76
DAMPAK KEBIJAKAN RASKIN TERHADAP POLA KONSUMSI PANGAN POKOK LOKAL DI PAPUA NUR SAIDAH SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

DAMPAK KEBIJAKAN RASKIN TERHADAP POLA KONSUMSI … · pada beras dan peningkatan produksi dihadapkan pada masalah produktivitas yang ... pangan pokok lokal yang berpotensi seperti

  • Upload
    lamdung

  • View
    234

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

DAMPAK KEBIJAKAN RASKIN TERHADAP POLA KONSUMSI PANGAN POKOK LOKAL DI PAPUA

NUR SAIDAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Dampak Kebijakan Raskin terhadap Pola Konsumsi Pangan Pokok Lokal di Papua adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Nur Saidah NRP H151114024

RINGKASAN NUR SAIDAH. Dampak Kebijakan Raskin terhadap Pola Konsumsi Pangan Pokok Lokal di Papua. Dibimbing oleh SRI HARTOYO dan SRI MULATSIH.

Negara Indonesia sebagai negara agraris masih mengimpor kebutuhan pangan, terutama beras. Program swasembada pangan yang lebih menitikberatkan pada beras dan peningkatan produksi dihadapkan pada masalah produktivitas yang mencapai levelling off. Pemerintah sadar akan pentingnya kesimbangan antara produksi dan konsumsi pangan. Akan tetapi, kebijakan penganekaragaman pangan yang sudah dicanangkan lebih dari 45 tahun lalu belum berhasil sesuai dengan harapan. Hal itu terjadi karena ada kebijakan atau program yang justru mengeliminasi tujuan penganekaragaman, seperti pemberian beras untuk pegawai, penetapan harga atap, dan pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin).

Pemberian raskin, sebagai transfer secara tidak langsung pendapatan pemerintah kepada rumah tangga miskin, merupakan upaya yang baik dalam mengatasi masalah rawan pangan. Akan tetapi, dampak lain dari relatif murah dan mudah diperolehnya beras semakin mendorong masyarakat untuk mengonsumsinya. Kompetisi antarmakanan pokok lain akan terpinggirkan jika pemerintah hanya memperhatikan perberasan dan mengabaikan keberadaan pangan pokok lokal yang berpotensi seperti yang terjadi di Papua.

Papua sebagai salah satu provinsi dengan permintaan beras yang banyak juga belum menerapkan aturan nyata terkait penganekaragaman. Potensi bahan pangan pokok lokal, seperti ubi jalar dan sagu, belum dimanfaatkan untuk menggantikan dominasi beras. Komoditas pangan pokok lokal utama masyarakat Papua, yaitu ubi jalar dan sagu, semakin tidak digemari seiring meningkatnya pendapatan. Golongan rumah tangga yang lebih sejahtera semakin banyak yang mengonsumsi beras. Data konsumsi pangan yang ada secara riil menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, subsidi pangan sebaiknya disesuaikan dengan kearifan lokal. Misalnya, masyarakat Papua diarahkan untuk kembali mengonsumsi ubi jalar/sagu.

Berdasarkan hal itu, penelitian ini mengkaji perlu tidaknya kebijakan raskin dilanjutkan, dicabut, atau diganti kebijakan bahan pangan pokok lokal dengan pertimbangan swasembada dan batas kebutuhan kalori pangan pokok anjuran Widya karya nasional Pangan dan Gizi (WNPG). Cakupan penelitian ini fokus pada Papua sehingga data yang digunakan adalah Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2008–2010 panel Papua. Sumber data lain berasal dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementerian Pertanian dan Badan Pusat Statistik (BPS).

Pengaruh perubahan harga komoditas beras pada taraf satu persen berpengaruh signifikan terhadap proporsi pengeluaran semua komoditas pangan. Perubahan harga beras sangat berpengaruh terhadap proporsi pengeluaran kelompok komoditas yang dianalisis. Hal ini berarti bahwa beras secara umum masih merupakan kebutuhan pokok utama. Pengaruh perubahan harga komoditas lainnya ada yang signifikan dan ada pula yang tidak. Harga berpengaruh negatif terhadap permintaan sendiri, sedangkan pengaruh terhadap permintaaan komoditas lain bisa positif, bisa negatif. Guncangan harga pangan pun

memengaruhi inflasi sehingga akan berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat. Pengaruh nilai pendapatan terhadap proporsi pengeluaran tiap komoditas hampir semuanya nyata, kecuali untuk komoditas ubi jalar dan buah. Koefisien pendapatan untuk kelompok komoditas pangan sebagian besar bertanda positif. Hal itu berarti adanya tambahan secara signifikan proporsi pendapatan rumah tangga akan diikuti peningkatan permintaan pada kelompok komoditas pangan tersebut.

Berdasarkan penelitian dari ketiga alternatif, simulasi yang memberikan dampak sesuai dengan tujuan penganekaragaman pangan serta mempertahankan batas anjuran kebutuhan energi adalah simulasi 3. Simulasi 3 mengakomodasi penurunan beras dan meningkatkan konsumsi pangan pokok lokal. Beras diganti dengan paket ubi jalar/sagu sesuai dengan potensi pangan pokok lokal. Pengaruh kenaikan harga beras diimbangi dengan penurunan harga pangan lokal (ubi jalar atau sagu). Dampak simulasi 3 menghasilkan penurunan konsumsi beras sebesar 21,47%, tetapi tergantikan dengan kenaikan konsumsi ubi jalar dan sagu (yaitu 23,19% dan 25,01%).

Oleh karena itu, program raskin sebaiknya segera diganti dengan program subsidi pangan lain yang berbasis pada bahan pangan pokok lokal. Untuk wilayah Papua, daerah dengan bahan pokok lokal sagu dapat mengganti konsumsi beras dengan sagu. Daerah dengan bahan pokok lokal ubi jalar dapat mengganti konsumsi beras dengan ubi jalar. Teknis penggantian dapat diusulkan dengan pemberian kupon yang hanya bisa ditukar dengan sejumlah kuantitas pangan pokok lokal dengan harga subsidi. Hal itu sesuai dengan upaya penggalakan kembali program penganekaragaman pangan untuk mendukung swasembada beras yang dikuatkan dengan Perpres No. 22 Tahun 2009 dan Permentan No. 43 Tahun 2009. Perhatian utama dimulai dengan penganekaragaman pangan pokok (yang bertujuan menurunkan konsumsi beras agar beralih ke bahan pangan pokok lokal).

Kata kunci: pangan pokok lokal, pola konsumsi, raskin, Papua, LA-AIDS

SUMMARY NUR SAIDAH. Impact of Raskin Policy to Consumption Pattern Local Staple Food in Papua. Supervised by SRI HARTOYO and SRI MULATSIH.

Indonesia as an agricultural country, in fact, still needs to import food, especially rice. Food self-sufficiency program, which focus on increasing production of rice, is now reached leveling off stage. When realized the importance of production and consumption balance, the government issued food-diversification policy over 45 years ago. However, it is not successful as expected. For some reasons, several government policies or programs were not actually supporting diversification policy, such as rice for government employees, ceiling price, and rice for the poor (raskin) policy.

Raskin policy, a transfer of government revenue indirectly to poor households, is a good effort to overcome social problem due to increase of oil price. Yet, this program is getting people to consume more rice. Competition among staple-foods will be unbalance if the government sees rice as national food and forgets the potential local staple food.

Papua, as province with big demand of rice, have not implement real policy in food diversification. Local staple foods potencies, such as sweet potatoes and sago, are getting less consumed by the local people to replace rice. They consume more rice as they become more prosper. The main staple food commodities locally Papuan people are sweet potatoes and sago growing that the higher the class the higher the consumption of rice is due to the superiority of local staple food. Food consumption data in real terms demonstrate the ability of households in food access and describe the level of household in food sufficiency. The increasing rate of food consumption also implicitly reflects the level of income or purchasing power in food. Therefore, food diversification policy should be adjusted to local wisdom. Then, Papuan should be directed to consume sweet potato and sago.

This study examines whether the food for the poor program should be continued, removed, or replaced with local staple food according to standard calorie need. The research focus on Papua region and use data from the National Socio-Economic Survey (Susenas) 2008–2010 panel Papua. Other data sources derived from the Food Security Agency (BKP) Ministry of Agriculture and the Central Statistics Agency (BPS).

The one percent change in rice price affects significantly the price of all commodities and the proportion of outlay commodity groups analysed. This generally means that rice is still the main staple food. The changing price of some commodities affect to other, some commodities don’t affect at all. The price has not only negative effect on the demand itself, but also has positive or negative to other commodities demand. The price fluctuation causes inflation and people’s ability of purchasing food. The influence of revenue expenditure proportion to all commodities is significant, except to sweet potatoes and fruit. The coefficient of income to most of the food commodity groups is positive. It means that the increase proportion of household income will be followed by a significant increase in demand rate for food commodity groups.

According to research of three alternative, simulations which give effect to the purpose of diversification of food and energy needs in maintaining the recommended limit is 3rd simulation. It suggests to replaced raskin policy to accommodate the decline rice consumption and increase the local staple food. Rice replaced by sweet potato or sago adjusted as potential local staple food. The increase of rice price can be substitute by the decrease of local food price (sweet potato or sago). The impact of simulation 3 is the reduce of rice consumption by 21.47%, but replaced with the increase of sweet potatoes or sago consumption (by 23.19% and 25.01%).

Therefore, the raskin policy should be immediately replaced with other staple food policy based on local staple foods. For Papua region, sago-based district can change rice with sago. Sweet potato-based district can change rice with sweet potato. The implementation in changing rice to local staple food can be done by giving coupons that can only be trade with local staple food, not rice, with subsidized price. This is suitable according to the government policy in Presidential Regulation No. 22 in 2009 and Agriculture Minister Regulation No. 43 in 2009. The main concern of those two regulations is the staple food diversification policy (in reducing rice consumption and increasing local staple food consumption).

Keywords: local staple foods, consumption pattern, raskin, LA-AIDS

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

DAMPAK KEBIJAKAN RASKIN TERHADAP POLA KONSUMSI PANGAN POKOK LOKAL DI PAPUA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

NUR SAIDAH

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr Ir M. Parulian Hutagaol, MS

Judul Tesis : Dampak Kebijakan Raskin terhadap Pola Konsumsi Pangan Pokok Lokal di Papua

Nama : Nur Saidah NIM : H151114024

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Sri Hartoyo, MS Ketua

Dr Ir Sri Mulatsih, MScAgr Anggota

Diketahui oleh Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Dr Ir R Nunung Nuryartono, MSi

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian: 30 Januari 2014

Tanggal Lulus:

Judul Tesis : Dampak Kebijakan Raskin terhadap Pola Konsumsi Pangan Pokok Lokal di Papua

Nama : Nur Saidah NIM : H151114024

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

(

Dr Ir Sri Hartoyo, MS Dr Ir Sri Mulatsih, MScAgr Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Tanggal Ujian: Tanggal Lulus: 0 1 APR 20 14 30 Januari 2014

PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas

segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah pendidikan, dengan judul Dampak Kebijakan Raskin terhadap Pola Konsumsi Pangan Pokok Lokal di Papua.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Sri Hartoyo, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Ibu Dr Ir Sri Mulasih, MscAgr selaku anggota komisi pembimbing, yang meluangkan waktu dan kesabaran untuk memberikan bimbingan, arahan, dan masukan yang bermanfaat dalam penyusunan tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Dr Ir M. Parulian Hutagaol, MSc dan Ibu Dr Ir Wiwiek Rindayati, MSi atas saran dan masukannya demi perbaikan tesis ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Kepala BPS Republik Indonesia, Kepala BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan Program Magister pada Program Studi Ilmu Ekonomi di Sekolah Pascasarjana (SPs) IPB. Terima kasih disampaikan kepada Ida Fariana yang telah membantu pengumpulan data, juga kepada Diana Bhakti dan Leisa Triana yang telah mentransfer pemahaman terkait LA-AIDS..

Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga disampaikan kepada Dr Ir R. Nunung Nuryartono, MSi beserta jajarannya selaku pengelola Program Studi Ilmu Ekonomi SPs IPB dan semua dosen yang telah mengajar penulis. Tak lupa ucapan terima kasih untuk teman-teman BPS IPB batch 4 atas segala bantuannya selama di IPB.

Ungkapan terima kasih terdalam untuk suami dan anak-anak tercinta, atas segala doa, kasih sayang, dukungan, dan kesabaran yang diberikan.Kepada mamak dan saudaraku yang senantiasa mendoakan penulis sehingga mampu menyelesaikan pendidikan ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat kekurangan dikarenakan keterbatasan ilmu dan pengetahuan. Kesalahan yang terjadi merupakan tanggung jawab penulis. Besar harapan penulis bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi dalam proses pembangunan dan bermanfaat untuk pengembangan penelitian di masa mendatang.

Bogor, Januari 2014

Nur Saidah

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii DAFTAR GAMBAR vii DAFTAR LAMPIRAN vii 1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 4 Tujuan Penelitian 7 Manfaat Penelitian 7

2 TINJAUAN PUSTAKA 7 Tinjauan Teori 7

Ketahanan dan Swasembada Pangan 7 Kebijakan Raskin 8 Pola Konsumsi Rumah Tangga 10 Fungsi Permintaan 11 Efek Substitusi dan Efek Pendapatan 14

Tinjauan Empiris 15 Kerangka Pemikiran 16 Hipotesis Penelitian 17

3 METODE PENELITIAN 18 Jenis dan Sumber Data 18 Metode Analisis 19

Analisis Deskriptif 19 Analisis Model LA-AIDS 19 Spesifikasi Model 21

4 KONSUMSI PANGAN PAPUA 25 Keragaan Konsumsi Pangan Pokok Papua 25 Faktor yang Memengaruhi Pola Konsumsi Pangan Lokal di Papua 28 Dampak Kebijakan Raskin terhadap Konsumsi Pangan Pokok 34

5 SIMPULAN DAN SARAN 36 Simpulan 36 Saran 36

DAFTAR PUSTAKA 37 LAMPIRAN 39 RIWAYAT HIDUP 60

DAFTAR TABEL

1 Persentase rumah tangga menurut komoditi pangan sumber karbohidrat yang dikonsumsi 1

2 Perkembangan produktivitas, produksi padi, beras, konsumsi serta volume impor beras tahun 2006 - 2010 2

3 Skor PPH dan peringkat menurut provinsi tahun 2008 dan 2012 5 4 Perkembangan rata-rata jumlah konsumsi pangan di Provinsi Papua

tahun 2008 - 2010 (kg/kap/bulan) 26 5 Rata-rata jumlah konsumsi pangan berdasarkan jenis potensi pangan

pokok di Provinsi Papua tahun 2008 - 2010 (kg/kap/bulan) 27 6 Rata-rata jumlah konsumsi pangan berdasarkan golongan dan

penerimaan raskin di Provinsi Papua tahun 2008 - 2010 (kg/kap/bulan) 28

7 Koefisien penduga parameter model LA-AIDS Provinsi Papua 29 8 Elastisitas permintaan harga sendiri, harga silang, dan pendapatan

rumah tangga di Provinsi Papua menurut komoditi 31 9 Elastisitas Permintaan harga sendiri berdasarkan dummy kategori di

Provinsi Papua 32 10 Persentase Perubahan Permintaan/Konsumsi Menurut Komoditi

Berdasarkan Alternatif Simulasi di Provinsi Papua (%) 35

DAFTAR GAMBAR

1 Produksi dan produktivitas padi Indonesia tahun 2000 - 2010 2 2 Peta rasio konsumsi normatif perkapita terhadap produksi bersih

serealia per daerah 3 3 Alur distribusi pembagian raskin 10 4 Efek subtitusi dan pendapatan saat penurunan harga beras 14 5 Kerangka pemikiran 17 6 Pola konsumsi beras-ubi jalar dan konsumsi beras-sagu rata-rata

perkapita berdasarkan golongan dan jenis potensi di Papua tahun 2008 - 2010 28

DAFTAR LAMPIRAN

1 Daftar kabupaten/kota di Papua berdasarkan potensi 39 2 Hasil Output SAS dengan metode Pooled Least Square 40 3 Hasil Output SAS dengan metode SUR 49 4 Elastisitas Harga Sendiri, Harga Silang, dan Pendapatan

berdasarkan kondisi menurut komoditi 56

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Beras merupakan makanan pokok utama bagi sebagian besar penduduk Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), beras dikonsumsi oleh hampir 97% rumah tangga di Indonesia pada tahun 2010 seperti yang tersaji pada Tabel 1. Komoditi sumber karbohidrat lain hanya dikonsumsi sebagian kecil rumah tangga, singkong dikonsumsi 35% dan trennya semakin menurun. Selain itu, dari penduduk yang bekerja di sektor pertanian hampir separuhnya merupakan petani padi. Hal ini menjadikan beras sebagai komoditas ekonomi strategis sekaligus komoditas politik karena dapat mempengaruhi kerawanan pangan dan keamanan nasional. Tabel 1. Persentase rumah tangga menurut beberapa komoditi pangan sumber

karbohidrat yang dikonsumsi Komoditas Pangan 2008 2009 2010

Beras 96.56 96.52 96.80 Jagung Pipilan 9.21 8.40 7.76 Singkong 35.20 30.53 28.50 Ubi Jalar 10.04 8.94 9.00 Sagu 7.43 6.90 7.02 Kentang 6.70 6.35 6.25 Talas/Keladi 6.96 7.30 5.68

Sumber: BPS (2008 - 2010)

Ketergantungan penduduk terhadap beras yang tinggi menyebabkan pemerintah sangat memperhatikan tingkat ketersediaan dalam jumlah yang cukup sampai level wilayah terkecil. Dalam UU No.7 Tahun 1996 yang diperbarui dengan UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi individu maupun rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, aman, merata, dan terjangkau. Pemerintah menyusun kebijakan dan regulasi dalam rangka mencapai kemandirian dan ketahanan pangan, dengan menempuh dua strategi melalui peningkatan produksi dan penurunan konsumsi pangan, terutama beras. Pemenuhan kebutuhan pangan nasional khususnya beras terus mengalami peningkatan dikarenakan adanya pertambahan penduduk dan peningkatan konsumsi beras perkapita yang tinggi tiap tahun.

Ketahanan pangan yang menitikberatkan ketersediaan pangan terutama beras melalui peningkatan produksi dalam negeri dihadapkan pada semakin terbatasnya kapasitas produksi. Produksi padi memang masih mengalami peningkatan akan tetapi produktivitas sudah mengalami pelandaian seperti yang terlihat pada Gambar 1. Hal yang perlu diperhatikan juga bahwa produksi Indonesia ada keterbatasan terkait sumberdaya lahan dan air untuk pertanian, antara lain: meluasnya lahan kritis yang mengancam produksi pangan, penyusutan lahan pertanian terutama persawahan karena ada konversi lahan menjadi industri, pemukiman, bahkan perkebunan kelapa sawit, perubahan iklim global yang menyebabkan perubahan pola curah hujan dan pola tanam (Bappenas 2008).

2

Penyediaan air untuk irigasi makin sulit dipenuhi dikarenakan kerusakan infrastruktur pengairan, degradasi sistem irigasi, kerusakan hutan, dan persaingan pemanfaatan sumber daya air dengan sektor lain. Data dari Kementrian Pekerjaan Umum (2011) menunjukkan bahwa sejumlah 52% prasarana irigasi dalam kondisi rusak dengan rincian 10% rusak berat sedangkan sisanya sebesar 42% dalam kondisi rusak sedang dan ringan.

Sumber: BPS (2011) Gambar 1. Produksi dan produktivitas padi Indonesia tahun 2000 - 2010

Strategi penurunan konsumsi beras melalui penganekaragaman konsumsi pangan sangat diperlukan. Penganekaragaman sangat diperlukan karena produktivitas mengalami levelling off dan tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia sudah melampaui standar kecukupan konsumsi anjuran pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) sebebsar 1 100 kkal. Rata-rata konsumsi energi per kapita per hari untuk padi-padian sudah mencapai 1 232 kkal atau 112% dari anjuran. Hasil estimasi BPS (2011) memperkirakan bahwa konsumsi beras mencapai 139.15 kg/kapita/tahun. Tingginya konsumsi beras Indonesia jauh melebihi negara tetangga seperti Thailand yang 79 kg/kapita/tahun dan Malaysia yang hanya 63 kg/kapita/tahun. Apabila konsumsi beras selalu setinggi ini padahal sumber daya produksi mempunyai keterbatasan, Indonesia akan semakin tergantung dengan pasokan dari luar negeri. Impor beras pernah turun di tahun 2008 dan 2009, tapi kemudian meningkat lagi seperti tersaji pada Tabel 2 yaitu di tahun 2010 menjadi 688 ribu ton. Tabel 2. Perkembangan produktivitas, produksi padi, beras, konsumsi serta

volume impor beras tahun 2006 – 2010

Tahun Produktivitas

Padi (Ku/Ha)

Produksi Padi

(ribu ton)

Produksi Beras

(ribu ton)

Konsumsi Beras

(ribu ton)

Impor Beras

(ribu ton) 2006 46.2 54 454 31 773 27 486 438 2007 47.05 57 157 33 350 28 785 1 407 2008 48.94 60 325 35 199 30 135 290 2009 49.99 64 398 37 575 30 922 250 2010 50.15 66 469 38 783 33 067 688

Sumber: BPS (2006 - 2010)

30

35

40

45

50

55

60

65

70

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010

Prod

uksi

dan

pro

dukt

ivita

s Pad

i

Tahun

Produktivitas Padi (Ku/Ha)

Produksi Padi (juta ton)

3

Ketergantungan beras impor perlu dikurangi dan segera beralih kepada

produk pangan lokal yang masih berpotensi untuk dikembangkan. Komoditi pangan lokal seperti singkong, ubi jalar, sagu, jagung, dan talas dapat digunakan sebagai sumber karbohidrat pengganti beras. Indonesia mengalami impor komoditas pangan tertinggi pada saat krisis pangan tahun 2007. Tingginya impor produk pangan menyebabkan neraca perdagangan pertanian subsektor tanaman pangan masih negatif.

