Dermatitis Eksfoliatif

Embed Size (px)

DESCRIPTION

makalah dermatitis eksfoliatif

Citation preview

  • 5/24/2018 Dermatitis Eksfoliatif

    1/14

    Dermatitis Eksfoliatif

    - Dermatitis eksfoliatif (DE) deijelaskan sebagai eritema difus dan pembentukan sisik yangterjadi pada lebih dari 90% permukaan kulit tubuh

    - Komplikasi yang mengancam jiwa termasuk ketidakseimbangan cairan dan elektrolit,gangguan thermoregulator, demam, takikardi, kegagalan pompa jantung, hipoalbuminemia,

    dan septikemia.

    - Etiologi yang mendasari terjadinya DE adalah psoriasis, dermatitis atopik, dan dermatosisspongiosis lainnya, reaksi hipersensitivitas obat, dan limfoma sel T kutaneus. Penyebab

    terjadinya DE masih belum diketahui (idiopatik) pada 20% kasus.

    - Penegakan diagnosis meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik lengkap dengan analisistanda-tanda klinis yang teliti disertai pemeriksaan dermatohistopatologi. Pemeriksaan

    laboratorium lain biasanya diperlukan untuk menemukan tanda-tanda klinis lain.

    - Penatalaksanaan DE meliputi gabungan antara pengobatan gejala dan menangani etiologiyang mendasari serta komplikasi sistemik yang dapat timbul.

    - Prognosis bergantung pada etiologi yang mendasarinya. DE yang timbul akibat obat-obatanmemiliki prognosis yang paling baik, sedangkan DE yang berkaitan dengan keganasan

    memiliki angka kematian yang paling tinggi.

    Epidemiologi

    Beberapa studi melaporkan insidensi DE yang beragam, berkisar antara 0.9 hingga

    71.0 per 100.000 pasien. Terjadinya DE pada laki-laki lebih banyak telah dilaporkan, dengan

    perbandingan antara laki-laki dan perempuan kira-kira 2:1 hingga 4:1.DE dapat terjadi pada

    segala usia. Banyak penelitian menemukan onset yang beragam antara 41 hingga 61 tahun,

    dengan pengecualian kasus pada anak. DE merupakan penyakit yang langka pada anak-anak,

    dan hanya sedikit data epidemiologis yang tersedia untuk populasi anak. Suatu penelitian

    menemukan 17 pasien, yang telah diobservasi selama 6 tahun, mendapatkan umur mean dari

    onset 3.3 tahun dan perbandingan antara laki-laki dan perempuan sebesar 0.89:1. DE dapat

    terjadi pada seluruh jenis ras.

    Dermatosis yang telah ada sebelumnya berperan pada lebih dari setengah kasus DE.

    Psoriasis merupakan etiologi yang paling banyak ditemukan (hampir pada seperempat kasus).

    Pada penelitian psoriasis baru-baru ini, DE dilaporkan pada 87 dari 160 kasus.

    Etiologi dan Patogenesis

  • 5/24/2018 Dermatitis Eksfoliatif

    2/14

    Menetapkan penyebab dari DE merupakan suatu tantangan, mengingat penyakit ini dapat

    disebabkan oleh berbagai jenis penyakit sistemik dan kutaneus. Dari penggabungan 18

    penelitian yang telah dipublikasikan dari berbagai negara menunjukkan bahwa dermatosis

    yang sudah ada sebelumnya merupakan penyebab paling banyak pada orang dewasa (52%

    dari kasus DE; dengan rentang 27%-68%) disusul dengan raksi hipersensitivitas obat (15%),

    dan limfoma sel T kutaneus atau Sindrom Sezary (5%). Tidak ditemukan etiologi yang

    mendasari pada 20% kasus DE (dengan rentang 7%-33%) dan kasus ini dikategorikan

    sebagai kasus idiopatik.

    Psoriasis merupakan penyakit kulit yang paling sering menyebabkan DE (23% dari

    keseluruhan kasus), diikuti dengan dermatitis spongiosis (20%). Faktor pencetus terjadinya

    DE psoriatik termasuk:

    - Medikasi, seperti litium, terbinafin, dan anti malaria- Iritan topikal seperti tar- Penyakit sistemik- Diskontinuitas kortikosteroid poten oral maupun topikal, metotreksat, ataupun

    biologics (efalizumab)

    - Infeksi, termasuk infeksi human immunodeficiency virus(HIV)- Kehamilan- Stres emosional- Luka bakar akibat fototerapi

    Penyebab terjadinya DE yang jarang ditemukan termasuk penyakit immunobulosa; penyakit

    jaringan ikat; infeksi, termasuk skabies dan infeksi oleh dermatofit; pityriasis rubra piliaris

    (PRP) (4% dari dermatosis); dan keganasan. Walaupun pada pasien telah didapatkan

    dermatosis sebelumnya, perlu dipertimbangkan kemungkinan penyebab lainnya. Pada suatu

    kasus, DE yang berkaitan dengan keganasan ditemukan pada tujuh pasien yang lima

    diantaranya telah ditemukan dermatosis sebelumnya. Pada 5%-10% dari kasus DE idiopatik,

    ditegakkan diagnosis CTCL eritrodermis. Keganasan organ solid dan juga keganasan

    hematologik dan retikuloendotelial juga dapat menyebabkan DE.

