Upload
metha-coconacow
View
79
Download
5
Embed Size (px)
Citation preview
TUGAS
HELMINTHOLOGI
Penyusun : MarianaNIM : 20112508040BKU : Parasitologi Kedokteran
PROGRAM STUDI BIOMEDIKFAKULTAS KEDOKTERAN UNSRI
PROGRAM PASCA SARJANA2012
PENDAHULUAN
A. SEJARAH
Cacing hati pertama kali dilukiskan oleh Fransesco Redi pada tahun 1668,
diuraikan secara jelas tentang anatominya oleh Godvard Bidlo pada tahun 1669 dan
diberi nama Facsiola hepatica oleh Linnaeus pada tahun 1758.
Di Indonesia F. Hepatica pertama kali dilaporkan oleh Velzen (1891) dari
kerbau, kemudian Kraneveld (1924) menemukan cacing tersebut pada sapi. F.
hepatica selanjutnya juga ditemukan pada hewan domestik dan hewan liar lainnya.
B. TREMATODA
Trematoda merupakan cacing pipih yang berbentuk seperti daun, dilengkapi
dengan alat-alat ekskresi, alat pencernaan, alat reproduksi jantan dan betina yang
menjadi satu (hermafrodit) kecuali pada Trematoda darah (Schistosoma). Mempunyai
batil isap kepala di bagian anterior tubuh dan batil isap perut di bagian posterior
tubuh. Dalam siklus hidupnya Trematoda pada umumnya memerlukan keong sebagai
hospes perantara I dan hewan lain (Ikan, Crustacea , keong) ataupun tumbuh-
tumbuhan air sebagai hospes perantara kedua. Manusia atau hewan Vertebrata dapat
menjadi hospes definitifnya. Habitat Trematoda dalam tubuh hospes definitif
bermacam-macam, ada yang di usus, hati, paru-paru, dan darah.
Cacing trematoda banyak ditemukan di RRC, Korea, Jepang, Filipina,
Thailand, Vietnam, Taiwan, India, dan Afrika. Beberapa spesies ditemukan di
Indonesia seperti Fasciolopsis buski di Kalimantan, Echinostoma di Jawa dan
Sulawesi, heterophidae di Jakarta dan Schistosoma japonicum di Sulawesi Tengah.
Trematoda disebut sebagai cacing isap karena cacing ini memiliki alat pengisap.
Alat pengisap terdapat pada mulut di bagian anterior
Alat hisap (Sucker) ini untuk menempel pada tubuh inangnya berupa ternak , dan jika
hati ternak yang ada cacingnya ini kita makan maka kita akan kena Fasciolasis
Pada saat menempel cacing ini mengisap makanan berupa cairan tubuh inangnya atau
jaringan tubuhnya
Trematoda kebanyakan merupakan hewan parasit karena berada pada tubuh mahkluk
hidup , merugikan karena mengambil bahan organik yang tersedia di inangnya
Trematoda dewasa pada umumnya hidup di dalam hati, usus, paru-paru, ginjal, dan
pembuluh darah vertebrata .Ternak , Ikan , Manusia
Trematoda berlindung di dalam tubuh inangnya dengan melapisi permukaan tubuhnya
dengan kutikula
Permukaan tubuhnya tidak memiliki silia.Contoh Trematoda adalah cacing hati
Fasciola hepatica di ternak , Chlonorsis sinensis di Ikan
FASCIOLA HEPATICA
A. Klasifikasi Fasciola hepatica
Phylum : Platyhelminthes
Class : Trematoda
Subclass : Digenea
Ordo : Prosostomata
Subordo : Distomata
Superfamili : Fascioloidea
Famili : Fasciolodae
Genus : Fasciola
Spesies : Fasciola hepatica
B. Morfologi
Merupakan Trematoda hati yang besar dengan ciri-ciri sbb:
1. Ukuran : 20 – 30 x 8 – 13 mm.
2. Bentuk : pipih seperti daun dengan bahu yang jelas, kepalanya bentuk kerucut
(cephalic cone)
3. Warna : coklat sampai abu-abu.
4. Batil isap kepala dan batil isap perut sama besar dan keduanya terletak dalam
kerucut kepala.
