Upload
agus-triantoo
View
124
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
MAKALAH KLMPOK 5
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Pada makalah ini, kelompok kami mengangkat masalah sehubungan dengan
komunikasi terapeutik pada pasien dengan gangguan perkemihan, dan kelompok kami
mengambil contoh bagaimana kita sebagai perawat mengkomunikasikan tindakan
keperawatan kepada pasien. Sehingga tujuan dari asuhan keperawatan bisa terpenuhi.
Pada makalah ini kami mengangkat kasus pasien Diabetus Mellitus sehubungan
dengan inkontinensia urine. Diabetus mellitus adalah penyakit yang dalam tingkatan yang
nyata memperlihatkan gangguan metabolisme karbohidrat, sehingga didapati hiperglitemi
dan glukosuria. Gambaran klinis yang khas yaitu adanya poliuria ( diuresis 3-4 liter
sehari ), polidipsi ( rasa haus yang terus menerus ), dan polifagi ( nafsu makan bertambah ).
Inkontinensia urine bukan merupakan tanda – tanda normal penuaan.
Inkontinensia urine selalu merupakan suatu gejala dari masalah yang mendasari. Jutaan
lansia mengalami beberapa kehilangan kendali volunteer. Masalah inkontinensia urinarius
dibagi menjadi akut atau persisten dan dapat berkisar dari kehilangan control kandung
kemih ringan sampai inkontinensia total. Inkotinensia akut terjadi secara tiba – tiba
biasanya akibat dari penyakit akut. Sering terjadi pada individu yang dirawat di rumah
sakit, inkontinensia akut biasanya hilang setelah penyakit sembuh. Inkontinensia akut juga
dapat akibat dari obat, terapi, dan factor lingkungan.
Inkontinensia persisten diklasifikasikan menjadi inkontinensia urgensi,
inkontinensia stress, inkontinensia overflow, dan inkontinensia fungsional. Inkontinensia
urine dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan endokrin, seperti hiperklasemia dan
hiperglikemia. Keterbatasan mobilitas atau penyakit yang menyebabkan retensi urine dapat
mencetuskan inkontinensia urine ata dapat akibat depresi pada lansia
1
B. Perumusan masalah
1) Bagaimana perawat berkomunikasi pada pasien untuk member asuhan keperawatan
yang terapeutik?
2) Bagaimana perawat bermain peran dalam berkomunikasi terapeutik pada pasien
gangguan inkontinensia urin?
C. Tujuan penulisan masalah
Perawat mampu berkomunikasi dengan pasien yang mengalami gangguan inkotinensia urin
denngan tepat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. ASUHAN KEPERAWATAN
1) Pengkajian
Pengkajian factor risiko untuk inkontinensia dibantu dengan singkatan DRIP dari Ouslander
untuk membantu mengingat penyebab inkontinensia sementara . Sistem DRIP ini juga berguna
dalam mengidentifikasi factor risiko terjadinya inkontinensia. D adalah untuk delirium ( depresi
harus ditambahkan untuk lansia ). R untuk retensi dan keterbatasan mobilitas ( restricted ). I
untuk infeksi, inflamasi, dan impaksi, dan P untuk poliura ( seperti yang disebabkan oleh
diabetes atau gagal jantung kongestif ) dan farmasetik atau obat – obatan. Bila terdapat satu atau
lebih factor DRIP, inkontinensia berisiko terjadi dan pencegahan harus dilaksanakan
a. Riwayat penyakit dahulu: klien pernah mengatakan mempunyai penyakit diabetes
mellitus
b. Riwayat keperawatan
Data obyektif Data subyektif Data lab
1. Jumlah urin 3 / liter
2. Bau : khas, tajam
3. Konsistensi : cair
4. Umur : 75th
1. Pasien mengatakan frek
berkemih lebih dari 8x/sehari
2. Ps mengatakn mengkonsumsi
teh di rumah
3. Ps byk makan makan dg
kandungan garam&mineral
4. Ps sering pipis di waktu
malam
5. Sering berkemih tanpa sadar
1. Kadar glukosa
darah >160
mg/dl
2. Glukosa urin
+
3
c. Pemeriksaan fisik
1. Abdomen Terlihat adanya distensi kandung kemih,
nyeri tekan pada kandung kemih
2. Genitalia Tidak ada lesi, ada radang pada labia
mayora
2) Diagnose keperawatan
Inkontinensia urin sehubungan dengan perubahan degenerative pada otot-otot panggul
KH : pasien akan melaporkan adanya penurunan frekuensi berkemih tiba-tiba
3) Intervensi
Intervensi Rasionalisasi
a.Pantau pengeluaran urin meliputi jumlah,
bau, konsistensi, dan warna
b. Anjurkan pasien untuk merubah
pola makan terutama mengurangi lemak
jenuh dan kolesterol
c. Bersihkan area genetalia secara berkala
dan teratur
d. Jadwalkan frekuensi berkemih dalam
sehari sebanyak 4x/sehari
e. Batasi asupan minuman diuretic, dang
anti dengan air mineral biasa
f. Anjurkan kegiatan olahraga pada pasien
g. Evaluasi perasaan ps
a. Untuk mengetahui intake dan output
keluaran air
b. Diet disesuaikan dengan keadaaan
penderita. Lemak tetap dibutuhkan tetapi
diganti dengan lemak tak jenuh
c. menghindari infeksi
d. Ps diharapkan dapat menahan keinginanu/
berkemih bila belum waktunya. Lansia
dianjurkan untuk berkemih padainterval waktu
tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya
diperpanjangsecara bertahap sampai lansia ingin
berkemih setiap 2-3 jam.
e. minuman diuretic akan meningkatkan
frekuensi berkemih
f. olahraga dapat menurunkan kadar gula
darah yang disebabkan oleh peningkatan
4
penggunakan glukosa di daerah perifer
g. pasien merasa nyaman
B. KOMUNIKASI TERAPEUTIK PADA PASIEN DG GANGGUAN
INKONTINENSIA URIN
Pengkajian
1. Pra interaksi
Pasien barnama Ny. Yuli umur 75th, pekerjaan sebagai petani masuk rumah sakit Dr.
Suraji Tirtonegoro pada tanggal 26 maret 2012. Telah dirawat selama 3 hari ditanggani oleh
dr.Rian, dirawat di ruang B2. Perawat telah membuat janji dengan klien untuk pertemuan pertama
pada hari senin tanggal 30 maret 2012, pada pukul 08.00 WIB.
2. Orientasi
Perawat : “Selamat pagi mbah, Bagaimana kabar simbah?”
Pasien : “Ya beginilah perawat/ suster”
Perawat :” Apakah nama simbah Ny Yuli?”
Pasien :”Betul mbk perawat/ suster.”
Perawat :”Perkenalkan nama saya Nuring, saya praktikan dari Akademi Keparawatan
Poltekes Surakarta yang kebetulan sedang bertugas di ruang simbah, dan nantinya
saya yang akan bertanggung jawab selama simbah di rawat di rumah sakit ini.
Baiklah mbah, saya akan melakukan pengkajian awal dulu, yang bertujuan untuk
mengetahui rencana tidakan apa yang tepat untuk simbah.
3. Fase Kerja
5
Perawat :” maaf mbah, apakah sebelumnya simbah sudah pernah berobat ? dimana ? dan
diberi obat apa?”
Pasien :” Saya pernah berobat, dulu saya sempat berobat karena saya menderita gula
(diabetes mellitus)”
Perawat :” Apakah yang menyebabkan simbah sampai dirawat disini?”
Pasien :” Begini mbak perawat/ suster, sebenarnya saya ini sudah lama sejak 3 minggu
terakhir ini saya merasa sering pipis, sebentar-sebentar air kencing e keluar terus
tanpa saya sadari, kalau malam saya juga sering pipis mbak, dan tidak bisa
ditahan”
Perawat :” Oh, jadi sudah 3 minggu terakhir simbah sudah merasakan gejala tersebut.”
Pasien :” Iya mbak.”
4. Fase terminasi
perawat :” Baiklah mbah saya sudah melakukan pengkajian pada simbah hasil yang saya
dapatkan, simbah mengalami gangguan beser atau dalam istilah kesehatan disebut
inkotinensia urin. Mungkin itu salah satunya karena simbah menderita diabetes.
Baiklah mbah terima kasih atas waktu yang simbah berikan kepada saya setta
kerja samanya, saya permisi dulu, nanti pada pukul 16.00 WIB saya akan kembali
lagi keruangan simbah.”
Diagnosa
Hal yang paling penting dalam menilai wanita dengan inkontinensia urine adalah dengan
anamnesis dan pemeriksaa fisik yang lengkap. Pemeriksaan awal tidak selalu diagnostic, tetapi
informasi yang didapar akan menuntun klinisi dalam memilih tes diagnosis
6
Klien bernam Ny. Yuli masuk kerumah sakit dengan diagnosa medis diabetes mellitus. Dan
perawat lalu membuat diagnose keperawatan inkotinensia urin s/d penurunan degenerative otot
panggul, Data yang didapatkan sebagai berikut:
klien mengatakan sering geliah
keluarnya kencing tidak dapat ditahan
klien mengatakan sering pipis tanpa sadar
klien berkemih lebih dari 8x sehari
berkemih 1kali/4jam
sering pipis di waktu malam dan tak bisa ditahan
Dari keluhan-keluhan yang didapat saat pengkajian pertama msuk kerumah sakit ini simbah
gangguan eliminasi urin.
Intervensi
Setelah dilakukan diskusi dengan tim kesehatan lainnya, NyYuli yang mendapat diagnosa
keperawatan mengalami “gangguan inkotinensia urin”. dokter memberikan tindalan farmakologi
dengan memberikan beberapa obat diuretikdan kolinegik. Obat ini dapat membantu untuk
mengontrol keinginan buang air dg mengurangi kontraksi ototdi dinding kandung kemih Serta
menetukan agar dapat memenuhi kebutuhan eliminasi dalam tubuh pasien.
Tindakan intervensi yang direncanakan untuk pasien Ny. Yuli adalah:
Intervensi Rasionalisasi
a. Pantau pengeluaran urin meliputi jumlah, bau, konsistensi, dan warna
b. Bantu ps untuk mengungkapkan rasa ingin berkemih dan ajari pasien untuk melatih gerakan otot panggul
c. Bersihkan area genetalia secara berkala dan teratur
d. Jadwalkan frekuensi berkemih
a. Untuk memantau haluaran intake dan output cairan
b. pasien dapat berkemih sebelum secara tidak sengaja berkemih dan mengajarkan pasien untuk menahan desakan berkemih, secara bertahap.
c. menghindari infeksid. Pasien diharapkan dapat menahan keinginan
untuk berkemih bila belum waktunya. Lansia dianjurkan untuk berkemih padainterval
7
dalam sehari sebanyak 4x/seharie. Batasi asupan minuman diuretic,
dan ganti dengan air mineral biasaf. Evaluasi perasaan pasien
waktu tertentu, mula-mula setiap jam, selanjutnya diperpanjangsecara bertahap sampai lansia ingin berkemih setiap 2-3 jam.
e. minuman diuretic akan meningkatkan frekuensi berkemih
f. pasien merasa nyaman
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pada pasien dengan penerita Diabetus Mellitus akan terjadi inkontinensia urin,
karena tingginya kadar glukosa dalam darah akan mempengaruhi jalannya rangsang,
sehingga menyebabkan terhambatnya rangsang syaraf yang menghubungkan otak dengan
organ pengatur pengeluaran urine atau sphingter. Hal itu yang menyebabkan pasien tidak
bisa mengontrol pengeluaran urine dengan baik.
B. SARAN dan KRITIK
Pada pasien dengan penderita Diabetus Mellitus diharapkan pasien dapat
mengatur pola makannya dengan baik, makanan yang rendah kalori dan rendah glukosa.
Mengharapkan pasien dapat berolahraga dengan teratur.
MAKALAH KLOMPOK 6
BAB I
PENDAHULUAN
8
Manusia sebagai organisme multiseluler dikelilingi oleh lingkungan luar
(milieu exterior) dan sel-selnya pun hidup dalam milieu interior yang berupa
darah dan cairan tubuh lainnya. Cairan dalam tubuh, termasuk darah, meliputi
lebih kurang 60% dari total berat badan laki-laki dewasa. Dalam cairan tubuh
terlarut zat-zat makanan dan ion-ion yang diperlukan oleh sel untuk hidup,
berkembang dan menjalankan tugasnya.
Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik sangat dipengaruhi oleh
lingkungan di sekitarnya. Semua pengaturan fisiologis untuk mempertahankan
keadaan normal disebut homeostasis. Homeostasis ini bergantung pada
kemampuan tubuh mempertahankan keseimbangan antara subtansi-subtansi yang
ada di milieu interior.
Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter
penting, yaitu: volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ektrasel. Ginjal
mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan
garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan
keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur
keluaran garam dan urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi asupan dan
kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.
Ginjal juga turut berperan dalam mempertahankan keseimbangan asam-
basa dengan mengatur keluaran ion hidrogen dan ion karbonat dalam urine sesuai
kebutuhan. Selain ginjal, yang turut berperan dalam keseimbangan asam-basa
adalah paru-paru dengan mengekskresikan ion hidrogen dan CO2, dan sistem
dapar (buffer) kimia dalam cairan tubuh.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
9
2.1 Komposisi Cairan Tubuh
Telah disampaikan pada pendahuluan di atas bahwa cairan dalam tubuh
meliputi lebih kurang 60% total berat badan laki-laki dewasa. Prosentase cairan
tubuh ini bervariasi antara individu, sesuai dengan jenis kelamin dan umur
individu tersebut. Pada wanita dewasa, cairan tubuh meliputi 50% dari total berat
badan. Pada bayi dan anak-anak, prosentase ini relatif lebih besar dibandingkan
orang dewasa dan lansia.
Cairan tubuh menempati kompartmen intrasel dan ekstrasel. 2/3 bagian dari
cairan tubuh berada di dalam sel (cairan intrasel/CIS) dan 1/3 bagian berada di
luar sel (cairan ekstrasel/CES). CES dibagi cairan intravaskuler atau plasma darah
yang meliputi 20% CES atau 15% dari total berat badan; dan cairan intersisial
yang mencapai 80% CES atau 5% dari total berat badan. Selain kedua
kompatmen tersebut, ada kompartmen lain yang ditempati oleh cairan tubuh, yaitu
cairan transel. Namun volumenya diabaikan karena kecil, yaitu cairan sendi,
cairan otak, cairan perikard, liur pencernaan, dll. Ion Na+ dan Cl- terutama
terdapat pada cairan ektrasel, sedangkan ion K+ di cairan intrasel. Anion protein
tidak tampak dalam cairan intersisial karena jumlahnya paling sedikit
dibandingkan dengan intrasel dan plasma.
Perbedaan komposisi cairan tubuh berbagai kompartmen terjadi karena adanya
barier yang memisahkan mereka. Membran sel memisahkan cairan intrasel
dengan cairan intersisial, sedangkan dinding kapiler memisahkan cairan intersisial
dengan plasma. Dalam keadaan normal, terjadi keseimbangan susunan dan
volume cairan antar kompartmen. Bila terjadi perubahan konsentrasi atau tekanan
di salah satu kompartmen, maka akan terjadi perpindahan cairan atau ion antar
kompartemen sehingga terjadi keseimbangan kembali.
2.2Perpindahan Substansi Antar Kompartmen
10
Setiap kompartmen dipisahkan oleh barier atau membran yang membatasi
mereka. Setiap zat yang akan pindah harus dapat menembus barier atau membran
tersebut. Bila substansi zat tersebut dapat melalui membran, maka membran
tersebut permeabel terhadap zat tersebut. Jika tidak dapat menembusnya, maka
membran tersebut tidak permeabel untuk substansi tersebut. Membran disebut
semipermeable (permeabel selektif) bila beberapa partikel dapat melaluinya tetapi
partikel lain tidak dapat menembusnya.
Perpindahan substansi melalui membran ada yang secara aktif atau pasif.
Transport aktif membutuhkan energi, sedangkan transport pasif tidak
membutuhkan energi.
Difusi
Partikel (ion atau molekul) suatu substansi yang terlarut selalu bergerak
dan cenderung menyebar dari daerah yang konsentrasinya tinggi ke konsentrasi
yang lebih rendah sehingga konsentrasi substansi partikel tersebut merata.
Perpindahan partikel seperti ini disebut difusi. Beberapa faktor yang
mempengaruhi laju difusi ditentukan sesuai dengan hukum Fick (Fick’s law of
diffusion).
