi fungsi anti elastase pada saluran napas.

Antielastase seharusnya menghambat netrofil, oksidan menyebabkan fungsi ini terganggu sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus.

Partikulat yang terdapat dalam asap rokok dan udara yang terpolusi mempunyai dampak yang besar terhadap pembersihan oleh sistem mukosilier. Sebagian besar partikulat tersebut mengendap di lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus, sehingga mengharnbat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa bronkus akan sangat berkurang, mengakibatkan meningkatnya iritasi pada epitel mukosa bronkus. Kelenjar mukosa dan sel goblet dirangsang untuk menghasilkan mukus yang lebih banyak, hal ini ditambah dengan gangguan aktivasi silia menyebabkan timbulnya batuk kronik dan ekspektorasi. Produksi mukus yang berlebihan memudahkan terjadinya infeksi dan memperlambat proses penyembuhan. Keadaan ini merupakan suatu lingkaran dengan akibat terjadi hipersekresi. Di samping itu terjadi penebalan dinding saluran napas sehingga dapat timbul mucous plug yang menyumbat jalan napas, tetapi sumbatan ini masih bersifat reversibel.

Bila iritasi dan oksidasi di saluran napas terus berlangsung maka terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Di samping itu terjadi pula metaplasia skuamosa dan penebalan lapisan submukosa. Keadaan ini mengakibatkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat ireversible.

Skema Patogenesis Bronkitis Kronik

Pada orang dewasa normal dengan bertambahnya umur akan terjadi penurunan faal paru, yaitu volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) sebanyak rata-rata 28 ml per tahun. Pada penderita PPOK penurunan ini lebih besar yaitu antara 5080 ml setiap tahun. Perburukan fungsi paru akan cepat terjadi bila timbul fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai faktor dapat memperburuk perjalanan penyakit. Faktor itu adalah:

1) Faktor risiko, yaitu faktor yang dapat menimbulkan serta memperburuk penyakit seperti merokok, polusi udara, polusi lingkungan, infeksi dan perubahan cuaca.

2) Derajat obstruksi saluran napas yang terjadi dan identifikasi komponen yang memungkinkan terdapatnya reversibilitas.

3) Tahap perjalanan penyakit.

4) Penyakit lain yang memudahkan timbulnya infeksi saluran napas bawah seperti sinusitis dan faringitis kronik.

5) Keteraturan penderita berobat.

Patologi

Kelainan utama pada bronkus yaitu hipertrofi dan hyperplasia kelenjar mucus bronkus. Terjadi sekresi mucus yang berlebihan dan lebih kental. Secara histologist dapat dibuktikan dengan membandingkan tebalnya kelenjar mucus dan dinding bronkus (indeks Reid).

Selain itu terdapat juga peradangan difus, penambahan sel mononuclear di submukosa trakeobronkial, metaplasia epitel bronkus dan silia berkurang. Pada pasien yang sering mengalami bronkospasme otot polos saluran napas bertambah dan timbul fibrosis peribronkial. Yang penting juga adalah perubahan pada saluran napas kecil (small airways) yaitu hyperplasia sel goblet, sel radang di mukosa dan submukosa, edema fibrosis peribronkial, penyumbatan mucus intraluminal dan penambahan otot polos.

Manifestasi Klinis

Bronchitis kronik merupakan penyakit menahun, yang mana terjadi sedikit demi sedikit selama bertahun-tahun. Biasanya mulai pada seorang pasien perokok berumur 15-25 tahun. Pada umur 25-35 tahun kemampuan kerja beratnya mulai menurun dan mulai timbul perubahan pada saluran napas kecil serta fungsi paru juga mulai berubah antara lain berupa kenaikan closing volume. Umur 35-45 tahun timbul batuk yang produktif dan VEP1 (volume ekspirasi paksa selama 1 detik) atau FEV1 (forced expiratory volume 1 second) menurun. Sesak napas, hipoksemia dan perubahan spirometri sudah terjadi pada umur 45-55 tahun. Pasien sering sering mendapat infeksi saluran napas bagian atas berulang-ulang sehingga sering atau sama sekali tidak dapat bekerja. Pada umur 55-65 tahun sudah ada kor-pulmonal, yang dapat menyebabkan kegagalan napas dan meninggal dunia.

Diagnosis

1) Anamnesis

Keluhan utama pada bronchitis kronik adalah batuk berdahak dan sesak. Menurut Burrows dkk 75% bronchitis kronik dimulai dengan batuk, 22% dimulai dengan sesak.

Pasien dengan bronchitis kronik dominan mempunyai riwayat batuk-batuk dengan sputum produktif yang sering dikatakannya karena merokok. Pasien sendiri tidak menganggap sebagai keluhan, kecuali bila kita tanya langsung. Makin lama batuk makin sering, berlangsung lama dan makin berat, timbul siang maupun malam, sehingga pasien terganggu tidurnya. Bila timbul infeksi saluran napas, batuk-batuk bertambah hebat dan berkurang bila infeksi teratasi.

2) Pemeriksaan fisik

Pada stadium dini tidak ditemukan kelainan fisis. Hanya kadang terdengar ronki pada waktu ekspirasi dalam. Bila sudah ada keluhan sesak, akan terdengar ronki pada saat ekspirasi maupun inspirasi, kadang disertai bising mengi. Selain itu, didapatkan juga tanda overinflasi paru seperti barrel chest, kifosis, diameter anteroposterior dada bertambah, jarak tulang rawan krikotiroid dengan lekukan supra sterna kurang dari 3 jari, iga lebih horizontal dan sudut subcostal bertambah.

Pada perkusi terdengar hipersonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih ke bawah, pekak jantung berkurang, suara napas dan suara jantung lemah. Bila sudah ada kenaikan tekanan pulmonal, suara jantung kedua akan lebih keras, terutama di ruang interkostal dua dan tiga sebelah kiri.

Pasien dengan bronchitis kronik, pada stdium lanjut biasanya terlihat gemuk dan sianosis. Sesak tidak begitu berat dan otot-otot pernapasan tambahannya pun tidak digunakan. Sering disertai tanda payah jantung kanan. PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau naik. Penurunan PaO2 menstimulasi eritropoesis dan vasokonstriksi pembuluh darah paru, sehingga kor-pulmonalnya bertambah berat.

3) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan radiologis

Menurut Fraser dan Pare > 50% pasien bronchitis kronik mempunyai foto dada yang normal. Tetapi secara radiologis ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

a. Tubular shadows atau tram lines tarlihat bayangan garis-garis yang parallel, keluar dari hilus menuju apex paru. Bayangan tersebut adalah bayangan bronkus yang menebal.

b. Corak paru bertambah.

Pemeriksaan faal paru

Terdapat VEP1 dan KV menurun, VR yang bertambah dan KTP yang normal.

Analisis gas darah

Pasien bronchitis kronik tidak dapat mempertahankan ventilasi dengan baik, sehingga PaCO2 naik, saturasi Hb menurun dan timbul sianosis. Terjadi juga vasokonstriksi pembuluh darah paru dan penambahan eritropoesis.

Penatalaksanaan Penatalaksanaan umum pada bronkitis kronik bertujuan memperbaiki kondisi tubuh penderita, mencegah perburukan penyakit, menghindari faktor risiko dan mengenali sifat penyakit secara lebih baik. Termasuk dalam penatalaksanaan umum ini adalah pendidikan buat penderita untuk mengenal penyakitnya lebih baik, menghindari polusi, menghentikan kebiasaan merokok, menghindari infeksi saluran napas, hidup dalam lingkungan yang lebih sehat, makanan cukup gizi dan mencukupi kebutuhan cairan.

Penatalaksanaan khusus dilakukan untuk mengatasi gejala dan komplikasi. Tindakan ini berupa pemberian obat-obatan, terapi respirasi dan rehabilitasi.

Bronkodilator merupakan obat utama pada bronkitis kronik. Obat ini tidak saja diberikan pada keadaan eksaserbasi akut tetapi juga untuk memperbaiki obstruksi yang terjadi. Adanya respons sesudah pemberian bronkodilator merupakan petunjuk penggunaan bronkodilator. Pemberian bronkodilator hendaklah selalu dicoba pada penderita bronkitis kronik. Obat yang diberikan adalah golongan antikolinergik agonis beta-2 dan golongan xanthin.