5. Caecum : bercabang-cabang.
6. Testis : bercabang-cabang banyak dan tersusun seperti tandem cranio-caudal.
7. Kelenjar vitellaria yang bercabang-cabang banyak dan merata di bagian lateral
dan posterior badan.
8. Uterus : pendek dan berkelok-kelok.
Hospes Definitif : Manusia, kambing dan sapi
Hospes Perantara : I. Keong air (Lymnea) II. Tanaman air
Nama penyakit : fasioliasis
C. Telur
1. Besarnya 130 – 150 x 63 – 90 mikron, bentuk oval, warna kuning coklat.
2. Mengandung satu ovum yang besar tanpa segmen di dalam kuning telur.
3. Dikeluarkan bersama-sama empedu ke dalam duodenum dan akhirnya keluar
bersama-sama dengan feses.
4. Tidak timbul dalam larutan NaCl jenuh.
5. Hanya bisa berkembang dalam air.
D. Siklus Hidup
Di tubuh inang utama ternak , ikan , manusia Cacing dewasa hidup di hati bertelur di usus - ikut faeces
buang air besar sembarangan di lingkungan telur bersama faeces terbuang ke air telur menetas jadi larva dengan cilia (rambut getar ) diseluruh permukaan tubuhnya
membentuk larva Mirasidium yang kemudian berenang mencari siput Lymnea Mirasidium akan mati bila tidak masuk ke dalam tubuh siput air tawar (Lymnea truncatula)
Mirasidium setelah berada di siput berubah menjadi Sporosis (menetap dalam tubuh siput selama 2 minggu).
Larva larva itu punya kemampuan reproduksi secara asexual dengan cara Paedogenesis didalam tubuh siput sehinga terbentuk banyak larva ,
larva sporosis melakukan paedogenesis menjadi beberapa redia larva Redia melakukan paedogenesis menjadi Serkaria Larva serkaria kemudian berekor menjadi metacercaria dan segera keluar dari siput berenang
mencari tanaman yang ada di pinggir perairan misalnya rumput . Metaserkaria membungkus diri berupa kista yang dapat bertahan lama menempel pada rumput atau tumbuhan air sekitarnya
Apabila rumput tersebut termakan oleh domba, maka kista dapat menembus dinding ususnya, kemudian masuk ke dalam hati, saluran empedu dan dewasa di sana untuk beberapa bulan. Cacing dewasa bertelur kembali dan siklus ini terulang lagi.
E. Epiemiologi
Penyakit ini ditemukan tersebar di dunia. Di Indonesia ditemukan hampir di seluruh daerah, terutama di daerah yang basah. Tingkat morbiditas dilaporkan 50-75 %, rata-rata 30 %. Dilaporkan bahwa 2,5 juta orang telah terinfeksi di 61 negara terutama dari Bolivia, Peru, Mesir, Iran, Portugal, dan Perancis, dan bahwa lebih dari 180 juta orang beresiko. Di sebelah utara Iran, berdasarkan penelitian carpological menunjukkan sekitar 7.3 dan 25,4% prevalensi global pada ternak domba. Fasciola hepatica umumnya ditemukan di Negara empat musim atau subtropis seperti Amerika Selatan, Amerika Utara, Eropa, Afrika Selatan, Rusia, Australia dan New Zealand. CHEN don MOTT (1990), mengatakan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, yaitu antara tahun 1970 sampai dengan tahun 1990, telah terjadi kasus kejadian fasciolosis yang disebabkan oleh F. hepatica pada 2594 orang di 42 negara. Menurut HOPKINS (1992), penderita fasciolosis adalah sekitar 17 juta orang di seluruh dunia. Penyebaran distribusi geografis, Worldwide, but spotty. USA: Florida, Mississippi selatan drainase, barat laut negara dan California. Fascioliasis di Indonesia hanya disebabkan oleh cacing trematoda Fasciola gigantica dan induk semangnya yaitu siput L. Rubiginosa. Prevalensi penyakit ini pada ternak di daerah Jawa Barat mencapai 90% dan di Daerah Istimewa Yogyakarta kasus kejadiannya antara 40-90% Sedangkan Pada DIY mencapai 40-90%.