Faktor-faktor tersebut adalah:
1. Peningkatan perbedaan konsentrasi substansi.
2. Peningkatan permeabilitas.
3. Peningkatan luas permukaan difusi.
4. Berat molekul substansi.
5. Jarak yang ditempuh untuk difusi.
Osmosis
Bila suatu substansi larut dalam air, konsentrasi air dalam larutan tersebut
lebih rendah dibandingkan konsentrasi air dalam larutan air murni dengan volume
yang sama. Hal ini karena tempat molekul air telah ditempati oleh molekul
11
substansi tersebut. Jadi bila konsentrasi zat yang terlarut meningkatkan,
konsentrasi air akan menurun.Bila suatu larutan dipisahkan oleh suatu membran
yang semipermeabel dengan larutan yang volumenya sama namun berbeda
konsentrasi zat terlarut, maka terjadi perpindahan air/zat pelarut dari larutan
dengan konsentrasi zat terlarut lebih tinggi. Perpindahan seperti ini disebut
dengan osmosis.
Filtrasi
Filtrasi terjadi karena adanya perbedaan tekanan antara dua ruang yang
dibatasi oleh membran. Cairan akan keluar dari daerah yang bertekanan tinggi ke
daerah bertekanan rendah. Jumlah cairan yang keluar sebanding dengan besar
perbedaan tekanan, luas permukaan membran dan permeabilitas membran.
Tekanan yang mempengaruhi filtrasi ini disebut tekanan hidrostatik.
Transport aktif
Transport aktif diperlukan untuk mengembalikan partikel yang telah
berdifusi secara pasif dari daerah yang konsentrasinya rendah ke daerah yang
konsentrasinya lebih tinggi. Perpindahan seperti ini membutuhkan energi (ATP)
untuk melawan perbedaan konsentrasi. Contoh: Pompa Na-K.
2.3 Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Pengaturan keseimbangan cairan perlu memperhatikan dua parameter
penting, yaitu volume cairan ekstrasel dan osmolaritas cairan ekstrasel. Ginjal
12
mengontrol volume cairan ekstrasel dengan mempertahankan keseimbangan
garam dan mengontrol osmolaritas cairan ekstrasel dengan mempertahankan
keseimbangan cairan. Ginjal mempertahankan keseimbangan ini dengan mengatur
keluaran garam dan air dalam urine sesuai kebutuhan untuk mengkompensasi
asupan dan kehilangan abnormal dari air dan garam tersebut.
1. Pengaturan volume cairan ekstrasel.
Penurunan volume cairan ekstrasel menyebabkan penurunan tekanan
darah arteri dengan menurunkan volume plasma. Sebaliknya, peningkatan volume
cairan ekstrasel dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri dengan
memperbanyak volume plasma. Pengontrolan volume cairan ekstrasel penting
untuk pengaturan tekanan darah jangka panjang.
Mempertahankan keseimbangan asupan dan keluaran (intake dan output)
air. Untuk mempertahankan volume cairan tubuh kurang lebih tetap, maka harus
ada keseimbangan antara air yang ke luar dan yang masuk ke dalam tubuh. hal ini
terjadi karena adanya pertukaran cairan antar kompartmen dan antara tubuh
dengan lingkungan luarnya. Water turnover dibagi dalam: 1. eksternal fluid
exchange, pertukaran antara tubuh dengan lingkungan luar; dan 2. Internal fluid
exchange, pertukaran cairan antar pelbagai kompartmen, seperti proses filtrasi dan
reabsorpsi di kapiler ginjal.
Memeperhatikan keseimbangan garam. Seperti halnya keseimbangan air,
keseimbangan garam juga perlu dipertahankan sehingga asupan garam sama
dengan keluarannya. Permasalahannya adalah seseorang hampir tidak pernah
memeprthatikan jumlah garam yang ia konsumsi sehingga sesuai dengan
kebutuhannya. Tetapi, seseorang mengkonsumsi garam sesuai dengan seleranya
dan cenderung lebih dari kebutuhan. Kelebihan garam yang dikonsumsi harus
diekskresikan dalam urine untuk mempertahankan keseimbangan garam.
Ginjal mengontrol jumlah garam yang dieksresi dengan cara:
13
mengontrol jumlah garam (natrium) yang difiltrasi dengan pengaturan Laju
Filtrasi Glomerulus (LFG)/ Glomerulus Filtration Rate (GFR).
mengontrol jumlah yang direabsorbsi di tubulus ginjal
Jumlah Na+ yang direasorbsi juga bergantung pada sistem yang berperan
mengontrol tekanan darah. Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron mengatur
reabsorbsi Na+ dan retensi Na+ di tubulus distal dan collecting. Retensi Na+
meningkatkan retensi air sehingga meningkatkan volume plasma dan
menyebabkan peningkatan tekanan darah arteri.Selain sistem Renin-Angiotensin-
Aldosteron, Atrial Natriuretic Peptide (ANP) atau hormon atriopeptin
menurunkan reabsorbsi natrium dan air. Hormon ini disekresi leh sel atrium
jantung jika mengalami distensi peningkatan volume plasma. Penurunan
reabsorbsi natrium dan air di tubulus ginjal meningkatkan eksresi urine sehingga
mengembalikan volume darah kembali normal.
2. Pengaturan Osmolaritas cairan ekstrasel.
Osmolaritas cairan adalah ukuran konsentrasi partikel solut (zat terlarut)
dalam suatu larutan. semakin tinggi osmolaritas, semakin tinggi konsentrasi solute
atau semakin rendah konsentrasi solutnya lebih rendah (konsentrasi air lebih
tinggi) ke area yang konsentrasi solutnya lebih tinggi (konsentrasi air lebih
rendah).
Osmosis hanya terjadi jika terjadi perbedaan konsentrasi solut yang tidak
dapat menmbus membran plasma di intrasel dan ekstrasel. Ion natrium
menrupakan solut yang banyak ditemukan di cairan ekstrasel, dan ion utama yang
berperan penting dalam menentukan aktivitas osmotik cairan ekstrasel. sedangkan
di dalam cairan intrasel, ion kalium bertanggung jawab dalam menentukan
aktivitas osmotik cairan intrasel. Distribusi yang tidak merata dari ion natrium dan
kalium ini menyebabkan perubahan kadar kedua ion ini bertanggung jawab dalam
menetukan aktivitas osmotik di kedua kompartmen ini.
14
Pengaturan osmolaritas cairan ekstrasel oleh tubuh dilakukan dilakukan melalui:
a. Perubahan osmolaritas di nefron
Di sepanjang tubulus yang membentuk nefron ginjal, terjadi perubahan
osmolaritas yang pada akhirnya akan membentuk urine yang sesuai dengan
keadaan cairan tubuh secara keseluruhan di dukstus koligen. Glomerulus
menghasilkan cairan yang isosmotik di tubulus proksimal (300 mOsm). Dinding
tubulus ansa Henle pars decending sangat permeable terhadap air, sehingga di
bagian ini terjadi reabsorbsi cairan ke kapiler peritubular atau vasa recta. Hal ini
menyebabkan cairan di dalam lumen tubulus menjadi hiperosmotik.
Dinding tubulus ansa henle pars acenden tidak permeable terhadap air dan
secara aktif memindahkan NaCl keluar tubulus. Hal ini menyebabkan reabsobsi
garam tanpa osmosis air. Sehingga cairan yang sampai ke tubulus distal dan
duktus koligen menjadi hipoosmotik. Permeabilitas dinding tubulus distal dan
duktus koligen bervariasi bergantung pada ada tidaknya vasopresin (ADH).
Sehingga urine yang dibentuk di duktus koligen dan akhirnya di keluarkan ke
pelvis ginjal dan ureter juga bergantung pada ada tidaknya vasopresis (ADH).
b. Mekanisme haus dan peranan vasopresin (antidiuretic hormone/ADH)
Peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel (>280 mOsm) akan merangsang
osmoreseptor di hypotalamus. Rangsangan ini akan dihantarkan ke neuron
hypotalamus yang mensintesis vasopresin. Vasopresin akan dilepaskan oleh
hipofisis posterior ke dalam darah dan akan berikatan dengan reseptornya di
duktus koligen. ikatan vasopresin dengan reseptornya di duktus koligen memicu
terbentuknya aquaporin, yaitu kanal air di membrane bagian apeks duktus
koligen. Pembentukkan aquaporin ini memungkinkan terjadinya reabsorbsi cairan
ke vasa recta. Hal ini menyebabkan urine yang terbentuk di duktus koligen
menjadi sedikit dan hiperosmotik atau pekat, sehingga cairan di dalam tubuh tetap
dipertahankan.
15
Selain itu, rangsangan pada osmoreseptor di hypotalamus akibat
peningkatan osmolaritas cairan ekstrasel juga akan dihantarkan ke pusat haus di
hypotalamus sehingga terbentuk perilaku untuk membatasi haus, dan cairan di
dalam tubuh kembali normal.
c. Pengaturan Neuroendokrin dalam Keseimbangan Cairan dan Elektrolit
Sebagai kesimpulan, pengaturan keseimbangan keseimbangan cairan dan
elektrolit diperankan oleh system saraf dan sistem endokrin. Sistem saraf
mendapat informasi adanya perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit melalui
baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotikus, osmoreseptor di hypotalamus, dan
volume reseptor atau reseptor regang di atrium. Sedangkan dalam sistem
endokrin, hormon-hormon yang berperan saat tubuh mengalami kekurangan
cairan adalah Angiotensin II, Aldosteron, dan Vasopresin/ADH dengan
meningkatkan reabsorbsi natrium dan air. Sementara, jika terjadi peningkatan
volume cairan tubuh, maka hormone atriopeptin (ANP) akan meningkatkan
eksresi volume natrium dan air.
Perubahan volume dan osmolaritas cairan dapat terjadi pada beberapa
keadaan.Faktor lain yang mempengaruhi keseimbangan cairan dan elektrolit di
antaranya ialah umur, suhu lingkungan, diet, stres, dan penyakit.
2.4 Keseimbangan Asam-Basa
Keseimbangan asam-basa terkait dengan pengaturan konsentrasi ion H bebas
dalam cairan tubuh. pH rata-rata darah adalah 7,4; pH darah arteri 7,45 dan darah vena
16
7,35. Jika pH <7,35 dikatakan asidosi, dan jika pH darah >7,45 dikatakan alkalosis. Ion H
terutama diperoleh dari aktivitas metabolik dalam tubuh. Ion H secara normal dan
kontinyu akan ditambahkan ke cairan tubuh dari 3 sumber, yaitu:
a. Pembentukkan asam karbonat dan sebagian akan berdisosiasi menjadi ion H
dan bikarbonat.
b. Katabolisme zat organik
c. Disosiasi asam organik pada metabolisme intermedia, misalnya pada
metabolisme lemak terbentuk asam lemak dan asam laktat, sebagian asam ini
akan berdisosiasi melepaskan ion H.
Fluktuasi konsentrasi ion H dalam tubuh akan mempengaruhi fungsi normal
sel, antara lain:
a. Perubahan eksitabilitas saraf dan otot; pada asidosis terjadi depresi susunan
saraf pusat, sebaliknya pada alkalosis terjadi hipereksitabilitas.
b. Mempengaruhi enzim-enzim dalam tubuh
c. Mempengaruhi konsentrasi ion K
Bila terjadi perubahan konsentrasi ion H maka tubuh berusaha mempertahankan
ion H seperti nilai semula dengan cara:
Mengaktifkan sistem dapar kimia
Mekanisme pengontrolan pH oleh sistem pernafasan
Mekasnisme pengontrolan pH oleh sistem perkemihan
Ada 4 sistem dapar:
1. Dapar bikarbonat; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel terutama untuk
perubahan yang disebabkan oleh non-bikarbonat
17
2. Dapar protein; merupakan sistem dapar di cairan ekstrasel dan intrasel
3. Dapar hemoglobin; merupakan sistem dapar di dalam eritrosit untuk
perubahan asam karbonat
4. Dapar fosfat; merupakan sistem dapar di sistem perkemihan dan cairan
intrasel.
Sistem dapar kimia hanya mengatasi ketidakseimbangan asam-basa
sementara. Jika dengan dapar kimia tidak cukup memperbaiki ketidakseimbangan,
maka pengontrolan pH akan dilanjutkan oleh paru-paru yang berespon secara
cepat terhadap perubahan kadar ion H dalam darah akibat rangsangan pada
kemoreseptor dan pusat pernafasan, kemudian mempertahankan kadarnya sampai
ginjal menghilangkan ketidakseimbangan tersebut. Ginjal mampu meregulasi
ketidakseimbangan ion H secara lambat dengan menskresikan ion H dan
menambahkan bikarbonat baru ke dalam darah karena memiliki dapar fosfat dan
amonia.
2.5 Komunikasi terapeutik
Menurut Purwanto komunikasi terapeutik merupakan bentuk
keterampilan dasar untuk melakukan wawancara dan penyuluhan
dalam artian wawancara digunakan pada saat petugas kesehatan
melakukan pengkajian, member penyuluhan kesehatan dan
perencanaan keperawatan.
18
Tahapinteraksi pada komunikasi terapeutik
Wood mengatakan pada umumnya hubungan antar pribadi
berkembang melalui tahap – tahap yaitu :
1. Tahap awal / tahap orientasi
Pada tahap ini antara petugas dan pasien terjadi kontak dan
tahap ini penampilan fisik begitu penting karena dimensi fisik paling
terbuka untuk diamati.Kualitas – kualitas lain seperti sifat
bersahabat, kehangatan, keterbukaan, dan dimnamisme juga
terungkap.
Yang dapat dilakukan pada terapi ini menurut Purwanto ialah
pengenalan, mengidentifikasi masalah, dan mengukur tingkat
kecemasan diri pasien.
2. Tahap Lanjutan
Adalah tahap pengenalan lebih jauh, menurut Purwanto
( 1994 : 25 ) dilakukan untuk meningkatkan pengkajian dan
evaluasi masalah yang ada, menurut De Vito ( 1997 : 24 )
komunikasi pada tahap ini meningkatkan pada diri kita untuk
lebih mengenal orang lain dan juga mengungkapkan diri kita.
Pada tahap ini, termasuk pada tahap persahabatan yang
menghendaki agar kedua pihak harus merasa mempunyai
kedudukan yang sama, dalam artian ada keseimbangan dan
kesejajaran kedudukan.
Argyle dan Henderson dalam Liliweri ( 1997 : 55 )
mengemukakan persahabatan mempunyai beberapa fungsi,
yaitu :
1. Membagi pengalaman agar kedua pihak merasa sama-sama
puas dan sukses
2. Menunjukan hubungan emosional
19
3. Membuat pihak lain menjadi senang
4. Membantu sesama kalau dia berhalangan untuk suatu urusan
Purwanto ( 1994 : 26 ) mengatakan pada tahap terapeutik ini
harus :
1) Melanjutkan pengkajian dan evaluasi masalah yang ada
2) Meningkatkan komunikasi
3) Mempertahankan tujuan yang telah disepakati dan mengambil
tindakan berdasarkan masalah yang ada.Secara psikologis
komunikasi yangbersifat terapeutik akan membuat pasien lebih
tenang, dan tidak gelisah.
3. Tahap terminasi menurut Purwanto ( 1994 : 26 )
Pada tahap ini terjadi pengkajian antar pribadi yang lebih
jauh, merupakan fase persiapan mental untuk membuat
perencanaan tentang kesimpulan perawatan yang didapat dan
mempertahankan batas hubungan yang ditentukan, yang diukur
antara lain mengantisipasi masalah yang akan timbul karena pada
tahap ini merupakan tahap persiapan mental atas rencana
pengobatan, melakukan peningkatan komunikasi untuk mengurangi
ketergantungan pasien padapetugas. Terminasi merupakan akhir
dari setiap pertemuan antara petugas
20
dengan klien.
Menurut Uripni (1993: 61) bahwa tahap terminasi dibagi dua,
yaitu
terminasi sementara dan terminasi akhir. Terminasi sementara
adalah akhir
dari setiap pertemuan, pada terminasi ini klien akan bertemu
kembali pada
BAB III
PEMBAHASAN
21
3.1 Komunikasi Pada Klien Dengan Gangguan Keseimbangan Cairan dan Elektrolit di
Gastrointestinal
3.1.1 Pengkajian
Pola managemen kesehatan-persepsi kesehatan
a. Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling dirasakan mengganggu klien,alasan utama klien
masuk rumah sakit.
Contoh pertanyaan yang diajukan perawat:
“Apakah yang bapak/ibu rasakan saat ini ,yang sangat mengganggu
kenyamanan?”
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Menanyakan keluhan klien pada saat terjadi serangan.
