Upload
lekhue
View
231
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
IDEOLOGI ANTIKEKERASAN GANDHI
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I.)
Oleh
Iman Fauzan NIM.102033124723
PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1431 H./2010 M.
IDEOLOGI ANTIKEKERASAN GANDHI
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan
Memperoleh Gelar Sarjana Filsafat Islam (S. Fil. I.)
Oleh Iman Fauzan
NIM.102033124723
Pembimbing
Dr. Syamsuri, M.A. NIP.195904051989031003
PROGRAM STUDI AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1431 H./2010 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul IDEOLOGI ANTIKEKERASAN GANDHI telah
diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada 18 Maret 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada Program Studi
Aqidah Filsafat.
Jakarta, 18 Maret 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Dra. Tien Rahmatin, M.A. NIP.196108271993031002 NIP. 196808031994032002
Anggota, Dr. Syamsuri, M.A. Dr. M. Amin Nurdin, M.A. NIP.195904051989031003 NIP.195503031987031003
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S-1) di
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 18 Maret 2010
Iman Fauzan
iii
ABSTRAK
Tidak mudah rasanya untuk mengingkari bahwa tujuan hidup manusia
adalah kebahagiaan sebab tak ada seorang pun yang ingin sengsara meski
pemaknaan kita atas itu mungkin saja sungguh-sungguh berbeda.
Terciptanya ketenteraman, kesejahteraan, dan kedamaian atau absennya
kekerasan dalam hidup juga bisa disebut sebagai bentuk lain dari
kebahagiaan.
Baik jiwa dan akal sebagai potensi personal maupun negara dan agama
sebagai institusi sosial manusia adalah media yang terbuka bagi manusia
untuk merealisasikan tujuannya, kebahagiaan, baik di dunia ataupun di
akhirat.
Namun, media tersebut tidak digunakan semestinya atau terjadi
penyimpangan sehingga cita-cita dan tujuan hidup manusia yang
sesungguhnya malah tidak tercapai.
Ideologi yang secara disadari ataupun tidak memberikan legitimasi
terhadap aksi kekerasan dan semakin menghegemoni sedemikian rupa dalam
setiap relung kehidupan perlu mendapatkan antitesisnya atau
kontrahegemoni agar dominasi kekerasan tidak perlu terjadi atau minimal
tidak berkelanjutan.
Penelitian ini ingin menyajikan antitesis tersebut yang memang pernah
digagas dan diperjuangkan oleh Mahatma Gandhi pada masa Perang Dunia
abad ke-20. Antitesis tersebut tidak lain adalah ideologi antikekerasan
Gandhi.
iv
KATA PENGANTAR
الر محن الر حيمبسم اهللا
Dengan segenap keyakinan dan upaya, penulis bersyukur kepada Allah
S.W.T. yang telah melimpahkan hidayah-Nya, sehingga karya ilmiah ini
dapat direalisasikan. Salawat dan salam selalu tercurahkan kepada Nabi
Muhammad S.A.W. sebagai pembawa risalah dan suri tauladan terbaik.
Dengan ini pula disampaikan terima kasih kepada dosen, keluarga, dan
teman yang telah memberikan pencerahan. Secara khusus penulis sampaikan
rasa terima kasih kepada pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
skripsi ini, yakni:
1. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, MA. (Dekan Fakultas Ushuluddin
dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah)
2. Drs. Agus Darmaji, M.Fils. (Ketua Program Studi Aqidah
Filsafat)
3. Dra. Tien Rahmatin, MA. (Sekretaris Program Studi Aqidah
Filsafat)
4. Dr. Syamsuri, MA. (Dosen Pembimbing Skripsi)
5. H. Djuhaeni dan Hj. Muslimah (orang tua penulis)
6. Ka Ridho dan Teh Imas (keluarga besar penulis)
7. A Abay, Teh Imas, Farhan, Neng Imas, Abu, dan Zaki (adik-
kakak penulis)
8. Neng Yuli Fitriyani (pendamping setia sejagat)
9. Keluarga Besar Neng Yuli Fitriyani
v
10. Keluarga Besar Komite Mahasiswa dan Pemuda Antikekerasan
(Kompak)
11. Keluarga Besar Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (KontraS)
12. Keluarga Besar Aqidah Filsafat Angkatan 2002
13. Keluarga Besar Harian Seputar Indonesia
14. Hafid-Sidik-Felik yang telah meminjamkan buku-bukunya, Isa-
Aan yang telah memperbaiki komputer-monitor, Suheli yang telah
meminjamkan laptopnya, Aconk yang telah mengantar ke
pembimping, Tata-Bahtiar-Robi yang membantu mengetik, Efri
yang meminjamkan alat untuk mengabadikan sidang skripsi, dan
Neng Yuli yang mendampingi setiap hari.
15. Dan semua sahabat karib yang tidak disebutkan satu per satu.
Jakarta, 18 Maret 2010
Iman Fauzan
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK.............................................................................................. iv
KATA PENGANTAR............................................................................ v
DAFTARA ISI ...................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................. 1
B. Tinjauan Pustaka ........................................................ 8
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah .......................... 9
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................... 10
E. Metode Penelitian ...................................................... 10
F. Sistematika Penulisan ................................................. 12
BAB II IDEOLOGI
A. Akar Ideologi ............................................................. 14
B. Definisi Ideologi ........................................................ 17
C. Kerja Ideologi ............................................................ 23
BAB III BIOGRAFI GANDHI
A. Riwayat Pribadi .......................................................... 31
B. Dunia Intelektual ........................................................ 34
C. Karier Politik ............................................................. 40
vii
BAB IV ANTIKEKERASAN GANDHI
A. Dimensi Filosofis ....................................................... 48
1. Ahimsa ................................................................. 48
2. Satyagraha ............................................................ 56
3. Swadesi ................................................................ 62
B. Dimensi Teologis ....................................................... 70
1. Kebenaran Sejati .................................................. 70
2. Agama Kemanusiaan ............................................ 77
3. Surga Dunia ......................................................... 84
C. Dimensi Politis ........................................................... 89
1. Jalan Hidup .......................................................... 89
2. Mahatma Diri ....................................................... 94
3. Harmoni Kuasa .................................................... 101
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................ 108
B. Saran .......................................................................... 110
C. Harapan ..................................................................... 110
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 111
viii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagaimana secara ontologis butuh mengada dan secara epistemologis
butuh mengetahui, secara aksiologis juga ternyata manusia butuh berbahagia.
Tidak mudah rasanya untuk mengingkari bahwa tujuan hidup kita adalah
kebahagiaan (eudaimonia) sebab tak ada seorang pun di antara kita yang ingin
sengsara meski pemaknaan kita atas itu mungkin saja sungguh-sungguh
berbeda. Terciptanya ketenteraman, kesejahteraan, dan kedamaian atau
absennya kekerasan dalam hidup kita juga bisa disebut sebagai bentuk lain
dari kebahagiaan.
Masalah kebahagiaan dan kesengsaraan ini, kata Nurcholish Madjid,
masalah kemanusiaan yang paling hakiki karena tujuan hidup manusia tak lain
ialah memeroleh kebahagiaan dan menghindari kesengsaraan. Semua ajaran
dan ideologi, baik yang bersifat keagamaan (sakral) maupun keduniaan
(profan) semata, tentunya menjanjikan kebahagiaan bagi para pengikutnya.1
Karena itulah, menurut Aristoteles, kekayaan dan kekuasaan bukanlah tujuan
terakhir hidup manusia sebab keduanya terkadang pada kenyataannya dapat
menyengsarakan hidup.2
Sokrates dan Plato juga berpendapat serupa mengenai tujuan hidup
manusia. Namun, kebahagiaan yang dimaksud mereka tidak sama dengan
1Nurcholish Madjid, “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan,” dalam Budhy
Munawar-Rachman, ed., Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, cet. II (Jakarta: Paramadina, 1995), h. 103.
2K. Bertens, Etika, cet. VI (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001), h. 243.
2
kebahagiaan yang dimaksud orang-orang modern, yang memaknai
kebahagiaan sama dengan happiness atau “kesenangan” yang menunjukkan
suatu keadaan subjektif, tapi bukan berarti pula bahwa kebahagiaan tidak
memiliki unsur kesenangan.
Bagi bangsa Yunani, eudaimonia juga berarti kesempurnaan, atau lebih
tepat lagi, eudaimonia berarti mempunyai daimon (jiwa) yang baik.3
Sementara menurut Aristoteles, manusia bahagia adalah manusia yang
menjalankan seluruh gerak kehidupannya sesuai keutamaan (arete).
Keutamaan tertinggi atau yang paling baik dalam diri kita yaitu bakat
rasional.4 Keutamaan ini juga bisa dikatakan sebagai jalan tengah dari dua
oposisi biner pilihan manusia yang paling ekstrem.
Manusia religius (homo religiosus) yang percaya bahwa jiwa atau daimon
berperan cukup signifikan dalam kehidupan, sebab segala materi yang ada di
semesta ini diyakininya memiliki jiwa termasuk manusia, mungkin akan lebih
mengasah dan menyempurnakan jiwanya untuk mencapai kebahagiaan hidup
yang lebih abadi.5 Sementara manusia nonreligius akan lebih mempertajam
daya inteleknya secara berkelanjutan guna memenuhi semua kebutuhannya
dari berbagai dimensi agar dapat hidup bahagia terutama di dunia saat ini.
Menurut Harun Nasution, orang yang berakal adalah orang yang memiliki
kecakapan dalam menyelesaikan masalah.6
3K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, cet. IXX (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h.108. 4K. Bertens, Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia, cet. VI (Yogyakarta: Kanisius, 2006),
h. 47. 5Mangunhardjono, “Homo Religiosus Menurut Mircea Eliade,” dalam Sastrapratedja, ed.,
Manusia Multidimensional (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 37-49. 6Harun Nasution, Akal dan Wahyu dalam Islam, cet. II (Jakarta: UI-Press, 1986), h. 7.
3
Sejarah mengungkap bahwa agamalah yang dipilih manusia religius
sebagai jalan hidup yang mapan untuk merealisasikan kebahagiaan dunia
sekaligus akhirat. Agama tumbuh dari usaha mencari kehidupan yang
mengekspresikan dirinya dalam tingkat yang rendah, mencari makan dan
bertempat tinggal, atau dalam tingkat yang lebih tinggi, mencari nilai sosial,
intelektual, dan spiritual.7 Agama juga yang menjawab penderitaan
eksistensial lahir dan batin dari ketidakpastian, ketidakmampuan, dan
kelangkaan yang dialami manusia sepanjang sejarahnya.8
Meski begitu, manusia nonreligius justru lebih mempercayakan pada
negara sebagai institusi pemerintahan rasional yang dapat membawa manusia
ke kondisi yang lebih baik secara individual ataupun sosial saat ini dan di sini,
meski beberapa di antara manusia religius juga berpendapat serupa. Negara
terbentuk untuk memudahkan rakyat mencapai tujuan bersama salah satunya
kesejahteraan. Keinginan bersama ini dirumuskan dalam suatu dokumen yang
disebut konstitusi. Konstitusi ini merupakan dokumen hukum tertinggi karena
ia juga mengatur bagaimana negara dikelola. Negara seperti inilah yang oleh
Ibnu Khaldun disebut sebagai institusi pemerintahan yang berdasarkan pada
politik rasional.9
Dengan penjelasan di atas tersebut dapat ditarik benang merah bahwa baik
jiwa dan akal sebagai potensi personal maupun negara dan agama sebagai
institusi sosial manusia adalah media yang terbuka bagi manusia untuk
merealisasikan tujuannya, yakni kebahagiaan, baik di dunia ataupun di akhirat.
7Harold H. Titus dkk, Persoalan-Persoalan Filsafat. Penerjemah M. Rasjidi (Jakarta:
Bulan Bintang, 1984), h. 415. 8D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, cet. XVI (Yogyakarta: Kanisius, 2000), h. 31-32. 9A.Rahman Zainuddin, Kekuasaan dan Negara; Pemikiran Politik Ibnu Khaldun (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1992), h. 94-95.
4
“Sekali lagi, itu semua bukanlah suatu teori saja, melainkan kesimpulan empiris, yang tidak ditarik dari dalil spekulatif, tetapi dari pengalaman eksistensial manusia dari zaman ke zaman hingga sekarang ini. Dengan kata lain, berdasarkan fakta-fakta konkret yang digumuli oleh setiap manusia yang hidup dan yang pernah hidup di dunia kita ini. Upaya apa yang telah dilakukan manusia untuk merebut dua jenis kebahagiaan itu. Berdasarkan pengalaman sekarang dan catatan sejarah, manusia melakukan dua jenis usaha raksasa, yaitu usaha religius dan usaha nonreligius.”10 Meski demikian, media tersebut tidak digunakan semestinya atau terjadi
penyimpangan sehingga cita-cita dan tujuan hidup manusia yang
sesungguhnya malah tidak tercapai. Banyak jiwa yang tersesat dan
menyesatkan yang lain dengan mengobarkan kebencian dan permusuhan
kepada sesama manusia karena keberadaannya sebagai penyejuk kehidupan
sudah tidak lagi disadari. Selain itu, akal yang nakal dengan mengklaim
dirinya sebagai tuhan dan melegitimasi aksi kekerasan dengan sewenang-
wenang juga tak sedikit. Tidak heran jika orang yang mengidap sakit jiwa dan
hilang akal semakin mengakar dan menular.
Di Indonesia, kekerasan bahkan dilakukan lebih dari semestinya. Aksi
kriminal atau kejahatan yang tidak pernah absen dari pemberitaan media cetak
maupun elektronik sering berujung pada penghilangan nyawa manusia yang
paling berharga. Perampok yang beralasan bahwa aksinya demi sesuap nasi
sebetulnya tidak perlu memerkosa dan membunuh. Anehnya lagi, fenomena
sakit jiwa ini juga dilakoni orang yang berpendidikan.11 Tidak sedikit juga dari
orang yang dianggap mapan status sosialnya malah kehilangan akal dan
rasionalitasnya lantaran hanya ingin menambah pundi-pundi kekayaan pribadi.
Mereka biasanya melakukan cara-cara instan untuk meraih apa yang
10D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, h. 32. 11“Tawuran Antarpelajar SMK, Satu Siswa Tewas,” Seputar Indonesia, 18 November
2008, h. 27.
5
diinginkan, yakni korupsi. Kita dapat membayangkan berapa ribu jiwa
manusia yang akan menjadi korban pembodohan, pelaparan, dan pemiskinan
akibat prilaku gila ini.
Suguhan berita aksi teror dan pengeboman yang mengakibatkan banyak
nyawa hilang dan lingkungan kita luluh lantak di dalam dan luar negeri juga
tidak luput dari pengetahuan kita. Kualitas dan kuantitasnya bahkan selalu
meningkat dari tahun ke tahun. Banyak motif memang di balik aksi peledakan
bom ini, tapi yang kita saksikan lebih parah dari yang kita duga. Tidak sedikit
dari pelaku terkadang mengatasnamakan agama, yang kita pikir sebagai
pembawa bahagia, bukan luka atau duka. Menurut data International
Terrorism and Political Violence, di berbagai negara pada tahun 1998 terjadi
51 kali peledakan bom (menewaskan 516), tahun 1999 sebanyak 21 kali
(menewaskan 334 orang), dan tahun 2000 sebanyak 49 kali (menewaskan 273
orang).12
Catatan sejarah mengenai kekejaman negara juga tidak luput dari ingatan
kita. Banyak contoh soal ini di antaranya pembantaian terhadap orang-orang
Yahudi yang dilakukan Jerman di bawah kepemimpinan Hitler, invasi
Amerika yang dikepalai George Walker Bush ke Irak hingga terkoyak, dan
penyerangan brutal Zionis Israel terhadap warga sipil Palestina akhir-akhir ini.
Di Indonesia sendiri, saat Orde Baru berkuasa, praktik genosida merebak
hampir di seluruh wilayah Indonesia. Pelenyapan dengan kekerasan terhadap
satu entitas politik yang berhaluan kiri dijadikan alat politik ampuh oleh
pemerintahan Orde Baru. Sungai Brantas-Jawa Timur mungkin menjadi saksi
12Idam Wasiadi, “Teror Bom, Aksi Kekerasan, dan Pencegahannya,” KOMPAS, 14
September 2001.
6
bisu penjejalan ribuan jenazah dan jutaan orang yang menjadi korban
kekerasan karena keyakinan politiknya. Peristiwa Marsinah, Kedung Ombo,
Haur Koneng, Aceh, Irian, Tanjung Priok, Tragedi Semanggi dan Trisakti,
serta sederet kasus-kasus yang lain juga menjadi monumen kekerasan dan
kejahatan politik alat-alat negara yang dipimpin Soeharto.
Di sebuah dunia yang sudah tertata dan terjejaringkan secara global seperti
sekarang ini, ada seribu alasan memang ketika kekerasan-kekerasan tersebut
terjadi salah satunya ideologi. Walaupun sedikit abstrak, ideologi telah
terbukti memberikan sumbangan signifikan bagi merebaknya problem sosial-
politik hingga pada tingkat malapetaka dan bencana kemanusiaan seperti
genosida dan holocaust seperti yang dipaparkan Dr. Helen Fein––direktur
eksekutif sebuah lembaga studi genosida di Kennedy School of Government
Harvard University––dalam sebuah artikelnya di Microsoft Encarta
Encyclopedia (2003). Dia menunjukkan dengan bernas kaitan erat antara
ideologi dan genosida.13
Kekerasan-kekerasan tersebut terjadi di antaranya karena agama dipahami
sebagai ideologi politik kelompok tertentu dan negara dihegemoni oleh satu
ideologi tertentu.14 Misalnya, Islam bagi beberapa kelompok tertentu tidak lagi
dipahami dan dihayati sebagai ajaran moral yang mengajarkan cinta kasih dan
perdamaian, tapi lebih sebagai manifesto untuk capaian-capaian politik
tertentu yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi dan kelompok
dibanding jalan hidup bersama sehingga kekerasan menjadi konsekuensi logis
13Ian Adam, Ideologi Politik Mutakhir; Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa Depannya
(Yogyakarta: Qalam, 2004), h. XV-XVII. 14Francis Fukuyama dan Nadav Samin, “Fasisme, Marxisme, dan Fundamentalisme
Islam,” dalam Ahmad Norma Permata, ed., Agama dan Terorisme (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005), h. 1-4.
7
yang wajib dilakukan agar tujuan tercapai. Selain itu, negara juga akan
berpotensi besar melakukan kekerasan jika didominasi oleh satu ideologi
tertentu seperti yang terjadi pada negara Jerman saat dikuasai oleh ideologi
fasis yang berbaju Nationalsozialismus (Nazi) pimpinan Adolf Hitler atau
Indonesia ketika dipimpin oleh Soeharto dengan ideologi pembangunannya.
Dengan demikian, ideologi yang secara disadari ataupun tidak
memberikan legitimasi terhadap aksi kekerasan dan semakin menghegemoni
sedemikian rupa dalam setiap relung kehidupan, meminjam istilah Antonio
Gramsci mengenai teori hegemoninya, perlu mendapatkan negasinya atau
kontrahegemoni agar dominasi ideologi kekerasan tidak perlu terjadi atau
minimal tidak berkelanjutan. Ada banyak model ideologi memang yang bisa
dijadikan sebagai kontrahegemoni itu salah satunya ideologi antikekerasan
atau ideologi yang dapat melelehkan kekerasan––bukan melawan,
meluluhkan, dan menaklukkan kekerasan.15 Sebuah ideologi yang dapat
mentransformasikan nilai-nilai perdamaian pada realitas keseharian dengan
cara-cara yang adil dan antikekerasan.
Seperti halnya banyak ideologi yang menyimpang dan melahirkan
kekerasan, ternyata tidak sedikit juga ajaran dan tokoh yang teguh
mengajarkan perdamaian dan antikekerasan. Agama-agama dunia, baik yang
kecil maupun yang besar, sejatinya lahir membawa kebenaran untuk
menciptakan perdamaian dunia. Setiap tokoh besar maupun kecil dunia yang
membawa perubahan bagi kemaslahatan semua manusia dan muncul di setiap
15Anand Krishna, “Ahimsa: Senjata Para Pemberani,” artikel diakses pada 22 November
2008 dari http://www.akcbali.org
8
zaman juga sebenarnya mengabarkan cara bagaimana kita memanusiakan diri
kita.
Di abad modern yang diwarnai dua perang dunia besar, kita mengenal
Mahatma Gandhi sebagai sosok yang paling representatif dalam mengabarkan
dan mempraktikkan antikekerasan (ahimsa) dan perdamaian dunia.16 Ada
banyak kearifan dan kebijaksanaan yang bisa diambil dari eksperimen-
eksperimen yang dilakoni Gandhi dengan kebenaran. Keberhasilannya sebagai
seorang pemimpin besar tak terlepas dari keteguhan dan ketangguhannya
memegang prinsip-prinsip kebenaran (satyagraha) serta keterpaduan antara
kata dan perbuatannya. Memberi teladan nyata adalah bagian dari perjuangan
Gandhi. Nilai-nilai gerakan humanis benar-benar dipraktikkannya di tengah-
tengah kemodernan zaman yang perlahan-lahan membelenggu eksistensi
manusia. Gandhi juga sangat fanatik melaksanakan pola hidup sederhana
seperti mencintai produksi dalam negeri (swadesi), bahkan ia yang menenun
kain yang digunakannya.
B. Tinjauan Pustaka
Meski demikian, paparan yang akan dilakukan penulis mengenai
pemikiran Ganhdi ini tidak bisa dipisahkan dari jasa para penulis sebelumnya
yang terlebih dahulu mengulas pemikirannya melalui berbagai tulisan di
antaranya Stanley Wolpert, Thomas Merton, dan I Ketut Wisarja.
Stanley Wolpert adalah seorang sejarawan yang terkenal dengan kekuatan
analisis dan narasinya. Dalam bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa
16Hagen Berndt, Agama yang Bertindak; Kesaksian Hidup dari Berbagai Tradisi
(Yogyakarta: Kanisius, 2006), h. 78.
9
Indoneisa berjudul Mahatma Gandhi: Sang Penakluk Kekerasan, Hidupnya,
dan Ajarannya, Stanley menampilkan Gandhi sebagai manusia biasa, bukan
setengah dewa seperti yang digambarkan oleh murid-muridnya. Stanley juga
memberikan representasi semangat kepribadian Gandhi sejak masa kecil
hingga kematiannya serta kerumitan personalitas yang mengiringi tindakannya
yang melahirkan kemerdekaan India. Sementara Thomas Merton, dengan
bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Gandhi
tentang Pantang Kekerasan, mengumpulkan petikan-petikan tulisan Gandhi
dalam Non-Violence In Peace and War khusus mengenai falsafah perjuangan
pantang kekerasan. Sedangkan I Ketut Wisarja, dengan bukunya berjudul
Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan, melakukan penelitian tentang
konsepsi masyarakat menurut Gandhi. Bangunan dasar masyarakat ini adalah
masyarakat tanpa kekerasan yang mengamalkan prinsip-prinsip etik yang
diterapkan dalam komunitas yang dinamai Gandhi sebagai ashram.
Namun, ulasan yang akan dilakukan penulis di sini tentunya berbeda
dengan para penulis tersebut karena objek kajian di sini merupakan konsepsi
ideologi antikekerasan menurut Ganhdi.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Kajian mengenai kekerasan dan antitesisnya dipandang perlu agar
tergambar secara menyeluruh meskipun penulisan di sini hanya akan
membatasi dan memfokuskan pada kajian tentang antikekerasan Gandhi dari
sudut pandang ideologi. Lantaran konsep ideologi antikekerasan Gandhi akan
tergambar dengan jelas jika kita sebelumnya dapat mengetahui definisi
10
ideologi, mengenal sosok Gandhi, dan memahami ajaran antikekerasan, kajian
ini akan fokus pada paparan atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan dasar
yang penulis rumuskan. Pertanyaan itu: Apakah ideologi? Siapakah Gandhi?
Serta bagaimanakah antikekerasan yang diajarkan Gandhi?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Menampilkan sisi lain wajah ideologi yang selama ini dipandang negatif
2. Memperkenalkan wacana kekerasan dan antikekerasan
3. Mencoba merekonstruksi tujuan hidup manusia melalui kearifan Gandhi
4. Mengabarkan nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian
5. Memenuhi persyaratan memperoleh gelar sarjana (S-1)
Manfaat penelitian ini sebagai berikut:
1. Menjadi ideologi alternatif di tengah ideologi-ideologi besar yang kadang
melegitimasi aksi kekerasan
2. Memberikan landasan logis bagi para pejuang perdamaian dan
antikekerasan
3. Melahirkan gerakan sosial yang dapat melelehkan kekerasan
E. Metode Penelitian
Model analisis kualitatif sengaja dipilih dalam penulisan ini sebab model
ini lebih bertumpu pada kajian kepustakaan (library research) dan terfokus
pada tipe penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif yang
dimaksud adalah bentuk penelitian yang memberi gambaran secermat
11
mungkin mengenai suatu masalah, individu, keadaan, gejala, dan kelompok
tertentu.17 Penelitian ini akan menekankan pada pemberian gambaran secara
objektif tentang keadaan sebenarnya dari objek yang diselidiki.
Penulisan ini menggunakan metode pengumpulan dan analisis data yang
dapat dipercaya keakuratannya baik berupa buku, majalah, maupun artikel
ilmiah. Data-data primer maupun sekunder tersebut tentunya hasil seleksi dan
berhubungan dengan objek penelitian. Data primer di antaranya Mohandas
Karamchand Gandhi, Mahatma Gandhi; Sebuah Autobiografi, Kisah tentang
Eksperimen-Eksperimen Saya terhadap Kebenaran, cet. I. Penerjemah Andi
Tenri W (Yogyakarta: Nasari, 2009); Mohandas Karamchand Gandhi, Non-
Violence in Peace and War, Volume I (Ahmedabad: Navajivan Publishing
House, 1942); Mohandas Karamchand Gandhi, Non-Violence in Peace and
War, Volume II (Ahmedabad: Navajivan Publishing House, 1949); dan
Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara: Kehidupan dan
Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, cet. II.
Penerjemah Kustiniyati Mochtar (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991).
Sedangkan data sekunder di antaranya Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi:
Sang Penakluk Kekerasan, Hidupnya, dan Ajarannya. Penerjemah Sugeng
Hariyanto, dkk (Jakarta: Murai Kencana, 2001); Thomas Merton, ed., Gandhi
on Non-Violence: A Selection from the Writings of Mahatma Gandhi (Gandhi
tentang Pantang Kekerasan). Penerjemah A. M. Fatwan Hasan Basari
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992); I Ketut Wisarja, Gandhi dan
Masyarakat Tanpa Kekerasan (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005); Bagus
17Koentjoroningrat, Metode Penelitian Masyarakat (Jakarta: Gramedia, 1989), h. 30.
12
Takwin, Akar-Akar Ideologi; Pengantar Kajian Konsep Ideologi dari Plato
hingga Bourdieu (Yogyakarta: Jalasutra, 2003); Jorge Larrain, Konsep
Ideologi. Penerjemah Ryadi Gunawan (Yogyakarta: LKPSM, 1996); John B.
Thomson, Analisis Ideologi; Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia.