    Pada bayi baru lahir, diagnosis banding termasuk di dalamnya dermatosis (seperti

    psoriasis, dermatitis atopi, dan dermatitis seboroik), obat-obatan, dan infeksi (terutama

    staphylococcal scaled-skin syndrome). Sebagai tambahan, beberapa penyakit kongenital

  • 5/24/2018 Dermatitis Eksfoliatif

    3/14

    seperti iktiosis, baik eritroderma kongenital iktiosiform bullosa maupun non-bullosa.

    Sindroma Netherton, dan immunodefisiensi juga patut dipertimbangkan.

    Diagnosis Banding DE

    Mirip dengan

    - Dermatitis spongiotik (20%-24%) (atopik, 9%; dermatitis kontak, 6%; dermatitis seboroik,4%; dermatitis aktinik kronik, 3%)

    - Psoriasis (23%)- Reaksi hipersensitivitas obat (15%)- Limfoma sel T kutaneus (5%)- Idiopatik (sekitar 20%)

    Dapat dipertimbangkan

    - Dermatitis kontak- Penyakit immunobullosa (pemphigus superfisial, pemphigoid bullosa, dan pemphigus

    paraneoplastik)

    - Infeksi (skabies, dermatofitosis)-

    Diperantarai oleh toksin (toxic shock syndrome,staphylococcal scaled skin syndrome)- Dermatitis aktinik kronik- Pityriasis rubra pilaris- Penyakit vaskuler kolagen- Paraneoplastik (tumor solid dan hematologik)- Immunodefisiensi primer- Iktiosis kongenital

    Patut dibedakan

    - Limfoma sel T kutaneus- Sindroma hipersensitivitas yang dipicu oleh obat- Paraneoplastik

    Pengobatan topikal dan sistemik juga terlibat pada persentase kasus DE (15%;

    rentang, 4%-39%) dan pada pengenalan obat-obatan baru dapat meningkatkan insidensi DE.

    Kedua pengobatan allopatik dan naturopatik telah dipercaya menyebabkan DE, dan

    penyebab-penyebab lainnya masih terus diteliti. Beberapa obat yang terlibat termasuk di

  • 5/24/2018 Dermatitis Eksfoliatif

    4/14

    dalamnya calcium channel blocker, antiepilepsi, antibiotik (golongan penisilinm sulfonamid,

    vankomisin), allopurinol, emas, litium, quinidin, simetidin, dan dapson. Namun sebagian

    besar dari obat-obatan ditemukan dalam satu laporan tunggal. Sebagai tambahan pada obat-

    obatan, medium kontras iodixanol (Visipaque) yang digunakan pada intervensi koroner

    perkutaneus juga telah dilaporkan sebagai penyebab terjadinya DE.

    Saat ini, mekanisme patogenik dari Demasih belum dapat dijelaskan. Masih belum

    diketahui bagaimana dermatosis yang sudah ada sebelumnya dapat berkembang menjadi DE,

    bagaimana sebuah penyakit yang sudah ada sebelumnya berkembang menjadi DE, atau

    bagaimana DE terjadi kembali. Meskipun temuan klinis pada pasien DE memiliki kemiripan

    dengan etiologi yang berbeda, dipercayai terdapat mekanisme yang berbeda dalam terjadinya

    rekrutmen sel-sel peradangan pada kulit.

    Sitokin, kemokin, dan teseptor-reseptornta dipercayai memiliki peran penting dalam

    patogenesis DE. Sebuah penelitian profil sitokin pada infiltrat kulit menunjukkan

    kemungkinan-kemungkinan mekanisme patofisiologik yang berbeda antara DE dan Sindroma

    Sezarysitokin T helper 1 ditemukan pada DE jinak sementara sitokin T helper 2 ditemukan

    pada Sindroma Sezary. Pada penemuan belakangan ini, overekspresi reseptor kemokin baik

    dari T helper 1 dan T helper 2 (CCR4, CCR5, dan CXCR3) ditemukan pada DE yang didasari

    dari proses peradangan, sementara overekspresi selektif CCR ditemukan pada Sindroma

    Sezary, yang menunjukkan bahwa Sindroma Sezary terjadi akibat gangguan T helper 2 dan

    mekanisme lainnya berkontribusi dalam reaktivasi limfosit pada beberapa penyebab DE yang

    berbeda. Penelitian lain menunjukkan bahwa Sindroma Sezary dan DE yang disertai

    inflamasi memiliki ciri khas berupa himpunan reaksi sel T memori yang berbeda yang

    kemudian dapat menunjukkan mekanisme patofisiologis lain.