Hal-hal yang perlu di identifikasi:
1. Menanyakan waktu terjadinya
“Kapan bapak/ibu mulai merasakan keluhan tersebut?”
“Apakah keluhan utama datangnya mendadak?”
2. Menanyakan aktivitas yang dilakukan pada saat terjadi keluhan dan factor
pencetusnya
“Apa yang bapak/ibu lakukan pada saat keluhan mulai terasa?”
3. Pertanyaan lain
“Jika keluhan berulang,seberapa sering terjadinya?”
“Apakah setiap merasakan keluhan dirasakan semakin bertambah atau
berkurang?”
“Apakah pada saat terjadinya keluhan dirasakan sakit pada tempat lainya?”
c. Riwayat Penyakit Masa Lalu
“Apakah sebelum mendapatkan keluhan tersebut bapak/ibu pernah merasakan
sakit yg lain ,seperti DM,hipertensi?”
22
d. Riwayat Penyakit Keluarga
“Apakah anggota keluarga bapak/ibu ada yg pernah menderita penyakit yang
sama seprti bapak/ibu?”
e. Riwayat Psikososial
“Apakah dengan penyakit tersebut bapak/ibu terganggu interaksinya dengan
orang lain,misalnya malu atau takut?”
f. Hal khusus yang perlu ditanyakan:
Pola Metabolik-Nutrisi
Hal yg perlu diidentifikasi:
1. Kebiasaan jumlah makanan dan makanan kecil.
2. Tipe dan banyaknya makanan dan minuman
3. Pola makan 3 hari terakhir atau 24 jam terakhir
4. Kebiasaan belanja dan memasak
5. Kepuasan akan berat badan
6. Pengaruh pada pemilihan makanan seperti,agama,etnis,budaya,ekonomi
7. Faktor-faktor yg berkaitan seperti,aktivitas,stress
8. Faktor-faktor pencernaan:
Nafsu makan,ketidaknyamanan,rasa,bau,gigi,mukosa mulut,mual atau
muntah,pembatasan makan,alergi makan
9. Kebiasaan pola buang air kecil:
Frekuensi,jumlah,warna,bau,nyeri,nokturia,kemampauan mengontrol
buang air kecil.
10. Kebiasaan pola buang air besar:
frekuensi,jumlah,konsistensi,warna,kemampuan mengontrol BAB.
11. Penggunaan bantuan untuk ekskresi:obat-obatan,enemia
3.2 Gastroenteritis
3.2.1 Pengertian
23
Gastroentritis ( GE ) adalah peradangan yang terjadi pada lambung dan
usus yang memberikan gejala diare dengan atau tanpa disertai muntah
(Sowden,et all.1996).
Gastroenteritis diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau
bentuk tinja yang encer dengan frekwensi yang lebih banyak dari
biasanya (FKUI,1965).
Gastroenteritis adalah inflamasi pada daerah lambung dan intestinl
yang disebabkan oleh bakteri yang bermacam-macam, virus dan parasit
yang pathogen ( Whaley & Wong’s,1995 ).
Gastroenteritis adalah kondisis dengan karakteristik adanya
muntah dan diare yang disebabkan oleh infeksi,alergi atau keracunan zat
makanan ( Marlenan Mayers, 1995 ).
Dari keempat pengertian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa Gastr-
oentritis adalah peradangan yang terjadi pada lambung dan usus yang
memberikan gejala diare dengan frekwensi lebih banyak dari biasanya yang d
isebabkan oleh bakteri, virus dan parasit yang pathogen .
3.2.2 Etiologi
Penyebab dari diare akut antara lain :
1. Faktor Infeksi
1) Infeksi Virus
* Retavirus
+ Penyebab tersering diare akut pada bayi, sering didahulu atau disertai
dengan muntah.
+ Timbul sepanjang tahun, tetapi biasanya pada musim dingin.
+ Dapat ditemukan demam atau muntah.
+ Di dapatkan penurunan HCC.
*Enterovirus
+ Biasanya timbul pada musim panas.
2) Adenovirus
24
+ Timbul sepanjang tahun.
+ Menyebabkan gejala pada saluran pencernaan/pernafasan.
3) Norwalk
+ Epidemik
+ Dapat sembuh sendiri (dalam 24-48 jam).
* Bakteri
4) Stigella
+ Semusim, puncaknya pada bulan Juli-September
+ Insiden paling tinggi pada umur 1-5 tahun
+ Dapat dihubungkan dengan kejang demam.
+ Muntah yang tidak menonjol
+ Sel polos dalam feses
+ Sel batang dalam darah
5) Salmonella
+ Semua umur tetapi lebih tinggi di bawah umur 1 tahun.
+ Menembus dinding usus, feses berdarah, mukoid.
+ Mungkin ada peningkatan temperatur
+ Muntah tidak menonjol
+ Sel polos dalam feses
+ Masa inkubasi 6-40 jam, lamanya 2-5 hari.
+ Organisme dapat ditemukan pada feses selama berbulan-bulan.
6) Escherichia coli
+ Baik yang menembus mukosa (feses berdarah) atau yang menghasilkan
entenoksin.
+ Pasien (biasanya bayi) dapat terlihat sangat sakit.
25
7) Campylobacter
+ Sifatnya invasis (feses yang berdarah dan bercampur mukus) pada bayi dapat
menyebabkan diare berdarah tanpa manifestasi klinik yang lain.
+ Kram abdomen yang hebat.
+ Muntah/dehidrasi jarang terjadi
8) Yersinia Enterecolitica
+ Feses mukosa
+ Sering didapatkan sel polos pada feses.
+ Mungkin ada nyeri abdomen yang berat
+ Diare selama 1-2 minggu.
+ Sering menyerupai apendicitis.
2. Faktor Non Infeksiosus
* Malabsorbsi
1) Malabsorbsi karbohidrat disakarida (intoleransi, lactosa, maltosa, dan
sukrosa), non sakarida (intoleransi glukosa, fruktusa dan galaktosa). Pada bayi
dan anak yang terpenting dan tersering ialah intoleransi laktosa.
2) Malabsorbsi lemak : long chain triglyceride.
3) Malabsorbsi protein : asam amino, B-laktoglobulin.
* Faktor makanan
Makanan basi, beracun, alergi terhadap makanan (milk alergy, food alergy,
dow’n milk protein senditive enteropathy/CMPSE).
* Faktor Psikologis
Rasa takut,cemas.
3.3.3 Patofisiologi
Penyebab gastroenteritis akut adalah masuknya virus (Rotravirus,
Adenovirus enteris, Virus Norwalk), Bakteri atau toksin (Compylobacter,
Salmonella, Escherihia Coli, Yersinia dan lainnya), parasit (Biardia Lambia,
Cryptosporidium). Beberapa mikroorganisme patogen ini menyebabkan infeksi
26
pada sel-sel, memproduksi enterotoksin atau Cytotoksin dimana merusak sel-sel,
atau melekat pada dinding usus pada Gastroenteritis akut.
Penularan Gastroenteritis bias melalui fekal-oral dari satu penderita ke
yang lainnya. Beberapa kasus ditemui penyebaran patogen dikarenakan
makanan dan minuman yang terkontaminasi.
Mekanisme dasar penyebab timbulnya diare adalah gangguan osmotic
(makanan yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotic dalam
rongga usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam
rongga usus,isi rongga usus berlebihan sehingga timbul diare ). Selain itu
menimbulkan gangguan sekresi akibat toksin di dinding usus, sehingga sekresi air
dan elektrolit meningkat kemudian terjadi diare. Gangguan multilitas usus yang
mengakibatkan hiperperistaltik dan hipoperistaltik. Akibat dari diare itu sendiri
adalah kehilangan air dan elektrolit (Dehidrasi) yang mengakibatkan gangguan
asam basa (Asidosis
Metabolik dan Hipokalemia), gangguan gizi intake kuran , output berlebih),
hipoglikemia dan gangguan sirkulasi darah.
3.3.4 Manifestasi KLinis
* Nyeri perut ( abdominal discomfort )
* Rasa perih di ulu hati
* Mual , kadang - kadang sampai munta
* Nafsu makan berkurang
* Rasa lekas kenyang
* Perut kembung
* Rasa panas di dada dan perut
* Regurgitasi ( keluar cairan dari lambung secara tiba-tiba).
3.3.5 Komplikasi
* Dehidrasi
27
* Renjatan hipovolemik
* Kejang
*Bakterimia
* Mal nutrisi
* Hipoglikemia
* Intoleransi sekunder akibat kerusakan mukosa usus .
3.3.6 Tingkat derajat Dehidrasi
1. Dehidrasi ringan
Kehilangan cairan 2 – 5 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor
kulit kurang elastis, suara serak, penderita belum jatuh pada keadaan syok.
2. Dehidrasi Sedang
Kehilangan cairan 5 – 8 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor
kulit jelek, suara serak, penderita jatuh pre syok nadi cepat dan dalam.
3. Dehidrasi Berat
Kehilangan cairan 8 - 10 % dari bedrat badan dengan gambaran klinik
seperti tanda-tanda dehidrasi sedang ditambah dengan kesadaran menurun,
apatis sampai koma, otot-otot kaku sampai sianosis.
3.3.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium yang meliputi :
1. Pemeriksaan Tinja
* Makroskopis dan mikroskopis.
* pH dan kadar gula dalam tinja dengan kertas lakmus dan tablet dinistest, bila
diduga terdapat intoleransi gula.
28
* Bila diperlukan, lakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi.
2. Pemeriksaan Darah
* pH darah dan cadangan dikali dan elektrolit (Natrium, Kalium, Kalsium dan
Fosfor) dalam serum untuk menentukan keseimbangan asama basa.
* Kadar ureum dan kreatmin untuk mengetahui faal ginjal.
3. Doudenal Intubation
Untuk mengatahui jasad renik atau parasit secara kualitatif dan kuantitatif,
terutama dilakukan pada penderita diare kronik.
3.3.8 Penatalaksanaan Medis
1. Pemberian cairan.
2. Diatetik : pemberian makanan dan minuman khusus pada penderita dengan
tujuan penyembuhan dan menjaga kesehatan adapun hal yang perlu
diperhatikan : Memberikan bahan makanan yang mengandung kalori,
protein, vitamin, mineral dan makanan yang bersih.
3. Obat-obatan.
Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Diare
A. Pengkajian
Pengkajian yang sistematis meliputi pengumpulan data,analisa
data dan penentuan masalah. Pengumpulan data diperoleh
dengan cara intervensi, observasi, psikal assessment.
Pengkajian data menurut Cyndi Smith Greenberg, 1992 adalah :
29
1. Identitas klien.
2. Riwayat keperawatan.
* Awalan serangan : Awalnya anak cengeng, gelisah,suhu tubuh meningkat, an
oreksia kemudian timbul diare.
* Keluhan utama : Faeces semakin cair,muntah,bila kehilangan banyak air dan
elektrolit terjadi gejala dehidrasi,berat badan menurun. Pada bayi ubun-ubun
besar cekung, Tonus dan turgor kulit berkurang,selaput lendir mulut dan bibir
kering, frekwensi BAB lebih dari 4 kali dengan konsistensi encer.
3. Riwayat kesehatan masa lalu.
Riwayat penyakit yang diderita,riwayat pemberian imunisasi.
4. Riwayat psikososial keluarga.
Dirawat akan menjadi stressor bagi anak itu sendiri maupun bagi keluarga,kec
emasan meningkat jika orang tua tidak mengetahui prosedur dan pengobatan
anak,setelah menyadari penyakit anaknya,mereka akan
bereaksi dengan marah dan merasa bersalah.
5. Kebutuhan dasar.
* Pola eliminasi : akan mengalami perubahan yaitu BAB lebih dari 4
kali sehari, BAK sedikit atau jarang.
* Pola nutrisi : diawali dengan mual, muntah, anopreksia, menyebabkan
penurunan berat badan pasien.
* Pola tidur dan istirahat akan terganggu karena adanya distensi
abdomen yang akan menimbulkan rasa tidak nyaman.
* Pola hygiene : kebiasaan setiap harinya.
* Aktivitas : akan terganggu karena kondisi tubuh yang lamah dan adanya
nyeri akibat distensi abdomen.
6. Pemerikasaan fisik.
* Pemeriksaan psikologis : keadaan umum tampak lemah,kesadran compos
mentis sampai koma,suhu tubuh tinggi,nadi cepat dan lemah,pernapas-an
agak cepat.
30
* Pemeriksaan sistematik :
1) Inspeksi : mata cekung,ubun-ubun besar,selaput lendir,mulut dan
bibir kering,berat badan menurun,anus kemerahan.
2) Perkusi : adanya distensi abdomen.
3) Palpasi : Turgor kulit kurang elastis.
4) Auskultasi : terdengarnya bising usus.
* Pemeriksaan tingkat tumbuh kembang.
Pada anak diare akan mengalami gangguan karena anak dehidrasi
sehingga berat badan menurun.
* Pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan tinja,darah lengkap dan doodenum intubation yaitu untuk
mengetahui penyebab secara kuantitatip dan kualitatif.
B Diagnosa Keperawatan
1. Defisit volume cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan output cairan yang berlebihan.
2. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubuingan dengan mual dan muntah.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan iritasi,frekwensi
BAB yang berlebihan.
4. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi abdomen.
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
tentang penyakit,prognosis dan pengobatan.
6. Cemas berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua,prosedur
yang menakutkan.
C. Intervensi
Diagnosa 1.
Defisit volume cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh berhubun
gan dengan output cairan yang berlebihan.
31
Tujuan :
Devisit cairan dan elektrolit teratasi
Kriteria hasil :
Tanda-tanda dehidrasi tidak ada, mukosa mulut dan bibir lembab,
balan cairan seimbang
Intervensi
Observasi tanda-tanda vital. Observasi tanda-tanda dehidrasi. Ukur infut
dan output cairan (balanc ccairan). Berikan dan anjurkan keluarga untuk
memberikan minum yang banyak kurang lebih 2000 – 2500 cc per hari.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian therafi cairan, pemeriksaan lab
elektrolit. Kolaborasi dengan tim gizi dalam
pemberian cairan rendah sodium.
Diagnosa 2.
Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubuingan dengan dan muntah.
Tujuan :
Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi teratasi
Kriteria hasil :
Intake nutrisi klien meningkat, diet habis 1 porsi yang disediakan,
mual,muntah tidak ada.
32
Intervensi :
Kaji pola nutrisi klien dan perubahan yang terjadi. Timbang berat badan
klien. Kaji factor penyebab gangguan pemenuhan nutrisi. Lakukan
pemerikasaan fisik abdomen (palpasi,perkusi,dan auskultasi). Berikan diet
dalam kondisi hangat dan porsi kecil tapi sering. Kolaborasi dengan tim gizi
dalam penentuan diet klien.
Diagnosa 3.
Gangguan integritas kulit berhubungan dengan iritasi,frekwensi BAB
yang berlebihan.
Tujuan :
Gangguan integritas kulit teratasi
Kriteria hasil :
Integritas kulit kembali normal, iritasi tidak ada, tanda-tanda infeksi
tidak ada
Intervensi :
Ganti popok anak jika basah. Bersihkan bokong perlahan sabun non
alcohol. Beri zalp seperti zinc oxsida bila terjadi iritasi pada kulit. Observasi
bokong dan perineum dari infeksi. Kolaborasi dengan
dokter dalam pemberian therafi antipungi sesuai indikasi.
Diagnosa 4 .
Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi abdomen.
Tujuan :
Nyeri dapat teratasi
33
Kriteria hasil :
Nyeri dapat berkurang / hiilang, ekspresi wajah tenang
Intervensi :
Observasi tanda-tanda vital. Kaji tingkat rasa nyeri. Atur posisi yang
nyaman bagi klien. Beri kompres hangat pada daerah abdoment.
Kolaborasi
dengan dokter dalam pemberian therafi analgetik sesuai indikasi.
Diagnosa 5.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi
tentang penyakit,prognosis dan pengobatan.
Tujuan :
Pengetahuan keluarga meningkat
Kriteria hasil :
Keluarga klien mengeri dengan proses penyakit klien, ekspresi wajah
tenang, keluarga tidak banyak bertanya lagi tentang proses penyakit klien.
Intervensi :
Kaji tingkat pendidikan keluarga klien. Kaji tingkat pengetahuan keluarga
tentang proses penyakit klien. Jelaskan tentang proses penyakit klien
dengan melalui penkes. Berikan kesempatan pada keluarga bila ada yang
belum dimengertinya. Libatkan keluarga
dalam pemberian tindakan pada klien.
34
Diagnosa 6.
Cemas berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua,prosedur
yang menakutkan.
