Carsinoma Sinonasal

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    1/22

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Angka kejadian keganasan hidung dan sinus paranasal tergolong

    rendah, akan tetapi diagnosis dini kasus ini seringkali mengakibatkan keterlambatan

    penatalaksanaan, sehingga memerlukan perhatian khusus oleh dokter umum maupun

    ahli Telinga Hidung Tenggorokan (THT). Dari data ditemukan bahwa keganasan

    hidung dan sinus paranasal hanya merupakan 1% dari seluruh tumor ganas tubuh, dan

    3% dari keganasan di kepala dan leher. 1,2,5,10 Dengan predileksi tersering adalah di

    sinus maksila (70-80%), diikuti sinus etmoid dan hidung (20-30%), sedangkan sinus

    frontal dan sfenoid jarang dijumpai (kurang dari 1%).1,4

    Secara anatomis hidung dan sinus paranasal merupakan suatu struktur dan

    rongga yang berhubungan erat. Keganasan di hidung dapat lebih cepat terlihat dan

    menimbulkan gejala, tetapi keganasan di sinus yang merupakan rongga tersembunyi

    di dalam tulang-tulang pembentuk wajah, tidak mungkin terlihat hanya melalui

    pemeriksaan fisik biasa. Seringkali diagnosis baru ditegakkan setelah tumor sudah

    merusak struktur di sekitarnya sehingga asal tumor sangat sulit ditentukan. 1

    Hidung tersumbat, epistaksis dan rinorea merupakan gejala utama yang sering

    dikeluhkan pasien. Gejala ini mirip dengan rhinitis dan sinusitis pada umumnya,

    sehingga seringkali lewat dari pengamatan dokter pemeriksa. Gejala dan tanda klinis

    serta beragamnya gambaran histologis keganasan ini, memerlukan pemeriksaan

    histopatologik melalui biopsi untuk menentukan jenisnya. Pemeriksaan radiologik

    tomografi komputer (CT-Scan) atau MRI mempunyai peranan penting untuk

    menentukan asal dan perluasan tumor serta pengobatan yang akan dilakukan.1

    Umumnya keganasan hidung dan sinus paranasal ditemukan sudah berada dalam

    stadium lanjut, sehingga penanganannya harus bersifat multidisiplin dengan bagian

    yang terkait.1,2

    1

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    2/22

    1.1 Epidemologi

    Keganasan sinonasal jarang terjadi. Mereka lebih umum di Asia dan Afrika

    daripada di Amerika Serikat. Dibagian Asia, keganasan sinonasal adalah peringkat

    kedua yang paling umum dan kanker leher karsinoma nasoaring belakang. Pia yangterkena 1,5 kali lebih sering dibandingkan wanita, dan 80% dari tumor ini terjadi ada

    orag berusia 45 - 85 tahun. Sekitar 60-70% dari keganasan sinonasal terjadi pada

    sinus maksilaris dan 20-30% terjadi pada rongga hidung sendiri. Diperkirakan 10-

    15% terjadi pada sel-sel udara ethmoid (sinus), dengan minoritas sisa neoplasma

    ditemukan di sinus frontal dan sphenoid.3

    Kejadian tahunan tumor hidung di Amerika Serikat diperkirakan kurang dari 1

    dala 100.000 orang per tahun. Tumor ini paling sering terjadi dalam putih, dan insiden

    ada laki - laki adalah dua kali dari perempuan. Tumor epitel yang paling sering hadir

    dalam dekade kelima dan keenam usia.4

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 ANATOMI1,6

    2

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    3/22

    1. Hidung

    Hidung dibagi menjadi vestibulum, dan rongga hidung karena struktur anatomis

    keduanya berbeda. Vestibulum hidung yang merupakan pintu masuk ke rongga

    hidung merupakan rongga hidung bagian anterior, diliputi oleh epitel kulit yang

    mengandung rambut serta folikel rambut dan kelenjar sebasea. Bagian lateral

    dibatasi oleh tulang rawan lateral bawah (lower lateral cartilages) dan bagian

    medial, dibatasi kolumela septum.

    Rongga hidung dibagi menjadi dua oleh septum nasi, dimulai dari daerah

    transisi antara epitel kulit vestibulum, mukosa hidung, dan ke belakang sampai ke

    koana. Septum nasi sebagian besar dibentuk oleh tulang rawan septum di bagian

    anterior dan bagian tulang di bagian posterior dibentuk oleh perpendicular tulang

    etmoid yang juga membentuk kribriformis dan tulang vomer yang membentuk

    bagian bawah septum. 1,6

    Mukosa yang meliputi rongga hidung adalah epitel toraks berlapis semu

    bersilia yang mengandung kelenjar serosa yang menghasilkan mukus. Epitel

    olfaktorius menempati daerah yang paling superior dari rongga hidung yang

    langsung berhubungan dengan saluran olfaktorius di daerah kribriformis. Dinding

    lateral rongga hidung dibentuk oleh konka inferior, media dan superior. Di bawah

    masing-masing konka terdapat meatus. Ostium duktus nasolakrimal terdapat di

    meatus inferior. Bagian yang penting dari dinding lateral rongga hidung adalah

    konka media yang di bawahnya terdapat meatus media dengan kompleks

    osteomeatal dimana terdapat muara dari sinus-sinus anterior antara lain sinus

    maksila, etmoid anterior dan frontal. Konka superior yang kadang-kadang tidak

    terbentuk, di bagian bawah terdapat meatus superior dimana terdapat ostia sinus

    sfenoid dan etmoid posterior.

    3

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    4/22

    2. Sinus maksila1,6,9

    Sinus maksila mulai berkembang pada usia 3 tahun dan berkembang cepat pada

    usia 7-18 tahun mencapai ukuran dewasa sebesar 34 x 33 x 23 mm atau volume

    rata-rata 14,75-15 mL. Sinus maksila (Antrum of Highmore) merupakan rongga

    sinus terbesar, terletak di dalam tulang maksila (tulang pipi), jumlah sepasang, dan

    umunya simetris. Sinus maksila berbentuk piramid dengan dasar dinding lateral

    rongga hidung, dan puncaknya ke arah prosesus zygomatikus.