F. Fascioliasis
1. Penularan
Sumber utama penularan fasciolosis pada manusia adalah dari kebiasaan masyarakat yang gemar mengkonsumsi tanaman/tumbuhan air, seperti selada air dalam keadaan meneah yang tercemar metaserkaria cacing Fasciola hepatica.
penularan ditentukan oleh keberadaan siput dari Famili Lymnaeidae, keberadaan hewan mamalia peka lain di sekitar tempat tinggal penduduk dan iklim .
penggunaan air yang tercemar metaserkaria Fasciola spp. misalnya air tersebut diminum dalam keadaan mentah.
bahwa penularan fasciolosis yang disebabkan oleh F. hepatica pada manusia dapat pula terjadi akibat kebiasaan sebagian masyarakat di Eropa yang gemar mengkonsumsi hati mentah.
2. Gejala klinik
Masa inkubasi Fascioliasis menginfeksi pada manusia sangat bervariasi, karena dapat berlangsung dalam beberapa hari,dalam 6 minggu atau antara 2-3 bulan. Bahkan dapat lebih lama dari waktu tersebut.
Gejala klinik yang paling menonjol adalah anemia, selain itu dapat pula terjadi demam dengan suhu 40-42 derajat, nyeri di bagian perut dan gangguan pencernaan.
Bila penyakit berlanjut,dapat terjadi hematomegaliasites di rongga perut, sesak nafas dan gejala kekuningan.
Selain itu, dalam kasus fasciologis kronis, dapat mengakibatkan terbentuknya batu empedu, sirosis hati dan kanker hati.
3. Diagnosa
Pemeriksaan tinja
Merupakan cara yang paling umum dan sederhana yang bertujuan untuk menemukan adanya telur cacing dengan menggunakan uji sedimentasi.
Pemeriksaan darah
Dilakukan dengan uji ELISA (enzyme linked Immunosorbent Assay) untuk mengetahui adanya antibody atau antigen didalam tubuh penderita. Pada infeksi parasite umumnya sel darah putih yang meningkat tajam adalah eosinofil, walaupun hal ini tidak spesifik dan seringkali di ikuti dengan peningkatan isotope antibody immunoglobulin (IgE) di serum darah.Menurut Sampaio Silva et al(1985), tingkat isotope antibody IgE berkorelasi positif dengan jumlah telur cacing dalam tinja,usia penderita,gejala klinis dan jumlah eosinofil.
4. Pencegahan
Industri
Pembuangan eksreta dan air limbah/air kotor secara aman,pengobatan ternak terhadap parasit tersebut, pnecegahan agar tidak ada hewan yang datang ke tempat pembudidayaan tanaman selada air dan pengontrolan air yang digunakan untuk irigasi pembudidayaan tersebut.
Tempat pengelolaan makanan/rumah tangga
Memasak makanan sampai benar-benar matang
Konsumen harus menghindari konsumsi selada air yang mentah.
Kalaupun tetap harus mengkonsumsi sayuran mentah, sebaiknya sayuran tersebut dicuci dahulu dengan larutan cuka atau larutan potassium permanganat sebelum dikonsumsi.
Lain-lain
Pengendalian siput dengan moluskisida jika memungkinkan, pengobatan pada masyarakat yang terinfeksi untuk mengurangi resevoir infeksi.