Penerjemah Haqqul Yaqin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2003); dan Louis
Althusser, Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultural
Studies. Penerjemah Olsy Vinoli Arnof (Yogyakarta: Jalasutra, 2008).
Di samping mengungkapkan fakta seobjektif mungkin, penulisan ini juga
berupaya memberikan interpretasi guna mendapatkan manfaat yang lebih luas.
Interpretasi terhadap sumber-sumber data yang diperoleh terkait fokus analisis
akan dilakukan. Dengan demikian, model analisis ini juga mencoba untuk
mengangkat hubungan dialektis antara teks sebagai sumber informasi dan
wacana konteks yang terbangun di balik teks tersebut sehingga tercipta
pemahaman yang holistik.
Penulisan ini juga mengacu pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah
(Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan CeQDA UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, cet I, 2007 serta buku karya Dr. Anton Bakker dan Drs.
Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1990).
F. Sistematika Penulisan
Penulisan ini akan membagi pembahasan ke dalam lima bab yakni
pendahuluan, ideologi, biografi Gandhi, antikekerasan Gandhi, serta punutup.
Bab pendahuluan akan mengungkap secara argumentatif latar belakang
13
masalah, tinjauan pustaka, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab
ideologi akan menginvestigasi secara kronologis dan filosofis kajian tentang
ideologi baik akar, definisi, maupun kerjanya. Bab biografi Gandhi akan
mendeskripsikan secara naratif kehidupan Gandhi sebagai pribadi, akademisi,
dan politisi.
Sementara bab antikekerasan Gandhi akan memaparkan dan
mengelaborasi konsepsi dan pemahaman antikekerasan menurut Gandhi dari
tiga dimensi yaitu filosofis, teologis, dan politis. Antikekerasan secara
filosofis akan dimaknai sebagai ahimsa, satyagraha, dan swadesi.
Antikekerasan secara teologis akan diyakini sebagai manifestasi kebenaran
sejati, ajaran cinta manusia, dan realisasi kehidupan surgawi di dunia.
Antikekerasan secara politis akan dipahami sebagai tujuan sekaligus jalan
hidup manusia, mahatma diri atau proses penyempurnaan jiwa dan akal, dan
harmoni kuasa atau penyeimbang segala relasi yang ada baik personal maupun
struktural. Sedangkan bab penutup akan menyajikan kesimpulan, saran, dan
harapan.
14
BAB II
IDEOLOGI
A. Akar Ideologi
Ideologi adalah satu dari sekian banyak konsep yang paling ekuivokal
(meragukan) dan elusif (sukar ditangkap), tidak hanya karena beragamnya
pendekatan teoritis yang menunjuk arti dan fungsi yang berbeda-beda, tetapi
juga karena ideologi adalah konsep yang sarat dengan konotasi politik dan
digunakan secara luas dalam kehidupan sehari-hari dengan makna yang
beragam.
Istilah ideologi pertama kali digunakan oleh Antoine Desttut de Tracy
(1754-1836) pada abad ke-18. Akar-akar pengertiannya dapat ditarik jauh ke
belakang pada Francis Bacon (1561-1626), Niccolo Machiavelli (1469-1520),
bahkan Plato (429-347). Meskipun pembahasan tentang ideologi diduga sudah
dilakukan oleh Machiavelli dan Bacon, namun de Tracy secara tegas
menyebut ideologi dalam pembahasannya dan mencoba menggarapnya secara
sistematis. Tracy-lah yang dianggap memiliki jasa yang amat besar dalam
kajian ideologi sistematis. Ia hampir selalu disinggung dalam literatur-literatur
ideologi.1
Pengertian tentang ide dapat dirunut asalnya ke konsep idea dan “dunia
idea” Plato, filsuf besar Yunani yang hidup di abad ke-3 SM. Idea di “dunia
idea” dalam pandangan Plato merupakan kebenaran sejati, rujukan bagi
benda-benda yang ada di dunia fisik yang ditempati manusia sekarang. Bagi
dia, idea merupakan sesuatu yang objektif, terlepas dari subjek yang berpikir.
1Jorge Larrain, Konsep Ideologi (Yogyakarta: LKPSM, 1996), h. 7.
15
Idea tidak diciptakan oleh pemikiran. Idea juga tidak bergantung pada
pemikiran. Sebaliknya, pemikiranlah yang bergantung pada idea. Karena ada
idea yang berdiri sendiri, pemikiran kita dimungkinkan. Pemikiran itu tidak
lain daripada menaruh perhatian kepada idea.2 Sementara logos dalam bahasa
Yunani juga mempunyai arti yang lebih luas daripada kata “rasio”. Logos
berarti baik kata (tuturan, bahasa) maupun juga rasio. Namun, kita dapat
menerjemahkan logos dengan “rasio” jika dipertentangkan dengan kata
mythos. Pada abad ke-6 logos merupakan suatu pendekatan yang sama sekali
baru. Sejak saat itu orang mulai mencari jawaban-jawaban rasional tentang
problem-problem yang diajukan alam semesta. Logos (akal budi, rasio)
menggantikan mythos. Dengan demikian filsafat dilahirkan.3
Pengertian ideologi sebagai kebenaran sejati menjadi dasar ideologi dalam
arti positif yang secara kasar dapat disimpulkan sebagai seperangkat nilai dan
aturan atau hukum yang dipercaya dapat membantu manusia menjalani
hidupnya. Pendekatan ini menekankan bahwa manusia tinggal menganut nilai
dan mengikuti aturan-aturan itu agar dapat menjalani hidupnya dengan baik.4
Istilah idea dari Plato yang merujuk pada pengertian kebenaran sejati dari
“dunia idea” digunakan oleh Aristoteles dengan pengertian lain. Idea menurut
Aristoteles berarti “representasi mental (dalam benak) dari sesuatu yang ada
pada kenyataannya”. Di sini idea berarti konsep atau gagasan. Untuk
membedakan dari istilah idea dalam pengertian Plato, digunakan istilah “ide”
saja untuk merujuk pada pengertian menurut Aristoteles.5
2K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, h. 129. 3Ibid., h. 22. 4Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi (Yogyakarta: Jalasutra Yogyakarta, 2003), h. 12. 5Ibid., h. 14.
16
Meskipun menganggap badan sebagai hal yang penting pada manusia,
Aristoteles juga memandang pikiran (benak) yang menjadi tempat terbaik bagi
pengetahuan yang benar. Ide-ide yang benar ada dalam pikiran diperoleh dari
proses inderawi yang diabstraksi mengikuti metode berpikir yang sekarang
kita kenal dengan nama logika. Kesalahan proses informasi yang tidak
mengikuti logika akan menghasilkan pengetahuan yang salah karena ide yang
terbentuk salah pula. Ide dan pengetahuan yang salah ini kemudian
membentuk kesadaran yang salah atau dalam istilah Marx adalah “kesadaran
palsu” (false consciousness).6
Sementara Karl Mannheim lebih melihat asal-usul istilah dan kajian
ideologi bermula dari konsep idola Francis Bacon.7 Bacon dalam usahanya
menerapkan metode induksi dalam ilmu pengetahuan menggunakan konsep
idola yang merujuk pada hal-hal irasional yang mengaburkan pikiran manusia.
Idola dapat diartikan sebagai “bayang-bayang” atau “prasangka-prasangka”.
Kesamaan pengertian antara konsep idola dari Bacon dengan konsep ideologi
modern dalam pengertian Marxian adalah keduanya sama-sama merupakan
sumber kesesatan.8 Bacon mengelompokkan hal-hal irasional itu menjadi
empat golongan : 1) idola terhadap bangsa (idola tribus), yaitu kecenderungan
untuk menerima begitu saja berbagai proposisi dengan alasan
mempertahankan nilai adat dan kepercayaan mistis; 2) idola terhadap
gua/penjara (idola specus), yaitu kecenderungan untuk menerima realitas
begitu saja dan tidak bisa bersikap kritis; 3) idola terhadap pasar (idola fori),
6Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Mark: Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan
Revisionisme (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999), h. 121-125. 7Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi, h. 41. 8Jorge Larrain, Konsep Ideologi, h. 121-122.
17
yaitu kecenderungan untuk terpengaruh oleh opini publik (gosip) yang pada
masa Bacon biasa diajukan di pasar; dan 4) idola terhadap teater (idola
theatri), yaitu kecenderungan untuk menerima begitu saja teori-teori dan
dogma-dogma tradisional.9
B. Definisi Ideologi
Dari asal katanya, ideologi dapat dipecah menjadi kata idea (ide/gagasan)
dan logos (studi/ilmu) dalam bahasa Yunani. Secara harfiah dan sebagaimana
digunakan dalam metafisika klasik, ideologi merupakan ilmu pengetahuan
tentang ide-ide atau studi tentang asal-usul ide-ide. Dalam penggunaan
modern, ideologi mempunyai arti pejoratif (negatif/jelek) sebagai teorisasi
atau spekulasi dogmatik dan khayalan kosong yang tidak betul atau tidak
realistis, bahkan palsu dan menutup-nutupi realitas yang sesungguhnya.
Sementara dalam arti melioratif, ideologi adalah setiap sistem gagasan yang
memelajari keyakinan-keyakinan dan hal-hal ideal filosofis, ekonomis, politis,
dan sosial.10
Dalam konteks kelompok atau masyarakat, ideologi seringkali digunakan
sebagai dasar bagi usaha pembebasan manusia. Dalam hal ini, ideologi
memiliki pengertian sebagai sekumpulan gagasan yang menjadi panduan bagi
sekelompok manusia dalam bertingkah laku mencapai tujuan tertentu. Dengan
cara menurunkan gagasan-gagasan dalam ideologi menjadi sejumlah kerangka
aksi dan aturan-aturan tindakan, sekelompok manusia bertindak membebaskan
diri dari sesuatu yang dipersepsi sebagai kekangan atau penindasan. Ideologi
9Simon Petrus L. Tjahjadi, Sejarah Filsafat Barat Modern (Jakarta: Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, 1999), h. 18.
10Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000), h. 306.
18
memberi arah bagi gerakan pembebasan. Ideologi menjadi keyakinan (belief)
bagi kelompok itu. Dalam makna ideologi sebagai acuan manusia, terjadi pula
pertarungan antarideologi. Pertarungan antarkelas merupakan contoh
pertarungan antarideologi. Begitu juga pertarungan antarpartai politik serta
pertarungan antardua negara.11
Selain itu, ada pula kelompok manusia yang memandang pembebasan
manusia sebagai upaya pembebasan dari ideologi. Di sini ideologi dipandang
sebagai sesuatu yang negatif. Contohnya pandangan Karl Marx yang menilai
ideologi sebagai kesadaran palsu yang memutarbalikkan realitas.12 Konotasi
negatif dari istilah ideologi pertama kali digunakan oleh Napoleon yang
kecewa atas perlakuan teman-temannya yang tidak setuju dengan tindakan-
tindakan lalimnya selama ia menjadi penguasa Prancis. Napoleon memusuhi
teman-temannya itu dan menamakan mereka kaum “idologues” dengan arti
merendahkan bahwa mereka adalah intelektual-intelektual yang doktriner dan
tidak realistis. Di sini terkandung pengertian bahwa istilah ideologis
diterapkan pada mereka yang menempatkan tujuan-tujuan ideal tanpa
mempertimbangkan kepentingan-kepentingan material yang dibutuhkan
masyarakat.13
Pertentangan antara Napoleon dan teman-temannya yang disebut
“ideologues” ini memberi konotasi politis pada makna ideologi, serta
ditambah lagi dengan keterlibatan de Tracy dalam politik. Keterlibatan de
Tracy ini, serta ambisinya untuk menyebarkan ideologi sebagai ilmu,
11Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003), h. 142-
143. 12Jorge Larrain, Konsep Ideologi, h. 49. 13Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi, h. 45.
19
memengaruhi persepsi banyak pihak pada masa itu terhadap makna ideologi.
Ideologi mengalami perubahan makna dari sekadar ilmu tentang ide-ide yang
netral menjadi suatu aliran atau paham tersendiri. Di sini makna ideologi tidak
lagi netral. Bagi pendukung de Tracy dan orang-orang yang bertentangan
dengan Napoleon, ideologi memiliki makna positif. Akan tetapi, bagi para
pendukung Napoleon dan lawan politik de Tracy, ideologi memiliki arti
negatif seperti yang dimaksudkan oleh Napoleon.14
Mannheim juga menggambarkan tiga golongan distorsi ideologi. Pertama,
dia menganggap perilaku etik yang cacat “jika diorientasikan dengan norma,
dalam lingkungan sejarah tertentu, bahkan dengan maksud terbaik yang tidak
dapat terpenuhi”.15 Sifat ideologis dari teori itu dibuktikan bilamana kategori
yang ada mencegah manusia menyesuaikan diri dengan periode sejarah.
Contoh yang dikemukakan Mannheim adalah norma yang melarang
meminjam dengan suku bunga. Norma ini hanya dapat bekerja dalam
masyarakat tradisional karena dalam periode kapitalisme praktik tersebut tidak
dapat diterima. Jenis distorsi kedua mempunyai tempat berlindung kepada hal-
hal yang absolut dan ideal untuk menutupi hubungan-hubungan yang
sesungguhnya. Sebagaimana ketika kita menciptakan “mitos-mitos”, memuja-
muja “kebesaran sendiri”, mengaku setia kepada “cita-cita”, selagi kelakuan
kita yang sebenarnya mengikuti kepentingan lain yang kita coba sembunyikan
dengan berpura-pura adil secara tak sadar. Jenis distorsi ideologis yang ketiga
timbul bilamana bentuk pengetahuan tidak lagi cukup untuk memahami dunia
yang sebenarnya, seperti ketika pemilik tanah yang mengurus estate
14Ibid., h. 45-46. 15Karl Mannheim, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik
(Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 84.
20
(perkebunan)-nya dengan cara kapitalistis mendesak untuk menyatakan secara
tegas kategori patriarkal dalam menggambarkan hubungan dengan para
pekerja.16
Sementara itu, Bagus Takwin sampai pada kesimpulan bahwa mereka
yang menganggap ideologi sebagai seperangkat nilai dan aturan tentang
kebenaran yang dianggap terberi, alamiah, universal, dan menjadi rujukan
bagi tingkah laku manusia juga dapat dimasukkan dalam kelompok aliran
rasionalisme-idealis. Di sini ideologi memiliki arti yang positif. Sedangkan
ideologi sebagai studi yang mengkaji bagaimana ide-ide tentang berbagai hal
diperoleh manusia dari pengalaman serta tertata dalam benak untuk kemudian
membentuk kesadaran yang memengaruhi tingkah laku. Berdasarkan kategori
aliran, para penganut aliran ini dapat digolongkan dalam kelompok aliran
empirisme-realis. Dalam pengertian ini, ideologi dapat bernilai negatif
maupun positif bergantung pada ide-ide apa yang berpengaruh dan bagaimana
akibatnya terhadap kehidupan manusia.17
Dalam perkembangannya ideologi juga memiliki banyak arti sesuai
disiplin ilmunya. Pertama, ideologi sebagai suatu ilmu tentang ide-ide yang
berambisi memisahkan pengetahuan dari metafisika dan agama serta
kepercayaan-kepercayaan lainnya (pengertian dari Condilac dan de Tracy
masuk di sini).18 Kedua, ideologi sebagai kesadaran palsu yang menyebabkan
manusia mengalami distorsi dalam menangkap dan memahami realitas (Marx
dan beberapa penerusnya termasuk dalam kelompok pengertian ini).19 Ketiga,
16Ibid., h. 86. 17Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi, h. 9-10. 18Ibid., h. 43-44. 19Ibid., h. 66-86.
21
ideologi sebagai suatu ketidaksadaran yang tertanam sangat dalam pada diri
setiap manusia sebagai akibat dari adanya berbagai struktur. Pengertian ketiga
dibedakan menjadi dua, yaitu pemikiran yang menyatakan ideologi
sepenuhnya menentukan manusia (Althusser)20 di satu sisi dan ideologi
sebagai pembatas, bukan penentu, di sisi lainnya (Bourdieu).21 Pengertian
keempat dari ideologi menunjukkan ideologi sebagai konstruksi linguistik.
Pengertian keempat pun dibagi dua : 1) ideologi yang tertanam melalui proses
semiotik yang mempengaruhi bahasa dan kesadaran manusia, seperti yang
dikemukakan Voloshinov; dan 2) ideologi yang dibentuk oleh proses
pemaknaan tanda yang dibekukan, seperti yang dikemukakan Barthes.22
Franz Magnis-Suseno membagi ideologi menjadi tiga macam yakni
ideologi dalam arti penuh, ideologi terbuka, dan ideologi implisit.23 Sebagai
contoh ideologi dalam arti penuh atau lengkap dapat diambil Marxisme-
Leninisme.24 Teori seperti Marxisme-Leninisme merupakan ideologi dalam
arti sepenuh-penuhnya yaitu ajaran atau pandangan dunia atau filsafat sejarah
yang menentukan tujuan-tujuan dan norma-norma politik-sosial, yang diklaim
sebagai kebenaran yang tidak boleh dipersoalkan lagi, tapi yang sudah dan
harus dituruti. Ideologi dalam arti sepenuhnya juga disebut ideologi tertutup.
20Louis Althusser, Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis, Cultur Studies
(Yogyakarta: Jalasutra, 2008), h. 35-63. 21Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi, h. 133-137. 22Ibid., h. 119-125. 23Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Mark, h. 232. 24Marxisme-Leninisme adalah sebuah teori [1] tentang hakikat relitas seluruhnya [sebuah
teori metafisika berisi materialisme dialektis dan ateisme], [2] tentang makna sejarah [bahwa sejarah menuju ke masyarakat tanpa kelas], [3] yang memuat norma-norma ketat tentang bagaimana masyarakat harus ditata [secara “sosialis”, tanpa hak milik pribadi, seluruh kehidupan masyasrakat ditetapkan langsung oleh negara, jadi totaliter], bahkan tentang bagaimana individu harus hidup [tentang gaya rekreasinya, tantang karya seni yang boleh dan tidak boleh, tentang bentuk pendidikan, tentang tidak diperbolehkannya pelajaran agama, tentang apa yang boleh dan tidak boleh dibaca dsb], yang pada hakikatnya melegitimasikan monopoli kekuasaan sekelompok orang [partai komunis] di atas masyarakat.
22
Salah satu ciri khas ideologi tertutup adalah bahwa dia tidak diambil dari
masyarakat, tapi merupakan pikiran sebuah elit yang harus dipropagandakan
dan disebarkan kepada masyarakat.25
Sementara Belanda, Italia, Republik Federasi Jerman, dan cukup banyak
negara “demokrasi Barat” lainnya mendasarkan penyelenggaraan kehidupan
masyarakat pada nilai-nilai dan cita-cita tertentu tentang martabat manusia
serta pada sedaftar hak-hak asasi manusia [yang termuat dalam undang-
undang dasar negara-negara itu]. Cita-cita etika politik semacam itu bersifat
terbuka dalam arti bahwa mereka mengizinkan pelbagai pengejewantahan.
Cita-cita itu menjamin kebebasan masyarakat untuk menentukan
kehidupannya sendiri, kebebasan beragama dan berpandangan berpolitik.
Dalam bahasa logika, cita-cita itu bersifat limitatif dan bekerja melalui
falsifikasi.26 Cita-cita itu tidak dibebankan dari luar kepada masyarakat,
melainkan diangkat daripadanya, jadi berupa cita-cita masyarakat sendiri yang
disepakati harus dibela. Maka motivasi untuk mengikuti cita-cita itu tidak
perlu dipacu, apalagi dipaksakan, karena dengan sendirinya diminati oleh
masyarakat. Rumusan cita-cita semacam itu dalam sebuah “falsafah negara”
dapat saja disebut “ideologi terbuka”. Ia terbuka karena hanya mengenai
orientasi dasar, sedangkan penerjemahannya ke dalam tujuan-tujuan dan
norma-norma politik-sosial selalu dapat dipertanyakan dan disesuaikan
dengan prinsip-prinsip moral dan cita-cita masyarakat lainnya.
25Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Mark, h. 233. 26Artinya: menetapkan batas-batas kebebasan; asal tetap batas-batas itu, misalnya selama
tidak melanggar hak-hak asasi orang lain dan taat pada hukum, orang bebas menentukan kehidupannya.
23
Semua ideologi di atas memiliki satu ciri bersama yakni merupakan cita-
cita dan nilai-nilai yang secara eksplisit dan verbal dirumuskan, dipercayai,
dan diperjuangkan. Secara historis ideologi-ideologi eksplisit itu baru muncul
bersamaan dengan zaman modern yang ditandai oleh rasionalisme dan
sekulerisasi [rupa-rupanya masyarakat memahami seluruh kehidupannya
melalui kacamata agama, belum ada ruang di mana ideologi-ideologi dapat
muncul].27
Namun, di zaman tradisional pun masyarakat memiliki keyakinan-
keyakinan tentang hakikat realitas serta bagaimana manusia harus hidup di
dalamnya. Meskipun keyakinan-keyakinan itu sering hanya implisit, jadi tidak
dirumuskan dan diajarkan, tapi keyakinan-keyakinan itu meresap dalam
seluruh gaya hidup, merasa, dan berpikir, bahkan beragama masyarakat [dan
dapat digali melalui analisa sastra, tulisan, dll masyarakat itu]. Cita-cita dan
keyakinan-keyakinan tidak eksplisit itu sering ada segi ideologisnya karena
mendukung tatanan sosial yang ada, jadi memberikan legitimasi kepada
kekuasaan sebuah kelas atau lapisan sosial atas kelas-kelas sosial lainnya.
C. Kerja Ideologi
Ada beberapa pendapat tentang bagaimana sebuah ideologi menyebar dan
bekerja dalam memengaruhi tingkah laku manusia. Pendapat-pendapat itu
saling melengkapi. Di sini dikemukakan strategi-strategi yang diajukan oleh
Terry Eagleton (1991) dan John B. Thompson (1990). Menurut Terry
Eagleton (1991), strategi penyebaran ideologi terdiri atas rasionalisasi,
27Ibid., h. 236.
24
universalisasi, dan naturalisasi. Rasionalisasi adalah usaha untuk memberikan
argumentasi-argumentasi yang seakan-akan rasional dan diusahakan tersusun
selogis mungkin bagi gagasan-gagasan yang terkandung dalam ideologi.
Universalisasi adalah usaha menampilkan gagasan-gagasan yang diklaim
berlaku universal dan diberlakukan di mana-mana. Naturalisasi merupakan
usaha untuk menampilkan sebuah ideologi atau kepercayaan sebagai sesuatu
yang tampak alamiah.28
Pada umumnya strategi ideologi berfungsi untuk mempertahankan
kekuasaan. Pihak yang berkuasa cenderung mempertahankan dominasinya
terhadap pihak yang dikuasai. Berbagai kajian ideologi menunjukkan ada
persinggungan antara makna dan dominasi dalam persoalan ideologi. Berbagai
makna yang terkandung dalam ideologi disebar sedemikian rupa dan
diinternalisasi kepada pihak-pihak yang terkait dengan upaya dominasi
terhadap pihak-pihak tertentu.
Bagaimana makna dapat berfungsi untuk membentuk dan
mempertahankan hubungan dominasi? Thompson (1990) menyebutkan lima
modus dari cara ideologi beroperasi untuk mempertahankan suatu dominasi
melalui penyebaran dan penularan makna. Lima modus umum itu terdiri atas
(1) legitimasi (legitimation), (2) disimulasi (dissimulation), (3) unifikasi
(unification), (4) fragmentasi (fragmentation), dan (5) reifikasi (reification).
Tiap modus umum ini memiliki strategi-strategi khusus untuk mengonstruksi
makna-makna. Konstruksi simbolik ini kemudian bertahan dan menetap
sebagai pelanggeng dominasi.29
28Bagus Takwin, Akar-Akar Ideologi, h. 147. 29Ibid., h. 148.
25
Penjelasan Thompson (1990) tentang modus operandi serta strategi
penyebaran dan pengukuhan ideologi lebih rinci dibanding penjelasan
Eagleton (1991). Yang dikemukakan Eagleton hanyalah sebagian dari yang
dikemukakan oleh Thompson. Tabel berikut ini menunjukkan strategi-strategi
yang digunakan pada masing-masing modus umum dapat pengoperasian
ideologi merujuk pada Thompson (1990). Masing-masing modus umum itu
akan dijelaskan lebih rinci pada bagian berikut ini.30
Modus Operandi dan Strategi Penyebaran Ideologi
Modus Umum Strategi Konstruksi Simbolik
Legitimasi
(Legitimation)
Rasionalisasi (Rationalization)
Universalisasi (Universalization)
Narativisasi (Narrativization)
Disimulasi
(Dissimulation)
Pemindahan (Displacedment)
Euphemisasi (Euphemization)
Trope, seperti: sinekdot (synecdoche),
metonimi (metonymy), metafora
(metaphor)
Unifikasi
(Unification)
Standardisasi (Standardization)
Simbolisasi kesatuan (Symbolization of
unity)
Fragmentasi
(Fragmentatio)
Diferensiasi (Differentiation)
Penolakan “yang lain” (Expurgation of
the other)
30Ibid., h. 149.
26
Reifikasi
(Reification)
Narturalisasi (Naturalization)
Eternalisasi (Eternalization)
Nominalisasi (Nominalization)
Pasifisasi (Passivization)
Legitimasi
Konsep legitimasi dalam kaitannya dengan hubungan dominasi secara
jelas dikemukakan oleh Max Weber. Max Weber (dalam Thompson, 1990)
menyatakan bahwa hubungan dominasi yang dibentuk dan dipertahankan
harus memiliki legitimasi, dalam arti memiliki kesan bahwa hubungan
dominasi itu secara sosial dipandang sebagai sesuatu yang baik dan layak
didukung. Penilaian terhadap hubungan dominasi itu bisa didasari oleh aspek
hukum, politik, moral, religius, budaya, atau keseluruhan aspek tersebut.
Klaim atas legitimasi dapat diekspresikan dalam strategi-strategi konstruksi
simbolik tertentu yang mencakup:
Rasionaliasi, strategi konstruksi simbolik yang membentuk
serangkaian penalaran yang cenderung mempertahankan atau membenarkan
sebuah hubungan sosial atau lembaga sehingga dapat mempengaruhi orang
lain untuk mendukungnya.
Universalisai, strategi konstruksi yang berusaha menjadikan susunan
kelembagaan yang melayani interest sekelompok orang sebagai sesuatu yang
seolah-olah melayani interest semua orang. Susunan kelembagaan ini
ditampilkan terbuka bagi semua orang yang memiliki kemampuan dan
keinginan berhasil di dalamnya.
27
Narativisasi, strategi konstruksi untuk menghasilkan klaim-klaim akan
legitimasi di dalam kerangka cerita/narasi yang di dalamnya masa lalu dan
masa kini ditampilkan seolah-olah bagian dari tradisi yang abadi dan agung.
Tradisi-tradisi seringkali diciptakan untuk membentuk sense of belonging
dalam satu komunitas dan sejarah bersama sehingga mengatasi dan
melampaui pengalaman konflik, perbedaan, dan perpecahan.