    Gambar 1. Anatomi sinus paranasal (lateral). Sumber: Netter FH. Paranasal sinuses. In: Netter FH.

    Atlas of Human Anatomy. 3rdedition. New Jersey: ICON Learning Systems, 2003. p. 45

    Atapnya merupakan dasar orbita, dan lantai sinus dibatasi oleh prosesus alveolar.

    Dinding anterior yaitu fosa kanina, memisahkan sinus maksila dengan kulit pipi.

    Kurang lebih 1 cm di bawah dinding orbita inferior terdapat foramen infraorbita

    yang mengandung pembuluh darah, dan saraf infraorbita yang memperdarahi dan

    mempersarafi gingiva, dentis kanina serta insisivus atas. Dinding posterior dibatasi

    oleh fosa infratemporal, dan pterigomaksila berhubungan dengan arteri

    sfenopalatina yang merupakan cabang terbesar dari arteri maksilaris interna.

    3. Sinus etmoidalis

    Sinus etmoidalis atau labirin merupakan rongga-rongga kecil, sehingga disebut

    juga sel etmoid, mulai terbentuk pada bulan ke 3 - 4 kehidupan janin sebagai

    proses evaginasi dinding lateral hidung di daerah meatus media (etmoid anterior)

    dan meatus superior (etmoid posterior). Pada waktu lahir jumlahnya hanya 3-4 sel

    dan cepat berkembang sampai mencapai jumlah 10-15 sel pada usia 12 tahun,

    dengan total volume 14-15 ml. Sel etmoid terletak di pertengahan atas rongga

    hidung dan medial rongga orbita.

    4

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    5/22

    a. b.

    Gambar 2. Sinus paranasal. A. Potongan koronal. B. Potongan melintang. Sumber: Netter FH.

    Paranasal sinuses. In: Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 3 rd edition. New Jersey: ICON Learning

    Systems, 2003. p. 43-4

    4. Sinus frontalis1,9

    Sinus frontalis secara radiologis belum terlihat pada usia kurang dari 2 tahun, dan

    terbentuk lengkap pada usia akhir belasan. Besar dan bentuk sinus frontal sangat

    bervariasi, bahkan pada 5% populasi salah satu sisi sinus tidak berkembang.

    Ukuran dewasa rata-rata 28 x 27 x 17 mm dengan volume 6-7 ml. Sinus ini

    berhubungan dengan rongga hidung melalui resesus frontal yang berjalan ke

    bawah dan belakang dan bermuara di sebelah atas infudibulum, atau bermuara

    langsung di meatus media. Lapisan diploik bagian tulang frontal (dahi) merupakan

    batas anterior sinus frontal, sedangkan bagian posterior sinus dibentuk oleh lapisan

    tulang yang padat yang memisahkan sinus frontal dari fosa kranii anterior.

    5. Sinus sfenoidalis

    Sinus sfenoidalis mencapai ukuran dewasa pada usia 12-15 tahun, dengan ukuran

    14 x 14 x 12mm dan volume rata-rata 7,5ml.

    Kedua sinus sfenoid kiri dan kanan dipisahkan oleh septum intersinus.

    Sinus ini bermuara di meatus superior, berupa ostium kecil di resesus sfenoetmoid

    yang berlokasi 10 mm di atas dasar sinus atau kurang-lebih 30 mm dari lantairongga hidung. Di atas sinus terdapat kelenjar hipofise dan saraf optikus,

    5

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    6/22

    sedangkan di lateral terdapat sinus kavernosus, fisura orbita superior dan arteri

    karotis interna. Tulang yang membentuk sinus sfenoid merupakan tulang yang tipis

    dan hanya diliputi oleh mukosa sehingga tindakan kuret harus dilakukan sangat

    hati-hati karena dapat merusak struktur penting di sekitarnya.

    6. Sistem Limfatik1

    Pembuluh limfe di sinus paranasal

    sangat sedikit sekali, sehingga

    metastasis ke kelenjar limf regional

    terjadi bila tumor primer sudah meluas

    ke struktur di sekitar sinus paranasal

    yang lebih banyak mengandung

    jaringan limfatik seperti nasofaring,

    mukosa pipi, palatum, kulit pipi dan

    rongga hidung. Aliran limfe yang

    berasal dari rongga hidung dan

    palatum terutama menuju ke sistim

    limfatik nasofaring selanjutnya menuju

    ke kelenjar limf retrofaring dan faring

    lateral di dasar tengkorak, sedangkan

    aliran limf dari sinus paranasal sendiri

    akan menuju ke kelenjar limf

    parafaring dan retrofaring, selanjutnya

    ke kelenjar subdigastrik.

    Gambar 3. Aliran limfatik pada regio kepala dan

    leher. Sumber: Netter FH. Lymphatic System:Head

    and Neck Region. In: Netter FH. Atlas of Human

    Anatomy. 3rd edition. New Jersey: ICON Learning

    Systems, 2003. p. 6

    6

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    7/22

    2.2 PATOFISIOLOGI

    2.3 HISTOPATOLOGI1,2,5,10

    Tumor hidung dan sinus paranasal secara garis besar dikelompokkan menjadi tumor epitel,

    non epitel dan metastasis tumor.

