Upload
denso-antonius-lim
View
91
Download
6
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Laporan
Citation preview
REFERAT
ILMU KESEHATAN JIWA DAN PERILAKU
Insomnia
Pembimbing :
dr. Leonardi A. Goenawan, Sp.KJ
Penyaji:
Febriyanto 2010-061-091
Denso Darta Antonius 2011-061-152
Ardhito Budhijuwono 2011-061-156
Rumah Sakit Dharmasakti
Fakultas Kedokteran Universitas Katolik Indonesia Atmajaya2012
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
bimbingan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini. Penulis mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Leonardi A. Goenawan, Sp. KJ yang telah
bersedia menjadi pembimbing dan penguji dalam penulisan referat.
Referat yang berjudul “Insomnia” ini disusun untuk memberi penjelasan mengenai
salah satu masalah gangguan tidur yang sering dialami masyarakat. Dalam referat ini dibahas
tentang fisiologi tubuh saat tidur, neurobiologi dari gejala insomnia, penyebab, cara
mendiagnosis, serta tatalaksana dari insomnia. Diharapkan dengan adanya referat ini dokter-
dokter muda dapat terbantu untuk mengatasi masalah insomnia dengan lebih maksimal.
Penulis menyadari bahwa referat ini masih jauh dari sempurna. Karena itu, penulis
mohon maaf apabila masih terdapat kesalahan di dalamnya. Penulis mengharapkan kritik dan
saran yang membangun guna memperbaiki kekurangan yang ada dan perbaikan penulisan ke
depannya. Semoga referat ini bermanfaat.
Jakarta, 8 November 2012
Penulis
2
DAFTAR ISI
Halaman Judul...........................................................................................................1
Kata Pengantar...........................................................................................................2
Daftar Isi....................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................5
1.3 Tujuan Penulisan................................................................................5
1.4. Manfaat Penulisan..............................................................................5
BAB II DASAR TEORI
2.1 Fisiologi tidur.....................................................................................6
2.2 Neurobiologi dalam Insomnia............................................................8
2.3 Gangguan irama sirkadian..................................................................9
BAB III PEMBAHASAN
3.1 Definisi...............................................................................................10
3.2 Epidemiologi......................................................................................10
3.3 Etiologi...............................................................................................11
3.4 Faktor Resiko......................................................................................12
3.5 Diagnosis............................................................................................13
3.6 Terapi..................................................................................................15
BAB IV KESIMPULAN........................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................20
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Insomnia atau yang sering disebut sebagai gangguan kurang
tidur adalah ketidakmampuan untuk tidur atau tetap bertahan
dalam kondisi tidur selama yang diinginkan oleh seseorang.
Insomnia sering dianggap sebagai suatu tanda dan gejala yang
menyertai gangguan tidur, medis, dan psikiatrik yang memiliki ciri
khas berupa kesulitan tertidur yang persisten atau mampu tidur
namun memiliki kualitas yang buruk. Insomnia biasanya diikuti
dengan gangguan fungsional setelah penderitanya terbangun. 1
Insomnia dapat terjadi pada umur berapapun. Namun, usia
tua merupakan golongan yang paling sering mengalaminya.
Insomnia dapat terjadi dalam jangka waktu singkat (hingga 3
minggu) atau jangka panjang (diatas 3-4 minggu) dimana pada saat
itu sudah dapat terjadi masalah memori, depresi, iritabilitas, dan
peningkatan resiko penyakit jantung serta kemungkinan kecelakaan
saat berkendara. Insomnia dapat dibagi menjadi kelompok primer
dan sekunder. Insomnia primer merupakan gangguan tidur yang
tidak berhubungan dengan masalah medis, psikiatrik, atau
lingkungan. Sedangkan insomnia sekunder umumnya dapat tejadi
akibat masalah tertentu. 1
Dalam penelitian yang dilakukan terhadap 5886 sampel yang
berusia 65 tahun ke atas, ditemukan bahwa lebih dari 70 % sampel
menderita insomnia. Gejala kesulitan untuk mempertahankan waktu
tidur dialami baik oleh pria maupun wanita. Akan tetapi wanita
dilaporkan lebih sering menderita gejala insomnia. Penyebab
insomnia-nya bervariasi mulai dari penggunaan obat, mimpi buruk,
rasa kantuk yang berlebihan, penyakit kronis, hingga depresi. Pada
pria, tidur dengan dengkuran keras dapat menyebabkan gangguan
4
untuk mempertahankan kondisi tidur. Selain itu, obesitas juga dapat
menyebabkan peningkatan resiko gangguan untuk memulai tidur
pada pria namun hal ini justru terjadi sebaliknya pada wanita. Pada
wanita, penggunaan terapi hormon, diet kafein dan alkohol
memberikan efek protektif terhadap insomnia. Insomnia juga sering
ditemukan pada orang-orang dengan masalah medis, terutama
ganggguan nyeri kronis, nyeri yang ridak diketahui sebabnya
(psikosomatis), dan masalah kondisi mental yang terganggu. 1
1.2. Rumusan Masalah
- Bagaimana fisiologi normal dari tidur ?