Disimulasi
Secara umum disimulasi merupakan usaha mendistorsi atau mengubah
realitas dengan cara mengaburkan, menyembunyikan, menutup-nutupi realitas
atau memberi pemaknaan lain bagi realitas. Dengan disimulasi, hubungan
dominasi dapat dibentuk dan dipertahankan. Realitas disembunyikan,
disangkal, dikaburkan, dan direpresentasikan sedemikian rupa sehingga
mengalihkan perhatian dari kondisi yang sesungguhnya. Disimulasi dapat
dicapai dengan strategi:
Pemindahan, strategi untuk mengalihkan perhatian dari satu objek ke
lain objek sehingga konotasi positif atau negatif yang ada pada objek pertama
beralih kepada objek kedua. Objek di sini merujuk pada semua hal yang dapat
dipersepsi oleh manusia dalam kenyataan.
Euphemisasi/penghalusan, strategi yang digunakan untuk memaparkan
atau memaparkan ulang tindakan, lembaga, atau hubungan sosial sehingga
menimbulkan kesan positif. Dengan strategi ini, sesuatu yang buruk dapat
diperhalus sedemikian rupa sehingga kesan negatifnya hilang berganti dengan
kesan positif.
28
Trope, strategi yang menggunakan bahasa figuratif, seperti: sinekdot
(pergeseran semantik antara bagian dan keseluruhan), metonimi (penggunaan
bentuk simbolik yang mewakili karakteristik dari suatu hal untuk memaknai
hal itu sendiri), dan metafora (penerapan suatu bentuk simbolik pada suatu
objek atau tindakan). Bentuk-bentuk simbolik itu sesungguhnya tidak sesuai
secara literal dengan kenyataan. Bentuk-bentuk simbolik itu ditampilkan
sedemikian rupa sehingga kesan positifnya tertampil jelas, sedangkan makna-
makna dan efek-efek negatifnya tertutupi.
Univikasi
Univikasi secara umum merupakan usaha untuk menyatukan proses dan
hasil pemaknaan terhadap realitas. Hubungan dominasi dapat dibentuk serta
dipertahankan dengan cara membentuk suatu kesatuan pada tingkat simbolik
(kesatuan pemahaman makna) dalam suatu identitas kolektif tanpa
menghiraukan perbedaan dan perpecahan yang ada. Unifikasi dapat dicapai
dengan beberapa strategi:
Standardisasi, strategi yang kegiatannya terdiri atas usaha-usaha
penyesuaian bentuk-bentuk simbolik pada kerangka standar/baku yang
dianggap milik bersama dan dipandang sebagai dasar pertukaran simbolik.
Simbolisasi kesatuan, strategi yang berupa konstruksi simbol-simbol
kesatuan, identitas kolektif, dan identitas kolektif yang mengatasi kelompok
atau pluralitas kelompok-kelompok.
29
Fragmentasi
Secara umum fragmentasi merujuk pada semua aktivitas memecah-mecah
suatu hal menjadi beberapa bagian. Hubungan dominasi dapat dibentuk dan
dipertahankan dengan cara memecah-mecah individu-individu atau kelompok-
kelompok yang menentang kelompok dominan. Bentuk lain dari fragmentasi
adalah mengarahkan kekuatan dari kelompok oposisi ke sasaran yang
diproyeksikan sebagai sesuatu yang jahat, berbahaya, dan mengancam.
Fragmentasi dapat dicapai dengan strategi:
Diferensiasi, strategi konstruksi simbolik yang menekankan perbedaan
antarindividu atau antarkelompok serta memusatkan pada karakteristik yang
memecah-mecah mereka agar tidak menentang sistem sosial yang ada.
Penolakan terhadap “yang lain”, strategi konstruksi dengan
menggambarkan sebuah kelompok sebagai kelompok yang jahat, berbahaya,
dan mengancam sehingga individu-individu secara kolektif melawan atau
menolaknya. Secara awam, strategi ini dapat disamakan dengan aktivitas
menciptakan musuh bersama.
Reifikasi
Secara umum reifikasi dapat diartikan sebagai kegiatan merepresentasi
suatu kondisi yang bersifat sementara sebagai kondisi yang permanen dan
alamiah. Istilah reifikasi ini merujuk pada konsep ideologi dari Lukacs.
Hubungan dominasi dapat dibentuk dan dipertahankan dengan cara
merepresentasikan suatu kondisi yang bersifat sementara atau historis dengan
gambaran seolah-olah bersifat permanen dan alamiah. Reifikasi dapat tercapai
dengan strategi:
30
Naturalisasi, strategi konstruksi simbolik yang menggambarkan suatu
kondisi historis dan sosial sebagai kondisi alamiah atau hasil dari proses
alamiah.
Eternalisasi, strategi konstruksi simbolik yang menghilangkan aspek
historis dari suatu gejala sosio-historis sehingga gejala itu dapat digambarkan
sebagai suatu yang permanen, tidak dapat berubah, dan selalu berulang.
Nominaslisasi, strategi konstruksi simbolik dengan mengubah kalimat-
kalimat atau bagian dari kalimat yang merujuk pada tindakan atau individu-
individu yang terlibat dalam tindakan menjadi kata benda yang terkesan
netral.
Pasifisasi, strategi konstruksi simbolik yang mengubah kalimat aktif
menjadi kalimat pasif. Nominalisasi dan pasifisasi merupakan konstruksi
simbolik yang menghilangkan tanggung jawab sang pelaku tindakan (agent)
dan merepresentasikan suatu proses dengan benda (thing).31
31Ibid., h. 149-155.
31
BAB III
BIOGRAFI GANDHI
A. Riwayat Pribadi
Salah satu founding father bangsa India ini memiliki nama lengkap
Mohandas Karamchand Gandhi. Lelaki yang identik dengan kacamata bulat
dan kain putih melilit di tubuhnya yang kurus kering, kepala botak, serta kaki
yang tak beralas, ini lahir pada 2 Oktober 1869 di Porbandar, Kathiawad,
Gujarat, dari kasta modh vania dalam agama Hindu, yang terkenal dengan
kekayaan, kedermawanan, keahlian berdagang, dan kejujurannya. Ayahnya
bernama Karamchand Gandhi, atau yang lebih dikenal dengan Kaba Gandhi,
adalah seorang perdana menteri (diwan) negara bagian Porbandar India di
Gujarat yang cukup tegas dan dihormati. Gandhi menceritakan tentang
ayahnya sebagai seorang laki-laki “yang dianugerahi kesenangan duniawi”.1
Ibunya bernama Putlibai, istri keempat ayahnya, ialah seorang wanita yang
mengesankan bagi Gandhi karena ketaatan dan kesalehannya. Ia dalam
pandangan Gandhi merupakan istri dan ibu yang setia bagi suami dan anak-
anaknya.2
Pemimpin kharismatik bangsa India yang terlahir ketika situasi sosial,
ekonomi, dan politik India dalam cengkeraman imperialisme dagang Inggris
ini putra termuda di keluarganya. Dia memiliki tiga kakak perempuan (dua di
antaranya kakak tiri) dan seorang pengasuh anak-anak (inang) bernama
1Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi: Sang Penakluk Kekerasan, Hidupnya, dan
Ajarannya (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), h. 15-16. 2Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1988), h. 3.
32
Rambha. Dia juga memiliki dua kakak laki-laki. Salah satunya Lakshmidas,
enam tahun lebih tua darinya, kuliah hukum di India dan bekerja sebagai
pegawai keuangan Porbandar. Sementara Karasandas, tiga tahun lebih tua
darinya, setelah dewasa mendaftarkan diri di kepolisian negara bagian
tetangga, Rajkot.3
Ketika sedang menjalani pendidikan menengahnya pada Kathiawar High
School atau saat berusia sekitar 13 tahun, Gandhi dinikahkan oleh
orangtuanya dengan gadis sebayanya yang bernama Kasturba. Pasangan hidup
Gandhi ini adalah putri Gokuldas Makanji, seorang pedagang kaya di
Porbandar. Kasturba dibesarkan sebagai putri dari kasta vaishnava.4 Meski
kurang pendidikan formal, dia lebih berani daripada suaminya, yang tak
pernah bisa tidur di kamar yang gelap dan selalu takut diserang hantu dan
ular.5 Kasturba juga sekeras kepala dan selembut hati Gandhi.
Sebagai pasangan muda, kehidupan pernikahan Gandhi dengan Kasturba
mulanya tidaklah begitu stabil, terutama menyangkut seks. Suatu peristiwa
yang selanjutnya mengubah pola hidup Gandhi adalah peristiwa menjelang
ayahnya meninggal dunia. Dia menyesali kecerobohannya saat meninggalkan
sang ayah yang sakit kemudian meninggal hanya untuk memenuhi keinginan
Kasturba yang tengah hamil. Peristiwa ini yang membuat Gandhi
melaksanakan penghentian berhubungan seks (brahmacary) di akhir-akhir
kehidupannya.6 Sementara putra-putra Gandhi hasil pernikahannya dengan
Kasturba yakni Harilal, Manilal, Ramdas, dan Devadas.
3Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 15. 4Ibid., h. 17. 5Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 6. 6Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 20.
33
Suami Kasturba yang memiliki panggilan masa kecil Mohan ini punya
sobat karib saat sedang menempuh sekolah menengahnya. Gandhi terpesona
dengannya karena mampu melompat cukup jauh dan berlari kencang. Kawan
yang punya keberanian dan kekuatan fisik yang tak dimiliki Gandhi kecil ini
bernama Mehtab. Dialah yang mengajarkan kenakalan-kenakalan remaja
kepada Gandhi saat sudah memiliki istri. Mehtab mengajarkan Gandhi untuk
memakan daging dengan sembunyi-sembunyi, bahkan membawa Gandhi ke
lokasi pelacuran meski akhirnya Gandhi diselamatkan oleh
“ketidakjantanannya”.7 Meskipun Gandhi kemudian menyadari dan mulai
muak dengan kebodohan dan kekejaman atas identitas negatif Mehtab,
keakraban mereka berlangsung sampai beberapa puluh tahun. Gandhi bahkan
membawa Mehtab ke Afrika Selatan dan tinggal bersama selama beberapa
waktu, sebelum mengusirnya setelah tepergok bersama seorang pelacur.
Masalah Gandhi dengan putra tertuanya, Harilal, bahkan dinilai para pakar
psiko-sejarah karena anak laki-laki pertamanya itu mengidentifikasikan diri
dengan Mehtab, mengidentifikasi diri dengan sisi kepribadian yang “dibunuh
dalam diri ayahnya”. Harilal memang sedikit berbeda dengan saudara-saudara
kandungnya yang lain. Problematika Harilal yang masuk Islam setengah-
setengah, mengubah nama dan memalsukan identitas, ingin menikah keduanya
dengan murid ashram Gandhi, menyetok kain impor dan menjualnya saat
harganya mulai melambung, serta menjadi pemabuk dan pemboros ini
menunjukkan kegagalan seorang Mahatma mendidik anaknya. 8
7Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 6-7. 8Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 19.
34
Meski begitu, barister atau pengacara jebolan salah satu universitas di
Inggris ini sangat berjasa meminimalisasi rasisme terinstitusi dan diskriminasi
warga kelas dua di Afrika Selatan dengan metode satyagraha-nya,
mengangkat martabat kasta terendah dalam hierarki Hindu yakni Paria atas
nama persamaan derajat, membangkitkan kemandirian bangsa India dari
cengkeraman Inggris dengan swadesi-nya, dan membangun kembali toleransi
antaragama yang ternoda oleh politik kekuasaan India-Pakistan dengan
metode antikekerasan (ahimsa) dan persaudaraan umat manusia. Putra terbaik
India yang mendapat gelar Mahatma dari penyair besar semasanya
Rabindranath Tagore ini bahkan menjadi bukti yang tragis atas persoalan
terakhir itu. Sang Mahatma mengingatkan Pemerintah India yang baru
terbentuk memenuhi janjinya kepada Pemerintah Pakistan, yakni
menyerahkan aset yang telah disepakati, dengan puasa tanpa batas supaya
kekerasan dihentikan. Pada pagi 30 Januari 1948, Gandhi malah ditembak
mati oleh seorang nasionalis Hindu fanatik Nathuram Godse setelah
pertemuan doa perdamaian di New Delhi.9
B. Dunia Intelektual
Gandhi di masa kanak-kanaknya memang termasuk anak yang mengalami
kesulitan belajar, terutama dalam berhitung dan perkalian, tapi ia merupakan
pribadi yang tekun.10 Sejak kecil Gandhi membaca Kitab Weda dan Upanishad
melalui terjemahan karena dia tidak mempelajari bahasa Sanskerta secara
mendalam. Ia bahkan tidak mempelajari kitab yang sudah melekat dalam
9Ibid., h. 402. 10Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 3.
35
kehidupan orang India ini secara ilmiah sebagaimana kaum cendekiawan.
Meski begitu, ia mengaku dapat menghayatinya seperti semestinya seorang
pemeluk Hindu dan dapat menangkap spiritnya.11 Gandhi bahkan sering
mendengarkan diskusi-diskusi ayahnya dengan para pemuka agama lain
seperti Jainisme, Islam, dan Kristen, yang datang ke rumahnya untuk
berdialog tentang agama-agama. Sementara ibunyalah yang telah memberi ia
banyak pelajaran berharga mengenai makna sebuah kepatuhan, keteguhan,
ketulusan, dan kelembutan.
Pendidikan dasar Gandhi dijalani di Rajkot, sebuah kota yang berjarak 12
mil dari Porbandar. Setelah lulus, ia pun meneruskan jenjang pendidikan
menengahnya pada Kathiawar High School. Semasa pendidikan menengah,
Gandhi remaja masih malu-malu sampai ia mengakui bahwa ia tidak punya
banyak teman kecuali buku-buku pelajaran yang dia baca.12
Setelah menyelesaikan pendidikan menengahnya, ia berhasil diterima
belajar di Samaldas College di Bhavnagar. Karena merasa kurang cocok,
Gandhi pun berniat belajar di Inggris dan meninggalkan kampus lamanya.13
Akan tetapi, muncul larangan keras terutama dari ibunya yang khawatir
dengan pergaulan dan budaya masyarakat Inggris, sehingga Gandhi pun
bersumpah untuk tidak akan menyentuh wanita, minum anggur, dan makan
daging jika diterima belajar di Inggris.14 Setibanya di Inggris dia memilih
Fakultas Hukum, Inns of Court, Inner Temple, London, sebagai fokus
studinya. Gandhi yang cara belajarnya sedikit metodis ini juga mahasiswa
11Ibid., h. 8. 12Ibid., h. 3. 13Ibid., h. 9. 14Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 23.
36
yang produktif. Di sana ia belajar cara hidup Eropa, bahasa Prancis dan Latin,
ilmu alam, hukum adat, dan hukum Romawi.15 Pada usia 22 dia
menyelesaikan semua pelajarannya dengan lumayan sempurna.
Pada satu kesempatan ia sempat dibacakan isi buku Theory of Utility
karangan Bentham oleh seorang kawan yang berharap Gandhi makan daging
seperti orang kebanyakan karena makanan tanpa daging sulit dicari di Inggris.
Namun, Gandhi akhirnya menemukan rumah makan yang menyediakan lauk
sayur-mayur dan menjual buku-buku vegetarian, tepatnya di Farringdon
Street. Salah satu buku yang berhasil ia beli di sana yakni Plea for
Vegetarianism karya Salt. Di lingkungan tempat tinggalnya di Bayswater,
Gandhi pun membentuk sebuah forum para vegetarian dan menerbitkan
majalah The Vegetarian.16
Dua di antara anggota vegetariannya yang masih muda mengajak Gandhi
bersama-sama menerjemahkan The Song Colestial karya Edwin Arnold ke
versi Sanskerta aslinya, Bhagavadgita (lagu orang-orang yang diberkahi).
Edwin Arnold inilah yang kemudian menjadi Wakil Presiden Food Society
Reform Baywaster yang didirikan Gandhi. Gandhi juga mendapati bahwa
Light of Asia, karya Arnold yang lain tentang kehidupan Budha, sama
menariknya dengan Bhagavadgita.
Mereka berdua yang namanya tak didapatkan penulis tersebut penganut
teosofi dan pernah membawa Gandhi ke Pondok Blavatsky di London, di
mana dia bertemu penggagas teosofi Madame Helena Blavatsky. Key of
Theosophy-nya, kenang Gandhi, “Merangsang hasrat saya untuk membaca
15I Ketut Wisarja, Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan (Jogjakarta: Logung Pustaka, 2005), h. 26.
16Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 10-11
37
buku-buku tentang Hindu dan membebaskan saya dari nilai-nilai yang
ditanamkan oleh para misionaris bahwa Hindu penuh takhayul,”.17 Di
Theosophical Society London itu Gandhi pertama kali bertemu calon murid
ashram-nya dan wanita Inggris pertama yang mengetuai Indian National
Congress , Annie Besant.
Seorang kritikus reformis masyarakat Victoria yang jeli terhadap masalah-
masalah besar seperti polusi industri perkotaan dan degenerasi manusia akibat
modernisasi, John Ruskin, juga sangat berjasa bagi Gandhi. Buku Unto the
Last, salah satu karya Ruskin, adalah buku karangan lepas pertama yang
Gandhi baca. Buku yang kemudian diterjemahkan Gandhi ke bahasa Gujarat
dengan judul Sarvodayo, yang berarti Kesejahteraan bagi Semua, inilah yang
memberikan perubahan praktis signifikan kepada Gandhi.18 Dia pun segera
melaksanakan cita-cita Ruskin ini dengan membeli perkebunan Phoenix seluas
46,6 hektare sebulan setelah tiba di Durban, Afrika Selatan dan mendirikan
ashram pertamanya bernama Phoenix Colony. Ashram ini akhirnya menjadi
komunitas yang sehat dan vital serta menjadi model dari transformasi sosial
yang akan disebarkan Gandhi sepanjang hidupnya.19
Dalam diri Henry David Thoreau yang berkebangsaan Amerika, Gandhi
pun menemukan seorang guru. Esai Thoreau yang berjudul The Duty of Civil
Disobedience telah memberikan legitimasi ilmiah tentang apa yang telah
dilakukan Gandhi di Afrika Selatan.20 Selain pemogokan massal (hartal), di
sana Gandhi juga melakukan perlawanan opini dengan mendirikan Indian
17Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 28. 18Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 29. 19Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 75-76. 20Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 55.
38
Opinion pada 4 Juni 1903.21 Ia menyadari tujuan jurnalistik adalah pelayanan
terhadap masyarakat. Surat kabar baginya kekuatan besar yang bisa digunakan
untuk sebuah perubahan masyarakat. Selain itu, dia juga menerbitkan surat
kabar tak terdaftar, Satyagrahi, enam belas tahun kemudian untuk
memublikasikan instruksi-instruksi bagaimana membuka diri terhadap
penangkapan.22 Pada Februari 1933, Gandhi bahkan meluncurkan penerbitan
mingguan, Harijan, untuk mengampanyekan penghapusan akar dan cabang
ketaktersentuhan kaum harijan dari kasta paria.23
Saat perjalanan pulang sementara dari Afrika Selatan ke India untuk
menjemput keluarganya, ia sempat meluangkan waktu untuk menulis dan
menerbitkan The Green Pamphlet, sebuah buku yang isinya mengulas rinci
tentang keluhan orang-orang India di Afrika Selatan.24 Buku yang memicu
kemarahan sebagian warga Afrika Selatan kepada Gandhi ini membuat ia
diserang segerombolan orang yang akan membunuhnya.
Ketika dalam perjalanan menuju London bersama Haji Ally (1906),
Gandhi juga menulis artikel tentang keberanian moral Wat Tyler, John
Hampden, dan John Bunyan, untuk membantu mempersiapkan masyarakat
menentang ordonasi ketika diberlakukan mulai 1 Januari 1907. John Bunyan
adalah penentang penindasan keagamaan uskup-uskup pada zamannya.
Selama 12 tahun terkurung di Penjara Bedford, John Bunyan menulis The
21Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 71. 22Ibid., h. 145. 23Ibid., h. 267-268. 24I Ketut Wisarja, Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan, h. 28.
39
Pilgrim’s Progress, yang dipuji Gandhi sebagai “buku terindah dalam bahasa
Inggris”.25
Rusia bahkan telah menganugerahi Gandhi seorang Leo Tolstoy, yang
telah meletakkan dasar yang sehat mengenai gerakan antikekerasan lewat
karya-karyanya di antaranya A Confession, What I Believe, The Kingdom of
God Is Within You, A Calendar of Wisdom. Tolstoy juga telah merestui
gerakan satyagraha Gandhi di Afrika Selatan ketika masih tumbuh dan
kemungkinan-kemungkinannya akan berkembang. Tolstoylah yang dalam
suratnya kepada Gandhi meramalkan bahwa Gandhi sedang memimpin satu
gerakan yang ditakdirkan akan membawa pesan berisi harapan bagi rakyat
tertindas di muka bumi.26 Ashram kedua yang didirikannya lima tahun setelah
ashram pertamanya di Afrika pun dinamakan Tolstoy Farm.27 Tolstoy telah
mengajarkannya sebuah arti kejujuran, moralitas, kesederhanaan, dan
independensi.
Di India, tepatnya di Kochrab, Gandhi membuka ashram yang diberi nama
Ashram Satyagraha.28 Di Gujarat, Gandhi pun mendirikan ashram yang diberi
nama Ashram Sabarmati. Ashram ini yang menampung para pekerja yang
memang tidak memiliki uang, tapi memiliki kekayaan yang melebihi uang.
Mereka memiliki tangan, keberanian, dan ketakutan kepada Tuhan.29 Selain
itu, di Wardha pun Gandhi mendirikan ashram yang kebanyakan pengikutnya
kaum harijan dan diberi nama Sevagram (Desa Pelayanan).30
25Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 84-85. 26Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 55. 27Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 77. 28Ibid., h. 121. 29Ibid., h. 134. 30Ibid., h. 270.
40
Gandhi bahkan pernah memperoleh tidak kurang dari tiga eksemplar buku
Life of Sister Theresa dengan harapan agar mengikuti teladan Theresa dan
mengakui Yesus sebagai satu-satunya Juru Selamat ketika dipenjara. Dia pun
membaca buku-buku tersebut dengan tekun. Meski begitu, hal itu tidak
membuatnya mengakui kesaksian suster Theresa sebab Gandhi tetap
berpegang teguh kepada ajaran agama Hindu.31
Selain sebagai seorang aktivis produktif, Gandhi juga meninggalkan
tulisan yang cukup banyak dan kebanyakan dapat kita lihat corak
humanismenya. Karya-karya tersebut antara lain Autobiography: The Story of
My Experiments with The Truth (1940), Non-Violence in Peace and War (Vol.
1/1945 dan 2/1949), Towards Non-Violence Socialism (1951), Sarvodaya
(1951), For Pacifists (1949), Harijan (1948), The History of Satyagraha
(1951), Rebuilding Our Villages (1952), Swadeshi, True, and False (1939), To
the Students (1949), Woman and Social Unjustice (1942), dan Young India
(1932). Selain karya-karya tersebut, masih banyak lagi kumpulan-kumpulan
tulisan Gandhi yang tersebar di berbagai surat kabar pada zamannya.32
C. Karier Politik
Setelah menyelesaikan pendidikan di London (1891), Gandhi membuka
klinik hukum di Bombay meski kemudian tidak begitu berhasil. Gandhi lantas
berangkat ke Durban, Afrika Selatan untuk menyelesaikan sebuah kasus yang
melilit Dada Abdulla. Keberhasilannya yang memberikan rasa keadilan bagi
31Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 52. 32Suratno, “Mahatma Gandhi (1869-1948) dan Konsepnya tentang Manusia Ideal,”
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 5, No. 2 (Juli 2007), h. 114.
41
kliennya itu membuat ia dipercaya kembali untuk memperjuangkan hak-hak
warga India di Afrika Selatan yang mayoritas muslim selama hampir dua
puluh tahun. Langkah pertama yang ia tempuh adalah mendeklarasikan Indian
Natal Congress (1894).
Tidak seperti Ali Jinnah yang langsung melejit ke jajaran barister atau
pengacara top dan kalangan elit Bombay dengan penampilannya yang tenang
dan kemahirannya beretorika di ruang sidang, Gandhi ternyata ditakdirkan
untuk meniti karier politiknya dari bawah. Gandhi di Afrika Selatan mengajak
warga India untuk belajar sejarah dan sastra India, memetakan kondisi mereka
di Afrika Selatan, menginformasikan apa yang terjadi di sana kepada Indian
National Congress, dan memajukan kerukunan antara warga India dan Inggris
yang tinggal di koloni Inggris wilayah Afrika Selatan.33
Satu tahun yang direncanakan Gandhi di Afrika Selatan ternyata memakan
waktu bertahun-tahun. Kemahirannya yang berhasil menurunkan pajak
sebesar £25 yang dibebankan kepada mantan budak kontrak yang memilih
tinggal di Afrika Selatan hingga £3 membuat Gandhi diminta berpidato di
depan rapat Indian National Congress (1896). Di sinilah dia mulai
diperhitungkan oleh jajaran petinggi Indian National Congress seperti Tilak
dan Gokhale. Kejujuran, kecerdasan, dan integritas Gokhale yang menyeluruh
di hari kemudian menginspirasi perjuangan sosial dan tindakan politik Gandhi.
Dari pemimpin sayap radikal pergerakan nasional India seperti Tilak, Gandhi
juga banyak belajar tentang kekuatan besar dari penggunaan simbol-simbol
keagamaan Hindu, tempat-tempat suci, perayaan-perayaan, dan metode
33Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 54.
42
memikat dukungan massa dengan bahasa setempat yang dipahami orang
awam yang tidak pernah belajar bahasa Inggris.34
Pertemuan itu tidak membutakan Gandhi. Dia lantas kembali ke Afrika
Selatan dan melanjutkan tugas barunya yakni menentang ekspansi Inggris ke
Boer (1897) meski akhirnya dia tidak bisa mengelak bahwa statusnya sebagai
hamba Inggris harus patuh dan memberikan bantuan korps ambulans India
bagi tentara Inggris dalam perang dengan harapan warga India mendapatkan
hak-hak layaknya. Keputusan ini membuat Gandhi berjuang mendefinisikan
dirinya dan berusaha menghubungkan realitas kehidupan keseharian yang
ambivalen dengan jangkar keyakinan yang koheren.
Namun, balasan Inggris justru sebaliknya. Warga India yang tinggal di
sana diwajibkan mendapatkan izin khusus untuk memasuki Transvaal, kecuali
mereka menyuap pegawai Departemen Asiatik.35 Gandhi yang kecewa
akhirnya membangun aliansi untuk menentang Undang-Undang Asiatik
dengan satyagraha dan hartal. Di Masyarakat Islam Hamidiya Johannesburg
(1906), Gandhi lantang bicara mengecam peraturan daerah (ordonasi) yang
diskriminatif dan tiranis itu, serta menyeru boikot pendataan warga meski
berujung pada penderitaan.36 Akibatnya, Gandhi ditahan dan diajukan ke
pengadilan untuk pertama kalinya di Persidangan Kriminal Johannesburg
(1907), karena dituduh dan terbukti tidak mendatakan diri sebagai warga
koloni.37 Bolak-balik penjara untuk menghapus peraturan itu tidak
membuatnya patah semangat. Perjuangan satyagraha-nya pun tidak sia-sia
34Ibid., h. 59. 35Ibid., h. 69. 36Ibid., h. 82. 37Ibid., h. 92.