Beberapa provinsi seperti Provinsi Papua, Papua Barat, Riau, Kepulauan Riau, Maluku, dan Bangka Belitung termasuk wilayah dengan defisit serealia tinggi (Gambar 2) sehingga membutuhkan pasokan dari daerah lain. Provinsi dengan defisit serealia mempunyai peran dalam impor beras. Oleh karena itu, utamanya di provinsi tersebut perlu dicarikan sumber pangan alternatif pengganti beras. Pemenuhan kebutuhan untuk konsumsi beras di Papua dipasok dari luar daerah seperti Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 2009 kapasitas produksi beras di Papua hanya mencapai 49 ribu ton padahal kebutuhannya sebesar 312 ribu ton. Hal tersebut menyebabkan Papua mendatangkan beras lebih dari 5 kali kapasitas produksinya, yaitu mencapai 263 ribu ton beras (BPS Papua 2009).

Dependensi Papua terhadap beras pasokan dari luar daerah menyebabkan Papua sangat rentan terhadap guncangan terutama dari sisi ketersediaan dan kelancaran distribusi. Penerapan kebijakan perberasan yang dominan pada masa Orde Baru menyebabkan perubahan sosial budaya, masyarakat yang mengkonsumsi bahan pokok lain kini merata mengkonsumsi beras (beras oriented). Di Provinsi Papua yang sumber pangan pokok lokal sebelumnya adalah ubi jalar dan sagu, kini pangan pokok lokal tersebut semakin terpinggirkan.

Sumber: Badan Ketahanan Pangan (2009) Gambar 2. Peta rasio konsumsi normatif perkapita terhadap produksi bersih

serealia per daerah

4

Kondisi Provinsi Papua ditinjau dari sisi agroekologi kurang produktif untuk ditanami padi. Hanya beberapa kabupaten yang mampu memproduksi padi seperti Merauke, Jayapura, dan Waropen, namun, produktivitasnya masih di bawah produktivitas nasional. Pada tahun 2009, produktivitas padi di Papua hanya 39.43 Ku/Ha jauh di bawah produktivitas nasional yang hampir mencapai 50 Ku/Ha. Papua lebih berpotensi sebagai daerah penghasil sagu atau ubi jalar. Dari dua juta hektar kebun sagu dunia, satu juta ada di Indonesia dimana sekitar 900 ribu hektar terdapat di Papua. Selain itu, ditinjau dari kondisi sosiologi masyarakat Papua yang tidak terbiasa bertanam padi cukup mempersulit dalam peningkatan produktivitasnya.

Beberapa hal tersebut menjadi landasan pemerintah untuk semakin menggalakkan program diversifikasi pangan. Program diversifikasi pangan merupakan program prioritas untuk mendukung swasembada beras dengan dasar Perpres No. 22 tahun 2009 dan Permentan No. 43 Tahun 2009. Kegiatan utama program diimplementasikan melalui gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP). Program tersebut sudah mulai mengedepankan kearifan potensi pangan lokal sebagai wujud program diversifikasi pangan sekaligus mencapai pola pangan harapan (PPH) yang seimbang.

Perumusan Masalah

Program diversifikasi pangan yang sebenarnya sudah dimulai lebih dari 45

tahun yang lalu dirasakan belum berhasil sesuai harapan (Mardianto et al. 2005). Hal tersebut dikarenakan ada beberapa kebijakan maupun program yang justru mengeliminasi tujuan diversifikasi seperti pemberian beras untuk pegawai, penetapan harga atap, dan pembagian beras untuk rakyat miskin (raskin). Kebijakan pemerintah yang inkonsisten perlu dievaluasi ulang yang menjadi prioritas sesuai tujuan pembangunan.

Pemberian raskin mulai 2002 yang merupakan pengembangan dari Operasi Pasar Khusus (OPK) beras secara langsung kepada penerima merupakan upaya yang baik dalam mengatasi masalah rawan pangan. raskin dapat dipandang sebagai transfer pendapatan pemerintah secara tidak langsung terhadap rumah tangga miskin. Akan tetapi, dampak lain dari kebijakan tersebut menyebabkan beras relatif murah dan mudah diperoleh sehinggga semakin mendorong masyarakat untuk mengkonsumsinya. Kompetisi antar makanan pokok lain akan terpinggirkan apabila pemerintah terlalu memperhatikan kondisi perberasan dan mengindahkan keberadaan pangan pokok lokal yang berpotensi.

Konsumsi beras yang sudah membudaya bahkan di daerah yang bukan berpotensi beras seperti Papua perlu dikembalikan pada kearifan pangan lokalnya. Berdasarkan data Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Papua pada tahun 2009 tercatat bahwa sebanyak penduduk Papua yang mengkonsumsi sagu hanya 15%, mengkonsumsi umbi-umbian 30%, dan sebagian besar yaitu sebanyak 55% lebih gemar memakan nasi dibandingkan pangan pokok lokal yang tersedia. Target pemerintah yang disepakati pada WNPG 2004 untuk menurunkan konsumsi beras per tahun sebesar 1.5% belum terwujud, bahkan trennya justru semakin naik. Selama ini sisi konsumsi masih kurang dikaji padahal sudah menjadi indikasi adanya pemborosan.

5

Pangan lokal belum dimanfaatkan secara optimal dibuktikan pada penelitian Rachman dan Ariani (2008) yang menunjukkan bahwa sejak tahun 2005 mayoritas masyarakat, di kota atau desa, kaya maupun miskin memiliki satu pangan pokok yaitu beras. Konsumsi pangan masyarakat belum beragam dan seimbang sehingga keanekaraagaman konsumsi dan gizi yang sesuai dengan kaidah nutrisi seimbang belum terwujud. Ariani dan Ashari (2003) menyebutkan bahwa persentase yang mengkonsumsi beras di Maluku dan Papua meskipun masih 80%, tapi trennya meningkat.

Tabel 3. Skor PPH dan peringkat menurut provinsi tahun 2008 dan 2012

No. Provinsi Skor PPH Peringkat

2008 2012 2008 2012 1 Aceh 73.4 69.5 30 29 2 Sumatra Utara 75.1 74.1 29 21 3 Sumatra Barat 79.6 77.5 19 11 4 Riau 84.0 77.2 5 12 5 Kepulauan Riau 83.4 77.7 8 10 6 Jambi 82.7 79.9 13 6 7 Sumatra Selatan 82.7 76.7 14 15 8 Kep. Bangka Belitung 83.9 75.7 6 18 9 Bengkulu 79.5 76.5 20 16 10 Lampung 85.8 80.9 4 3 11 DKI Jakarta 82.9 81.2 9 2 12 Jawa Barat 76.4 70.2 27 27 13 Banten 82.8 76.1 11 17 14 Jawa Tengah 81.0 73.6 15 22 15 DI Yogyakarta 77.0 80.7 26 4 16 Jawa Timur 80.5 73.3 17 23 17 Bali 93.3 81.2 1 1 18 NTB 73.4 71.2 31 26 19 NTT 79.1 67.8 21 32 20 Kalimantan Barat 76.4 68.6 28 31 21 Kalimantan Tengah 87.9 79.6 2 7 22 Kalimantan Selatan 78.5 76.7 23 14 23 Kalimantan Timur 80.5 78.3 16 8 24 Sulawesi Utara 82.7 77.8 12 9 25 Sulawesi Tengah 83.7 72.7 7 25 26 Sulawesi Tenggara 80.3 75.3 18 20 27 Sulawesi Selatan 86.9 80.4 3 5 28 Gorontalo 68.5 69.7 32 28 29 Sulawesi Barat 77.5 68.8 25 30 30 Maluku 78.0 75.5 24 19 31 Maluku Utara 82.9 76.8 10 13 32 Papua 78.8 64.0 22 33 33 Papua Barat - 73.1 24

Indonesia 81.9 75.4 Sumber: BKP (2008 dan 2012)

6

Data Survei Sosial ekonomi Nasional (Susenas) 2008 menunjukkan bahwa skor keragaman konsumsi pangan yang diukur dengan skor Pola Pangan Harapan (PPH) baru mencapai 81.9 masih di bawah target WNPG 2004 yaitu sebesar 89.8. Dari Tabel 3 terlihat bahwa secara umum skor PPH 2012 menurun dibandingkan tahun 2008, dan penurunan yang signifikan adalah Papua bahkan menjadi provinsi peringkat terakhir. Retnaningsih (2007) menyatakan bahwa rumah tangga dengan kemandirian pangan tinggi mempunya skor PPH yang lebih baik dibandingkan lainnnya. Kemandirian pangan rumah tangga merupakan dasar ketahanan dan kemandirian pangan daerah.

Di era otonomi daerah dimana seharusnya daerah bisa mandiri dan mengembangkan kearifan lokal, Papua sampai sekarang dirasa masih terlalu menginduk pada kebijakan pemerintah pusat. Strategi dan peraturan Pemerintah Papua belum diarahkan untuk mengembangkan kerangka P2KP di Papua. Penerapan peraturan aturan atau kebijakan penganekaragaman seperti yang dilakukan Kota Depok (sehari tanpa nasi) dan NTB (kudapan lokal saat rapat pemerintah daerah) belum dilakukan. Pengembangan produk pangan lokal seperti industri pangan berbasis sagu dan ubi jalar juga belum ada, padahal daerah lain ada yang sudah mengembangkan beras analog, mi sagu, dan produk olahan lainnya.

Dengan pertimbangan kondisi dan peluang potensi pengembangan keanekaragaman konsumsi pangan lokal di Papua, maka pola konsumsi berbasis pangan pokok lokal perlu dirubah setahap demi setahap dengan mempertimbangkan ketersediaan pangan, pengetahuan, dan daya beli masyarakat. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) bahwa program peningkatan ketahanan pangan mencakup peningkatan keanekaragaman pada subsistem produksi juga subsistem konsumsi pangan sampai pada tingkat rumah tangga (Suryana et al. 2001).

Pengembangan kerangka P2KP di Papua salah satunya dapat dilakukan dengan mengintervensi program raskin. Program raskin di Papua sebaiknya dicarikan alternatif pengganti sesuai denga kondisi kewilayahan dan potensi pangan lokalnya. Penggantian program raskin menjadi pangan lokalnya diharapkan dapat mendorong kemandirian pangan dan mengurangi konsumsi beras di Papua. Selain itu, ke depannya dapat meminimalkan sumbangan Papua terhadap impor beras dan diharapkan dapat mengekspor produk pangan lokalnya.

Pola konsumsi pangan dapat berlainan antar suku bangsa, antar daerah, dan antar golongan pendapatan. Menurut Sumarwan dan Sukandar (1998) besar kecilnya pendapatan akan menentukan jenis pangan yang akan dikonsumsi oleh suatu rumah tangga, kemudian jenis pangan tersebut akan menentukan pola konsumsinya. Kahar (2010) menyatakan bahwa keragaman konsumsi masyarakat di desa dan di kota berbeda dikarenakan perbedaan fasilitas dan aksesibilitas suatu wilayah.

Aksesibilitas terhadap sumber pangan karbohidrat di Papua perlu diidentifikasi dan dikategorikan berdasarkan potensi pangan lokalnya. Identifikasi dan pengategorian potensi pangan pokok lokal akan memperjelas gambaran kondisi. Selain itu, penghitungan elastisitas (harga, silang, dan pendapatan) sebagai dasar simulasi dengan pengategorian tersebut diharapkan menghasilkan produk pangan apa yang lebih tepat digunakan sebagai pengganti beras di Papua.

7

Berdasarkan uraian tersebut dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi fokus penelitian adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pola konsumsi pangan penduduk Provinsi Papua, apakah sudah

menggambarkan kondisi keanekaragaman pangan berbasis kearifan pangan pokok lokal atau belum?

2. Bagaimana cara untuk mempengaruhi pola konsumsi pangan pokok agar kembali pada komoditi kearifan pangan pokok lokal di Papua?

3. Bagaimana dampak kebijakan pemberian raskin terhadap perubahan pola konsumsi pangan pokok lokal di Provinsi Papua?

Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan, maka tujuan yang ingin dicapai dari

penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan kondisi pola konsumsi pangan pokok di Provinsi Papua. 2. Menganalisis faktor yang berpengaruh pada pola konsumsi pangan pokokdi

Provinsi Papua. 3. Menganalisis dampak kebijakan pemberian raskin terhadap pola konsumsi

pangan pokok di Provinsi Papua.

Manfaat Penelitian Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat digunakan pemerintah dalam

membantu perencanaan dan evaluasi penyediaan pangan bagi pemenuhan kebutuhan konsumsi suatu daerah terutama di Provinsi Papua. Selain itu, agar dapat digunakan sebagai alternatif upaya percepatan program diversifikasi berbasis pangan pokok lokal dan memberikan usulan alternatif kebijakan pengganti raskin.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan Teori

Ketahanan dan Swasembada Pangan Konsep ketahanan pangan berdasarkan UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang

Pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Konsep ketahanan pangan tersebut sejalan dengan definisi ketahanan pangan menurut Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO) yaitu akses setiap rumah tangga dan individu untuk dapat memperoleh pangan pada setiap waktu untuk keperluan hidup yang sehat.

Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan yang fokus pada beras, pemerintah melakukan program swasembada beras. Kebijakan swasembada beras yang diterapkan di Indonesia diwujudkan melalui sisi produksi maupun konsumsi. Beberapa kebijakan/program yang dilakukan meliputi banyak kegiatan, di antaranya: 1. Kebijakan subsidi produksi. Subsidi produksi langsung merupakan alternatif

peningkatan produksi dalam kerangka meminimalkan biaya produksi petani. Subsidi dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pemberian langsung kepada produsen sejumlah nilai tertentu untuk setiap unit produk yang diproduksi, dan

8

yang kedua dengan mensubsidi input yang paling penting (critical) untuk produksi seperti pupuk, irigasi, dan sebagainya. Dengan subsidi jenis kedua ini maka harga input akan berada di bawah harga pasar bebas (free market) dan dapat dilakukan dengan pemberian melalui produsen input atau ke petani langsung.

2. Kebijakan stabilisasi harga beras melalui penentuan Harga Atap (Ceiling Price) dan Harga Dasar (Floor Price). Kebijakan stabilisasi harga bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan sepanjang biaya penyimpanan untuk buffer stock tidak lebih besar dari pada dead weight loss yang timbul. Stabilisasi harga dapat juga dilakukan dengan buka tutup keran impor jika pemerintah tidak melakukan pembelian untuk mengisi stok tapi hal ini akan mengurangi kesejahteraan petani.

Pelaksanaan stabilisasi harga beras utamanya dilakukan melalui operasi pasar. Pada awalnya, sasaran operasi ditujukan untuk semua lapisan masyarakat kemudian berubah mulai tahun 1998 dengan sasaran daerah tertentu dalam bentuk Operasi Pasar Murni (OPM). Sasaran dievaluasi kembali menjadi masyarakat miskin dalam Operasi Pasar Khusus (OPK) mulai Juli 1998 yang menjadi cikal bakal program raskin. Simatupang dan Timmer (2008) menjelaskan bahwa stabilisasi harga beras maupun subsidi input relatif tidak efektif.

Kajian mengenai kebijakan swasembada pertanian di Indonesia sebagian besar menggunakan pendekatan ekonomi yang mengabaikan kompetisi di antara berbagai kelompok kepentingan dalam mempengaruhi pembuatan dan implementasi kebijakan tersebut. Barrett (1999) menegaskan bahwa adanya gap yang besar pada penggunaan pendekatan analisis kebijakan pertanian menyebabkan tidak terungkapnya upaya politik (political strugle) dari berbagai kelompok kepentingan dalam memperebutkan manfaat kebijakan bagi masing-masing kelompok, dan penekanan dari aspek politik gagal menjelaskan proses ekonomi (economic genesis) dari konvergensi yang terjadi.

Kerangka ketahanan dilanjutkan untuk mencapai kemandirian bahkan kedaulatan pangan. Kemandirian pangan merupakan ketahanan pangan yang dicapai melalui pengoptimalisasian sumber daya domestik. Karakteristik lokal daerah seperti potensi sumber daya alam dan keberagaman sumber daya pangan perlu menjadi basis pertimbangan dalam menentukan kebijakan pangan.

Beberapa kajian penelitian sudah membahas masalah ketidakseimbangan antara produksi dan konsumsi Indonesia. Pemerintah sudah mencermati kondisi ini sehingga kemudian digalakkan kembali program diversifikasi pangan. Pemerintah mengusahakan untuk dapat merubah kebiasaan konsumsi ‘beras’ oriented, agar kembali menyukai produk pangan lokal.

Kebijakan Raskin

Cikal bakal program raskin adalah program bantuan pangan bersubsidi yang disebut OPK Beras pada Juli 1998. Program ini termasuk salah satu program Jaring pengaman Sosial (JPS) dan merupakan komponen ketahanan pangan. Perubahan nama menjadi raskin baru pada tahun 2002 yang bertujuan untuk mempertajam ketepatan sasaran penerima manfaat. OPK dan raskin dinilai telah mampu mengontrol inflasi dan mempertahankan ketahanan pangan masyarakat miskin.

9

Berdasarkan Inpres No.9 Tahun 2001, kebijakan intervensi pangan murah yang disebut raskin bertujuan memberikan jaminan bagi ketersediaan dan pelaksanaan penyaluran beras bagi kelompok rumah tangga sasaran (RTS) dan daerah rawan pangan. Kerangka manfaat raskin dapat memberikan dampak ganda terhadap pengurangan kemiskinan (Siregar dan Anggraini 2010). Dampak ganda yang dimaksud adalah dalam hal pengadaan (oleh petani) dan pemberian raskin (bagi RTS). Petani memperoleh jaminan pembelian dan harga sehingga ada perbaikan kesejahteraan petani terutama petani gurem dan penurunan kemiskinan di pedesaaan. RTS penerima berarti mendapatkan transfer pendapatan dan kenaikan produktivitas (karena ada perbaikan gizi). Tujuan mempertahankan ketahanan pangan RTS dan stabilisasi harga dapat tercapai.

Keberhasilan program raskin diukur berdasarkan tingkat pencapaian indikator 6T, yaitu: tepat sasaran, jumlah, harga, waktu, kualitas, dan administrasi. Evaluasi raskin sudah banyak dilakukan, baik oleh perguruan tinggi maupun lembaga penelitian. Hastuti et al. (2012) memperlihatkan bahwa ke-6 indikator ketepatan belum sepenuhnya tercapai. Program raskin masih perlu perbaikan agar semakin efektif dalam mencapai tujuan.

Ketepatan harga dan waktu menjadi masalah terutama di daerah yang sulit dijangkau seperti Papua. Alur distribusi pemberian raskin yang seharusnya pada titik distribusi setingkat kelurahan tidak bisa dilakukan seperti pada Gambar 3. Letak yang jauh dan medan yang sulit dijangkau menjadikan beberapa daerah memperoleh raskin tidak setiap bulan, tapi harus dirapel untuk beberapa bulan.

Pada dasarnya tujuan untuk mempertahankan ketahanan pangan tidak harus berorientasi beras, masih banyak pangan pokok lokal yang dapat dikembangkan. Pemberian raskin akan mengurangi superiotas beras dan membuat pangan pokok lokal semakin kurang diminati. Dari segi vitamin ataupun serat, ada sebagian pangan lokal yang mampu memberikan kalori yang tinggi sekaligus serat yang lebih banyak. Keunggulan pangan lokal harus semakin dipromosikan agar secara bertahap masyarakat dapat beralih kembali mengkonsumsinya. Selain itu, pengolahan lanjutan pangan lokal menjadi produk industri berbasis agro diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah.

10

Sumber: Badan Urusan Logistig (Bulog) Gambar 3. Alur distribusi pembagian raskin

Pola Konsumsi Rumah Tangga Pola konsumsi merupakan suatu cara mengkombinasikan komoditas unsur

konsumsi dengan tingkat konsumsi secara keseluruhan. Permintaan/konsumsi pada dasarnya dibatasi oleh kemampuan untuk mengkonsumsi barang/jasa tersebut. Kemampuan tersebut ditentukan terutama oleh pendapatan dari rumah tangga dan harga barang yang dikehendaki. Apabila jumlah pendapatan yang dapat dibelanjakan berubah maka jumlah barang yang diminta juga akan berubah. Demikian pula halnya bila harga barang yang dikehendaki berubah. Hal ini menjadi kendala bagi rumah tangga dalam mengkonsumsi suatu barang. Keterbatasan pendapatan yang dimiliki antar rumah tangga membuat tingkat konsumsi akan suatu barang berbeda pula, sehingga membentuk pola konsumsi yang berbeda antar rumah tangga.

Ketua Tim raskin Nasional: Kementrian Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat

Gubernur

Kelompok Masyarakat

Rumah Tangga Sasaran Penerima raskin

Gudang : Satgas raskin

Titik Distribusi: Pelaksana Distribusi

Warung Desa

Perum Bulog (Divisi/Sub Divisi Regional.

Bupati/Walikota

Kelompok Kerja

Pagu Provinsi

Pagu Kab/Kota

11

Satu cara untuk mengkaji pola konsumi rumah tangga adalah dengan menganalisis tingkat pengeluaran konsumsi rumah tangga tersebut. Pengetahuan mengenai jenis-jenis barang yang dikonsumsi masyarakat dapat dijadikan dasar bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan pangan, terutama terkait ketersediaan yang cukup dan pemenuhan gizi yang optimal.

Pengeluaran pangan negara berkembang lebih besar dibandingkan pengeluaran untuk bukan pangan. Hal ini disebabkan oleh tingkat pendapatan yang rendah sehingga pemenuhan kebutuhan makanan menjadi prioritas utama. Pada kurun waktu dari tahun 2002-2010 di Indonesia, rata-rata pengeluaran untuk konsumsi makanan terutama bahan pokok lebih tinggi dari konsumsi non makanan. Komoditi beras mendominasi besaran konsumsi makanan, sedangkan untuk konsumsi non makanan khususnya komoditi barang dan jasa seperti perumahan dan pendidikan masih menempati prioritas yang utama (BPS, 2010).