    Interaksi antara molekul adhesi dengan molekul di sekitarnya sangat penting pada

    peradangan dan respon imunologis. Peningkatan kadar molekul adhesi pada sirkulasi

    (molekul adhesi interselular 1, molekul adhesi sel vaskuler 1, dan E-selektin) dilaporkan pada

    DE sekunder reaktif jinak yang didasari oleh psoriasis dan dermatitis atopik. Sebaliknya,

    tidak ditemukan perbedaan tingkat ekspresi molekul-molekul ini pada sel-sel endotel yang

    didapatkan pada DE jenis lainnya, yang menimbulkan hipotesis adanya kesamaan pada jalur

    imunologis tingkat akhir tipe-tipe lain dari DE.

    Interaksi kompleks antara molekul adhesi dan sitokin juga berperan dalam

    meningkatnya mitosis dan pergantian lapisan kulit pada DE. Timbulnya kerak pada kulit

  • 5/24/2018 Dermatitis Eksfoliatif

    5/14

    yang mengalami DE emncerminkan berkurangnya waktu tansit antar lapisan epidermis yang

    mengakibatkan hilangnya protein, asam amino, dan asam nukleat. Kehilangan protein dapat

    meningkat pada 25%-30% melalui kerak pada DE psoriatik, dan 10%-15% pada DE

    nonpsoriatik. Sebagai tambahan, hilangnya protein juga dapat menimbulkan

    hipoalbuminemia.

    Beberapa pasien dengan DE idiopatik kronik telah dilaporkan membentuk CTCL

    yang menuntun kita bahwa pasien dengan DE idiopatik kronik terdapat peningkatan resiko

    berkembangnya penyakit menjadi mikosis atau Sindroma Sezary. Stimulasi sel T kronik pada

    pasien-pasien ini menunjukkan kemungkinan terbentuknya CTCL. Belakangan, kondisi pra

    keganasan atau kondisi yang menyerupai pra Sezary telah dijelaskan pada pasien lanjut usia

    dengan DE kronik atau relaps tanpa perkembangan menjadi keganasan hematologik yang

    ditandai dengan ekspansi monoklonal limfosit CD4+CD7-CD26-. Istilah diskrasia monoklonal

    sel T pada signifikansi yang belum ditentukan, adanya ekuivalensi sel T terhadap gammopati

    monoklonal telah diusulkan pada kondisi seperti ini, yang dipercayai sebagai kasus jinak.

    Walaupun begitu, pada DE idiopatik kronik juga dapat ditemukan CTCL kronik primer yang

    belum terdiagnosis. Tentunya, pada hampir 10% kasus DE idiopatik, diagnosis CTCL

    eritrodermik dapat ditegakkan.

    Peran immunoglobulin (Ig) E pada DE telah dikatakan menjadi dasar penelitian

    peningkatan IgE pada banyak tipe DE. Sebagai contoh, telah terdapat teori yang mengatakan

    peningkatan IgE pada DE psoriatik dapat mengakibatkan berubahnya sitokin T helper 1 pada

    psoriasis menjadi sitokin T helper 2 DE psoriatik. Mekanisme sekunder ini berbeda dengan

    overproduksi IgE pada dermatitis atopi. Sindroma Hyper-IgE adalah perubahan sistem

    imunitas yang berhubungan dengan DE dan memiliki tingkat IgE yang tinggi akibat dari

    tidak cukupnya sekresi interferon-. Mekanisme yang berhubungan dengan meningkatnya

    IgE mungkin berkaitan dengan perjalanan penyakit yang mendasarinya atau manifestasi DE

    itu sendiri. Sekali lagi, mekanisme peningkatan IgE berbeda pada tipe-tipe DE yang berbeda

    pula.

    Belakangan telah terdapat teori bahwa kolonisasi Staphylococcus aureusatau antigen

    lainnya, seperti toxic shock syndrome toxin-1, dapat berperan dalam patogenesis DE.

    Penelitian imunopatogenesis pada infeksi yang dimediasi oleh toksin menunjukkan adanya

    sekumpulan superantigen patogenitas staphylokokal. Kumpulan ini membawa gen pada

    toksin toxic shock syndromedan staphylococcal scaled-skin syndrome. 83% dari pasien DE

  • 5/24/2018 Dermatitis Eksfoliatif

    6/14

    dicatat memiliki kolonisasi S.aureuspada luabng hidungsementara 17% memiliki kolonisasi

    pada kulit, walupun begitu, hanya terdapat satu dari enam pasien dengan enterotoksin positif

    S. aureus.

    Temuan Klinis

    Riwayat

    Riwayat pasien yang datang dengan DE sangat penting dalam diagnosis penyakit

    yang mendasarinya. Pasien munkin memiliki riwayat dermatosis (psoriasis, dermatitis atopik)

    atau kondisi medis sistemik. Riwayat pengobatan harus diperoleh, termasuk pengobatan yang

    didapatkan tanpa resep dokter. Pasien dengan riwayat psoriasis dan dermatitis atopi harus

    ditanyakan khsusnya riwayat penggunaan kortikosteroid topikal dan sistemik, metotrexat, dan

    pengobatan sistemik lainnya; iritan topikal; penyakit sistemik; infeksi; luka bakar fototerapi;

    kehamilan; dan stres emosional. Pasien DE biasanya ditemukan dengan gangguan

    thermoregulator, malaise, kelelahan, dan gatal-gatal; gejala ini tidak spesifik pada etiologi

    apapun.