43
setelah Gandhi mencapai persetujuan dengan Jenderal Smuts. Pajak £3
akhirnya dihapus. Warga India yang lahir di Afrika Selatan diizinkan masuk
Cape dan Orange Free State dengan bebas dan beberapa hak yang lain
dikembalikan dan diberikan. Pertemuan massal di Durban menerima dengan
suara bulat persetujuan itu ketika Gandhi menyampaikannya kepada mereka
(1914).38
Merasa tugasnya di Afrika Selatan sudah berakhir, Gandhi pun kembali ke
India dengan segudang pengalaman dan mendapat sambutan hangat dari
warga India.39 Dia kemudian mengabdi di Servant of India Society (Pelayan
Masyarakat India) milik Gokhale dan menjadi asistennya.40 Pada 1915 ini
Gandhi mulai disibukkan dengan pertemuan-pertemuan yang menginginkan ia
bercerita dan berbagi pengalamannya saat di Afrika Selatan. Dia menghadiri
pertemuan Liga Muslimin di Bombay, berpidato pada pembukaan Universitas
Hindu Banaras, dan menghadiri pertemuan tahunan ketiga puluh Indian
National Congress. Gandhi pun melakukan perjalanan keliling India dari
Madras ke Karachi untuk mengampanyekan pentingnya rasa nasionalisme
India.41
Menjelang akhir 1916, Gandhi bahkan dipercaya memimpin All-India
Common Script and Common Language Conference (Konferensi Tulisan
Umum dan Bahas Umum Seluruh India) yang berpusat di Ahmedabad.
Gandhi menekankan supaya Hindi menjadi bahasa umum India. Saat
menghadiri Kongres Lucknow dia pun menyatakan bahwa pemerintahan
38I Ketut Wisarja, Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan, h. 30. 39Dr. T.S.G. Mulia, India: Sejarah Politik dan Gerakan Kebangsaan (Jakarta: Balai
Pustaka, 1959), h. 199. 40Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 119. 41Ibid., h. 124.
44
mandiri (swaraj) akan menjadi hal yang mustahil kecuali jika urusan Indian
National Congress dilakukan dalam bahasa Hindi, bukan Inggris.42
Setelah berhasil membebaskan buruh kebun nila yang dieksploitasi para
pemilik perkebunan di Champaran (1917), Gandhi juga mengetuai Konferensi
Politik Gujarat pertama di Godhra. Di Konferensi Sosial Gujarat, yang juga
diadakan di Godhra, Gandhi justru mengecam dosa kepariaan yang sudah
mengakar dalam tradisi India. Pemikirannya tentang antikekerasan dan dosa
kepariaan berkembang di masa ini sehingga dia berpendapat bahwa
diskriminasi Hindu ortodoks harus dihentikan.43
Perjuangan antikekerasan Gandhi selanjutnya di Kheda (1918) berakhir
dengan kesepakatan. Pemerintah Inggris setuju menangguhkan penarikan
pajak dari para petani miskin dan hanya mengambil pajak dari para pemilik
tanah kaya yang jumlahnya sedikit sebab sebagian panen tahunan gagal dan
banyak orang kelaparan.44
Namun, itu bukalah sebuah kemenangan bagi Gandhi sebab Undang-
Undang Defense of India Act (1915) akan diberlakukan kembali oleh
Pemerintahan Inggris dengan membentuk Komite Rowlett.45 Undang-undang
pertahanan yang represif dan sangat membatasi ruang gerak organisasi yang
berkembang ini banyak mendapat kecaman rakyat India, tapi protes mereka
dibalas dengan peluru. Penembakan terhadap para demonstran di New Delhi
dan pembantaian ratusan sipil di Amritsar, Punjab, yang dipimpin Jenderal
42Ibid., h. 125. 43Ibid., h. 130. 44Ibid., h. 139. 45Ibid., h. 141.
45
Dyer, menjadi bukti itu.46 Gandhi pun tak henti-hentinya menyerukan
antikekerasan baik kepada warga India ataupun kepada Pemerintah Inggris.
Dia lantas mendukung Indian National Congress membentuk Komite India
Independen untuk menyelidiki kekejaman Punjab.47
Keberhasilannya yang dipublikasikan luas dalam perjuangan antikekerasan
di Champaran, Ahmedabad, dan Kheda membuatnya tersiapkan secara unik
untuk memimpin Swaraj Sabha (1920). Gandhi akhirnya meluncurkan
program pembangkangan sipil melalui satyagraha dan ahimsa di antaranya
menolak dan mengembalikan tanda-tanda kehormatan yang diterima dari
Inggris, melarang pelajar dan mahasiswa masuk sekolah dan kampus yang
didanai Inggris, memboikot produk Inggris, dan menutup pengadilan-
pengadilan Inggris.48 Namun, gerakan yang mendapatkan dukungan
Mohammad dan Saukat Ali selaku wakil komite dukung khalifah Islam ini
melenceng dari harapan. Tidak sedikit warga India yang melakukan
penjarahan yang disertai kekerasan dan kekejaman dalam aplikasinya.49
Satyagraha Gandhi tersebut akhirnya bisa dibilang gagal. Banyak generasi
muda India menyalahkannya karena Gandhi meminta perjuangan itu
dihentikan, sedangkan generasi yang lebih tua menganggapnya tidak
bertanggung jawab. Namun, popularitasnya di tengah-tengah petani Hindu dan
pedagang muslim tetap tidak berkurang. Atas kejadian itu, Gandhi menarik
diri dari lingkaran politik nasional India. Dia lebih memfokuskan pada
kegiatan pengembangan sejumlah ashram yang didirikannya. Gandhi pun
46Dr. T.S.G. Mulia, India: Sejarah Politik dan Gerakan Kebangsaan, h. 202. 47Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 148. 48Dr. T.S.G. Mulia, India: Sejarah Politik dan Gerakan Kebangsaan, h. 211. 49Hagen Berndt, Agama yang Bertindak, h. 78-79.
46
menganjurkan anggota-anggota ashram-nya untuk menanam kapas, memintal
benang, dan menenun kain secara mandiri.50
Gerakan yang bernuansa kemandirian bangsa India itu akhirnya mendapat
apresiasi dari kalangan pejuang kemerdekaan yang meminta Gandhi kembali
ke panggung politik nasional India. Gandhi pun memenuhi keinginan itu dan
terpilih sebagai Ketua India National Congress (1924). Di Kongres Belgaum,
Gandhi menyeru persatuan Hindu dan muslim, meneruskan boikot produk
impor, menasionalisasikan program pemintalan, dan menghentikan segala
bentuk kekerasan.51 Dia bahkan menekankan konversi (perubahan) tanpa
kekerasan, bukan koersi (pemaksaan) dalam mengaktualisasikan buah
pikirannya. Selain itu, Gandhi pun memimpin parade garam yang berakhir di
Pantai Dandi (1930) sebagai bentuk penolakan terhadap pajak garam yang
sudah diberlakukan lebih dari seabad oleh Pemerintah Inggris.52
Rangkaian aktivitas politik Gandhi sepanjang hayatnya tidak terlepas dari
perjuangannya untuk memerdekakan rakyat India dari penjajahan Inggris atau
“Quit India” (tinggalkan India) dan mencoba melelehkan kekerasan akibat
perebutan kekuasaan baik sebelum maupun setelah kemerdekaan penuh
(purnaswaraj) India tercapai. Orang yang mempersilakan dan mendorong
Jawaharlal Nehru menjabat Perdana Menteri India pertama dan tidak mampu
menolak keinginan Ali Jinnah mendirikan Pakistan ini tak henti-hentinya
menyerukan persatuan dan perdamaian Hindu dan muslim di India yang mulai
retak setelah perbedaan ideologi politik dua petinggi Indian National Congress
50Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 176-177. 51Ibid., h. 171-172. 52I Ketut Wisarja, Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan, h. 37-38.
47
tersebut mulai mengemuka dan kentara.53 Kematian Gandhi bahkan menjadi
bukti pengorbanannya terhadap perjuangan perdamaian dan kemanusiaan
tersebut.
53Ibid., h. 41-44.
48
BAB IV
ANTIKEKERASAN GANDHI
Antikekerasan Gandhi yang akan dipaparkan dan dielaborasi pada bab ini
memiliki tiga dimensi yaitu filosofis, teologis, dan politis. Antikekerasan
secara filosofis akan dimaknai sebagai ahimsa, satyagraha, dan swadesi.
Antikekerasan secara teologis akan diyakini sebagai manifestasi kebenaran
sejati, ajaran cinta kepada manusia, dan realisasi kehidupan surgawi di dunia.
Antikekerasan secara politis akan dipahami sebagai tujuan sekaligus jalan
hidup manusia, mahatma diri atau proses penyempurnaan jiwa sehingga
terhindar dari tindak kekerasan, dan harmoni kuasa atau penyeimbang segala
relasi yang ada baik personal maupun struktural.
A. Dimensi Filosofis
1. Ahimsa
Ahimsa sebagai sebuah ajaran sebenarnya bisa kita temukan dalam darma
Hindu dan Jain yang mengajarkan prinsip-prinsip etis dalam kehidupan.
Ajaran ini menyerukan kepada seluruh umat manusia untuk menjunjung tinggi
semangat antikekerasan dalam setiap laku kehidupannya. Ajaran ini kemudian
dimaknai secara lebih mendalam dan dikembangkan lebih lanjut oleh Gandhi.
Menurut ajaran Hindu, etika ahimsa adalah doktrin tidak melukai (non-
injury) makhluk hidup. Doktrin ini sudah sangat lawas dan tersebar secara
eksplisit maupun implisit di dalam teks-teks suci Hindu. Etika ahimsa adalah
49
salah satu dari lima unsur pengendalian diri (panca yama brata)1. Etika ahimsa
seyogyanya dimulai dari pikiran (manacika), kemudian tutur kata (wacika),
dan akhirnya tingkah laku (kayika) atau tri kaya parisuda.2
Dalam sistem Yoga, ahimsa adalah prinsip pertama dalam darma. Ideal ini
dapat dicapai dalam delapan tahap. Dua tahap pertama menunjukkan
persiapan etis dan enam tahap selanjutnya asketis-kontemplatif. Tahap
pertama menekankan keutamaan negatif seperti pantang mencederai, pantang
mencuri, pantang berhubungan seksual, dan pantang memilik. Tahap kedua
adalah keutamaan-keutamaan positif yang lebih diperkembangkan yaitu
kemurnian, kegembiraan, mati raga (tapas), pemahaman kitab suci dan devosi
kepada Tuhan (isvara-pranindana).3
Sementara menurut kepercayaan Jain, ada lima tingkat kesadaran. Manusia
dianggap memiliki kesadaran tertinggi, sementara tumbuh-tumbuhan berada
pada tingkat terendah. Pengikut Jain percaya bahwa semakin tinggi tingkat
kesadaran, semakin besar kemampuan mereka untuk merasakan sakit. Dengan
asumsi tersebut, mereka hanya mengonsumsi organisme dengan tingkat
kesadaran terendah. Pola makan seperti ini bagian dari sikap untuk
menjalankan ajaran ahimsa. Kebiasaan makanan pengikut Jain bahkan tidak
1Lima unsur pengendalian diri (panca yama brata) yaitu ahimsa, yang berarti melarang
orang tidak menyiksa, berbuat tidak adil, membenci dengan cara bagaimanapun, ahimsa bahkan melarang orang untuk membunuh, baik untuk membela diri maupun untuk meniadakan orang lain (musuh); mengucapkan yang benar (satya), yang berarti bahwa orang tidak boleh berbuat curang; tidak mencuri (asteya), yang melarang orang mencuri atau menyalahgunakan milik orang lain; menjauhkan diri dari perbuatan seksual (brahmacarya), yang melarang orang berbuat mesum; menolak kepemilikan (aparigraha), yang mengandung arti juga bahwa orang tidak boleh kikir. Inilah peratiuran besar (mahawrata), yang berlaku bagi semua orang tanpa mengingat akan kasta, tempat, waktu, dan keadaan.
2Gusti Ngurah Gorda, “Membudayakan Kerja Berdasarkan Dharma,” dalam Budaya dan Perilaku Organisasi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Satya Dharma (Singaraja: Pusat Kajian Hindu, 2004), h. 8.
3Robert C. Zaehner, Kebijaksanaan dari Timur, Beberapa Aspek Pemikiran Hinduisme (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), h. 75.
50
terbatas apa yang dia makan, tapi juga bagaimana dia makan, berapa banyak
dia makan, dan kapan dia makan.4
Secara harfiah, ahimsa memiliki makna tidak menyerang, tidak melukai,
atau tidak membunuh. Pemaknaan ini memperlihatkan bahwa makna ahimsa
lebih menekankan pada makna penolakan atau penghindaran secara total
terhadap segenap keinginan, kehendak, dan tindakan yang mengarah pada
bentuk penyerangan atau melukai.
Namun, Gandhi menekankan bahwa makna ahimsa tidak semata-mata
berkonotasi negatif (nir/a = tidak) seperti menolak keinginan untuk
membunuh, tidak membahayakan jiwa, tidak menyakiti hati, tidak membenci,
tidak membuat marah, tidak membuat keuntungan sendiri dengan memperalat
serta mengorbankan orang lain, tapi juga berkonotasi positif sebagai sebuah
semangat dan pedoman hidup.5 Dalam kerangka pemikiran positif, ahimsa
adalah cinta karena hanya cinta yang bisa muncul secara spontan dan
memungkinkan seseorang bertindak selaras dengan hati dan pikirannya.
Konsep ahimsa Gandhi juga tampaknya menuntut suasana kepribadian
utuh yang tidak hanya dilakukan pada satu bagian sehingga pikiran, ucapan,
dan tindakan harus sejalan dan seirama. Ahimsa yang diajarkannya juga tidak
terbatas pada keyakinan dan sikap. Praktik ahimsa bukan hanya ditujukan
kepada manusia, melainkan juga kepada binatang, tumbuhan, dan alam.
Sekalipun di dalam alam terdapat daya tolak, tapi alam itu hidup berkat daya
tarik. Alam menjadi lestari berkat ada rasa kasih sayang yang timbal balik.6
4Heinrich Zimmer, Sejarah Filsafat India (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), h. 263-
264. 5Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 108. 6I Ketat Wisarja, Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan, h. 49.
51
Ahimsa juga merupakan kebajikan tertinggi sebab tanpa itu kebenaran
tidak akan dapat direalisasikan. Dua hal penting dari ahimsa yakni kewajiban
untuk memperlakukan realitas sebagaimana diri sendiri dan ahimsa sebagai
induk kebajikan yang lain. Gandhi memandang ahimsa dan kebenaran ibarat
saudara kembar yang sangat erat. Namun, dia membedakannya dengan sangat
jelas bahwa ahimsa merupakan sarana mencapai kebenaran, sedangkan
kebenaran sebagai tujuannya. Dia meyakini bahwa ahimsa adalah hukum
tertinggi atau darma. Tidak ada hukum atau darma lainnya kecuali kebenaran.
Dengan demikian, ahimsa adalah dasar dan pedoman bertindak untuk
mencapai kebenaran.7
Sementara lima aksioma ahimsa sebagai suatu keyakinan menurut Gandhi
adalah (i) Ahimsa menyatakan secara tidak langsung suatu pemurnian diri
yang sempurna sebagai salah satu kemungkinan bagi manusia; (ii) Bagi
manusia, kekuatan ahimsa adalah bagian dari kemampuan seorang ahimsais
untuk melakukan kekerasan; (iii) Ahimsa tanpa kecuali mengatasi kekerasan,
misalnya kekuatan menyelesaikan masalah oleh seorang ahimsais selalu lebih
besar dari pada kalau menggunakan kekerasan; (iv) Dalam ahimsa, tidak ada
hal yang dianggap kalah, akhir dari ahimsa adalah kekalahan yang pasti;
(v) Tujuan utama ahimsa adalah kemenangan yang pasti. Dalam kenyataan di
mana tidak ada kata “kalah”, di sana juga tidak ada kata “menang”.8
Kebalikan dari ahimsa adalah himsa yaitu membunuh kehidupan. Ahimsa
dan himsa merupakan dua simpul yang di satu sisi diwujudkan dalam belas
7Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 95. 8Mohandas Karamchand Gandhi, Non-Violence in Peace and War, Volume I
(Ahmedabad: Navajivan Publishing House, 1942), h. 119.
52
kasih, menyelamatkan hidup, dan tidak membunuh. Sementara di sisi lain,
kehidupan tak bisa lepas sama sekali dari himsa.
Di dunia ini manusia memang tidak berdaya di tengah lautan himsa karena
ia tak bisa hidup tanpa melakukan himsa baik secara sadar maupun tidak
sadar. Suatu kenyataan bahwa manusia harus makan, minum, dan bergerak
mau tak mau sedikit banyak menyangkut himsa, yaitu membunuh kehidupan.
Karena itu, seorang penganut ahimsa yang setia akan mendasari segala
perbuatannya dengan rasa belas kasih dan sedapat mungkin menjauhkan diri
dari pembunuhan makhluk yang sekecil apa pun sehingga dia berusaha
membebaskan diri dari lingkaran maut himsa.
Bagi Gandhi, ahimsa pertama dialami sebagai suatu kekuatan. Kekuatan
yang mencakup semuanya, tiada batasnya dan apa pun yang disentuhnya akan
berubah. Pengalaman akan ahimsa membawanya pada usaha permenungan
tentang prinsip kehidupan dan akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa
ahimsa adalah suatu prinsip yang mendasari kesatuan seluruh kehidupan. Dia
yakin ahimsa adalah satu-satunya kekuatan yang sejati dalam hidup.9
Ajaran yang dianut Gandhi ini merupakan bentuk representasi dari
pengalaman yang diterimanya selama hidupnya karena sebagaimana yang
telah diketahui bahwa Gandhi juga berasal dari keluarga religius yang
menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan rasa cinta kasih terhadap sesama.
Namun, antikekerasan bukan seperti baju yang dapat dikenakan dan
9Ibid., h. 68.
53
ditanggalkan dengan sesuka hati. Kedudukannya adalah di dalam hati dan
harus menjadi bagian yang tak terpisahkan dari diri kita.10
Gandhi mengatakan, ahimsa adalah kekuatan jiwa dan jiwa sesungguhnya
bersifat baka, tidak kunjung berubah dan kekal-abadi. Bom atom merupakan
puncak kekuatan fisik dan karena sifatnya itu ia tunduk kepada hukum
penghamburan benda, kerusakan, dan kematian yang berlaku bagi seluruh
alam fisik. Dalam kitab-kitab suci terdapat bukti bahwa bila kekuatan jiwa
telah bangkit dengan sempurna di dalam tubuh kita, ia menjadi tenaga yang
tidak bisa dilawan. Namun, ujian dan syarat untuk itu adalah kekuatan jiwa itu
harus meresapi seluruh kehadiran kita dan akan keluar bersama setiap aliran
pernafasan kita.11
Ahimsa bagi Gandhi merupakan hukum yang cukup fundamental bagi
kehidupan. Itulah sebabnya mengapa ahimsa dapat digunakan sebagai prinsip
paling efektif untuk tindakan sosial, karena secara mendalam sesuai dengan
kebenaran sifat alami manusia dan sesuai benar dengan keinginan bawaannya
akan perdamaian, keadilan, ketertiban, kebebasan, dan martabat pribadi. Oleh
karena himsa merendahkan dan merusak manusia, maka menghadapi
kekerasan dengan kekerasan dan kebencian dengan kebencian hanya akan
menambah parahnya kemerosotan secara progresif dan manusia.
Antikekerasan, kebalikannya, menyembuhkan dan memulihkan sifat alami
manusia sembari memberikan kepadanya sarana bagi penyembuhan serta
pemugaran ketertiban dan keadilan sosial.12
10Thomas Merton, Gandhi tentang Pantang Kekerasan (Jakarta: Yayasan Obor, 1992), h.
36. 11Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, ha. 116 12Thomas Merton, Gandhi tentang Pantang Kekerasan, h. 35.
54
Ahimsa bukanlah suatu kebijakan untuk merebut kekuasaan. Ahimsa
merupakan jalan untuk mengubah hubungan-hubungan agar terlaksana
peralihan kekuasaan secara damai, dilakukan dengan sukarela tanpa desakan
semua yang bersangkutan oleh karena semuanya mengakuinya sebagai hak.
Antikekerasan juga mencakup pemurnian diri yang sesempurna mungkin bagi
manusia. Bagi orang perorangan, kekuatan antikekerasan adalah dalam
proporsi yang tepat sesuai kemampuan, bukan kemauan, penganut
antikekerasan untuk menimbulkan kekerasan. Kekuatan yang tersedia bagi
penganut antikekerasan selalu lebih besar daripada jika ia bersifat keras. Tidak
ada kekalahan dalam antikekerasan.13
Gandhi percaya dengan teguh bahwa sebenarnya antikekerasan adalah
lebih alami bagi manusia daripada kekerasan. Doktrinnya dibangun di atas
kepercayaan pada kecondongan alami manusia ke arah cinta-kasih ini.
Manusia sebagai binatang adalah keras, tetapi sebagai jiwa tidaklah keras.
Saat bangun kesadarannya akan jiwanya di dalam dirinya, ia tidak dapat
bantahan keras. Ia akan maju ke arah ahimsa atau cepat-cepat akan menemui
ajalnya.
“Bila menoleh ke zaman lampau yang direkam dalam sejarah sampai zaman sekarang ini, akan kita saksikan bahwa manusia senantiasa mengarah ke ahimsa. Nenek moyang kita di zaman purbakala adalah kaum kanibal, yang memakan daging sesama manusia. Lalu pada suatu waktu mereka pun jenuh dengan gaya kanibal itu dan mereka beralih memburu hewan. Kemudian tiba suatu masa, mereka malu hidup sebagai kaum pemburu yang mengembara. Maka mereka pun beralih ke pola bercocok tanam dan terutama mengandalkan bumi pertiwi untuk memperoleh pangan. Demikianlah dari kaum pengembara manusia beralih kepada kehidupan dalam mukim tetap, mendirikan dusun-dusun dan kota-kota, dan dari anggota mereka beralih menjadi warga masyarakat dan warga negara. Semua ini merupakan tingkat kemajuan ke arah ahimsa dan
13Ibid., h. 37.
55
menjauhi himsa. Jika perkembangannya tidak demikian, niscaya bangsa manusia telah punah seperti halnya berbagai jenis satwa yang lebih rendah yang telah punah.”14
Sementara syarat-syarat antikekerasan yang dianjurkan Gandhi adalah (i)
Antikekerasan merupakan hukum umat manusia, (ii) Antikekerasan mencakup
tidak mengharapkan yang buruk, (iii) Antikekerasan mencakup penolakan
total untuk bekerja sama dengan atau turut serta dalam kegiatan-kegiatan
golongan yang tidak adil sampai-sampai tidak makan makanan yang asalnya
dari mereka, (iv) Antikekerasan tidak ada gunanya bagi mereka yang tanpa
kepercayaan hidup kepada cinta-kasih Tuhan dan akan cinta-kasih bagi
seluruh umat manusia, (v) Barangsiapa mempraktikkannya harus bersedia
mengorbankan segalanya kecuali kehormatannya, (vi) Antikekerasan harus
mencakup segala-galanya dan bukan hanya diterapkan pada perbuatan-
perbuatan terkecil.15
Tindakan ahimsa menurut Gandhi tidak bersifat statis, tapi justru dinamis.
Dia mencontohkan, seorang dokter bedah tidak dapat dikatakan sebagai orang
yang melakukan himsa, tapi ia justru telah mempraktikkan ahimsa semurni-
murninya saat ia menggunakan pisau operasinya. Atas dasar itulah mungkin
ada orang yang dalam keadaan mendesak merasa perlu melangkah lebih jauh
dan mencabut nyawa demi kepentingan si penderita. Mungkin gagasan ini
juga dibantah karena seorang dokter bedah melakukan operasi dengan tujuan
menyelamatkan nyawa pasiennya dan dalam kasus yang lain sebaliknya yang
terjadi. Meski demikian, jika dianalisis lebih mendalam, akan ditemukan
bahwa tujuan akhir dari dua tindakan itu sama, yaitu membebaskan jiwa si
14Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, ha. 101. 15Mohandas Karamchand Gandhi, Non-Violence in Peace and War, Volume I, h. 127-128.
56
penderita dari rasa sakit. Dalam kasus yang pertama, tindakan dilakukan untuk
mengangkat bagian yang sakit dari tubuh, sedangkan dalam kasus yang kedua
tindakan dilakukan untuk memisahkan jiwa dari tubuh yang telah menjadi
sumber penderitaan baginya.16
Ahimsa yang didambakan Gandhi sebenarnya berupa senjata yang sangat
ampuh. Senjata yang dapat melelehkan kekerasan dan mengubahnya menjadi
kelembutan. Ahimsa bukanlah sebuah senjata untuk melawan, meluluhkan,
atau menaklukkan kekerasan. Ahimsa yang diidealkan Gandhi ibarat senjata
kimia yang dapat mengubah zat kekerasan menjadi kelembutan. Kemudian zat
kelembutan itulah yang melahirkan kasih sayang dan kedamaian dalam hati
manusia. Kepercayaan ini didasarkan pada asumsi bahwa sifat alami manusia
pada intinya adalah satu dan oleh karenanya pasti memberi tanggapan
terhadap imbauan cinta-kasih.
2. Satyagraha
Istilah satyagraha berasal dari kata Sanskerta yang merupakan gabungan
dari kata “satya” dan “agraha”. “Satya” sendiri berasal dari kata “sat-ya”
yang berarti “ke-benar-an”. Sementara “agraha” berasal dari kata “grah”
yang berarti menangkap, mencengkeram, memegang, bergulat dengan,
berpegang teguh pada. Satyagraha, “berpegang teguh pada kebenaran” juga
bisa diterjemahkan menjadi “kekuatan kebenaran” (truth force).17
“Sat”dalam kamus Sanskerta adalah kata kerja kekinian yang berasal dari
kata as,”menjadi, ada, hidup”; as berarti “dimiliki oleh, menjadi milik dari,
menjadi bagian dari”; juga “terjadi pada atau menimpa seseorang, bangkit,
16Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 47 17Wahana Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi (Yogyakarta: Kanisius, 1986), h. 49.
57
muncul, terjadi”; “tinggal, menempati, berada; menjalin hubungan khusus,
dipengaruhi”. Karena itu, sat, kata kerja kekinian, secara literal berarti “ada,
berada, hidup”; juga “benar, suci, mulia, berharga; yang patut dimuliakan,
yang patut dihormati; berpengetahuan, bijak”. Sat juga berarti “benar, tepat,
terbaik, dan sempurna”, serta “tampan, cantik”. Kalau dipakai sebagai kata
benda laki-laki, sat bermakna “seorang laki-laki yang baik atau benar, seorang
guru”; sebagai kata benda netral, “apa yang benar-benar ada, entitas,
keberadaan, esensi, realitas, kebenaran yang benar-benar eksisten; Kebaikan”;
dan “Brahman, Kekuasaan Suci, Diri Puncak”.18
Gandhi pertama kali menggunakan istilah satyagraha setelah meminta
masukan-masukan melalui Indian Opinion untuk menamakan metode baru
melawan ketidakadilan dan ketidakbenaran yang diperjuangkannya. Akhirnya
dia menerima satu kata yang sangat disukainya dari sepupunya, Maganlal
Gandhi, kata majemuk Sanskerta, “satya” yang berarti “kebenaran” dan
“agraha” yang berarti “berpegang teguh pada.”19
Secara harfiah satyagraha berarti juga suatu perjuangan dari, oleh, dan
untuk kebenaran; pencarian kebenaran dengan tidak kenal lelah dan suatu
ketepatan hati untuk mencapai kebenaran. Satyagraha berarti melawan
ketidakbenaran dengan cara-cara yang penuh kebenaran. Orang harus
memegang teguh kepada kebenaran sekalipun pada saat-saat yang
membahayakan. Kejahatan harus dilawan bukan dengan kejahatan, melainkan
dengan kebaikan.