Golongan antikolinergik merupakan pilihan pertama, obat ini diberikan secara inhalasi yaitu preparat ipratropium bromid. Obat ini mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan go-

longan agonis beta-2, yaitu efek bronkodilatornya lebih besar, tidak menimbulkan fenomena takifilaksis, tidak mempunyai efek samping tremor dan palpitasi, tidak mempengaruhi sistem pembersihan mukosilier, masa kerjanya cukup lama yaitu 68 jam dan theurapetic margin of safety nya cukup panjang oleh karena obat ini tidak diabsorpsi.

Obat golongan agonis beta-2 yang diberikan secara oral bisa menimbulkan efek samping tremor, palpitasi dan sakit kepala. Pemberian obat secara inhalasi mengurangi efek samping ini, selain itu dapat memobilisasi pengeluaran dahak. Obat ini bekerja dengan mengaktifkan adenilsiklase dengan akibat meningkatnya produksi siklik AMP dan menimbulkan relaksasi

otot polos saluran napas.

Golongan xanthin merupakan bronkodilator paling lemah, bekerja dengan menghambat aksi enzim fosfodiesterase, yaitu enzim yang menginaktifkan siklik AMP. Selain sebagai bronkodilator, obat ini mempunyai efek yang kuat dan berlangsung lama dalam meningkatkan daya kontraksi otot diafragma dan daya tahan terhadap kelelahan otot pada penderita PPOK.

Bronkodilator hendaklah diberikan dalam bentuic kombinasi, tiga macam obat lebih baik dari dua macam obat, oleh karena mereka mempunyai efk sinergis. Pemberian secara kombinasi memberikan efek yang optimal dengan dosis yang lebih rendah dibandingkan pemberian monoterapi, selain itu dosis yang rendah memberikan efek samping yang minimal.

Bila terjadi perubahan warna sputum dengan peningkatan jumlah dahak dan pertambahan sesak napas, diberikan antibiotika. Pada keadaan demikian antibiotika diberikan walaupun tidak ada demam, leukositosis dan infiltrat yang baru pada foto toraks. Diberikan antibiotika golongan ampisilin, eritromisin atau kotrimoksasol selama 710 hari. Bila pemberian antibiotika tidak memberi perbaikan perlu dilakukan pemeriksaan mikroorganisme. Bila infeksi terjadi selama perawatan di rumah sakit diberikan antibiotika untuk gram negatif.

Pada keadaan dekompensasi kordis diberikan digitalis. Pemberian dilakukan secara hati-hati, oleh karena intoksikasi dapat terjadi pada keadaan hipoksemi. Diuretik diberikan apabila terdapat edema paru.

Pemberian kortikosteroid secara oral manfaatnya masih diperdebatkan. Pada penderita dengan hipereaktivitas bronkus pemberian steroid secara inhalasi menunjukkan perbaikan gejala dan fungsi paru. Pemberian steroid inhalasi jangka lama memperlambat progresivitas penyakit. Pada serangan akut pemberian steroid jangka pendek mempunyai manfaat. Diberikan prednison 60 mg selama 47 hari, kemudian diturunkan secara bertahap selama 710 hari. Pemberian dosis tinggi kurang dari 7 hari dapat dihentikan tanpa menurunkan dosis secara bertahap.

Pemberian oksigen pada penderita PPOK yang mengalami hipoksemi kronik dapat menghilangkan beberapa gejala akibat hipoksemi. Pada eksaserbasi akut dengan hipoksemi sebagai gambaran yang karakteristik, pemberian oksigen merupakan keharusan. Pada keadaan hipoksemi (PaQ2 < 55 mmHg) pemberian oksigen konsentrasi rendah 13 liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur.

Terdapatnya gangguan tidur, gelisah dan sakit kepala merupakan petunjuk dibutuhkannya oksigen pada waktu malam. Pada penderita hipoksemi dan retensi CO2, pemberian oksigen konsentrasi tinggi dapat berbahaya, karena pada penderita ini rangsangan terhadap pusat pernapasan yang terjadi tidak lagi disebabkan oleh peninggian CO2 di dalam darah tetapi karena adanya hipoksemi. Pemberian oksigen tinggi dapat menghilang-kan hipoksemi ini, sehingga rangsangan terhadap pusat napas menurun dan akibatnya terjadi hipoventilasi dan diikuti oleh asidosis respiratorik.

Rehabilitasi meliputi tindakan fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan. Fisioterapi dilakukan untuk mobilisasi dahak, latihan bernapas menggunakan otot-otot dinding perut sehingga didapatkan kerja napas yang efektif. Latihan relaksasi berguna untuk menghilangkan rasa takut dan cemas dan mengurangi kerja otot yang tidak perlu. Rehabilitasi psikis perlu untuk menghilangkan rasa cemas dan takut. Pemakaian obat-obat penenang tidak dianjurkan karena dapat menekan pusat napas.

Rehabilitasi pekerjaan dilakukan agar penderita dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan kemampuannya. Program rehabilitasi bertujuan mengembalikan penderita pada tingkat

yang paling optimal secara fisik dan psikis. Tindakan ini secara subjektif bermanfaat buat penderita dan dapat mengurangi hari perawatan di rumah sakit serta biaya perawatan dan pengobatan, tetapi tidak mempengaruhi fungsi paru dan analisis gas darah.

Usaha-usaha yang dapat dilakukan untuk memperlambat perjalanan penyakit adalah :

Menghentikan kebiasaan merokok.

Menghindari polusi udara dan kerja di tempat yang mempunyai risiko terjadinya iritasi saluran napas.

Menghindari infeksi dan mengobati infeksi sedini mungkin agar tidak terjadi eksaserbasi akut.

Menegakkan diagnosis secara dini agar kelainan paru yang masih reversibel dapat dideteksi sehingga usaha-usaha untuk menghindari penyakit berlanjut menjadi kelainan yang ireversibel dapat dilakukan.

Melakukan pengobatan dan kontrol secara teratur agar dapat diberikan obat-obat yang tepat sehingga didapatkan keadaan yang optimal.

Evaluasi faal paru secara berkala. Pemeriksaan faal paru pada PPOK selain berguna sebagai penunjang diagnostik juga bermanfaat untuk melihat laju penyakit serta meramalkan

prognosis penderita.

Peranan N-Asetilsistein pada bronchitis kronik Oksidan yaitu zat yang terdapat pada asap rokok dan udara yang terpolusi mempunyai andil untuk terjadinya bronkitis kronik.

Anti oksidan melindungi dan mempertahankan paru dari radikal-radikal anion superoksid, hidrogen peroksid, radikal hidroksil dan anion hipohalida yang diproduksi oleh sel radang. Anti oksidan dapat mengubah oksidan menjadi molekul yang tidak berbahaya terhadap jaringan paru dan menekan efek radikal bebas dari asap rokok.

N-asetilsistein merupakan suatu antioksidan, yaitu sumber glutation. Pemberian N-asetilsistein pada perokok dapat mencegah kerusakan parenkim paru oleh efek oksidan yang terdapat dalam asap rokok. Di samping sebagai anti oksidan, obat ini bersifat mukolitik yaitu mengencerkan sekret bronkus sehingga mudah dikeluarkan.

Pemberian N-asetilsistein selama enam bulan pada penderita bronkitis kronik memberikan perbaikan dalam hal jumlah sputum, purulensi sputum, banyaknya eksaserbasi dan lamanya hari sakit secara bermakna.

EMFISEMA

Definisi

Emfisema adalah suatu kelainan anatomik paru yang ditandai oleh pelebaran secara abnormal saluran napas bagian distal bronkus terminalis, disertai dengan kerusakan dinding alveolus yang ireversibel.

Berdasarkan tempat terjadinya proses kerusakan, emfisema dapat dibagi menjadi tiga :

1.Sentri-asinar (sentrilobular/CLE)

Pelebaran dan kerusakan terjadi pada bagian bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan daerah sekitar asinus.

2.Pan-asinar (panlobular)

Kerusakan terjadi merata di seluruh asinus. Merupakan bentuk yang jarang, gambaran khas nya adalah tersebar merata di seluruh paru-paru, meskipun bagian-bagian basal cenderung terserang lebih parah. Tipe ini sering timbul pada orang dengan defisiensi alfa-1 anti tripsin.

