Jurnal Arysta Gejala Insomnia, Mimpi Buruk Dan Ide Bunuh Diri Pada Dewasa Tua

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Translate jurnal

Citation preview

GEJALA INSOMNIA, MIMPI BURUK, DAN KEINGINAN BUNUH DIRI PADA USIA LANJUTTujuan. Pada penelitian oleh peneliti sebelumnya telah menemukan bahwa gejala insomnia dan mimpi buruk yang terkait dengan keinginan bunuh diri, percobaan bunuh diri, dan kematian karena bunuh diri. Namun, untuk yang lebih baik, belum ada penelitian yang meneliti hubungan antara gejala insomnia, mimpi buruk, dan keinginan bunuh diri pada orang usia lanjut . Proyek ini bertujuan untuk mengisi kekurangan ini dengan menyelidiki hubungan antara gejala insomnia, mimpi buruk, dan keinginan bunuh diri pada sampel orang usia tua lanjut ( usia lanjut).Metode. Penelitian ini digunakan desain cross-sectional. Sampel terdiri dari 81 pasien lanjut usia (usia 65 tahun) direkrut dari sebuah klinik pengobatan keluarga. Para peserta diminta untuk menyelesaikan survei tentang tidur mereka, gejala depresi, dan keinginan bunuh diri.

Hasil. Gejala Insomnia, tapi tidak mimpi buruk, secara signifikan terkait dengan keinginan bunuh diri. Selain itu, Gejala insomnia terkait dengan ide bunuh diri dari mimpi buruk. Selanjutnya, hubungan antara insomnia gejala dan keinginan bunuh diri itu dimediasi oleh gejala depresi.

Diskusi. Temuan ini memiliki implikasi untuk identifikasi dan pengobatan keinginan bunuh diri pada orang usia lanjut .

Kata Kunci: ide Insomnia gejala-mimpi buruk, keinginan-bunuh diri.

Jika bunuh diri merupakan masalah di Amerika Serikat, kemudian bunuh diri antara orang usia lanjutadalah krisis. Pada tahun 2008, angka bunuh diri untuk orang dewasa berusia 65 dan lebih tua lebih dari 30% lebih tinggi dari tingkat bunuh diri bagi mereka di bawah usia 65 ( pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit 2012 ). Selain itu, perilaku bunuh diri antara orang usia lanjut lebih cenderung berakibat fatal dibandingkan perilaku bunuh diri di usia muda. Upaya lanjut usia / Rasio kematian adalah 4: 1 menggambarkan perbedaan yang jauh lebih besar serta baik dibandingkan pada rasio upaya / keseluruhan kematian 25: 1 atau 100-200: 1. Rasio ini ditemukan pada mereka yang masih muda ( Chan, Draper, & Banerjee, 2007 ). Perilaku bunuh diri pada usia lanjut juga berbeda dalam beberapa hal penting lainnya dan dari perilaku bunuh diri ini selaras dengan umur (misalnya, rasio jenis kelamin;. Chan et al, 2007), hal ini menunjukkan bahwa penelitian dengan menggunakan kelompok usia muda mungkin tidak dapat mewakili keseluruhan kasus pada usia lanjut. Dengan demikian, penelitian lebih lanjut menyelidiki perilaku bunuh diri secara khusus antara orang usia lanjut ialah sangat di butuhkan.

Bunuh diri adalah topik yang sulit untuk pelajari karena statistik jarang terjadinya. Dengan demikian, penelitian sering berfokus pada bunuh diri perilaku dan keinginan bunuh diri, karena keduanya merupakan faktor risiko untuk kematian karena bunuh diri. Mempelajari keinginan bunuh diri itu penting karena tidak hanya merupakan faktor risiko untuk perilaku bunuh diri, melainkan komponen penting, seperti perilaku bunuh diri tidak dikatakann bunuh diri tanpa keinginan bunuh diri dan niat untuk melakukannya ( Silverman, Berman, Sanddal, O'Carroll, & Joiner, 2007). Dengan demikian, keinginan bunuh diri adalah bagian penting dari perilaku bunuh diri dan risiko. Faktor risiko potensial untuk keinginan bunuh diri dan perilaku yang mendasari penelitian antara orang usia lanjut adalah kesulitan tidur. Kesulitan tidur telah terbukti terkait dengan keinginan bunuh diri dan perilaku pada orang dewasa muda dan seluruh usia (Cukrowicz et al., 2006 ; Nadorff, Nazem, & Fiske, 2011 ; Sjostrom, Wrn, & Hetta 2007), tetapi teori relativitas ini belum diperiksa secara khusus pada orang usia lanjut.. Hal ini akan menjadi sangat penting untuk mengetahui apakah ada hubungan antara gangguan tidur dan bunuh diri di kelompok usia ini, seperti yang telah diperkirakan bahwa sampai 50% pada usia lanjut sering mengeluh kesulitan tidur (Vitiello, Larsen,& Moe, 2004). Sampai saat ini, dua jenis gangguan tidur memiliki telah diperiksa dalam kaitannya dengan keinginan bunuh diri dan prilaku Gejala IOR-insomnia dan mimpi buruk.