18Heinrich Zimmer, Sejarah Filsafat India, h. 163-164. 19Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 93.
58
Sebagai suatu prinsip, satyagraha telah dianut ratusan tahun sebelum
istilah itu digunakan Gandhi sebagai metode perjuangan melawan
ketidakadilan dan ketidakbenaran. Satyagraha seringkali juga diungkapkan ke
dalam bahasa Inggris sebagai passive resistance (perlawanan pasif) sehingga
bagi orang Eropa, satyagraha serupa dengan senjata kaum lemah yang
dicirikan rasa benci dan berakhir dengan tindakan anarkistis. Gandhi menolak
definisi ini sebab satyagraha menurutnya adalah ungkapan perjuangan rakyat
India.20
Menurut Gandhi, satyagraha merupakan gagasan tentang kekuatan yang
bertumpu pada kekuatan jiwa (soul force). Dengan bertumpu pada kekuatan
jiwa, satyagraha pada hakikatnya adalah senjata bagi orang jujur dan
berpegang pada kebenaran. Untuk itu, seorang satyagrahi harus memahami
ahimsa terlebih dahulu. Satyagraha tidak dapat ditawarkan secara massal
kecuali rakyat telah mampu menangkap dan menaati ahimsa dalam batin,
ucapan, dan tingkah laku.21
Akar satyagraha adalah di dalam doa. Seorang satyagrahi atau orang
berpegang teguh kepada kerbenaran selalu mengandalkan Tuhan untuk
perlindungannya terhadap kezaliman kekuatan kebinatangan. Akhir dari
kampanye satyagraha bisa dianggap berhasil hanya ketika hal itu membuat
para satyagrahi menjadi lebih kuat dan lebih bersemangat dari sebelumnya.
Melepaskan jiwanya untuk apa yang dianggap benar adalah intisari dari
satyagraha. Seni kematian bagi seorang satyagrahi berupa menghadapi maut
20Mohandas Karamchand Gandhi, Mahatma Gandhi Sebuah Autobiograpi, Kisah tentang
Eksperimen-Eksperimen Saya terhadap Kebenaran (Yogyakarta: Nasari, 2009), h. 461-462. 21Agnes Sri Poerbasari, “Nasionalisme Humanistik Mahatma Gandhi”, dalam Ideologi
dan Pemikiran Kebangsaan, h. 186.
59
dengan ceria dalam menunaikan tugas-kewajibannya. Satyagraha merupakan
proses penyucian diri. Perjuangan ini adalah perjuangan suci. Perjuangan ini
tampaknya merupakan hal yang paling tepat jika dimulai dengan sebuah
tindakan penyucian diri.22
Gandhi meluncurkan satyagraha berlandaskan pada prinsip-prinsip
antikekerasan yang telah kita dibahas sebelumnya. Ahimsa dan satyagraha
adalah dua istilah yang memang kerap melekat dalam pemikiran Gandhi dan
sering dipertukarkan satu sama lainnya meski sebenarnya ada perbedaan.
Ahimsa adalah falsafah pantang kekerasan yang Gandhi kembangkan,
sedangkan satyagraha adalah gerakan moral dan sosial tanpa kekerasan yang
diluncurkan Gandhi.
Di sini menjadi jelas bahwa sebagai atribut dari ahimsa, satyagraha
memiliki segi-segi batiniah seperti damai, kesederhanaan, kesantunan, dan
hasrat berbuat baik terhadap lawan yang timbul dari hati sehingga gerakan
satyagraha tidak jatuh menjadi tindak kekerasan.
“Di dalam melaksanakan satyagraha saya dapat mengetahui pada taraf yang dini bahwa dalam mengejar kebenaran kita tidak boleh melakukan kekerasan terhadap lawan, melainkan kita harus berusaha menjauhkannya dari jalan yang sesat dengan cara sabar dan rasa simpati. Karena sesuatu yang dipandang benar oleh seseorang mungkin dipandang sebagai kekeliruan oleh orang lain. Dan kesabaran adalah kerelaan menderita sendiri. Karena itu, ajaran satyagraha akhirnya berarti mengunggulkan kebenaran, bukan membuat lawan kita menderita, melainkan membuat diri kita sendiri menderita.”23
Senjata para pelaku satyagraha adalah cinta-kasih dan keteguhan yang tak
tergoyahkan yang bersumber darinya. Syarat-syarat yang diperlukan bagi
22Mohandas Karamchand Gandhi, Mahatma Gandhi Sebuah Autobiograpi, Kisah tentang
Eksperimen-Eksperimen Saya terhadap Kebenaran, h. 666. 23Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 102.
60
keberhasilan satyagraha adalah (i) Sang satyagrahi harus tidak mempunyai
rasa benci pada lawan, (ii) Urusannya harus yang benar dan penting, (iii) Sang
satyagrahi harus bersedia menderita sampai akhir.24
Menurut Gandhi, satyagraha adalah proses pendidikan pendapat umum
demikian rupa hingga mencakup semua unsur masyarakat, dan akhirnya akan
menjadi sangat menarik. Latihan satyagraha dimaksudkan bagi semuanya,
tidak tergantung pada umur atau jenis kelamin. Di sini bagian yang lebih
penting daripada latihan adalah latihan mental, bukan jasmaniah sehingga
tidak mungkin ada paksaan dalam latihan mental.25
Satyagraha sebagai strategi perjuangan yang ditawarkan Gandhi memiliki
beberapa bentuk. Pertama, civil disobedience (ketidakpatuhan sipil); berarti
melanggar hukum yang tidak adil. Ketidakpatuhan sipil ini membutuhkan
keberanian. Hal ini umpamanya diterapkan Gandhi untuk menentang Undang-
Undang Garam pada 1930.26 Kedua, hartal (pemogokan massal), dengan
syarat-syarat sebagai berikut (i) jangan pernah menggunakan kekerasan, (ii)
jangan pernah menganiaya pekerja yang tetap bekerja sewaktu pekerja yang
lain mogok, (iii) jangan bergantung pada sedekah, (iv) tetap teguh dan
tangguh, tidak peduli berapa lama pemogokan berlangsung, dan untuk
mendapatkan penghasilan selama masa pemogokan dari pekerjaan halal
lainnya.27
24Mohandas Karamchand Gandhi, Non-Violence in Peace and War, Volume II
(Ahmedabad: Navajivan Publishing House, 1949), h. 60. 25Ibid., h. 61. 26Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 211-212. 27Mohandas Karamchand Gandhi, Mahatma Gandhi Sebuah Autobiograpi, Kisah tentang
Eksperimen-Eksperimen Saya terhadap Kebenaran, h. 620.
61
Ketiga, non-cooperation (menolak bekerja sama); berarti menolak
mengambil bagian dalam sistem yang tidak adil. Gerakan ini lebih bersifat
terbuka bagi umum yang dapat dilaksanakan oleh semua lapisan masyarakat.
Non-cooperatian tidak ditujukan kepada perseorangan, tetapi pada sistem
yang tidak adil. Tujuan perlawanan ini untuk meminta perubahan struktur
yang menindas. Isi program pergerakan non-cooperation itu ialah (i) Menolak
dan mengembalikan tanda-tanda kehormatan yang diterima dari pemerintah;
(ii) Tidak menghadiri perayaan, upacara, dan pertemuan-pertemuan resmi
pemerintah; (iii) Melarang anak-anak mengunjungi sekolah-sekolah yang
mendapat sokongan dari pemerintah, sementara itu akan didirikan sekolah-
sekolah yang bersifat kebangsaan; (iv) Memboikot pengadilan oleh ahli-ahli
hukum India dan orang yang terdakwa. Sebagai gantinya membentuk
pengadilan-pengadilan damai yang memberikan putusan yang tidak dapat
dibanding lagi; (v) Serdadu-serdadu, pekerja-pekerja, dan guru-guru agama
harus menolak perjanjian untuk dipekerjakan di Mesopotamia (Irak); (vi)
Calon-calon yang dikandidatkan untuk dewan-dewan dan orang-orang yang
berhak memilih harus menarik diri dari pemilihan; (vii) Memboikot barang-
barang dari luar negeri.28
Keempat, direct action (unjuk rasa) sebab satyagraha selalu lebih unggul
dari perlawanan bersenjata. Hal ini hanya dapat efektif dibuktikan dengan
demonstrasi, bukan dengan perdebatan.29 Kelima, jalan terakhir, adalah puasa
sebagai pengendalian diri agar menghasilkan kewaspadaan dan sikap hormat
kepada orang lain. Puasa tidak hanya membuat seseorang mengenali
28T. S. G. Mulia, India: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan, h. 211-212. 29Thomas Merton, Gandhi tentang Pantang Kekerasan, h. 43.
62
kecenderungan-kecenderungan batinnya sampai yang paling lembut sekalipun,
tetapi juga dapat semakin memurnikan intensi-intensinya. Puasa dimaksudkan
untuk menyadarkan orang-orang yang melakukan kesalahan.30
“Seorang satyagrahi hanya berpuasa jika hal itu merupakan jalan terakhir, bila semua cara mencari keadilan telah dijelajahinya dan telah gagal. Tidak ada peluang untuk meniru-niru puasa. Barangsiapa tidak memiliki kekuatan batin janganlah memimpikannya apalagi dengan embel-embel kemenangannya. Akan tetapi, sekali seorang satyagrahi telah melaksanakan puasa dengan keyakinan, maka dia harus berpegang teguh pada keputusannya terlepas dan apakah tindakannya itu ada harapan berbuah atau tidak. Barangsiapa berpuasa dengan mengharapkan berbuah umumnya gagal. Bahkan jika kelihatannya tidak gagal, ia kehilangan semua kebahagiaan batin yang dikandung puasa yang benar. Adalah keliru untuk berpuasa demi tujuan kepentingan sendiri, umpamanya kenaikan gaji sendiri. Dalam keadaan tertentu dapat diperbolehkan berpuasa untuk kenaikan upah atas nama golongan sendiri.”31
Dalam satyagraha, Gandhi telah menunjukkan kepada dunia satu bentuk
baru dari penyelesaian konflik yang dapat diterapkan dalam konflik
antarbangsa, antara minoritas yang tertindas dan pemerintah mereka,
antarkelompok sosial, dan bahkan antarindividu. Ini adalah jalan yang sulit
untuk diikuti, tapi merupakan satu-satunya jalan yang dapat menghasilkan
pemecahan abadi.
3. Swadesi
Secara kebahasaan swadeshi merupakan turunan dari kata berbahasa
Sanskerta (Sanskrit) “sandhi”. Bisa juga dimaknai sebagai penggabungan dari
dua kata Sansekerta. “Swa” yang berarti "diri" atau "mandiri" atau "sendiri"
dan “desh” yang berarti "negara" atau “desa”. Bila digabungkan artinya
30Mohandas Karamchand Gandhi, Mahatma Gandhi Sebuah Autobiograpi, Kisah tentang
Eksperimen-Eksperimen Saya terhadap Kebenaran, h. 625-629. 31Thomas Merton, Gandhi tentang Pantang Kekerasan, h. 91.
63
menjadi "desa mandiri". Sebagai kata sifat, swadeshi dapat berarti "dari negara
sendiri".32
Pengertian swadesi adalah cinta Tanah Air sendiri, cara mengabdi kepada
masyarakat yang sebaik-baiknya adalah mengabdi kepada lingkungannya
sendiri lebih dulu. Gandhi secara jelas memberikan urutan swadesi ini yaitu
pengabdian diri untuk keluarga, pengorbanan keluarga untuk desa, desa untuk
negara, dan negara untuk kemanusiaan. Maksud Gandhi agar swadesi ditaati
adalah untuk menciptakan ketenteraman dunia, sedangkan pengingkaran
terhadapnya mengakibatkan kekacauan. Pelaksanaan swadesi ini antara lain
sebisa-bisanya agar membeli segala keperluan dari dalam negeri dan tidak
membeli barang-barang impor bila barang-barang tersebut dapat dibuat dalam
negeri sendiri.33
Swadesi memiliki pengertian yang sangat dalam. Setiap manusia hidup di
alam sekitarnya yang sudah ditentukan oleh alam. Ia tunduk kepada karmanya.
Wujud itu tidak dapat diubah sehingga suatu bangsa tidak berhak untuk
mencampuri atau menguasai sumber daya alam dan manusia bangsa lain.
Setiap bangsa harus dengan seluas-luasnya mempergunakan kemungkinan-
kemungkinan yang terkandung di alamnya sendiri untuk mencapai
kesempurnaan.34
Gerakan dalam bentuk industri kecil yang melibatkan desa-desa ini
menjamin kesejahteraan seutuhnya bagi manusia. Prinsip swadesi membuka
wacana untuk melakukan sebuah gerakan cinta produk dalam negeri, tidak
tergantung kepada barang-barang impor yang tidak terbendung masuk lewat
32Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Swadesi 33I Ketat Wisarja, Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan, h. 66-67. 34T. S. G. Mulia, India: Sejarah Politik dan Pergerakan Kebangsaan, h. 200.
64
pelabuhan-pelabuhan. Mandiri dalam artian yakin akan kemampuan sendiri
dan berani menolak invasi produk luar. Jika semua mengacu dan selalu
bermuara kepada kepentingan bangsa, swadesi-swadesi lokal niscaya akan
banyak bermunculan.
Asumsi dasar Gandhi ketika bergerak melawan imperialisme ini adalah
untuk menghidupkan dan menanamkan betapa pentingnya produk lokal untuk
membangun ekonomi bangsanya, lewat sumber daya yang ada Gandhi
berpikir tidak perlu masyarakat India harus mengimpor segala sesuatunya dari
luar, mereka percaya dengan produknya sendiri. Dalam praktiknya gerakan
swadesi langsung menyentuh sektor riil yaitu rakyat memulai dengan
menanam kapas sendiri, memintal benang, dan menenun sendiri. Implikasinya
adalah mereka sangat menghargai hasil karya sendiri, tidak mau membeli
produk-produk bangsa asing. Rakyat terutama sekali anggota-anggota dari
Indian National Conggress tidak diperbolehkan membeli barang-barang
buatan bangsa asing.35
Gandhi menjadikan roda pintal menjadi simbol dalam gerakan ini.
Kegiatan memintal benang merupakan aktivitas harian wajib di ashram.
Aktivitas memintal benang merupakan sesuatu yang esensial dalam program
konstruktif dalam ajaran Gandhi. Memintal, menurut Gandhi, dapat
mengurangi tingkat kemiskinan India dan membuat kaum miskin mandiri
secara ekonomi. Selain dari keuntungan ekonomi, Gandhi melihat aktivitas
memintal benang sebagai cara yang efisien untuk mendisiplinkan massa yang
merupakan esensi vital gerakan perlawanan sipil tanpa kekerasan. Melalui
35Stanley Wolpert, Mahatma Gandhi, h. 171.
65
aktivitas memintal, seseorang dapat berjam-jam berdiam diri, berdisiplin,
menghadapi proses penciptaan selembar kain bagi pakaiannya. Kesabaran dan
penghargaan pada proses akan mengantarkan seseorang pada kesadaran
prinsip hidup tanpa kekerasan.36
Gandhi sendiri membawa perkakas ini ke mana pun pergi dan
memakainya di mana ada kesempatan. Sebagai penghormatan besar terhadap
gerakan ekonomi swadesi Gandhi gambar roda pemintal tertera pada bendera
kebangsaan India yang mulai berkibar dengan resmi pada 15 Agustus 1947. Di
masa Gandhi gerakan swadeshi makin mendapatkan ruhnya ketika ia
mendefinisikannya sebagai "panggilan bagi konsumen untuk waspada
terhadap bahaya yang ditimbulkan dari mendukung industri mereka (asing
atau penjajah) yang menghasilkan kemiskinan dan berbahaya bagi para
pekerja dan manusia serta makhluk-makhluk lain."37
Menurut Gandhi, konsep swadesi erat kaitannya dengan semangat swaraj
sebagai cita-cita bersama seluruh warga India, bahkan seluruh manusia. Dalam
bahasa sederhana, Gandhi mengartikannya sebagai “menggunakan apa yang
dihasilkan oleh negeri sendiri”. Konsep swadesi mengarah pada swaraj dalam
arti pemerintah oleh negeri sendiri (self-rule) yang senyatanya bertumpu pada
kekuatan sendiri (self-reliance). Gandhi menuliskan “Satu negara yang
rakyatnya tidak mampu memenuhi sendiri kebutuhan-kebutuhan sandang dan
pangannya tidak akan bisa menikmati swaraj yang sesungguhnya.”38
“Tidak mungkin seseorang menganut paham internasionalisme, tanpa menganut paham nasionalisme. Internasionalisme baru akan
36Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 48-50. 37Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Swadesi 38Francis Alappatt, Mahatma Gandhi: Prinsip Hidup, Pemikiran Politik, dan Konsep
Ekonomi (Bandung: Nusamedia-Nuansa, 2005), h. 112.
66
terlaksana bila nasionalisme telah menjadi nyata. Tegasnya bila bangsa-bangsa di berbagai negara telah menata diri masing-masing sehingga mereka mampu bertindak sebagai kesatuan. Yang jahat bukalah nasionalisme, melainkan kepicikan, egoisme, dan sikap eksklusivistis yang merupakan sikap negatif dari bangsa-bangsa dewasa ini, masing-masing ingin mencari keuntungan dengan merugikan bangsa lain, mengejar kejayaan dengan meruntuhkan bangsa lain.”39
Gandhi khawatir, kecenderungan atas kemajuan material yang tidak
terbatas dapat menjadi rintangan bagi pencapaian kemajuan kemanusiaan,
khususnya kemajuan moralitas. Dia berkeyakinan bahwa dalam kehidupan
manusia, pertumbuhan dan perkembangan aspek material dan nonmaterial
harus berjalan seimbang dan harmonis. Menurut Gandhi, hanya pertumbuhan
yang mencakup aspek spiritual dan material inilah yang benar-benar bernilai
bagi manusia. Gandhi mempunyai komitmen tinggi terhadap model
perencanaan ekonomi yang mencakup proses pencapaian pertumbuhan
material dan kemakmuran, sekaligus peningkatan aspek spiritual, sedemikian
rupa sehingga pada akhirnya bisa mewujudkan kesejahteraan seutuhnya
(integral) bagi manusia, baik secara individual maupun masyarakat secara
keseluruhan.
“Dengan gembira saya akan menyambut setiap penyempurnaan terhadap alat-alat kerajinan tangan. Namun saya sadar bahwa adalah suatu perbuatan jahat jika kita menggantikan pekerjaan tangan dengan memperkenalkan alat pemintal yang digerakkan oleh mesin; kecuali bila pada saat yang sama kita sanggup menyediakan kesempatan kerja bagi berjuta-juta kaum petani untuk dilakukan di rumahnya masing-masing.”40 Pemikiran Gandhi tentang ekonomi memberikan posisi sentral bukan pada
kekayaan, melainkan pada manusia. Manusia sebagai makhluk yang memiliki
martabat dan kebebasan harus mendapatkan tempat yang selayaknya, apa pun
harga yang mesti dilakukan. Memberikan pertimbangan tertinggi untuk
39Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 139. 40Ibid., h. 147.
67
manusia dan berjuang demi kebaikan terbesar untuk semuanya, termasuk
dalam bidang ekonomi, adalah prinsip yang dimaksudkan Gandhi sebagai
konstruksi ekonomi yang didasarkan pada prinsip antikekerasan. Dalam ranah
ekonomi, eksploitasi adalah esensi dari kekerasan, dan di dalam eksploitasi
tidak akan pernah ada ruang bagi pemerataan produksi dan pemerataan
pemakmuran.
Gandhi merumuskan prinsip-prinsip dan hukum ekonomi yang tepat
dengan mengacu pada ajaran-ajaran yang disarikan dari kitab-kitab suci
berbagai agama besar di dunia, bukan berpegang pada risalah atau teori-teori
ekonomi dari para ahli. Penolakan terhadap motif ekonomi murni, yaitu motif
mementingkan kepentingan sendiri, dan penegasan pertimbangan faktor
kemanusiaan, dalam ranah ekonomi, menurut Gandhi akan melahirkan dua
prinsip dasar. Pertama; semangat pelayanan dan pengorbanan harus menjadi
bagian hidup seseorang dalam berinteraksi dengan sesama manusia dan
seluruh masyarakat. Kedua; penyelenggaraan ekonomi harus didasarkan pada
etika. Hal ini harus menjadi prinsip dasar apabila ilmu ekonomi benar-benar
hak diterapkan untuk menyejahterakan manusia.
Manusia tak bisa hidup dari motif ekonomi semata. Karena itu, tatanan
ekonomi yang bertujuan untuk mewujudkan kehidupan yang layak dan
manusiawi harus berpegang pada prinsip-prinsip kemanusiaan dan ditujukan
untuk mewujudkan kesejahteraan manusia. Secara khusus Gandhi telah
mengingatkan adanya sejumlah efek merusak yang ditimbulkan oleh
ketidakmanusiaan sistem produksi modern dalam memperlakukan manusia.
Cinta dan kasih sayang akan mendapatkan perwujudannya terutama melalui
68
hubungan inter-personal, sebuah hubungan di mana pribadi manusia
merupakan tujuan utama dan sebuah relasi yang memberikan perhatian tulus
terhadap manusia. Relasi semacam itu akan memberikan kekuatan yang sangat
besar untuk memotivasi produktivitas.
Gandhi juga menyadari akan keberadaan hukum ilahi bahwa manusia
harus mendapatkan makanannya melalui bekerja dengan menggunakan
tangannya sendiri. Prinsip tentang kerja mencari nafkah harus dikaitkan
dengan sifat martabat dan kesetaraan manusia. Kehormatan manusia bisa
dikaitkan dengan kehormatan kerjanya.
Gandhi memandang bahwa ekonomi yang dilekati oleh karakter kerakusan
dan kecenderungan untuk melipatgandakan keinginan-keinginan dan
kebutuhan manusia dalam tingkatan yang tidak terbatas serta cenderung
mengabaikan penegakan kekuatan dan prinsip-prinsip moral pasti tidak akan
membawa manusia lebih dekat dengan kebahagiaan, kepuasan, dan
kedamaian. Pertimbangannya adalah pelipatgandaan kebutuhan dan keinginan
dalam tingkat yang tak terbatas sesungguhnya bukan merupakan ungkapan
dari keinginan manusia untuk menjadi lebih baik dan lebih puas dalam
pemenuhan kebutuhannya dan penciptaan keinginan yang tidak ada batasnya
dan selalu berusaha memenuhi semua keinginan tersebut bukanlah satu proses
yang mengarah kepada kemajuan manusia, tetapi justru membawa manusia ke
jurang kehancuran.
Kebanyakan kejahatan ekonomi di dunia ini muncul dari monopolisasi
atas alat-alat produksi, melalui sistem yang sangat efisien dan sentralistis.
Keberatan tersebut didasarkan pada keuntungan atau laba yang sifatnya
69
terbatas, konsentrasi produksi di beberapa wilayah menciptakan problem
serius mengenai distribusi. Sentralisasi sebagai sebuah sistem tidak sesuai
dengan struktur masyarakat yang didirikan di atas prinsip antikekerasan,
sentralisasi tidak sesuai penegakan paham yaitu penerapan nilai pada
pengendalian diri yang sesungguhnya dan ketidakpercayaan pada peradaban
industri modern yang menciptakan efisiensi.41
Penolakan terhadap industrialisasi dalam skala besar merupakan salah satu
metode yang sangat prinsipiil bagi kemajuan ekonomi suatu bangsa. Gandhi
mengatakan bahwa desentralisasi ekonomi yang merupakan sistem yang
mengedepankan aktivitas ekonomi utama harus dilakukan di seluruh wilayah
pedesaan India. Dalam pandangannya, sistem desentralisasi ekonomi ini
sejalan dengan semangat ahimsa dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat.42
Ide-ide ekonomi Gandhi tidak ortodoks dan disalahpahami secara luas.
Gandhi sama sekali tidak anti-industrialisasi, tapi ia menentang ekspansi
ekonomi yang tidak terkendali.
“Saya tidak pernah memikirkan, jangan lagi menganjurkan dihapuskannya kegiatan perindustrian yang wajar dan yang menyediakan nafkah, demi penggunaan alat pemintal. Satu-satunya dasar untuk penggunaan alat pemintal itu adalah kenyataan bahwa puluhan ribu penduduk mengalami pengangguran terselubung di India. Saya bersedia mendukung penggunaan alat mesin yang amat canggih bila bermanfaat menghilangkan kemiskinan serta pengangguran yang ditimbulkan olehnya di India.”43
Gandhi melihat dengan sangat jelas bahwa pemikiran ekonomi modern
dalam pengejaran secara terburu-buru standar kehidupan material yang
semakin tinggi telah melupakan nilai-nilai kemanusiaan yang mengandung
41Ibid., h. 151. 42Ibid., h. 153. 43Ibid., h. 148.
70
makna lebih banyak dari pada kemakmuran material. Kemakmuran material
bisa menjadi halangan bagi pengejawantahan diri. Gandhi yakin, dan untuk
alasan yang baik, bahwa manusia modern sedang menuju kepada kehancuran.
Ia berusaha keras untuk meyakinkan kita untuk mempertimbangkan kembali
kebijakan-kebijakan ekonomi kita. Ia percaya bahwa kecil itu indah dan
bahwa para ahli ekonomi harus mempertimbangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Kebijakan ekonomi harus menjamin bahwa tidak seorang pun di dunia ini
kelaparan atau menjadi tunawisma.
B. Dimensi Teologis
1. Kebenaran Sejati
Gandhi menyadari ada sesuatu kekuatan misterius yang tidak terlukiskan
mengenai segala sesuatu. Dia mengaku merasakannya walaupun tidak dapat
melihatnya. Kekuatan yang tidak tampak ini membuat dirinya dirasakan,
tetapi tidak dapat dibuktikan karena begitu berbeda dengan apa yang
diterimanya. Kekuatan ini melalui perasaan, tapi ia melebihi perasaan. Dengan
begitu, Gandhi menyarankan barangkali sampai pada tingkat tertentu manusia
memang perlu merenungkan eksistensi Tuhan secara mendalam.44
Merenungkan eksistensi Tuhan dalam terminologi Gandhi sama halnya
dengan merenungkan eksistensi Kebenaran. Baginya, Kebenaran adalah unsur
pertama yang harus dicari. Keindahan dan Kebaikan merupakan dua
kebijaksanaan kemudian yang akan didapatkan. Itulah menurutnya yang
diajarkan oleh Kristus dan Muhammad.45
44Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 65. 45Ibid., h. 85.