3.Asinar distal (paraseptal)

Kerusakan pada parenkim paru tanpa menimbulkan kerusakan pada asinus.

Emfisema dapat bersifat kompensatorik atau obstruktif, yaitu:

1.Emfisema kompensatorik

Terjadi di bagian paru yang masih berfungsi, karena ada bagian paru lain yang tidak atau kurang berfungsi, misalnya karena pneumonia, atelektasis, pneumothoraks.

2.Emfisema obstruktif

Terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus yang tidak menyeluruh, hingga terjadi mekanisme ventil.

Etiologi

Etiologi emfisema menurut Corwin.2000.hal 435 dan Ganong. 2002 . hal 663 ; Bruner dan Suddarth. 2001. hal 602) adalah : merokok. Emfisema adalah penyakit yang umum. Tetapi insidensipastinya sulit diperkirakan karena diagnosis pasti, yang didasarkan pada morfologi, hanya dapat ditegakkan melalui pemeriksaan paru saat autopsy. Secara umum disepakati bahwa emfisema terdapat pada 50% orang dewasa yang diautopsi. Emfisema jauh lebih sering ditemukan dan lebih parah pada laki laki. Terdapat keterkaitan yang jelas antara merokok dalam jumlah besar dengan emfisema. Meskipun emfisema tidak menyebabkan disabilitas sampai usia sekitar lima puluh hingga delapan puluh tahun, deficit ventilasi sudah dapat bermanifestasi klinik beberapa decade sebelumnya.Epidemiologi

Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survei Kesehatan Rumat Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT DepKes RI menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronis dan emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Penyakit bronchitis kronik dan emfisema di Indonesia meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah orang yang menghisap rokok, dan pesatnya kemajuan industri.

Di negara-negara barat, ilmu pengetahuan dan industri telah maju dengan mencolok tetapi telah pula menimbulkan pencemaraan lingkungan dan polusi. Ditambah lagi dengan masalah merokok yang dapat menyebabkan penyakit bronkitis kronik dan emfisema. Di Amerika Serikat kurang lebih 2 juta orang menderita emfisema.Emfisema menduduki peringkat ke-9 diantara penyakit kronis yang dapat menimbulkan gangguan aktifitas. Emfisema terdapat pada 65 % laki-laki dan 15 % wanita. Data epidemiologis di Indonesia sangat kurang. Nawas dkk melakukan penelitian di poliklinik paru RS Persahabatan Jakarta dan mendapatkan prevalensi PPOK sebanyak 26 %, kedua terbanyak setelah tuberkulosis paru (65 %). Di Indonesia belum ada data mengenai emfisema paru.

PatogenesisPendapat yang berlaku saat ini mengenai emfisema adalah itu terjadi akibat ketidakseimbangan penting-yakni ketidakseimbangan protease-antiprotease dan oksidan-antioksidan. Ketidakseimbangan ini hampir selalu terjadi bersamaan. Emfisema dipandang sebagai akibat efek destruktif peningkatan aktivitas protease pada orang dengan aktivitas antitrypsin yang rendah. Hipotesis ini didukung oleh penelitian pada hewan percobaan yang mengalami degradasi elastin yang disertai dengan timbulnya emfisema.

Hipotesis ketidakseimbangan protease-antiprotease juga membantu menjelaskan efek merokok dalam terjadinya emfisema. Secara singkat, tumbukan partikel asap, terutama di percabangan bronkiolus respiratorik, mungkin menyebabkan influx neutrofildan makrofag; kedua sel tersebut mengeluarkan berbagai protease. Peningkatan aktivitas protease yang terltak di region sentriasinar menyebabkan terbentuknya emfisema pola sentriasinar. Kerusakan jaringan diperhebat oleh inaktivasi antiprotease oleh oksigen reaktif yang terdapat dalam asap rokokBeberapa hal yang dapat menyebabkan terjadinya emfisema paru yaitu rokok, polusi, infeksi, faktor genetik, obstruksi jalan napas.

1.Rokok

Secara patologis rokok dapat menyebabkan gangguan pergerakkan silia pada jalan napas, menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplasi kelenjar mucus bronkus. Gangguan pada silia, fungsi makrofag alveolar mempermudah terjadinya perdangan pada bronkus dan bronkiolus, serta infeksi pada paru-paru. Peradangan bronkus dan bronkiolus akan mengakibatkan obstruksi jalan napas, dinding bronkiolus melemah dan alveoli pecah.

Disamping itu, merokok akan merangsang leukosit polimorfonuklear melepaskan enzim protease (proteolitik), dan menginaktifasi antiprotease (Alfa-1 anti tripsin), sehingga terjadi ketidakseimbangan antara aktifitas keduanya.

2.Polusi

Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan terjadinya emfisema. Insidensi dan angka kematian emfisema dapat lebih tinggi di daerah yang padat industrialisasi. Polusi udara seperti halnya asap tembakau juga menyebabkan gangguan pada silia, menghambat fungsi makrofag alveolar.

3.Infeksi

Infeksi saluran napas akan menyebabkan kerusakan paru lebih berat. Penyakit infeksi saluran napas seperti pneumonia, bronkiolitis akut, asma bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan napas, yang pada akhirnya dapat menyebabkan terjadinya emfisema.

4.Faktor genetik

Defisiensi Alfa-1 anti tripsin. Cara yang tepat bagaimana defisiensi antitripsin dapat menimbulkan emfisema masih belum jelas.

5.Obstruksi jalan napas

Emfisema terjadi karena tertutupnya lumen bronkus atau bronkiolus, sehingga terjadi mekanisme ventil. Udara dapat masuk ke dalam alveolus pada waktu inspirasi akan tetapi tidak dapat keluar pada waktu ekspirasi. Etiologinya ialah benda asing di dalam lumen dengan reaksi lokal, tumor intrabronkial di mediastinum, kongenital. Pada jenis yang terakhir, obstruksi dapat disebabkan oleh defek tulang rawan bronkus.

Patofisiologi

Emfisema paru merupakan suatu pengembangan paru disertai perobekan alveolus-alveolus yang tidak dapat pulih, dapat bersifat menyeluruh atau terlokalisasi, mengenai sebagian atau seluruh paru.

Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstruksi sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi lebih sukar dari pada pemasukannya. Dalam keadaan demikian terjadi penimbunan udara yang bertambah di sebelah distal dari alveolus.

Pada Emfisema obstruksi kongenital bagian paru yang paling sering terkena adalah belahan paru kiri atas. Hal ini diperkirakan oleh mekanisme katup penghentian.

Pada paru-paru sebelah kiri terdapat tulang rawan yang terdapat di dalam bronkus-bronkus yang cacat sehingga mempunyai kemampuan penyesuaian diri yang berlebihan.

Selain itu dapat juga disebabkan stenosis bronkial serta penekanan dari luar akibat pembuluh darah yang menyimpang. Mekanisme katup penghentian : Pengisian udara berlebihan dengan obstruksi terjadi akibat dari obstruksi sebagian yang mengenai suatu bronkus atau bronkiolus dimana pengeluaran udara dari dalam alveolus menjadi lebih sukar dari pemasukannya dan penimbunan udara di alveolus menjadi bertambah di sebelah distal dari paru.

Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas terutama disebabkan elastisitas paru yang berkurang. Pada paru-paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru ke laur yaitu disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke dalam yaitu elastisitas paru.

Bila terpapar iritasi yang mengandung radikal hidroksida (OH-). Sebagian besar partikel bebas ini akan sampai di alveolus waktu menghisap rokok. Partikel ini merupakan oksidan yang dapat merusak paru. Parenkim paru yang rusak oleh oksidan terjadi karena rusaknya dinding alveolus dan timbulnya modifikasi fungsi dari anti elastase pada saluran napas. Sehingga timbul kerusakan jaringan interstitial alveolus.

Partikel asap rokok dan polusi udara mengenap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus. Sehingga menghambat aktivitas silia. Pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang. Sehingga iritasi pada sel epitel mukosa meningkat. Hal ini akan lebih merangsang kelenjar mukosa. Keadaan ini ditambah dengan gangguan aktivitas silia. Bila oksidasi dan iritasi di saluran nafas terus berlangsung maka terjadi erosi epital serta pembentukanjaringan parut. Selain itu terjadi pula metaplasi squamosa dan pembentukan lapisan squamosa. Hal ini menimbulkan stenosis dan obstruksi saluran napas yang bersifat irreversibel sehingga terjadi pelebaran alveolus yang permanen disertai kerusakan dinding alveoli.