Perilaku dan karakteristik konsumen dapat digunakan untuk melihat pola konsumsi. Kahar (2010) mengemukakan bahwa penduduk pedesaan masih mengutamakan pemenuhan kebutuhan pokok berupa pangan sedangkan penduduk perkotaan sudah mulai beralih kebutuhan non makanan. Tingkat pendidikan kepala rumah tangga mempengaruhi konsumsi komoditas protein hewani (daging, ikan, telur, dan susu) di daerah perkotaan. Jumlah anggota rumah tangga mempengaruhi besaran konsumsi makanan pokok.

Konsumsi pangan pada rumah tangga dapat dinilai melalui kualitas dan kuantitas pangan. Dalam penelitian ini, konsumsi pangan dilihat dari kuantitas pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Dari sisi kualitas dinilai dari keragaman komposisi jenis pangan dan kecukupan gizi yang terkandung di dalamnya. Kualitas pangan diukur dari pemenuhan kalori yang terkandung dalam bahan makanan yang dikonsumsi dibandingkan dengan batas anjuran WNPG untuk pangan sumber karbohidrat sebesar 1 100 kalori. Fungsi Permintaan

Teori permintaan menjelaskan sifat pemintaan konsumen terhadap suatu komoditas dan hubungan antara jumlah barang yang diminta dengan harga. Permintaan suatu barang ditentukan oleh banyak faktor, antara lain harga barang itu sendiri, harga barang lain yang terkait, pendapatan, selera, jumlah penduduk, dan ekspektasi keadaan di masa mendatang.

Konsumen diasumsikan mempunyai sifat rasional yaitu bertujuan memaksimumkan utilitasnya berdasarkan batasan jumlah pendapatan atau anggaran belanja yang dimiliki. Konsumen akan memilih berbagai kombinasi sejumlah n barang dengan kendala anggaran. Fungsi permintaan konsumen yang disesuaikan dengan kendala anggaran dituliskan secara matematis dengan:

푉 = 푓(푞 푞 … .푞 ) + 휆(푦 − ∑ 푝 푞 ) (2.1) dimana y adalah pendapatan (tetap), pi adalah harga barang ke-i. λ adalah marjinal utilitas dari pendapatan

Fungsi permintaan ini disebut sebagai fungsi permintaan Marshallian (Marshallian Demand Function) atau disebut juga uncompensated demand function yang menyatakan bahwa suatu besaran konsumsi atau permintaan komoditi oleh seorang konsumen dipengaruhi oleh tingkat harga komoditi tersebut, harga komoditi lain, dan pendapatan. Bentuk yang lain adalah fungsi

12

permintaan Hicksian (Hicksian demand function) yang diperoleh dari minimisasi pengeluaran pada tingkat utilitas tertentu (konstan).

Kesimpulan penting dari fungsi permintaan Marshallian adalah permintaan terhadap komoditas apapun merupakan fungsi single-value dari harga-harga dan pendapatan, dan fungsi permintaan adalah homogen derajat nol dalam harga dan pendapatan dimana bila semua harga dan pendapatan berubah dalam proporsi yang sama maka jumlah barang yang diminta tetap, tidak akan berubah (Henderson dan Quandt 1980). Kesimpulan pertama merupakan nilai maksimum dari turunan pertama fungsi utilitas yang ditunjukkan dengan nilai Rate of Commodity Subtitution (RCS) sama dengan rasio harga. Kesimpulan yang kedua menunjukkan bahwa syarat turunan kedua harus terpenuhi. Dalam permintaan n barang turunan kedua menghasilkan penurunan RCS antara tiap pasang komoditi.

Dalam model permintaan untuk n komoditi maka elastisitas yang dihasilkan harus memenuhi kondisi (Henderson dan Quandt 1980): 1. Homogenitas.

Persyaratan yang menyebutkan bahwa jika pendapatan dan harga berubah dalam proporsi yang sama, maka permintaan terhadap suatu komoditas tidak akan berubah. Hal ini merupakan implikasi dari sifat fungsi permintaan yang homogen berderajat nol terhadap harga dan pendapatan. Bentuk matematisnya adalah sebagai berikut:

휀 + ∑ 휀 + 휂 = 0 (2.2) dimana εii adalah elastisitas harga sendiri, εij adalah elastisitas harga silang dan 휂 adalah elastisitas pendapatan.

2. Agregasi Cournot. Agregasi cournot merupakan rata-rata tertimbang dari elatisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang sebuah komoditi dengan penimbang rata-rata pangsa pendapatan atau proporsi pengeluaran barang tersebut terhadap total pengeluaran, sama dengan negatif dari pangsa pendapatan barang tersebut, sebagai berikut :

∑ α ε = −α 푗 = 1, … … , n (2.3) dimana α adalah proporsi pengeluaran komoditi ke-i terhadap total pengeluaran, α adalah proporsi pengeluaran komoditi ke-j terhadap total pengeluaran, adalah elastisitas harga sendiri dan elastisitas harga silang. Untuk fungsi permintaan terkompensasi (Hicksian Demand Function) maka aggregasi Cournot harus sama dengan nol. Dinotasikan dengan rumus :

∑ α ξ = 0 푗 = 1, … … , n (2.4) dimana ξ adalah elatisitas harga silang terkompensasi.

3. Aggregasi Engel. Aggregasi Engel menunjukkan hubungan antara elastisitas pendapatan dengan berbagai komoditi yang dibelanjakan konsumen. Jumlah elastisitas pendapatan tertimbang semua komoditi yang dibelanjakan konsumen sama dengan satu. Dinotasikan dengan rumus :

∑ α 휂 = 1 (2.5) dimana η adalah elastisitas pendapatan

4. Negativitas dan Slutsky Condition. Perubahan harga akan menyebabkan perubahan pendapatan riil. Dampak perubahan ini bisa dipisahkan atas pengaruh substitusi (substitution effect) dan

13

pengaruh pendapatan (income effect). Slutsky-schultz condition adalah bahwa nilai elastisitas harga sendiri dari uncompensated demand akan sama nilainya dengan elastisitas harga sendiri dari compensated demand dikurangi dengan elastisitas pendapatan yang sudah dikali dengan proporsi pengeluaran komoditas ke-i. Persamaan Slutsky dirumuskan sebagai berikut:

ε = ∑ ξ − α 휂 (2.6) dimana εii adalah elastisitas harga sendiri uncompensated, ξ adalah elatisitas harga sendiri compensated, dan 휂 adalah elastisitas pendapatan. Pengaruh substitusi merupakan pengaruh negatif, yang merupakan syarat negativitas Slutsky. Syarat simetri Slutky menyatakan bahwa apabila pendapatan riil konstan, pengaruh substitusi akibat perubahan harga komoditas j terhadap permintaan komoditas i sama dengan pengaruh substitusi akibat perubahan harga komoditas i terhadap permintaan komoditas j. Efek substitusi dari komoditas i dan j tersebut bersifat simetri, dan kondisi simetri dapat ditulis sebagai berikut :

α (ε + α 휂 ) = α (ε + α 휂 ) (2.7) Elastisitas didefinisikan sebagai ukuran persentase perubahan pada suatu

variabel yang disebabkan oleh perubahan satu persen variabel yang lain. Elastisitas permintaan menunjukkan persentase perubahan jumlah barang yang diminta akibat perubahan 1% variabel yang memengaruhinya, sementara kondisi lainnya diasumsikan tidak berubah. Jika dilihat dari penyebab perubahan permintaan, elastisitas dikelompokkan menjadi elastisitas harga (sendiri), elastisitas silang, dan elastisitas pendapatan.

Elastisitas harga, merupakan persentase kenaikan/penurunan jumlah barang yang diminta akibat perubahan harga barang itu sendiri. Sesuai dengan hokum permintaan, kenaikan harga menyebabkan turunnya jumlah barang yang diminta. Sebaliknya, turunnya harga barang tersebut akan menyebabkan kenaikan kenaikan jumlah barang yang diminta. Sehingga, elastisitas harga mempunyai tanda negatif. Nilai elastisitas dapat membedakan barang menjadi: |ε| < 1 (barang inelastic), |ε| = 1, (barang tersebut termasuk barang yang memiliki elastisitas unit), dan |ε| > 1 (barang elastis).

Elastisitas silang menunjukkan perubahan jumlah barang yang diminta (dalam %) disebabkan oleh perubahan harga barang lain (dalam %). Nilai elastisitas silang tergantung pada hubungan kedua barang tersebut, apakah barang pelengkap (komplementer) dengan nilai elastisitas < 0, barang pengganti (substitusi) dengan nilai elastisitas > 0, atau tidak ada hubungan kegunaan pada kedua barang tersebut (netral) jika nilai elastisitas silangnya = 0.

Elastisitas pendapatan menunjukkan ukuran respon permintaan konsumen terhadap suatu komoditas akibat adanya perubahan pendapatan konsumen. Nilai elastisitas pendapatan dapat dipergunakan untuk mengelompokkan suatu barang apakah termasuk barang inferior, barang normal, atau barang mewah. Nilai elastisitas dapat dibedakan menjadi: ε < 0, barang tersebut termasuk barang inferior, 0 < ε <1, barang tersebut termasuk barang normal atau pokok, dan ε > 1, barang tersebut termasuk barang mewah.

14

Efek Substitusi dan Efek Pendapatan Hubungan permintaan suatu jenis barang dengan adanya perubahan harga

akan menimbulkan dua efek, yaitu efek substitusi dan efek pendapatan. Maksimisasi utilitas dengan asumsi barang normal adalah turunnya harga barang akan meningkatkan jumlah barang yang dibeli. Hal ini dikarenakan efek substitusi (dimana utilitas konsumen bergerak sepanjang kurva indiferen) dan efek pendapatan (dimana utilitas konsumen bergerak ke kurva indiferen yang lebih tinggi) menyebabkan jumlah barang yang dibeli akan lebih banyak (Nicholson 2005). Penurunan harga juga secara relatif meningkatkan pendapatan sehingga ada peningkatan daya beli.

Pada Gambar 4 diperlihatkan pergeseran utilitas dikarenakan penurunan harga beras. Efek substitusi (X1→C) dalam penelitian ini adalah perubahan/penggantian jumlah konsumsi komoditi beras terhadap pangan pokok lokal (dalam hal ini contohnya dengan sagu) dikarenakan adanya perubahan harga beras. Efek pendapatan (C→X2) pada penelitian ini adalah perubahan konsumsi kedua jenis komoditas makanan pokok yaitu beras dan sagu/ubi jalar akibat adanya perubahan pendapatan, dengan harga barang diasumsikan tetap. Penjumlahan dari kedua efek ini disebut efek total perubahan permintaan suatu barang karena terjadi perubahan harga.

Efek substitusi dan efek pendapatan dapat digunakan untuk menentukan tipe/jenis barang. Efek pendapatan mampu menjelaskan apakah suatu barang merupakan barang normal, inferior, atau giffen. Barang normal mempunyai efek pendapatan positif dan barang inferior memiliki efek pendapatan negatif. Apabila efek pendapatan negatif dan lebih besar daripada nilai absolut, maka menimbulkan efek substitusi yang negatif pula sehingga barang ini disebut barang giffen.

Sumber: Nicholson (2006) Gambar 4. Efek subtitusi dan pendapatan saat penurunan harga beras

Dua barang dikatakan bersubstitusi jika harga salah satunya meningkat sehingga permintaan menurun, akan tetapi kuantitas permintaan barang lainnya akan meningkat. Dua barang dikatakan komplemen jika kedua barang bersama-

A

E1

U1

E2

U2

Sagu

Beras

Efek Substitusi

Efek Pendapatan

Efek Total

D

Y1

Y2

C X2 X1

15

sama dikonsumsi untuk memenuhi satu kebutuhan atau dengan kata lain sifat dua barang yang jika harga salah satu barang meningkat, permintaan kedua barang akan sama-sama menurun (asumsi ceteris paribus).

Tinjauan Empiris

Deaton dan Muellbauer (1980) menggunakan model LA-AIDS untuk mengestimasi delapan kelompok komoditas yaitu; makanan, pakaian, perumahan, bahan bakar, minuman dan tembakau, transportasi dan komunikasi dan pengeluaran lainnya di Inggris menggunakan data tahun 1954 - 1974. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komoditas yang tergolong kebutuhan dasar adalah kelompok komoditas makanan dan perumahan.

Ingco (1991) meneliti model sistem permintaan pangan di Filipina menggunakan data time series tahun 1965 - 1988. Komoditas pangan yang diteliti adalah beras, jagung, gandum, daging, ikan, buah dan sayuran. Hasil penenlitian mengemukakan bahwa perubahan harga beras sangat berimplikasi terhadap permintaan barang lain. Permintaan gandum, daging, buah dan sayuran lebih responsif pada perubahan harga sendiri dibandingkan makanan pokok (beras dan jagung). Beras, jagung, dan gandum adalah barang substitusi. Beras, ikan, buah dan sayuran adalah barang komplemen. Gandum walaupun barang substitusi bagi beras, jagung, ikan, buah dan sayuran akan tetapi merupakan barang komplemen bagi daging.

Penelitian Wen et al. (2003) mengenai struktur permintaan pangan di Jepang menunjukkan bahwa pola konsumsi penduduk Jepang mulai berubah, mengurangi konsumsi beras dan mulai lebih meningkatkan konsumsi daging. Penggunaan data survei rumah tangga tahun 1997 memungkinkan memodelkan permintaan pangan dengan kombinasi variabel demografi. Data time series juga digunakan untuk memprediksi pola permintaan jangka pendek dan jangka panjang. Tiga model digunakan untuk menghitung elastisitas antara komoditi beras, roti, mi, daging, ikan, susu, telur, buah dan minyak. Pembandingan Model Working-Leser, Penduga 2 tahap Tobit dan Heckman, dan AIDS kemudian diprediksikan kebutuhan sebagai dasar batasan impor produk pangan.

Taljaard et al. (2004) meneliti permintaan kelompok komoditas daging di Afrika Selatan menggunakan model LA-AIDS dari tahun 1970 sampai dengan 2000. Kelompok komoditas daging dirinci menjadi empat jenis yaitu daging sapi, daging babi, daging ayam, dan daging kambing. Hasil penelitian menunjukkan bahwa daging sapi dan kambing merupakan barang mewah, daging babi masih barang normal, sedangkan daging ayam juga masih barang normal walaupun lebih inelastis dibandingkan daging babi.

Sengul dan Tuncer (2005) dengan menggunakan model LA-AIDS meneliti tentang fungsi permintaan makanan pada rumah tangga miskin di Turki. Hasil penelitian memberikan kesimpulan bahwa respon permintaan antar kelompok makanan bervariasi antara rumah tangga miskin dan sangat miskin. Pengeluaran untuk komoditi roti, padi-padian dan gula sangat tinggi dan pengeluaran untuk ikan, daging dan lemak sangat rendah pada rumah tangga sangat miskin. Konsumsi pangan pada rumah tangga sangat miskin lebih responsif terhadap perubahan harga dan pendapatan dibandingkan rumah tangga miskin.

16

Penelitian mengenai pola konsumsi dan fungsi permintan telah banyak dilakukan oleh peneliti terdahulu, baik itu dalam lingkup lokal maupun internasional. Banyak peneliti memfokuskan penelitian pada analisis permintaan pangan termasuk di Indonesia. Penelitian tersebut lebih banyak menggambarkan kondisi umum, padahal kondisi dan karakteristik kedaerahan yang menunjukkan kearifan lokal belum banyak dilakukan. Penelitian yang menjadi rujukan pola konsumsi rumah tangga dengan menggunakan pendekatan LA-AIDS adalah seperti penelitian yang dilakukan di Filipina dan Jepang. Peneliti memodifikasi dengan memasukkan karakteristik dummy kedaerahan (kearifan lokal) untuk Provinsi Papua.

Kerangka Pemikiran

Kebutuhan rumah tangga dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok besar yaitu kebutuhan pangan dan non pangan. Pemenuhan kebutuhan ini dibatasi oleh tingkat pendapatan. Rumah tangga dengan pendapatan rendah cenderung mengalokasikan pengeluarannya pada komoditi pangan lebih besar dibandingkan dengan komoditi non pangan. Hal ini sesuai dengan teorema Engel yang menyatakan bahwa semakin tinggi pendapatan maka proporsi pengeluaran pangan rumah tangga akan mengecil.

Tujuan pemaksimuman utilitas harus memperhatikan kendala pendapatan, sehingga masalahnya adalah bagaimana memaksimumkan utilitas yang diderivasi dari konsumsi pangan dan non pangan rumah tangga dengan kendala pendapatan tertentu. Di samping itu, perilaku permintaan konsumsi rumah tangga diharapkan tidak hanya merefleksikan pendapatan dan biaya tetapi termasuk karakteristik demografi dan sosial tempat rumah tangga berada karena hal-hal ini dapat memengaruhi fungsi utilitas rumah tangga tersebut.

Penentuan kelompok komoditi di samping berdasarkan literatur, juga didasarkan kepada fakta bahwa antar komoditi pangan tersebut memang diduga berkaitan satu sama lain, misalnya di saat pendapatan naik maka dimungkinkan suatu rumah tangga memilih mengkonsumsi jenis komoditi yang dianggap lebih baik dibandingkan kebutuhan untuk membeli pangan pokok. Komposisi konsumsi akan berubah sesuai prinsip substitusi, kurva indiferen, dan maksimisasi utilitas.

Berdasarkan beberapa hal tersebut, maka fungsi permintaan rumah tangga berdasarkan klasifikasi pendapatan yang dikelompokkan juga berdasarkan lokasi tempat tinggal berdasarkan jenis potensi pangan pokok lokal (daerah yang berpotensi ubi jalar dan daerah yang berpotensi sagu). Berdasarkan hasil penelitian tingkat konsumsi komoditi khususnya pangan. Model LA-AIDS diterapkan untuk kelompok komoditi pangan pokok (beras, ubi jalar, sagu, singkong, dan jagung), pangan hewani (daging dan ikan), sayur serta buah.

17

Keterangan: tidak dianalisis

Gambar 5. Kerangka pemikiran

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kurva permintaan Marshalian, maka hipotesis dari penelitian ini adalah : 1. Semakin tinggi golongan pengeluaran rumah tangga akan memperkecil

proporsi pengeluaran pangan pokok. 2. Klasifikasi potensi pangan lokal mempengaruhi perbedaan pola konsumsi

pangan di masing-masing daerah. 3. Pemberian raskin kepada rumah tangga justru meningkatkan konsumsi pangan

pokok lokal menjadi semakin beras ‘oriented’.

Produksi Beras Papua (tidak mencukupi dan Produktifitas leveling off, bahkan di bawah

nasional )

Skor PPH terendah se-Indonesia, bahkan di bawah

capaian sebelumnya

Trend Konsumsi Beras Meningkat

Kebijakan raskin

Implikasi Kebijakan: kembali pada Kearifan Pangan (Pokok) lokal

Impor Beras

Fungsi Permintaan Pendapatan

Potensi pangan lokal

Pengetahuan Gizi

Self Sufficiency kemampuan usaha

Selera Konsumen Kebijakan

Kebijakan Diversifikasi

Pangan

Harga komoditi lain

Harga komoditi

Pengeluaran Pangan

Ekspektasi

raskin

Elastisitas: harga, silang, pendapatan

Simulasi Dampak

18

3 METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data yang bersumber dari Susenas 2008 – 2010 periode Maret. Data yang digunakan adalah pengeluaran konsumsi rumah tangga beserta karakteristiknya, dengan cakupan Provinsi Papua. Jumlah sampel rumah tangga di Provinsi Papua dari tahun 2008 - 2010 berturut-turut adalah 1 000, 982, dan 1 032 rumah tangga. Jadi, secara keseluruhan jumlah rumah tangga yang diolah sejumlah 3 014 rumah tangga.

Data sekunder yang dijadikan bahan acuan untuk memperdalam analisis adalah data dari BPS, Kementrian Pertanian, dan penelitian yang terkait. Data dari BPS yang digunakan antara lain produksi dan konsumsi beras, dan luas lahan pertanian. Selain data, informasi terkait program ketahanan pangan pokok (beras) di Indonesia dan program diversifikasi pangan dari BKP, Kementan dijadikan rujukan dalam melakukan analisis secara deskriptif.

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain variabel harga, pangsa pengeluaran per komoditi terpilih, dan pendapatan (yang didekati oleh pengeluaran). Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu: 1. Asumsi rutinitas. Data konsumsi Susenas mencatat transaksi pengeluaran

rumah tangga dalam kurun waktu seminggu yang lalu (untuk makanan) dan sebulan terakhir (untuk non makanan). Situasi ekonomi pada saat pengumpulan data seperti gejolak harga, inflasi, musim panen, musim kemarau, sebenarnya mempengaruhi asumsi rutinitas konsumsi rumah tangga. Akan tetapi, hal ini secara teori dimungkinkan untuk dilakukan.

2. Data pendapatan tidak diperoleh, sehingga nilai pendapatan didekati dengan pengeluaran. Pengeluaran konsumsi merupakan pengeluaran konsumsi selama sebulan yang diproksikan dari pengeluaran seminggu yang lalu untuk komoditi makanan dan pengeluaran sebulan yang lalu untuk komoditi bukan makanan.

3. Justifikasi nilai konsumsi terhadap beberapa rumah tangga (dikarenakan tidak semua rumah tangga mengkonsumsi kelompok makanan yang dipilih). Rumah tangga yang tidak mengonsumsi suatu komoditi dilakukan justifikasi nilai pengeluaran dengan menggunakan harga minimum dengan kuantitas yang sangat kecil yaitu 0.000001.

4. Justifikasi nilai pengeluaran konsumsi lebih difokuskan pada nilai pengeluaran konsumsi yang rata-rata merefleksikan gambaran konsumsi suatu komoditi di wilayah tertentu dan untuk menghilangkan efek inflasi maka dilakukan justifikasi dengan mendeflate nilai pengeluaran dengan indeks harga konsumen pada tahun tersebut.