    Onset dari gejala penting dalam menentukan penyebab lain yang mendasari ED.

    Penyakit kulit primer menunjukkan perjalanan yang lebih lambat sedangkan reaksi akibat

    obat biasanya menunjukkan onlet yang lebih cepat diikuti dengan resolusinya. Terkecuali DE

    yang diakibatkan oleh antikonvulsan, antibiotik, dan allopurinol. Reaksi terbentuk dalam 2-5

    minggu setelah pemberian obat dan mungkin akan tetap terbentuk setelah pemberhentian

    obat. Tanda yang berhubungan dengan etiologi akibat reaksi obat termasuk di dalamnya

    demam, limfadenopati, organomegali, edema, leukositosis dengan eosinofilia, setra gangguan

    hati dan ginjal.

    Riwayat dan temuan klinis belum cukup dalam mendiagnosis DE akibat keganasan.

    Hal-hal penting yang perlu diingat adalah tidak adanya riwayat penyakit kulit primer, onset

    yang perlahan, dan kurangnya respon terhadap terapi. Riwayat transplantasi juga

    meningkatkan kecurigaan terhadap CTCL, dimana ditemukan lebih banyak DE yang

    diakibatkan oleh CTCL pada pasien yang telah menjalani transplantasi.

    Lesi kutaneusCiri khas DE adalah bercak eritema yang bertambah besar dan kemudian bergabung

    menjadi eritema generalisata dengan penampakan yang berkilau. Menurut definisinya, DE

  • 5/24/2018 Dermatitis Eksfoliatif

    7/14

    melibatkan lebih dari 90% permukaan kulit pasien. Beberapa hari setelah timbulnya eritema,

    pembentukan sisik putih atau kekuningan dimulai, terutama pada daerah lipatan. Sisik yang

    menyerupai plat dapat terjadi secara akut pada telapak tangan dan kaki. Proses pembentukan

    sisik lebih lanjut mengakibatkan kulit tampak merah dan kusam. Kronisitas edema dan

    likenifikasi dapat menyebabkan pengerasan permukaan kulit. Ektropion dan epifora dapat

    terjadi pada keterlibatan daerah periorbital yang kronis. Keratoderma palmoplantar juga

    dijumpai pada hampir 80% pasien dengan DE kronik.

    Beberapa pasien juga mengalami DE pada rambut dan kuku. Pembentukan sisik pada

    kulit kepala, alopesia, dan pada beberapa kasus, effluvium dapat dijumpai. Peerubahan kuku

    yang dimaksud dapat berupa onikolisis, hiperkeratosis subungual, perdarahan splinter,

    paronikia, garis Beau, dan terkadang onikomadesis. Garis tepi pada kuku disertai

    diskontinuitas bentuk kuku merupakan gambaran klinis dari DE yang disebabkan oleh obat-

    obatan.

    Keterlibatan hidung dan daerah perinasal (nose sign) juga telah dijelaskan pada

    beberapa penelitian. Keterlibatan areola juga telah ditemukan pada beberapa kasus CTCL,

    reaksi obat-obatan, dermatitis, psoriasis, fotosensitivitas, dan PRP. Secara khusus, tidak

    ditemukan adanya keterlibatan mukosa. Keratosis seboroik eruptif dapat timbul pada pasien

    dengan DE. Keratosis biasanya sembuh dengan sendirinya seiring dengan meredanya DE.

    Lesi kutaneus dapat menunjukkan penyebab yang mendasari terjadinya DE. Sebagai

    contoh, pada awal DE psoriatik, plak psoriasis klasik dapat ditemukan. Gottrons papules,

    ruam heliotropik (menyerupai bunga), dan kelemahan otot dapat dijumpai pada DE yang

    disebabkan oleh dermatomiositis. Papuloeritroderma Ofuji dapat dijumpai khususnya pada

    daerah lipatan kulit perut (deck hair sign).

    Temuan Klinis Lainnya

    Penemuan klinis lain yang ditemukan pada DE termasuk

    - Takikardi akibat meningkatnya aliran darah ke kulit dan kehilangan cairan akibatgangguan fungsi barier epidermal.

    - Gagal jantung juga pernah dilaporkan sebagai akibar sekunder pada DE berat.- Gangguan termoregulasi dapat menyebabkan hipertermia dan beberapa kasus

    hipotermia; walaupun begitu sebagian besar dari pasien mengeluhkan rasa

    kedinginan.

  • 5/24/2018 Dermatitis Eksfoliatif

    8/14

    - Limfadenopati generalisata dapat ditemukan pada lebih dari sepertiga pasien.Klinisiharus dapat membedakan antara limfadenopati dermatopatik dan limfoma. Jika

    limfadenopati baynya ditemukan, biopsi kelenjar mungkin diperlukan.