Gejala Klinis

Menurut Corwin. 2000. hal 436 dan Ganong. 2002. hal 663 tanda dan gejala bronkhitis kronis antara lain adalah sebagai berikut :

a. Dada mengembang atau barrel chest

b. Hipoksia hiperkapnia

c. Takipnea

d. Pembentukan mukus

Diagnosis

1.Anamnesa :

Riwayat menghirup rokok.

Riwayat terpajan zat kimia.

Riwayat penyakit emfisema pada keluarga.

Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi misalnya BBLR, infeksi saluran nafas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara.

Sesak nafas waktu aktivitas terjadi bertahap dan perlahan-lahan memburuk dalam beberapa tahun.

Pada bayi terdapat kesulitan pernapasan berat tetapi kadang-kadang tidak terdiagnosis hingga usia sekolah atau bahkan sesudahnya.

2.Pemeriksaan Fisik :

Inspeksi :

Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup).

Dada berbentuk barrel-chest.

Sela iga melebar.

Sternum menonjol.

Retraksi intercostal saat inspirasi.

Penggunaan otot bantu pernapasan.

Palpasi : vokal fremitus melemah.

Perkusi : hipersonor, hepar terdorong ke bawah, batas jantung mengecil, letak diafragma rendah.

Auskultasi :

Suara nafas vesikuler normal atau melemah.

Terdapat ronki samar-samar.

Wheezing terdengar pada waktu inspirasi maupun ekspirasi.

Ekspirasi memanjang.

Bunyi jantung terdengar jauh, bila terdapat hipertensi pulmonale akan terdengar suara P2 mengeras pada LSB II-III.

1. Pemeriksan Penunjang :

a.Faal Paru

Spinometri (VEP, KVP).

Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP 1 < 80 % KV menurun, KRF dan VR meningkat.

VEP, merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya dan perjalanan penyakit.

Uji bronkodilator

Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP 1.

b.Darah Rutin

Hb, Ht, Leukosit.

c.Gambaran Radiologis

Pada emfisema terlihat gambaran :

Diafragma letak rendah dan datar.

Ruang retrosternal melebar.

Gambaran vaskuler berkurang.

Jantung tampak sempit memanjang.

Pembuluh darah perifer mengecil.

d.Pemeriksaan Analisis Gas Darah

Terdapat hipoksemia dan hipokalemia akibat kerusakan kapiler alveoli.

e.Pemeriksaan EKG

Untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai hipertensi pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan.

f.Pemeriksaan Enzimatik

Kadar alfa-1-antitripsin rendah.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan emfisema secara umum meliputi :

1.Penatalaksanaan umum.

2.Pemberian obat-obatan.

3.Terapi oksigen.

4.Latihan fisik.

5.Rehabilitasi.

6.Fisioterapi.

1.Penatalaksanaan umum

Yang termasuk di sini adalah :

a.Pendidikan terhadap keluarga dan penderita

Mereka harus mengetahui faktor-faktor yang dapat mencetuskan eksaserbasi serta faktor yang bisa memperburuk penyakit. Ini perlu peranan aktif penderita untuk usaha pencegahan.

b.Menghindari rokok dan zat inhalasi

Rokok merupakan faktor utama yang dapat memperburuk perjalanan penyakit. Penderita harus berhenti merokok. Di samping itu zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi harus dihindari. Karena zat itu menimbulkan ekserbasi / memperburuk perjalanan penyakit.

c.Menghindari infeksi saluran nafas

Infeksi saluran nafas sedapat mungkin dihindari oleh karena dapat menimbulkan suatu eksaserbasi akut penyakit.

2.Pemberian obat-obatan.

a.Bronkodilator

1.Derivat Xantin

Sejak dulu obat golongan teofilin sering digunakan pada emfisema paru. Obat ini menghambat enzim fosfodiesterase sehingga cAMP yang bekerja sebagai bronkodilator dapat dipertahankan pada kadar yang tinggi ex : teofilin, aminofilin.

2.Gol Agonis 2

Obat ini menimbulkan bronkodilatasi. Reseptor beta berhubungan erat dengan adenil siklase yaitu substansi penting yang menghasilkan siklik AMP yang menyebabkan bronkodilatasi.

Pemberian dalam bentuk aerosol lebih efektif. Obat yang tergolong beta-2 agonis adalah : terbutalin, metaproterenol dan albuterol.

3.Antikolinergik

Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor kolinergik sehingga menekan enzim guanilsiklase. Kemudian pembentukan cAMP sehingga bronkospasme menjadi terhambat ex : Ipratropium bromida diberikan dalam bentuk inhalasi.

4.Kortikosteroid

Manfaat kortikosteroid pada pengobatan obstruksi jalan napas pada emfisema masih diperdebatkan. Pada sejumlah penderita mungkin memberi perbaikan. Pengobatan dihentikan bila tidak ada respon. Obat yang termasuk di dalamnya adalah : dexametason, prednison dan prednisolon.

b.Ekspectoran dan Mucolitik

Usaha untuk mengeluarkan dan mengurangi mukus merupakan yang utama dan penting pada pengelolaan emfisema paru. Ekspectoran dan mucolitik yang biasa dipakai adalah bromheksin dan karboksi metil sistein diberikan pada keadaan eksaserbasi.

Asetil sistein selain bersifat mukolitik juga mempunyai efek anti oksidans yang melindungi saluran aspas dari kerusakan yang disebabkan oleh oksidans.

c.Antibiotik

Infeksi sangat berperan pada perjalanan penyakit paru obstruksi terutama pada keadaan eksaserbasi. Bila infeksi berlanjut maka perjalanan penyakit akan semakin memburuk. Penanganan infeksi yang cepat dan tepat sangat perlu dalam penatalaksanaan penyakit. Pemberian antibiotik dapat mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi. Antibiotik yang bermanfaat adalah golongan Penisilin, eritromisin dan kotrimoksazol biasanya diberikan selama 7-10 hari. Apabila antibiotik tidak memberikan perbaikan maka perlu dilakukan pemeriksaan mikroorganisme.

3.Terapi oksigen

Pada penderita dengan hipoksemia yaitu PaO2 < 55 mmHg. Pemberian oksigen konsentrasi rendah 1-3 liter/menit secara terus menerus memberikan perbaikan psikis, koordinasi otot, toleransi beban kerja.

4.Latihan fisik

Hal ini dianjurkan sebagai suatu cara untuk meningkatkan kapasitas latihan pada pasien yang sesak nafas berat. Sedikit perbaikan dapat ditunjukan tetapi pengobatan jenis ini membutuhkan staf dan waktu yang hanya cocok untuk sebagian kecil pasien. Latihan pernapasan sendiri tidak menunjukkan manfaat.

Latihan fisik yang biasa dilakukan :

Secara perlahan memutar kepala ke kanan dan ke kiri

Memutar badan ke kiri dan ke kanan diteruskan membungkuk ke depan lalu ke belakang

Memutar bahu ke depan dan ke belakang

Mengayun tangan ke depan dan ke belakang dan membungkuk

Gerakan tangan melingkar dan gerakan menekuk tangan

Latihan dilakukan 15-30 menit selama 4-7 hari per minggu

Dapat juga dilakukan olah raga ringan naik turun tangga

Walking joging ringan.

5.Rehabilitasi

Rehabilitasi psikis berguna untuk menenangkan penderita yang cemas dan mempunyai rasa tertekan akibat penyakitnya. Sedangkan rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk memotivasi penderita melakukan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan fisiknya. Misalnya bila istirahat lebih baik duduk daripada berdiri atau dalam melakukan pekerjaan harus lambat tapi teratur.

6.Fisioterapi

Tujuan dari fisioterapi adalah :

Membantu mengeluarkan sputum dan meningkatkan efisiensi batuk.

Mengatasi gangguan pernapasan pasien.

Memperbaiki gangguan pengembangan thoraks.

Meningkatkan kekuatan otot-otot pernapasan.

Mengurangi spasme otot leher.

Penerapan fisioterapi :

1.Postural Drainase :

Salah satu tehnik membersihkan jalan napas akibat akumulasi sekresi dengan cara penderita diatur dalam berbagai posisi untuk mengeluarkan sputum dengan bantuan gaya gravitasi.