5. Nilai harga untuk komoditi makanan merupakan harga implisit yang dihasilkan dari pendekatan total pengeluaran terhadap total konsumsi. Konversi satuan dilakukan untuk beberapa komoditi, sehingga setiap kelompok komoditas memiliki satuan yang sama

Model LA-AIDS digunakan untuk memperkirakan kebutuhan pangan dan non pangan pada rumah tangga pada semua strata pendapatan (yang didekati dengan pengeluaran) dengan memasukkan variabel penjelas. Estimasi model dilakukan dengan memberikan bobot/penimbang pada setiap rumah tangga agar

19

sampel rumah tangga dapat mewakili populasinya. Adapun variabel yang digunakan (sesuai ketersediaan data) adalah: 1. Nilai pangsa pengeluaran untuk setiap komoditi pilihan perkapita sebulan per

rumah tangga (interval). Cakupan komoditi yang dipilih didasarkan pada konsumsi pangan pokok masyarakat Papua, yaitu beras, ubi jalar, sagu, jagung, dan singkong. Komoditi tambahan yaitu daging, ikan, buah dan sayuran digunakan untuk menganalisis barang komplementer dari pangan pokok utama. Jadi, secara keseluruhan diteliti 9 komoditi pangan. Pemilihan komoditi yang diteliti didasarkan pada kelompok makanan yang sering dikonsumsi sekaligus mewakili pangan sumber karbohidrat dan protein utama.

2. Harga setiap komoditi yang secara implisit didekati dengan nilai pengeluaran dibagi kuantitas konsumsi (interval).

3. Nilai total pengeluaran perkapita sebulan sebagai pendekatan dari pendapatan perkapita sebulan (interval). Hal ini didasarkan dengan asumsi bahwa semua pendapatan sebulan habis seluruhnya digunakan untuk konsumsi, tanpa ada tabungan.

4. Variabel dummy yang menunjukkan: a. golongan rumah tangga (didekati dengan pengeluaran, yaitu miskin

menengah, dan atas (ordinal). Rumah tangga miskin merupakan rumah tangga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Golongan atas merupakan 20% rumah tangga dengan pengeluaran tertinggi, kemudian yang lain pada golongan menengah;

b. jenis potensi pangan lokal dari daerah tempat tinggal yaitu daerah potensi ubi jalar dan potensi sagu (nominal). Kabupaten/kota dikelompokkan berdasarkan produksi pangan pokok lokal yang utama dan nilai konsumsi normatif pangan daerah tersebut;

c. rumah tangga penerima raskin, yaitu: terima raskin dan tidak menerima raskin (ordinal).

5. Variabel tren tahun, yaitu : 2008, 2009, 2010 (ordinal).

Metode Analisis

Analisis Deskriptif Metode analisis deskriptif merupakan suatu metode analisis yang

sederhana yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu observasi dengan menyajikannya dalam bentuk tabel, grafik maupun narasi dengan tujuan untuk memudahkan pembaca dalam menafsirkan hasil observasi. Metode analisis ini digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang pertama.

Metode analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menggambarkan secara umum keragaan kondisi pola konsumsi pangan rumah tangga di Provinsi Papua. Pola konsumsi dianalisis berdasarkan golongan rumah tangga, jenis pangan potensi menurut wilayah, dan status penerimaan raskin. Analisis Model LA-AIDS

Metode analisis model Linear Approximation Almost Ideal Demand System (LA-AIDS), yang dapat digunakan untuk mempelajari fungsi konsumsi dengan variabel sosial ekonomi. Model ini digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang ke-2 dan ke-3. Tujuan ke-2 didasarkan dari hasil model sistem

20

persamaan LA-AIDS sedangkan tujuan ke-3 dijawab menggunakan simulasi berdasarkan elastisitas yang dihitung dari koefisien penduga model.

Model LA-AIDS merupakan pengembangan dari kurva Engel dan fungsi permintaan tidak terkompensasi yang diturunkan dari teori maksimisasi utilitas. Deaton (1980a) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pendapatan (pengeluaran) dengan tingkat konsumsi yang dinyatakan dalam bentuk budget share, sebagai berikut:

wi = αi + β i log x (3.1)

wi menunjukkan proporsi pangsa pengeluaran komoditi i sedangkan x merupakan variabel penjelas yaitu harga dan pendapatan Model permintaan AIDS dibangun berdasarkan fungsi biaya yang didefinisikan sangat spesifik sehingga dapat mewakili struktur preferensi individu. Struktur preferensi ini dimungkinkan dilakukannya agregasi preferensi dari tingkat mikro sampai level yang lebih tinggi secara konsisten. Deaton dan Muellbauer (1980) membangun model permintaan AIDS berdasarkan fungsi biaya yang menunjukkan biaya minimum dari kebutuhan konsumen dalam memaksimalkan utilitasnya pada tingkat dan harga tertentu. Fungsi biaya dapat dinyatakan dengan:

log c(u, p) = (1− u) log[a(p)] + u log[b(p)] (3.2)

c menunjukkan total pengeluaran, u dan p menunjukkan nilai utilitas dan vektor harga. Pada persamaan 3.2 fungsi a(p) dan b(p) bersifat linear positif dan homogen berderajat satu terhadap harga. Fungsi a(p) bernilai antara nol dan satu sehingga dapat diinterpretasikan sebagai biaya subsisten jika nilai u adalah nol. Sedangkan b(p) merupakan biaya “kenikmatan” (cost of bliss) jika nilai u adalah satu. Bentuk logaritmanya dengan sejumlah k komoditi persamaan tersebut dapat ditulis kembali menjadi:

log푐(푢,푝) = 훼 + 훼 logpj+ 12 훾 ∗ log푝 log푝

+ 푢훽 푝

(3.3)

α, β, dan γ adalah parameter. Derivasi parsial dilakukan terhadap harga ∂ log c(u, p) / ∂ log pi = qi dan dengan asumsi nilai u yang konstan serta mengalikan kedua sisi dengan푝 푐(푢, 푝)⁄ , dimana 푝 푞 푐(푢, 푝) = 푤⁄ sehingga persamaan 3.3 menghasilkan fungsi permintaan berupa budget share komoditi i atau dinotasikan wi :

푤 = 훼 + 훾 log푝 + 훽 푢훽 푝 (3.4)

Berdasarkan tujuan memaksimalkan kepuasaan konsumen, total pengeluaran X sama dengan c(u, p), sehingga u dan budget share dapat dinyatakan sebagai fungsi dari pengeluaran dan harga dalam bentuk:

푤 = 훼 + 훾 log푝 + 훽 log 푋푌 (3.5)

Persamaan 3.5 dikenal sebagai model LA-AIDS Deaton dan Muellbauer (1980). P adalah indeks harga, dengan bentuk fungsional :

21

logP = 훼 + 훼 log푝 + 12 훾 ∗ log푝 log푝 (3.6)

Indeks harga dalam bentuk fungsional tersebut akan membentuk persamaan AIDS yang cenderung non linear, sehingga nilai I (Price indeks) diestimasi dengan Stone’s Price indeks :

logI = 푤 log푝 (3.7)

dengan demikian persamaan 3.6 menjadi model Linear Approximation AIDS : 푤 = 훼 + 훾 log푝 + 훽 logx−훽 푤 log푝 (3.8)

Model AIDS dapat bersifat restricted atau unrestricted, dimana model yang restricted mengharapkan terpenuhinya beberapa asumsi dari fungsi permintaan adalah: Adding Up :

푤 = 1, 훼 = 1, 훾 = 0, 훽 = 0

Homogeneity : 훾 = 0, untuk setiap i

Symmetry : γij = γji Fungsi biaya AIDS yang berbentuk fleksibel mengakibatkan fungsi permintaan persamaan 3.8 merupakan first order approximation dari perilaku konsumen dalam memaksimumkan kepuasaannya. Apabila maksimasi kepuasaan tidak terpenuhi atau tidak diasumsikan terjadi, fungsi permintaan AIDS tetap merupakan fungsi yang berhubungan dengan pendapatan dan harga, sehingga tanpa restriksi homogeneity dan symmetry, fungsi tersebut masih merupakan first order approximation terhadap fungsi permintaan secara umum. Beberapa kelebihan model LA-AIDS antara lain: 1. Dapat digunakan untuk mengestimasi sistem persamaan yang terdiri atas

beberapa kelompok komoditi yang saling berkaitan. 2. Model lebih konsisten dengan data pengeluaran konsumsi yang telah tersedia. 3. Karena model merupakan semilog, maka secara ekonometrik model akan

menghasilkan parameter yang lebih efisien artinya dapat digunakan sebagai penduga yang baik.

4. Secara umum konsisten dengan teori permintaan karena adanya restriksi yang dapat dimasukkan dalam model dan dapat digunakan untuk mengujinya

Model LA-AIDS merupakan sebuah sistem persamaan yang secara

ekonometrik dilakukan metode Seemingly Unrelated Regression (SUR) yang diestimasi dengan prosedur Generalized Least Square (GLS). Model SUR terdiri atas suatu kumpulan peubah-peubah endogen yang dipertimbangkan sebagai suatu kelompok karena memiliki hubungan yang erat satu sama lain, sehingga SUR diartikan sebagai regresi yang seolah-olah tidak berkaitan satu sama lain yang disebabkan oleh kedekatan secara teoritis antar persamaan tersebut.

22

Ada beberapa persyaratan dasar yang harus dimiliki oleh sebuah model permintaan, yaitu symmetri dan homogeinity, sedangkan sifat fungsi permintaan yang utama yaitu adding up sudah dipenuhi model. Simetri diderivasi dari teori utilitas yang menunjukkan kekonsistenan konsumen dengan rasionalitas ekonomi dalam mengkonsumsi. Homogenitas menunjukkan kelenturan konsumen dalam melakukan pengaturan dan pengaturan ulang anggaran biaya konsumsi sesuai dengan perubahan anggaran total biaya konsumsi yang dimilikinya.

Sifat restriksi homogen dan simetri sulit untuk dipenuhi bila terjadi ketidakkonsistenan data. Uji restriksi perlu dilakukan untuk menunjukkan efektifitas model yang digunakan. Hasil uji restriksi yang signifikan menunjukkan model yang dihasilkan belum memenuhi asumsi restriksi yang dimaksud. Hasil uji model restriksi dalam penelitian ini dengan model yang tidak direstriksi pada taraf nyata satu persen menunjukkan hasil yang signifikan yang berarti bahwa model tidak terestriksi berbeda dengan model restriksi. Pembahasan selanjutnya mengggunakan model persamaan permintaan dengan memaksakan (impose) restriksi homogen dan simetri. Hal ini didasarkan dengan pertimbangan bahwa asumsi homogen dan simetri merupakan sifat suatu fungsi permintaan. Spesifikasi Model

Dua tahapan model menggunakan model LA-AIDS mengkaji pola konsumsi rumah tangga berdasarkan strata pendapatan. Pengelompokan komoditi utama penelitian ini ada 9 komoditi makanan yaitu beras, ubi jalar, sagu, singkong, jagung, daging, ikan, sayur, dan buah. Model penelitian akan dibentuk untuk masing-masing golongan pendapatan (pengeluaran) yaitu atas, menengah, dan miskin/bawah. Model persamaan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi model yang digunakan Ingco (1991) dan Wen et al. (2003) sebagai pengembangan model asli Deaton dan Muellbauer (1980) sebagai berikut:

푤 = 훼 + ∑ 훾 ln푃 + 훽 푙푛( ) + 휅 퐷퐺표푙푎 + 휆 퐷퐺표푙푏 +

휃 퐷1 + 훿 퐷2 +휑 푡 + 휀 (3.9)

dimana: 푤i = proporsi pangsa pengeluaran perkapita untuk kelompok komoditi ke-i 푃j = estimasi harga kelompok komoditi ke-j ( )ij = total pengeluaran riil, yang dideflasi dengan indeks harga Stone 퐼 i = indeks harga Stone dimana 푙표푔 퐼 = ∑ 휔 푙표푔 푃 퐷푔표푙푎 = dummy golongan rumah tangga, dimana 0=rumah tangga miskin

1=rumah tangga tidak miskin 퐷푔표푙푏 = dummy golongan rumah tangga, dimana 0=rumah tangga menengah

1=rumah tangga atas 퐷1 = dummy potensi pangan lokal, dimana 0=potensi sagu 1=potensi ubi

jalar 퐷2 = dummy status rumah tangga penerima raskin, dimana 0=tidak menerima

1=menerima raskin 푡 = tren waktu, dengan t = 0,1, dan 2 untuk tahun 2008 - 2010 i, j = kelompok komoditas pangan terpilih 1,2,..,9 ԑi = error term pada komoditas ke-i

23

Tujuan ke-3 dianalisis melalui pengukuran elastisitas dan simulasi yang diperoleh dari model LA-AIDS. Analisa dampak perubahan konsumsi komoditi beras dilakukan dengan 3 alternatif kebijakan melalui guncangan perubahan harga. Bentuk umum elastisitas harga pada permintaan yang tidak terkompensasi dari model LA-AIDS adalah:

퐸 = 푑푙푛푄푑푙푛푃 = −훿 +

푑푙푛푤푑푙푛푃 = −훿 + {훾 −훽

푑푙푛푃푑푙푛푃 }/푤

= −훿 + {훾 −훽 푤 }/푤 (3.10)

keterangan: ij = 1 untuk i = j dan ij = 0 untuk i ≠ j. dalam penurunan ini diasumsikan dlnP/dlnPj = wj. Berdasarkan penurunan tersebut, bisa dituliskan rumusan elastisitasnya adalah sebagai berikut:

1. Elastisitas harga sendiri: 휀 = ( ) − 1 (3.11)

2. Elastisitas harga silang: 휀 = ( )

(3.12)

3. Elastisitas pengeluaran (sebagai pendekatan elastisitas pendapatan):

휂 = + 1 (3.13)

dimana:훽 , 훾 merupakan koefisien penduga model LA-AIDS 푤 merupakan rata-rata pangsa pengeluaran

Beberapa faktor yang memengaruhi tingkat elastisitas harga antara lain: 1. Tingkat substitusi. Semakin sulit mencari substitusi suatu barang, permintaan

terhadap barang tersebut semakin inelastis dan sebaliknya. 2. Jumlah pemakai. Semakin banyak jumlah pemakai, permintaan terhadap suatu

barang semakin inelastis, dan sebaliknya. 3. Proporsi kenaikan harga terhadap pendapatan konsumen. Bila proporsi tersebut

besar, maka permintaan cenderung lebih elastis. 4. Jangka waktu. Hal ini berkaitan dengan dimensi waktu, elastisitas jangka

pendek adalah untuk jangka waktu kurang dari satu tahun dan elastisitas jangka panjang untuk jangka waktu lebih dari satu tahun. Untuk barang-barang yang habis dipakai dalam waktu kurang dari satu tahun (tidak tahan lama atau non durable goods), permintaan lebih elastis dalam jangka panjang dibanding jangka pendek. Sebaliknya untuk barang yang masa konsumsinya lebih dari setahun (barang tahan lama atau durable goods), permintaan lebih elastis dalam jangka pendek dibanding jangka panjang.

Hasil penghitungan elastisitas digunakan sebagai dasar dalam pengukuran dampak kebijakan. Simulasi ditentukan berdasarkan alternatif kebijakan yang pernah (dan sedang) menjadi pertimbangan pemerintah. Alternatif kebijakan yang disimulasikan adalah dengan tetap memberikan raskin kepada RTS terutama rumah tangga miskin; mencabut kebijakan raskin sehingga harga beras sesuai harga pasar; dan penggantian raskin menjadi komoditi pangan pokok lain.

24

Simulasi pertama adalah dengan tetap memberikan raskin terhadap RTS. Masih terdapat RTS miskin yang belum memperoleh raskin yang menjadi indikasi belum tepat sasaran. Harga diperhitungkan dengan dasar rata-rata harga beras yang dibayarkan oleh rumah tangga miskin sebagai prioritas RTS. Proporsi rumah tangga miskin yang menerima raskin hanya 55.1% dan membayar beras seharga rata-rata Rp1 859.7, masih terdapat 44.9% rumah tangga miskin yang belum mendapatkan raskin dan membayar beras rata-rata Rp3 096.9. Rata-rata harga beras yang dibayarkan oleh rumah tangga miskin adalah Rp2 415.5. Jadi, apabila semua rumah tangga miskin memperoleh raskin maka terjadi rata-rata harga beras turun sebesar 21.34%.

Simulasi ke-2 adalah kebijakan untuk mencabut raskin sehingga terjadi guncangan harga beras dimana harga disesuaikan harga pasar yaitu menjadi Rp5 200/kg. Harga rata-rata diperhitungkan dari proporsi beras yang bersumber raskin sebesar 33.98% dan yang berasal dari pembelian sebesar 66.02%. harga rata-rata yang diperoleh adalah sebesar Rp4 072.6 sehingga apabila raskin dicabut maka terjadi kenaikan harga beras sebesar 27.37%.

Simulasi ke-3 merupakan alternatif kebijakan yang masih dalam proses perumusan dan koordinasi, yaitu penggantian raskin menjadi Pangkin (komoditi disesuaikan kearifan pangan pokok lokalnya). Dalam cakupan Provinsi Papua, penulis mensimulasikan perubahan harga beras, ubi jalar, dan sagu berturut-turut naik 27.37%, turun 21.9%, dan turun 29.18%. Simulasi yang akan dipilih sebagai usulan kebijakan adalah yang mampu menurunkan konsumsi beras kemudian meningkatkan konsumsi pangan lokal (ubi jalar dan sagu) dengan tetap menjaga batas minimum asupan kebutuhan kalori.

Adapun bentuk matematis simulasi yang dilakukan adalah sebagai berikut:

훿 ln 푖⋮

훿 ln 푗= E

훿 ln푝 ⋮

훿 ln푝훿푙푛푦

(3.14)

Keterangan: i sampai j adalah komoditi pangan terpilih yang dianalisis, yaitu:

beras, ubi jalar, sagu, singkong, jagung, daging, ikan, sayur, dan buah. E adalah matrik 9 x 10, yang merupakan elastisitas harga dan elastisitas pendapatan rumah tangga. p adalah harga komoditi y adalah pendapatan rumah tangga

Langkah selanjutnya dilakukan penghitungan konversi kuantitas konsumsi perkapita menjadi satuan kalori. Semua komoditi terpilih yang merupakan sumber karbohidrat dikalikan dengan rata-rata kalori per satuan (kg) kemudian dijumlahkan. Hasil penjumlahan dibandingkan dengan batas anjuran kalori WNPG dari pangan sumber karbohidrat senilai 1 100 kkal. Kebijakan yang memberikan dampak penurunan konsumsi beras dengan tetap menjaga batas asupan kalori yang telah dianjurkan yang akan disarankan.

25

4 KONSUMSI PANGAN PAPUA

Keragaan Konsumsi Pangan Utama Papua

Provinsi Papua merupakan provinsi terluas di Indonesia, yaitu dengan luas wilayah 316 553.07 km2 atau 16.7% dari luas Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Provinsi Papua berfluktuatif, menunjukkan pasang surut perekonomian. Perekonomian didukung dari sektor pertambangan penggalian dengan kontribusi 52.73% kemudian sektor pertanian 11.71% (BPS Papua 2012). Kondisi 28 kabupaten dan 1 kota cukup bervariasi, ada yang merupakan pulau kecil, wilayah pinggir pantai, maupun wilayah pegunungan berkontur yang sulit dicapai. Puncak Jaya adalah kabupaten yang letaknya tertinggi yaitu pada ketinggian 2 980 m dari permukaan laut. Kondisi geografis dan agroekologi Papua berpengaruh pada konsumsi pangan masyarakatnya, terutama komoditi pangan pokok spesifik lokal. Makanan pokok lokal masyarakat Papua antara lain ubi jalar, talas, gembili, jewawut, dan sagu (Rauf dan Lestari 2009). Pangan lokal tersebut dapat digolongkan menjadi 2 golongan utama yaitu ubi jalar dan sagu Pangan lokal utama masyarakat yang tinggal di daerah pegunungan tengah adalah ubi jalar. Varietas ubi jalar unggulan Papua adalah Papua Solossa, Papua Pattipi, dan Sawentar. Sentra produksi ubi jalar antara lain Kabupaten Jayawijaya, Pegunungan Bintang, Yahukimo, Puncak Jaya, dan Paniai.

Ubi jalar memiliki nilai ekonomis dan sosial yang tinggi bagi bagi penduduk lokal Papua, terutama suku Dani. Ubi jalar dimasak bersama babi dengan cara ’bakar batu’ dalam prosesi perkawinan, kematian, pengukuhan kepala suku, penyambutan tamu, dan festival budaya (Peter 2001). Pada bulan-bulan tertentu saat ubi jalar tidak berproduksi optimal, ketersediaan ubi jalar kadang tidak mencukupi kebutuhan. Hal ini terjadi dikarenakan menunggu masa panen yang berkisar antara 6-8 bulan, proses penyimpanan yang masih tradisional, dan belum adanya industri pengolahan tepung pati ubi. Kondisi tersebut membuat penduduk mengkonsumsi beras yang harganya relatif mahal.. Masyarakat yang tinggal di pesisir pantai dan rawa memiliki pangan lokal utama berupa sagu. Hutan sagu banyak dijumpai di Kabupaten Jayapura, Sarmi, Waropen, dan Merauke dimana penyebaran terbesar adalah di Sentani Kabupaten Jayapura. Tanaman sagu yang dibudidayakan masih relatif sedikit, baru sekitar 14 000 Ha, lebih banyak yang langsung mengambil dari hutan. Meskipun begitu, produksi sagu di Papua masih lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan konsumsi. Konsumsi sagu dapat dicukupi dengan 84.8% kapasitas produksi yang masih tradisional (BPS Papua 2009). Varietas sagu unggulan Papua berdasarkan penelitian Miyazaki (2004) antara lain Para Ifar, Yepha Hongsai, dan Ruruna Ifar dengan produksi pati masing-masing 408.6 kg/pohon, 386.2 kg/pohon, dan 340.6 kg/pohon dengan umur panen 8 tahun.