- Bagaimana neurobiologi dan mekanisme dari insomnia ?
- Bagaimana cara mendiagnosis insomnia ?
- Apa tatalaksana yang paling tepat dari insomnia ?
1.3. Tujuan Penulisan
1.3.1. Tujuan Umum
Memahami insomnia dan tatalaksananya dalam kehidupan sehari-hari
1.3.2. Tujuan Khusus
- Memahami mekanisme kerja dari neurobiologi insomnia
- Memahami penyebab dari insomnia
- Memahami cara mendiagnosis insomnia
- Memahami apa saja tatalaksana untuk mengatasi insomnia
1.4. Manfaat Penulisan
1.4.1. Bagi Penulis
- meningkatkan pemahaman mengenai insomnia
1.4.2. Bagi Bidang Akademik
- memberi pengetahuan umum mengenai insomnia secara luas.
- menyajikan sebuah pemaparan mengenai insomnia dan tatalaksana dari
penyakit tersebut.
5
1.4.3. Bagi masyarakat
- memberikan pemahaman pada masyarakat mengenai penyebab dan cara
menangani insomnia.
BAB II
DASAR TEORI
2.1. Fisiologi Tidur
Sebagian besar organisme hidup menunjukkan adanya fluktuasi fungsi tubuh
yang berirama sepanjang kurang lebih 24 jam yaitu yang disebut sebagai irama
sirkadian. Irama sirkadian mempengaruhi pola fungsi biologis utama dan fungsi
perilaku. Fluktuasi dan perkiraan suhu tubuh, denyut jantung, tekanan darah, sekresi
hormon, kemampuan sensorik, dan suasana hati tergantung pada pemeliharaan siklus
sirkadian selama 24 jam. 2,3
Zona tidur pada otak depan bagian basal meliputi bagian-bagian dari
hipotalamus. Dari hipotalamus, jalur endokrin dan saraf yang menuju ke berbagai
bagian tubuh mengatur irama ini, termasuk pelepasan melatonin di malam hari yang
berfungsi sebagai sinyal waktu sistemik, dan hormon adenosine yang diproduksi sejak
awal kita bangun dan akan menyebabkan rasa kantuk apabila kadarnya mulai
meningkat. 2,3
Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonin dari sel tertentu dalam
sistem tidur Raphe pada pons dan otak depan bagian tengah. Zat agonis serotonin
berguna untuk menekan tidur dan antagonis serotonin meningkatkan tidur gelombang-
lambat pada manusia. Seseorang tetap tertidur atau terbangun tergantung pada
keseimbangan impuls yang diterima dari pusat otak, reseptor sensori perifer dan
sistem limbik. Jika stimulus ke RAS menurun maka aktivasi RAS juga akan menurun.
Pada beberapa bagian lain, BSR mengambil alih dan menyebabkan seseorang tidur. 2,3
6
Tidur dibagi menjadi 2 tahapan, yaitu tidur Non-Rapid Eye Movement
(NREM) dan tidur Rapid Eye Movement (REM). Tidur NREM adalah tidur yang
lambat dengan mata tertutup, ada gerakan tubuh, dan gerakan napas yang tenang serta
teratur. Selama tidur umumnya manusia akan melalui fase NREM kemudian baru
masuk ke REM. Urutan fase dimulai dari N1 N2 N3 N2 REM. Kualitas
tidur dari tahap 1 hingga REM akan bertambah dalam. Tidur yang dangkal merupakan
karakteristik dari tahap 1 dan 2 dimana seseorang akan lebih mudah terbangun. Tahap
3 dan 4 merupakan fase tidur yang dalam dimana seseorang akan lebih sulit untuk
terbangun. 2,3
Secara normal, pada orang dewasa pola tidur rutin dimulai dengan periode N1
(fase somnolen atau mengantuk) dimana ditemukan perubahan gelombang alpha
menjadi theta. Pada periode ini terdapat gerakan otot yang ringan (mioklonus positif),
penurunan sejumlah tonus otot, kesadaran lingkungan sekitar berkurang. Kadang juga
dapat ditemukan halusinasi hipnagogik. Periode ini secara normal berakhir setelah 10-
30 menit. Akan tetapi untuk seseorang yang memiliki kesulitan untuk tertidur akan
berlangsung selama 1 jam atau lebih. 2,3
Pada fase N2 ditemukan gelombang tidur berfrekuensi 11-16 Hz komplek K.