Tujuannya untuk mengeluarkan sputum yang terkumpul dalam lobus paru, mengatasi gangguan pernapasan dan meningkatkan efisiensi mekanisme batuk.

2.Breathing Exercises :

Dimulai dengan menarik napas melalui hidung dengan mulut tertutup kemudian menghembuskan napas melalui bibir dengan mulut mencucu. Posisi yang dapat digunakan adalah tidur terlentang dengan kedua lutut menekuk atau kaki ditinggikan, duduk di kursi atau di tempat tidur dan berdiri.

Tujuannya untuk memperbaiki ventilasi alveoli, menurunkan pekerjaan pernapasan, meningkatkan efisiensi batuk, mengatur kecepatan pernapasan, mendapatkan relaksasi otot-otot dada dan bahu dalam sikap normal dan memelihara pergerakan dada.

3.Latihan Batuk :

Merupakan cara yang paling efektif untuk membersihkan laring, trakea, bronkioli dari sekret dan benda asing.

4.Latihan Relaksasi :

Secara individual penderita sering tampak cemas, takut karena sesat napas dan kemungkinan mati lemas. Dalam keadaan tersebut, maka latihan relaksasi merupakan usaha yang paling penting dan sekaligus sebagai langkah pertolongan.

Metode yang biasa digunakan adalah Yacobson.

Contohnya :

Penderita di tempatkan dalam ruangan yang hangat, segar dan bersih, kemudian penderita ditidurkan terlentang dengan kepala diberi bantal, lutut ditekuk dengan memberi bantal sebagai penyangga

Prognosis

Prognosis jangka pendek maupun jangka panjang bergantung pada umur dan gejala klinis waktu berobat.

Penderita yang berumur kurang dari 50 tahun dengan :

Sesak ringan, 5 tahun kemudian akan terlihat ada perbaikan.

Sesak sedang, 5 tahun kemudian 42 % penderita akan sesak lebih berat dan meninggal.

ASMA BRONKIAL

Definisi

Asma adalah gangguan inflamasi kronik yang melibatkan berbagai sel inflamasi dengan akibat penyempitan saluran nafas yang bervariasi, ditandai dengan wheezing, sesak napas, rasa berat di dada, batuk terutama pada malam atau pagi hari. Penyempitan dan gejala dapat bersifat reversible baik secara spontan.

Etiologi

1. Rangsangan alergi. Pada penderita asma alergi timbul dapat akibat menghirup allergen atau setelah mengkonsumsi bahan alergik tersebut.

2. Rangsangan bahan toksik dan iritan. Kelompok ini meliputi asap rokok, polutan, pembuangan pabrik, gasoline dan uap cat.

3. Infeksi. Pada umunya infeksi virus, jamur dan bakteri dapat memicu timbulnya serangan asma namun dapat pula bertindak sebagai allergen. Sinusitis bacterial dan infeksi virus (common cold) merupakan factor terjadinya serangan asma.

4. Obat. Banyak obat yang dikonsumsi menimbulkan serangan asma. Golongan terbanyak adalah penisilin dan golongan vaksen. Penderita yang sensitive terhadap aspirin umumnya 20 menit setelah konsumsi timbul serangan.

5. Penyebab lainnya. Factor fisik dan psikologis. Misalnya kelelahan, perubahan cuaca dan kesedihan.

Faktor Resiko

Resiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara factor host dengan factor lingkungan. Interaksi factor denetik /penjamu dengan lingkungan dipikirkan melalui kemungkinan :

Pajanan lingkungan hanya meningkatkan resiko asma pada individu genetic sama

Lingkungan maupun genetic masing-masing meningkatkan resiko penyakit asma.

1. Faktor pejamu

Asma adalah penyakit yang diturunkan. Fenotip yang berkaitan dengan asma, dikaitkan dengan ukuran subjectif (gejala) dan objectif (hipereaktiviti bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya. Banyak gen yang terlibat dalam pathogenesis asma antara lain CD28, IGPB5, CCR4, CD22, IL9R, reseptor beta agonis : dan gen yang telibat dalam menimbulkan asma dan atopi yaitu IRF2,IL-3, IL-4, IL-5, IL-13, IL-9, CSF2, GRL1, CD14, HLAD, TMOD, dan sebagainya.

Genetik mengontrol respons imun

Gen yang berlokasi pada kompleks HLA mempunyai cirri dalam memberikan respons imun terhadap aeroallergen. Kompleks gen HLA berlokasi pada kromosom 6p dan terdiri atas gen kelas I,II dan III dan lainnya seperti gen TNF-.Genetic mengontrol sitokin proinflamasi

Kromosom 11,12,13 memiliki berbagai gen yang penting dalamm berkembangnya atopi dan asma. Fenotip alergik dikaitkan dengan kromosom 11, kromosom 12 mengandung gen yang mengkode IFN-(, niast cell growth factor, insulin-like growth factor dan nictric oxide synthase. Studi berkesinambungan menunjukkan ada ikatan postif antara petanda-petanda pada lokus 12q, asma dan IgE, demikian pula kromosom 14 dan 19.

Interleukin-4 sangat penting dalam respons imun atopi, baik dalam menimbulkan diferensiasi sel Th2 maupun merangsang produksi IgE pleh sel B. Gen IL-4 dan gen-gen lain yang mengatur regulasi ekspresi IL-4 adalah gen yang berpredisposisi untuk terjadi asma dan atopi.Faktor lingkungan

Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan adalah penyebab utama asma, dengan perngertian factor lingkungan tersebut pada awalnya mensensitisasi jalan napas dan memperthankan kondisi asma tetap aktif dengan mencetuskan serangan asma atau menyebabkan menetapnya gejala.Patogenesis Asma

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan terutama sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag , neutrofil dan sel epitel. Faktor lingkungan dan berbagai factor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten maupun asma persisten. Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang di cetuskan aspirin.

INFLAMASI AKUT

Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah factor antara lain allergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut terdiri atas reaksi asma tipe cepat dan pada sejumlah kasus diikuti reaksi asma tipe lambat.

Reaksi Asma Tipe Cepat

Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed mediator seperti histamine, protease dan newly generated mediator seperti leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, sekresi mucus dan vasodilatasi.

Reaksi Fase Lambat

Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi allergen dan melibatkan pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.

INFLAMASI KRONIK

Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. Sel tersebut ialah limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblast dan otot polos bronkus

Limfosit T

Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtype Th2. Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF. Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE, IL-3, IL-5 serta GM-CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup eosinofil.

Epitel

Sel epitel yang terkativasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran m arkers seperti molekul adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin.

Epitel pada asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym dan metaloprotease sel epitel.

EOSINOFIL

Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil cationic protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran napas.

Sel Mast

Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking reseptor IgE dengan factors pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamine dan protease serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2 dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3, IL-4, IL-5 dan GM-CSF.

Makrofag

Merupakan sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang normal maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway remodeling. Peran melalui a.l sekresi growth-promoting factors untuk fibroblast, sitokin, PDGF dan TGF-.

AIRWAY REMODELING

Proses inflamasi kronik pada asma akan menimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis akan diikuti oleh proses penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel sel mati/rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan regenerasi/perbaikan jaringan yang rusak/injuri dengan jenis sel parenkim yang sama dan pergantian jaringan yang rusak/injuri dengan jaringan penyambung yang menghasilkan jaringan skar.

Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling. Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya seperti maktriks ekstraselular, membrane reticular basal, maktriks interstisial, fibrogenic growth factor, protease dan inhibitornya pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.

Perubahan struktur yang terjadi :

Hipertrofi dan hyperplasia otot polos jalan napas

Hipertrofi dan hyperplasia kelenjar mucus

Penebalan membrane reticular basal

Pembuluh darah meningkat

Matriks ekstraselular fungsinya meningkat

Perubahan struktur parenkim

Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis

Konsekuensi klinis airway remodeling adalah peningkatan gejala dan tanda asma seperti hipereaktiviti jalan napas, masalah distensibiliti/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan pengobata dari proses tersebut.

Gambaran Klinik

Umumnya penderita asma mengeluh sesak napas kumat-kumatan, dada terasa berat, sukar bernapas disertai batuk tanpa dengan dahak. Gejala demikian mungkin timbul satu tahun sekali atau dua kali. Atau tiap bulan sekali, atau satu minggu sekali atau setiap hari.