    Tumor ganas epitel

    Tumor ganas epitel yang sering dijumpai (sekitar 80-90%) adalah karsinoma sel

    skuamosa, dengan lokasi tersering adalah di sinus maksila (70-80%), sinus etmoid 10-22%,

    hidung sekitar 12%, sinus sfenoid sekitar 2% dan di sinus frontal yang paling jarang

    ditemukan yaitu, kurang dari 1%, kemudian kanker kelenjar liur, adenokarsinoma, karsinoma

    tanpa diferensiasi, dan lain-lain.1,2,6

    Karsinoma sel skuamosa yang ditemukan umumnya berdifferensiasi baik, tumbuh

    agak lambat dan jarang bermetastasis jauh atau regional. Adenokarsinoma dan adenosistik

    karsinoma yang termasuk tumor epitel yang berasal dari kelenjar liur minor jumlahnya sekitar

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    8/22

    10-14 %, sering ditemukan di sinus etmoid, maksila dan hidung. Tumor ini dibagi menjadi 2

    jenis yaitu, gradasi rendah (low grade) dan gradasi tinggi (high grade) dengan tingkat

    metastasis yang tinggi (30%). Low grade adenocarcinoma cenderung untuk terjadi rekurensi

    lokal. Sedangkan sepertiga dari pasien dengan high grade adencarcinoma akan disertai

    metastasis jauh. Pembagian histopatologis terbaru adenokarsinoma sinonasal adalah dengan

    membaginya menjadi dua tipe yakni salivary gland-type adenocarcinoma dan non-salivary

    gland-type adenocarcinoma yang kemudian dibagi lagi menjadi tipe intestinal dan non-

    intestinal.11 Pendekatan untuk adenokarsinoma sinus paranasal meliputi reseksi kraniofasial

    anterior, rinotomi lateral, dan teknik endonasal dengan atau tanpa radioterapi. Angka

    bertahan hidup 5 tahun pada pasien pasca operasi dan radiasi berkisar 55% untuk T1 dan T2,

    28% untuk T3, dan 25% untuk lesi T4.5

    Melanoma malignum dapat juga ditemukan di hidung dan sinus paranasal, paling

    sering terdapat di rongga hidung, sinus etmoid, maksila dan frontal. Jumlahnya kira-kira 1%

    dari seluruh keganasan di daerah ini. Tumor ini mudah residif dan sering bermetastasis jauh

    secara limfogen dan hematogen.

    Mukoepidermoid karsinoma sangat jarang ditemukan di daerah ini. Dari 400 kasus

    karsinoma mukoepidermoid di kepala dan leher, hanya ditemukan 21 kasus yang terdapat di

    hidung dan sinus paranasal. Tumor jenis ini cenderung di temukan dalam stadium lanjut dan

    lebih dar-i 25% telah bermetastasis jauh.1

    Tumor ganas non-epitel

    Tumor ganas yang berasal dari mesoderm ini hanya menempati 5% dari seluruh keganasan di

    hidung dan sinus paranasal. Termasuk dalam jenis ini antara lain, rabdomiosarkoma,

    fibrosarkoma, ameloblastoma maligna, osteogenik sarcoma, plasmasitoma, dan limfoma

    maligna. Secara keseluruhan tumor ganas non epitel ini sangat sulit diobati baik secara

    pembedahan maupun dengan radiasi ataupun dengan kemoterapi sehingga prognosisnya

    sangat buruk. Limfoma malignum biasanya jenis non Hodgkin's, dapat secara lokal tumbuh

    di hidung dan sinus paranasal atau bagian dari lesi yang bersifat sistemik. 1,2

    Metastasis tumor

    Walaupun sangat jarang, hidung dan sinus paranasalis dapat merupakan tempat metastasis

    jauh. Metastasis tumor hidung dan sinus paranasal menimbulkan gejala yang mirip dengan

    tumor primer yang paling sering berasal dari payudara, ginjal dan karsinoma paru.

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    9/22

    2.4 ARAH PERLUASAN TUMOR

    Struktur anatomi kraniofasial yang kompleks dan hubungan yang sangat erat serta dekat

    dengan organ vital, menyebabkan perluasan tumor primer hidung dan sinus paranasal

    mengenai organ vital dan organ lainnya terjadi pada awal perjalanan penyakit ini. Sebagai

    contoh, dari 80 % seluruh keganasan yang primernya di sinus maksila, kurang dari 25 %

    kasus yang masih terbatas di sinus maksila pada saat pertama diagnosis ditegakkan.

    Keganasan yang primernya di sinus etmoid jarang terjadi, sinus frontal dan sfenoid lebih

    jarang lagi, biasanya sudah meluas ke organ sekitarnya.

    Perluasan keganasan hidung dan sinus paranasal dapat bersifat lokal melalui perluasan

    langsung atau regional dan metastasis jauh. Tumor primer yang masih kecil dan terbatas di

    rongga hidung atau sinus sering tidak menimbulkan gejala sampai tumor tersebut meluas ke

    sekitarnya. Tumor ganas di rongga hidung dapat meluas ke sisi lain dengan menimbulkan

    destruksi septum, ke sinus maksila, etmoid, nasofaring, palatum atau lebih jauh lagi, meluas

    ke sisi lain dengan menimbulkan destruksi septum, ke sinus maksila, etmoid, nasofaring,

    palatum atau lebih jauh lagi, meluas ke rongga orbita atau fosa kranii anterior.

    Tumor sinus maksila dapat meluas melalui fisura atau foramen disekitarnya. Ke

    posterior dan lateral meluas ke fosa Pterigopalatina dan Infratemporal. Ke superior melalui

    fisura orbita superior masuk ke rongga orbita. Ke fosa kranii media melalui foramen

    rotundum, ke posterior ke pars petrosus tulang temporal atau ke rongga mulut melalui kanalis

    palatina. 1

    2.5 ETIOLOGI1,2,4,6

    Berbagai faktor diajukan sebagai etiologi keganasan di hidung dan sinus paranasal.