Dalam stadium ini aktivitas otot menurun dan kesadaran terhadap lingkungan sekitar
menghilang. Fase N2 menempati 45-55 % dari total waktu tidur. Pada fase N3
(gelombang tidur lambat) ditemukan gelombang delta 0,5-2 Hz. Dalam fase ini dapat
ditemukan parasomnia seperti teror tidur malam, enuresis nokturnal, tidur berjalan. 2,3
7
Tidur REM menempati 20-25 % dari total waktu tidur seseorang. Pada fase
REM terdapat gerakan mata yang cepat disertai gelombang EEG bervoltase rendah
yang cepat. Sebagian besar mimpi terjadi pada fase ini. Kadang juga dapat ditemukan
paralisis otot pada fase ini yang bertujuan untuk melindungi orang yang tertidur dari
gerakan tiba-tiba saat bermimpi. 2,3
Ketika seseorang tertidur, biasanya melewati 4 sampai 6 siklus tidur penuh.
Tiap siklus tidur terdiri dari 4 tahap tidur NREM dan satu periode dari tidur REM.
Pola siklus biasanya berkembang dari tahap 1 menuju ke tahap 4 NREM, diikuti
kebalikan tahap 4 ke 3, lalu ke-2, diakhiri dengan periode dari tidur REM. Seseorang
biasanya mencapai tidur REM dalam waktu 90 menit sejak N1. Jumlah siklus tidur
tergantung pada jumlah total waktu yang klien gunakan untuk tidur. 2,3
2.2. Neurobiologi dalam Insomnia
Tidur dan bangun mencerminkan keseimbangan yang kompleks antara sistem
fisiologis tubuh yang meginduksi terjadinya tidur dan bangun. Penelitian terakhir
menunjukan bangun dan terjaga dipengaruhi oleh neurotransmitter dari batang otak
yang diproyeksikan ke thalamus dan otak depan. Neurotransmitter yang berperan
dalam fungsi tersebut adalah noradrenalin, serotonin, asetilkolin dan histamin.
Sebagai pengobatan dari insomnia, obat-obatan yang bekerja dengan memblokade
impuls saraf post sinaps dapat diberikan. Akan tetapi, efek dari pengobatan yang
hanya memblokade salah satu jaras impuls tersebut biasanya kurang efektif. 4
Tidur juga dipengaruhi oleh neurotransmitter inhibitorik utama di otak yakni,
gamma-aminobutyric acid atau biasa disebut GABA. Mayoritas sel-sel otak akan
terhambat oleh GABA sehingga menyebabkan penurunan dari derajat kesadaran
hingga tidur. Neuron penghasil GABA tersebar luas di seluruh bagian otak, namun
bagian hipotalamus dapat dianggap sebagai pusat tidur. Neuron- neuron di
hipotalamus akan menonaktifkan sistem kesadaran sehingga menginduksi tidur.
GABA reseptor di korteks juga dapat memberikan efek sedasi dan tidur dengan
menghambat neuron target dari sistem kesadaran. Efek inhibisi dari GABA
dihantarkan melalui reseptor GABA yang akan membentuk ikatan protein yang kuat
dengan obat-obat yang menginduksi tidur seperti benzodiazepine dan barbiturat yang
akan meningkatkan kinerja dari GABA. 4
8
Neurotransmitter lain yang berperan dalam tidur adalah adenosine.
Peningkatan dari adenosine pada siang hari akan menyebabkan ngantuk dan tidur
yang lebih lama. Gangguan tidur yang disebabkan karena konsumsi kafein
diperkirakan akibat dari blokade dari reseptor adenosin.5,6
Tabel Neurotransmiter yang Mempengaruhi Tidur pada Manusia
2.3. Gangguan irama sirkardianIstilah sirkadian mengacu pada kerangka waktu “sekitar 1 hari” dapat lebih
pendek atau lebih panjang dari 24 jam. Irama sirkadian dipengaruhi oleh stimuli dari
lingkungan sehigga sesuai dengan kegiatan di sekitar kita. Oleh karena itu irama
sirkadian dapat bergeser sesuai dengan keseimbangan terang gelap dan jika kita
berpergian ke daerah dengan perbedaan waktu yang ekstrem. Irama sirkadian berpusat
di nukleus suprachiasma di hipotalamus anterior dan sensitive terhadap cahaya dan
aktivitas dari masing-masing organ. 4
Melantonin disintesis kelenjar hipotahalamus yang akan mencapai puncak saat
kegelapan pada irama sirkadian normal. Fungsi utama melantonin adalah sebagai
“photoneuroendpcrine”. Melantonin memberi informasi mengenai panjangnya hari
melalui sekresinya yang meningkat pada malam hari dan menurun pada pagi hari.