Tujuan :
Klien akan memperlihatkan penurunan tingkat kecemasan
Intervensi :
Kaji tingkat kecemasan klien. Kaji faktor pencetus cemas. Buat jadwal
kontak dengan klien. Kaji hal yang disukai klien. Berikan mainan sesuai
kesukaan klien. Libatkan keluarga dalam setiap tindakan. Anjurkan pada
keluarga unrtuk selalu mendampingi klien.
D. Evaluasi
1. Volume cairan dan elektrolit kembali normal sesuai kebutuhan.
2. Kebutuhan nutrisi terpenuhi sesuai kebutuhantubuh.
3. Integritas kulit kembali normal.
4. Rasa nyaman terpenuhi.
5. Pengetahuan kelurga meningkat.
6. Cemas pada klien teratasi
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari pembuatan makalah ini adalah :
Gastroentritis adalah peradangan yang terjadi pada lambung dan usus
yang memberikan gejala diare dengan frekwensi lebih banyak dari biasanya
35
yang disebabkan oleh bakteri, virus dan parasit yang pathogen .
Penyebab dari diare akut antara lain :
1. Faktor Infeksi
1) Infeksi Virus* Retavirus
*Enterovirus
2) Adenovirus
3) Norwalk
* Bakteri
4) Stigella
5) Salmonella
6) Escherichia coli
7) Campylobacter
8) Yersinia Enterecolitica
2. Faktor Non Infeksiosus* Malabsorbsi
* Faktor makanan* Faktor Psikologis
36
Diagnosa Keperawatan
1. Defisit volume cairan dan elektrolit kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan output cairan yang berlebihan.
2. Gangguan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubuingan de-ngan mual da
n muntah.
3. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan iritasi,frekwensi BAB yang berlebihan.
4. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan distensi abdomen
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi tentang pen-yakit, progn
osis dan pengobatan.
6. Cemas berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua, prosedur
MAKALAH KLPOK 7
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komunikasi atau communicaton berasal dari bahasa Latin communis yang berarti
'sama'. Communico, communicatio atau communicare yang berarti membuat sama (make to
common). Secara sederhana komunikasi dapat terjadi apabila ada kesamaan antara
penyampaian pesan dan orang yang menerima pesan. Oleh sebab itu, komunikasi bergantung
pada kemampuan kita untuk dapat memahami satu dengan yang lainnya (communication
depends on our ability to understand one another).
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi (pesan, ide, gagasan) dari
satu pihak kepada pihak lain. Pada umumnya, komunikasi dilakukan secara lisan atau verbal
yang dapat dimengerti oleh kedua belah pihak. apabila tidak ada bahasa verbal yang dapat
dimengerti oleh keduanya, komunikasi masih dapat dilakukan dengan menggunakan gerak-
gerik badan, menunjukkan sikap tertentu, misalnya tersenyum, menggelengkan kepala,
mengangkat bahu. Cara seperti ini disebut komunikasi nonverbal.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang mendorong proses penyembuhan
klien (Depkes RI, 1997). Dalam pengertian lain mengatakan bahwa komunikasi terapeutik
adalah proses yang digunakan oleh perawat memakai pendekatan yang direncanakan secara
sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan pada klien.
37
Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling
memberikan pengertian antara perawat dengan klien. Persoalan yang mendasar dari
komunikasi ini adalah adanya saling membutuhkan antara perawat dan klien, sehingga dapat
dikategorikan ke dalam komunikasi pribadi di antara perawat dan klien, perawat membantu
dan klien menerima bantuan.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat dirumuskan beberapa masalah yaitu :
1. Bagaimanakah proses Komunikasi Terapuetik pada pasien dengan asuhan keperawatan
pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan kasus pencernaan dan endokrin?
2. Bagaimanakah tahapan dan tindakan perawat dalam Komunikasi Terapuetik pada pasien
dengan asuhan keperawatan pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan kasus
pencernaan dan endokrin?
C. Tujuan Penulisan Makalah
1. Mempelajari dan memahami cara berkomunikasi pada pasien dengan asuhan keperawatan
pemenuhan kebutuhan nutrisi berhubungan dengan kasus pencernaan dan endokrin.
2. Mengetahui tahap komunikasi terpeutik pada pasien dengan gangguan di atas.
3. Mengetahui jenis - jenis komunikasi terapeutik yang dilakukan perawat pada pasien
dengan masalah diatas.
4. Menambah wawasan dan pengetahuan berkomunikasi sebagai perawat dalam menghadapi
pasien yang karakternya berbeda-beda.
5. Memenuhi tugas Matakuliah komunikasi keperawatan
38
BAB II
KAJIAN TEORI
A. KOMUNIKASI TERAPUETIK
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang mendorong proses penyembuhan
klien (Depkes RI, 1997). Dalam pengertian lain mengatakan bahwa komunikasi terapeutik
adalah proses yang digunakan oleh perawat memakai pendekatan yang direncanakan secara
sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan pada klien. Komunikasi terapeutik termasuk
komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan pengertian antara perawat
dengan klien. Persoalan yang mendasar dari komunikasi ini adalah adanya saling
membutuhkan antara perawat dan klien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi
pribadi di antara perawat dan klien, perawat membantu dan klien menerima bantuan.
Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Hamid, 1996), tujuan hubungan terapeutik
diarahkan pada pertumbuhan klien meliputi :
a. Realisasi diri, penerimaan diri dan peningkatan penghormatan terhadap diri.
b. Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri.
c. Kemampuan untuk membina hubungan interpersonal yang intim dan saling tergantung
dengan kapasitas untuk mencintai dan dicintai.
d. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai tujuan
personal yang realistik.
Tujuan komunikasi terapeutik adalah :
a. Membantu klien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta
dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila klien pecaya pada hal
yang diperlukan.
39
b. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan
mempertahankan kekuatan egonya.
c. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.
Tujuan terapeutik akan tercapai bila perawat memiliki karakteristik sebagai berikut
(Hamid, 1998) :
a. Kesadaran diri.
b. Klarifikasi nilai.
c. Eksplorasi perasaan.
d. Kemampuan untuk menjadi model peran.
e. Motivasi altruistik.
f. Rasa tanggung jawab dan etik.
Komponen Komunikasi Terapeutik
Model struktural dari komunikasi mengidentifikasi lima komponen fungsional berikut
(Hamid, 1998) :
a. Pengirim : yang menjadi asal dari pesan.
b. Pesan : suatu unit informasi yang dipindahkan dari pengirim kepada
penerima.
c. Penerima : yang mempersepsikan pesan, yang perilakunya dipengaruhi
oleh pesan.
d. Umpan balik : respon dari penerima pesan kepada pengirim pesan.
e. Konteks : tatanan di mana komunikasi terjadi.
Jika perawat mengevaluasi proses komunikasi dengan menggunakan lima elemen
struktur ini maka masalah-masalah yang spesifik atau kesalahan yang potensial dapat
diidentifikasi.
Menurur Roger, terdapat beberapa karakteristik dari seorang perawat yang dapat
memfasilitasi tumbuhnya hubungan yang terapeutik. Karakteristik tersebut antara lain :
(Suryani,2005).
a) Kejujuran (trustworthy).
Kejujuran merupakan modal utama agar dapat melakukan komunikasi yang
bernilai terapeutik, tanpa kejujuran mustahil dapat membina hubungan saling percaya.
Klien hanya akan terbuka dan jujur pula dalam memberikan informasi yang benar hanya
bila yakin bahwa perawat dapat dipercaya.
40
b) Tidak membingungkan dan cukup ekspresif.
Dalam berkomunikasi hendaknya perawat menggunakan kata-kata yang mudah
dimengerti oleh klien. Komunikasi nonverbal harus mendukung komunikasi verbal yang
disampaikan. Ketidaksesuaian dapat menyebabkan klien menjadi bingung.
c) Bersikap positif.
Bersikap positif dapat ditunjukkan dengan sikap yang hangat, penuh perhatian dan
penghargaan terhadap klien. Roger menyatakan inti dari hubungan terapeutik adalah
kehangatan, ketulusan, pemahaman yang empati dan sikap positif.
d) Empati bukan simpati.
Sikap empati sangat diperlukan dalam asuhan keperawatan, karena dengan sikap
ini perawat akan mampu merasakan dan memikirkan permasalahan klien seperti yang
dirasakan dan dipikirkan oleh klien. Dengan empati seorang perawat dapat memberikan
alternatif pemecahan masalah bagi klien, karena meskipun dia turut merasakan
permasalahan yang dirasakan kliennya, tetapi tidak larut dalam masalah tersebut sehingga
perawat dapat memikirkan masalah yang dihadapi klien secara objektif. Sikap simpati
membuat perawat tidak mampu melihat permasalahan secara objektif karena dia terlibat
secara emosional dan terlarut didalamnya.
e) Mampu melihat permasalahan klien dari kacamata klien.
Dalam memberikan asuhan keperawatan perawat harus berorientasi pada klien,
(Taylor, dkk ,1997) dalam Suryani 2005. Untuk itu agar dapat membantu memecahkan
masalah klien perawat harus memandang permasalahan tersebut dari sudut pandang klien.
Untuk itu perawat harus menggunakan tehnik active listening dan kesabaran dalam
mendengarkan ungkapan klien. Jika perawat menyimpulkan secara tergesa-gesa dengan
tidak menyimak secara keseluruhan ungkapan klien akibatnya dapat fatal, karena dapat
saja diagnosa yang dirumuskan perawat tidak sesuai dengan masalah klien dan akibatnya
tindakan yang diberikan dapat tidak membantu bahkan merusak klien.
f) Menerima klien apa adanya.
Jika seseorang diterima dengan tulus, seseorang akan merasa nyaman dan aman
dalam menjalin hubungan intim terapeutik. Memberikan penilaian atau mengkritik klien
41
berdasarkan nilai-nilai yang diyakini perawat menunjukkan bahwa perawat tidak
menerima klien apa adanya.
g) Sensitif terhadap perasaan klien.
Tanpa kemampuan ini hubungan yang terapeutik sulit terjalin dengan baik, karena
jika tidak sensitif perawat dapat saja melakukan pelanggaran batas, privasi dan
menyinggung perasaan klien.
h) Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu klien ataupun diri perawat sendiri.
Seseorang yang selalu menyesali tentang apa yang telah terjadi pada masa lalunya
tidak akan mampu berbuat yang terbaik hari ini. Sangat sulit bagi perawat untuk
membantu klien, jika ia sendiri memiliki segudang masalah dan ketidakpuasan dalam
hidupnya.
Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik.
Struktur dalam komunikasi terapeutik, menurut Stuart,G.W.,1998, terdiri dari empat
fase yaitu: (1) fase preinteraksi; (2) fase perkenalan atau orientasi; (3) fase kerja; dan (4)
fase terminasi (Suryani,2005). Dalam setiap fase terdapat tugas atau kegiatan perawat yang
harus terselesaikan.
a. Fase preinteraksi
Tahap ini adalah masa persiapan sebelum memulai berhubungan dengan klien.
Tugas perawat pada fase ini yaitu :
1) Mengeksplorasi perasaan, harapan dan kecemasannya;
2) Menganalisa kekuatan dan kelemahan diri, dengan analisa diri ia akan terlatih untuk
memaksimalkan dirinya agar bernilai terapeutik bagi klien, jika merasa tidak siap
maka perlu belajar kembali, diskusi teman kelompok;
3) Mengumpulkan data tentang klien, sebagai dasar dalam membuat rencana interaksi;
4) Membuat rencana pertemuan secara tertulis, yang akan di implementasikan saat
bertemu dengan klien.
b. Fase orientasi
Fase ini dimulai pada saat bertemu pertama kali dengan klien. Pada saat pertama
kali bertemu dengan klien fase ini digunakan perawat untuk berkenalan dengan klien dan
merupakan langkah awal dalam membina hubungan saling percaya. Tugas utama perawat
42
pada tahap ini adalah memberikan situasi lingkungan yang peka dan menunjukkan
penerimaan, serta membantu klien dalam mengekspresikan perasaan dan pikirannya.
Tugas-tugas perawat pada tahap ini antara lain :
1) Membina hubungan saling percaya, menunjukkan sikap penerimaan dan komunikasi
terbuka. Untuk membina hubungan saling percaya perawat harus bersikap terbuka,
jujur, ihklas, menerima klien apa danya, menepati janji, dan menghargai klien;
2) Merumuskan kontrak bersama klien. Kontrak penting untuk menjaga kelangsungan
sebuah interaksi. Kontrak yang harus disetujui bersama dengan klien yaitu, tempat,
waktu dan topik pertemuan;
3) Menggali perasaan dan pikiran serta mengidentifikasi masalah klien. Untuk
mendorong klien mengekspresikan perasaannya, maka tehnik yang digunakan adalah
pertanyaan terbuka;
4) Merumuskan tujuan dengan klien. Tujuan dirumuskan setelah masalah klien
teridentifikasi. Bila tahap ini gagal dicapai akan menimbulkan kegagalan pada
keseluruhan interaksi (Stuart,G.W,1998 dikutip dari Suryani,2005)
Hal yang perlu diperhatikan pada fase ini antara lain :
1) Memberikan salam terapeutik disertai mengulurkan tangan jabatan tangan
2) Memperkenalkan diri perawat
3) Menyepakati kontrak. Kesepakatan berkaitan dengan kesediaan klien untuk
berkomunikasi, topik, tempat, dan lamanya pertemuan.
4) Melengkapi kontrak. Pada pertemuan pertama perawat perlu melengkapi penjelasan
tentang identitas serta tujuan interaksi agar klien percaya kepada perawat.
5) Evaluasi dan validasi. Berisikan pengkajian keluhan utama, alasan atau kejadian yang
membuat klien meminta bantuan. Evaluasi ini juga digunakan untuk mendapatkan
fokus pengkajian lebih lanjut, kemudian dilanjutkan dengan hal-hal yang terkait
dengan keluhan utama. Pada pertemuan lanjutan evaluasi/validasi digunakan untuk
mengetahui kondisi dan kemajuan klien hasil interaksi sebelumnya.
6) Menyepakati masalah. Dengan tehnik memfokuskan perawat bersama klien
mengidentifikasi masalah dan kebutuhan klien.
Selanjutnya setiap awal pertemuan lanjutan dengan klien lakukan orientasi.
Tujuan orientasi adalah memvalidasi keakuratan data, rencana yang telah dibuat dengan
keadaan klien saat ini dan mengevaluasi tindakan pertemuan sebelumnya.
43
c. Fase kerja.
Tahap ini merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi terapeutik. Tahap
ini perawat bersama klien mengatasi masalah yang dihadapi klien. Perawat dan klien
mengeksplorasi stressor dan mendorong perkembangan kesadaran diri dengan
menghubungkan persepsi, perasaan dan perilaku klien. Tahap ini berkaitan dengan
pelaksanaan rencana asuhan yang telah ditetapkan. Tehnik komunikasi terapeutik yang
sering digunakan perawat antara lain mengeksplorasi, mendengarkan dengan aktif,
refleksi, berbagai persepsi, memfokuskan dan menyimpulkan (Geldard,D,1996, dikutip
dari Suryani, 2005).
d. Fase terminasi
Fase ini merupakan fase yang sulit dan penting, karena hubungan saling percaya
sudah terbina dan berada pada tingkat optimal. Perawat dan klien keduanya merasa
kehilangan. Terminasi dapat terjadi pada saat perawat mengakhiri tugas pada unit tertentu
atau saat klien akan pulang. Perawat dan klien bersama-sama meninjau kembali proses
keperawatan yang telah dilalui dan pencapaian tujuan. Untuk melalui fase ini dengan
sukses dan bernilai terapeutik, perawat menggunakan konsep kehilangan. Terminasi
merupakan akhir dari pertemuan perawat, yang dibagi dua yaitu:
1) Terminasi sementara, berarti masih ada pertemuan lanjutan;
2) Terminasi akhir, terjadi jika perawat telah menyelesaikan proses keperawatan secara
menyeluruh. Tugas perawat pada fase ini yaitu :
a. Mengevaluasi pencapaian tujuan interaksi yang telah dilakukan, evaluasi ini
disebut evaluasi objektif. Brammer & Mc Donald (1996) menyatakan bahwa
meminta klien menyimpulkan tentang apa yang telah didiskusikan atau respon
objektif setelah tindakan dilakukan sangat berguna pada tahap terminasi
(Suryani,2005);
b. Melakukan evaluasi subjektif, dilakukan dengan menanyakan perasaan klien
setalah berinteraksi atau setelah melakukan tindakan tertentu;
c. Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Hal ini sering
disebut pekerjaan rumah (planning klien). Tindak lanjut yang diberikan harus
relevan dengan interaksi yang baru dilakukan atau yang akan dilakukan pada
pertemuan berikutnya. Dengan tindak lanjut klien tidak akan pernah kosong
menerima proses keperawatan dalam 24 jam;
d. Membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya, kontrak yang perlu disepakati
adalah topik, waktu dan tempat pertemuan. Perbedaan antara terminasi sementara
44
dan terminasi akhir, adalah bahwa pada terminasi akhir yaitu mencakup
keseluruhan hasil yang telah dicapai selama interaksi.