    Setelah terpapar bahan-bahan karsinogen diperlukan waktu laten kurang lebih 20-30 tahun

    untuk dapat berkembang menjadi keganasan. Lebih dari 44% keganasan di hidung dan sinus

    paranasal menunjukkan adanya paparan karsinogen industri maupun rumah tangga, seperti

    nikel, kromium, larutan isopropil, gas hidrokarbon, dan debu serat organik. Bahan-bahan

    kimia ini banyak terdapat pada industi kayu, kulit dan tekstil.1,4,6 Terpaparnya debu kayu pada

    industri furnitur dan penggergajian kayu, menyebabkan insidens yang sangat tinggi terjadinya

    adenokarsinoma di sinus etmoid, yaitu 1000 x lebih sering dibanding populasi normal. 1,2,5

    Debu kayu tidak memiliki sifat mutagenik, akan tetapi apabila terakumulasi di mukosa dapat

    mengakibatkan inflamasi kronis sehingga turnover rate mukosa meningkat dan pada akhirnya

    memicu hiperplasia dan metaplasia mukosa yang dapat berlanjut menjadi keganasan.12

    Ciri

    gambaran histologisnya adalah adenokarsinoma tipe intestinal (golongan non-salivary gland-

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    10/22

    type adenocarcinoma).12

    Menurut Sakai, 80 % pasien dengan karsinoma sinus maksila mempunyai latar

    belakang sinusitis kronis untuk berkembang menjadi keganasan adalah 36 kali lebih besar

    dari orang sehat.4

    2.6 GEJALA KLINIS1,2,4,5,10

    Tumor primer di rongga hidung sulit diketahui apakah dimulai dari rongga hidung

    atau perluasan tumor dari sinus maksila atau etmoid, sebab secara anatomis daerah tersebut

    berhubungan. Hal yang sering dijumpai pertama kali pasien datang adalah bahwa tumor

    sudah meluas mengenai seluruh rongga hidung dan sinus paranasal bahkan sudah mengenai

    kulit pipi, palatum, orbita dan dasar tengkorak, sehingga secara klinis sangat sulit

    menentukan asal tumor. Pada stadium yang lebih awal, gejala yang timbul tergantung dari

    tempat asal dan perluasan tumor. Gejala yang ditimbulkan sulit dibedakan dengan

    peradangan kronis di hidung dan sinus paranasal sampai tumor tumbuh menjadi stadium

    lanjut. Pada pasien yang lebih tua adanya keluhan hidung atau sinus yang bersifat unilateral

    seperti poliposis atau keluhan sumbatan, epistaksis, anosmia harus dicurigai adanya

    keganasan. Adanya rasa nyeri dan pembengkakkan dahi mungkin dapat disebabkan oleh

    keganasan di sinus frontal. Keganasan di sinus sfenoid secara dini sulit dikenal, sampai tumor

    ini keluar dari sinus sfenoid dan sering terlihat sebagai tumor nasofaring atau sfenoetmoid.

    Gejala tersering pada keganasan di sinus maksila yaitu benjolan di pipi yang

    menyebabkan asimetris wajah akibat perluasan tumor ke dinding sinus anterior. Lebih dari

    50% keganasan di sinus maksila dan etmoid terdapat keluhan rinore dan nyeri di daerah pipi

    atau pangkal hidung. Keganasan di sinus maksila, tumor dapat meluas ke superior dan masuk

    rongga orbita sehingga menyebabkan proptosis, atau ke inferior menyebabkan keluhan gigi-

    geligi berupa gigi goyang, bahkan tanggal, atau meluas ke posterior melalui rongga

    pterigomaksila, masuk ke fosa kranii media dan menyebabkan gangguan neurologis.

    Gejala mata terdapat pada 25% pasien yang disebabkan oleh perluasan tumor melalui

    dinding orbita inferior atau melalui lamina papirasea. Gejala yang timbul berupa, diplopia,

    berkurangnya visus dan eksoftalmus, bahkan pada stadium lanjut terjadi pelebaran jarak

    antara kedua kantus medial mata. Rasa penuh di kelopak mata bawah dan epifora

    menunjukkan keterlibatan rima orbita atau struktur lakrimalis. Pada stadium lanjut terdapat

    gangguan neurologis karena kerusakan saraf-saraf kranial akibat perluasan tumor ke dasar

    tengkorak.

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    11/22

    2.7 DIAGNOSIS1,2,5

    Anamnesis

    Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan dalam penegakkan diagnosis

    keganasan di hidung dan sinus paranasal. Pada stadium awal sering berupa sumbatan, rinore,

    epistaksis, nyeri di daerah sinus dan pembengkakan pipi yang juga merupakan gejala

    peradangan umumnya. Kurang lebih 9-12 % keganasan di hidung dan sinus paranasal

    stadium awal bersifat asimptomatis. Riwayat terpapar bahan-bahan kimia karsinogen yang

    dihubungkan dengan pekerjaan atau lingkungan perlu diketahui untuk mencari kemungkinan

    faktor resiko.

    Pemeriksaan Fisik

    Pemeriksaan fisik THT harus seteliti mungkin dengan penerangan yang cukup, baik dengan

    alat-alat konvensional maupun dengan endoskopi. Adanya asimetri wajah atau proptosis

    dapat disebabkan oleh pertumbuhan atau desakan tumor di hidung dan sinus paranasal.

    Adanya massa di rongga hidung, harus dideskripsikan dengan lengkap baik warna,

    permukaan, konsistensi, rapuh/tidak, mudah berdarah serta perluasannya. Jika dinding lateral

    kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada di sinus maksila. Pemeriksaan rongga

    mulut harus dilakukan apakah ada massa tumor di palatum atau sulkus gingivobukalis, bila

    perlu digunakan sarung tangan untuk meraba apakah terdapat destruksi tulang palatum,

    penonjolan atau gigi yang goyah.1,2

    Pemeriksaan nasofaring dilakukan untuk mengetahui adanya massa tumor yang berasal dari

    sinus sfenoid atau perluasan tumor hidung ke posterior. Pemeriksaan lain yang harus

    dilakukan adalah, pemeriksaan telinga, adakah otitis media atau tuli konduktif akibat masa

    tumor yang menutup tuba Eustakius, pemeriksaan visus dan gerakan bolamata, pemeriksaan

    saraf perifer dan pemeriksaan kelenjar getah bening leher walaupun keganasan di hidung dan

    sinus paranasal jarang bermetastasis ke kelenjar getah bening regional.