Kadar puncak melantonin berkaitan dengan titik terendah dari suhu tubuh,
kewaspadaan, serta fungsi mental dan metabolik dan mencapai kadar maksimal waktu
tidur. Jika tidur pada siang hari atau di luar jam malam biologis, maka kualitas dan
9
durasi melantonin tidak akan maksimal. Beberapa penelitian terakhir menunjukan
adanya gangguan dalam sekresi melantonin pada pasien dengan gangguan jiwa.
Gangguan sekresi tersebut dapat berupa keterlambatan dari sekresi melantonin.
Penelitian juga menunjukan pada pasien dengan terapi lithium untuk megatasi
gangguan mood mengalami ritme irama sirkadian yang lebih lambat dan lebih
panjang.7,8
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Definisi
Insomnia adalah gangguan dalam kuantitas dan kualitas tidur meskipun
mempunyai waktu dan kesempatan tidur yang cukup. Gangguan ini dapat berupa
gangguan dalam memulai tidur dan gangguan dalam mempertahankan tidur.
Kriterianya bermacam-macam, salah satunya ada yang mengatakan bahwa waktu
untuk masuk dalam kondisi tidur yang sebenarnya lebih dari 30 menit, tertidur kurang
dari 6 jam, terbangun di saat tidur di malam hari lebih dari 3x, dan kualitas tidur yang
tidak baik (subjektif). Maksud dari kualitas tidur yang tidak baik ini adalah seseorang
merasa tidak merasa lebih baik setelah tidur di malam hari.9,10,11
Menurut DSM-IV-TR, insomnia terdiri atas insomnia primer dan sekunder.
Insomnia primer memiliki durasi paling tidak selama 1 bulan mengalami gejala susah
tidur (baik dari kualitas maupun kuantitas) dan tidak memiliki gangguan tidur lainnya,
gangguan jiwa lainnya, gangguan kesehatan lainnya, dan gangguan tidur akibat
penggunaan obat-obatan tertentu. Sedangkan untuk insomnia sekunder berhubungan
dengan gangguan jiwa lainnya atau karena gangguan kesehatan lainnya serta adanya
efek dari obat-obat tertentu yang membuat seseorang menjadi susah tidur.12
3.2. Epidemiologi
Insomnia merupakan gejala gangguan tidur yang paling sering terjadi dan
dikeluhkan. Data dari Amerika mengatakan bahwa hampir 95% penduduknya
mengeluhkan gangguan tidur berupa insomnia. Suatu organisasi kesehatan tidur di
Amerika, American Academy of Sleep Medicine (AASM) pada tahun 2008
10
mengatakan bahwa insomnia saat ini menjadi masalah kesehatan masyarakat yang
perlu diperhatikan dan ditindaklanjuti.10
Menurut survei nasional yang dilaksanakan di Inggris, dikatakan bahwa
prevalensi insomnia meningkat terus menerus dari tahun 1993 sampai tahun 2007.
Selain itu juga dikatakan bahwa wanita lebih banyak menderita insomnia
dibandingkan pria (1,4:1). Data epidemiologi juga menyebutkan bahwa 40% wanita
antara usia 40-55 tahun menderita insomnia. Hampir 50% orang usia tua memiliki
gangguan insomnia.10
Diantara semua pasien yang menderita insomnia, didapatkan faktor risiko
yang paling banyak adalah karena adanya depresi. Selain itu, umur yang semakin
meningkat, gangguan kesehatan komorbid lainnya, dan gangguan psikiatri lainnya
juga menjadi faktor risiko dalam terjadinya insomnia ini. Data juga menunjukkan
bahwa angka prevalensi insomnia meningkat pada orang-orang yang memiliki
masalah seperti perceraian, masalah dalam pekerjaan, sosial ekonomi yang rendah,
tingkat stres kehidupan yang tinggi.12
3.3. Etiologi
1. Stres. Kekhawatiran tentang pekerjaan, kesehatan sekolah, atau keluarga dapat
membuat pikiran menjadi aktif di malam hari, sehingga sulit untuk tidur.
Peristiwa kehidupan yang penuh stres, seperti kematian atau penyakitdari orang
yang dicintai, perceraian atau kehilangan pekerjaan, dapat menyebabkan insomnia.
2. Kecemasan dan depresi. Hal ini mungkin disebabkan ketidakseimbangan kimia
dalam otak atau karena kekhawatiran yang menyertai depresi.
3. Obat-obatan. Beberapa resep obat dapat mempengaruhi proses tidur,termasuk
beberapa antidepresan, obat jantung dan tekanan darah, obat alergi,stimulan
(seperti Ritalin) dan kortikosteroid.