Persentase pengeluaran pada rumah tangga Papua adalah untuk konsumsi komoditi pangan mencapai 59.46% dan yang terbesar adalah untuk umbi, sayur, dan padi. Kearifan pangan lokal harus dilestarikan dan dibudidayakan, apalagi dalam rangka swasembada pangan. Konsumsi makanan pokok cenderung mengalami peningkatan terutama konsumsi ubi jalar dan beras seperti yang tersaji pada Tabel 4, akan tetapi sagu mengalami tren penurunan. Penurunan konsumsi

26

sagu disebabkan oleh perubahan pilihan konsumsi penduduk ke arah beras dan mie. Adanya anggapan bahwa beras merupakan komoditi yang lebih superior dibandingkan sagu, belum beragamnya produk olahan sagu, akses penduduk pesisir dan dataran rendah yang lebih mudah memperoleh beras, dan penurunan luas hutan sagu akibat konversi lahan membuat komoditi sagu semakin tersisih. Tabel 4. Perkembangan rata-rata jumlah konsumsi pangan di Provinsi Papua

tahun 2008 – 2010 (kg/kap/bulan)

Tahun beras ubi jalar sagu singkong jagung daging ikan sayur buah

2008 4.63 8.07 1.31 0.84 0.14 0.77 1.96 6.19 2.26

2009 4.60 8.74 1.03 1.42 0.17 0.69 2.31 7.01 2.05

2010 5.62 9.95 1.00 1.80 0.15 0.68 1.92 10.43 2.67

tren (%) 10.78 11.06 -12.04 47.98 5.84 -6.37 0.31 31.01 10.49

Sumber: Susenas Panel (2008 – 2010), diolah

Perubahan konsumsi komoditi lain berbeda, konsumsi daging mengalami penurunan sedangkan ikan, sayur dan buah meningkat. Penduduk Papua masih mengutamakan konsumsi komoditi pangan pokok terlebih dulu, baru pangan sumber protein atau memilih sumber protein yang lebih murah. Perubahan tersebut dipengaruhi perubahan harga relatif antar komoditi maupun terhadap pendapatan.

Di daerah dataran rendah maupun pantai yang berpotensi sagu, akses terhadap produk pangan relatif mudah (Data kabupaten yang berpotensi sagu maupun ubi jalar dapat dilihat pada Lampiran 1). Pada Tabel 5 terlihat bahwa rata-rata konsumsi perkapita beras sebulan untuk rumah tangga pada kelompok daerah potensi sagu jauh lebih tinggi daripada kelompok daerah potensi ubi jalar. Konsumsi perkapita yang hampir sama terjadi pada komoditi singkong, daging, dan buah. Komoditi daging termasuk barang yang relatif mahal dibandingkan komoditi lain sehingga konsumsinya terkecil.

Tabel 5. Rata-rata jumlah konsumsi pangan berdasarkan jenis potensi pangan pokok di Provinsi Papua tahun 2008 – 2010 (kg/kap/bulan)

potensi pangan beras ubi

jalar sagu singkong jagung daging ikan sayur buah

sagu 6.90 0.45 1.83 1.10 0.06 0.74 3.17 6.93 2.54

ubi jalar 2.27 20.65 0.12 1.71 0.28 0.67 0.53 9.26 2.04

rata-rata 4.96 8.93 1.11 1.36 0.15 0.71 2.06 7.91 2.33 Sumber: Susenas Panel (2008 – 2010), diolah

Hal tersebut mengindikasikan bahwa terdapat perubahan konsumsi pangan pokok dari sagu menjadi lebih menyukai beras di kelompok daerah yang berpotensi sagu. Berbeda halnya dengan kelompok daerah yang berpotensi ubi jalar, pangan lokalnya yaitu ubi jalar masih menjadi pilihan utama masyarakat dalam mengkonsumsi pangan pokok. Hal ini sesuai penelitian Kahar (2010) yang menyatakan bahwa keragaman konsumsi masyarakat berbeda dikarenakan

27

perbedaan fasilitas dan aksesibilitas suatu wilayah terhadap sumber daya. Berdasarkan data BPS Papua (2012) jumlah rumah tangga miskin tahun

2011 sebanyak 944.79 ribu jiwa (31.98%) sedangkan tahun 2010 hanya 761.6 ribu jiwa (36.8%). Jumlah rumah tangga miskin Papua semakin meningkat namun secara persentase menurun, meskipun masih tertinggi se-Indonesia. Kebijakan pemberian raskin kepada rumah tangga penerima sasaran (RTS) membantu mempertahankan ketahanan pangan, akan tetapi di daerah yang tidak berpotensi beras seperti Papua dapat membuat sangat bergantung dari pasokan luar daerah. Ketergantungan pada daerah luar menyebabkan Papua rentan terhadap guncangan harga maupun ketersediaan. Persyaratan kecukupan (sufficiency condition) untuk mencapai keberlanjutan konsumsi pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan.

Konsumsi pangan perkapita berdasarkan golongan di Papua dapat dilihat pada Tabel 6. Semakin tinggi golongan, konsumsi beras semakin tinggi tapi konsumsi pangan lokal semakin rendah. Golongan rumah tangga yang lebih tinggi mengalihkan konsumsi pangan pokoknya ke beras yang dianggap lebih superior. Konsumsi beras rumah tangga miskin cukup berbeda antara penerima dengan yang tidak menerima raskin. Rumah tangga penerima raskin mengkonsumsi beras lebih banyak yaitu rata-rata 3.01 kg/kapita/bulan sedangkan yang tidak menerima raskin hanya mengkonsumsi 1.46 kg/kapita/bulan. Konsumsi pangan yang hampir sama adalah untuk komoditi sagu, singkong, jagung, dan ikan. Tabel 6. Rata-rata jumlah konsumsi pangan berdasarkan golongan dan

penerimaan raskin di Provinsi Papua tahun 2008 – 2010 (kg/kap/bulan) Golongan-Penerima

raskin beras ubi

jalar sagu singkong jagung daging ikan sayur buah

miskin 2.03 18.23 1.15 1.40 0.19 0.93 0.44 7.70 1.57 raskin 3.01 10.77 1.25 1.47 0.13 1.01 0.47 6.30 1.37

tidak raskin 1.46 22.65 1.10 1.36 0.23 0.88 0.43 8.53 1.69

menengah 5.98 3.97 1.44 1.53 0.11 2.49 0.76 7.69 2.39

atas 8.36 1.28 0.41 0.97 0.15 3.31 1.12 8.69 3.58 Sumber: Susenas Panel (2008 – 2010), diolah

Dari data Papua, terdapat 23.06% rumah tangga miskin yang tidak menikmati raskin, akan tetapi sebanyak 19.3% rumah tangga bukan sasaran mendapatkan raskin. Keberadaan rumah tangga miskin yang tidak menerima raskin dan justru rumah tangga menengah/atas yang menerima merupakan salah satu indikasi raskin masih belum tepat sasaran. Hal ini mendukung penelitian Hastuti et.al (2012) bahwa masih perlu peningkatan ketepatan sasaran dalam pembagian raskin. Lokasi yang sulit dijangkau dan biaya distribusi yang relatif kecil menjadi beberapa alasan ketidaklancaran distribusi pembagian raskin di Papua. Beberapa wilayah yang sulit dijangkau memutuskan bahwa titik distribusi dilakukan di distrik (setingkat kecamatan), bukan di kelurahan/desa seperti alur yang seharusnya.

28

Keterangan: 1. miskin di potensi sagu 2. miskin di potensi ubi jalar 3. menengah di potensi sagu 4. menengah di potensi ubi jalar 5. atas di potensi sagu 6. atas di potensi ubi jalar Sumber: Susenas Panel 2008 - 2010, diolah Gambar 6. (a) Pola konsumsi beras-ubi jalar dan (b) konsumsi beras-sagu rata-rata

perkapita berdasarkan golongan dan jenis potensi di Papua tahun 2008 - 2010

Berdasarkan Gambar 6 dapat dilihat bahwa semakin tinggi golongan maka

konsumsi beras masih semakin tinggi dikarenakan superioritasnya terhadap pangan pokok lokal. Data konsumsi pangan secara riil dapat menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan dan menggambarkan tingkat kecukupan pangan dalam rumah tangga. Perkembangan tingkat konsumsi pangan tersebut secara implisit juga merefleksikan tingkat pendapatan atau daya beli masyarakat terhadap pangan.

Faktor yang Memengaruhi Pola Konsumsi Pangan Lokal di Papua

Penggunaan model LA-AIDS pada sampel rumah tangga Papua berdasarkan golongan pengeluaran, kelompok daerah menurut potensi pangan lokal, dan status penerimaan raskin. Hasil dari model pola konsumsi pangan di Provinsi Papua tersaji pada Tabel 7. Berdasarkan hasil pengolahan yang tersaji pada Lampiran 3, diperoleh nilai system weighted R-square sebesar 0.5895 dengan tingkat kepercayaan 99%. Secara sistem, proporsi total keragaman dari konsumsi tiap komoditi dapat dijelaskan oleh variabel penjelas sebesar 58.95%. Kesimpulan secara umum bahwa pola konsumsi pangan masyarakat Papua dipengaruhi oleh harga komoditi sendiri, harga komoditi lain, pendapatan, golongan pengeluaran, kelompok potensi, dan penerimaan raskin.

Pengaruh pendapatan terhadap proporsi pengeluaran tiap komoditi hampir semuanya nyata kecuali untuk komoditi ubi jalar dan buah. Koefisien pendapatan untuk kelompok komoditi pangan sebagian besar bertanda positif, yang berarti adanya tambahan proporsi pendapatan rumah tangga secara signifikan akan diikuti oleh peningkatan permintaan pada kelompok komoditi pangan tersebut. Koefisien pendapatan yang bertanda negatif adalah untuk komditi beras, ubi jalar,

(a)

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

0.0 5.0 10.0

Kon

sum

si u

bi ja

lar

Konsumsi beras

1

2

3

4

5

6

(b)

0.0

5.0

10.0

15.0

20.0

25.0

30.0

0.0 5.0 10.0

Kon

sum

si sa

gu

konsumsi beras

29

dan sayur, yang berarti adanya tambahan pendapatan akan menurunkan permintaan kelompok komoditi tersebut. Penurunan konsumsi seiring peningkatan pendapatan menunjukkan bahwa teorema Bennet berlaku pada konsumsi pangan rumah tangga di Papua.

Tabel 7. Koefisien penduga parameter model LA-AIDS Provinsi Papua

Parameter w beras

w ubi

jalar

w sagu

w sing kong

w ja gung

w da ging

w ikan

w sa yur

w buah

konstanta 0.562 0.315 -0.013 -0.094 0.037 -0.075 -0.374 0.578 0.053 (<0.0001) (<0.0001) (0.6736) (0.0066) (<0.0001) (0.0940) (<0.0001) (<0.0001) (0.1409)

ln(pberas) 0.011 -0.004 -0.001 -0.001 0.000 -0.002 -0.001 -0.001 -0.001 (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001)

ln(pubijalar) -0.004 0.010 -0.001 -0.002 0.000 -0.001 -0.001 0.001 0.000 (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (0.0033) (0.5224)

ln(psagu) -0.001 -0.001 0.006 -0.001 0.000 0.000 0.000 -0.002 -0.001 (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (0.6620) (0.0035) (<0.0001) (<0.0001)

ln(psingkong) -0.001 -0.002 -0.001 0.005 0.000 0.000 -0.001 0.000 0.000 (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (0.0066) (<0.0001) (<0.0001) (0.4941) (0.0026)

(ln(pjagung) 0.000 0.000 0.000 0.000 0.003 0.000 0.000 -0.002 0.000 (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (0.0066) (<0.0001) (<0.0001) <0.3490) (<0.0001) (0.0003)

ln(pdaging) -0.002 -0.001 0.000 0.000 0.000 0.010 -0.003 -0.003 -0.001 (<0.0001) (<0.0001) (0.6620) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001)

ln(pikan) -0.001 -0.001 0.000 -0.001 0.000 -0.003 0.010 -0.002 -0.001 (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (0.3940) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001)

ln(psayur) -0.001 0.001 -0.002 0.000 -0.002 -0.003 -0.002 0.012 -0.001 (<0.0001) (0.0033) (<0.0001) (0.4941) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001)

ln(pbuah) -0.001 0.000 -0.001 0.000 0.000 -0.001 -0.001 -0.001 0.004 (<0.0001) (0.5224) (<0.0001) (0.0026) (0.0003) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001)

ln(y riil) -0.042 -0.008 0.012 0.013 0.002 0.020 0.049 -0.047 0.001 (<0.0001) (0.2057) (<0.0001) (<0.0001) (0.0018) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (0.6459)

Dgola 0.033 -0.122 -0.029 -0.017 0.002 0.024 -0.014 0.098 0.024 (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (0.0038) (<0.0001) (0.0063) (<0.0001) (<0.0001)

Dgolb 0.048 -0.132 -0.046 -0.032 -0.001 0.013 -0.016 0.125 0.042 (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (0.5191) (0.0387) (0.0288) (<0.0001) (<0.0001)

D1 0.048 0.080 -0.020 0.027 -0.003 0.011 -0.054 -0.048 -0.042 (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (0.0005) (0.0069) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001)

D2 0.005 -0.044 -0.002 0.004 0.002 0.029 0.017 -0.007 -0.005 (0.2829) (<0.0001) (0.4893) (0.1355) (0.0014) (<0.0001) (<0.0001) (0.1205) (0.0636)

t 0.010 0.011 -0.001 0.001 -0.001 -0.012 -0.011 0.003 0.000 (<0.0001) (<0.0001) (0.395) (0.927) (<0.0001) (<0.0001) (<0.0001) (0.101) (0.794)

Sumber: Susenas Panel (2008 – 2010), diolah. Angka dalam kurung merupakan P-value.

Perubahan harga beras sangat berpengaruh terhadap proporsi pengeluaran kelompok komoditi yang dianalisis. Hal ini berarti bahwa beras secara umum masih merupakan kebutuhan pokok utama. Pengaruh harga komoditi lainnya ada yang berpengaruh nyata dan ada yang tidak. Harga bisa berpengaruh positif maupun negatif terhadap permintaan sendiri maupun pada komoditi lain. Pengaruh harga bertanda positif berarti apabila terjadi kenaikan harga maka akan meningkatkan proporsi pengeluaran komoditi, bila bertanda negatif maka pengaruh kenaikan harga akan menurunkan proporsi pengeluaran komoditi. Hasil

30

ini sesuai dengan penelitian Siregar (2002) dan Ilham et al. (2006) yang menyatakan bahwa guncangan harga pangan mempengaruhi inflasi sehingga kemudian akan berdampak negatif terhadap daya beli masyarakat.

Informasi mengenai struktur pengeluaran rumah tangga dapat mengindikasikan seberapa penting pengeluaran komoditi terhadap struktur pengeluaran rumah tangga. Rata-rata total pengeluaran rumah tangga miskin per tahun di daerah potensi sagu lebih tinggi dibandingkan di daerah potensi ubi jalar. Hal ini dapat disebabkan oleh faktor ketersediaan fasilitas dan kemudahan mengakses sumber daya. Hasil yang sama juga didapatkan pada studi sebelumnya yang dilakukan oleh Ariningsih (2004) dan Kahar (2010).

Dummy rumah tangga miskin, menengah, dan atas juga berpengaruh nyata terhadap besaran pengeluaran pangan. Proporsi pengeluaran beras untuk rumah tangga miskin berbeda dengan rumah tangga menengah dan atas. Hal ini sejalan dengan penelitian Sumarwan dan Sukandar (1998) bahwa besar kecilnya pendapatan akan menentukan jenis pangan yang akan dikonsumsi oleh suatu rumah tangga, kemudian jenis pangan tersebut akan menentukan pola konsumsinya. Akan tetapi, beras masih termasuk barang normal untuk semua golongan pengeluaran.

Perbedaan proporsi pengeluaran dan konsumsi beras antara rumah tangga yang tinggal di daerah potensi sagu dengan daerah potensi ubi jalar mengindikasikan bahwa ada perubahan pola pada salah satu daerah tersebut. Pilihan konsumsi pangan pokok masyarakat di daerah potensi sagu semakin terorientasi pada beras dan mulai meninggalkan sagu, tapi tidak di daerah potensi ubi jalar. Hal ini didukung penduga variabel pendapatan yang tidak berpengaruh nyata terhadap pengeluaran ubi jalar. Hal ini menunjukkan bahwa ubi jalar sebagai pangan pokok lokal masih belum tergantikan beras, terutama di daerah pegunungan Papua yang merupakan daerah potensi ubi jalar. Hal ini sedikit berbeda dengan hasil seperti penelitian Rachman dan Ariani (2008) yang menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras sebagai pangan pokok utama. Di Papua masih terdapat daerah yang memanfaatkan kearifan pangan lokal sebagai sumber karbohidrat utama.

Dummy raskin berpengaruh signifikan pada beberapa pengeluaran komoditi seperti ubi jalar, singkong jagung, daging, ikan, dan buah. Hanya pengeluaran beras, sagu, dan sayur yang tidak signifikan dipengaruhi penerimaan raskin. Hal ini berlawanan dengan dugaan awal penulis dilihat dari konsumsi beras menurut penerimaan raskin pada Tabel 6. Keragaman harga beras yang dibayar penerima raskin tinggi, bahkan jauh dari harga yang ditetapkan di titik distribusi. Biaya yang tinggi dalam mendistribusikan raskin terutama di daerah pegunungan yang sulit dijangkau membuat seolah-olah pengeluaran beras tinggi. Oleh karena itu, perlu dilihat juga kuantitas beras yang dikonsumsi menurut daerah potensi dan perbandingan nilai elastisitas dari masing-masing dummy kategori sehingga tidak menimbulkan penafisran yang salah.

Tahap selanjutnya adalah menghitung elastisitas berdasarkan koefisien yang diperoleh pada Tabel 7 menggunakan rumusan (3.11) - (3.13). Hasil penghitungan elastisitas permintaan harga sendiri, elastisitas silang, dan elastisitas pengeluaran disajikan pada Tabel 8. Hasil elastisitas permintaan harga sendiri untuk semua komoditi bernilai negatif. Berdasarkan tanda besaran

31

elastisitas yang berlawanan arah tersebut berarti peningkatan harga barang mengakibatkan penurunan permintaan barang tersebut atau turunnya harga akan meningkatkan permintaan barang.

Selama tahun 2008-2010 hampir semua komoditi merupakan barang inelastis. Hal ini menunjukkan bahwa bagi masyarakat Papua, komoditi pangan masih merupakan barang kebutuhan. Berdasarkan teorema Engel dan Bennet, dengan memperhatikan perbandingan persentase pengeluaran pangan yang lebih besar dari nonpangan sekaligus persentase pangan pokok yang juga lebih dari pangan lain maka dapat diartikan bahwa lebih banyak masyarakat Papua yang termasuk berpendapatan rendah. Hal ini didukung fakta bahwa Provinsi Papua mempunyai angka kemiskinan tertinggi di Indonesia. Tabel 8. Elastisitas permintaan harga sendiri, silang, dan pendapatan rumah

tangga di Provinsi Papua menurut komoditi

Elastisitas harga

beras ubi jalar sagu singkong jagung daging ikan sayur buah

beras -0.90* 0.016 0.095 0.105 -0.123 0.056 0.063 0.037 0.013 ubi jalar 0.014 -0.93* -0.083 -0.134 -0.098 -0.045 0.053 0.037 0.004 sagu 0.002 -0.005 -0.85* -0.035 -0.054 -0.008 -0.009 0.003 -0.009 singkong 0.002 -0.014 -0.030 -0.86* -0.024 -0.010 -0.016 0.008 0.003 jagung 0.000 -0.001 -0.009 -0.005 -0.48* -0.002 -0.002 -0.009 -0.001 daging 0.013 -0.003 -0.033 -0.048 -0.051 -0.92* -0.043 -0.007 -0.011 ikan 0.030 0.000 -0.048 -0.098 -0.070 -0.062 -0.99* -0.026 -0.017 sayur 0.042 0.014 0.086 0.083 -0.026 -0.077 -0.077 -0.90* -0.018 buah 0.013 0.003 -0.044 0.024 -0.047 -0.023 -0.029 -0.012 -0.95* pendapatan -0.784 -0.920 -0.916 -0.968 -0.973 -1.091 -1.052 -0.869 -0.986

Keterangan: *) elastisitas harga sendiri Sumber: Susenas Panel (2008 – 2010), diolah.

Nilai elastisitas harga sendiri kelompok komoditi yang dianalisis kurang dari satu atau bersifat inelastis, yang berarti bahwa persentase perubahan harga lebih tinggi dibandingkan persentase perubahan permintaan. Seberapapun besarnya perubahan harga komoditi, permintaan komoditi yang bersifat inelastis tidak banyak berubah. Hal ini dikarenakan komoditi yang bersifat inelastis tersebut biasanya merupakan bahan kebutuhan pokok yang dibutuhkan. Kebutuhan pokok akan diutamakan untuk dikonsumsi sampai dengan jumlah tertentu.

Nilai elastisitas jika dilihat menurut dummy kategori seperti yang tersaji pada Tabel 9 dapat memberikan informasi apakah ada perbedaan berdasarkan kondisi. Besaran elastisitas harga sendiri untuk masing-masing golongan pengeluaran ada sedikit perbedaan.. Komoditi ikan masih bersifat inelastis bagi rumah tangga golongan miskin, tapi sudah bersifat elastis bagi rumah tangga menengah dan atas. Hal ini terlihat dari nilai elastisitas harga ikan yang lebih dari 1 pada golongan menengah dan atas. Rumah tangga menengah dan atas lebih responsif terhadap perubahan harga ikan. Mereka lebih mudah mencari alternatif komoditi substitusi lain yang harganya relatif lebih murah apabila terjadi kenaikan harga ikan.