    Pemeriksaan penunjang

    Pemeriksaan Radiologis

    Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto polos sinus (posisi Waters atau lateral),

    tomografi komputer (CT Scan) atau MRI. Pada lebih dari 60% kasus, adanya destruksi tulang

    dapat terlihat pada foto polos, tetapi adanya invasi tumor ke jaringan lunak kurang jelas

    terlihat. Kadang-kadang pada keganasan yang masih terbatas, dengan pemeriksaan foto

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    12/22

    polos, masih terkesan normal. Perselubungan di rongga sinus sulit dibedakan dengan proses

    peradangan. Sehingga penleriksaan foto polos untuk keganasan di hidung dan sinus paranasal

    sudah jarang digunakan.

    CT Scan dan MRI dapat mengisi kekurangan pada foto polos, karena dengan jelas

    dapat terlihat adanya destruksi tulang, besar dan perluasan tumor primer ke jaringan lunak,

    sehingga derajat invasi tumor tergambarkan. Selain itu, dapat dinilai adanya metastasis ke

    kelenjar getah bening regional. CT Scan lebih baik dalam memperlihatkan gambaran

    destruksi tulang, sedangkan pada MRI adanya invasi ke jaringan lunak lebih jelas terlihat dan

    lebih tidak invasif dibandingkan dengan pemeriksaan CT Scan.

    a. b.

    Gambar 4.a. Pasien dengan tumor sinonasal kiri. 4.b. Gambaran CT-Scan pasien 4.a. dengan keterlibatan seltumor pada kavum nasi kiri, antrum maksila, etmoid, dan orbita. Sumber: Fasunla AJ, Lasisi AO. Sinonasal

    Malignancies: A 10-Year Review in a Tertiary Health Institution. JNMA;99:1407-10

    Biopsi

    Setiap keganasan hidung dan sinus paranasal harus dilakukan biopsi untuk

    menegakkan diagnosis yang definitif dan merencanakan pengobatan. Pada umumnya pasien

    datang sudah dalam stadium lanjut dan tumor sudah terdapat di rongga hidung bahkan sudahmenginfiltrasi kulit. Biopsi cukup dilakukan pada massa tumor yang terlihat dan mudah

    dicapai. Jika dicurigai tumor jenis vaskuler, misalnya hemangioma atau angiofibroma, jangan

    lakukan biopsi karena sulit untuk menghentikan perdarahan yang terjadi. Untuk kasus tumor

    vaskuler, diagnosis dapat ditegakkan dengan angiografi.1,2

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    13/22

    2.8 KLASIFIKASI STADIUM1,3,4,5,10

    Klasifikasi stadium karsinoma sinus paranasal sampai saat ini masih kontroversial,

    sedangkan untuk karsinoma sinus frontal dan sfenoid sampai saat ini belum ada sistim

    klasifikasi stadium yang dipakai secara luas, karena keganasan di daerah ini sangat jarang

    ditemukan.1,2,3 Onhgren tahun 1933, pertama sekali membuat sistim stadium keganasan di

    sinus maksila , dengan membagi sinus maksila menjadi bagian Anteroinferior (Infrastruktur)

    dan Postero superior (Suprastruktur) berdasarkan garis imajiner yang ditarik dari angulus

    mandibula ke kantus medial mata. Onhgren membuat korelasi secara umum yaitu, tumor

    yang berasal dari bagian Supra struktur mempunyai prognosis yang lebih buruk dibanding

    dari Infra struktur. Sissons tahun 1963, mengadopsi sistim TNM dan menambahkan uraian

    daerah Onhgren. Sakai tahun 1985 mengusulkan sistim TNM dan sistim ini juga dipakai oleh

    UICC dan AJCC. Klasifikasi stadium diatas hanya untuk keganasan di sinus maksila.1

    Uraian lengkap yang terbaru dan banyak dipakai saat ini yaitu berdasarkan UICC

    (Union Internationale Contre le Cancer) atau International Union Against Cancer edisi ke 6

    tahun 2002s klasifikasi ini hanya untuk karsinoma di sinus maksila, etmoid, dan rongga

    hidung, serta harus dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologis. Penulis sendiri mengambil

    sumber dari AJCC Cancer Staging Manual sebagai sumber dalam pengklasifikasian yang

    serupa dengan UICC dimana penilaian TNM didasari atas pemeriksaan fisik, dan penunjang

    antara lain nasoendoskopi, foto Rontgen, CT-Scan, MRI, ataupun modalitas pencitraan

    terkini lainnya.3

    Klasifikasi TNM adalah sebagai berikut :