Sikap Komunikasi Terapeutik.
Lima sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi
komunikasi yang terapeutik menurut Egan, yaitu :
1) Berhadapan. Artinya dari posisi ini adalah “Saya siap untuk anda”.
2) Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai
klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.
3) Membungkuk ke arah klien. Posisi ini menunjukkan keinginan untuk mengatakan atau
mendengar sesuatu.
4) Mempertahankan sikap terbuka, tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan
untuk berkomunikasi.
5) Tetap rileks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi
dalam memberi respon kepada klien.
Selain hal-hal di atas sikap terapeutik juga dapat teridentifikasi melalui perilaku non
verbal. Stuart dan Sundeen (1998) mengatakan ada lima kategori komunikasi non verbal,
yaitu :
1. Isyarat vokal, yaitu isyarat paralingustik termasuk semua kualitas bicara non verbal
misalnya tekanan suara, kualitas suara, tertawa, irama dan kecepatan bicara.
2. Isyarat tindakan, yaitu semua gerakan tubuh termasuk ekspresi wajah dan sikap tubuh.
3. Isyarat obyek, yaitu obyek yang digunakan secara sengaja atau tidak sengaja oleh
seseorang seperti pakaian dan benda pribadi lainnya.
4. Ruang memberikan isyarat tentang kedekatan hubungan antara dua orang. Hal ini
didasarkan pada norma-norma sosial budaya yang dimiliki.
5. Sentuhan, yaitu fisik antara dua orang dan merupakan komunikasi non verbal yang paling
personal. Respon seseorang terhadap tindakan ini sangat dipengaruhi oleh tatanan dan
latar belakang budaya, jenis hubungan, jenis kelamin, usia dan harapan.
Teknik Komunikasi Terapeutik.
45
Ada dua persyaratan dasar untuk komunikasi yang efektif (Stuart dan Sundeen, 1998)
yaitu :
1. Semua komunikasi harus ditujukan untuk menjaga harga diri pemberi maupun penerima
pesan.
2. Komunikasi yang menciptakan saling pengertian harus dilakukan lebih dahulu sebelum
memberikan saran, informasi maupun masukan.
Stuart dan Sundeen, (1998) mengidentifikasi teknik komunikasi terapeutik sebagai
berikut :
1. Mendengarkan dengan penuh perhatian.
Dalam hal ini perawat berusaha mengerti klien dengan cara mendengarkan apa
yang disampaikan klien. Mendengar merupakan dasar utama dalam komunikasi. Dengan
mendengar perawat mengetahui perasaan klien. Beri kesempatan lebih banyak pada klien
untuk berbicara. Perawat harus menjadi pendengar yang aktif.
2. Menunjukkan penerimaan.
Menerima tidak berarti menyetujui, menerima berarti bersedia untuk
mendengarkan orang lain tanpa menunjukkan keraguan atau ketidaksetujuan.
3. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan.
Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik
mengenai apa yang disampaikan oleh klien.
4. Mengulangi ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri.
Melalui pengulangan kembali kata-kata klien, perawat memberikan umpan balik
bahwa perawat mengerti pesan klien dan berharap komunikasi dilanjutkan.
5. Mengklasifikasi.
Klasifikasi terjadi saat perawat berusaha untuk menjelaskan dalam kata-kata ide
atau pikiran yang tidak jelas dikatakan oleh klien.
6. Memfokuskan.
Metode ini bertujuan untuk membatasi bahan pembicaraan sehingga percakapan
menjadi lebih spesifik dan dimengerti.
7. Menyatakan hasil observasi.
Dalam hal ini perawat menguraikan kesan yang ditimbulkan oleh isyarat non
verbal klien.
8. Menawarkan informasi.
46
Memberikan tambahan informasi merupakan tindakan penyuluhan kesehatan
untuk klien yang bertujuan memfasilitasi klien untuk mengambil keputusan.
9. Diam.
Diam akan memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk
mengorganisir. Diam memungkinkan klien untuk berkomunikasi dengan dirinya sendiri,
mengorganisir pikiran dan memproses informasi.
10. Meringkas.
Meringkas pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara singkat.
11. Memberi penghargaan.
Penghargaan janganlah sampai menjadi beban untuk klien dalam arti jangan
sampai klien berusaha keras dan melakukan segalanya demi untuk mendapatkan pujian
dan persetujuan atas perbuatannya.
12. Memberi kesempatan kepada klien untuk memulai pembicaraan.
Memberi kesempatan kepada klien untuk berinisiatif dalam memilih topik
pembicaraan.
13. Menganjurkan untuk meneruskan pembicaraan.
Teknik ini memberikan kesempatan kepada klien untuk mengarahkan hampir
seluruh pembicaraan.
14. Menempatkan kejadian secara berurutan.
Mengurutkan kejadian secara teratur akan membantu perawat dan klien untuk
melihatnya dalam suatu perspektif.
15. Memberikan kesempatan kepada klien untuk menguraikan persepsinya
Apabila perawat ingin mengerti klien, maka perawat harus melihat segala
sesuatunya dari perspektif klien.
16. Refleksi.
Refleksi memberikan kesempatan kepada klien untuk mengemukakan dan
menerima ide dan perasaannya sebagai bagian dari dirinya sendiri.
Hambatan Komunikasi Terapeutik.
Hambatan komunikasi terapeutik dalam hal kemajuan hubungan perawat-klien terdiri
dari tiga jenis utama : resistens, transferens, dan kontertransferens (Hamid, 1998). Ini timbul
dari berbagai alasan dan mungkin terjadi dalam bentuk yang berbeda, tetapi semuanya
menghambat komunikasi terapeutik. Perawat harus segera mengatasinya. Oleh karena itu,
47
hambatan ini menimbulkan perasaan tegang baik bagi perawat maupun bagi klien. Untuk
lebih jelasnya marilah kita bahas satu-persatu mengenai hambatan komunikasi terapeutik itu.
1. Resisten
Resisten adalah upaya klien untuk tetap tidak menyadari aspek penyebab ansietas
yang dialaminya. Resisten merupakan keengganan alamiah atau penghindaran verbalisasi
yang dipelajari atau mengalami peristiwa yang menimbulkan masalah aspek diri
seseorang. Resisten sering merupakan akibat dari ketidaksediaan klien untuk berubah
ketika kebutuhan untuk berubah telah dirasakan. Perilaku resistens biasanya diperlihatkan
oleh klien selama fase kerja, karena fase ini sangat banyak berisi proses penyelesaian
masalah.
2. Transferens.
Transferens adalah respon tidak sadar dimana klien mengalami perasaan dan sikap
terhadap perawat yang pada dasarnya terkait dengan tokoh dalam kehidupannya di masa
lalu. Sifat yang paling menonjol adalah ketidaktepatan respon klien dalam intensitas dan
penggunaan mekanisme pertahanan pengisaran (displacement) yang maladaptif. Ada dua
jenis utama reaksi bermusuhan dan tergantung.
3. Kontertransferens.
Yaitu kebuntuan terapeutik yang dibuat oleh perawat bukan oleh klien.
Konterrtransferens merujuk pada respon emosional spesifik oleh perawat terhadap klien
yang tidak tepat dalam isi maupun konteks hubungan terapeutik atau ketidaktepatan
dalam intensitas emosi. Reaksi ini biasanya berbentuk salah satu dari tiga jenis reaksi
sangat mencintai, reaksi sangat bermusuhan atau membenci dan reaksi sangat cemas
sering kali digunakan sebagai respon terhadap resisten klien.
Untuk mengatasi hambatan komunikasi terapeutik, perawat harus siap untuk
mengungkapkan perasaan emosional yang sangat kuat dalam konteks hubungan perawat-
klien (Hamid, 1998). Awalnya, perawat harus mempunyai pengetahuan tentang hambatan
komunikasi terapeutik dan mengenali perilaku yang menunjukkan adanya hambatan
tersebut. Latar belakang perilaku digali baik klien atau perawat bertanggung jawab
terhadap hambatan terapeutik dan dampak negative.
B. DIABETES MELITUS
1. Definisi
Diabetes Mellitus ( DM ) adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter,
dengan tanda – tanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya
48
gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kuranganya insulin efektif di dalam
tubuh, gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat yang biasanya disertai
juga gangguan metabolisme lemak dan protein. ( Askandar, 2000 ).
Gangren adalah proses atau keadaan yang ditandai dengan adanya jaringan mati
atau nekrosis, namun secara mikrobiologis adalah proses nekrosis yang disebabkan oleh
infeksi. (Askandar, 2001 ).
Gangren Kaki Diabetik adalah luka pada kaki yang merah kehitam-hitaman dan
berbau busuk akibat sumbatan yang terjadi di pembuluh darah sedang atau besar di
tungkai. ( Askandar, 2001).
2. Anatomi Fisiologi
Pankreas merupakan sekumpulan kelenjar yang panjangnya kira – kira 15 cm,
lebar 5 cm, mulai dari duodenum sampai ke limpa dan beratnya rata – rata 60 – 90 gram.
Terbentang pada vertebrata lumbalis 1 dan 2 di belakang lambung.
Pankreas merupakan kelenjar endokrin terbesar yang terdapat di dalam tubuh baik
hewan maupun manusia. Bagian depan ( kepala ) kelenjar pankreas terletak pada lekukan
yang dibentuk oleh duodenum dan bagian pilorus dari lambung. Bagian badan yang
merupakan bagian utama dari organ ini merentang ke arah limpa dengan bagian ekornya
menyentuh atau terletak pada alat ini. Dari segi perkembangan embriologis, kelenjar
pankreas terbentuk dari epitel yang berasal dari lapisan epitel yang membentuk usus.
Pankreas terdiri dari dua jaringan utama, yaitu :
1) Asini sekresi getah pencernaan ke dalam duodenum.
2) Pulau Langerhans yang tidak tidak mengeluarkan sekretnya keluar, tetapi
menyekresi insulin dan glukagon langsung ke darah.
Pulau – pulau Langerhans yang menjadi sistem endokrinologis dari pamkreas
tersebar di seluruh pankreas dengan berat hanya 1 – 3 % dari berat total pankreas. Pulau
langerhans berbentuk ovoid dengan besar masing-masing pulau berbeda. Besar pulau
langerhans yang terkecil adalah 50 , sedangkan yang terbesar 300 , terbanyak adalah
yang besarnya 100 – 225 . Jumlah semua pulau langerhans di pankreas diperkirakan
antara 1 – 2 juta.
Pulau langerhans manusia, mengandung tiga jenis sel utama, yaitu :
1) Sel – sel A ( alpha ), jumlahnya sekitar 20 – 40 % ; memproduksi glikagon
yang manjadi faktor hiperglikemik, suatu hormon yang mempunyai “ anti
insulin like activity “.
49
2) Sel – sel B ( betha ), jumlahnya sekitar 60 – 80 % , membuat insulin.
3) Sel – sel D ( delta ), jumlahnya sekitar 5 – 15 %, membuat somatostatin.
Masing – masing sel tersebut, dapat dibedakan berdasarkan struktur dan sifat
pewarnaan. Di bawah mikroskop pulau-pulau langerhans ini nampak berwarna pucat dan
banyak mengandung pembuluh darah kapiler. Pada penderita DM, sel beha sering ada
tetapi berbeda dengan sel beta yang normal dimana sel beta tidak menunjukkan reaksi
pewarnaan untuk insulin sehingga dianggap tidak berfungsi.
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 untuk insulin
manusia. Molekul insulin terdiri dari dua rantai polipeptida yang tidak sama, yaitu rantai
A dan B. Kedua rantai ini dihubungkan oleh dua jembatan ( perangkai ), yang terdiri dari
disulfida. Rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B terdiri dari 30 asam amino.
Insulin dapat larut pada pH 4 – 7 dengan titik isoelektrik pada 5,3. Sebelum insulin dapat
berfungsi, ia harus berikatan dengan protein reseptor yang besar di dalam membrana sel.
Insulin di sintesis sel beta pankreas dari proinsulin dan di simpan dalam butiran
berselaput yang berasal dari kompleks Golgi. Pengaturan sekresi insulin dipengaruhi efek
umpan balik kadar glukosa darah pada pankreas. Bila kadar glukosa darah meningkat
diatas 100 mg/100ml darah, sekresi insulin meningkat cepat. Bila kadar glukosa normal
atau rendah, produksi insulin akan menurun.
Selain kadar glukosa darah, faktor lain seperti asam amino, asam lemak, dan
hormon gastrointestina merangsang sekresi insulin dalam derajat berbeda-beda. Fungsi
metabolisme utama insulin untuk meningkatkan kecepatan transport glukosa melalui
membran sel ke jaringan terutama sel – sel otot, fibroblas dan sel lemak.
3. Etiologia. Diabetes Melitus
DM mempunyai etiologi yang heterogen, dimana berbagai lesi dapat
menyebabkan insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik biasanya memegang
peranan penting pada mayoritas DM. Faktor lain yang dianggap sebagai kemungkinan
etiologi DM yaitu :
1. Kelainan sel beta pankreas, berkisar dari hilangnya sel beta sampai kegagalan sel
beta melepas insulin.
2. Faktor – faktor lingkungan yang mengubah fungsi sel beta, antara lain agen yang
dapat menimbulkan infeksi, diet dimana pemasukan karbohidrat dan gula yang
diproses secara berlebihan, obesitas dan kehamilan.
50
3. Gangguan sistem imunitas. Sistem ini dapat dilakukan oleh autoimunitas yang
disertai pembentukan sel – sel antibodi antipankreatik dan mengakibatkan
kerusakan sel - sel penyekresi insulin, kemudian peningkatan kepekaan sel beta
oleh virus.
4. Kelainan insulin. Pada pasien obesitas, terjadi gangguan kepekaan jaringan
terhadap insulin akibat kurangnya reseptor insulin yang terdapat pada membran
sel yang responsir terhadap insulin.
b. Gangren Kaki Diabetik Faktor – faktor yang berpengaruh atas terjadinya gangren kaki diabetik dibagi
menjadi endogen dan faktor eksogen.
Faktor endogen : 1. Genetik, metabolik
2. Angiopati diabetik
3. Neuropati diabetik
Faktor eksogen : 1. Trauma
2. Infeksi
3. Obat
4. Patofisiologis
a. Diabetes Melitus
Sebagian besar gambaran patologik dari DM dapat dihubungkan dengan salah
satu efek utama akibat kurangnya insulin berikut:
1. Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel – sel tubuh yang mengakibatkan
naiknya konsentrasi glukosa darah setinggi 300 – 1200 mg/dl.
2. Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah penyimpanan lemak yang menyebabkan
terjadinya metabolisme lemak yang abnormal disertai dengan endapan kolestrol
pada dinding pembuluh darah.
3. Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh.
Pasien – pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal atau toleransi sesudah
makan. Pada hiperglikemia yng parah yang melebihi ambang ginjal normal
( konsentrasi glukosa darah sebesar 160 – 180 mg/100 ml ), akan timbul glikosuria
51
karena tubulus – tubulus renalis tidak dapat menyerap kembali semua glukosa.
Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang menyebabkan poliuri
disertai kehilangan sodium, klorida, potasium, dan pospat. Adanya poliuri
menyebabkan dehidrasi dan timbul polidipsi. Akibat glukosa yang keluar bersama
urine maka pasien akan mengalami keseimbangan protein negatif dan berat badan
menurun serta cenderung terjadi polifagi. Akibat yang lain adalah astenia atau
kekurangan energi sehingga pasien menjadi cepat telah dan mengantuk yang
disebabkan oleh berkurangnya atau hilangnya protein tubuh dan juga berkurangnya
penggunaan karbohidrat untuk energi.
Hiperglikemia yang lama akan menyebabkan arterosklerosis, penebalan
membran basalis dan perubahan pada saraf perifer. Ini akan memudahkan terjadinya
gangren.
b. Gangren Kaki Diabetik
Ada dua teori utama mengenai terjadinya komplikasi kronik DM akibat
hiperglikemia, yaitu teori sorbitol dan teori glikosilasi.