    - Hepatomegali dapat muncul pada sepertiga kasus dan lebih banyak ditemui pada DEyang disebabkan oleh obat-obatan.

    - Splenomegali jarang dilaporkan dan sebagian besar berhubungan dengan limfoma.- Edema pretibial dapat terjadi pada 54% pasien. Edema fasial juga pernah dilaporkan

    pada DE yang disebabkan oleh obat-obatan.

    Pemeriksaan Lab

    Pemeriksaan lab biasanya tidak spesifik dan tidak dapat menegakkan diagnosis.

    Kelainan lab yang biasa ditemukan pada pasien DE termasuk anemia, leukositosis,

    limfositosis, eosinofilia, peningkatan IgE, penurunan serum albumin, dan peningkatan laju

    endap darah. Kehilangan cairan mungkin menyababkan timbulnya gangguan elektrolit dan

    gangguan fungsi ginjal (peningkatan kadar kreatinin) Peningkatan IgE ditemukan pada

    beberapa pasien DE yang tidak berkaitan dengan dermatitis atopik, termasuk 81.3% pasien

    DE psoriatik. Eosinofilia tidak dapat menegakkan diagnosis dan hanya ditemukan pada 20%

    pasien DE. Meskipun begitu, ketika eosinofil meningkat secara drastis, kemungkinan

    terjadinya penyakit yang berhubungan dengan Hodgkin harus diinvestigasi.

    Sangat penting untuk membedakan peradangan eritroderma jinak dengan sindroma

    Sezary. Pada kasus eritroderma yang dicurigai disertai CTCL, evaluasi darah dan kelenjar

    limfa diperlukan dalam penegakan diagnosis. Penelitian menunjukkan jika terdapat 20% atau

    lebih sel Sezary dalam sirkulasi merupakan kriteria yang penting dalam diagnosis sindroma

    Sezary, dimana bila terdapat kurang dari 10% tidak dapat menunjukkan apa-apa.

    Pengecualian dapat terjadi pada reaksi obat yang berat yang dapat menyerupai sindroma

    Sezary (seperti hipersensitivitas hidantoin). Beberapa dermatosis jinak termasuk psoriasis,

    dermatitis atopik, lupus diskoid, liken planus, dan parapsoriasis menunjukkan adanya sel

    Sezary sebanyak kurang dari 10%. Demonstrasi susunan reseptor sel T klonal

    direkomendasikan pada pembedaan sensitifitas dan spesisifitas sindroma Sezary dengan

    etiologi lain DE.

    Pada beberapa studi belakangan, reaksi rantai polimerase kuantitatif pada lima gen

    (STAT4, GATA-3, PLS3, CDID, dan TRAIL) terbukti berguna pada diagnosis molekuler

    sindroma Sezary. Beberapa pertanda molekular sel Sezary belakangan diteliti (Twist, EphA4,

  • 5/24/2018 Dermatitis Eksfoliatif

    9/14

    T-plastin). Pada satu kasus, CD158K/KIR3DL2, reseptor yang menyerupai imunoglobulin

    pembunuh biasanya dikeluarkan oleh subset CD8 limfosit T dan sel natural killer ditemukan

    berguna sebagai pertanda molekular pada sindroma Sezary pada sampel kulit pasien DE.

    Penelitian lain menunjukkan banwa sindroma Sezary dapat dibedakan dari DE dengan

    peradangan yang didasari oleh ekspresi subset sel T memori yang lain dan ekspresi CD27

    mungkin berguna dalam penegakan diagnosis.

    Fenotipisasi imunitas pada limfosit kulit mungkin berguna dalam pembedaan

    sindroma Sezary dari retikuloid aktinik. Pasien Sezary menunjukkan predominasi CD4+

    klonal sementara pada pasien dengan retikuloid aktinik, didapatkan predominasi limfosit

    CD8+. Lebih spesifik lagi, sel T CD28+/CD5+/Nka-/CD4+ dengan reduksi CD3, CD4, CD7,

    CD2, dan/atau resptor sel T / mendukung diagnosis sindroma Sezary pada pasien DE.

    Indeks kontur nuklear juga mungkin membantu investigasi dengan diferensiasi yang sama.

    Histopatologi

    Penemuan histopatologis berbeda-beda berdasarkan etiologi yang mendasari. Multiple

    punch biopsy diperlukan sebagai tambahan dalam evaluasi klinis dalam menegakkan

    diagnosis. Spesimen biopsi biasanya menemukan gambaran nonspesifik termasuk

    hiperkeratosis, parakeratosis, akantosis, dan infiltrat radang kronik, yang dapat mengaburkanetiologi yang mendasari. Penemuan histopatologis juga bervariasi tergantung pada keparahan

    penyakit, dan beratnya peradangan. Sepertiga dari spesimen biopsi eritroderma ditemukan

    tidak berhasil dalam menentukan penyakit yang mendasari terjadinya DE. Penemuan

    histologis pada penyakit yang mendasari mungkin lebih halus pada penyakit yang tidak

    berhubungan dengan DE. Penelitian immunoflorosensi langsung, menggunakan pewarnaan

    yang berbeda, penelitian imunoperoksidase, fenotipisasi imun, dan susunan gen juga

    mungkin diperlukan dalam menentukan penyakit yang mendasarinya.