4. Kafein, nikotin dan alkohol. Kopi, teh, cola dan minuman yang mengandung
kafein adalah stimulan yang terkenal. Nikotin merupakan stimulan yang dapat
menyebabkan insomnia. Alkohol adalah obat penenang yang dapat membantu seseorang jatuh
tertidur, tetapi mencegah tahap lebih dalam tidur dan sering menyebabkan terbangun
di tengah malam.
11
5. Kondisi Medis. Jika seseorang memiliki gejala nyeri kronis, kesulitan bernapas
dan sering buang air kecil, kemungkinan mereka untuk mengalami insomnia lebih
besar dibandingkan mereka yang tanpa gejala tersebut.Kondisi ini dikaitkan
dengan insomnia akibat artritis, kanker, gagal jantung,penyakit paru-paru,
gastroesophageal reflux disease (GERD), stroke, penyakit Parkinson dan penyakit
Alzheimer.
6. Perubahan lingkungan atau jadwal kerja. Kelelahan akibat perjalanan jauh atau
pergeseran waktu kerja dapat menyebabkan terganggunya irama sirkadian tubuh,
sehingga sulit untuk tidur. Ritme sirkadian bertindak sebagai jam internal,
mengatur siklus tidur-bangun, metabolisme, dan suhu tubuh.
7. “Belajar” insomnia. Hal ini dapat terjadi ketika Anda khawatir berlebihan tentang
tidak bisa tidur dengan baik dan berusaha terlalu keras untuk jatuhtertidur.
Kebanyakan orang dengan kondisi ini tidur lebih baik ketika mereka berada jauh
dari lingkungan tidur yang biasa atau ketika mereka tidak mencoba untuk tidur,
seperti ketika mereka menonton TV atau membaca.13,14
Tabel Gangguan Psikiatri dan Kondisi Medis dan Obat-obatan yang dapat mempengaruhi tidur4
12
3.4. Faktor Resiko
Hampir setiap orang memiliki kesulitan untuk tidur pada malam hari tetapi resiko insomnia meningkat jika terjadi pada : 13,14
1. Wanita. Perempuan lebih mungkin mengalami insomnia. Perubahan hormone
selama siklus menstruasi dan menopause mungkin memainkan peran. Selama
menopause, sering berkeringat pada malam hari dan hot flashes sering
mengganggu tidur.
2. Usia lebih dari 60 tahun. Karena terjadi perubahan dalam pola tidur, insomnia
meningkat sejalan dengan usia.
3. Memiliki gangguan kesehatan mental. Banyak gangguan, termasuk
depresi,kecemasan, gangguan bipolar dan post-traumatic stress disorder,
mengganggu tidur.
4. Stres. Stres dapat menyebabkan insomnia sementara, stress jangka panjang
seperti kematian orang yang dikasihi atau perceraian, dapat menyebabkan
13
insomnia kronis. Menjadi miskin atau pengangguran juga meningkatkan risiko
terjadinya insomnia.
5. Perjalanan jauh (Jet lag) dan Perubahan jadwal kerja. Bekerja di malam hari
sering meningkatkan resiko insomnia.
3.5. Diagnosis
Insomnia didiagnosa jika keluhan utamanya adalah sulitnya tidur selama lebih
kurang 1 bulan. Menurut ICD-10, gangguan ini harus terjadi paling tidak selama 3x
dalam seminggu selama 1 bulan. Insomnia primer berarti bahwa gangguan tidur yang
dialami bukan disebabkan oleh gangguan fisik ataupun mental / kejiwaan lainnya. 9
Insomnia berhubungan erat dengan kecemasan. Selain itu, pada beberapa
orang dengan insomnia, ditemukan bahwa depresi juga menjadi gejala awal sebelum
terjadinya insomnia. Selain itu, orang dengan frustasi dan kemarahan juga dapat
mengalami insomnia. 9,11
Dalam mengevaluasi dan mendiagnosis suatu insomnia, banyak hal yang harus
diperhatikan. Evaluasi harus fokus pada pendeskripsian gejala yang dialami pasien
seperti jenis gangguan tidur di malam hari, kebiasaan dan pola tidur sehari-hari.
Seorang dokter harus menanyakan mengenai waktu mulai tidur dan bangun tidur,
waktu tidur dari hari ke hari, kondisi emosional, kognitif, dan fisik sebelum tidur.