    T Tumor Primer

    TX Tumor primer tidak diketahui

    T0 Tidak terbukti adanya tumor primer

    Tis Karsinoma insitu

    Sinus Maksila

    T1 Tumor terbatas di mukosa dan tidak ditemukan erosi atau destruksi tulang

    T2 Tumor sudah mengakibatkan erosi atau destruksi tulang, meluas ke

    palatum durum dan atau meatus media tanpa perluasan ke dinding

    posterior sinus maksila dan tulang pterigoid

    T3 Tumor sudah menginvasi salah satu organ : dinding posterior sinus

    maksila, jaringan subkutan, dasar atau medial orbita, fossa pterigoid, sinus

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    14/22

    etmoid

    T4a Tumor sudah menginvasi salah satu organ : masuk anterior orbita, kulit

    pipi, os pterigoid, fosa infratemporal, kribriformis, sinus sphenoid atau

    frontal

    T4b Tumor sudah menginvasi salah satu organ : apeks orbita, dura/

    intraserebral, fosa kranii media, saraf cranial selain cabang maksila saraf

    trigeminal (V2), nasofaring atau klivus

    Rongga hidung dan Sinus etmoid

    T1 Tumor terbatas pada salah satu organ di rongga hidung atau satu sisi sinus

    etmoid, dengan atau tanpa invasi tulang

    T2 Tumor sudah meluas ke dua organ di rongga hidung atau ke dua sisi sinus

    etmoid, atau meluas ke kompleks nasoetmoid, dengan atau tanpa invasi

    tulang

    T3 Tumor sudah meluas dan menginvasi dinding medial atau lantai orbita,

    sinus maksila, palatum, daerah kribriformis

    T4a Tumor sudah menginvasi salah satu organ : masuk anterior orbita, kulit

    pipi atau hidung, os pterigoid, perluasan minimal ke fosa kranii anterior,

    sinus sphenoid atau frontal

    T4b Tumor sudah menginvasi salah satu organ : apeks orbita, dura/

    intraserebral, fosa kranii media, saraf cranial selain cabang maksila saraf

    trigeminal (V2), nasofaring atau klivus

    N = Kelenjar Getah Bening Regional

    Nx adanya metastasis ke KGB regional tidak dapat dinilai

    N0 Tidak terdapat metastasis ke KGB regional

    N1 Metastasis ke salah satu kgb regional ipsilateral degan diameter terbesar

    sama dengan atau kurang dari 3 sentimeter

    N2 Metastasis ke salah satu kgb ipsilateral den-an diameter terbesar antara 3

    cm Sampai 6 cm, atau multiple ipsilateral, atau bilateral atau kontra lateral

    dengan diameter terbesar kurang dari 6 crn

    N2a Metastasis ke salahsatu kgb ipsilateral dengan diameter terbesar antara 3

    sampai 6 cm

    N2b Metastasis ke kgb multiple ipsilateral dengan diameter terbesar kurang 6

    cm

    N2c Metastasis ke kgb bilateral atau kontralateral dengan diameter terbesar

    sampai 6 cm

    N3 Metastasis ke kgb dengan diameter terbesar lebih dari 6 cm

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    15/22

    M = Metastasis Jauh

    Mx Adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai

    M0 Tidak terdapat metastasis jauh

    M1 Terdapat metastasis jauh

    KLASIFIKASI STADIUM TNM

    Stadium 0 Tis N0 M0

    Stadium I T1 N0 M0

    Stadium II T2 N0 M0

    Stadium IIIT1,T2 N1 M0

    T3 N0. N1 M0

    Stadium IVaT1,T2,T3 N2 M0

    T4a No, N1, N2 M0

    Stadium IVbT4b Setiap N M0

    Setiap T N3 M0Stadium IVc Setiap T Setiap N M1

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    16/22

    2.9 PENGOBATAN1,4,5,6

    Pembedahan

    Pembedahan pada keganasan hidung dan sinus paranasal merupakan modalitas utama dan

    lebih sering bertujuan untuk pengobatan yang bersifat kuratif. Eksisi paliatif biasanya

    dilakukan untuk tumor yang sangat besar untuk mengurangi nyeri dengan dekompresi

    terhadap struktur penting atau debulking sebagai persiapan pemberian radiasi dan

    kemoterapi. Pembedahan sebagai pengobatan tunggal pada keganasan di hidung dan sinus

    paranasal, prognosis bertahan hidup selama 5 tahun mempunyai variasi luas antara 19

    86%.5

    Pada tumor yang terbatas di vestibulum, tumor dapat diangkat secara adekuat dengan

    reseksi sebagian hidung, setelah reseksi defek dapat langsung di rekonstruksi dengan "local

    flap" atau "forehead flap" pada defek yang lebih besar. Pada rinektomi, defek akan lebih

    mudah ditutup dengan prostesis hidung. Tumor yang masih terbatas di dinding lateral hidung

    dapat diangkat dengan eksisi luas dengan pendekatan rinotomi lateral atau "mid facial

    degloving". Bila tumor sudah meluas ke sinus maksila atau etmoid, dilakukan maksilektomi

    medial dengan cara pendekatan rinotomi lateral. Bila tumor melibatkan lempeng kribiformis,

    atap hidung atau etmoid, biasanya membutuhkan reseksi kraniofasial anterior.6

    Tumor di septum nasi bila masih terbatas pada bagian anterior, dapat dilakukan eksisi

    luas dengan pendekatan rinotomi lateral atau "mid facial degloving". Bila telah meluas ke

    vestibulum, dasar rongga hidung, eksisi luas masih dapat dilakukan dengan pendekatan

    Weber-Fergusson atau Rinektomi total.

    Pembedahan sinus paranasal, pertama kali diperkenalkan oleh Lizars pada tahun 1822

    yang pertama kali melakukan maksilektomi.1 Beberapa modifikasi maksilektomi dapat

    dilakukan yaitu maksilektomi medial dengan pendekatan rinotomi lateral, maksilektomi

    parsial maupun total, dan maksilektomi radikal yang sekaligus melakukan eksentrasi obita.

    Maksilektomi medial bermanfaat untuk tumor hidung dan sinus etmoid yang mengenai pula

    dinding medial antrum. Maksilektomi partial dilakukan untuk mengangkat tumor yang

    mengenai bagian superior atau inferior antrum.4 Sejak saat itu mulai dilakukan pembedahan

    radikal sinus maksila, berupa maksilektomi radikal dengan dan tanpa eksentrasi orbita.

    Dalam 20 tahun terakhir, maksilektomi radikal mulai ditinggalkan dan diganti dengan

    maksilektomi parsial, terutama dengan makin pesatnya perkembangan pemeriksaan radiologi

    seperti CT-Scan dan MRI sehingga perluasan tumor dapat diketahui dengan akurat. Saat ini

    maksilektomi total (pengangkatan seluruh maksila) dengan atau tanpa eksentrasi orbita hanya

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    17/22

    dilakukan pada tumor yang sudah meluas ke gingiva-alveolar, palatum durum, daerah

    pterigoid atau ke rongga orbita.1

    Tumor sinus maksila stadium I dan II masih dapat diangkat dengan maksilektomi

    partial dengan pendekatan rinotomi lateral atau "midfacial degloving", sedangkan bila

    stadium III, harus dilakukan maksilektomi total dengan atau tanpa eksentrasi orbita dan

    dikombinasikan dengan radiasi pasca operasi. Jika tumor telah mencapai periorbita,

    diperlukan operasi radikal termasuk eksentrasi orbita. Eksentrasi orbita dilakukan bila

    terdapat infiltrasi luas ke rongga orbita. Menurut Harrison, eksentrasi perlu dilakukan jika

    terdapat proptosis bola mata, hambatan gerak bola mata,dan jelas terdapat destruksi tulang.