Keluhan timbul setelah melakukan aktifitas, paska menghirup bahan allergen, makan,minum,marah,ketawa, batuk, olahraga, atau kecewa.

Pada serangan suara nafas berbunyi wheezing, kedua tapak tangan tertumpu ke kursi, wajah berkeringat dan flushing, pergerakan cuping hidung, bibir dan ujung jari kebiruan (cyanosis).

Diagnosis Asma

Umumnya, diagnosis asma tidaklah sulit, tetapi pada kasus tertentu kadang-kadang sukar dibedakan dengan penyakit lain yang memberikan gejala yang serupa. Ada kalanya gejala yang muncul hanya batuk atau sesak atau mungkin hanya rasa berat di dada. Maka untuk kasus-kasus seperti ini diperlukan pemeriksaan yang lebih cermat dan mungkin perlu beberapa pemeriksaan penunjang.

Rangkaian pemeriksaan yang dilakukan untuk mendiagnosis penyakit asma, terdiri dari: anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

Anamnesis

Anamnesis pada penderita asma sangatlah penting. Tujuannya, selain untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding, anamnesis juga berguna untuk menyususn srategi pengobatan pada penderita asma. Pada anamnesis akan kita jumpai adanya keluhan, batuk, sesak, mengi dan atau rasa berat di dada yang timbul secara tiba-tiba dan hilang secara spontan atau dengan pengobatan. Tetapi adakalanya juga penderita hanya mengeluhkan batuk-batuk saja yang umumnya timbul pada malam hari atau sewaktu kegiatan jasmani ataupun hanya pada musim-musim tertentu saja. Disamping itu, mungkin adanya riwayat alrgi baik pada penderita maupun pada keluarganya, seperti rhinitis alergi, dermatitik atopic dapat membantu menegakakan diagnosis.

Yang perlu juga diketahui adalah faktor-faktor pencetus serangan, dengan mengetahui factor pencetus kemudian menghindarinya, diharapkan gejala asma dapat dicegah. Faktor-faktor pencetus pada asma, terdiri dari:

Allergen, baik yang berupa inhalasi seperti debu rumah, tungau, serbuk sari, bulu binatang, kapas, debu kopi atau the, maupun yang berupa makanan seperti udang, kepiting, zat pengawet, zat pewarna dan sebagainya.

Infeksi saluran napas, terutama oleh virus seperti Respiratory syncitial, parainfluensa dan sebagainya.

Kegiatan jasmani/ olahraga, seperti lari.

Ketegangan atau tekanan jiwa.

Obat-obatan, seperti penyekat beta, salisilat, kodein, AINS dan sebagainya.

Polusi udara atau bau yang merangsang, seperti asap rokok, semprot nyamuk, parfum dan sebagainya.

Berdasarkan hal-hal di atas, maka seseorang dicurigai menderita asma apabila:

Sesak atau batuk yang berkepanjangan setelah menderita influenza

Batuk-batuk setelah olahraga, terutama pada anak-anak atau rasa berat atau tercekik pada dada sehabis olahraga (yang terbukti tidak ada kelainan jantung)

Sesak atau batuk-batuk pada waktu ruang berdebu atau berasap

Batuk-batuk setelah mencium bau tertentu

Batuk-batuk atau sesak yang sering timbul pada malam hari dan tidak berkurang sesudah duduk.

Dengan kata lain, bila seseorang mengeluh sesak, batuk atau mengi yang tidak bisa diterangkan penyebabnya, kita perlu mencurigai itu suatu asma. Atau yeng membedakan asma dengan penyakit paru lain yaitu pada asma serangan dapat hilang dengan atau tanpa obat. Artinya, serangan asma ada yang hilang dengan sendirinya tanpa pengobatan. Tetapi, membiarkan penderita asma dalam srangan tanpa obat selain tidak etis, juga bisa membahayakan nyawa penderita.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik, selain berguna untuk menegakkan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding, juga berguna untuk mengetahui penyakit-penyakit yang mungkin menyertai asma. Pemeriksaan fisik meliputi seluruh badan, mulai dari kepala sampai ke kaki.

Kelainan fisik pada penderita asma tergantung pada obstruksi saluran napas (beratnya serangan) dan saat pemeriksaan. Pada saat serangan, tekanan darah bisa naik, frekuensi pernapasan dan denyut nadi juga meningkat, mengi (wheezing) sering dapat terdengar tanpa statoskop, ekpirasi memanjang (lebih dari 4 detik atau 3 kali lebih panjang dari inspirasi) disertai ronki kering dan mengi. Hiperinflasi paru yang terlihat dengan peningkatan diameter anteroposterior rongga dada, dimana pada perkusi akan terdengan hipersonor. Pernapasan cepat dan susah, ditandai dengan pengaktifan otot-otot bantu pernapasan, sehingga tanpak retraksi suprasternal, supraklavicula dan sel iga dan pernapasan cuping hidung.

Dalam praktek, jarang dijumpai kesulitan dalam menegakkan diagnosis asma, tetapi batuk, sesak ataupun mengi (wheezing) tidak hanya dijumpai pada penderita asma, untuk itu, perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut lagi untuk menegakkan diagnosis.

Pemeriksaan Penunjang

1.Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan darah tepi, terutama jumlah eosinofil total sering meningkat pada pasien asma, dan hal ini dapat membantu untuk membedakan asma dengan bronchitis kronik. Jumlah eosinofil menurun dengan pemberian kortikosteroid, sehingga dipakai juga untuk patokan cukup tidaknya dosis kortikosteroid yang dibutuhkan pada pasien asma.

Pada pemeriksaan sputum, dimana sputum eosinofil sangat karakteristik untuk asma, sedangkan neutrofil sangat dominan pada bronchitis kronik. Selain untuk melihat adanya eosinofil, Kristal Charcot-Leyden, dan Spiral Curschmann, pemeriksaan ini penting untuk melihat adanya miselium Aspergillus fumigates.

Pemeriksaan analisis gas darah, hanya dilakukan pada asma yang berat. Pada fase awal serangan terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO2 < 35 mmHg) kemudian pada fase yang lebih berat PaCO2 justru mendekati normal sampai normokapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat berat terjadinya hiperkapnia (PaCO2 > 45 mmHg), hipoksemia dan asidosis respiratorik.

2.Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologis dada ditujukan untuk menyingkirkan penyakit lain yang memberikan gejala serupa, seperti ggal jantung kiri, atau menemukan penyakit lain yang menyertai asma seperti tuberculosis, atau mendeteksi adanya komplikasi asma seperti pneumothoraks, pneumomediastinum, atelektasis dan lain-lain.

3.Uji Kulit

Tujuan tes ini adalah untuk mengetahui adanya antibody IgE yang spesifik pada kulit, yang secara tidak langsung menggambarkan adanya antibody yang serupa pada saluran napas penderita asma. Tes ini hanya menyokong anamnesis, karena allergen yang menunjukkan tes kulit positif tidak selalu merupakan pencetus serangan asma, demikian pula sebaliknya.

4.Pemeriksaan Spirometri

Spirometri merupakan alat yang digunakan untuk mengukur faal ventilasi paru. Pemeriksaan ini sangat penting baik dalam diagnostic dan penilaian beratnya asma maupun dalam pengololaan dan penilaian keberhasilan pengobatan, sama dengan tensimeter dalam diagnostic dan pengelolaan hipertensi atau glukometer pada diabetes mellitus.

Cara yang paling cepat dan sederhana untuk menegakkan diagnosis asma adalah dengan melihat respons pengobatan dengan bronkodilator.

Reversibilitas penyempitan saluran napas yang merupakan ciri khas asma dapat dinilai dengan meningkatnya FEV1 dan atau FVC sebanyak 20% atau lebih sesudah pemberian bronkodilator. Tetapi tidak adanya peningkatan sebesar 20% tidak berarti bukan asma. Hal ini dapat dijumpai pada penderita yang sudah normal atau mendekati normal. Respons mungkin juga tidak dijumpai pada obstruksi saluran napas yang berat oleh karena dosis tunggal aerosol tidak cukup memberikan efek seperti yang diharapkan mungkin perlu pemberian obat kombinasi (agonis beta 2, teofilin dan kortikosteroid).