Gejala-gejala yang terjadi selama tidur juga harus ditanyakan seperti adanya
mendengkur selama tidur, adanya henti nafas sementara selama tidur, adanya gerakan
kaki selama tidur yang tidak normal, dan lain-lain. 10,12
Perasaan sehari-hari juga harus dievaluasi. Keluhan yang paling banyak
disampaikan adalah adanya gangguan mood, depresi, kecemasan, lelah, dan sulit
berkonsentrasi dalam kegiatan. Selain itu, perlu ditanyakan juga mengenai penyakit-
penyakit lain yang diderita oleh pasien, baik gangguan kejiwaan maupun gangguan
medis lainnya, serta adanya penggunaan kafein yang berlebihan, alkohol, dan obat-
obatan seperti antidepresan. 10,12
Oleh karena itu, anamnesa sangat penting. Pasien dapat diminta untuk
membuat suatu catatan mengenai pola tidurnya akhir-akhir ini, aktifitas sehari-hari
14
yang dilakukan pasien, perasaan pasien setiap harinya, dan lain-lain yang
berhubungan dengan ganguan tidur yang dialami oleh pasien. Pemeriksaan
laboratorium sangat terbatas dalam mendiagnosa insomnia. Namun, pada beberapa
kondisi dapat dilakukan cek darah lengkap, pemeriksaan metabolik, endokrin.
Pemeriksaan ini jarang dilakukan. 12
Diagnosis insomnia dapat dibuat berdasarkan kriteria dari DSM-IV-TR
(Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder 4th ed, Text Rev) dari
American Psychiatric Association. Selain itu juga bisa berdasarkan kriteria dari
PPDGJ III (Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa) di Indonesia.
Kriteria-kriteria yang terdapat dalam DSM-IV-TR untuk mendiagnosis suatu
gangguan insomnia antara lain : 9,11
A. Keluhan yang paling menonjol adalah sulitnya untuk jatuh dalam tidur, dan
sulitnya mempertahankan tidur yang cukup, selama lebih kurang 1 bulan
B. Gangguan tidur ini disebabkan karena adanya distres, gangguan fungsi sosial, dan
pekerjaan
C. Gangguan tidur tidak terjadi selama penggunaan obat-obatan tertentu, gangguan
nafas selama tidur (breathing – related sleep disorder), gangguan irama
sikardian, ataupun parasomnia
D. Gangguan tidur tidak terjadi atau tidak berhubungan dengan gangguan kejiwaan
lainnya seperti gangguan depresi mayor, gangguan kecemasan menyeluruh,
delirium
E. Gangguan tidur ini tidak disebabkan oleh efek dari dari obat-obatan maupun dari
kondisi medis secara umum.
Menurut Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas PPDGJ-III), pedoman
diagnosis dari insomnia yaitu Insomia Non-Organik (F51.0) terdiri atas : 9,15
Hal tersebut di bawah ini diperlukan untuk membuat diagnosis pasti :
a) Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur,atau
kualitas tidur yang buruk
b) Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1
bulan
15
c) Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur (sleeplessness) dan peduli
yang berlebihan terhadap akibatnya pada malam hari dan sepanjang
siang hari
d) Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan
penderitaan yang cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial
dan pekerjaan
Adanya gejala gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas
tidak menyebabkan diagnosis insomnia diabaikan. Semua ko-morbiditas harus
dicantumkan karena membutuhkan terapi tersendiri
Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak digunakan untuk menentukan adanya
gangguan, oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguan yang tidak
memenuhi kriteria di atas (seperti pada transient insomnia) tidak didiagnosis di
sini, dapat dimasukkan dalam Reaksi Stres Akut (F43.0) atau Gangguan
Penyesuaian (F43.2)
3.6. Terapi
Pada tahun 2008, AASM mengatakan bahwa tujuan terapi insomnia adalah
untuk meningkatkan kualitas tidur dan untuk meningkatkan kualitas kehidupan sehari-
hari. Strategi yang digunakan bervariasi tergantung dari etiologinya. Jika pasien
mempunyai gangguan medis dan neurologis yang lain yang menyebabkan terjadinya
insomnia, maka gangguan tersebut yang harus diobati. Algoritma dari AASM
mengatakan bahwa intervensi prilaku dan psikologis, termasuk CBT (Cognitive
Behavioral Therapy) merupakan terapi yang efektif dalam mengatasi insomnia.
Penelitian lain mengatakan bahwa gabungan antara psikologi dan farmakologi sangat
efektif dalam menangani insomnia dibandingkan dengan salah satu terapi saja. 10,12
A. CBT (Cognitive Behavioral Therapy)
CBT sangat efektif sebagai terapi untuk insomnia primer. Penelitian multipel
RCT mendapatkan hasil bahwa sebanyak 50-75% pasien dengan insomnia mengalami
perbaikan dengan terapi CBT ini. Elemen yang dipakai dalam CBT ini terdiri atas
edukasi tentang tidur, waktu tidur yang baik, membuat kamar tidur dan kasur sebagai
stimulus untuk tidur bukan untuk malas-malasan dan frustasi. Kekurangan dari CBT
ini adalah membutuhkan waktu yang cukup lama, dan seorang psikiater atau psikolog
harus terlatih dalam menggunakan CBT ini. Kebanyakan penelitian mengatakan
16
bahwa CBT ini berlangsung sebanyak 5-7 sesi selama 6-7 minggu dimana masing-
masing sesi membutuhkan waktu 20-40 menit. 10
CBT memiliki beberapa komponen atau pembagian yaitu : 10,12
1. Sleep hygiene education
Terapi ini terdiri atas melakukan prilaku-prilaku yang dapat mempercepat tidur
dan menjauhi prilaku yang dapat membuat seseorang tidak bisa tidur. Beberapa
hal yang dapat dilakukan ialah berolahraga secara teratur, membatasi konsumsi
alkohol dan cafein, menjaga waktu tidur yang teratur, dan menghindari tidur
siang.