    Pemeriksaan Khusus

    Pemeriksaan lab didasarkan pada klinis dan riwayat penyakit pasien sebelumnya.

    Sebagai tambahan biopsi kulit multipel, biopsi kelenjar limfe mungkin diperlukan untuk

    membedakan limfadenopati dermatopatik dari adanya keterlibatan limfomatosa. Pemeriksaan

    radiologi dapat dilakukan pada kondisi adanya paraneoplastik. Apabila sebuah penyakit

    limfeproliferatif dicurigai sebagai penyebab DE, maka evaluasi perbandignan CD4:CD8,

  • 5/24/2018 Dermatitis Eksfoliatif

    10/14

    penghitungan sel Sezary, dan fenotipisasi imun pada kulit dan darah, serta analisis sel T

    klonal melalui sitogenetik atau analisa gen reseptor sel T.

    Komplikasi

    Berbagai perubahan metabolik dan fisiologik dapat terjadi pada DE, termasuk

    imbalans cairan dan elektrolit, gangguan thermoregulasi, gagal jantung, syok kardiogenik,

    acute respiratory distress syndrome, dekompensasi penyakit hati kronis, dan ginekomasti.

    Hipoalbuminemia umum terjadi akibat kehilangan protein melalui pembentukan sisik (10%-

    15% pada ED nonpsoriatik dan mencapai 25%-30% pada DE psoriatik) dan peningkatan

    metabolisme disertai berkurangnya sintesis protein. Proses ini mengakibatkan balans nitrogen

    negatif, muscle wasting, dan edema.

    Komplikasi umum lain pada DE adalah gangguan regulasi temperatur tubuh.

    Peningkatan perfusi kulit disertai meningkatnya kehilangan air transepitel dan kehilangan

    panas akibat peningkatan metabolisme dapat mengakibatkan hipotermia. Lebih lanjut lagi,

    kapiler tidak dapat merespon dengan baik terhadap perubahan suhu melalui vasokonstriksi

    dan vasodilatasi. Kehilangan cairan dan elektrolit melalui kebocoran kapiler mengakibatkan

    ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Pirau darah pada kulit dapat mengakibatkan

    kegagalan jantung, terutama pada pasien dengan gangguan jantung dan pasien lanjut usia.

    Terdapat peningkatan kerentanan terjadinya kolonisasi bakteri pada DE akibat adanya

    inflamasi, fisura, dan ekskoriasi kulit. Sepsis mungkin terjadi. Sepsis staphylokokal dapat

    menjadi resiko pada pasien DE dengan CTCL dan HIV.

    Prognosis dan Perjalanan Penyakit

    Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi perjalanan penyakit dan prognosis dari

    DE, seperti penyakit yang mendasarinya, komorbiditas pasien, umur, laju onset, dan

    pengobatan sebelumnya. DE yang ditimbulkan oleh obat-obatan, perjalanannya biasanya

    berlangsung cepat dan dengan penghentian obat yang menyebabkannya dapat menghilangkan

    DE dan pasien dapat sembuh dengan tuntas. Pengecualian yang penting pada kasus ini adalah

    reaksi hipersensitivitas berat sistemik yang biasanya terbentuk dalam 2-5 minggu setelah

    pemberian obat dimulai dan mungkin dapat bertahan hingga beberapa minggu setelah

    pemberhentian obat. Apabila penyakit yang mendasarinya merupakan penyakit kulit primer

    seperti pada DE atopik dan psoriatik, perbaikan membutuhkan waktu beberapa minggu

  • 5/24/2018 Dermatitis Eksfoliatif

    11/14

    hingga bulan; meskipun begitu, beberapa kasus kronik dan persisten dapat terjadi. Rekurensi

    dari DE psoriatik dapat terjadi pada 15% pasien setelah resolusi pertama.

    DE dapat menjadi fatal terutama pada pasien yang masih sangat muda dan pada

    pasien lanjut usia. Rata-rata variabel mortalitas (dari 3,73% hingga 64%) telah dilaporkan

    pada penelitian selama lebih dari 51 tahun. Pada beberapa rangkaian DE, tingkat mortalitas

    yang tinggi ditemukan pada pasien dengan reaksi obat berat, keganasan limfaproliferatif,

    foliaseus pemfigus, dan DE idiopatik. Penyebab terjadinya kematian adalah komplikasi

    seperti sepsis, pneumoni, dan gagal jantung. Angka mortalitas yang lebih rendah dilaporkan

    pada penelitian baru-baru ini dengan penyebab terbanyak adalah DE yang berhubungan

    dengan keganasan, biasanya akibat dari progresi penyakit yang mendasari, komplikasi

    pengobatan, atau sepsis. Pada penelitian terakhir, dengan follow up 80 pasien DE selama

    kurang lebih 30 bulan menunjukkan angka kematian sebesar 3,75% (3 dari 80 pasien) dengan

    penyebab kematian seperti pneumonia pada pasien foliaseus pemfigus dan sindroma Sezary.