1. Teori Sorbitol
Hiperglikemia akan menyebabkan penumpukan kadar glukosa pada sel
dan jaringan tertentu dan dapat mentransport glukosa tanpa insulin. Glukosa yang
berlebihan ini tidak akan termetabolisasi habis secara normal melalui glikolisis,
tetapi sebagian dengan perantaraan enzim aldose reduktase akan diubah menjadi
sorbitol. Sorbitol akan tertumpuk dalam sel / jaringan tersebut dan menyebabkan
kerusakan dan perubahan fungsi.
2. Teori Glikosilasi
Akibat hiperglikemia akan menyebabkan terjadinya glikosilasi pada semua
protein, terutama yang mengandung senyawa lisin. Terjadinya proses glikosilasi
pada protein membran basal dapat menjelaskan semua komplikasi baik makro
maupun mikro vaskular.
Terjadinya Kaki Diabetik (KD) sendiri disebabkan oleh faktor – faktor
disebutkan dalam etiologi. Faktor utama yang berperan timbulnya KD adalah
52
angiopati, neuropati dan infeksi. Neuropati merupakan faktor penting untuk
terjadinya KD. Adanya neuropati perifer akan menyebabkan terjadinya gangguan
sensorik maupun motorik. Gangguan sensorik akan menyebabkan hilang atau
menurunnya sensasi nyeri pada kaki, sehingga akan mengalami trauma tanpa
terasa yang mengakibatkan terjadinya ulkus pada kaki gangguan motorik juga
akan mengakibatkan terjadinya atrofi otot kaki, sehingga merubah titik tumpu
yang menyebabkan ulsetrasi pada kaki pasien. Angiopati akan menyebabkan
terganggunya aliran darah ke kaki. Apabila sumbatan darah terjadi pada
pembuluh darah yang lebih besar maka penderita akan merasa sakit tungkainya
sesudah ia berjalan pada jarak tertentu. Manifestasi gangguan pembuluh darah
yang lain dapat berupa : ujung kaki terasa dingin, nyeri kaki di malam hari, denyut
arteri hilang, kaki menjadi pucat bila dinaikkan. Adanya angiopati tersebut akan
menyebabkan terjadinya penurunan asupan nutrisi, oksigen ( zat asam ) serta
antibiotika sehingga menyebabkan luka sulit sembuh ( Levin,1993). Infeksi sering
merupakan komplikasi yang menyertai KD akibat berkurangnya aliran darah atau
neuropati, sehingga faktor angiopati dan infeksi berpengaruh terhadap
penyembuhan atau pengobatan dari KD.
5. Klasifikasi
Wagner ( 1983 ) membagi gangren kaki diabetik menjadi enam tingkatan , yaitu :
Derajat 0 : Tidak ada lesi terbuka, kulit masih utuh dengan kemungkinan
disertai kelainan bentuk kaki seperti “ claw,callus “.
Derajat I : Ulkus superfisial terbatas pada kulit.
Derajat II : Ulkus dalam menembus tendon dan tulang.
Derajat III : Abses dalam, dengan atau tanpa osteomielitis.
Derajat IV : Gangren jari kaki atau bagian distal kaki dengan atau tanpa selulitis.
Derajat V : Gangren seluruh kaki atau sebagian tungkai.
Sedangkan Brand (1986) dan Ward (1987) membagi gangren kaki menjadi dua
golongan :
1. Kaki Diabetik akibat Iskemia ( KDI )
Disebabkan penurunan aliran darah ke tungkai akibat adanya makroangiopati (
arterosklerosis ) dari pembuluh darah besar ditungkai, terutama di daerah betis.
Gambaran klinis KDI :
a) Penderita mengeluh nyeri waktu istirahat.
53
b) Pada perabaan terasa dingin.
c) Pulsasi pembuluh darah kurang kuat.
d) Didapatkan ulkus sampai gangren.
2. Kaki Diabetik akibat Neuropati ( KDN )
Terjadi kerusakan syaraf somatik dan otonomik, tidak ada gangguan dari
sirkulasi. Klinis di jumpai kaki yang kering, hangat, kesemutan, mati rasa, oedem
kaki, dengan pulsasi pembuluh darah kaki teraba baik.
6. Dampak masalah
Adanya penyakit gangren kaki diabetik akan mempengaruhi kehidupan individu
dan keluarga. Adapun dampak masalah yang bisa terjadi meliputi :
a. Pada Individu
Pola dan gaya hidup penderita akan berubah dengan adanya penyakit ini,
Gordon telah mengembangkan 11 pola fungsi kesehatan yang dapat digunakan untuk
mengetahui perubahan tersebut.
1. Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Pada pasien gangren kaki diabetik terjadi perubahan persepsi dan tata
laksana hidup sehat karena kurangnya pengetahuan tentang dampak gangren kaki
diabetuk sehingga menimbulkan persepsi yang negatif terhadap dirinya dan
kecenderungan untuk tidak mematuhi prosedur pengobatan dan perawatan yang
lama, oleh karena itu perlu adanya penjelasan yang benar dan mudah dimengerti
pasien.
2. Pola nutrisi dan metabolisme
Akibat produksi insulin tidak adekuat atau adanya defisiensi insulin maka
kadar gula darah tidak dapat dipertahankan sehingga menimbulkan keluhan sering
kencing, banyak makan, banyak minum, berat badan menurun dan mudah lelah.
Keadaan tersebut dapat mengakibatkan terjadinya gangguan nutrisi dan
metabolisme yang dapat mempengaruhi status kesehatan penderita.
3. Pola eliminasi
54
Adanya hiperglikemia menyebabkan terjadinya diuresis osmotik yang
menyebabkan pasien sering kencing (poliuri) dan pengeluaran glukosa pada urine
( glukosuria ). Pada eliminasi alvi relatif tidak ada gangguan.
4. Pola tidur dan istirahat
Adanya poliuri, nyeri pada kaki yang luka dan situasi rumah sakit yang
ramai akan mempengaruhi waktu tidur dan istirahat penderita, sehingga pola tidur
dan waktu tidur penderita mengalami perubahan.
5. Pola aktivitas dan latihan
Adanya luka gangren dan kelemahan otot – otot pada tungkai bawah
menyebabkan penderita tidak mampu melaksanakan aktivitas sehari-hari secara
maksimal, penderita mudah mengalami kelelahan.
6. Pola hubungan dan peran
Luka gangren yang sukar sembuh dan berbau menyebabkan penderita
malu dan menarik diri dari pergaulan.
7. Pola sensori dan kognitif
Pasien dengan gangren cenderung mengalami neuropati / mati rasa pada
luka sehingga tidak peka terhadap adanya trauma.
8. Pola persepsi dan konsep diri
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita
mengalami gangguan pada gambaran diri. Luka yang sukar sembuh, lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien
mengalami kecemasan dan gangguan peran pada keluarga ( self esteem ).
9. Pola seksual dan reproduksi
Angiopati dapat terjadi pada sistem pembuluh darah di organ reproduksi
sehingga menyebabkan gangguan potensi sek, gangguan kualitas maupun ereksi,
serta memberi dampak pada proses ejakulasi serta orgasme.
10. Pola mekanisme stres dan koping
Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit yang kronik, perasaan
tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan reaksi psikologis yang negatif
berupa marah, kecemasan, mudah tersinggung dan lain – lain, dapat menyebabkan
55
penderita tidak mampu menggunakan mekanisme koping yang konstruktif /
adaptif.
11. Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh serta luka
pada kaki tidak menghambat penderita dalam melaksanakan ibadah tetapi
mempengaruhi pola ibadah penderita.
b. Dampak pada keluarga
Dengan adanya salah satu anggota keluarga yang sakit dan dirawat di rumah
sakit akan muncul bermacam –macam reaksi psikologis dari kelurga, karena masalah
kesehatan yang dialami oleh seorang anggota keluarga akan mempengaruhi seluruh
anggota keluarga. Waktu perawatan yang lama dan biaya yang banyak akan
mempengaruhi keadaan ekonomi keluarga dan perubahan peran pada keluarga karena
salah satu anggota keluarga tidak dapat menjalankan perannya.
56
BAB III
PEMBAHASAN
Komunikasi Terapuetik pada Pemenuhan Nutrisi Pasien dengan gangguan Sistem
Pencernaan dan Sistem Endokrin
1. Pengkajian
Pra Interaksi : Identifikasi data awal
Orientasi : Salam, perkenalan
Kerja : Riwayat, keluhan, tindakan dasar (building trust)
Terminasi : Kontrak, tindak lanjut
2. Diagnosa
Pra Interaksi : persiapan berdasarkan diagnosa
Kerja : kesesuaian keluhan dengan diagnosa
Terminasi : rencana intervensi dari diagnosa
3. Intervensi
Pra Interaksi : persiapan kolaborasi
Orientasi : perkenalan tim kolaborasi
Kerja : tindakan kolaborasi (obat, makanan, kerjasama pasien)
Terminasi : rencana implementasi
4. Implementasi
Pra Interaksi : persiapan tindakan
Orientasi : kesedian pasien, kerjasama pasien
Kerja : tindakan (infus, blood catheter, NGT,….), motivasi
5. Evaluasi
Pra Interaksi : kriteria hasil
Orientasi : keadaan pasien, perasaan saat ini
Kerja : berdasarkan kriteria hasil
Terminasi
Pola managemen kesehatan-persepsi kesehatan
g. Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling dirasakan mengganggu klien, alasan utama klien
masuk rumah sakit.
57
Contoh pertanyaan yang diajukan perawat :
“Apakah yang bapak/ibu rasakan saat ini, yang sangat mengganggu kenyamanan?”
h. Riwayat Penyakit Sekarang
Menanyakan keluhan klien pada saat terjadi serangan.
Hal-hal yang perlu di identifikasi:
4. Menanyakan waktu terjadinya
“Kapan bapak/ibu mulai merasakan keluhan tersebut?”
“Apakah keluhan utama datangnya mendadak?”
5. Menanyakan aktivitas yang dilakukan pada saat terjadi keluhan dan factor
pencetusnya
“Apa yang bapak/ibu lakukan pada saat keluhan mulai terasa?”
6. Pertanyaan lain
“Jika keluhan berulang,seberapa sering terjadinya?”
“Apakah setiap merasakan keluhan dirasakan semakin bertambah atau berkurang?”
“Apakah pada saat terjadinya keluhan dirasakan sakit pada tempat lainya?”
i. Riwayat Penyakit Masa Lalu
“Apakah sebelum mendapatkan keluhan tersebut bapak/ibu pernah merasakan sakit yg
lain, seperti DM, hipertensi?”
j. Riwayat Penyakit Keluarga
“Apakah anggota keluarga bapak/ibu ada yg pernah menderita penyakit yang sama seprti
bapak/ibu?”
k. Riwayat Psikososial
“Apakah dengan penyakit tersebut bapak/ibu terganggu interaksinya dengan orang lain,
misalnya malu atau takut?”
l. Hal khusus yang perlu ditanyakan:
Pola Metabolik-Nutrisi
Hal yang perlu diidentifikasi:
12. Kebiasaan jumlah makanan dan makanan kecil.
13. Tipe dan banyaknya makanan dan minuman
14. Pola makan 3 hari terakhir atau 24 jam terakhir
58
15. Kebiasaan belanja dan memasak
16. Kepuasan akan berat badan
17. Pengaruh pada pemilihan makanan seperti; agama, etnis, budaya, ekonomi
18. Faktor - faktor yang berkaitan seperti; aktivitas, stress
19. Faktor - faktor pencernaan: Nafsu makan, ketidaknyamanan, rasa, bau, gigi, mukosa
mulut, mual atau muntah, pembatasan makan, alergi makan
20. Kebiasaan pola buang air kecil: Frekuensi, jumlah, warna, bau, nyeri, nokturia,
kemampauan mengontrol buang air kecil.
21. Kebiasaan pola buang air besar : frekuensi, jumlah, konsistensi, warna, kemampuan
mengontrol BAB.
22. Penggunaan bantuan untuk ekskresi : obat-obatan,enemia
MAKALAH KELOMPOK 8
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Menjadi tua adalah proses alamiah yang akan dihadapi oleh setiap mahluk hidup dan
meninggal dengan tenang adalah dambaan setiap insan. Namun sering kali harapan
dan
dambaan tersebut tidak tercapai. Dalam masyarakat kita, umur harapan hidup semakin
bertambah dan kematian semakin banyak disebabkan oleh penyakit-penyakit degeneratif
seperti kanker dan stroke. Pasien dengan penyakit kronis seperti ini akan melalui suatu proses
pengobatan dan perawatan yang panjang. Jika penyakitnya berlanjut maka suatu saat
akan
dicapai stadium terminal yang ditandai dengan kelemahan umum, penderitaan,
ketidakberdayaan dan akhirnya kematian.
Sebagin besar kematian di rumah sakit adalah kematian akibat penyakit kronis dan
59
terjadi perlahan-lahan. Pada umumnya, dokter dan perawat lebih mudah menghadapi
kematian yang muncul secara perlahan-lahan. Mereka tidak dipersiapkan dengan baik
untuk
berhadapan dengan ancaman kematian. Namun kini telah mulai disadari untuk pasien
terminal pun profesi medis masih dapat melakukan banyak hal. Jika upaya kuratif
tidak
dimunginkan lagi, masih luas kesempatan untuk upaya paliatif. Pada stadium lanjut,
pasien
dengan penyakit kronis tidak hanya mengalami berbagai masalah fisik seperti nyeri,
sesak
nafas, penurunan berat badan, gangguan aktivitas tetapi juga mengalami gangguan
psikososial dan spiritual yang mempengaruhi kualitas hidup pasien dan keluarganya.
Maka
kebutuhan pasien pada stadium lanjut suatu penyakit tidak hanya pemenuhan atau
pengobatan gejala fisik, namun juga pentingnya dukungan terhadap kebutuhan
psikologis,
sosial dan spiritual yang dilakukan dengan pendekatan interdisiplin yang dikenal
sebagai
perawatan paliatif atau palliative care. Dalam perawatan paliatif maka peran perawat adalah
memberikan asuhan keperawatan pada pasien terminal untuk membantu pasien menjalani sisa
hidupnya dalam keadaan seoptimal mungkin.
Melalui komunikasi terapeutik, pasien belajar bagaimana menerima dan diterima
orang lain. Dengan komunikasi yang terbuka, jujur dan menerima pasien apa adanya, perawat
akan dapat meningkatkan kemampuan pasien dalam membina hubungan saling percaya.
Keterampilan berkomunikasi merupakan critical skill yang harus dimiliki oleh perawat,
60
karena komunikasi merupakan proses yang dinamis yang digunakan untuk
mengumpulkan
data pengkajian, memberikan pendidikan atau informasi kesehatan yang mempengaruhi
pasien untuk mengaplikasikannya dalam hidup, menunjukan caring, memberikan rasa
nyaman, menumbuhkan rasa percaya diri dan menghargai nilai-nilai pasien. Sehingga
dapat juga disimpulkan bahwa dalam keperawatan, komunikasi merupakan bagian
integral dari asuhan keperawatan. Seorang perawat yang berkomunikasi secara efektif
akan lebih mampu dalam mengumpulkan data, melakukan tindakan keperawatan
(intervensi), mengevaluasi pelaksanaan dari intervensi yang telah dilakukan, melakukan
perubahan untuk meningkatkan
kesehatan dan mencegah terjadinya masalah-masalah legal yang berkaitan dengan
proses
keperawatan termasuk dalam hal ini adalah proses keperawatan pada pasien terminal.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari komunikasi ?
2. Bagaimana karakteristik seorang perawat dalam hubungan terapeutik ?
3. Apa yang dimaksud dengan pasien terminal ?
4. Bagaimana tahapan pada pasien terminal ?
5.Bagaimana tingkat kesadaran pada pasien terminal ?
6. Bagaimana tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien terminal ?
7. Bagaimana teknik komunikasi terapeutik pada pasien terminal ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian komunikasi dan komunikasi terapeutik.
2. Untuk mengetahui karakteristik seorang perawat dalam hubungan terapeutik.
61
3. Untuk mengetahui pengertian pasien terminal.
4. Untuk mengetahui tahapan-tahapan pada pasien terminal.
5. Untuk mengetahui tingkat kesadaran pada pasien terminal.
6. Untuk mengatahui tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien terminal.
7. Untuk mengetahui teknik komunikasi terapeutik yang dilakukan pada pasien terminal.
8. Untuk mengetahui masalah komunikasi yang terjadi pada pasien terminal.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain
untuk memberi tahu atau mengubah sikap, pendapat atau perilaku secara keseluruhan
baik
secara langsung dengan lisan maupun tidak langsung melalui media.