71
Tetapi, pencarian akan kebenaran sesungguhnya sama dengan pencarian
akan Tuhan. Menurutnya, Kebenaran adalah Tuhan. Tuhan ada karena
Kebenaran ada. Gandhi mulai melakukan pencarian, karena dia percaya
adanya Kebenaran. Hal ini dapat ditemukan dengan jalan melakukan
pencarian yang tekun dan ketaatan yang teguh terhadap cara-cara ketentuan
pencarian yang telah dikenal dan dicoba sebelumnya yakni ahimsa.46
Mendefinisikan Kebenaran yang telah dicoba Gandhi memang gampang-
gampang susah. Gandhi mengatakan bahwa Kebenaran adalah sesuatu yang
dikatakan oleh suara yang ada di dalam diri manusia. Kalau begitu, kita
mungkin bertanya, bagaimana orang yang berbeda-beda memikirkan tentang
Kebenaran yang berbeda-beda serta saling bertentangan? Mengingat pikiran
rnanusia itu berkembang dan perkembangan pikiran manusia tidak sama, apa
yang dianggap benar oleh seseorang mungkin tidak benar bagi orang lain.
Sementara itu, setiap orang juga mempunyai hak untuk menyuarakan hati
nuraninya tanpa terikat pada peraturan apa pun. Tetapi, tidak seorang pun
mempunyai hak untuk memaksa orang lain untuk berbuat sesuai
pandangannya tentang Kebenaran. Satu-satunya yang dapat Gandhi
persembahkan kepada manusia dengan segala kerendahan hati adalah bahwa
Kebenaran tidak akan ditemukan oleh seseorang yang tidak memiliki rasa
rendah diri yang tebal sekali. Bila memang ingin berenang di gelanggang
samudera kebenaran, menurutnya, manusia memang harus mengosongkan diri
sampai pada titik nol. Gandhi menganjurkan, mereka yang telah mengadakan
46Ibid., h. 83.
72
percobaan telah sampai pada kesimpulan bahwa kondisi-kondisi tertentu harus
diamati selama mengadakan percobaan itu.47
Sebelum pada kesimpulan bahwa Kebenaran adalah Tuhan, Gandhi
mencoba mendefinisikan bahwa Tuhan adalah Kebenaran. Menurutnya,
Tuhan adalah Kebenaran dan kasih. Tuhan adalah etika dan moralitas. Tuhan
adalah tidak menakutkan. Tuhan adalah sumber cahaya dan kehidupan, namun
dia adalah melebihi semua ini. Tuhan adalah hati nurani, bahkan dia adalah
ateismenya orang ateis. Dia melebihi kata-kata dan akal. Dia adalah Tuhan
yang personal buat mereka yang merasa kehadirannya. Dia merupakan
perwujudan bagi mereka yang memerlukan sentuhannya. Dia adalah intisari
yang paling murni. Dialah Tuhan bagi mereka yang menaruh keyakinan. Dia
adalah segalanya bagi semua makhluk. Dia ada di dalam diri kita, tetapi tetap
dia ada di atas dan di luar kita. Dia sangat menderita. Dia penyabar, tapi juga
menakutkan. Buat dia kebodohan bukanlah merupakan alasan. Tetapi, secara
keseluruhan dia Maha Pengampun karena dia senantiasa memberi kesempatan
kepada manusia untuk menunjukkan penyesalan. Dia adalah Demokrat
Terbesar yang dikenal di seluruh dunia, karena dia membiarkan kita tak
terkekang dan bebas menentukan pilihan antara yang jahat dan yang baik. Dia
pun Tiran Terbesar yang pernah ada, karena dia seringkali menyingkirkan
cangkir dari bibir kita dan seakan-akan atas kemauan sendiri. Kita tinggal
menggunakan kesempatan yang terlalu kecil itu untuk menunjukkan bukti
kepadanya. Karena itu, menurutnya, dalam agama Hindu ini semua disebut
sebagai Tuhan yang aneh.48
47Ibid., h. 83-84. 48Ibid., h. 67.
73
Secara samar-samar Gandhi mengaku merasakan bahwa segala sesuatu
selalu berubah-ubah dan selalu mengalami kematian. Yang mendasari semua
perubahan itu adalah sesuatu kekuatan hidup yang tidak berubah-ubah yang
menyatukan semua itu yang menciptakan, memusnahkan, dan menciptakan
kembali segala sesuatu. Kekuatan atau jiwa itu adalah Tuhan dan karena tidak
ada barang lain yang saya lihat.
Keyakinan yang kuat tidak tergoyahkan yang hidup adalah satu-satunya
yang diperlukan untuk mencapai tingkat spiritual penuh yang dapat dijangkau
oleh manusia. Tuhan sebenarnya tidaklah di luar urusan duniawi kita. Karena
itu, bukti lahiriah tidak banyak gunanya, kalau memang ada gunanya, kita
pasti gagal merasakannya melalui indera kita karena dia lebih dari itu. Kita
dapat merasakannya jika kita menarik diri kita dari indera kita. Musik ilahi
tampak hentinya akan mengalun dalam diri kita, tetapi perasaan kita yang
gaduh akan menelan bunyi musik yang halus itu yang bunyinya tidak sama
dan jauh lebih tinggi daripada apa pun yang dapat kita rasakan atau dengar
dengan indera kita.
Gandhi berusaha sungguh-sungguh untuk dapat menatap Tuhan dengan
jalan memberikan pelayanan kepada umat manusia karena dia tahu bahwa
Tuhan itu tidak ada di surga juga tidak ada di bawah, melainkan ada di dalam
diri setiap orang.49 Tuhan itu bukan seorang pribadi. Tuhan adalah kekuatan.
Dia adalah sari kehidupan. Dia suci dan kesadaran tanpa cela. Dia abadi, tetapi
anehnya semua orang tidak akan dapat memetik manfaat dari atau berlindung
di bawah kehadirannya yang meliputi segalanya. Kekuatan hidup yang kita
49Ibid., h. 68.
74
sebut Tuhan, dengan cara yang sama dapat ditemukan jika kita tahu dan
menuruti hukumnya untuk menemukan Dia dalam diri kita.
Ada demikian banyak memang definisi mengenai Tuhan karena
manifestasinya juga begitu banyak. Manifestasi ini telah membuat Gandhi
heran, kagum, dan sesaat telah memesonanya. Tetapi, Gandhi mengatakan
hanya mengagungkan Tuhan sebagai Kebenaran. Gandhi sepertinya menerima
teori agama Jain tentang banyak sisi dari Kebenaran (anekantvada). Dari sini
muncul keperluan bagi keterbukaan pikiran dan pencarian jiwa. Dalam
keadaan kritis, Gandhi mempercayakan pada "suara-dalam" (inner-voice),
yang ia percaya telah dihubungkan pada panggilan Kebenaran melalui praktik
yang lama secara terus-menerus.
Menurutnya, pengetahuan ilahi tidak dapat dipinjam dari buku-buku, tapi
harus direalisasikan dalam diri kita. Buku memang merupakan suatu bantuan,
tetapi seringkali dapat merupakan hambatan.50 Menurut pengertian yang
benar-benar ilmiah, kata Gandhi, Tuhan memang merupakan dasar dari segala
yang baik dan juga yang jahat. Dialah yang menggerakkan belati seorang
pembunuh dan Dialah yang menggerakkan pisau seorang ahli bedah.
Meski demikian, Gandhi mengakui tidak pernah menemukan makna ganda
Tuhan dalam hubungannya dengan Kebenaran sebab kaum ateis pun tidak
berkeberatan mengenai perlu adanya kekuatan dari Kebenaran. Untuk
menemukan Kebenaran, para ateis tidak merasa ragu untuk membantah
adanya Tuhan, sesuatu yang hanya wajar dilihat dari segi pandangan mereka.
Gandhi menyadari bahwa banyak orang meragukan keberadaan Tuhan,
50Ibid., h. 70.
75
sementara Gandhi menilai tidak seorang pun dapat menyangkal nilai-nilai
dasar dari tindakan etis Kebenaran. Karena secara epistemologi (cabang
filsafat ilmu) Kebenaran tampaknya lebih pasti daripada Tuhan, Gandhi
mengubah posisi dasarnya dari Tuhan adalah Kebenaran menjadi Kebenaran
adalah Tuhan. Namun, Gandhi mengakui ada kesulitan besar, yaitu bahwa
jutaan orang menyebutkan nama Tuhan dan atas namanya melakukan berbagai
kekejaman demi Kebenaran. Ini tidak berarti bahwa para ilmuwan juga tidak
melakukan kekejaman dengan mengatasnamakan Kebenaran.
Dengan demikian, menurut Gandhi, sarana satu-satunya yang harus
digunakan ialah antikekerasan (ahimsa) jika manusia ingin menemukan
Kebenaran dan Tuhan. Kebenaran secara sangat baik dilayani oleh cinta. Bila
tindakan seseorang didorong oleh cinta kepada semua makhluk di alam
semesta, tindakan-tindakan itu akan sangat menunjang bagi kebaikan tertinggi.
Dengan demikian, cinta adalah kebajikan utama.
Kebenaran adalah kebaikan tertinggi. Karena manusia adalah makhluk
yang dapat salah, mereka tidak yakin untuk mengetahui Kebenaran Sejati.
Definisi Kebenaran tersimpan di relung hati setiap manusia. Kebenaran adalah
sesuatu yang kita percaya adalah benar pada saat ini dan itulah Tuhan kita.
Bila seseorang mengagumi kebenaran relatif ini, pasti akan memperoleh
Kebenaran Sejati atau Tuhan pada waktunya nanti.
Gandhi juga mengaku merasa belum menemukannya, tetapi tetap berusaha
mencarinya. Dia bersedia mengorbankan hal-hal yang paling dicintainya
untuk melakukan pencarian ini bahkan bila pengorbanan itu menuntut jiwanya
sekalipun Gandhi berharap bahwa dia dapat memberikannya. Tetapi, selama
76
belum dapat menyadari Kebenaran Sejati ini, selama itu pula Gandhi
mengakui berpegang pada kebenaran relatif sebagaimana dia pahami ini.
Konseptor negara India ini menyatakan sungguh bukanlah seorang
negarawan yang mengenakan pakaian orang suci. Tetapi karena Kebenaran
adalah kearifan yang paling tinggi, kadang-kadang tindakannya tampak
seakan-akan konsisten dengan kenegarawanan yang paling tinggi. Namun,
Gandhi berharap tidak memiliki kebijakan dalam diri kecuali kebijakan dari
Kebenaran dan ahimsa. Dia bahkan tidak akan mengorbankan Kebenaran dan
ahimsa untuk pembebasan negara atau agamanya sekalipun. Itu semua dengan
mengatakan bahwa kedua hal itu memang tidak dapat dikorbankan.
Menurut Gandhi, Kebenaran adalah penggambaran tepat tentang Tuhan.
Maka tidaklah keliru apabila setiap orang mengikuti Kebenaran menurut
petunjuk dan cahaya yang mereka miliki. Kewajiban setiap orang adalah
bahkan mencari petunjuk tentang Kebenaran. Kemudian apabila dalam
perjalanan mencari dan mengikuti Kebenaran itu seseorang melakukan
kekeliruan tetapi ia tetap bersungguh-sungguh dengan Kebenaran, secara
otomatis dia akan mengoreksi dirinya.
Gandhi akhirnya mengatakan dia hanyalah seorang pencari kebenaran.
Gandhi telah mulai menemukan jalan untuk mendekatinya. Dia juga telah
berusaha tanpa henti untuk menemukannya. Menurutnya, menemukan
Kebenaran sepenuhnya sama dengan menemukan diri sendiri dan tujuan
hidupnya adalah untuk mencapai kesempurnaan. Dengan sedih Gandhi juga
77
menyadari ketidaksempurnaannya, tapi justru di sana terletak kekuatan yang
dia miliki, karena jarang orang memahami keterbatasannya sendiri.51
2. Agama Kemanusiaan
Agama yang dimaksud Gandhi bukanlah agama Hindu, melainkan agama
yang melebihi Hindu, yang dapat mengubah watak seseorang dan yang
mengikat seseorang secara mutlak pada Kebenaran dalam dirinya dan yang
sifatnya menyucikan. Agama yang merupakan unsur permanen dalam watak
manusia yang tidak memperhitungkan berapa pun harganya untuk dapat
mengungkapkannya sepenuh-penuhnya serta membuat jiwa sangat gelisah
sampai dapat menemukan dirinya, mengenal Penciptanya, dan menghargai
hubungan yang sebenarnya antara Sang Pencipta dan dirinya sendiri.52
Agama ini meliputi setiap perbuatan kita. Di sini agama bukan berarti
sekterianisme atau yang terkungkung pada satu aliran saja. Namun, suatu
peraturan moral yang tertib untuk seluruh dunia. Agama adalah sesuatu yang
tidak kurang nyata karena memang tidak dapat dilihat. Agama seperti ini
melebihi agama-agama Hindu, Islam, Kristen, dan sebagainya, tetapi tidak
menggantikan agama-agama itu, malah berjalan serasi serta membuat agama-
agama itu lebih realistis.53
Agama yang dipahami Gandhi bukan agama yang terpenjara. Paling tidak
ia memberi tempat bagi makhluk Tuhan. Sifatnya tahan terhadap keangkaraan
dan keangkuhan suku, agama, dan warna kulit. Gandhi tidak sependapat
dengan mereka yang percaya bahwa kelak hanya akan ada satu agama di muka
51Ibid., h. 85. 52Ibid., h. 65. 53Ibid., h. 69.
78
bumi ini. Oleh sebab itu, dia tetap berusaha untuk menemukan sebuah faktor
bersama dan untuk membangkitkan toleransi secara timbal balik.
Gandhi memaknai agama bukan secara formal atau secara adat, melainkan
sesuatu yang mendasari semua agama, yang akan membawa kita bertemu
muka dengan Sang Pencipta.
“Saya belum pernah melihat-Nya, begitu juga saya tidak mengenal-Nya. Saya telah ikut menerima keyakinan dunia akan Tuhan, dan karena keyakinan saya itu tidak tergoyahkan, saya memandang keyakinan itu menjadi pengalaman. Namun, karena dapat dikatakan bahwa melukiskan keyakinan sebagai suatu pengalaman sama dengan merusakkan Kebenaran, maka barangkali lebih tepat dikatakan bahwa saya tidak dapat memberi ciri kepada keyakinan saya kepada Tuhan.”54
Setiap agama mungkin masih memerlukan simbol khusus. Namun, jika
simbol lalu dibuat menjadi semacam jimat yang dipuja-puja atau menjadi alat
untuk menunjukkan kehebatan agama yang satu terhadap yang lain, atau
pemujaan kepada agama melebihi pemujaan kepada Tuhannya, Gandhi
menyarankan simbol itu hanya cocok untuk dibuang saja. Menurutnya,
pangkal tolak semua agama adalah beriman kepada Tuhan.55
Agama itu ibarat jalan yang berbeda-beda, namun menuju ke titik yang
sama. Dengan begitu, tentu tidaklah menjadi masalah apabila setiap orang
menempuh jalan yang berbeda-beda selama masih memiliki tujuan yang sama.
Menurut Gandhi, Tuhan telah menciptakan berbagai keyakinan yang berbeda-
beda sebagaimana Ia telah menyediakan penganutnya masing-masing. Dengan
demikian, Gandhi menyatakan tidak mungkin secara diam-diam dia
mempunyai pikiran bahwa keyakinan sesamanya kurang baik dibanding
dengan keyakinan Gandhi sehingga berharap bahwa ia akan meninggalkan
54Ibid., h. 65. 55Ibid., h. 70.
79
keyakinan atau agamanya itu untuk memeluk agama Gandhi. Dia justru hanya
bisa berharap dan berdoa semoga setiap sahabat sejati yang setia hidup
bahagia dan tumbuh matang dalam lindungan agamanya sendiri sebab di
rumah Tuhan terdapat bagian rumah dan semua sama kudusnya. Sebagaimana
halnya setiap manusia itu seharusnya saling menghargai seperti antara sanak
saudara sendiri. Penghormatan Gandhi sendiri terhadap agama orang lain
sama dengan terhadap agamanya sendiri. Oleh karena itu, tidak mungkin ada
gagasan untuk berpindah agama.
Setelah mempelajari lama dan seksama serta melalui pengalaman, Gandhi
akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa (1) semua agama itu benar, (2)
semua agama itu memiliki beberapa kesalahan di dalamnya, (3) semua agama
itu bagi Gandhi sama berharganya sebagaimana agamanya sendiri yaitu
Hindu.56 Gandhi percaya bahwa semua agama besar di dunia ini “sedikit
banyak” benar. Dia mengatakan “sedikit banyak” karena percaya bahwa
segala sesuatu yang telah disentuh oleh tangan manusia––karena fakta bahwa
manusia adalah makhluk yang tidak sempurna—lalu menjadi tidak sempurna.
Sempurna sesungguhnya memang satu sifat khusus yang dimiliki oleh Tuhan,
dan keadaan itu tidak dapat dilukiskan dan tidak dapat diterjemahkan. Dia
percaya betul bahwa setiap manusia dapat berusaha menjadi sempurna. Kita
semua perlu mengejar kesempurnaan, tetapi apabila keadaan itu tercapai, lalu
tidak dapat dilukiskan atau diceritakan oleh sebab itu, dengan segala
kerendahan hati, Gandhi harus mengakui bahwa kitab-kitab Weda, Alquran,
atau Injil pun semua merupakan sabda Tuhan yang tidak sempurna dan karena
56Ibid., h. 69.
80
kita adalah makhluk yang tidak sempurna yang selalu diombang-ambingkan
oleh hawa nafsu yang demikian banyak, maka tidak mungkin kita dapat
memahami sabda Tuhan ini dengan sepenuhnya.57
Meski begitu, Gandhi percaya kepada kebenaran fundamental yang
terdapat dalam semua agama besar di dunia. Dia percaya bahwa semuanya
adalah perberian Tuhan dan Gandhi percaya bahwa agama-agama itu perlu
untuk orang-orang memperoleh perwahyuan tersebut. Semua keyakinan
merupakan ungkapan-ungkapan kebenaran, tetapi semuanya tidak sempurna,
dan sangat besar kemungkinan mengandung kesalahan. Namun,
penghormatan kita terhadap keyakinan-keyakinan lain tidak usah membuat
kita menutup mata terhadap kekeliruan mereka.
Gandhi yakin bahwa semua agama besar di dunia benar dan merupakan
perintah Tuhan. Agama itu ibarat satu pohon dengan banyak cabang. Melihat
banyaknya cabang, kita dapat mengatakan, ada banyak agama, tetapi ibarat
batangnya, agama itu hanya satu. Sekalipun sebuah pohon hanya mempunyai
satu batang, tetapi ia mempunyai banyak cabang dan daun sehingga dapat
diumpamakan sehingga dapat diumpamakan hanya ada satu agama yang benar
dan sempurna, tetapi kemudian tumbuh menjadi banyak pada waktu melalui
perantara manusia. Agama yang satu ini sebenarnya di luar kemampuan kita
untuk membicarakannya. Orang-orang yang tidak sempurna ini
menerjemahkannya ke dalam bahasa sebagaimana mereka mampu
menyusunnya. Selanjutnya kata-kata mereka itu diberi penafsiran oleh orang-
orang lain yang sama tidak sempurnanya. Lalu penafsiran siapa yang dianggap
57Ibid., h. 71.
81
benar? Setiap orang benar bila dilihat dari sudut pandangnya, tetapi tidak
mungkin bahwa setiap orang keliru.
Gandhi menolak setiap ajaran agama yang tidak sesuai dengan akal sehat
dan bertentangan dengan asas moralitas.58 Namun, dia mengatakan dapat
menoleransi perasaan keagamaan yang tidak masuk akal selama tidak bersifat
asusila sebab begitu kita kehilangan dasar moralitas kita tidak lagi bersifat
religius. Tidak mungkin agama mengesampingkan moralitas manusia
misalnya tidak dapat bertindak jujur, kejam, suka marah, dan menyatakan diri
paling diridai Tuhan.
Kitab-kitab keagamaan menurutnya tidak lebih penting daripada akal sehat
dan Kebenaran. Kitab-kitab itu dimaksudkan untuk menjernihkan akal dan
menjelaskan Kebenaran. Kekeliruan tidak merupakan pengecualian,
sungguhpun dapat ditunjang oleh kitab-kitab suci di dunia. Suatu kekeliruan
tidak akan berubah menjadi Kebenaran karena alasan perambatan iman yang
berlipat ganda, seperti juga Kebenaran tidak akan menjadi kekeliruan karena
tidak ada yang menyaksikannya
Kaidah moral yang tinggi adalah bahwa kita harus bekerja demi kebaikan
umat manusia secara terus-menerus. Keinginan-keinginan dan alasan
bertindak kita dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok egois atau
mementingkan diri sendiri dan kelompok tidak mementingkan diri sendiri.
Semua keinginan yang mementingkan diri sendiri adalah tidak bermoral,
sementara keinginan untuk memperbaiki diri sendiri dengan maksud berbuat
baik bagi sesama manusia adalah benar-benar bermoral.
58Ibid., h. 89.
82
Agama yang benar dan moralitas yang benar terjalin erat satu sama lain
secara tidak terpisahkan. Bagi moralitas, agama ibarat air bagi benih yang
disemaikan dalam tanah.59 Sesungguhnya tiada agama yang lebih tinggi
daripada Kebenaran dan Keadilan. Keyakinan yang hidup ini telah
memecahkan banyak persoalan kehidupan. Keyakinan ini telah ikut
meringankan penderitaan kita. Keyakinan ini telah membuat kita bertahan
dalam kehidupan dan satu-satunya pelipur kita dalam menghadapi kematian.
Pencarian terhadap Kebenaran yang sebenarnya menjadi menarik dan
bermanfaat karena keyakinan ini. Tetapi sesungguhnya, mencari Kebenaran
sama dengan mencari Tuhan. Kebenaran adalah tuhan. Tuhan ada karena
Kebenaran ada.
Untuk dapat melihat semangat Kebenaran yang universal dan mencakup
segalanya itu, seseorang harus mampu menyayangi ciptaan paling buruk
sebagaimana dirinya sendiri.60 Dan orang yang beraspirasi demikian tidak
akan mampu menghindari setiap bidang kehidupan. Inilah sebabnya mengapa
kecintaan Gandhi terhadap Kebenaran telah membawanya masuk ke bidang
politik. Dia bahkan dapat mengatakan tanpa ragu sedikit pun, tetapi tetap
dengan segala kerendahan hati, mereka yang menyatakan bahwa agama tidak
ada hubungannya dengan politik tentunya tidak tahu apakah sebenarnya
agama itu.
Gandhi mengaku tidak akan dapat menjalani suatu kehidupan beragama
kecuali jika dapat mengidentifikasi diri dengan seluruh umat manusia, dan ini
tidak dapat dilakukan jika ia tidak ikut ambil bagian dalam kegiatan politik.
59Ibid., h. 88. 60Ibid., h. 67.
83
Seluruh aktivitas orang dewasa ini merupakan satu keutuhan yang tidak dapat
dibagi-bagi.
“Andaikata saya seorang diktator, agama dan negara tentunya terpisah. Saya bersumpah atas nama agama saya. Saya ingin mati untuk agama. Tetapi, itu adalah urusan pribadi saya. Tidak ada kaitannya dengan negara. Negara akan mengurus kesejahteraan sekuler, kesehatan, perhubungan, hubungan luar negeri, mata uang, dan sebagainya, tetapi tidak mengurus agama saya atau agama anda. Agama adalah urusan setiap orang secara pribadi.”61
Tanpa agama Gandhi mengaku tidak akan dapat hidup walaupun untuk
sedetik pun sebab kegiatan politik dan kegiatan lain Gandhi memang selalu
berasal dari agamanya. Lebih lagi dia menyatakan bahwa setiap aktivitas
orang yang beragama harus berasal dari agamanya, karena memeluk agama
berarti terikat kepada Tuhan, atau boleh dikatakan Tuhan memang mengatur
setiap tarikan nafas kita.
Gandhi tidak membayangkan agama sebagai salah satu di antara aktivitas
umat manusia. Aktivitas yang sama mungkin saja dilakukan dengan semangat
keagamaan atau semangat nonkeagamaan. Maka baginya, tidak akan mungkin
misalnya meninggalkan dunia politik karena agama sebab setiap tindakan,
sampai yang kecil sekalipun, ditentukan oleh apa yang dia anggap sebagai
agamanya.
Tujuan akhir manusia adalah mencapai Tuhan dan aktivitasnya baik di
bidang politik maupun sosial harus dibimbing oleh tujuan akhir ini. Pelayanan
langsung terhadap semua umat manusia menjadi bagian penting dari upaya
ini, hanya karena satu-satunya jalan untuk menemukan Tuhan adalah melihat-
Nya melalui ciptaan-Nya dan menjadi satu dengannya. Ini hanya dapat
61Ibid., h. 92.
84
dilakukan melalui pelayanan kepada semua orang.62 Gandhi berusaha
sungguh-sungguh untuk dapat menatap Tuhan dengan jalan memberikan
pelayanan kepada umat manusia karena tahu bahwa Tuhan itu tidak ada di
surga juga tidak ada di bawah, tetapi ada di dalam diri setiap orang.
3. Surga Dunia
Surga tentunya masih menjadi impian bagi semua orang, terutama bagi
orang-orang yang beragama, karena tempatnya bukan di bumi yang kita
hidupi saat ini. Namun, mereka tentunya tidak menginginkan apa yang telah
dilakukannya di dunia sia-sia begitu saja tanpa ada balasan yang setimpal
(pahala). Keyakinan ini jualah yang telah memotivasi mereka untuk berlomba-
lomba berbuat kebajikan. Orang-orang yang berbuat kebajikanlah yang akan
mendapatkan balasannya di surga, sedangkan neraka diperuntukkan bagi
mereka yang berbuat dosa. Surga yang diyakini orang yang beragama ini
umumnya merupakan suatu puncak kebahagiaan dan kenikmatan yang tidak
mudah untuk dilukiskan dan digambarkan.
Dari keseluruhan pemikiran Gandhi memang kita tidak akan menemukan
konsep dunia dan akhirat ataupun surga dan neraka secara khusus dan
eksplisit. Namun, tidak ada salahnya jika penulis mencoba menggali gagasan
ini dari data-data yang sudah dikumpulkan sebelumnya. Langkah pertama
adalah menegaskan dan mengingatkan kembali bahwa Gandhi juga seorang
agamawan yang taat dan tekun meski konsep dan prilaku keagamaannya
tidaklah kaku. Sebagai seorang yang beragama Hindu yang taat, Gandhi tentu
percaya bahwa surga itu ada.
62Ibid., h. 72.