32

Komoditi selain ikan memiliki kondisi yang tidak berbeda bagi masing-masing golongan pengeluaran. Komoditi beras bersifat inelastis untuk semua golongan pengeluaran, akan tetapi nilai elastisitas golongan menengah dan atas lebih tinggi dibandingkan golongan miskin. Hal ini dapat diartikan bahwa dengan semakin tinggi golongan, akan merubah pola konsumsi terhadap beras menjadi lebih responsif terhadap perubahan harga seperti yang dikemukakan pada teorema Engel dan Bennet. Dengan nilai yang lebih besar diharapkan mengarah menjadi komoditi yang lebih elastis. Komoditi beras yang semakin elastis berarti masyarakat akan menjadi lebih tahan terhadap guncangan harga beras. Tabel 9. Elastisitas permintaan harga sendiri menurut kategori di Provinsi

Papua menurut komoditi

Elastisitas dummy golongan dummy potensi dummy raskin

total miskin menengah atas sagu ubi

jalar tidak

terima terima

beras -0.87 -0.91 -0.91 -0.91 -0.87 -0.89 -0.91 -0.90 ubi jalar -0.96 -0.83 -0.42 -0.27 -0.97 -0.94 -0.85 -0.93 sagu -0.89 -0.87 -0.52 -0.91 -0.21 -0.81 -0.90 -0.85 singkong -0.89 -0.86 -0.70 -0.84 -0.88 -0.85 -0.88 -0.86 jagung -0.60 -0.36 -0.35 -0.10 -0.71 -0.53 -0.29 -0.48 daging -0.89 -0.92 -0.94 -0.91 -0.92 -0.92 -0.91 -0.92 ikan -0.94 -1.00 -1.01 -1.01 -0.89 -0.99 -1.00 -0.99 sayur -0.89 -0.90 -0.90 -0.90 -0.90 -0.90 -0.90 -0.90 buah -0.93 -0.95 -0.96 -0.95 -0.93 -0.95 -0.94 -0.95

Sumber: Susenas Panel (2008 – 2010), diolah. Berdasarkan jenis potensi, tentu saja elastisitas harga untuk komoditi pangan

lokalnya sesuai dengan jenis potensi pangan lokalnya masing-masing. Elastisitas harga sagu lebih tinggi di daerah potensi sagu, begitu juga elastisitas harga ubi jalar lebih tinggi di daerah ubi jalar. Komoditi beras di daerah potensi ubi jalar mempunyai elastisitas harga lebih tinggi dibandingkan di daerah potensi sagu. Komoditi ikan bersifat elastis di daerah potensi sagu tapi masih bersifat inelastis di daerah potensi ubi jalar. Ketersediaan dan kemudahan akses terhadap sumber daya (pangan) di daerah potensi sagu membuat pilihan masyarakat menjadi lebih beragam.

Elastisitas harga semua komoditi berdasarkan status penerimaan raskin tidak berbeda jauh antara yang menerima ataupun yang tidak menerima raskin, walaupun nilai elastisitas yang menerima raskin lebih besar dibandingkan yang tidak menerima.. Adanya kebijakan raskin melalui harga subsidi yang dibayarkan rumah tangga senilai Rp1 600/kg direspon dengan peningkatan permintaan untuk komoditi beras sebesar 0.91% bagi yang menerima, sedangkan bagi yang tidak menerima raskin hanya merespon sebesar 0.89%.

Tren elastisitas harga sendiri periode tahun 2008-2010 yang tersaji pada Lampiran 4 terlihat bahwa hampir semua komoditi pangan pokok yang dianalisis tidak banyak berubah, kecuali komoditi sagu yang cenderung semakin rendah nilainya. Respon perubahan permintaan komoditi sagu terhadap perubahan harganya semakin lama semakin rendah. Elastisitas harga beras dari tahun ke tahun belum berubah, yang bisa diartikan masyarakat masih terorientasi pada

33

beras, masih nyaman dan belum siap untuk berpindah ke komoditi pangan pokok lokalnya.

Berdasarkan Tabel 8, terlihat bahwa nilai elastisitas pendapatan komoditi beras, ubi jalar, dan sayur berada di antara 0 dan 1. Hal ini berarti bahwa ketiga komoditi tersebut masih bersifat barang normal. Komoditi beras, ubi jalar, dan sayur termasuk barang kebutuhan pokok dimana nilai elastisitas pendapatan kurang dari 1 dan merupakan barang inelastis. Komoditi pangan lain secara umum ada yang dianggap sebagai barang mewah/luxury oleh rumah tangga di Papua. Hal ini ditunjukkan dengan nilai elastisitas pendapatan yang lebih dari 1. Komoditi yang dianggap mewah terutama pangan sumber protein hewani, yaitu komoditi daging dan ikan.

Pola elastisitas pendapatan berdasarkan potensi pangan hampir sama dengan pola elastisitas pendapatan total seperti yang tersaji pada Lampiran 4. Jadi, perbedaan potensi pangan tidak menyebabkan perbedaan pola elastisitas pendapatan terhadap permintaan komoditi. Pola elastisitas pendapatan antara daerah potensi sagu dengan potensi ubi jalar tidak berbeda, hanya nilainya saja yang berbeda. Jenis komoditi yang bersifat barang normal maupun barang mewah juga sama. Penambahan pendapatan akan lebih memperbesar konsumsi barang mewah seperti teorema Bennett.

Tren elastisitas pendapatan selama periode 2008-2010 yang tersaji pada Lampiran 4 ada penambahan walaupun tidak banyak, baik di daerah potensi sagu maupun ubi jalar. Komoditi yang penambahannya kontinu antara lain daging dan ikan sebagai makanan sumber protein. Elastisitas pendapatan komoditi singkong dan jagung di tahun 2008-2009 meningkat tapi kemudian turun di tahun 2009-2010. Dari nilai elastisitas pendapatan (pada Tabel 8 dan lampiran) dapat disimpulkan bahwa ada kecenderungan peningkatan alokasi pengeluaran untuk komoditi sumber protein dan sumber karbohidrat utama (beras dan ubi jalar).

Nilai elastisitas harga silang (Tabel 8) ada yang bertanda negatif dan ada yang bertanda positif, yang menyatakan dua bentuk hubungan yang terjadi antara kelompok komoditi, yaitu substitusi (pengganti) dan komplementer (pelengkap). Nilai elastisitas harga silang semuanya kurang dari satu. Hal ini menunjukkan bahwa satu persen perubahan harga suatu barang diiringi oleh perubahan persentase permintaan barang lain kurang dari satu persen atau besarnya persentase perubahan harga suatu barang diikuti oleh perubahan permintaan barang lain namun tidak sebesar perubahan persentase harganya.

Semua komoditi pangan merupakan barang subtitusi terhadap beras. Kenaikan harga beras akan meningkatkan konsumsi seluruh komoditi lainnya seperti ubi jalar, sagu, daging, ikan, dan sayur. Dalam rangka menurunkan konsumsi beras dan beralih kepada pangan sumber karbohidrat lokal seperti ubi jalar dan sagu sesuai saran WNPG, maka sebaiknya harga beras raskin disesuaikan dengan harga pasar secara bertahap.

Bentuk hubungan komplementer terjadi antara kelompok komoditi sumber protein (daging dan ikan) dengan komoditi pangan pokok lain. Penurunan harga daging dan ikan akan meningkatkan konsumsi komoditi terpilih lain. Hubungan yang berlawanan ini dikarenakan komoditi tersebut saling melengkapi, dan cenderung tidak dapat berdiri sendiri. Komoditi ubi jalar mempunyai 2 hubungan dengan komoditi pangan lain. Ubi jalar

34

berkomplementer dengan pangan pokok lain dan daging sehingga kenaikan harga ubi jalar akan menurunkan permintaan produk tersebut. Sebaliknya, ubi jalar bersubstitusi dengan komoditi ikan, sayur, dan buah. Apabila terjadi kenaikan harga ubi jalar maka rumah tangga akan mengalihkan konsumsi ke produk substitusinya sehingga akan terjadi peningkatan konsumsi ikan, sayur, dan buah.

Dampak Kebijakan Raskin terhadap Konsumsi Pangan Pokok

Kebijakan pemerintah di bidang ekonomi akan berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap rumah tangga. Salah satu kebijakan tersebut adalah kebijakan harga dimana secara mikro mempengaruhi konsumsi rumah tangga dan secara makro mengganggu stabilitas nasional apabila menimbulkan inflasi yang terlalu tinggi. Inflasi akan menurunkan pendapatan riil masyarakat sehingga dapat menurunkan aktifitas produksi. Simulasi diperlukan untuk melihat sejauh mana dampak kenaikan harga terhadap perubahan permintaan komoditi.

Nilai elastisitas harga sendiri secara matematis merupakan suatu rasio antara persentase perubahan permintaan komoditi dengan persentase perubahan harga komoditi. Simulasi perubahan harga dilakukan untuk melihat berapa besar efek yang dirasakan oleh rumah tangga. Simulasi dilakukan untuk melihat perubahan permintaan rumah tangga terhadap komoditi apabila terjadi perubahan harga dan pemberian subsidi oleh pemerintah. Simulasi tersebut antara lain : a. Pemberian raskin terhadap RTS secara kontinu. Masih terdapat RTS miskin

yang belum memperoleh raskin yang menjadi indikasi belum tepat sasaran. Harga diperhitungkan dengan dasar rata-rata harga beras yang dibayarkan oleh rumah tangga miskin sebagai prioritas RTS. Jadi, apabila semua rumah tangga miskin memperoleh raskin maka terjadi penurunan rata-rata harga beras sebesar 21.34%.

b. Pencabutan raskin dari RTS, hal ini menyebabkan RTS akan membayar beras sesuai harga pasar. Kenaikan harga rata-rata beras menjadi sebesar 27.37%. Nilai ini diperhitungkan dari proporsi beras yang bersumber raskin sebesar 33.98% dan yang berasal dari pembelian sebesar 66.02%.

c. Simulasi ke-3 merupakan alternatif kebijakan yang masih dalam proses perumusan dan koordinasi, yaitu penggantian raskin menjadi subsidi pangan untuk rmasyarakat miskin (pangkin) dimana komoditinya disesuaikan kearifan pangan pokok lokal daerah masing-masing. Dalam cakupan Provinsi Papua, penulis mensimulasikan perubahan harga beras, ubi jalar, dan sagu berturut-turut naik 27.37%, turun 21.9%, dan turun 29.18%.

Pengukuran elastisitas dilakukan sebagai dasar dalam perhitungan pada simulasi. Ketiga alternatif simulasi dilakukan untuk mengukur dampak perubahan konsumsi apabila ada kebijakan tersebut diterapkan sehingga terjadi perubahan harga. Perubahan konsumsi komoditi diukur dan dihitung perubahan konsumsi beras serta peningkatan konsumsi pangan pokok lokal (ubi jalar dan sagu). Hasil perubahan permintaan masing-masing komoditi berdasarkan ke-3 simulasi ditampilkan pada Tabel 10. Simulasi yang dipilih adalah simulasi yang memberikan dampak penurunan konsumsi beras dan peningkatan konsumsi pangan pokok lokal. Dampak tersebut juga tetap memberikan batas asupan gizi dan kalori untuk pangan pokok sesuai rekomendasi WNPG 2004 yaitu

35

sebesar 1 100 kkal/kapita/hari. Hasil simulasi 1 menunjukkan bahwa dengan tetap memberikan raskin

akan menyebabkan peningkatan konsumsi beras sebesar 19.18% tetapi menurunkan konsumsi ubi jalar dan sagu masing-masing 0.29% dan 0.04%. Peningkatan konsumsi beras akan membuat Papua semakin tergantung pada pasokan dari luar, semakin mudah terkena guncangan terutama ketersediaan beras. Simulasi 1 akan semakin memperbesar konsumsi beras sehingga target penurunan konsumsi beras 1.5% pertahun tidak akan tercapai.

Simulasi 2 melalui pencabutan raskin memberikan dampak yang signifikan terhadap penurunan konsumsi beras (yaitu sebesar 25.52%), tapi peningkatan pangan pokok lokal hanya bertambah sedikit. Simulasi 2 dikhawatirkan memberikan dampak lain, yaitu penurunan gizi anggota rumah tangga sasaran sehingga dikhawatirkan rumah tangga tidak bisa mempertahankan ketahanan pangannya. Kasus gizi buruk, bahkan kelaparan/kematian seperti yang terjadi pada tahun 2005 lalu di Yahukimo diharapkan tidak akan terjadi lagi. Rumah tangga miskin akan semakin kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan lain seperti pendidikan dan kesehatan. Tabel 10. Persentase perubahan permintaan/konsumsi menurut komoditi

berdasarkan hasil alternatif simulasi di Provinsi Papua (%)

Komoditi Simulasi 1 (Pemberian

raskin)

Simulasi 2 (Pencabutan

raskin)

Simulasi 3 (Penggantian

raskin ke Pangan Lokal)

beras 19.18 -25.52 -27.73 ubi jalar -0.29 0.39 23.19 sagu -0.04 0.06 25.01 singkong -0.05 0.06 1.23 jagung 0.01 -0.01 0.28 daging -0.27 0.36 1.37 ikan -0.64 0.85 2.22 sayur -0.91 1.21 4.84 buah -0.29 0.38 1.59

Sumber: Susenas Panel (2008 – 2010), diolah

Simulasi 3 mengakomodasi penurunan beras dan meningkatkan konsumsi pangan pokok lokal. Beras diganti menjadi paket ubi jalar/sagu disesuaikan dengan potensi pangan pokok lokalnya. Pengaruh kenaikan harga beras diimbangi dengan penurunan harga pangan lokal (ubi jalar atau sagu). Dampak simulasi 3 memberikan hasil penurunan konsumsi beras sebesar 21.47%; tetapi tergantikan dengan kenaikan konsumsi ubi jalar dan sagu (yaitu 23.19% dan 25.01%).

Kesetaraan kalori yang dihasilkan dari ke-3 simulasi diukur untuk membandingkan dengan anjuran WNPG 2004 yaitu 2 200 kkal secara total dan 1 100 kkal untuk makanan pokok. Batas minimum energi tersebut harus dipenuhi agar tidak terjadi rawan pangan (Tejasari 2003). Hasil simulasi 2 memberikan kalori sebesar 1 000 kkal, berada di bawah anjuran sehingga sebaiknya tidak dilakukan. Jadi, kebijakan pencabutan raskin tidak disarankan. Simulasi 1 dan 3 sama-sama memberikan hasil di atas anjuran, yaitu

36

menghasilkan kalori sebesar 1 252 kkal dan 1 140 kkal. Akan tetapi, simulasi 3 adalah yang memberikan hasil terbaik dengan pertimbangan adanya penurunan konsumsi beras tapi tetap memberikan gizi yang masih di atas batas anjuran. Jadi, kebijakan yang diusulkan adalah penggantian raskin yang dialihkan pada pangan pokok lokal.

Penggantian kebijakan raskin menjadi komoditi lain (pangkin) masih sulit diterapkan dalam waktu dekat. Kebijakan ini membutuhkan kesiapan lembaga pengelola, data ketersediaan pangan lokal tiap wilayah, data konsumsi, karakteristik rumah tangga yang lebih spesifik, serta membutuhkan biaya persiapan yang besar. Penerapan dalam waktu dekat diarahkan dengan pemberian kupon yang hanya bisa ditukarkan dengan kuantitas pangan pokok lokal dimaksud dengan harga subsidi. Pemberian kupon bersyarat akan dapat meminimalkan penyalahgunaan untuk pembelian keperluan lain. Penerapan tersebut hanya bersifat sementara menunggu prosedur dan sistem yang harus direncanakan dengan matang.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Pangan pokok lokal utama masyarakat Papua adalah ubi jalar dan sagu. Konsumsi pangan pokok daerah potensi sagu sudah tergantikan beras, akan tetapi daerah potensi ubi jalar masih mengutamakan pangan pokok lokalnya.

2. Secara umum, konsumsi komoditi dipengaruhi oleh harga sendiri, harga komoditi lain, pendapatan, golongan pengeluaran, potensi pangan, dan status penerimaan raskin. Tipe potensi pangan berpengaruh terhadap konsumsi beras, daerah potensi sagu mempunyai tingkat konsumsi beras yang lebih tinggi daripada daerah potensi ubi jalar.

3. Usulan program penggantian raskin menjadi berbasis pangan lokal lebih baik dibandingkan dengan tetap memberikan raskin maupun pencabutan raskin.

Saran

1. Pemerintah Papua diharapkan menyusun aturan nyata terkait program

penganekaragaman pangan yang semakin mengedepankan potensi pangan pokok lokal. Pengolahan pangan lokal menjadi komoditi yang lebih bernilai tambah sebaiknya dikembangkan untuk segera dapat menggantikan beras.

2. Harga beras raskin sebaiknya disesuaikan harga pasar. Penyesuaian harga dapat dilakukan secara bertahap, dengan mempertimbangkan daya beli masyarakat.

3. Program raskin sebaiknya segera diganti dengan program subsidi pangan lain yang berbasiskan pangan pokok lokal. Untuk daerah Papua yang berpotensi sagu maka beras diganti dengan sagu dan daerah yang berpotensi ubi jalar maka penggantinya juga ubi jalar. Teknis penggantian dalam waktu dekat diusulkan dengan pemberian kupon yang hanya bisa ditukarkan dengan sejumlah kuantitas pangan pokok lokal dimaksud dengan harga subsidi.

37

DAFTAR PUSTAKA

Ariani M, Ashari. 2003. Arah, Kendala, dan Pentingnya Diversifikasi Konsumsi Pangan di Indonesia. Forum Agro Ekonomi. 21(2).

Ariningsih E. 2004. Analisis Perilaku Konsumsi Pangan Sumber Protein Hewani dan Nabati pada masa krisis ekonomi di Jawa. Icaserd Working Paper No. 56.

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2011. Statistik Indonesia 2011. Jakarta: BPS. [BPS Papua] Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. 2009. Neraca Bahan Makanan

Provinsi Papua 2009. Papua: BPS Papua. [BPS Papua] Badan Pusat Statistik Provinsi Papua. 2012. Papua Dalam Angka

2012. Papua: BPS Papua. [Bappenas] Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2008. Rencana Aksi

Nasional Pangan dan Gizi 2006 – 2010. Jakarta: Bappenas. Barrett CB. 1999. The Microeconomics of the Developmental Paradox: On the

Political Economy of Food Price Policy. .Agricultural Economics. 20 (2): 159-361.

Deaton A, Muellbauer J. 1980. An Almost Ideal Demand System. The American Economic Review. 70 (3): 312-326.

Hastuti, Sulaksono B, Mawardi S. 2012. Tinjauan Efektivitas Pelaksanaan Raskin dalam Mencapai Enam Tepat. Lembaga Penelitian SMERU. Kertas Kerja Juli 2012

Henderson JM, Quandt RE. 1980. Microeconomic Theory A Mathematical Approach. 3rd Ed. Singapore: McGraw-Hill, Inc.

Ilham N, Siregar H, Priyarsono DS. 2006. Efektivitas Kebijakan Harga Pangan terhadap ketahanan Pangan. Jurnal Agro Ekonomi. 24 (2): 157-177.

Ingco MD. 1991. Is Rice Becoming an Inferior Good? Food Demand in Philiphines. Working Paper No. WPS 722

Kahar M. 2010. Analisis Pola Konsumsi Daerah Perkotaan dan Pedesaan serta keterkaitannya dengan Karakteristik Sosial Ekonomi di Propinsi Banten [tesis]. Bogor: Pasca Sarjana, IPB.

Mardianto S, Supriatna Y, Agustin NK. 2005. Dinamika Pola Pemasaran Beras dan Gabah di Indonesia. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 23(2): 116-131.

Miyazaki A. 2004. Studies of Differences in Photosyntetic Abilities among Varieties and Related Character in Sago Palm. Japan: Faculty of Agribusiness, Kochi University.

Nicholson W. 2005. Teori Mikro Ekonomi Prinsip Dasar dan Perluasan. Wirajaya D, penerjemah. Jakarta: Binarupa Aksara. Terjemahan dari: Microeconomic Theory Basic Principles and Extensions.

Pemerintah Republik Indonesia. 1996. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996 Tentang Pangan. Jakarta: Sekretariat Negara.

Pemerintah Republik Indonesia. 2012. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan. Jakarta: Sekretariat Negara.

Peter J. 2001. Human-Sweet Potato-Pig-System Characterization and Research in Irian Jaya, Indonesia: A Secondary literarture Review. International Potato Center Support from ACIAR. Working Paper No. 77.

38

Rachman HPS, Ariani M. 2008. Penganekaragaman Konsumsi Pangan di Indonesia: Permasalahan dan Implikasi untuk Kebijakan dan Program. Analisis Kebijakan Pertanian. 6 (2): 140-154.

Rauf AW, Lestari MS. 2009. Pemanfaatan Komoditas Pangan Lokal sebagai Sumber Pangan Alternatif di Papua. Jurnal Litbang Pertanian. 28 (2): 54-62.

Retnaningsih RD. 2007. Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Skor PPH pada Keluarga Petani Sawah Tadah Hujan [tesis]. Semarang: Universitas Negeri Semarang.

Sengul S, Tuncer I. 2005. Poverty Levels and Food Demand of the Poor in Turkey. Agribusiness. 21 (3):289-311.

Simatupang P, Timmer CP. 2008. Indonesian Rice Production: Policies and Realities. Bulletin of Indonesian Economic Studies. 44 (1): 65-79.

Siregar H. 2002. Perspektif Implememntasi Kebijakan Stabilisasi Harga Gabah/Beras Pasca Bulog. Lokakarya Ketahanan Pangan Pasca Bulog. Jakarta: Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian.

Siregar H, Anggraini L. 2010. Efektivitas Program Raskin dan Diversifikasi Pangan. Focus Froup Discussion 26 Juni 2010. Kementrian Koordinator Bidang Perekonomian.

Sumarwan U, Sukandar D. 1998. Analisis Ketahanan Pangan Keluarga dan Kesejahteraan Keluarga. Media Gizi dan Keluarga. XXII(1): 31-38.

Suryana A. 2001. Kebijakan Nasional Pemantapan Ketahanan Pangan. Jakarta: Badan Bimas Ketahanan Pangan, Departemen Pertanian.

Suryana A, Mardianto S. 2001. Bunga Rampai Ekonomi Beras. Jakarta: Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-UI).

Taljaard PR, Alemu ZG, Van Schalkwyk HD. 2004. The Demand for Meat in South Africa: an Almost Ideal Estimation. Agrekon. 43 (4): 430-442.

Todaro MP, Smith SC. 2006. Pembangunan Ekonomi. Ed ke-9. Munandar H, penerjemah. Jakarta: Erlangga.