    DE akibat keganasan termasuk CTCL adalah penyebab tersering perjalanan penyakit

    yang kronis dan sulit diatasi. Pada DE yang berkaitan dengan mikosis fungoides dan

    sindroma Sezary, faktor yang memberikan prognosis baik termasuk umur dibawah 65 tahun,

    lamanya gejala dirasakan selama lebih dari 10 tahun sebelum diagnosis, tidak adanya

    keterlibatan kelenjar getah bening seperti limfoma, dan ketidakadaan sel Sezary pada mikosis

    fungoides. Angka bertahan hidup rata-rata berkisar antara 1,5 hingga 10,2 tahun berdasarkan

    indikator prognosis ini.

    DE idiopatik biasanya memiliki gejala kronik dan rekurensi yang membutuhkan terapi

    steroid jangka panjang. Remisi sempurna terjadi pada sepertiga dari pasien DE idiopatik dan

    terjadi remisi parsial pada setengah dari pasien DE idiopatik. Pasien dengan DE idiopatik

    kronik memiliki resiko lebih tinggi untuk berkembang menjadi CTCL. Proporsi pasien

    dengan DE kronik menunjukkan adanya diskrasi sel T monoklonal, yang mengindikasikan

    adanya premalignansi atau kondisi yang menyerupai Sezary (diskrasia sel T monoklonal pada

    signifikansi yang belum ditentukan).

    Pada pasien pediatrik dengan DE dan demam, beberapa kondisi (umur yang lebih tua,

    muntah, adanya infeksi fokal, dan penemuan lab spesifik) dapat digunakan untuk

    memprediksi pasien yang mungkin akan mengalami deteorisasi hemodinamis. Prediksi

    terbentuknya toxic shock syndromepada populasi ini termasuk umur 3 tahun, penampakan

    sakit pasien, peningkatan kreatinin, dan hipotensi.

  • 5/24/2018 Dermatitis Eksfoliatif

    12/14

    Pengobatan

    Pasien yang datang dengan DE akut mungkin memerlukan rawat inap akibat

    imbalansi elektrolit dan kehilangan cairan yang signifikan, serta gangguan respirasi dan

    hemodinamis. Meskipun begitu, sebagian besar pasien dapat ditangani cukup dengan rawat

    jalan. Terlepas dari etiologinya, penanganan awal meliputi penggantian cairan dan ekektrolit,

    serta nutrisi. Pasien dengan eritroderma dan demam harus dirawat inap dan ditangani secara

    aktif mengingat keasaan ini dapat menimbulkan deteoriasi hemodinamis.

    Perawatan pasien harus dilakukan pada lingkungan yang hangat (dianjurkan 30-320)

    dan lembab untuk menjaga kelembaban kulit dan mencegah hipotermi. Perawatan kulit lokal,

    termasuk mandi gandum dan waslap diperlukan untuk mengangkat lesi yang mengering,

    pemberian emolien, dan steroid topikal potensi rendah dapat dimulai. Steroid topikal potensi

    tinggi dan imunomodulator topikal, seperti tacrolimus harus dihindari karena kemungkinan

    adanya penyerapan sistemik akibat peningkatan permeabilitas kulit dan luasnya area yang

    terlibat. Iritan topikal lainnya, seperti anthralin, tar, pelembab asam hidroksil, dan analog

    vitamin D juga perlu dihindari.

    Antihistamin dapat diberikan sebagai sedasi pada efek pruritus. Antibiotik sistemik

    diperlukan pada pasien dengan infeksi sekunder lokal maupun sistemik. Septikemia sekunderakibat infeksi Staphylococcusmerupakan komplikasi dari DE dan memerlukan pengobatan

    antibiotik dan pengobatan suportif. Bahkan terapi antibiotik sistemik pada pasien tanpa

    infeksi sekunder juga dapat mengatasi kemungkinan adanya eksaserbasi DE oleh kolonisasi

    bakteri. Edema pedal dan periorbital harus ditangani dengan pemberian diuretik dan

    pemberian cairan yang adekuat harus dipertahankan. Seluruh pengobatan yang tidak

    diperlukan dan mungkin memperberat penyakit harus dihentikan, termasuk obat-obatan

    seperti lithium dan antimalaria yang mungkin memperberat kondisi pasien dengan psoriasis.

    Suplementasi folat dan diet protein 130% dari kebutuhan harian dianjurkan untuk

    menggantikan kehilangan nutrien.