85
Menurut agama Hindu, yang dijelaskan oleh Raimon Panikkar, di atas
dunia dan di atas antariksa yang terbuka, ada “dunia ketiga”. Dunia yang
penuh dengan cahaya dan sinar. Matahari tak pernah tenggelam. Kata
“svarga” sendiri berasal dari suku kata “svar” dan “ga”. “Svar” artinya
cahaya, dan “ga” artinya perjalanan. Dengan demikian, surga pada mulanya
berarti perjalanan ke dunia cahaya atau menjadi satu dengan cahaya. Dan
cahaya di dunia yang namanya surga tak pernah sedikit pun mengalami padam
atau kegelapan. Di dalam surga ada “swargaloka”, yaitu tempat para makhluk
yang bercahaya seperti dewa, maharesi, dan orang-orang suci yang telah
mencapai keabadian. Meskipun di dalamnya penuh dengan kenikmatan dan
kebahagiaan, tetapi surga tetap sebuah dunia. Jelas sudah di surga terdapat
“loka”, tempat tinggal. Ada tempat bagi para dewa. Ada tempat bagi para
maharesi yang moksa. Pun ada tempat bagi para jiwa orang-orang suci atau
penuh kebajikan prilakunya.63
“Surga adalah bagian dari tiga dunia (triloka) dalam agama Hindu. Surga adalah dunia atas. Tetapi, tetap sebagai dunia. Bukan tempat tujuan akhir. Bukan pemberhentian yang terakhir. Ia hanyalah stasiun menuju alam spiritual sejati. Memang, di surga digambarkan tidak ada kematian lagi. Tempat istirahat yang nyaman serta abadi. Tak ada duka dan derita di surga. Tetapi, sekali lagi, ia hanyalah tempat sementara untuk melanjutkan perjalanan kepada-Nya.”64
Dalam kepercayaan agama Hindu, surga hanyalah sasaran antara untuk
dapat melanjutkan perjalanan spiritual manusia. Perjalanan akhir spiritual
manusia adalah bersatunya “atman” dan “Brahman”. Menyatunya jiwa
individu ke Jiwa Universal. Sebuah perjalanan spiritual yang bisa ditempuh
63Ahmad Chodjim, Membangun Surga; Bagaimana Hidup Damai di Bumi agar Damai
Pula di Akhirat, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 12. 64Ibid., h. 13.
86
ketika manusia masih hidup di dunia. Bila perjalanan spiritualnya sempurna,
maka ia akan mengalami moksa setelah kematian menjemputnya. Atau, bila ia
tidak dilahirkan kembali, maka perjalanan spiritualnya dilanjutkan setelah
kematiannya.65
Istilah “svarga” juga diserap ke dalam bahasa Jawa menjadi “swagra”.
Menurut kamus Bahasa Jawa yang disusun oleh Balai Pustaka Yogyakarta,
surga merupakan alam kenikmatan tempanya para sukma orang-orang yang
hidupnya penuh dengan kebajikan. Surga juga tempat para dewa. Karena itu,
juga disebut khayangan. Dalam pengertian semula, surga itu adanya ya
sekarang ini. Tidak menunggu hancur leburnya alam semesta. Sekarang ini
para dewa bertempat tinggal di surga. Para sukma orang-orang yang
berprilaku penuh dengan kebajikan ada di surga.66
Terlepas dari apakah Gandhi menyetujui konsep surga yang disebutkan di
atas ataupun malah tidak, ia sepertinya lebih menyetujui bahwa jalan ataupun
cara menentukan segalanya karena apa pun yang akan dituju, dicapai, dan
dihasilkan oleh manusia akan sesuai dengan apa yang dia diperbuat,
diusahakan, dan diperjuangkannya. Inilah yang dalam agama Hindu disebut
dengan karma. Suatu perbuatan dan buah atau balasan dari perbuatan akan
setimpal.
Karena hanya percaya pada satu jalan atau cara yakni ahimsa, Gandhi
akan menerapkannya pada semua tujuannya baik moksa, Tuhan, kemerdekaan
India, Kebenaran, realisasi jiwa, Keadilan, ataupun surga. Dan seperti sudah
kita ketahui sebelumnya bahwa jalan dan tujuan inilah yang kadang-kadang
65Ibid., h. 14. 66Ibid., h. 13.
87
oleh Gandhi dipertukarkan satu sama lainnya. Jalan adalah tujuan dan tujuan
adalah jalan. Maka itu, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa surga yang
dipahami Gandhi juga adalah suatu waktu, tempat, dan keadaan yang terbebas
dari kekerasan (ahimsa) dan surga ini bersifat profan (duniawi). Gandhi
bahkan mengatakan, apabila praktik ahimsa menjadi universal, Tuhan akan
memerintah di dunia seperti yang dilakukannya di surga. 67
Dengan demikian, Gandhi di sini sesungguhnya ingin menyatakan bahwa
surga tidaklah melulu bersifat adiduniawi dan tidak berlaku bagi para
penduduk bumi yang masih hidup. Baginya, surga yang diimpi-impikan oleh
sebagian umat manusia itu bisa dirasakan dan direalisasikan kalau mereka
berpegang teguh pada Kebenaran dengan jalan ahimsa secara universal.
Artinya, ahimsa harus menjadi suatu prinsip dan hukum yang mendasari
kesatuan seluruh kehidupan. Manusia juga harus memegang teguh kepada
kebenaran (satyagraha) baik di dunia sosial maupun politik sekalipun pada
saat-saat yang membahayakan. Setiap orang harus dengan seluas-luasnya
mempergunakan kemungkinan-kemungkinan yang terkandung di alam
sekitarnya sendiri untuk mencapai kesempurnaan tanpa mencampuri atau
menguasai sumber daya alam dan manusia orang lain demi kepentingan
ekonomi semata (swadesi). Menjadikan ahimsa sebagai jalan hidup untuk
merealisasikan kebenaran. Menjadi pribadi yang berjiwa agung dengan
menghidupi ajaran ahimsa bukan untuk merebut kekuasaan, melainkan untuk
mengubah hubungan-hubungan yang tidak adil agar tercipta keseimbangan
hidup bermasyarakat. Pencarian akan kebenaran sesungguhnya sama dengan
67Thomas Merton, Gandhi tentang Pantang Kekerasan, h. 37
88
pencarian akan Tuhan. Kebenaran adalah Tuhan. Tuhan ada karena Kebenaran
ada. Tujuan akhir manusia adalah mencapai Tuhan dan seluruh aktivitasnya
harus dibimbing oleh tujuan ini. Ini hanya dapat dilakukan melalui pelayanan
kepada semua orang.
Semangat antikekerasan lahir dari suatu kesadaran batin tentang kesatuan
spiritual di dalam dirinya. Keseluruhan konsep Gandhi tentang antikekerasan
tidak akan dapat dipahami apabila hanya dipikirkan sebagai suatu cara untuk
mencapai persatuan serta bukan sebagai buah persatuan jiwa yang telah
tercapai sebelumnya. Kehidupan spiritual seseorang adalah tidak lain daripada
kehidupan semua orang yang dimanifestasikan ke dalam dirinya.
Ketika setiap orang sudah dapat mengatur dan memerintah secara personal
dirinya sendiri dengan bimbingan Kebenaran, maka aturan dan pemerintahan
sosial mungkin tidak diperlukan lagi. Keadaan-keadaan itulah yang
diharapkan Gandhi sehingga surga dunia memang nyata.
Gandhi adalah orang pertama dalam sejarah manusia yang memperluas
prinsip antikekerasan dari tingkat perorangan (personal) ke tingkat sosial dan
politik (struktural) sehingga lebih bersifat universal.
“Beberapa teman mengatakan kepada saya bahwa kebenaran dan antikekerasan tidak mempunyai tempat dalam politik dan urusan duniawi. Saya tidak menyetujuinya. Saya tidak memerlukannya hanya sebagai alat untuk kebahagiaan perorangan. Memperkenalkan dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari sudah lama merupakan upaya saya.”68
Dalam konteks pemikiran Gandhi ini, surga di sini bisa dipahami sebagai
wujud kebahagiaan personal juga sosial ataupun parsial juga universal.
Kebahagiaan personal bisa berupa tercapainya Kebenaran di dalam diri setiap
68Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 103
89
manusia, sementara kebahagiaan sosial bisa berupa tercapainya Keadilan bagi
seluruh umat manusia. Kebahagiaan sosial atau universal tidak akan tercapai
jika kebahagiaan personal dan parsial belum dicapai atau didapatkan. Apabila
itu terjadi, surga dunia hanyalah angan-angan belaka.
C. Dimensi Politis
1. Jalan Hidup
Jalan dan tujuan adalah dua istilah yang dalam kerangka pemikiran Gandhi
dapat dipertukarkan satu sama lainnya. Jalan kadang-kadang menjadi tujuan
dan tujuan kadang-kadang menjadi jalan.69 Pemikiran yang cukup paradoks ini
dalam kerangka filsafat Timur tidaklah mengherankan. Gandhi justru ingin
menegaskan bahwa gagasannya mengani jalan dan tujuan ini bagian dari
warisan ajaran filsafat Timur yang perlu tetap dipelihara.
Dalam pandangan Gandhi, jika kebenaran menjadi tujuan hidup manusia,
maka ahimsa adalah jalan untuk merealisasikannya. Sebaliknya, manusia akan
menjadi sia-sia menerapkan ahimsa dalam kesehariannya jika tidak dilandasi
dengan berpegang teguh pada kebenaran sejati. Gandhi tidak pernah
mengamini bahwa jalan pada akhirnya hanya sekadar jalan. Dia justru
meyakini bahwa jalan ataupun cara menentukan segalanya karena asumsinya
bahwa apa pun yang akan dicapai dan dihasilkan oleh seorang manusia akan
sesuai dengan apa yang dia usahakan dan perjuangkan. Dengan begitu, apa
pun yang diperbuat dan diperjuangkan oleh manusia untuk capaian tertentu
akan selalu memiliki konsekuensi logis meskipun dia menyadari Tuhan ada
69Ibid., h. 95.
90
kalanya turut campur dalam menentukan hasil dari usaha manusia karena
Tuhan jualah yang telah memberi kita kemampuan untuk menentukan jalan
mana yang akan kita tempuh.
Menurut Gandhi, tidak ada dinding pemisah antara jalan dan tujuan.
Ahimsa dan kebenaran terjalin begitu erat satu sama lainnya sehingga praktis
tidak mungkin melepaskan satu dari yang lainnya dan memisahkannya.
Gandhi mengibaratkan ahimsa dan kebenaran seperti dua sisi dari satu mata
uang logam atau piring hitam metalik yang mulus dan tidak bermerek. Tidak
akan sampai pengetahuan kita untuk menentukan mana bagian depannya dan
mana bagian belakangnya. Namun, Gandhi kembali menegaskan bahwa
ahimsa merupakan jalan yang dia amalkan selama hidupnya dan kebenaran
adalah tujuan hidupnya.
Gandhi tegas menyatakan suatu kekeliruan yang besar jika ada orang yang
mempercayai bahwa tidak ada hubungan antara jalan dan tujuan. Karena
kekeliruan itu, Gandhi mengakui banyak orang yang dianggap religius pun
sampai dapat melakukan tindak kejahatan yang sangat memprihatinkan. Cara
berpikir bahwa tidak ada hubungan antara jalan dan tujuan dilukiskan Gandhi
sama dengan mengatakan bahwa kita mengharapkan tumbuhnya kembang
mawar dengan jalan menanam bibit tanaman beracun. Dengan begitu, tujuan
yang baik dan mulia harus dilandasi dengan jalan yang baik dan tidak tercela
pula.
“Saya tidak mungkin berhasil menyembah Tuhan dengan baik melalui jalan yang membuat diri tidak berdaya terhadap godaan setan. Oleh karena itu, jika ada orang yang berkata, ”Aku ingin menyembah Tuhan. Tidak peduli apakah aku berbuat demikian dengan menggunakan setan.” Maka tentu itu adalah kebodohan yang tidak ada tandingannya.
91
Kita akan memungut hasil panen sesuai dengan apa yang kita tanam sebelumnya.”70
Konsep ketakterpisahan antara jalan dan tujuan Gandhi ini jika kita
cermati mirip dengan konsep ketakterpisahan antara pengetahuan dan
kepentingan dalam tradisi pemikiran Yunani purba. Pemisahan antara
pengetahuan dan kepentingan manusiawi yang terwujud dalam pemisahan
teori dan praxis, sebagaimana dianut ilmu pengetahuan modern, tidak dikenal
di dalam tradisi pemikiran Yunani purba. Sebaliknya, di dalam pemikiran
kuno itu terjalin pertautan yang erat antara teori dan praxis hidup manusia
sehari-hari.
Pertautan semacam itu senantiasa mengacu pada cita-cita etis seperti
kebaikan, kebijaksanaan, atau kehidupan sejati baik secara individual maupun
sosial di dalam polis (negara kota). Dengan teorilah manusia memperoleh
suatu orientasi untuk bertindak secara tepat sehingga praxis hidupnya dapat
merealisasikan kebaikan, kebahagiaan, dan kemerdekaan. Dengan kata lain, di
dalam tradisi pemikiran Yunani purba, pengetahuan tidak dipindahkan dari
kehidupan konkret.
Pemahaman mengenai pengetahuan semacam itu tertuang secara padat
dalam istilah bios theoretikos.71 Kata theorea berasal dari tradisi keagamaan
dalam kebudayaan Yunani kuno. “Theoros” adalah seorang wakil yang
dikirim oleh polis untuk keperluan ritus-ritus keagamaan. Di dalam perayaan-
perayaan itu, orang ini melakukan “theorea” atau “memandang” ke arah
peristiwa-peristiwa sakral yang dipentaskan kembali dan dengan jalan itu ida
70Ibid., h. 96. 71Fransisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan
Bersama Jugen Habermas (Yogyakarta: Buku Baik, 2004), h. 3-4.
92
berpartisipasi di dalamnya. Melalui teori sekaligus ia mengalami emansipasi
dari nafsu-nafsu rendah. Di dalam istilah Yunani pengalaman itu disebut
katharsis: pembebasan diri dari perasaan-perasaan dan dorongan-dorongan
fana yang berubah-ubah. Dengan demikian, dalam pemahaman primitifnya,
teori memiliki kekuatan emansipatoris.
Istilah ini juga tidak mengacu pada teori dalam pengertian modern yang
merumuskan suatu pengetahuan demi pengetahuan ke dalam kategori-kategori
abstrak yang terlepas dari kehidupan konkret. Bios theoretikos justru
merupakan suatu bentuk kehidupan, suatu jalan untuk mengolah dan mendidik
jiwa dengan membebaskan manusia dari perbudakan oleh doxa (pendapat) dan
dengan jalan itu manusia mencapai otonomi dan kebijaksanaan hidup.
Pemahaman kata teori semacam itu memperoleh kepadatan isinya bukan
dalam pemisahannya dari tindakan, melainkan justru dalam fungsinya bagi
kehidupan praktis manusia.
Dalam pandangan Gandhi, jalan sebenarnya dapat disamakan dengan bibit
tumbuhan, sedangkan tujuan adalah sebatang pohon yang rindang. Lantaran
keterhubunganan antara jalan dan tujuan seperti keterhubungan antara bibit
dan pohon, keterhubungan di antara keduanya tidak dapat diganggu gugat
karena merupakan sifat alami dan cukup logis. Kelogisan itu ditegaskan
Gandhi dengan mengatakan, jika ingin mengarungi samudra, dirinya dapat
berbuat demikian hanya dengan cara naik kapal. Jika menggunakan kereta
untuk mencapai tujuan tadi, Gandhi tentunya akan segera sampai di dasar
laut.72
72Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 96.
93
Gandhi menegaskan bahwa jalan sebagai suatu metode dan cara harus
selalu berada dalam jangkauan manusia sehingga harus sesuai dengan
kemampuannya dan bukan sesuai dengan keinginannya. Dengan begitu,
“seseorang yang bernafsu kuda, tapi berkemampuan keledai” tidak masuk
dalam kategori manusia yang diidealkan Gandhi untuk mampu menerapkan
ajaran ahimsa. Gandhi sangat optimistis manusia akan sampai pada kebenaran
sejati secara cepat atau lambat jikalau menekuni cara-cara pelaksanaan ahimsa
karena itulah tugas atau darma manusia.
“Apabila sekali kita menyadari makna butir yang penting ini, kemenangan akhir tidak dapat diragukan lagi. Kesulitan apa pun akan kita hadapi, kemalangan apa pun akan kita alami, kita tidak akan mundur selangkah pun dalam upaya mencari kebenaran yang pada dasarnya adalah Tuhan.”73
Gandhi sangat tidak percaya pada jalan pintas berupa kekerasan untuk
mencapai keberhasilan dan tujuan. Dia mengakui rasa simpati serta
kekagumannya begitu besar terhadap alasan-alasan pantas yang mendukung
bahwa kekerasan layak dilakukan demi tegaknya keadilan dan perdamaian.
Namun, Gandhi memang tetaplah seorang penentang tanpa kompromi metode
kekerasan walaupun tujuannya yang paling mulia sekalipun. Keran itu, titik
temu antara paham kekerasan dan paham antikekerasan Gandhi benar-benar
memang tidak pernah akan ada.
Untuk menerapkan ahimsa dalam kehidupan sehari-hari memang tidaklah
mudah. Gandhi mengandaikan bahwa ahimsa sebagai jalan tidak ubahnya
seperti orang yang berjalan pada seutas tali, yakni dibutuhkan pemusatan
pikiran secara penuh agar dapat melintasinya. Demikian juga untuk menyadari
73Ibid., h. 95.
94
kebenaran melalui ahimsa pun dibutuhkan upaya yang tidak henti-hentinya.
Pengertian ahimsa sebagai suatu jalan berarti tidak mengenal kekerasan untuk
mencapai kebenaran, baik dalam wujud pikiran, ucapan, maupun tindakan.
Sebaliknya, ahimsa harus dapat menciptakan suasana membangun, cinta, dan
berbuat baik kepada orang lain meskipun orang lain itu pernah menyakitinya,
bahkan terhadap musuh sekalipun.
Dengan demikian, keyakinan Gandhi yang begitu mendalam dan teguh
terhadap ajaran antikekerasan bukanlah hanya tidak menghalanginya,
melainkan juga memaksanya untuk berinteraksi, berkomunikasi, atau
bersosialisasi dengan mereka yang percaya pada kekerasan sebagai jalan yang
ampuh untuk merealisasikan tujuan dengan segera. Namun, persatuan itu
sebenarnya selalu didorong oleh maksud satu-satunya untuk membuat mereka
berhenti melakukan hal-hal yang menurut pendapatnya itu keliru. Hal ini
dilakukan Gandhi karena pengalamannya telah makin meyakinkan dia bahwa
kebaikan yang permanen tidak mungkin merupakan hasil dari ketidakbenaran
dan kekerasan. Walaupun kepercayaan ini merupakan angan-angan yang
diidam-idamkan belaka, Gandhi dengan cukup terang harus mengakui bahwa
ini merupakan angan-angan yang menarik.74
2. Mahatma Diri
Manusia secara esensial terdiri atas jasmani dan rohani. Selain itu,
manusia juga memiliki kesadaran, rasio, kehendak, emosi, dan rasa keindahan.
Dari keberadaan itu, esensi aktivitas manusia di dunia adalah pembebasan.
Pembebasan manusia merupakan satu langkah ke arah pembebasan seluruh
74Ibid., h. 96.
95
umat manusia dari kezaliman dan kekerasan dari orang lain dan dari diri
sendiri.
Gandhi menyatakan bahwa manusia tidak akan bebas jika ia tidak
mengetahui bahwa dirinya dikuasai oleh kebutuhan, sebab kebebasannya
selalu dimenangkan melalui upaya yang tidak pernah berhasil seluruhnya
untuk melepaskan diri manusia dari kebutuhan hidup dan sampai penyatuan
dengan hidup. Manusia memiliki kebebasan untuk mengarahkan dirinya
menuju kepada penyatuan dengan hidup atau malah terjerumus dalam
kejahatan. Setiap perbuatan memiliki karmanya sendiri-sendiri. Dalam hal ini
Gandhi menekankan pelaksanaan enam kebajikan tertinggi yang dijiwai oleh
filsafat India yakni ahimsa, satyagraha, brachmacharya, asteya, aparigraha,
dan abhaya.
Ahimsa secara harfiah berarti tidak melakukan kekerasan sekecil apa pun,
satyagraha bermakna berpegang teguh pada kebenaran, brachmacharya
adalah suatu sikap yang sesuai dengan ajaran Brahma atau kebenaran dan
biasanya diwujudkan dengan pantang berhubungan seksual, asteya
mengandung arti bahwa seseorang tidak boleh mencuri, aparigraha
menghindari dari kepemilikan barang yang tidak diperlukan, sementara
abhaya bermakna tidak pernah merasa takut atau selalu berani.
Manusia yang berjiwa agung dalam pandangan Gandhi bersifat
antropokosmoteosentris. Manusia seperti ini adalah manusia dengan
pengendalian diri yang baik (antropos), kedewasaan sosial dan mencintai alam
(kosmos), serta penghayatan terhadap keberadaan Tuhan (teos) melalui agama
yang dianutnya dalam kehidupannya yang dijalani secara damai dan
96
antikekerasan. Dengan konsep seperti ini, Gandhi mencoba menciptakan
sebuah lingkup kemanusiaan universal di mana tiap-tiap kelompok, baik kaum
penguasa maupun kaum tertindas, saling mengakui sebagai manusia yang
sama derajat dan harkatnya sebagai manusia, bahkan menghidupkan kembali
potensi kebaikan orang lain dalam kehidupan manusia.75
Menurut Gandhi, manusia perlu mengendalikan diri karena peradaban
dalam makna kata yang sebenarnya bukanlah sesuatu yang menghendaki
dilipatgandakannya kebutuhan, melainkan menghendaki pembatasan segala
kebutuhan dengan sengaja dan sukarela. Hanya dengan cara demikian akan
dapat diperoleh kebahagiaan dan kepuasan sejati yang akan meningkatkan
kemampuan manusia dalam mengabdi kepada Tuhan. 76 Hal ini bertentangan
dengan apa yang dilakukan oleh manusia modern yang menggunakan tolak
ukur tingkat kesejahteraan manusia dengan mengukurnya berdasarkan tingkat
besarnya konsumsi. Manusia modern justru berasumsi bahwa semakin tinggi
tingkat konsumsi kebutuhan hidup, manusia berarti lebih kaya dan sejahtera.
Gandhi sendiri menegaskan bahwa manusia memerlukan keserasian dan
kenyamanan fisik pada tingkat tertentu, namun jika melebihi tingkat itu, ia
akan menjadi hambatan bagi manusia. Karena itu, cita-cita manusia
menciptakan dan memenuhi kebutuhan hidup yang tidak terbatas, hanya
merupakan khayalan dan jerat belaka. Pemuasan kebutuhan fisik dan
intelektual manusia pada titik tertentu harus dihentikan sepenuhnya sebelum ia
berubah menjadi nafsu keserakahan fisik dan intelektual. Manusia perlu
75Suratno, “Mahatma Gandhi (1869-1948) dan Konsepnya tentang Manusia Ideal,”
h. 118 76Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 127.
97
mengatur keadaan fisik dan budayanya agar tidak menjadi hambatan dan ini
seharusnya menjadi tujuan bagi pemusatan seluruh tenaga manusia.77
Selain sebagai makhluk individu dan makhluk Tuhan, manusia juga adalah
makhluk sosial karena ia hanya dapat hidup dengan komunikasi bersama
sesamanya. Sesama dalam filsafat Gandhi bermakna religius, di mana
keterpautan seseorang dengan yang lainnya bersifat religius dan merupakan
tanggung jawab yang bersifat religius pula. Sesama juga berarti dari asal mula
yang sama, nasib keterlemparan yang sama dan memiliki Tuhan yang sama.
Semua manusia menurut Gandhi merupakan ciptaan Tuhan yang sama
sehingga semua manusia bersaudara.78
Dengan asumsi seperti di atas, menurut Gandhi, manusia harus memiliki
tingkat kedewasaan sosial yang tinggi. Tidak ada satu kebajikan tunggal pun
yang akan mengarah atau akan merasa puas dengan kesejahteraan seseorang
saja. Sebaliknya tidak ada kejahatan yang secara langsung maupun tidak, pasti
akan mempengaruhi orang lain. Yang dimaksud kedewasaan sosial oleh
Gandhi adalah kesadaran bahwa seluruh umat manusia merupakan kesatuan
manunggal, sebagai ciptaan Tuhan yang satu. Tentu saja terdapat perbedaan
suku, bangsa dan harkat serta martabat namun demikian saling menghormati
merupakan kewajiban seluruh umat manusia.
Manusia juga harus mencintai alam, tempat di mana ia hidup. Sekalipun
dalam alam cukup terdapat daya tolak, tetapi alam itu hidup berkat daya tarik.
Alam dapat menjadi lestari berkat adanya rasa sayang timbal balik. Manusia
hidup bukan karena penghancuran. Rasa cita diri mendorongnya untuk
77Ibid., h. 132. 78Ibid., h. 69.
98
mementingkan orang lain pula. Masyarakat dapat hidup rukun karena adanya
rasa saling mengindahkan di kalangan warganya. Pada suatu saat, hukum
masyarakat harus diperluas manusia agar mencakup seluruh alam semesta.
Manusia antropokosmoteosentris dengan kedewasaan sosial dan mencintai
alamnya menyadari bahwa kepentingan menyelamatkan umat manusia dari
kerusakan fisik bumi dan atmosfer akan lebih mendorong manusia untuk
melakukan transformasi sosial dan budaya ke arah kemanusiaan yang semakin
tinggi. Semakin jauh ke depan, akan semakin terasa keperluan untuk
mengurangi kadar pemakaian kekuasaan dan kekerasan, dalam segala rupa
untuk menyelesaikan beragam problem manusia di zaman modern ini. Dengan
demikian, akan semakin besar pula kesadaran dan pengendalian diri
kemanusiawian umat manusia.
Konsep manusia yang bersifat antropokosmoteosentris dimaksudkan
Gandhi sebagai salah satu upaya mencari kebenaran. Asumsinya, kehidupan
manusia adalah proses untuk mencoba dan belajar dari kesalahan dengan
mawas diri dan disiplin yang kuat.79 Manusia bergerak maju selangkah demi
selangkah menuju pada sifat antropokosmoteosentris. Manusia model ini
diyakini akan mampu mengantisipasi peradaban manusia yang senantiasa
menuntut perubahan nilai-nilai sosial dan budaya. Terlebih bila dikaitkan
dengan melaju kencangnya transformasi iptek. Manusia pada permulaan
kehadirannya di bumi, tingkah lakunya tidak jauh berbeda dengan hewan
yakni saling memangsa dan hingga kini kita masih bisa melihat kebuasan-
kebuasan manusia. Dengan kemajuan ipteknya, dunia modern telah
79Ibid., h. 117.
99
melahirkan manusia-manusia seperti kelompok Nazi Jerman, militer-fasis
Jepang, komunis China, Eropa Timur dan Soviet, dan berbagai kekuasaan
totaliter di belahan benua lainnya yang telah menistai kemanusiaan mereka
dengan kekejaman yang tidak berperi kemanusiaan.
Dari anggapan dasar bahwa manusia pada hakikatnya baik, dapat ditarik
kesimpulan, Gandhi ingin menunjukkan bahwa sesungguhnya manusia
kehadirannya tidak merupakan ancaman terhadap eksistensi manusia yang
lain. Oleh karena itu, manusia antropokosmoteosentris harus selalu
menekankan aspek hubungan yang harmonis antara sesama manusia dan
alamnya.