2. Terapi relaksasi dan kognitif
Pasien diajari untuk menghindari kepercayaan negatif tentang tidur, mengurangi
kekhawatiran yang berlebih terhadap konsekuensi dari gagal mendapatkan tidur
yang cukup. Terapi relaksasi dapat berupa pengajaran untuk mengatur dan
mengontrol tegangan hidup berupa olahraga, meditasi supaya fokus dalam suatu
kegiatan, pernafasan yang baik, sehingga pada akhirnya pasien dapat relaks dan
tertidur di malam hari.
3. Stimulus-control therapy
Terapi yang dimaksud disini adalah menjelaskan kepada pasien beberapa hal
seperti :
Menggunakan kasur hanya untuk tempat tidur dan seks saja, bukan untuk
makan, nonton TV, baca buku, ataupun bekerja.
Pergi ke kasur hanya jika mengantuk saja
Jika tidak bisa tidur dalam 15 – 20 menit, cobalah melakukan hal lain sampai
mengantuk
Menahan diri untuk tidak tidur di siang hari
Menjaga waktu tidur setiap harinya dengan teratur
4. Terapi pembatasan tidur (sleep-restriction therapy)
Terapi ini didasarkan pada kenyataan bahwa tidur yang berlebihan dapat
mencetuskan terjadinya insomnia. Oleh karena itu waktu tidur harus dibatasi
secukupnya.
B. Terapi Farmakologi
17
Obat-obatan yang dipakai sebagai terapi insomnia dapat berupa golongan
agonis reseptor nonbenzodiazepine, agonis reseptor benzodiazepine, agonis reseptor
melatonin selektif, dan antidepresant. Benzodiazepine merupakan golongan sedatif
hipnotik. Golongan nonbenzodiazepine yang dapat dipakai ialah Zaleplon (Sonata),
Zolpidem, dan Eszopiclone. Untuk yang benzodiazepine dapat berupa short acting,
intermediate acing, dan long acting. Short acting terdiri atas Triazolam (Halcion).
Intermediate acting terdiri atas Estazolam dan Temazepam. Long acting terdiri atas
Flurazepam (Dalmane) dan Quazepam (Doral). 9,10
Nonbenzodiazepine ini terikat pada reseptor GABAA yang berhubungan
dengan sedasi sehingga menjadi pilihan yang tepat dalam mengobati insomnia. Obat
ini dapat menimbulkan perasaan ingin tidur dan menjaga kualitas tidur.
Benzodiazepine baik yang short acting maupun intermediate acting juga banyak
digunakan karena harganya yang cukup murah. Obat-obat ini juga bekerja pada
reseptor GABAA dan menghambat neurotransmisi dari GABA dengan meningkatkan
frekuensi membukanya channel Chlorida. 10
Akan tetapi golongan benzodiazepine ini penggunaannya harus hati-hati
karena mempunyai efek seperti sedasi dan gangguan psikomotor yang dapat
meningkatkan risiko penyalahgunaan dan ketergantungan, serta juga dapat
menimbulkan suatu gejala rebound insomnia dimana gejala insomnia menjadi lebih
berat jika obat tersebut dihentikan. Efek saming yang lain ialah obat ini dapat
menimbulkan amnesia anterograde, postural instability, dan ngantuk yang berlebihan. 10,12
Agonis reseptor melatonin (Ramelteon) juga terbukti efektif dalam mengobati
insomnia. Obat ini bekerja memperbaiki onset dari tidur dengan efek kebangun di
malam hari sedikit. Efek samping juga sedikit. Obat ini bekerja selektif pada reseptor
MT1 dan MT2 pada manusia. MT1 dan MT2 dapat memicu terjadinya tidur dan
mempertahan siklus tidur yang normal dan irama sikardian.10,11,12
Dosis, waktu paruh, dan mekanisme obat-obat diatas
dapat dilihat pada tabel di bawah ini.11
Obat Waktu Onset Dosis dewasa Mekanisme
18
paruh (jam) (mg)
Zolpidem
(Ambien)
1,5 – 2,4 Cepat 5 – 10 Agonis GABAA
Zaleplon
(Sonata)
1 Cepat 5 – 10 Agonis GABAA
Eszopiclone
(Lunesta)
5 – 7 Sedang 2 – 3 Agonis GABAA
Ramelteon
(Rozerem)
1 – 2,6 Cepat 8 Agonis
Melatonin
BAB IV
KESIMPULAN
Berdasarkan berbagai data dan sumber pustaka yang telah kami kumpulkan dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Insomnia merupakan suatu gejala dan tanda gangguan tidur dimana orang tersebut
tidak dapat tidur sama sekali, sulit untuk memulai tidur, atau tidak mampu untuk
mempertahankan keadaa tidurnya sehingga terbangun pada tengah malam.