    Penentuan etiologi yang mendasari sangat penting dalam penanganan DE, dimana DE

    mungkin tidak mengalami perubahan dengan terapi sampai penyebab yang mendasarinya

    ditangani. Rekomendasi terapi konsensus pada eritroderma psoriasis telah diajukan oleh

    National Psoriasis Foundation. Terapi yang diberikan harus sesuai dengan keparahan

    penyakit dan faktor komorbiditas yang ada. Pengobatan sistemik seperti methotrexate,

    cyclosporine, acitretin, mycophenolate mofetil, dan azathioprine berguna sebagai pengobatan

  • 5/24/2018 Dermatitis Eksfoliatif

    13/14

    tunggal maupun campuran. Beberapa penelitian kecil menganjurkan infliximab sebagai terapi

    tunggal maupun campuran dengan methotrexate dapat mempercapat penyembuhan dan

    pengontrolan DE psoriatik dan angka remisinya yang tinggi. Terdapat beberapa data yang

    menunjukkan keefektifan penggunaan etanercept, begitu juga dengan adalimumab dan

    alefacept yang sukses digunakan pada pasien DE psoriatik. Saat ini, belum ada data mengenai

    keberhasilan terapi dengan ustekimumab pada eritroderma psoriatik, walaupun begitu

    kegunaannya telah terbukti pada psoriasis tipe plak. Pemberian steroid sistemik harus

    dihindari untuk mencegah terjadinya rebound erythrodermic flaredan eksaserbasi penyakit.

    Beberapa penelitian kasus terakhir mendukung penggunaaninfliximab pada pasien

    eritroderma dan psoriasis kronik tipe plak yang gagal setelah pemberian beberapa terapi

    termasuk terapi biologis.

    Etanercept juga telah digunakan sebagai pembantu steroid dalam meringankan gatal

    sindrom Sezary pada dua pasien. Walaupun begitu, penggunaan etanercept harus diwaspadai

    pada pasien karena kemungkinan timbulnya imunosupresi lebih lanjut. Pilihan terapi CTCL

    termasuk di dalamnya kortikosteroid topikal, psoralen plus ultraviolet A (UVA), iradiasi

    elektron kulit total, kemoterapi sistemik seperti regimen yang menyerupai CHOP

    (cyclophosphamide, hydroxydaunomycin, vincristine, dan prednisone), interferon-,

    fotokemoterapi ekstrakorporeal, dan terapi biologis seperti antibodi monoklonal(alemtuzumab), bexarotene (retinoid reseptor X selektif), serta denileukin difitox.

    Kortikosteroid sistemik berguna pada reaksi hipersensitivitas obat. Pada beberapa

    kasus persisten, Ig intravena dapat digunakan. Cyclosporine, methotrexate, azathioprime,

    mycophenolate mofetil, dan kortikosteroid sistemik mungkin berguna untuk dermatitis

    spongiotik. PRP biasanya merespon terhadap terapi retinoid sistemik atau methotrexate.

    Beberapa laporan dan rangkaian kasus akhir-akhir ini menunjukkan bahwa antagonis tumor

    necrosis factor (TNF)- (infliximab, etanercept, adalimumab) dengan atau tanpa kombinasi

    terapi lain sangat berguna dalam mengobati PRP pada orang dewasa dan remaja.

    Papuloeritroderma Ofuji telah diobati dengan kortikosteroid sistemik maupun oral,

    cyclosporine, interferon, etretinate, serta kombinasi retinoid kaya psoralen dengan cahaya

    UVA. Rituximab telah terbukti berguna dalam mengobati foliaseus pemfigus eritrodermik

    pada beberapa laporan kasus.

    Ketika penyebab yang mendasari DE tidak diketahui, terapi empirik dengan agen-

    agen sistemik seperti methotrexate, cyclosporine, acitretin, mycophenolate mofetil, dan

  • 5/24/2018 Dermatitis Eksfoliatif

    14/14

    kortikosteroid sistemik telah digunakan. Pertimbagan penggunaan kortikosteroid sistemik

    perlu ditekankan pada DE psoriatik karena resiko terjadinya rebound flare. Obat-obatan

    imunosupresif tidak dapat digunakan sampai CTCL telah disingkirkan dengan beberapa

    pemeriksaan laboratorium.

    Pencegahan

    Pencegahan DE tergantung pada pengendalian penyebab yang mendasarinya.

    Pengobatan dan iritan yang sebelumnya telah menyebabkan DE harus dihindari. Penting bagi

    pasien untuk mencatat riwayat alergi termasuk kemungkinan terjadinya reaksi silang

    pengobatan, seperti agen topikal (seperti DE akibat penggunaan gentamicin sistemik pada

    pasien yang alergi terhadap neomycin dan DE akibat penggunaan pseudoephedrine pada

    pasien yang alergi terhadap phenylephrine). Penggunaan steroid sistemik perlu dihindari pada

    pasien dengan psoriasis untuk menghindari rebound flares. Pemberian edukasi pada pasien

    dengan penyakit pendahulu (seperti psoriasis, dermatitis atopi) tentang pemicu DE (iritan,

    penghentian penggunaan obat secara tiba-tiba) juga berguna pada pencegahan DE.