Yang paling menarik dari konsep manusia seperti di atas adalah keluasan,
keterpaduan, dan kesatuannya. Inilah ajaran dan warisan bahwa kejahatan dari
manusia tidak dapat dibinasakan. Kejahatan dari manusia adalah kejahatan
bersama dan harus dipecahkan bersama-sama pula. Tetapi manusia terkadang
tidak siap untuk tugas bersama karena ia tidak menyadari dirinya dan tidak
mampu mengendalikan dirinya sendiri. Kalau sudah begitu, tugas manusia
adalah kembali kepada hati nuraninya sendiri agar kehidupan dunia menjadi
damai.80
Sayangnya, dalam konsep manusia ini Gandhi tidak mengidentifikasi
lingkungan pribadi manusia dengan lingkungan suci. Gandhi juga tidak
menjauhkan diri dari kegiatan masyarakat sekuler. Ini menjadi kontradiktif
karena pada kesempatan lain Gandhi terkadang memandang bahwa struktur
sosial dan budaya manusia pada dasarnya adalah sekuler, dalam arti bahwa
80Ibid., h. 85.
100
praanggapan-praanggapannya yang paling mendasar adalah tidak religius,
akan tetapi ia seringkali menggunakan klise religius sebagai dukungan.
Akhirnya seperti yang dibilang Gandhi, manusia berakhir menjadi seperti
apa yang dipikirkannya, maka demikian juga dengan India, asalkan tetap
memegang teguh kebenaran dengan menggunakan enam kebajikan
tertingginya. Akan tetapi di sisi lain Gandhi sendiri mengakui bahwa secara
politis pertempurannya sesungguhnya sudah kalah. Tanpa berpuas diri,
kasihan pada diri sendiri, ia hadapi kebenaran bahwa hanya tinggal satu.
Gandhi harus menyerahkan jiwanya bagi India, nyatanya ia dibunuh oleh
seorang saudaranya yang justru gagal diyakinkannya.
Dari paparan di atas, apakah konsep mahatma diri yang bersifat
antropokosmoteosentris ini akan dapat direalisasikan ataukah akan sia-sia saja,
Gandhi sendiri tidak pernah putus keyakinannya, hingga meninggalkan kesan
pada sesamanya maupun musuhnya serta membangkitkan padanya suatu
tanggapan cinta-kasih serta kebenaran yang ingin dicapai manusia. Sikap ini
tidak dapat dimengerti dalam konteks pragmatisme sebab yang menjadi pokok
masalah adalah kesetiaan manusia pada kebenaran, bukan dampak nyata pada
sesamanya.
Konsep mahatma diri yang bersifat antropokosmoteosentris memang harus
dilihat apa adanya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Bukan
sekedar idealisme yang sering dianggap utopis dan asketis, tetapi harus
dipandang sebagai ajaran yang esensial, yang niscaya diperlukan jika manusia
ingin memulihkan kembali hati nuraninya dalam menghadapi perubahan
peradabannya yang sarat dengan problema.
101
3. Harmoni Kuasa
Politik merupakan suatu persoalan yang melekat pada lingkungan hidup
manusia. Sadar atau tidak, politik ikut mempengaruhi kehidupan kita sebagai
individu maupun sebagai bagian dari kelompok masyarakat, tidak peduli
apakah kita ikut mempengaruhi proses politik atau tidak.
Politik selalu berhubungan dengan kepentingan dan tujuan-tujuan dari
seluruh masyarakat (public goal), bukan tujuan pribadi (private goal). Politik
juga menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik dan
kegiatan orang seorang. Dari uraian di atas teranglah bahwa dalam politik
terdapat unsur-unsur yang saling berkaitan. Unsur-unsur tersebut adalah;
negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (decision making),
kebijaksanaan (policy) dan pembagian atau alokasi (distribution).81
Setiap manusia tidak dapat dipungkiri merupakan subjek sekaligus objek
dari kekuasaan. Dalam setiap kekuasaan selalu ada hubungan (relationship).
Kekuasaan sosial terdapat dalam semua hubungan sosial dan dalam semua
organisasi sosial. Dengan asumsi tersebut, Gandhi mengakui bahwa manusia
tidak mungkin bisa lepas dari hubungan kuasa semacam ini. Kekuasaan juga
memiliki berbagai macam bentuk di antaranya kekuasaan sosial dan politik.
Namun, perjuangan Gandhi dengan antikekerasannya terbukti merupakan
suatu upaya untuk memberi pelajaran bahwa relasi kuasa haruslah seimbang
agar tidak ada lagi relasi kuasa yang melahirkan kekerasan personal maupun
struktural sehingga tercipta harmoni kuasa.
81Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
1996), h. 9.
102
Eksperimen-eksperimen Gandhi dengan kebenaran terutama dalam
berpolitik bercorak agamais, nasionalis, dan humanis karena politik Gandhi
tidak bisa dipisahkan dari agamanya. Dalam berpolitik Gandhi berpegang
pada pertimbangan moral dan sebagai agamawan ia berpendapat bahwa
tempatnya bukanlah di dalam gua atau biara, melainkan di tengah-tengah
hiruk-pikuk perjuangan rakyat untuk hak-haknya dan untuk yang benar.
Agama Gandhi membuat politis dan politiknya beragama.82
Menurut Gandhi, moral, etika, dan agama adalah istilah-istilah yang bisa
dipertukarkan. Suatu kehidupan moral tanpa referensi agama seperti sebuah
rumah yang dibangun di atas pasir. Agama dipisahkan dari moralitas seperti
tong kosong nyaring bunyinya. Moralitas mengandung kebenaran, ahimsa,
dan pengekangan diri. Gandhi juga berpendapat bahwa dalam suatu
penghayatan kehidupan spiritual yang sejati, seseorang tidak boleh mengotak-
ngotakkan kehidupan ke dalam bagian-bagian yang saling terpisah, yaitu
ekonomi, sosial, politik, dan agama. Seorang manusia yang sungguh-sungguh
beragama tidak akan pernah menerima ketidakadilan di mana pun terjadi
pengingkaran terhadap persamaan atau persaudaraan antarmanusia.
Sebagai politikus berjiwa agamawan atau agamawan yang berpolitik,
beserta segala kemampuan yang diperolehnya dari sikap pembuangan, Gandhi
tidak bakal dapat mencapai apa yang dicapainya di Afrika Selatan dan India
andaikata ia tidak mempunyai senjata yang unik dan ampuh yaitu satyagraha.
Sebagai senjata dalam gerakan politiknya, satyagraha tidak sama dengan
perlawanan diam-diam. Perlawanan diam-diam adalah senjata orang-orang
82Mohandas Karamchand Gandhi, Semua Manusia Bersaudara, h. 86.
103
yang lemah yang dipergunakan karena mereka merasa dirinya lemah dan
selama mereka masih merasa dirinya lemah.
Ahimsa merupakan tuntutan minimal yang diminta dari manusia, sebab
secara spiritual manusia itu bersifat ahimsa. Karena sebagai tuntutan minimal,
manusia harus menyadari dirinya bahwa ia secara hakiki membutuhkan sikap
itu. Ahimsa harus dijadikan sebagai keyakinan; artinya manusia harus percaya
bahwa jalan ahimsa adalah satu-satunya jalan yang dapat menyelamatkan
jiwanya. Dengan kata lain, ahimsa memerlukan suatu tindakan yang istimewa
yakni suatu tindakan “iman”. Sebagai suatu keyakinan yang mendasar, ahimsa
adalah nafas hidupnya, darah dagingnya dan kehidupan. Ini berarti ahimsa
menuntut sikap batin yang menyeluruh dan utuh.83
Paham antikekerasan harus digunakan untuk memengaruhi kekuatan
politik tanpa mengalah pada pengaruhnya yang menyimpang. Tetapi pada saat
ahimsa ini memikul kekuatan politik maka ahimsa menyangkal dirinya sendiri
dan menjadi tercemar. Gandhi mengakui bahwa tidak mungkin suatu negara
modern yang berdasarkan pada kekerasan untuk menahan kekuatan kekacauan
baik dari dalam maupun dari luar, tanpa kekerasan apa pun.
Menurut Gandhi, metode antikekerasan merupakan satu-satunya cara yang
pantas untuk menghadapi orang lain yang ingin berkuasa dengan cara-cara
yang tidak seimbang. Cara yang sama ini juga pantas dipakai kalau seseorang
mempertahankan kebenaran berdasarkan hawa nafsunya sendiri. Tujuan
antikekerasan adalah mengubah, bukan memaksa seseorang supaya takluk.
83Ibid., h. 37.
104
Maka cara ahimsa merupakan jaminan satu-satunya untuk mencapai
kehidupan demokrasi yang sesungguhnya.84
Gandhi percaya bahwa suatu negara dapat diatur bila didasarkan pada
paham ahimsa. Gandhi membuktikannya dengan cara mengingatkan pada
teori kehendak umum Rousseau yaitu bahwa negara tanpa kekerasan harus
didasarkan pada kehendak orang-orang yang cerdas, mampu mengerti
pikirannya sendiri dan bertindak untuk mewujudkan pikiran itu. Di dalam
negara antikekerasan, kehendak umum diungkapkan dengan cara tidak adanya
segala macam bentuk paksaan. Gandhi memandang bahwa di dalam suatu
masyarakat yang tanpa kekerasan, tidak akan ada eksploitasi manusia atas
manusia yang lain dan pengangguran secara otomatis terpecahkan.
Pemerintahan yang demokratis hanya menjadi impian selama ahimsa tidak
diakui sebagai daya hidup, kepercayaan yang tidak dapat dilanggar dan bukan
hanya sekadar kebijakan. Tanpa diakuinya ahimsa dalam skala nasional tidak
ada sesuatu seperti pemerintahan konstitusional atau demokratis.
Seorang demokrat sejati ialah orang yang dengan bersikap murni pantang
kekerasan membela kebebasannya, kebebasan negerinya, dan kebebasan dari
seluruh umat manusia. Dalam pengujian, para pencinta damai harus
membuktikan kepercayaan mereka dengan menolak berurusan apa pun dengan
perang, pertahanan maupun penyerangan. Kewajiban melawan hanya berlaku
bagi mereka yang menganggap ahimsa sebagai kepercayaan, tidak berlaku
bagi mereka yang menghitung-hitung dan menyelidiki keuntungan-
keuntungan setiap peristiwa, lalu memutuskan akan membenarkan atau
84Ibid., h. 163.
105
menentang suatu perang tertentu. Kebebasan dan demokrasi menjadi jahat
ketika tangan-tangan mereka tercelup dengan merah darah orang-orang yang
tidak berdosa.
Ahimsa bukan suatu kebijakan untuk merebut kekuasaan. Ahimsa
merupakan jalan untuk mengubah hubungan-hubungan agar terlaksana
peralihan kekuasaan secara damai untuk menciptakan keseimbangan hidup
bermasyarakat.85 Gandhi percaya bahwa kebebasan dari penjajahan merupakan
satu-satunya dasar yang semestinya didapat oleh seorang manusia. Ia acapkali
mengulangi bahwa tidak ada program tindakan yang dapat dipaksakan kepada
rakyat, rakyat harus diyakinkan untuk dengan bebas menyambut program itu.
Kalau tidak demikian program itu tidak sesuai dengan martabat manusia dan
tidak akan berhasil.
Gandhi berpendapat bahwa kekuasaan politik bukan tujuan akhir,
melainkan salah satu sarana yang memungkinkan rakyat memperbaiki
nasibnya dalam segala bidang kehidupan. Kekuasaan politik berarti
kemampuan untuk mengatur kehidupan nasional melalui wakil rakyat.
Apabila kehidupan nasional telah menjadi sempurna, sehingga kita seakan-
akan dapat mengatur diri sendiri dan tidak lagi memerlukan wakil rakyat.
Dalam keadaan demikian setiap individu bertindak selaku penguasanya
sendiri, sehingga tidak perlu ada kekuasaan politik, karena sesungguhnya
sudah tidak ada negara. Hal ini menurut Gandhi telah tercapai keadaan
“anarki” (tanpa pengaturan negara) yang arif dan bijaksana.
85Ibid., h. 35.
106
Pelaksanaan ahimsa menuntut keberanian untuk mengampuni. Ahimsa
baru menghasilkan buah kalau sungguh-sungguh dilaksanakan. Ahimsa bukan
hanya keutamaan pribadi, ahimsa pun merupakan keutamaan sosial dan politik
yang harus dipelihara seperti keutamaan yang lain. Ahimsa merupakan suatu
cara bertindak bersama. agar cara bertindak itu efektif, anggotanya harus
mengenal, setiap anggota mempunyai kedudukan yang sama tetapi jika ada
satu pekerjaan yang dikerjakan bersama-sama harus ada seorang pemimpin
yang dipilih di antara mereka dan oleh mereka sendiri. Jika ada kelompok
yang berlainan para pemimpin harus berbicara dan memutuskan tindakan
mana yang harus diambil dan diutamakan.
Gandhi membedakan empat bidang pemakaian ahimsa dalam bidang
politik, (i) Ahimsa dalam praktiknya justru untuk melawan penguasa yang ada,
(ii) Ahimsa justru untuk menangkal gangguan dalam negeri seperti huru-hara,
(iii) Ahimsa untuk melawan serangan dari luar, (iv) Bidang yang paling baik
untuk ahimsa adalah keluarga.86
Dengan beberapa pedoman di atas jelaslah bahwa ahimsa sebagai cara
bertindak sekalipun tidak pernah ditujukan untuk suatu agresi revolusioner.
Alasan yang dapat diterima terhadap mengapa ahimsa juga dapat digunakan
sebagai cara bertindak adalah bahwa ahimsa merupakan cara yang paling
manusiawi dan lebih halus untuk memperjuangkan hak-hak manusia yang
paling asasi. Faktor penting yang tidak dapat dielakkan lagi adalah bahwa
bagaimanapun pula ahimsa harus berhadapan dengan kekuasaan politik
86Toni Santosa, “Ahimsa dalam Pandangan Mahatma Gandhi”, Driyarkara, No. 1/Th.
XV, 1998, h. 51.
107
tertentu, yang notabene mempunyai monopoli untuk menggunakan kekerasan.
Dalam hal ini ahimsa diuji kekuatannya.
Gandhi mengabdikan dirinya sebagian besar untuk perkembangan
spiritual, sosial, dan ekonomi bangsa India. Gandhi meyakini bahwa
perkembangan dan kemajuan akan diperoleh bukan melalui konsensi-konsensi
politik dan reformasi-reformasi konstitusional, debat-debat, dan resolusi-
resolusi politik, tetapi melalui perjuangan yang dilakukan oleh rakyat sendiri.
Gandhi lebih menekankan pada apa yang benar-benar berasa dan disusun dari
dirinya sendiri yaitu sosialisme spiritual. Gandhi menamakan program ini
dengan nama program konstruktif. Banyak para penguasa dan anggota
Kongres yang menolak program ini dan menyebutnya sebagai sebuah tindakan
pengalihan dari perjuangan politik yang sesungguhnya. Tetapi Gandhi tetap
teguh pada pendiriannya bahwa program konstruktif merupakan awal revolusi
agraria tanpa kekerasan.
Antikekerasan termasuk ke dalam sifat alami kehidupan politik itu sendiri,
dan masyarakat yang politiknya biasa keras, tidak bersuara jelas, serta
menuntut yang bukan-bukan, sebenarnya adalah subpolitik dan karena itu
merupakan masyarakat yang mutunya di bawah manusia. Hal itu tentu saja
merupakan kebenaran yang dipelajari Gandhi.
108
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah mengelaborasi konsepsi ideologi dan antikekerasan Gandhi,
penulis dapat menyimpulkan bahwa antikekerasan yang diajarkan Gandhi
bukan suatu suatu ilmu tentang ide-ide yang berambisi memisahkan
pengetahuan dari metafisika dan agama serta kepercayaan-kepercayaan
lainnya, melainkan perjuangan hidup sehari-hari dalam berbagai dimensi
untuk merealisasikan kehidupan ideal yang terbebas dari tindak kekerasan.
Gagasan dan perjuangan Gandhi mengenai antikekerasan sesungguhnya
tidak sebesar apa yang telah nyata diperjuangkan Gandhi. Namun, perjuangan
ini sesungguhnya belum pernah selesai dan berhenti sebab substansi gagasan
ini selalu lebih panjang dari usia pencetusnya. Ajarannya akan selalu hidup
setelah kematiannya. Apa yang digagas dan diperjuangkannya hanyalah
penggalan-penggalan dari cita-cita besarnya bagi kemanusiaan.
Kesadaran yang dibangun Gandhi bukanlah kesadaran yang
menyebabkan manusia mengalami distorsi dalam menangkap dan memahami
realitas, melainkan kesadaran sejati yang membangkitkan semangat hidup
manusia untuk mengaktualisasikan jati diri yang sesungguhnya di kehidupan
yang nyata ini.
Antikekerasan Gandhi ini dapat dikatakan sebagai ideologi positif karena
antikekerasan Gandhi dapat diartikan sebagai sekumpulan gagasan yang
menjadi panduan bagi manusia dalam bertingkah laku mencapai kehidupan
109
ideal yang terbebas dari tindak kekerasan. Dengan cara menurunkan gagasan-
gagasan dalam sejumlah kerangka aksi dan aturan-aturan tindakan, Gandhi
selama hidupnya bertindak membebaskan diri dari sesuatu yang dipersepsi
sebagai kekangan atau penindasan. Ideologi antikekerasan yang dihidupinya
memberi arah bagi gerakan pembebasan diri, masyarakat, negara, dan dunia.
Antikekerasan Gandhi akan menjadi suatu ideologi yang bersifat negatif
apabila hanya dihidupi dan praktikkan secara parsial, misalnya hanya
dipahami sebagai tindakan etis untuk tidak melukai tubuh manusia. Sementara
di sisi lain mengabaikan atau bahkan melegitimasi tindak kekerasan struktural
dan kultural yang lebih bersifat global.
Antikekerasan yang diajarkan Gandhi sebenarnya bersifat menyeluruh
dalam segala bidang kehidupan. Dengan begitu, ideologi antikekerasan
Gandhi akan bekerja jika kita a) tidak melakukan kekerasan sekecil apa pun,
b) selalu berpegang teguh kepada kebenaran, c) tidak bergantung kepada
orang lain, d) selalu berupaya menuju kebenaran sejati, e) berdoa dan bekerja
bagi orang lain jua, f) selalu menciptakan suasana damai, g) mengutamakan
proses daripada tujuan, h) selalu mengasah jiwa agar melahirkan kelembutan,
dan i) membangun kesetaraan, bukan ketimpangan.
Sebagaimana juga tokoh revolusioner seperti Karl Marx dkk yang
belakangan menuai kritik terlalu utopia untuk ukuran zaman sekarang, Gandhi
juga dapat dimasukan ke dalam bayangan utopia yang mengandaikan bahwa
perjuangan antikekerasan akan berhasil. Namun, pengandaian ini sangat
mungkin bersifat utopia karena ada ruang-waktu yang berbeda dengan kondisi
sekarang.
110
B. Saran
Ketika suatu masyarakat berada dalam cengkeraman hegemoni yang
melegitimasi tindak kekerasan, konterhegemoni (counterhegemony)
diperlukan yaitu penyadaran yang melingkupi aspek sosial, budaya, politik,
ekonomi, dan menyentuh aspek kognitif tentang ketertindasan yang
disebabkan oleh hegemoni. Dengan demikian, tidak ada salahnya jika ideologi
antikekerasan Gandhi ini disarankan sebagai kontrahegemoni dari hegemoni
yang melegitimasi tindak kekerasan.
C. Harapan
Gagasan mengenai ideologi antikekerasan Gandhi ini diharapkan juga
dapat menciptakan suatu masyarakat antikekerasan atau masyarakat yang
damai. Suatu masyarakat yang tidak bisa dilepaskan dari gagasan pokok
tentang prinsip-prinsip pola relasi antarmanusia untuk hidup berdampingan
secara damai, toleran, dan jauh dari prilaku kekerasan. Konsepsi masyarakat
yang diharapkan oleh ideologi antikekerasan merupakan wujud manifestasi
dari ajaran religius atau keyakinan keagamaan. Nilai kemanusiaan yang
menjadi titik puncak bagi setiap bentuk pengabdian menjadi kata kunci untuk
memberikan suatu penilaian bahwa setiap manusia adalah sama dan
bersaudara, tidak boleh ada yang dilebihkan atau merasa lebih dibanding
dengan yang lainnya.
111
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Ian. Ideologi Politik Mutakhir; Konsep, Ragam, Kritik, dan Masa
Depannya. Penerjemah Ali Noerzaman. Yogyakarta: Qalam, 2004 Alappatt, Francis. Mahatma Gandhi: Prinsip Hidup, Pemikiran Politik, dan
Konsep Ekonomi. Penerjemah S. Farida. Bandung: Nusamedia-Nuansa, 2005
Althusser, Louis. Tentang Ideologi: Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis,
Cultural Studies. Penerjemah Olsy Vinoli Arnof. Yogyakarta: Jalasutra, 2008
Arendt, Hannah. Teori Kekerasan. Penerjemah Ghafna Raiza W.
Yogyakarta: Lembaga Pengembangan Ilmu Pengetahuan (LPIP), 2003 B. Thomson, John. Analisis Ideologi; Kritik Wacana Ideologi-Ideologi
Dunia. Penerjemah Haqqul Yaqin. Yogyakarta: IRCiSoD, 2003 Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000 Berndt, Hagen. Non-Violence in The World Religions (Agama yang
Bertindak; Kesaksian Hidup dari Berbagai Tradisi). Penerjemah A. Widyamartaya. Yogyakarta: Kanisius, 2006
Bertens, K. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001
–––––––– Filsafat Barat Kontemporer: Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001
–––––––– Filsuf-Filsuf Besar tentang Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 2006 –––––––– Sejarah Filsafat Yunani.Yogyakarta: Kanisius, 2003
Budi Hardiman, Fransisco. Kritik Ideologi: Menyingkap Kepentingan Pengetahuan Bersama Jugen Habermas. Yogyakarta: Buku Baik, 2004
Budiarjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama, 1996 Burke, Peter. Sejarah dan Teori Sosial. Penerjemah Mestika Zed dan
Zulfami. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003 Chodjim, Ahmad. Membangun Surga; Bagaimana Hidup Damai di Bumi
agar Damai Pula di Akhirat. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004
112
Gandhi, Mohandas Karamchand. Mahatma Gandhi; Sebuah Autobiografi, Kisah tentang Eksperimen-Eksperimen Saya terhadap Kebenaran, cet. I. Penerjemah Andi Tenri W. Yogyakarta: Nasari, 2009
–––––––– Non-Violence in Peace and War, Volume I. Ahmedabad:
Navajivan Publishing House, 1942 –––––––– Non-Violence in Peace and War, Volume II. Ahmedabad:
Navajivan Publishing House, 1949 –––––––– Semua Manusia Bersaudara: Kehidupan dan Gagasan Mahatma
Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri, cet. II. Penerjemah Kustiniyati Mochtar. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1991
Gorda, Gusti Ngurah. Budaya dan Perilaku Organisasi Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Satya Dharma. Singaraja: Pusat Kajian Hindu, 2004 Hadi, RD. P. Hardono. Jati Diri Manusia; Berdasarkan Filsafat Organisme
Whitehead. Yogyakarta: Kanisius, 2002 Hendropuspito, Sosiologi Agama.Yogyakarta: Kanisius, 2000
Koentjoroningrat, Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1989
Krishna, Anand. “Ahimsa: Senjata Para Pemberani,” artikel diakses pada 22 November 2008 dari http://www.akcbali.org
Larrain, Jorge. Konsep Ideologi. Penerjemah Ryadi Gunawan. Yogyakarta:
LKPSM, 1996 Lubis, Mochtar. Menggapai Dunia Damai. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 1988 Madjid, Nurcholish. “Konsep-Konsep Kebahagiaan dan Kesengsaraan.”
Tulisan dalam Munawar-Rachman, Budhy, ed. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, cet. II. Jakarta: Paramadina, 1995
Magnis-Suseno, Franz. Pemikiran Karl Mark: Dari Sosialisme Utopis ke
Perselisihan Revisionisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999 Mangunhardjono. “Homo Religiosus Menurut Mircea Eliade.” Tulisan
dalam Sastrapratedja, ed. Manusia Multidimensional. Jakarta: Gramedia, 1982
Mannheim, Karl. Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan
Politik. Penerjemah F. Budi Hardiman. Yogyakarta: Kanisius, 1993
113
Merton, Thomas, ed. Gandhi on Non-Violence: A Selection from the Writings of Mahatma Gandhi (Gandhi tentang Pantang Kekerasan). Penerjemah A. M. Fatwan Hasan Basari. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992
Mulia, Dr. T.S.G. India: Sejarah Politik dan Gerakan Kebangsaan. Jakarta:
Balai Pustaka, 1959 Munawar-Rachman, Budhy. Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah.
Jakarta: Paramadina, 1995 Nasution, Harun. Akal dan Wahyu dalam Islam. Jakarta: UI-Press, 1986
Permata, Ahmad Norma. Agama dan Terorisme. Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005
Santosa, Toni. “Ahimsa dalam Pandangan Mahatma Gandhi”, Driyarkara,
No. 1/Th. XV, 1998 Sastrapratedja. Manusia Multidimensional. Jakarta: Gramedia, 1982
Sri Poerbasari, Agnes. “Nasionalisme Humanistik Mahatma Gandhi”, dalam Ideologi dan Pemikiran Kebangsaan. Wacana: Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Budaya, Vol. 9, 2007
Suratno, “Mahatma Gandhi (1869-1948) dan Konsepnya tentang Manusia
Ideal,” Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 5, No. 2 (Juli 2007) Takwin, Bagus. Akar-Akar Ideologi; Pengantar Kajian Konsep Ideologi
dari Plato hingga Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra, 2003 Titus, Harold H.. Persoalan-Persoalan Filsafat. Penerjemah M. Rasjidi.
Jakarta: Bulan Bintang, 1984 Tjahjadi, Simon Petrus L. Sejarah Filsafat Barat Modern. Jakarta: Sekolah
Tinggi Filsafat Driyarkara, 1999 Wasiadi, Idam. “Teror Bom, Aksi Kekerasan, dan Pencegahannya,”
KOMPAS, 14 September 2001 Wegig, Wahana. Dimensi Etis Ajaran Gandhi. Yogyakarta: Kanisius, 1986
Windhu, I. Marsana. “Dimensi Kekerasan, Tinjauan Teoritis atas Fenomena Kakerasan” ad. Melawan Kekeresan Tanpa kekerasan. Yogyakatra: Pustaka Pelajar, 2000
–––––––– Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. cet. VI.
Yogyakarta, Kanisius, 1992
114
Wisarja, I Ketut. Gandhi dan Masyarakat Tanpa Kekerasan. Jogjakarta:
Logung Pustaka, 2005 Wolpert, Stanley. Mahatma Gandhi: Sang Penakluk Kekerasan, Hidupnya,
dan Ajarannya. Penerjemah Sugeng Hariyanto, dkk. Jakarta: Murai Kencana, 2001
Zaehner, Robert C. Kebijaksanaan dari Timur; Beberapa Aspek Pemikiran
Hinduisme cet. II. Penerjemah Dr. A. Sudiarja. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993
Zainuddin, A.Rahman. Kekuasaan dan Negara; Pemikiran Politik Ibnu
Khaldun. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992 Zimmer, Heinrich. Sejarah Filsafat India. Penerjemah Agung Prihantoro.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003