Wen SC, Kimiko I, Kiyoshi T, Yuki T. 2003. Analysis of the food consumption of Japanese households. FAO Economics and Social Development Paper No. 152.

39

LAMPIRAN Lampiran 1. Daftar Kabupaten/Kota di Papua berdasarkan Potensi Pangan

Kabupaten/ Kota Konsumsi normatif serealia*

Rasio konsumsi

ubi jalar/sagu

Konsumsi normatif ubi jalar*

Konsumsi normatif

sagu* Potensi

Merauke 0.51 0.70 1.76 0.90 sagu

Jayawijaya 0.59 3.63 1.54 17 004.55 ubi

Jayapura (kota dan kab) 2.3 1.38 2.68 1.21 sagu

Nabire 1.57 4.17 0.90 89.86 ubi

Yapen Waropen 3.48 0.70 1.14 0.94 sagu

Biak Numfor 3.72 0.78 1.22 0.86 sagu

Paniai 1.57 1.77 1.85 187.81 ubi

Puncak Jaya 7.54 15 929.11 0.07 0.09 ubi

Mimika 5.47 0.87 1.17 27.04 sagu

Boven Digoel 2.7 0.67 0.43 8 640.07 sagu

Mappi 15.99 0.39 3.21 36 521.19 sagu

Asmat 95.42 0.00 2.00 327.95 sagu

Yahukimo 0.88 100 698.21 4.43 7.52 ubi

Pegunungan Bintang 1.65 4.08 1.14 17 073.79 ubi

Tolikara 0.45 11.32 2.35 120.38 ubi

Sarmi 2.05 0.00 0.00 31.12 sagu

Keerom 2.23 0.78 0.76 71.96 sagu

Waropen 0.84 0.00 0.00 41.13 sagu

Supiori 7.26 0.10 0.00 0.00 sagu Sumber: Badan Ketahanan Pangan (BKP)*

40

Lampiran 2. Hasil Output SAS dengan metode Pooled

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 1

The SYSLIN Procedure

Ordinary Least Squares Estimation

Model

A

Dependent Variable w1

Label

w1

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares

Mean Square F value Pr > F

Model 16 18917.55 1182.347 237.87 <.0001

Error Corrected 2997 14896.49 4.970467

Total 3013 33814.04

Root MSE

2.22945

R-Square 0.55946

Dependent Mean 0.19297

Adj R-Sq 0.55711

Coeff Var

1155.35242

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 2 The SYSLIN Procedure

Ordinary Least Squares Estimation Parameter Estimates

Variable DF

Parameter Estimate

Standard Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 0.644767 0.060324 10.69 <.0001 Intercept

lp1 1 0.012436 0.000304 40.94 <.0001 lp1

lp2 1 -0.00185 0.000239 -7.76 <.0001 lp2

lp3 1 -0.00197 0.000229 -8.6 <.0001 lp3

lp4 1 -0.00022 0.000193 -1.17 0.244 lp4

lp5 1 -0.00151 0.000325 -4.64 <.0001 lp5

lp6 1 -0.00151 0.000178 -8.48 <.0001 lp6

lp7 1 -0.00048 0.00027 -1.76 0.0777 lp7

lp8 1 -0.00476 0.000812 -5.86 <.0001 lp8

lp9 1 -0.00098 0.000209 -4.66 <.0001 lp9

ly 1 -0.04662 0.00534 -8.73 <.0001 ly

gola 1 0.031351 0.005926 5.29 <.0001 gola

golb 1 0.04718 0.008579 5.5 <.0001 golb

t 1 0.010447 0.002445 4.27 <.0001 t

D1a 1 0.038551 0.006098 6.32 <.0001 D1a

D2_ 1 -0.0002 0.004617 -0.04 0.9662 D2_

41

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 3

The SYSLIN Procedure

Ordinary Least Squares Estimation

Model

B

Dependent Variable w2

Label

w2

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares

Mean Square F value Pr > F

Model 16 75491.24 4746.327 691.42 <.0001

Error Corrected 2997 20573.12 6.864571

Total 3013 96514.35

Root MSE

2.62003

R-Square 0.78684

Dependent Mean 0.16029

Adj R-Sq 0.7857

Coeff Var

1634.55987

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 4

The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation

Parameter Estimates

Variable DF

Parameter Estimate

Standard Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 -0.07039 0.070892 -0.99 0.3209 Intercept

lp1 1 -0.00972 0.000357 -27.24 <.0001 lp1

lp2 1 0.0067 0.000281 23.88 <.0001 lp2

lp3 1 -0.00179 0.000269 -6.66 <.0001 lp3

lp4 1 -0.00378 0.000226 -16.7 <.0001 lp4

lp5 1 -0.00168 0.000382 -4.4 <.0001 lp5

lp6 1 -0.00288 0.000209 -13.8 <.0001 lp6

lp7 1 -0.00344 0.000318 -10.82 <.0001 lp7

lp8 1 0.002191 0.000954 2.3 0.0218 lp8

lp9 1 0.000338 0.000246 1.37 0.1694 lp9

ly 1 0.021829 0.006276 3.48 0.0005 ly

gola 1 -0.10272 0.006964 -14.75 <.0001 gola

golb 1 -0.11775 0.010082 -11.68 <.0001 golb

t 1 0.006855 0.002872 2.39 0.0107 t

D1a 1 0.032741 0.007166 4.57 <.0001 D1a

D2_ 1 -0.01384 0.005426 -2.55 0.0108 D2_

42

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 5

The SYSLIN Procedure

Ordinary Least Squares Estimation

Model

C

Dependent Variable w3

Label

w3

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares

Mean Square F value Pr > F

Model 16 6275.278 392.2049 285.3 <.0001

Error Corrected 2997 4120.036 1.37472

Total 3013 10395.31

Root MSE

1.17248

R-Square 0.60366

Dependent Mean 0.03737

Adj R-Sq 0.55711 0.60155

Coeff Var

3137.12874

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 6

The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation

Parameter Estimates

Variable DF

Parameter Estimate

Standard Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 0.027623 0.031725 0.87 0.384 Intercept

lp1 1 -0.00026 0.00016 -1.63 0.1027 lp1

lp2 1 -0.00102 0.000126 -8.15 <.0001 lp2

lp3 1 0.006347 0.00012 52.81 <.0001 lp3

lp4 1 -0.00076 0.000101 -7.53 <.0001 lp4

lp5 1 -0.00017 0.000171 -0.98 0.3285 lp5

lp6 1 0.000308 0.000093 3.29 0.001 lp6

lp7 1 0.000279 0.000142 1.96 0.0503 lp7

lp8 1 0.000181 0.000427 0.42 0.6722 lp8

lp9 1 -0.00047 0.00011 -4.28 <.0001 lp9

ly 1 0.007102 0.002808 2.53 0.0115 ly

gola 1 -0.03204 0.003116 -10.28 <.0001 gola

golb 1 -0.04866 0.004512 -10.78 <.0001 golb

t 1 -0.00050 0.001285 -0.39 0.6985 t

D1a 1 -0.00961 0.003207 -3 0.0028 D1a

D2_ 1 -0.00594 0.002428 -2.45 0.0145 D2_

43

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 7

The SYSLIN Procedure

Ordinary Least Squares Estimation

Model

D

Dependent Variable w4

Label

w14

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares

Mean Square F value Pr > F

Model 16 4616.697 288.5435 156.94 <.0001

Error Corrected 2997 5510.057 1.838524

Total 3013 10126.75

Root MSE

1.35592

R-Square 0.45589

Dependent Mean 0.03439

Adj R-Sq 0.45299

Coeff Var

3942.51092

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 8

The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation

Parameter Estimates

Variable DF

Parameter Estimate

Standard Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 -0.08987 0.036688 -2.45 0.0144 Intercept

lp1 1 -0.00098 0.000185 -5.3 <.0001 lp1

lp2 1 -0.00242 0.000145 -16.66 <.0001 lp2

lp3 1 -0.00038 0.000139 -2.77 0.0057 lp3

lp4 1 0.005277 0.000117 45.02 <.0001 lp4

lp5 1 -0.00034 0.000198 -1.74 0.0828 lp5

lp6 1 -0.00034 0.000108 -3.16 0.0016 lp6

lp7 1 -0.00079 0.000165 -4.81 <.0001 lp7

lp8 1 0.000254 0.000494 0.52 0.6065 lp8

lp9 1 -0.00012 0.000127 -0.95 0.3399 lp9

ly 1 0.012623 0.003248 3.89 0.0001 ly

gola 1 -0.01735 0.003604 -4.81 <.0001 gola

golb 1 -0.03022 0.005218 -5.79 <.0001 golb

t 1 -0.000759 0.001493 0.51 0.6111 t

D1a 1 0.033067 0.003709 8.92 <.0001 D1a

D2_ 1 0.0021 0.002808 0.75 0.4546 D2_

44

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 9

The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation

Model

E

Dependent Variable w5

Label

w5

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares

Mean Square F value Pr > F

Model 16 712.1336 44.50835 440.47 <.0001

Error Corrected 2997 302.8359 0.101046

Total 3013 1014.969

Root MSE

0.31788

R-Square 0.70163

Dependent Mean 0.00639

Adj R-Sq 0.70004

Coeff Var

4977.68533

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 10

The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation

Parameter Estimates

Variable DF

Parameter Estimate

Standard Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 0.057803 0.008601 6.72 <.0001 Intercept

lp1 1 -0.00004 0.000043 -0.92 0.3593 lp1

lp2 1 -0.00002 0.000034 -0.62 0.5343 lp2

lp3 1 -0.00003 0.000033 -0.82 0.4147 lp3

lp4 1 0.000013 0.000027 0.47 0.6363 lp4

lp5 1 0.003777 0.000046 81.48 <.0001 lp5

lp6 1 -0.00007 0.000025 -2.69 0.0072 lp6

lp7 1 -6.64E-06 0.000039 -0.17 0.8633 lp7

lp8 1 0.000018 0.000116 0.16 0.8736 lp8

lp9 1 0.000022 0.00003 0.74 0.4586 lp9

ly 1 -0.00042 0.000761 -0.55 0.5794 ly

gola 1 0.001936 0.000845 2.29 0.022 gola

golb 1 0.000412 0.001223 0.34 0.7365 golb

t 1 -0.00131 0.000349 -3.75 0.0002 t

D1a 1 -0.00039 0.000869 -0.45 0.653 D1a

D2_ 1 -0.00021 0.000658 -0.32 0.752 D2_

45

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 11

The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation

Model

F

Dependent Variable w6

Label

w6

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares

Mean Square F value Pr > F

Model 16 20141.44 1258.84 425.13 <.0001

Error Corrected 2997 8874.385 2.961089

Total 3013 29015.82

Root MSE

1.72078

R-Square 0.69415

Dependent Mean 0.09684

Adj R-Sq 0.69252

Coeff Var

1776.88771

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 12

The SYSLIN Procedure

Ordinary Least Squares Estimation Parameter Estimates

Variable DF

Parameter Estimate

Standard Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 -0.03221 0.04656 -0.69 0.4891 Intercept

lp1 1 -0.00074 0.000234 -3.17 0.0016 lp1

lp2 1 -0.00019 0.000184 -1.05 0.2927 lp2

lp3 1 -0.00061 0.000176 -3.48 0.0005 lp3

lp4 1 0.000346 0.000149 2.33 0.02 lp4

lp5 1 0.000954 0.000251 3.8 0.0001 lp5

lp6 1 0.010002 0.000137 72.96 <.0001 lp6

lp7 1 -0.0027 0.000209 -12.92 <.0001 lp7

lp8 1 -0.0026 0.000627 -4.15 <.0001 lp8

lp9 1 -0.00125 0.000162 -7.75 <.0001 lp9

ly 1 0.017451 0.004122 4.23 <.0001 ly

gola 1 0.022553 0.004574 4.93 <.0001 gola

golb 1 0.012274 0.006622 1.85 0.0639 golb

t 1 -0.01209 0.001887 -6.41 <.0001 t

D1a 1 0.001788 0.004707 0.38 0.7041 D1a

D2_ 1 0.024909 0.003564 6.99 <.0001 D2_

46

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 13

The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation

Model

G

Dependent Variable w7

Label

w7

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares

Mean Square F value Pr > F

Model 16 22470.28 1404.393 343.68 <.0001

Error Corrected 2997 12246.6 4.086287

Total 3013 34716.88

Root MSE

2.02146

R-Square 0.64724

Dependent Mean 0.17231

Adj R-Sq 0.64536

Coeff Var

1173.18005

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 14

The SYSLIN Procedure

Ordinary Least Squares Estimation Parameter Estimates

Variable DF

Parameter Estimate

Standard Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 -0.31899 0.054696 -5.83 <.0001 Intercept

lp1 1 -0.0016 0.000275 -5.82 <.0001 lp1

lp2 1 -0.00079 0.000216 -3.67 0.0002 lp2

lp3 1 0.000429 0.000207 2.07 0.0385 lp3

lp4 1 -0.00135 0.000175 -7.72 <.0001 lp4

lp5 1 -0.00064 0.000295 -2.18 0.0295 lp5

lp6 1 -0.00241 0.000161 -14.95 <.0001 lp6

lp7 1 0.009839 0.000245 40.12 <.0001 lp7

lp8 1 -0.00513 0.000736 -6.96 <.0001 lp8

lp9 1 -0.00094 0.00019 -4.94 <.0001 lp9

ly 1 0.045374 0.004842 9.37 <.0001 ly

gola 1 -0.00975 0.005373 -1.82 0.0696 gola

golb 1 -0.0106 0.007779 -1.36 0.1729 golb

t 1 -0.01154 0.002218 -5.20 <.0001 t

D1a 1 -0.05895 0.005529 -10.66 <.0001 D1a

D2_ 1 0.018919 0.004186 4.52 <.0001 D2_

47

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 15

The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation

Model

H

Dependent Variable w8

Label

w8

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares

Mean Square F value Pr > F

Model 16 5590.002 349.3751 81.06 <.0001

Error Corrected 2997 12916.67 4.309867

Total 3013 18506.67

Root MSE

2.07602

R-Square 0.30205

Dependent Mean 0.21991

Adj R-Sq 0.29833

Coeff Var

944.01818

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 16

The SYSLIN Procedure

Ordinary Least Squares Estimation Parameter Estimates

Variable DF

Parameter Estimate

Standard Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 0.619838 0.056172 11.03 <.0001 Intercept

lp1 1 0.000789 0.000283 2.79 0.0053 lp1

lp2 1 -0.00026 0.000222 -1.15 0.2506 lp2

lp3 1 -0.00179 0.000213 -8.39 <.0001 lp3

lp4 1 -0.00013 0.000179 -0.71 0.4783 lp4

lp5 1 -0.0006 0.000303 -2 0.0459 lp5

lp6 1 -0.00282 0.000165 -17.06 <.0001 lp6

lp7 1 -0.0022 0.000252 -8.73 <.0001 lp7

lp8 1 0.012732 0.000756 16.84 <.0001 lp8

lp9 1 -0.00113 0.000195 -5.79 <.0001 lp9

ly 1 -0.05075 0.004973 -10.21 <.0001 ly

gola 1 0.085773 0.005518 15.54 <.0001 gola

golb 1 0.109658 0.007989 13.73 <.0001 golb

t 1 0.005062 0.002283 2.22 0.0267 t

D1a 1 -0.01767 0.005678 -3.11 0.0019 D1a

D2_ 1 -0.01554 0.004299 -3.62 0.0003 D2_

48

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 17

The SYSLIN Procedure Ordinary Least Squares Estimation

Model

I

Dependent Variable w9

Label

w9

Analysis of Variance

Source DF Sum of Squares

Mean Square F value Pr > F

Model 16 3323.286 207.7054 103.96 <.0001

Error Corrected 2997 5987.834 1.997943

Total 3013 9311.121

Root MSE

1.41349

R-Square 0.35692

Dependent Mean 0.07993

Adj R-Sq 0.35348

Coeff Var

1768.51134

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 18

The SYSLIN Procedure

Ordinary Least Squares Estimation Parameter Estimates

Variable DF

Parameter Estimate

Standard Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 0.149047 0.038245 3.9 <.0001 Intercept

lp1 1 0.000118 0.000193 0.61 0.5403 lp1

lp2 1 -0.00017 0.000151 -1.1 0.2722 lp2

lp3 1 -0.00025 0.000145 -1.72 0.0855 lp3

lp4 1 0.000578 0.000122 4.73 <.0001 lp4

lp5 1 0.000195 0.000206 0.94 0.3452 lp5

lp6 1 -0.00026 0.000113 -2.34 0.0193 lp6

lp7 1 -0.00051 0.000171 -2.97 0.003 lp7

lp8 1 -0.00282 0.000515 -5.48 <.0001 lp8

lp9 1 0.004543 0.000133 34.2 <.0001 lp9

ly 1 -0.00545 0.003386 -1.61 0.1075 ly

gola 1 0.019242 0.003757 5.12 <.0001 gola

golb 1 0.037316 0.005439 6.86 <.0001 golb

t 1 -0.001522 0.001550 0.98 0.3262 t

D1a 1 -0.02036 0.003866 -5.27 <.0001 D1a

D2_ 1 -0.01042 0.002927 -3.56 0.0004 D2_

49

Lampiran 3. Hasil Output SAS dengan metode SUR

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 19 The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regression Estimation

Cross Model Covariance

A B C D E F G H I

A 4.970 -1.259 -0.273 -0.302 -0.003 -0.477 -1.190 -0.871 -0.613 B -1.259 6.865 -0.390 -1.145 -0.023 -1.336 -0.488 -1.749 -0.469 C -0.273 -0.390 1.375 0.029 0.008 -0.122 -0.319 -0.131 0.004 D -0.302 -1.145 0.029 1.839 -0.008 -0.153 -0.108 -0.050 -0.100 E -0.003 -0.023 0.008 -0.008 0.101 -0.022 -0.037 -0.007 -0.009 F -0.477 -1.336 -0.122 -0.153 -0.022 2.961 -0.272 -0.359 -0.228 G -1.190 -0.488 -0.319 -0.108 -0.037 -0.272 4.086 -1.095 -0.556 H -0.871 -1.749 -0.131 -0.050 -0.007 -0.359 -1.095 4.310 -0.038 I -0.613 -0.469 0.004 -0.100 -0.009 -0.228 -0.556 -0.038 1.998

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 20 The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regression Estimation

Cross Model Correlation

A B C D E F G H I

A 1 -0.216 -0.104 -0.100 -0.004 -0.124 -0.264 -0.188 -0.195 B -0.216 1 -0.127 -0.322 -0.027 -0.296 -0.092 -0.322 -0.127 C -0.104 -0.127 1 0.019 0.021 -0.060 -0.134 -0.054 0.003 D -0.100 -0.322 0.019 1 -0.018 -0.066 -0.040 -0.018 -0.052 E -0.004 -0.027 0.021 -0.018 1 -0.041 -0.058 -0.011 -0.020 F -0.124 -0.296 -0.060 -0.066 -0.041 1 -0.078 -0.100 -0.094 G -0.264 -0.092 -0.134 -0.040 -0.058 -0.078 1 -0.261 -0.195 H -0.188 -0.322 -0.054 -0.018 -0.011 -0.100 -0.261 1 -0.013 I -0.195 -0.127 0.003 -0.052 -0.020 -0.094 -0.195 -0.013 1

50

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 21 The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regression Estimation

Cross Model Inverse Correlation

A B C D E F G H I

A 32.347 36.902 14.420 19.229 4.535 24.328 28.357 29.226 20.211 B 36.902 44.114 16.888 22.712 5.332 28.637 33.060 34.310 23.588 C 14.420 16.888 7.559 8.739 2.050 11.129 12.979 13.352 9.168 D 19.229 22.712 8.739 12.743 2.785 14.888 17.206 17.794 12.296 E 4.535 5.332 2.050 2.785 1.657 3.537 4.113 4.212 2.918 F 24.328 28.637 11.129 14.888 3.537 19.740 21.809 22.565 15.573 G 28.357 33.060 12.979 17.206 4.113 21.809 26.294 26.304 18.161 H 29.226 34.310 13.352 17.794 4.212 22.565 26.304 27.985 18.615 I 20.211 23.588 9.168 12.296 2.918 15.573 18.161 18.615 13.837

The SAS System 09:37 Thursday, September 9, 2013 22 The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regression Estimation

Cross Model Inverse Covariance

A B C D E F G H I

A 6.508 6.317 5.516 6.361 6.399 6.341 6.292 6.315 6.414 B 6.317 6.426 5.497 6.393 6.402 6.352 6.242 6.308 6.369 C 5.516 5.497 5.499 5.497 5.501 5.516 5.476 5.486 5.532 D 6.361 6.393 5.497 6.931 6.461 6.381 6.277 6.321 6.416 E 6.399 6.402 5.501 6.461 16.400 6.466 6.400 6.383 6.495 F 6.341 6.352 5.516 6.381 6.467 6.667 6.270 6.316 6.403 G 6.292 6.242 5.476 6.277 6.400 6.270 6.435 6.268 6.356 H 6.315 6.308 5.486 6.321 6.383 6.316 6.268 6.493 6.344 I 6.414 6.369 5.532 6.416 6.495 6.403 6.356 6.344 6.926

System Weight MSE

1.0665

Degrees of Freedom

27018 System Weight R-Square

0.5895

Model

A

Dependent Variable w1

Label

w1

The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regressian Estimation

Parameter Estimates

Variable DF

Parameter Estimate

Standard Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 0.561811 0.057171 9.83 <.0001 Intercept