    Indikasi mutlak adalah jika tumor telah menginfiltrasi periorbita, sel etmoid posterior dan

    apeks orbita. 1,4

    Pada tumor stadium IVa , tumor masih dapat diangkat dengan maksilektomi total

    dengan atau tanpa eksentrasi orbita dan dikombinasi dengan kraniotomi anterior, pendekatan

    ini disebut reseksi kraniofasial. Tumor stadium IVb, masih dapat diangkat walaupun sifatnya

    debulking dan dilanjutkan dengan radiasi atau kombinasi dengan kemoterapi. Bila terdapat

    metastasis ke kgb regional seharusnya dilakukan dulu diseksi kgb leher. Pada tumor stadium

    IVc (lanjut), pembedahan hanya bersifat paliatif.

    Tumor sinus etmoid stadium I (masih terbatas di mukosa), dapat diangkat dengan

    pendekatan etmoidektomi ekstranasal atau secara endoskopik intranasal. Pada stadium yang

    lebih lanjut, pendekatannya seperti tumor di sinus maksila.1,4

    Rekonstruksi dan rehabilitasi2,5

    Sesudah maksilektomi total, harus dipasang prostesis maksila sebagai tindakan rekonstruksi

    dan rehabilitasi, supaya pasien tetap dapat melakukan fungsi menelan dan berbicara dengan

    baik, di samping perbaikan kosmetis melalui operasi bedah plastik. Dengan tindakan-

    tindakan ini pasien dapat bersosialisasi kembali dalam keluarga dan masyarakat.

    Radioterapi1,5,6,7

    Respon radioterapi pada keganasan hidung dan sinus paranasal bervariasi, tergantung dari

    stadium dan jenis histopatologis tumor. Radiasi dapat digunakan sebagai terapi tunggal, pada

    kasus keganasan limforetikuler seperti limfoma malignum, midline granuloma atau pada

    kasus kondisi buruk atau menolak untuk tindakan bedah. Radiasi juga dapat diberikan setelah

    pembedahan sebagai ajuvan pada kasus dimana tumor sulit diangkat secara total, atau dengan

    batas yang tidak bebas tumor, atau sebagai terapi paliatif untuk mengurangi nyeri dan

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    18/22

    menghentikan perdarahan pada tumor stadium lanjut. Pada umumnya, dosis radiasi yang

    diperlukan adalah 50 Gy.

    Kemoterapi1,5

    Kemoterapi pada keganasan hidung dan sinus paranasal umumnya sebagai terapi paliatif

    untuk mengurangi nyeri, obstruksi dengan mengecilkan tumor, atau pada kasus stadium

    lanjut dengan metastasis jauh. Kemoterapi dapat bersifat ajuvan setelah pembedahan atau

    radiasi untuk mencegah metastasis jauh, atau neo-ajuvan sebelum pembedahan untuk

    mempertahankan organ yang terkena tumor, walaupun manfaat masih banyak diperdebatkan.

    Untuk keganasan terutama karsinoma kepala dan leher umumnya, kombinasi cisplatin,

    methotrexate, dan 5 fluoro-urasil merupakan obat pilihan yang paling banyak digunakan.

    Menurut Samant et al (2004), penggunaaan Cisplatin intraarterial disertai radiasi pada

    keganasan sinus paranasal dapat meningkatkan angka bertahan hidup 5 tahun menjadi 53%.

    2.10 PROGNOSIS1,2

    Sedikit dan tidak khasnya gejala yang ditimbulkan pada keganasan hidung dan sinus

    paranasal menyebabkan sangat jarang pasien datang dalam keadaan stadium dini. Faktor yang

    mempengaruhi prognosis antara lain perbedaan diagnosis histology, asal tumor primer,

    perluasan tumor, pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi

    adjuvant yang diberikan, status imunologis, lamanya follow-up dan banyak lagi. 2 Umumnya

    pasien datang dalam stadium lanjut, tumor sudah meluas ke seluruh struktur hidung dan sinus

    paranasal, sehingga asal tumor tidak diketahui dan sulit mengangkat tumor secara "en bloc".

    Hal ini menyebabkan prognosis penyakit sampai saat ini masih buruk. Sampai beberapa

    dekade terakhir, belum tampak peningkatan yang bermakna terhadap angka bertahan hidup

    (survival rates) pada seluruh keganasan hidung dan sinus paranasal. Angka bertahan hidup

    selama 5 tahun rerata seluruh keganasan sinus maksila berkisar antara 20-50%, hal yang sama

    juga berlaku untuk keganasan sinus paranasal lainnya.1 Tapi dengan pengobatan yang agresif

    dan multimodalitas, angka bertahan hidup 5 tahun dapat meningkat sebesar 75% untuk

    seluruh stadium tumor.

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    19/22

    2.11 KOMPLIKASI 7, 9

    Komplikasi mengobati keganasan sinus berhubungan dengan pembedahan dan

    rekonstruksi. Komplikasi bedah termasuk perdarahan klinis signifikan, kebocoran LCS,

    infeksi, anosmia, dysgeusia, dan kerusakan saraf kranial lainnya.

    1) Perdarahan

    Perdarahan dapat terjadi jika kontrol dari kapal besar yang terlupakan. Masalah ini

    dapat terjadi jika arteri pada awalnya di vasospasme dan jika tidak ada perdarahan

    aktif dicatat sampai setelah operasi. Arteri ethmoid dan sphenopalatina anterior dan

    posterior dapat dibakar, dipotong, atau diikat untuk mencegah atau mengendalikan

    perdarahan. Jika diperlukan, radiologi intervensi dapat diminta untuk membantu

    dengan intra-arteri melingkar untuk mengontrol perdarahan.