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan
dan kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien. Dalam pengertian lain
mengatakan
bahwa komunikasi terapeutik adalah proses yang digunakan oleh terapis memakai
pendekatan yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya dipusatkan pada
pasien. Stuart G.W (1998) menyatakan bahwa komunikasi terapeutik merupakan
hubungan
62
interpersonal antara terapis dan pasien, dalam hubungan ini terapis dan pasien
memperoleh
pengalaman belajar bersama dalam rangka memperbaiki pengalaman emosional pasien.
Sedangkan S.Sundeen (1990) menyatakan bahwa hubungan terapeutik adalah hubungan
kerjasama yang ditandai tukar menukar perilaku, perasaan, pikiran dan pengalaman
dalam
membina hubungan intim yang terapeutik.
Komunikasi terapeutik bertujuan untuk mengembangkan pribadi pasien ke arah yang
lebih positif atau adaptif dan diarahkan pada pertumbuhan pasien yang terminal, meliputi :
a. Realisasi diri, penerimaan diri dan peningkatan penghormatan diri.
Melalui komunikasi terapeutik diharapkan terjadi perubahan dalam diri pasien. Pasien
yang menderita penyakit kronis ataupun terminal umumnya mengalami perubahan
dalam
dirinya. Pasien tidak mampu menerima keberadaan dirinya, mengalami gangguan
gambaran diri, penurunan harga diri, merasa tidak berarti dan pada akhirnya merasa putus
asa dan depresi.
b. Kemampuan membina hubungan interpersonal yang tidak superfisial dan saling
bergantung dengan orang lain. Melalui komunikasi terapeutik, pasien belajar bagaimana
menerima dan diterima orang lain. Dengan komunikasi yang terbuka, jujur dan menerima
pasien apa adanya, perawat akan dapat meningkatkan kemampuan pasien dalam membina
hubungan saling percaya.
c. Peningkatan fungsi dan kemampuan untuk memuaskan kebutuhan serta mencapai
tujuan
yang realistis. Terkadang pasien menetapkan ideal diri atau tujuan terlalu tinggi tanpa
63
mengukur kemampuannya. Individu yang merasa kenyataan dirinya mendekati ideal
diri
Kumpulan tugas, semoga bermanfaat
mempunyai harga diri yang tinggi sedangkan individu yang merasa kenyataan
hidupnya
jauh dari ideal dirinya akan merasa rendah diri.
d. Rasa identitas personal yang jelas dan peningkatan integritas diri. Pasien yang mengalami
gangguan identitas personal biasanya tidak mempunyai rasa percaya diri dan
mengalami
harga diri rendah. Melalui komunikasi terapeutik diharapkan perawat dapat membantu
pasien meningkatkan integritas dirinya dan identitas diri yang jelas.
B. Karakteristik Seorang Perawat dalam Hubungan Terapeutik
a. Kejujuran
Kejujuran sangat penting, karena tanpa adanya kejujuran mustahil bisa terbina
hubungan saling percaya. Seseorang akan menaruh rasa percaya pada lawan bicara
yang terbuka dan mempunyai respon yang tidak dibuat-buat. Sebaliknya, perawat akan
berhati-hati pada lawan bicara yang terlalu halus sehingga sering menyembunyikan isi
hatinya yang sebenarnya dengan kata-kata atau sikapnya yang tidak jujur .
b. Tidak Membingungkan dan Cukup Ekspresif
Dalam berkomunikasi dengan pasien, perawat sebaiknya menggunakan kata-kata yang
mudah dipahami oleh pasien dan tidak menggunakan kalimat yang berbelit-belit.
Komunikasi non verbal perawat harus cukup ekspresif dan sesuai dengan verbalnya
64
karena ketidaksesuaian akan menimbulkan kebingungan bagi pasien.
c. Bersikap Positif
Bersikap positif ditunjukkan dengan bersikap hangat, penuh perhatian dan penghargaan
terhadap pasien. Untuk mencapai kehangatan dan ketulusan dalam hubungan yang
terapeutik tidak memerlukan kedekatan yang kuat atau ikatan tertentu diantara perawat
dan pasien akan tetapi penciptaan suasana yang dapat membuat pasien merasa aman
dan diterima dalam mengungkapkan perasaan dan pikirannya.
d. Empati Bukan Simpati
Sikap empati sangat diperlukan dalam proses terapeutik, karena dengan sikap ini
perawat akan mampu merasakan dan memikirkan permasalahan pasien seperti yang
dirasakan dan dipikirkan pasien.
e. Sensitif Terhadap Perasaan Pasien
Seorang perawat harus mampu mengenali perasaan pasien untuk dapat menciptakan
hubungan terapeutik yang baik dan efektif dengan pasien. Dengan bersikap sensitif
terhadap perasaan pasien, perawat dapat terhindar dari berkata atau melakukan hal-hal
yang menyinggung privasi ataupun perasaan pasien.
C. Pengertian Pasien Terminal
Pasien terminal adalah pasien yang sedang menderita sakit, dimana tingkat sakitnya
telah mencapai stadium lanjut sehingga pengobatan medis sudah tidak mungkin dapat
menyembuhkan lagi. Untuk itu harus mendapatkan perawatan paliatif yang bersifat
meredakan gejala penyakit, namun tidak lagi berfungsi untuk menyembuhkan. Jadi
fungsi
65
perawatan paliatif pada pasien terminal adalah mengendalikan nyeri yang dirasakan
serta
keluhan-keluhan lainnya serta meminimalisir masalah emosi, sosial dan spiritual yang
dihadapi pasien.
Peran perawat sangat komprehensif dalam menangani pasien karena peran perawat
adalah memenuhi kebutuhan biologis, sosiologis, psikologis, dan spiritual pasien.
Namun
peran spiritual sering kali diabaikan oleh perawat. Padahal aspek spiritual sangat
penting
untuk pasien terminal yang didiagnosa harapan sembuhnya sangat tipis dan mendekati
sakaratul maut. Untuk memahami tentang pasien terminal maka butuh diketahui
dimensi-dimensi :
a. Dimensi biologis (fisik) yaitu berkaitan dengan kondisi atau penyakit terminalnya,
seperti nyeri, perubahan berbagai fungsi sistem tubuh, dan perubahan tampilan fisik.
b. Dimensi sosiologis yaitu isolasi dan keterasingan serta perpisahan.
c. Dimensi psikologis yaitu ketidakberdayaan, seperti kehilangan kontrol,
ketergantungan, kehilangan diri dan harapan.
d. Dimensi spiritual yaitu dimana pada pasien terminal mereka mengalami insiden tinggi
depresi dan gangguan mental. Tingkat depresi sebanding dengan tingkat keparahan
penyakit dan hilangnya fungsi agunan. Sehingga dengan hiburan dalam agama
biasanya akan memberi mereka kekuatan dan kemampuan untuk mengatasi, sampai
batas tertentu, dengan kehidupan.
Pasien yang mengalami penyakit terminal dan menjelang sakaratul maut lebih banyak
66
mengalami penyakit kejiwaan, krisis spiritual, dan krisis kerohanian. Sehingga
pembinaan
kerohanian saat pasien menjelang ajal perlu mendapatkan perhatian khusus.
Pasien terminal biasanya dihinggapi rasa depresi yang berat, perasaan marah akibat
ketidakberdayaan dan keputusasaan. Dalam fase akhir kehidupannya, pasien selalu berada di
samping perawat. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan spiritual dapat meningkatkan
semangat hidup pasien yang didiagnosa harapan sembuhnya tipis dan dapat
mempersiapkan
diri pasien untuk menghadapi alam yang kekal. Kondisi sakit tidak dapat dipisahkan
dari
peristiwa kehidupan. Pasien dan keluarganya harus menghadapi berbagai perubahan
yang
terjadi akibat kondisi sakit dan pengobatan yang dilaksanakan. Keluarga umumnya
akan
mengalami perubahan perilaku dan emosional, setiap orang mempunyai reaksi yang berbeda-
beda terhadap kondisi yang dialami. Penyakit yang berat, terutama yang dapat
mengancam
kehidupan, dapat menimbulkan perubahan perilaku yang lebih luas, ansietas, syok,
penolakan, serta marah. Hal tersebut merupakan respon umum yang disebabkan oleh stres.
Sebuah keluarga merupakan unit dasar dari masayarakat dimana anggotanya
mempunyai suatu komitmen untuk memelihara satu sama lain baik secara emosi
maupun
fisik. Sebuah keluarga dapat dipandang sebagai sistem terbuka, suatu perubahan atau
gangguan pada salah satu bagian dari sistem dapat mengakibatkan perubahan atau gangguan
dari seluruh sistem. Stres atau cemas yang dihadapi dan dialami oleh salah satu
anggota
67
keluarga mempengaruhi seluruh keluarga. Cemas merupakan perasaan internal yang
sumbernya sering kali tidak spesifik dan mengancam keamanan seseorang dan
kelompok.
Cemas disebabkan oleh krisis situasi, tidak terpenuhinya kebutuhan, perasaan tidak
berdaya
dan kurang kontrol pada situasi kehidupan. Cemas bisa terjadi pada siapa saja baik
orang
sehat atau orang sakit. Bagi orang sakit kecemasan akan meningkat ketika yang bersangkutan
didiagnosa menderita penyakit terminal, seperti stroke yang dipandang oleh masyarakat
sebagai penyakit penyebab kematian. Pihak keluarga juga merasa cemas jika yang
sakit
adalah orang yang sangat dicintai, sebagai tulang punggung keluarga atau sumber dari
segalanya bagi keluarga.
D. Tahapan-Tahapan pada Pasien Terminal
Dr. Elisabeth Kublerr-Ross mengidentifikasi lima tahap berduka yang dapat terjadi
pada pasien menjelang ajal :
a. Denial atau Menolak (Pengingkaran)
Dimulai ketika orang disadarkan bahwa ia akan meninggal dan dia tidak dapat
menerima informasi sebagai kebenaran dan bahkan mungkin mengingkarinya. Denial
berfungsi sebagai buffer setelah mendengar sesuatu yang tidak diharapkan, sehingga
memungkinkan untuk membenahi diri.
b. Anger atau Marah
68
Terjadi ketika pasien tidak dapat lagi mengingkari kenyataan bahwa ia
akan meninggal. Fase marah terjadi saat fase denial tidak lagi bisa dipertahankan.
Rasa
kemarahan sulit dipahami oleh keluarga/orang terdekat karena dapat terpicu oleh hal-
hal
yang secara normal tidak menimbulkan kemarahan. Rasa marah sering terjadi karena rasa
tidak berdaya, bisa terjadi kapan saja dan kepada siapa saja tetapi umumnya terarah
kepada orang-orang yang secara emosional mempunyai kedekatan hubungan.
c. Bergaining (Tawar-Menawar)
Merupakan tahapan proses berduka dimana pasien mencoba tawar-menawar dengan
Tuhan agar terhindar dari kehilangan yang akan terjadi, bisa dengan diam atau dinyatakan
secara terbuka. Secara psikologis, tawar menawar dilakukan untuk memperbaiki kesalahan
atau dosa masa lalu.
d. Depression
Merupakan tahap dimana pasien datang dengan kesadaran penuh bahwa akan segera
mati. Pasien merasa kesedihan yang mendalam sebagai akibat dari kehilangan (past loss &
impending loss) karena memikirkan bahwa ia tidak akan lama lagi bersama keluarga
dan
teman-temannya.
e. Acceptance (Penerimaan)
Merupakan tahap selama pasien memahami dan menerima kenyataan
bahwa akan meninggal. Pasien mulai menemukan kedamaian dengan kondisinya dan
beristirahat untuk menyiapkan dan memulai perjalanan panjang, serta akan berusaha keras
69
untuk menyelesaikan tugas-tugasnya yang belum terselesaikan.
E. Proses Menuju Kematian
Mansell Pattison dalam Papalia (1977) menyatakan bahwa proses menuju kematian
adalah proses individual, artinya masing-masing individu akan mengalami perbedaan.
Akan
tetapi, secara umum mengajukkan 3 tahapan, yaitu :
1. Acute Phase yaitu dimulai ketika pasien menerima kenyataan bahwa sebentar lagi ia akan
mati, sehingga menghasilkan dampak psikologis yaitu kecemasan yang akan diiringi
dengan marah, takut, kesal dan menyesal.
2. Chronic living-dying interval yaitu redanya kecemasan yang diikuti dengan
perubahan
emosi yang bermacam-macam dan terkadang pasien sudah tidak dapat mengatakan apa
yang dirasakan.
a. Ketakutan yang tidak dapat didefinisikan
Sebuah indikasi bahwa kematian sudah dekat, pasien takut akan apa yang akan terjadi,
banyak ketakutan dan pertanyaan yang rasanya tidak dapat diungkapkan dan tidak ada
yang bisa memberi jawaban.
b. Kesendirian
Pasien tidak ingin sendiri dan takut sendiri. Pasien ingin keluarga atau teman-temannya
berada di dekatnya serta ingin orang-orang yang ada disekitarnya dapat merasakan
ketakutannya.
c. Duka cita mulai merasuki individu
70
Pasien ingin menangis, memberikan sesuatu, menyebutkan/mengatakan sesuatu kepada
orang-orang yang dicintai tatapi waktunya terasa sangat sedikit, sehingga perilaku yang
muncul adalah pasien tidak melakukan apapun kecuali menatap dan menangis tanpa
mengatakan sepatah katapun.
d. Kehilangan body
Pasien mulai merasakan bahwa psikologisnya mulai terpisah dari bahannya. Pasien
mulai merasakan sebagian dari badannya tidak dapat difungsikan meskipun pasien
berupaya memfungsikan dan menyatukan dengan dirinya.
e. Kehilangan self control
Pasien mulai tidak mampu menyadari akan apa yang terjadi pada dirinya baik terkait
dengan body atau fisiologisnya maupun dengan jiwanya atau psikologisnya.
f. Sakit dan menderita
Sebagian besar orang yang akan mati mengalami fase sakit dan menderita yang tidak
terkontrol dan tidak diketahui yang bercampur dengan hukuman, rasa bersalah dan rasa
penyesalan.
g. Kehilangan identitas
Pasien mulai tidak bisa mengadakan kontak dengan orang-orang disekitarnya, keluarga
ataupun teman-temannya.
3. Terminal phase yaitu pasien lepas dari orang-orang dan lingkungan.
Tahapan menuju kematian dapat ditinjau dari beberapa faktor, yaitu umur, jenis
kelamin, ras atau suku bangsa, budaya kelompok, latar belakang sosial dan personality
atau
71
kepribadian.
F. Tingkat Kesadaran pada Pasien Terminal
Terhadap kondisi terminal, baik dari sisi pasien atau keluarga harus dikaji untuk
menentukan bagaimana perawat harus berkomunikasi dengan pasien dan keluarga.
Tingkat
kesadaran ini meliputi :
a. Clossed awareness, dimana pasien dan keluarga tidak menyadari datangnya
kematian,
tidak tahu mengapa sakit dan percaya akan sembuh.
b. Mutual pretense, dimana pasien, keluarga dan team kesehatan tahu bahwa
kondisinya
terminal tetapi merasa tidak nyaman dan menghindari membicarakan kondisi yang
dihadapi pasien. Hal tersebut berat bagi pasien karena tidak dapat mengekspresikan
ketakutannya.
c. Open awareness, dimana pasien dan orang disekitarnya tahu bahwa ia berada
diambang
kematian sehingga tidak ada kesulitan untuk membicarakannya. Pada tahap ini pasien
dapat dilibatkan untuk proses intervensi keperawatan.
Tingkat kesadaran pada pasien terminal dapat semakin memburuk dan tidak menutup
kemungkinan terjadi kondisi yang dinamakan koma (tidak sadar). Walaupun pasien
tidak
sadarkan diri, proses konunikasi antara perawat dengan pasien harus dilakukan. Pada
saat
berkomunikasi dengan pasein yang tidak sadar, perlu diperhatikan hal-hal berikut, yaitu:
1. Berhati-hati melakukan pembicaraan verbal di dekat pasien, karena ada keyakinan
72
bahwa organ pendengaran merupakan organ terkhir yang mengalami penurunan
penerimaan, rangsangan pada pasien yang tidak sadar. Pasien yang tidak sadar
seringkali dapat mendengar suara dari lingkungan walaupun pasien tidak mampu
meresponnya sama sekali.
2. Ambil asumsi bahwa pasien dapat mendengar pembicaraan perawat. Usahakan
mengucapkan kata dan menggunakan nada normal dan memperhatikan materi ucapan
yang perawat sampaikan dekat pasien.