51

lp1 1 0.011455 0.00028 40.96 <.0001 lp1

lp2 1 -0.00407 0.000181 -22.46 <.0001 lp2

lp3 1 -0.00117 0.000117 -9.99 <.0001 lp3

lp4 1 -0.00103 0.000125 -8.23 <.0001 lp4

lp5 1 -0.00033 0.000042 -7.91 <.0001 lp5

lp6 1 -0.00164 0.000137 -11.99 <.0001 lp6

lp7 1 -0.00144 0.000194 -7.41 <.0001 lp7

lp8 1 -0.00102 0.000244 -4.18 <.0001 lp8

lp9 1 -0.00076 0.000134 -5.64 <.0001 lp9

ly 1 -0.04191 0.005128 -8.17 <.0001 ly

gola 1 0.033327 0.005798 5.75 <.0001 gola

golb 1 0.047764 0.008237 5.8 <.0001 golb

t 1 0.010510 0.002430 4.32 <.0001 t

D1a 1 0.048025 0.005543 8.66 <.0001 D1a

D2_ 1 0.004863 0.004528 1.07 0.2829 D2_

Model

B

Dependent Variable w2

Label

w2

The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regressian Estimation

Parameter Estimates

Variable DF

Parameter Estimate

Standard Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 0.315077 0.065897 4.78 <.0001 Intercept

lp1 1 -0.00407 0.000181 -22.46 <.0001 lp1

lp2 1 0.009876 0.000249 39.65 <.0001 lp2

lp3 1 -0.00113 0.000099 -11.43 <.0001 lp3

lp4 1 -0.00246 0.000114 -21.57 <.0001 lp4

lp5 1 -0.00025 0.000033 -7.69 <.0001 lp5

lp6 1 -0.00124 0.000133 -9.33 <.0001 lp6

lp7 1 -0.00126 0.000164 -7.68 <.0001 lp7

lp8 1 0.000608 0.000207 2.94 0.0033 lp8

lp9 1 -0.00007 0.000114 -0.64 0.5224 lp9

ly 1 -0.0075 0.005928 -1.27 0.2057 ly

gola 1 -0.12183 0.006674 -18.25 <.0001 gola

golb 1 -0.13215 0.009431 -14.01 <.0001 golb

t 1 0.011060 0.002850 3.88 0.0001 t

D1a 1 0.079624 0.006648 11.98 <.0001 D1a

D2_ 1 -0.04417 0.005196 -8.5 <.0001 D2_

52

Model C

Dependent Variable w3

Label

w3

The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regressian Estimation

Parameter Estimates

Variable DF

Parameter Estimate

Standard Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 -0.01279 0.030369 -0.42 0.6736 Intercept

lp1 1 -0.00117 0.000117 -9.99 <.0001 lp1

lp2 1 -0.00113 0.000099 -11.43 <.0001 lp2

lp3 1 0.006019 0.000106 56.72 <.0001 lp3

lp4 1 -0.00069 0.000075 -9.23 <.0001 lp4

lp5 1 -0.00026 0.000031 -8.27 <.0001 lp5

lp6 1 -0.00003 0.000076 -0.44 0.662 lp6

lp7 1 0.000326 0.000112 2.92 0.0035 lp7

lp8 1 -0.00239 0.000158 -15.17 <.0001 lp8

lp9 1 -0.00067 0.000082 -8.12 <.0001 lp9

ly 1 0.012354 0.002713 4.55 <.0001 ly

gola 1 -0.02885 0.003058 -9.44 <.0001 gola

golb 1 -0.04616 0.004397 -10.5 <.0001 golb

t 1 0.00109 0.001280 -0.85 0.3948 t

D1a 1 -0.01977 0.002979 -6.64 <.0001 D1a

D2_ 1 -0.00163 0.002363 -0.69 0.4893 D2_

Model

D

Dependent Variable w4

Label

w4

The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regressian Estimation

Parameter Estimates

Variable DF

Parameter Estimate

Standard Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 -0.09439 0.0347 -2.72 0.0066 Intercept

lp1 1 -0.00103 0.000125 -8.23 <.0001 lp1

lp2 1 -0.00246 0.000114 -21.57 <.0001 lp2

lp3 1 -0.00069 0.000075 -9.23 <.0001 lp3

lp4 1 0.0053 0.000111 47.93 <.0001 lp4

lp5 1 -0.00007 0.000027 -2.72 0.0066 lp5

lp6 1 -0.00034 0.000085 -3.98 <.0001 lp6

lp7 1 -0.00107 0.000115 -9.32 <.0001 lp7

lp8 1 0.000102 0.00015 0.68 0.4941 lp8

lp9 1 0.000254 0.000084 3.02 0.0026 lp9

ly 1 0.013368 0.003111 4.3 <.0001 ly

gola 1 -0.01685 0.003487 -4.83 <.0001 gola

53

golb 1 -0.03191 0.004954 -6.44 <.0001 golb

t 1 0.000135 0.001484 0.09 0.9276 t

D1a 1 0.000119 0.002955 0.04 0.9678 D1a

D2_ 1 0.026644 0.003375 7.89 <.0001 D2_

Model

E

Dependent Variable w5

Label

w5

The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regressian Estimation

Parameter Estimates

Variable DF

Parameter Estimate

Standard Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 0.037041 0.008539 4.34 <.0001 Intercept

lp1 1 -0.00033 0.000042 -7.91 <.0001 lp1

lp2 1 -0.00025 0.000033 -7.69 <.0001 lp2

lp3 1 -0.00026 0.000031 -8.27 <.0001 lp3

lp4 1 -0.00007 0.000027 -2.72 0.0066 lp4

lp5 1 0.003352 0.000043 77.13 <.0001 lp5

lp6 1 -0.0001 0.000025 -3.97 <.0001 lp6

lp7 1 -0.00004 0.000038 -0.94 0.349 lp7

lp8 1 -0.0022 0.000076 -28.97 <.0001 lp8

lp9 1 -0.00011 0.000029 -3.6 0.0003 lp9

ly 1 0.002354 0.000753 3.12 0.0018 ly

gola 1 0.002441 0.000844 2.89 0.0038 gola

golb 1 -0.00079 0.001218 -0.64 0.5191 golb

t 1 -0.00166 0.000349 -4.76 <.0001 t

D1a 1 -0.00302 0.000863 -3.49 0.0005 D1a

D2_ 1 0.002085 0.000653 3.19 0.0014 D2_

Model

F

Dependent Variable w6

Label

w6

The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regressian Estimation

Parameter Estimates

Variable DF

Parameter Estimate

Standard Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 -0.07454 0.044496 -1.68 0.094 Intercept

lp1 1 -0.00164 0.000137 -11.99 <.0001 lp1

lp2 1 -0.00124 0.000133 -9.33 <.0001 lp2

lp3 1 -0.00003 0.000076 -0.44 0.662 lp3

lp4 1 -0.00034 0.000085 -3.98 <.0001 lp4

lp5 1 -0.0001 0.000025 -3.97 <.0001 lp5

lp6 1 0.009871 0.000135 73 <.0001 lp6

54

lp7 1 -0.00266 0.000125 -21.32 <.0001 lp7

lp8 1 -0.00315 0.00015 -21.01 <.0001 lp8

lp9 1 -0.00071 0.00009 -7.87 <.0001 lp9

ly 1 0.019532 0.003993 4.89 <.0001 ly

gola 1 0.023655 0.004394 5.38 <.0001 gola

golb 1 0.012838 0.006208 2.07 0.0387 golb

t 1 -0.01231 0.001876 -6.56 <.0001 t

D1a 1 0.011216 0.004146 2.71 0.0069 D1a

D2_ 1 0.02937 0.003439 8.54 <.0001 D2_

Model

G

Dependent Variable w7

Label

w7

The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regressian Estimation

Parameter Estimates

Variable DF

Parameter Estimate

Standard Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 -0.37381 0.051686 -7.23 <.0001 Intercept

lp1 1 -0.00144 0.000194 -7.41 <.0001 lp1

lp2 1 -0.00126 0.000164 -7.68 <.0001 lp2

lp3 1 0.000326 0.000112 2.92 0.0035 lp3

lp4 1 -0.00107 0.000115 -9.32 <.0001 lp4

lp5 1 -0.00004 0.000038 -0.94 0.349 lp5

lp6 1 -0.00266 0.000125 -21.32 <.0001 lp6

lp7 1 0.009754 0.000236 41.4 <.0001 lp7

lp8 1 -0.00246 0.000223 -11.04 <.0001 lp8

lp9 1 -0.00115 0.000086 -13.47 <.0001 lp9

ly 1 0.048831 0.004635 10.53 <.0001 ly

gola 1 -0.01429 0.005227 -2.73 0.0063 gola

golb 1 -0.0162 0.00741 -2.19 0.0288 golb

t 1 -0.01151 0.002204 -5.22 <.0001 t

D1a 1 -0.05389 0.005098 -10.57 <.0001 D1a

D2_ 1 0.016776 0.004041 4.15 <.0001 D2_

Model

H

Dependent Variable w8

Label

w8

The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regressian Estimation

Parameter Estimates

Variable DF

Parameter Estimate

Standard Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 0.577909 0.055135 10.48 <.0001 Intercept

55

lp1 1 -0.00102 0.000244 -4.18 <.0001 lp1

lp2 1 0.000608 0.000207 2.94 0.0033 lp2

lp3 1 -0.00239 0.000158 -15.17 <.0001 lp3

lp4 1 0.000102 0.00015 0.68 0.4941 lp4

lp5 1 -0.0022 0.000076 -28.97 <.0001 lp5

lp6 1 -0.00315 0.00015 -21.01 <.0001 lp6

lp7 1 -0.00246 0.000223 -11.04 <.0001 lp7

lp8 1 0.011674 0.000445 26.21 <.0001 lp8

lp9 1 -0.00115 0.000086 -13.47 <.0001 lp9

ly 1 -0.04743 0.004872 -9.73 <.0001 ly

gola 1 0.097583 0.005423 17.99 <.0001 gola

golb 1 0.125202 0.007746 16.16 <.0001 golb

t 1 0.003725 0.002273 1.64 0.1013 t

D1a 1 -0.04792 0.005429 -8.83 <.0001 D1a

D2_ 1 -0.00655 0.00422 -1.55 0.1205 D2_

Model

I

Dependent Variable w9

Label

w9

The SYSLIN Procedure

Seemingly Unrelated Regressian Estimation

Parameter Estimates

Variable DF

Parameter Estimate

Standard Error t Value Pr > |t| Label

Intercept 1 0.053082 0.036037 1.47 0.1409 Intercept

lp1 1 -0.00076 0.000134 -5.64 <.0001 lp1

lp2 1 -0.00007 0.000114 -0.64 0.5224 lp2

lp3 1 -0.00067 0.000082 -8.12 <.0001 lp3

lp4 1 0.000254 0.000084 3.02 0.0026 lp4

lp5 1 -0.00011 0.000029 -3.6 0.0003 lp5

lp6 1 -0.00071 0.00009 -7.87 <.0001 lp6

lp7 1 -0.00114 0.000087 -13.13 <.0001 lp7

lp8 1 -0.00115 0.000086 -13.47 <.0001 lp8

lp9 1 0.004359 0.000127 34.45 <.0001 lp9

ly 1 0.001488 0.003239 0.46 0.6459 ly

gola 1 0.023965 0.003637 6.59 <.0001 gola

golb 1 0.041553 0.005178 8.03 <.0001 golb

t 1 0.000403 0.001543 0.26 0.7939 t

D1a 1 -0.04151 0.003466 -11.98 <.0001 D1a

D2_ 1 -0.00527 0.002842 -1.86 0.0636 D2_

56

Lampiran 4. Elastisitas Harga sendiri, harga silang dan pendapatan berdasarkan kondisi/dummy

dummy golongan

Elastisitas permintaan harga sendiri, silang, dan pendapatan rumah tangga miskin di Papua menurut komoditi

Elastisitas harga

beras ubi jalar sagu sing

kong ja

gung da

ging ikan sa yur buah

beras -0.867 0.009 0.057 0.061 0.074 0.054 0.086 0.026 0.017 ubi jalar 0.087 -0.965 -0.117 -0.064 -0.130 -0.108 -0.213 0.091 0.011 sagu 0.007 -0.002 -0.886 -0.030 -0.044 -0.013 -0.023 0.001 -0.013 singkong 0.007 -0.006 -0.026 -0.894 -0.021 -0.016 -0.037 -0.011 -0.003 jagung 0.000 -0.001 -0.008 -0.004 -0.604 -0.003 -0.005 -0.009 -0.002 daging 0.012 -0.002 -0.020 -0.031 -0.033 -0.890 -0.072 -0.002 -0.014 ikan 0.018 -0.002 -0.016 -0.051 -0.029 -0.058 -0.938 -0.009 -0.022 sayur 0.056 0.006 0.100 -0.056 -0.032 -0.091 -0.135 -0.892 0.025 buah 0.013 0.001 -0.029 -0.012 -0.029 -0.024 -0.045 0.008 -0.926 pendapatan 0.668 0.962 0.944 1.079 0.848 1.149 1.382 0.798 0.928

Keterangan: elastisitas harga sendiri

Elastisitas permintaan harga sendiri, silang, dan pendapatan rumah tangga menengah di Papua menurut komoditi

Elastisitas harga

beras ubi jalar sagu sing

kong ja

gung da

ging ikan sa yur buah

beras -0.908 -0.039 0.094 0.105 -0.166 0.062 0.060 0.041 0.013 ubi jalar -0.007 -0.827 -0.044 -0.052 -0.075 -0.025 0.020 0.014 0.002 sagu 0.003 -0.014 -0.871 -0.035 -0.069 -0.009 -0.008 -0.002 -0.009 singkong 0.002 -0.037 -0.026 -0.864 -0.029 -0.011 -0.013 -0.007 -0.002 jagung 0.000 -0.004 -0.008 -0.004 -0.361 -0.002 -0.001 -0.008 -0.001 daging 0.011 -0.008 -0.029 -0.046 -0.063 -0.919 -0.036 -0.006 -0.010 ikan 0.032 0.005 -0.053 -0.067 -0.102 -0.069 -1.002 -0.031 -0.018 sayur 0.040 0.040 -0.056 -0.087 -0.029 -0.080 -0.068 -0.904 0.018 buah 0.012 0.009 -0.039 -0.024 -0.058 -0.024 -0.025 0.011 -0.948 pendapatan 0.816 0.875 1.103 1.135 0.952 1.075 1.073 0.892 0.956

Keterangan: elastisitas harga sendiri

57

Elastisitas permintaan harga sendiri, silang, dan pendapatan rumah tangga atas di Papua menurut komoditi

Elastisitas harga

beras ubi jalar sagu sing

kong ja

gung da

ging ikan sa yur buah

beras -0.910 -0.131 -0.140 -0.108 -0.134 0.049 0.054 0.045 0.010 ubi jalar -0.014 -0.424 -0.061 -0.060 -0.057 -0.012 0.009 0.006 0.001 sagu -0.003 -0.060 -0.515 -0.051 -0.056 -0.002 -0.001 -0.008 -0.006 singkong -0.001 -0.134 -0.074 -0.699 -0.021 -0.005 -0.008 -0.004 -0.002 jagung 0.000 -0.012 -0.027 -0.008 -0.351 -0.002 -0.001 -0.009 -0.001 daging 0.016 -0.016 -0.083 -0.022 -0.078 -0.942 -0.037 -0.013 -0.008 ikan 0.037 0.032 -0.121 -0.056 -0.119 -0.058 -1.009 -0.039 -0.013 sayur 0.036 0.134 -0.043 -0.076 -0.013 -0.060 -0.056 -0.902 0.013 buah 0.016 0.044 -0.120 -0.074 -0.073 -0.023 -0.027 0.018 -0.963 pendapatan 0.824 0.567 1.184 1.152 0.902 1.055 1.076 0.905 0.969

Keterangan: elastisitas harga sendiri

58

dummy potensi pangan

Elastisitas permintaan harga sendiri, silang, dan pendapatan rumah tangga potensi sagu di Papua menurut komoditi

Elastisitas harga

beras ubi jalar sagu sing

kong ja

gung da

ging ikan sa yur buah

beras -0.910 -0.167 0.069 0.134 -0.191 0.067 0.053 0.045 -0.012 ubi jalar -0.015 -0.272 -0.022 -0.085 -0.092 -0.016 0.008 0.006 0.001 sagu 0.006 -0.050 -0.911 -0.047 -0.081 -0.013 -0.010 0.002 -0.008 singkong 0.001 -0.162 -0.018 -0.844 -0.047 -0.010 -0.010 0.007 0.002 jagung -0.001 -0.017 -0.005 -0.004 -0.096 -0.002 -0.001 -0.009 -0.001 daging 0.010 -0.040 -0.020 -0.051 -0.064 -0.913 -0.029 -0.006 -0.009 ikan 0.038 0.043 -0.046 -0.140 -0.204 -0.081 -1.009 -0.041 -0.017 sayur 0.036 0.168 0.087 0.093 -0.089 -0.081 -0.054 -0.901 0.016 buah 0.013 0.045 -0.030 0.031 -0.106 -0.027 -0.023 0.014 -0.953 pendapatan 0.823 0.452 0.896 0.912 0.971 1.076 1.077 0.883 0.982

Keterangan: elastisitas harga sendiri

Elastisitas permintaan harga sendiri, silang, dan pendapatan rumah tangga potensi ubi jalar di Papua menurut komoditi

Elastisitas harga

beras ubi jalar sagu sing

kong ja

gung da

ging ikan sa yur buah

beras -0.869 0.008 -0.562 0.071 0.056 0.040 0.125 0.024 0.015 ubi jalar 0.091 -0.966 -1.176 -0.142 -0.101 -0.084 -0.318 0.087 0.010 sagu -0.008 -0.003 -0.214 -0.019 -0.024 -0.001 -0.001 -0.010 -0.011 singkong 0.005 -0.006 -0.239 -0.877 -0.014 -0.011 -0.048 -0.009 -0.003 jagung 0.001 0.000 -0.081 -0.006 -0.705 -0.003 -0.010 -0.008 -0.002 daging 0.021 -0.001 -0.264 -0.044 -0.030 -0.923 -0.124 -0.008 -0.013 ikan 0.009 -0.002 -0.089 -0.049 -0.016 -0.038 -0.891 -0.002 -0.019 sayur 0.061 0.006 -0.020 -0.070 -0.239 -0.071 -0.207 -0.897 0.023 buah 0.015 0.001 -0.298 -0.015 -0.023 -0.019 -0.069 0.009 -0.933 pendapatan 0.674 0.964 2.942 1.152 1.097 1.109 1.544 0.815 0.934

Keterangan: elastisitas harga sendiri

59

dummy penerimaan raskin

Elastisitas permintaan harga sendiri, silang, dan pendapatan rumah tangga yang tidak menerima raskin di Papua menurut komoditi

Elastisitas harga

beras ubi jalar sagu sing

kong ja

gung da

ging ikan sa yur buah

beras -0.892 0.014 0.110 0.104 -0.053 0.050 0.064 0.033 0.012 ubi jalar 0.024 -0.942 -0.117 -0.058 -0.010 -0.051 -0.069 0.044 0.004 sagu 0.001 -0.005 -0.814 -0.034 -0.047 -0.006 -0.007 -0.004 -0.008 singkong 0.002 -0.011 -0.036 -0.848 -0.021 -0.010 -0.017 -0.007 -0.002 jagung 0.000 -0.001 -0.011 -0.005 -0.525 -0.002 -0.002 -0.008 -0.001 daging 0.015 -0.003 -0.042 -0.052 -0.048 -0.921 -0.048 -0.007 -0.010 ikan 0.029 0.000 -0.053 -0.098 -0.058 -0.057 -0.986 -0.022 -0.016 sayur 0.048 0.012 -0.017 -0.089 -0.019 -0.075 -0.085 -0.900 0.018 buah 0.016 0.003 -0.056 -0.027 -0.044 -0.024 -0.034 0.013 -0.950 pendapatan 0.759 0.933 -1.036 1.107 0.825 1.095 1.186 0.860 0.955

Keterangan: elastisitas harga sendiri

Elastisitas permintaan harga sendiri, silang, dan pendapatan rumah tangga penerima raskin di Papua menurut komoditi

Elastisitas harga

beras ubi jalar sagu sing

kong ja

gung da

ging ikan sa yur buah

beras -0.911 -0.032 0.075 0.106 -0.190 0.071 0.062 0.049 0.016 ubi jalar -0.005 -0.851 -0.036 -0.084 -0.088 -0.029 0.022 0.018 0.003 sagu 0.005 -0.010 -0.904 -0.036 -0.083 -0.013 -0.011 0.001 -0.011 singkong 0.003 -0.031 -0.021 -0.882 -0.035 -0.013 -0.014 -0.009 -0.003 jagung -0.001 -0.003 -0.006 -0.003 -0.295 -0.002 -0.001 -0.009 -0.002 daging 0.009 -0.008 -0.020 -0.038 -0.065 -0.909 -0.033 -0.005 -0.012 ikan 0.031 0.005 -0.042 -0.098 -0.115 -0.077 -1.003 -0.036 -0.021 sayur 0.033 0.032 0.091 -0.069 -0.022 -0.082 -0.060 -0.898 0.021 buah 0.009 0.006 -0.027 -0.017 -0.057 -0.023 -0.021 0.010 -0.938 pendapatan 0.827 0.893 0.891 1.120 0.949 1.076 1.060 0.880 0.947

Keterangan: elastisitas harga sendiri

60

RIWAYAT HIDUP Penulis yang lahir di Surakarta, 2 Juni 1981 merupakan putri kedua dari

almarhum Muhammad As’ad dan Nuresan. Penulis menikah dengan Cahya Wisnu Wardana pada tahun 2003 dan dikaruniai 3 orang anak yaitu Muhammad Hafidz, Safira Ni’mah Ramadhani, dan Muhammad Rosyid. Penulis menamatkan jenjang SLTP pada SMP Negeri 1 Surakarta pada tahun 1996 dan langsung melanjutkan di SMU Negeri 1 Surakarta sampai lulus pada tahun 1999. Penulis diterima sebagai mahasiswa kedinasan Sekolah Tinggi Ilmu Statistik Jakarta pada tahun tersebut dan menyelesaikan pendidikan D-IV pada tahun 2003. Setelah lulus D-IV, penulis ditugaskan pada BPS Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Pada tahun 2011, penulis dipindahtugaskan ke BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung di seksi Statistik Ketahanan Sosial.

Pada tahun 2011 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada program S2 kerjasama antara BPS dan IPB pada Departemen Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Sebelum menjalani masa kuliah S2 pada Februari 2012, penulis menyelesaikan program Alih Jenis Ilmu Ekonomi dan telah memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada tahun 2011.