    2) CSF kebocoran

    Selama operasi, kebocoran LCS dapat terjadi dekat dasar tengkorak. Manajemen yang

    tepat dimulai dengan identifikasi.Gejala mungkin termasuk Rhinorrhea jelas, rasa asin

    di mulut, tanda halo, atau tanda reservoir. Setelah mencatat, identifikasi kebocoran

    dapat dibuat endoskopi atau dengan injeksi intratekal dari fluorecin. Tes, seperti tes

    untuk tau atau beta transferin, mungkin yang paling spesifik, tapi mungkin butuh

    beberapa hari untuk hasil untuk diproses.

    Manajemen konservatif dengan istirahat dan menguras lumbal dapat digunakan untuk

    5 hari pertama di samping penempatan pada antibiotik. Jika resolusi tidak terjadi,

    intervensi bedah harus digunakan, termasuk menambal dengan allograft kulit, tulang

    turbinate, dan mukosa hidung. Flaps mukosa dapat dinaikkan dan digunakan untuk

    menutup kebocoran dengan tulang atau tulang rawan interpositioned. Untuk

    kebocoran besar, menguras tulang belakang mungkin diperlukan untuk

    memungkinkan cangkok dan teknik penyegelan untuk memperkuat dan

    mengintegrasikan.

    3) Epiphora

    Epiphora adalah komplikasi umum dari operasi yang disebabkan oleh obstruksi pada

    saluran keluar lacrimalis. Hal ini dapat terjadi karena kerusakan pada puncta

    lacrimalis, karung, atau saluran.Perawatan harus diambil untuk marsupialize duktus

    lakrimal jika terkoyak atau rusak dalam operasi untuk mencegah obstruksi.Tindak

    lanjut dacryocystorhinostomy endoskopik atau terbuka mungkin diperlukan.

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    20/22

    4) Diplopia

    Diplopia adalah komplikasi yang dikenal dalam setiap operasi yang melibatkan

    kerucut orbital. Perbaikan yang tepat dari lantai orbital adalah kunci untuk mencegah

    komplikasi ini, tetapi dalam beberapa kasus itu tidak dapat dihindari bahkan dengan

    teliti rekonstruksi. Dalam kasus diplopia, lensa prisma biasanya metode yang paling

    sederhana untuk koreksi, sebagai koreksi bedah dengan oftalmologi dapat rumit oleh

    jaringan parut dari operasi sebelumnya dan pengobatan radiasi. Konsultasi

    Oftalmologi adalah standar perawatan.

    5) Rekonstruksi

    Dalam kasus yang ideal, rekonstruksi mempertahankan bentuk dan fungsi. Sebuah

    flap rektus bebas atau jaringan lain yang jauh mungkin diperlukan untuk melindungi

    struktur vital, atau prostetik wajah dapat digunakan. Prostesis wajah dapat ditawarkan

    untuk meningkatkan hasil kosmetik, tetapi pemeliharaan teliti dari prostesis oleh tim

    dan pasien adalah keharusan.

    Pengrusakan wajah adalah salah satu keprihatinan pasien yang paling penting dan

    dapat menyebabkan stres sosial dan psikologis yang cukup besar. Hasil ini harus

    ditangani pada awalnya dan secara berkelanjutan.

  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    21/22

    BAB V

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Armiyanto. Keganasan hidung dan sinus paranasal. Dibawakan pada Satelit

    Simposium Penanganan Mutakhir Kasus Telinga Hidung Tenggorok. Hotel

    Borobudur, Jakarta 12 April 2003. PKB bagian THT FKUI/RSCM.

    2. Roezin A, Armiyanto. Tumor hidung dan sinonasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,

    editor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Ed. 5.

    Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001; h.178-81.

    3. American Joint Committee on Cancer (AJCC). Nasal Cavity and Paranasal Sinuses.

    In : Greene FL, Page DL, et al. AJCC Cancer Staging Handbook. 6th ed. Philadelphia

    : Lippincott-Raven, 2002. H.39.

    4. Roezin A. Terapi bedah tumor ganas sinus maksila. Dalam: Kumpulan Naskah Ilmiah

    PERHATI. Jakarta: The Indonesian Otorhinolaringological Society, 1995: 1139-47

    5. Zimmer LA, Carrau RL. Neoplasms of the nose and paranasal sinuses. In : Bailey BJ,

    Johnson JT, Newlands SD. Head and neck surgery-Otolaryngology.4th ed. vol 2.

    Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2006. h.1481-1498.

    6. Rassekh CH. Nose and paranasal sinus. In : Close LG, Larson DL, Shsh JP.

    Essentials of head and neck oncology. New York : Thieme, 1998.h.125-134.

    7. Susworo R. Radioterapi pada kasus kanker kavum nasi dan sinus paranasal. In :

    Dasar-Dasar Radioterapi dan Tatalaksana radioterapi penyakit Kanker. Jakarta: UI-

    Press, 2006; hal 64-76

    8. Dhillon RS, East CA.An illustrated color text : Ear, Nose and Throat and head andneck surgery.2nd ed. Philadelphia : Churchill-Livingstone, 2000. h. 30-6

    9. Soetjipto D, Mangunkusumo E. Sinus paranasal. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N,

    editor. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. Ed. 5.

    Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2001; h.145-9.

    10. Shao W, Vasanth A. Malignant tumor of the nasal cavity. Diperbarui: 16 November

    2007. Diunduh dari http://www.emedicine.com tanggal 17 Juli 2008.

    http://www.emedicine.com/http://www.emedicine.com/
  • 7/29/2019 Carsinoma Sinonasal

    22/22

    11. Leivo I. Update on Sinonasal Adenocarcinoma: Classification and Advances in

    Immunophenotype and Molecular Genetic Make-Up. Diperbarui: 28 November 2007.

    Diunduh dari http://www.springerlink.com tanggal 14 Oktober 2008.

    12. Escuredo PJ, Llorente JL, et al. Genetic and clinical aspects of wood dust related

    intestinal-type sinonasal adenocarcinoma: a review. Diperbarui: 17 Juni 2008.

    Diunduh dari http://www.springerlink.com tanggal 14 Oktober 2008.

    http://www.springerlink.com/http://www.springerlink.com/http://www.springerlink.com/http://www.springerlink.com/