Penilaian beratnya obstruksi dapat dilihat pada rendahnya FEV1 dan FEV1/FVC atau perbandingan FEV1 yang diukur dengan FEV1 yang prediktif.

Derajat obstruksi FEV1 (liter) FEV1/FVC FEV1/FEV1p

Apabila tes spirometri dengan bronkodilator hasilnya diragukan dapat dilakukan tes pemantauan faal paru untuk jangka waktu 1-3 minggu dengan Miniright Peak Flowmeter, dimana APE diukur tiga kali sehari ditambah ekstra pada saat munculnya sesak. Apabila selisih APE yang tertinggi dengan yang terendah 20% atau lebih merupakan petanda asma.

5.Tes Provokasi Brokial

Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukkan adanya hiperaktivitas bronkus dilakukan tes provokasi bronkus. Tes ini tidak dilakukan apabila tes spirometri menunjukkan resersibilitas 20% atau lebih.

Ada beberapa cara yang dilakukan untuk tes provokasi bronchial seperti tes provokasi histamine, metakolin, allergen, kegiatan jasmani, hiperventilasi dengan udara dingin bahkan inhalasi dengan aqua destila. Penurunan FEV1 sebesar 20% atau lebih setelah tes provokasi merupakan pertanda adanya hiperaktivitas bronkus.

KomplikasiBerbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah:

Status asmatikus adalah setiap serangan asma berat atau yang kemudian menjadi berat dan tidak memberikan respon (refrakter) adrenalin dan atau aminofilin suntikan dapat digolongkan pada status asmatikus. Penderita harus dirawat dengan terapi yang intensif.

Atelektasis adalah pengerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan yang sangat dangkal.

Hipoksemia adalah tubuh kekurangan oksigen

Pneumotoraks adalah terdapatnya udara pada rongga pleura yang menyebabkan kolapsnya paru.

Emfisema adalah penyakit yang gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran nafas karena kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami kerusakan yang luas.PENATALAKSANAAN ASMA KRONISAsma adalah kelainan kronis yang walaupun tidak bisa disembuhkan, penatalaksanaan yang tepat seringkali dapat mengontrol penyakit ini dengan baik. Tujuan dari suksesnya penatalaksanaan dari asma adalah :11-mencapai dan menjaga agar gejala dapat terkontrol

-mencegah eksaserbasi asma

-mempertahankan fungsi paru sedekat mungkin dengan normal

-mempertahankan level aktivitas yang normal

-mencegah efek samping dari obat-obat asma

-mencegah terjadinya obstruksi saluran nafas ireversibel

-mencegah kematian akibat asma

Tujuan terapi diatas mencerminkan pengertian baru tentang asma dan penatalaksanaannya.Telah disepakati bahwa asma adalah penyakit kronis, dengan inflamasi saluran nafas kronis yang berkembang progresif dan mengakibatkan episode berulang dari obstruksi saluran nafas, produksi sputum dan batuk. Banyak studi menyatakan bahwa pada asma yang lebih berat dari asma intermiten ringan lebih efektif dikontrol dengan menekan dan menghilangkan inflamasi, dibanding hanya dengan mengobati bronkokonstriksi dan gejala lain yang berhubungan. Ada 6 bagian penatalaksanaan asma.11Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol).

Tujuan :

Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma;

Mencegah eksaserbasi akut;

Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin;

Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise;

Menghindari efek samping obat;

Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel;

Mencegah kematian karena asma.

Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi genetiknya.

Dalam penatalaksanaan asma perlu adanya hubungan yang baik antara dokter dan pasien sebagai dasar yang kuat dan efektif, hal ini dapat tercipta apabila adanya komunikasi yang terbuka dan selalu bersedia mendengarkan keluhan atau pernyataan pasien, ini merupakan kunci keberhasilan pengobatan.

Pada prinsipnya penatalaksanaan asma diklasifikasikan menjadi:

1) Penatalaksanaan asma akut/saat serangan, dan

2) Penatalaksanaan asma jangka panjang

1. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan) Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui oleh pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah dan apabila tidak ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan cepat.

Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah :

bronkodilator (2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida)

kortikosteroid sistemik

Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya 2 agonis kerja cepat yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapatdiberikan secara sistemik. Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral.

Pada keadaan tertentu (seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya)kortikosteroid oral (metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3- 5 hari. Pada serangan sedang diberikan 2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus atau drip). Pada anak belum diberikan ipratropium bromida inhalasi maupun aminofilin IV.Bila diperlukan dapat diberikan oksigen dan pemberian cairan IV

Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, 2 agoniskerja cepat ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV (bolus atau drip). Apabila 2 agonis kerja cepat tidak tersedia dapat digantikan dengan adrenalin subkutan.

Pada serangan asma yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU. Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan nebuliser. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (MDI) dengan alat bantu (spacer).

Penatalaksanaan asma jangka panjang Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma.

Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi:

1) Edukasi;

2) Obat asma (pengontrol dan pelega); dan

3) Menjaga kebugaran.

4) Edukasi

Edukasi yang diberikan mencakup :

Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan

Mengenali gejala serangan asma secara dini

Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya

Mengenali dan menghindari faktor pencetus

Kontrol teratur

Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain :

Inhalasi kortikosteroid

2 agonis kerja panjang

antileukotrien

teofilin lepas lambat

BAGIAN 1.11Edukasi Penderita Untuk Mengembangkan Kebersamaan Dalam Penata laksanaanAsma.Tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan pengertian pasien tentang penyakit dan penanganannya, dan hal ini diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan terhadap pengobatan yang diberikan. Tujuan lain adalah agar pasien dapat mempraktekkan penanganan secara pribadi, terutama dalam mengidentifikasi dan menghindari pencetus dari asma , juga mengenal dan mengatasi eksaserbasi pada stadium paling dini. Pertama-tama, pasien harus tahu tentang penyakitnya, bahwa gejalanya adalah obstruksi saluran nafas, dan pengobatan ditujukan baik untuk pencegahan maupun menghilangkan obstruksi ini.Yang penting lagi adalah menjelaskan bahwa asma adalah penyekit kronis yang tidak bisa sembuh total.Pasien harus tahu bahwa gejala akan sering muncul dan adanya eksaserbasi harus sudah dipikirkan. Harus diyakinkan juga bahwa dengan penanganan yang baik, hal diatas dapat diminimalkan.Rencana pengobatan individu juga harus ditetapkan, termasuk manfaat bermacam obat asma, juga efek sampingnya.Pengenalan tentang obat pengontrol dan pelega juga harus diberikan.Yang terpenting adalah untuk mengenali dan menangani eksaserbasi sedini mungkin sehingga menghindari morbiditas yang lebih serius, bahkan kematian.BAGIAN 2.11Menilai dan Memonitor Derajad Asma dengan Pengukuran Gejala dan PengukuranFungsi Paru.Untuk mengukur gejala, diajukan pertanyaan mengenai seberapa seringkah penderita memakai obat-obat reliever dan seberapa seringkah penderita mengalami gejala malam hari seperti batuk, mengi dan sesak.Juga penting ditanyakan seberapa sering penderita membatasi aktivitas normalnya.Sedangkan pengukuran fungsi paru bisa memakai spirometri ataupun peak expiratory flow (PEF). Adalah penting untuk menilai derajad penyakit, menilai besarnya variasi diurnal dari fungsi paru, monitor respon terapi selama eksaserbasi akut, mendeteksi perburukan faal paru yang asimtomatis dan mencegahnya untuk menjadi lebih berat, memonitor respon terhadap pengobatan kronis dan identifikasi triger. BAGIAN 3.11Menghindari Atau Mengontrol Pencetus Asma.Dengan cara menghindari segala bentuk alergen seperti alergen indoor ( kutu, alergen binatang, kecoa, jamur), menghindari alergen diluar rumah, menghindari polusi udara di dalam dan di luar rumah, menghindari pajanan di tempat kerja, menghindari alergen makanan dan obat, vaksinasi dan imunoterapi spesifik. Hal diatas dapat mencegah eksaserbasi, mengurangi kebutuhan obat. Kebanyakan pasien dengan asma kronis mempunyai bermacam pencetus, sehinga dengan menghindari satu macam pencetus saja, manfaatnya sangat berbeda pada satu pasien dengan pasien lain.Vaksinasi influenza dapat menyebabkan pengurangan insiden infeksi saluran nafas atas, sehingga menurunkan kejadian eksaserbasi, walaupun hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut.BAGIAN 4.11

Menetapkan perencanaan Pengobatan Untuk Manajemen Jangka Panjang.