5. Pengobatan
Bithionol (Lorothidol, Bitin)
Mekanisme Kerja:
menghambat fosforilasi oksidatif pada parasit, mendorong ke arah blokade sintesis ATP. ini merupakan pilihan obat karena efektivitas dan keselamatannya pada Fh Dan Fg. Data pendukung adalah dari negara berkembang. Ini merupakan suatu campuran fenolic yang secara struktur berhubungan dengan heksaklorofen. Tersedia dari Pusat untuk Kendali Penyakit Dan Pencegahan ( CDC).
Dosis:
Dewasa: 30-50 mg/kg per oral selama 5-15 hari perawatan; beberapa pasien memerlukan perawatan pengulangan
Pediatric: Pemberian seperti di orang dewasa
Interaksi Obat : Tidak dilaporkan
Kontraindikasi: Hipersensitivitas
Perhatian
Resiko janin diteliti pada hewan percobaan; tetapi tidak dipelajari pada manusia; boleh digunakan jika manfaat lebih besar daripada resiko pada janin.
Dapat menyebabkan anoreksia, mual, muntah, diare, sakit perut, hipotensi, pusing, sakit kepala, fotosensitivitas, atau pruritus.
Triclabendazole (Fasinex)
Mekanisme kerja
Laporan terbaru menyarankan obat dokter hewan ini aman dan efaktif pada anak-anak dan orang dewasa. Ini merupakan obat pilihan kedua sampai data lebih lanjut terkumpul, mengikat ke cacing pada tubulin, mengganggu formasi microtubule dan fungsinya. Mulai dari 2009, ini tak tersedia Amerika Serikat.
•Dosis
Dewasa: 10-20 mg/kg/hari PerOral setelah makan dibagi 12-24jam untuk 1 dosis.
Pediatrik: Diberikan sama seperti orang dewasa.
Interaksi Obat: Tidak dilaporkan
Perhatian
Pada ibu hamil:
Menyatakan resiko C- fetal pada penelitian pada hewan percobaan tetapi tidak diteliti pada manusia. Boleh digunakan jika manfaat lebih besar daripada resiko terhadap janin dapat menyebabkan sakit kepala dan pusing temporer.
Praziquantel (Biltricide)
Mekanisme kerja
Walaupun secara umum aman dan efektif untuk infeksi trematode lain, praziquantel nampak sangat sedikit manjur melawan terhadap Fasciola hepatica. Karenanya ini siap tersedia dan lebih umum dikenal dibanding triclabendazole ( Fasinex), ini adalah obat pilihan ketiga. Penggunaan Cadangan untuk situasi di mana pilihan pertama dan kedua tak dapat diperoleh. Praziquantel meningkatkan permeabilitas kulit trematoda terhadap kalsium, menyebabkan kontraksi otot parasit.
Dosis:
Dewasa: 25 mg/kg/dosis PerOral tiap 8 jam untuk 1 hari
Pediatric: sama seperti dewasa
Interaksi obat
Hydantoin mengurangi kadar praziquantel dalam serum, yang memungkinkan ke arah kegagalan perawatan.
Kontraindikasi: Hipersensitivitas, cysticercosis pada mata
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus, 2010. Cacing hati. http://biologigonz.blogspot.com/2010/03/cacing-hati-fasciola-hepatica.html
Anonimus, 2010. Daur hidup fasciola. http://impact23.wordpress.com/2010/03/09/daur-hidup-fasciola-hepatica/
|D. A. Pratiwi, Sri Maryati, Srikini, Suharno, Bambang S.] (2007). BIOLOGI SMA Jilid 1 untuk Kelas X Berdasarkan Standar Isi 2006. Jakarta: Penerbit Erlangga. ISBN : 979-781-726-
Gandahusada, srisasi Prof.dr. dkk (ed). Parasitologi Kedokteran. Edisi ketiga, 2002. balai Penerbit FKUI. Jakarta