3. Ucapkan kata-kata sebelum menyentuh pasien. Sentuhan diyakini dapat menjadi salah
satu bentuk komunikasi yang sangat efektif pada pasien dengan penurunan kesadaran.
4. Upayakan mempertahankan lingkungan setenang mungkin untuk membantu pasien
fokus terhadap komunikasi yang perawat lakukan.
G. Tindakan Keperawatan yang Dilakukan pada Pasien Terminal
Pada pasien terminal, pasien atau keluarga biasanya akan ketakutan kehilangan salah
keluarganya (meninggal). Tindakan yang dilakukan perawat :
1. Membantu pasien untuk mengurangi ketakutannya.
a. Memberikan kepastian dan kenyamanan pada pasien.
b. Menunjukkan perasaan tentang pemahaman dan empati.
c. Mendorong pasien untuk mengungkapkan setiap ketakutan permasalahan yang
berhubungan dengan pengobatannya.
d. Mengidentifikasi dan mendukung mekanisme koping yang efektif. Pasien yang cemas
mempunyai penyempitan lapang persepsi dengan penurunan kemampuan untuk
73
belajar, ketakutan cenderung untuk memperburuk masalah.
2. Mengkaji tingkat ketakutan pasien kemudian merencanakan penyuluhan bila
tingkatnya
rendah atau sedang. Beberapa rasa takut didasari oleh informasi yang tidak akurat dan
dapat dihilangkan denga memberikan informasi yang akurat. Pasien dengan ansietas berat
atau parah tidak menyerap pelajaran.
3. Mendorong keluarga dan teman untuk mengungkapkan ketakutan-ketakutan mereka.
Pengungkapan memungkinkan untuk saling berbagi dan memberikan kesempatan untuk
memperbaiki konsep yang tidak benar.
4. Memberikan kesempatan dan penguatan koping positif, yaitu dengan menghargai
pasien
untuk koping efektif karena dapat menguatkan respon koping positif yang akan datang.
H. Teknik Komunikasi Terapetik yang Dilakukan pada Pasien Terminal
1. Memberi Harapan
Yaitu memberi harapan pada pasien untuk tetap hidup menjalani sisa kehidupan dengan
amal dan ibadah yang baik.
2. Tidak Mengisolasi Pasien
Tanpa kita ketahui pasien terminal biasanya merasa terisolasi menjelang akhir
kematiannya karena faktor kejiwaan dan lingkungan. Maka perawat harus bisa
menenangkan dan mendukung kesehatnnya bahwa perawatan akan tetap diberikan.
3. Memaksimalkan Kualitas Hidup
Dalam komunikasi perawat dapat melakukan pada kejiwaan, spiritual, sosial dan fisik.
74
Dilakukan agar pasien tidak merasa tertekan pada akhir kehidupannya. Pasien merasa
puas karena masih bisa menjadi orang berguna bagi orang lain dan melakukan apa yang
bisa pasien lakukan, walau dalam keterbatasan. Selain itu, pasien ingin melakukan hal
yang membuat pasien menjadi orang bermanfaat, bisa membantu orang lain karena
pasien tidak ingin menjadi orang yang selalu merepotkan orang lain dengan keadaannya
yang lemah dan terbatas. Kalau dalam hal spiritual, pasien merasakan kualitas hidup
saat itu mulai bisa bertawakkal, menerima takdir dan makin dekat dengan Allah.
Perawat bisa membantu pasien dengan berdo’a atau membaca kalimat syahadat
(menurut kepercayaan masing-masing).
4. Mempertahankan Ketenangan
Mempertahankan ketenangan pada pasien terminal, perawat dapat menujukkan dengan
kesabaran dalam merawat pasien. Ketenangan yang perawat berikan dapat membantu
atau mendorong pasien menjadi lebih baik. Ketenangan perawat dapat ditunjukan
kepada pasien yang terminal dengan komunikasi non verbal. Komunikasi non verbal
dapat berupa sentuhan yang hangat. Sentuhan adalah transmisi pesan tanpa kata-kata,
merupakan salah satu cara yang terkuat bagi seseorang untuk mengirimkan pasan
kepada orang lain. Sentuhan adalah bagian yang penting dari hubungan antara perawat
dan pasien.
I. Masalah Komunikasi yang Terjadi pada Pasien Terminal
1. Gangguan bicara bisa terjadi karena kondisi fisiologis pasien yang melemah.
2. Halusinasi merupakan gangguan persepsi panca indera pada pasien terminal tanpa
adanya rangsangan dari luar yang dapat meliputi semua sistem penginderaan
dimana terjadi pada saat kesadaran individu itu penuh atau baik. Penyebab dari
75
halusinasi adalah perubahan sensori perceptual, seperti menarik diri. Menarik diri
merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari
hubungan dengan orang lain.
3. Penyempitan perhatian yaitu rasa tidak percaya diri seorang pasien kepada semua
orang, dimana pasien takut ditinggal atau dijauhi oleh teman maupun keluraganya.
J. Contoh Penyakit Terminal yang Mudah Dijumpai
a. Pengertian
Leukemia adalah proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk
leukosit yang tidak normal, jumlahnya berlebihan, dapat menyebabkan anemia,
trombositopenia, dan diakhiri dengan kematian sering disebut kanker darah.
Kanker darah merupakan penyakit dalam klasifikasi kanker (istilah medis:
neoplasma) pada darah atau sumsum tulang yang ditandai oleh perbanyakan secara tak
normal atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah di sumsum tulang dan
jaringan limfoid, umumnya terjadi pada leukosit (sel darah putih). Sel-sel normal di dalam
sumsum tulang digantikan oleh sel tak normal atau abnormal. Sel abnormal ini keluar dari
sumsum dan dapat ditemukan di dalam darah perifer atau darah tepi. Sel leukemia
mempengaruhi hematopoiesis atau proses pembentukan sel darah normal dan imunitas tubuh
penderita.
Penyakit darah ini termasuk pula penyakit yang berbahaya,dapat digolongkan sebagai
kanker. Penyakit ini disebabkan oleh pertumbuhan sel-sel darah putih yang ganas, yang ada
hubungannya dengan kelenjar limpa. Sel-sel darah putih itu yang terbentuk di dalam sumsum
tulang yang bersangkutan.
b. Etiologi
Penyebab leukemia tidak diketahui secara pasti, namun beberapa faktor dihubungkan
dengan timbulnya leukemia. Faktor-faktor tersebut adalah radiasi pengion, zat kimia, obat,
keluarga (genetik), infeksi virus, imunodefisiensi.
76
Kejadian leukemia meningkat pada orang yang terkena radiasi seperti yang terjadi di
Hirosima dan Nagasaki setelah bom atom. Sedangkan obat-obatan adalah golongan alkilasi
(sitostatika), kloramfenikol, fenilbutazon, heksaklorosiklokeksan. Menurut Leiss dan Savitz
(1995), penggunaan pestisida di rumah berkaitan dengan kejadian keganasan pada anak.
Faktor keluarga (genetik) dihubungkan dengan terjadinya leukemia karena pada
kembar identik bila salah satu menderita leukemia maka kembarannya beresiko menderita
leukemia pula dalam 5 tahun, dan insiden leukemia pada saudara kandung meningkat 4 kali
bila salah satu saudaranya menderita leukemia. Leukemia banyak terjadi pada anak yang
menderita kelainan kromosom seperti Sandroma Down, dan penyakit-penyakit genetik
lainnya. Percobaan pada binatang menunjukan bahwa infeksi virus ribonucleic acid (RNA)
berperan terhadap timbulnya leukemia, namun pada manusia masih perlu penyelidikan lebih
lanjut.
Beberapa kondisi perinatal merupakan faktor resiko terjadinya leukemia pada anak,
seperti yang dilaporkan oleh Cnattingis dkk (1995). Faktor-faktor tersebut adalah penyakit
ginjal pada ibu, penggunaan suplementasi oksigen, asfiksia post partum, berat badan lahir
>4500 gram, dan hipertensi saat hamil. Sedangkan Shu daa (1996) melaporkan bahwa ibu
hamil yang mengkonsumsi alkohol meningkatkan resiko terjadinya leukemia pada bayi,
terutama LMA.
Leukemia akut ditandai dengan suatu perjalanan penyakit yang sangat cepat,
mematikan, dan memburuk. Apabila tidak diobati segera, maka penderita dapat meninggal
dalam hitungan minggu hingga hari. Sedangkan leukemia kronis memiliki perjalanan
penyakit yang tidak begitu cepat sehingga memiliki harapan hidup yang lebih lama, hingga
lebih dari 1 tahun bahkan ada yang mencapai 5 tahun.
c. Keluhan dan Gejala
Hipertrofi gusi terutama terjadi pada LMA. Infiltrasi ke kulit, yang dapat terjadi pada
kelompok resiko standar dan tinggi, sering terjadi di kulit kepala, dan dapat merupakan gejala
dini dari leukemia. Pada anak laki-laki, infiltrasi ke testis menyebabkan pembesaran testis
yang tidak nyeri pada salah satu atau kedua testis, hal ini nantinya akan mempengaruhi
prognosis karena menyebabkan kambuh. Umumnya gejala pada anak yang menderita LMA
merupakan akibat dari gangguan sumsum tulang, seperti pada LLA, dan infiltrasi pada organ.
Pembengkakan jaringan lunak di orbita dan gusi lebih menonjol.
77
Seperti semua sel-sel darah, sel-sel leukemia mengalir ke seluruh tubuh. Tergantung pada
jumlah sel-sel yang abnormal dan tempat sel-sel ini terkumpul, pasien leukemia mempunyai
sejumlah gejala umum antara lain:
Demam atau keringat malam
Infeksi yang sering terjadi
Merasa lemah atau letih
Sakit kepala
Mudah berdarah dan lebam (gusi berdarah, bercak keunguan di kulit, atau bintik-
bintik merah kecil di bawah kulit)
Nyeri di tulang atau persendian
Pembengkakan atau rasa tidak nyaman di perut (akibat pembesaran limpa atau
kelenjar getah bening)
Pembengkakan, terutama di leher atau ketiak
Kehilangan berat badan
Gampang capek
Sukar bernafas
Pucat
Denyut nadi cepat
Selain tersebut di atas, dalam pemeriksaan sel-sel darah akan menunjukkan keadaan-
keadaan yang abnormal dalam bentuk, besar, dan bilangan sel-sel darah. Sel-sel darah merah
mungkin akan terdapat agak berkurang bilangannya. Sel-sel darah putih kadang-kadang
bertambah seratus atau dua ratus kali dari pada bilangan biasa. Meskipun kadang-kadang
bilangan itu normal atau di bawah normal, tetapi abnormal dalam jenisnya. Penemuan jenis
atau bentuk sel-sel darah putih yang ada itulah yang paling banyak membantu mengenai
keterangan tentang kemajuan penyakit.
Lemas, mudah lelah, demam yang tidak terlalu tinggi (aksiler 38,5°C), dan gizi
terkesan kurang. Disebabkan oleh hipermetabolisme yang terjadi karena aktivitas proliferasi
sel-sel leukemia. Semua cadangan energi tubuh dipergunakan oleh aktivitas sel-sel leukemik
yang ganas, sehingga semakin lama cadangan lemak dalam jaringan adiposa semakin
berkurang, akibatnya gizi pasien terkesan kurang, lemas, dan mudah lelah. Kemungkinan lain
penyebab penurunan status gizi pasien adalah anemia dan gangguan oksigenasi jaringan.
Peningkatan aktivitas seluler yang terjadi mengakibatkan peningkatan suhu inti, akibatnya
78
tubuh menjalankan mekanisme pengaturan suhu sehingga terjadi demam. Kemungkinan lain
akibat terjadinya demam adalah adanya infeksi. Walaupun sel-sel leukosit yang berperan
dalam sistem imunitas meningkat, tetapi sel yang terbentuk tidak berdiferensiasi dengan sel
imun jenis apapun, sehingga tidak fungsional dalam menjaga kekebalan tubuh. Fenomena ini
disebut dengan leukopenia fungsional.
Perdarahan lewat hidung dan trombositopenia (trombosit 67 x 103/mm3 [normal 1,5-
3 x 105/mm3]). Akibat dari terjadinya penekanan hematopoiesis lainnya di sumsum tulang,
maka produksi trombosit menurun. Padahal, trombosit berperan penting dalam sistem
hemostasis primer. Jika trombosit berkurang, maka akan terjadi perdarahan yang waktunya
lebih panjang daripada jika kondisi dan jumlah trombositnya normal. Kapiler pada keadaan
normal memang sering mengalami ruptur, tetapi hal ini dapat cepat diatasi oleh sistem
hemostasis primer, yaitu trombosit. Jika terjadi trombositopenia maka salah satu gejala yang
timbul adalah perdarahan hidung akibat pecahnya dinding kapiler.
Takikardi (108x/menit [normal 60-100/menit]), konjungtiva anemis, papil lidah
atrofi, dan anemia (Hb 7,5 g/dl [normal 12-16 g/dl]). Serupa dengan trombositopenia,
anemia yang timbul terjadi akibat penekanan hematopoietik oleh sel-sel leukemik pada
sumsum tulang. Akibatnya timbul manifestasi klinis khas anemia seperti di atas. Takikardi
timbul akibat kerja keras jantung dalam memenuhi kebutuhan oksigen jaringan karena
kuantitas hemoglobin (Hb) yang rendah dengan mekanisme mempercepat jalannya aliran
darah. Kuantitas Hb yang rendah mengakibatkan central pallor eritrosit berwarna pucat. Hal
inilah yang kemudian direpresentasikan oleh berbagai jaringan tubuh, misalnya konjungtiva,
bantalan kuku, telapak tangan, serta membran mukosa mulut. Atrofi papil lidah mungkin saja
terjadi akibat cedera sel papila akibat kekurangan oksigen yang terjadi akibat anemia yang
diderita oleh pasien.
Limfadenopati leher. Hiperplasia terjadi akibat kerja limfonodus yang berlebihan dalam
memproduksi limfosit. Sehingga sel-sel limfonodus yang berlebihan menyebabkan timbulnya
rasa sakit (pathy).
Hepatomegali. Terjadi dapat disebabkan karena tiga hal terkait: 1) infeksi; 2) akibat
anemia hemolitik; atau 3) akibat infiltrasi. Namun, dalam kasus ini, kaitan yang paling
mungkin adalah hepatomegali terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemik ke dalam jaringan
hepar.
Splenomegali. Splenomegali yang terjadi dapat disebabkan karena tiga hal terkait: 1)
infiltrasi; 2) infeksi; atau 3) sumbatan/gangguan aliran darah. Namun, dalam kasus ini,
79
kemungkinan yang paling besar splenomegali terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemia ke
dalam limpa/spleen
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan
kegiatannya dipusatkan untuk kesembuhan pasien.
2. Karakteristik seorang perawat dalam hubungan terapeutik yaitu harus mempunyai
sifat
kejujuran, tidak membingungkan dan cukup ekspresif, bersikap positif, empati bukan
simpati, serta sensitif terhadap perasaan pasien.
3. Pasien terminal adalah pasien yang sedang menderita sakit, dimana tingkat sakitnya telah
mencapai stadium lanjut sehingga pengobatan medis sudah tidak mungkin dapat
menyembuhkan lagi.
4. Tahapan-tahapan pada pasien terminal yaitu denial atau menolak (pengingkaran),
anger
atau marah, bergaining (tawar-menawar), depression dan acceptance (penerimaan).
5. Tingkat kesadaran pada pasien terminal terdiri dari clossed awareness, mutual
pretense,
dan open awareness.
6. Tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien terminal yaitu dengan membantu
pasien untuk mengurangi ketakutannya, mengkaji tingkat ketakutan pasien, mendorong
80
keluarga dan teman untuk mengungkapkan ketakutan-ketakutan mereka, serta
memberikan kesempatan dan penguatan koping positif.
7. Teknik komunikasi terapetik yang dilakukan pada pasien terminal yaitu dengan memberi
harapan, tidak mengisolasi pasien, memaksimalkan kualitas hidup, mempertahankan
ketenangan.
8. Masalah komunikasi yang terjadi pada pasien terminal yaitu gangguan bicara, halusinasi,
dan penyempitan perhatian.
B. Kritik dan Saran
Dengan terselesaikannya makalah ini, maka kami berharap tenaga kesehatan khususnya
perawat mengetahui bagaimana teknik komunikasi yang baik dalam menghadapi pasien
terminal contohnya : leukemia. Tak lupa kritik dan saran yang membangun kami harapkan
dari teman-teman agar kedepanya kami bisa menyusun makalah selanjutnya dengan lebih
baik.
81