Dalam menetapkan rencana pengobatan jangka panjang untuk mencapai dan menjaga agar gejala asma terkontrol dengan memakai obat-obatan asma. Obat asma digunakan untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala dan obstruksi saluran nafas, terdiri dari obat controller dan reliever.

4.1.OBAT CONTROLLER 8.11Controller adalah obat yang diminum harian dan jangka panjang dengan tujuan untuk mencapai dan menjaga asma persisten yang terkontrol. Terdiri dari obat antiinflamasi dan bronkodilator long acting. Kortikosteroid inhalasi merupakan controller yang paling efektif. Obat controller juga sering disebut sebagai obat profilaksis, preventif atau maintenance. Obat controller termasuk Kortikosteroid inhalasi, Kortikosteroid sistemik, sodium kromoglikat dan sodium nedokromil, teofilin lepas lambat, beta2-agonist long acting inhalasi dan oral, dan mungkin ketotifen atau antialergi oral lain. 4.1.1.Kortikosteroid 8.11Rute pemberian bisa secara inhalasi ataupun sistemik (oral atau parenteral). Mekanisme aksi antiinflamasi dari kortikosteroid belum diketahui secara pasti. Beberapa yang ditawarkan adalah berhubungan dengan metabolisme asam arakidonat, juga sintesa leukotrien dan prostaglandin, mengurangi kerusakan mikrovaskuler, menghambat produksi dan sekresi sitokin, mencegah migrasi dan aktivasi sel radang dan meningkatkan respon reseptor beta pada otot polos saluran nafas.Studi tentang kortikosteroid inhalasi menunjukkan kegunaannya dalam memperbaiki fungsi paru, mengurangi hiperrespon saluran nafas, mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan beratnya eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup. Dosis tinggi dan jangka panjang kortikosteroid inhalasi bermanfaat untuk pengobatan asma persisten berat karena dapat menurunkan pemakaian koetikosteroid oral jangka panjang dan mengurangi efek samping sistemik. Untuk kortikosteroid sistemik, pemberian oral lebih aman dibanding parenteral. Jika kortikosteroid oral akan diberikan secara jangka panjang, harus diperhatikan mengenai efek samping sistemiknya. Prednison, prednisolon dan metilprednisolon adalah kortikosteroid oral pilihan karena mempunyai efek mineralokortikoid minimal, waktu paruh yang relatif pendek dan efek yang ringan terhadap otot bergaris. Pendapat lain menyatakan kortikosteroid sistemik dipakai pada penderita dengan penyakit akut, pasien yang tidak tertangani dengan baik memakai bronkodilator dan pada pasien yang gejalanya menjadi lebih jelek walaupun telah diberi pengobatan maintenance yang baik. Efek samping lokal kortikosteroid inhalasi adalah kandidiasis orofaring, disfonia dan kadang batuk. Efek samping sistemik tergantung dari potensi, bioavailabilitas, absorpsi di usus, metabolisme di hepar dan waktu paruhnya. Beberapa studi menyatakan bahwa dosis diatas 1 mg perhari beclometason dipropionat atau budesonid atau dosis ekuivalen kortikosteroid lain, berhubungan dengan efek sistemik termasuk penebalan kulit dan mudah luka, supresi adrenal dan penurunan metabolisme tulang. Efek sistemik pemakaian jangka panjang kortikosteroid oral adalah osteoporosis, hipertensi arterial, diabetes melitus, supresi HPA aksis, katarak, obesitas, penipisan kulit dan kelemahan otot. Global Initiative For Asthma (GINA) memberikan petunjuk pemakaian kortikosteroid untuk pencegahan jangka panjang berdasarkan beratnya asma pada orang dewasa sebagai berikut: 1.

Asma dengan serangan intermitten (step 1) tidak memerlukan steroid preventif, bila perlu dapat dipakai steroid oral jangka pendek. 2.

Asma persisten ringan (step 2) memerlukan inhalasi 200-400 mcg/hari beclometason dipropionat, budesonid atau ekuivalennya.3.

Asma persisten sedang (step 3) memerlukan inhalasi 800-2000 mcg/hari 4.

Asma persisten berat (step 4) memerlukan 800-2000 mcg/hari atau lebih.Sesuai dengan anjuran ini, pengobatan dengan dosis maksimal (800-1500 mcg/hari) selama 1-2 minggu diperlukan untuk mengendalikan proses inflamasi secara cepat, dan kemudian dosis diturunkan sampai dosis terendah (200-800 mcg/hari) yang masih dapat mengendalikan penyakit. Kortikosteroid Macam

PotensiAntiinflamasi

Potensi Ekuivalen (mg)

PotensiRetensi Na

Waktu ParuhBiologik

Cortisol

1

20

2+

8-12

Cortison

0.8

25

2+

8-12

Prednison

3.5

5

1+

18-36

Prednisolon

4

5

1+

18-36

Methylprednisolone

5

4

0

18-36

Triamcinolon

5

4

0

18-36

Parametason

10

2

0

36-54

Betametason

25

0.6

0

36-54

Dexamethason

30

0.75

0

36-54

4.1.2. Sodium Kromoglikat dan Sodium Nedokromil 8.11Sodium kromoglikat adalah antiinflamasi non steroid, dan mekanisme kerja yang pasti belum diketahui. Obat ini terutama menghambat pelepasan mediator yang dimediasi oleh IgE dari sel mast dan mempunyai efek supresi selektif terhadap sel inflamasi yang lain (makrofag, eosinofil, monosit). Obat ini diberikan untuk pencegahan karena dapat menghambat reaksi asma segera dan reaksi asma lambat akibat rangsangan alergen, latihan, udara dingin dan sulfur dioksida. Pemberian jangka panjang menyebabkan penurunan nyata dari jumlah eosinofil pada cairan BAL dan penurunan hiperrespon bronkus nonspesifik. Bisa digunakan jangka panjang setelah asma timbul, dan akan menurunkan gejala dan frekuensi eksaserbasi.Sodium nedokromil memiliki kemampuan antiinflamasi 4-10 kali lebih besar dibanding sodium kromoglikat. Walau belum jelas betul, nedokromil menghambat aktivasi dan pelepasan mediator dari beberapa sel inflamasi. Juga sebagai pencegahan begitu asma timbul.4.1.3. Teofilin Lepas Lambat 8.11Obat ini merupakan golongan metilxantin utama yang dipakai pada penatalaksanaan asma. Mekanisme kerja teofilin sebagai bronkodilator masih belum diketahui, tetapi mungkin karena teofilin menyebabkan hambatan terhadap phospodiesterase (PDE) isoenzim PDE IV, yang berakibat peningkatan cyclic AMP yang akan menyebabkan bronkodilatasi.Teofilin adalah bronkodilator yang mempunyai efek ekstrapulmonar, termasuk efek antiinflamasi. Teofilin secara bermakna menghambat reaksi asma segera dan lambat segera setelah paparan dengan alergen. Beberapa studi mendapatkan teofilin berpengaruh baik terhadap inflamasi kronis pada asma.Banyak studi klinis memperlihatkan bahwa terapi jangka panjang dengan teofilin lepas lambat efektif dalam mengontrol gejala asma dan memperbaiki fungsi paru. Karena mempunyai masa kerja yang panjang, obat ini berguna untuk mengontrol gejala nokturnal yang menetap walaupun telah diberikan obat antiinflamasi.Efek sampingnya adalah intoksikasi teofilin, yang dapat melibatkan banyak sistem organ yang berlainan. Gejala gastrointestinal, mual dan muntah adalah gejala awal yang paling sering. Pada anak dan orang dewasa bisa terjadi kejang bahkan kematian. Efek kardiopulmoner adalah takikardi, aritmia dan terkadang stimulasi pusat pernafasan.Dosis golongan methyl xantine adalah 5 mg/Kg BB dalam 10-15 menit untuk loading dose dan 20 mg/Kg BB/24 jam untuk dosis pemeliharaan dengan dosis maksimum 1500 mg/24 jam. Adapun therapeutic dose adalah 10-20 mg/dl.4.1.4. Beta2-Agonis Long Acting 8.11Termasuk didalamnya adalah formoterol