2. Insomnia menyebabkan penurunan fungsionalitas seseorang akibat rasa kantuk yang
teramat sangat pada pagi harinya sehingga dapat menyebabkan penurunan fungsi
kerja hingga sampai kecelakaan saat berkendara. Tidak jarang pula pada penderita
19
gangguan jiwa keadaan insomnia ini dapat memperburuk kondisi psikologis mereka
sehingga memperpanjang masa pengobatan.
3. Penyebab dari insomnia bervariasi. Mulai dari stress dari kehidupan sehari-hari,
keadaan psikologis (kecemasan, depresi), keadaan medis umum (penyakit organik),
hingga penggunaan obat dan zat tertentu (kafein, stimulan).
4. Wanita berusia lebih dari 60 tahun, sedang dalam keadaan gangguan psikologis
(depresi) dan mengalami stress akibat suatu alasan tertentu, dan sering berpergian
keluar negeri merupakan golongan utama yang paling rawan mengalami insomnia.
5. Pada insomnia, gangguan neurotransmiter (GABA, serotonin) dan irama sirkadian
(melatonin, adenosin) memegang peranan penting dalam proses patofisiologinya.
6. Insomnia didiagnosa jika keluhan utamanya adalah sulitnya tidur selama lebih kurang
1 bulan. Menurut ICD-10, gangguan ini harus terjadi paling tidak selama 3x dalam
seminggu selama 1 bulan. Pedoman diagnosis insomnia dapat ditemukan dalam DSM
IV dan PPDGJ-III.
7. Pengobatan insomnia dititikberatkan pada psikoterapi dengan CBT dan farmakologi
untuk mengatasi gejala dengan benzodiazepine dan obat-obatan yang bekerja dalam
sistem melatonin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jaussent I, Dauvilliers Y, Ancelin ML, et al. Insomnia symptoms in older adults:
associated factors and gender differences. Am J Geriatr Psychiatry. 2011 January;
19(1): 88-97
2. Sherwood L. Fisiologi Manusia. Edisi ke-2. Jakarta: EGC; 2001: 136-138
3. Shrivastava D. The Physiology of Sleep for Clinicians. Indian J Sleep Med 2011; 6.3,
90-93
4. Buysee JD. Chronic Insomnia. American Journal of Psychiatry. 2008.165;6
5. Wulff k, Dijk DJ, et. All. Sleep and circadian rhythm disruption in schizophrenia. The
British Journal of Psychiatry.2012.308-316
20
6. Wilson FJ, Nutt DJ, Alford C, et all. British Association for Psychopharmacology
consensus statement on evidence-based treatment of insomnia, parasomnias and
circadian rhythm disorders.Journal of psychopharmacology.2010. 24(11):1577-1600
7. Harvey GA. Sleep and Circadian Rhythms in Bipolar Disorder: Seeking Synchrony,
Harmony, and Regulation. American Journal of Psychiatry.2008. 165 :820-865
8. Arendt J, Rajaratnam SMW. Melatonin and its agonists: an update. The British
Journal of Psychiatry.2008.193 : 267-269
9. Sadock BJ, Sadock VA. Sleep Disorders . Dalam: Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan &
Sadock’s Synopsis of Psychiatry Behavioral Sciences/Clinical Psychiatry. Edisi ke-
10. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007: 753-72
10. Chawla, J. Insomnia. Medscape [Serial Online]. Didapat dari URL
http://emedicine.medscape.com/article/1187829-overview. [5 November 2012]
11. Hewlett W. A. Insomnia. Dalam : Current Diagnosis & Treatment Psychiatry, Second
Edition. New York: McGraw Hill; 2009
12. Buysse, D. J. Treatment of Psychiatry Chronic Insomnia. American Journal of
Psychiatry 165:6, June 2008
13. Kaplan, H.I, Sadock BJ. 2010.Kaplan dan Sadock Sinopsis Psikiatri. Ed:Wiguna, I
Made.Tangerang: Bina Rupa Aksara Publisher
14. http://www.emedicina.medscape.com/article/1187829.com
15. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III. Jakarta: Bagian
Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya; 2003: 93
21