Gejala Insomnia

Insomnia adalah lebih umum terjadi pada orang usia lanjut daripada di kelompok usia lainnya ( Thase 2005 ). Penelitian telah menunjukkan bahwa banyak usia lanjut , terutama laki-laki, dengan insomnia tanpa keluhan seperti mereka mengubah apa yang mereka lihat sebagai tidur yang nyenyak (Vitiello et al., 2004). Meskipun umum, insomnia dan efeknya sering tidak dilaporkan ke dokter ( Leger & Poursain 2005 ), dan karena penyakit ini dapat diobati. Beberapa telah mengemukakan kemungkinan mekanisme dengan yang insomnia terkait dengan keinginan dan perilaku bunuh diri.

Sebuah studi baru-baru ini menyelidiki kualitatif Insomnia ditemukan, bahwa mereka yang dilaporkan insomnia terus-menerus mengalami efek negative yang kumulatif berpengaruh pada aktivitas kerja dan interaksi sosial (Kyle, Espie, & Morgan, 2010). Dengan kata lain, semakin lama seorang individu memiliki insomnia, semakin parah efek negatifnya. Para peserta juga dilaporkan sering merasa terisolasi, seperti serta berkurangnya keinginan hidup ( Kyle et al., 2010 ). Mengingat hal itu apabila bekepanjanjangan maka akan menjurus munculnya hubungan suatu keinginan seseorang untuk bunuh diri (Van Orden et al., 2010 ), Insomnia mungkin penting dalam memprediksi keinginan bunuh diri. Sebagai tambahan, Insomnia dapat merupakan gejala atau, lebih sering mendahului munculnya depresi ( Breslau, Roth, Rosenthal, & Andreski 1996 ; Ford & Kamerow 1989; Morphy, Dunn, Lewis, Boardman, & Croft, 2007 ), Yang merupakan faktor risiko pasti untuk perilaku bunuh diri pada akhir kehidupannya (Conwell & Brent, 1995 ).

Beberapa studi telah secara langsung menguji hubungan antara insomnia dan keinginan bunuh diri dan perilaku. Barbe dan col liga (2005) menemukan bahwa gejala insomnia yang berhubungan paling sering terjadi pada remaja dengan depresi yang dilaporkan dimana untuk keinginan bunuh diri (72,1%) dibandingkan dengan yang depresi yang tanpa keinginan bunuh diri (45,6%). Demikian pula, menguji adanya hubungan antara gejala insomnia dan keinginan bunuh diril di mahasiswa (Nadorff et al., 2011). Memanfaatkan sampel dari 583 mahasiswa, kami menemukan bahwa gejala insomnia secara signifikan terkait dengan ide bunuh diri yang efek mimpi buruk. Namun, hubungan antara gejala insomnia dan kei dimediasi oleh gejala depresi. Gejala ginan bunuh diri juga telah terbukti berhubungan dengan perilaku bunuh diri yang jelas. Hall, Platt, dan Hall (1999) yang dilakukan sebuah studi yang tidak terkendali 100 individu yang telah membuat upaya bunuh diri medis yang serius (upaya yang memerlukan perawatan dirumah sakit) dan menemukan bahwa 64% dilaporkan secara umum gejala Insomnia (didefinisikan sebagai memiliki onset, lama , dan terminal Insomnia) dan 92% dilaporkan gejala insomnia yang parsial (didefinisikan sebagai memiliki onset, perbaikan, atau insomnia terminal, tetapi tidak ketiga). Selain itu, McGirr dkk(2007) melakukan studi otopsi psikologis yang menemukan bahwa mereka yang meninggal karena bunuh diri lebih mungkin untuk memiliki gejala insomnia daripada yang hanya tertekan.

Penelitian secara prospektif juga telah menunjukkan hubungan antara insomnia dan kematian dengan bunuh diri. Fujino, Mizoue, Tokui, dan Yoshimura (2005) yang diikuti 15.597 orang Jepang dewasa berusia 30-79 selama 14 tahun dan menemukan bahwa gejala-gejala insomnia merupakan faktor risiko untuk kematian oleh bunuh diri berkaitan usia.

Dari mereka yang meninggal karena bunuh diri dalam sampel, 19% dilaporkan gejala onset insomnia, 35% dilaporkan gejala Insomnia dengan perbaikan, dan 25% dilaporkan gejala

Insomnia terminal pada awal penelitian. Demikian pula, Fawcett dkk(1990) menemukan bahwa insomnia secara umum gejalanya, didefinisikan sebagai kesulitan tidur,

kesulitan untuk tetap tidur, dan bangun pagi terlalu awal, dan diperkirakan mati oleh bunuh diri dalam waktu satu tahun. Meskipun bukti kuat insomnia yang merupakan hal yang mampu mengiduksi keinginan bunuh diri dan perilaku pada orang dewasa muda dan sampel dengan usia campuran, sangat sedikit peneliti telah meneliti relativita antara insomnia dan keinginan bunuh diri dan perilaku dalam populasi usia lanjut . Bernert, Turvey, Conwell, dan Joiner (2007) mempelajari kualitas tidur dalam kaitannya dengan kematian bunuh diri di usia lanjut . Mereka menemukan bahwa kualitas tidur yang buruk pada awal akan berkaitan oleh kematian oleh bunuh diri, bahkan ketika kontrolnya adalah penderita depresi. Temuan ini sangat berharga karena menunjukkan bahwa gangguan tidur berhubungan dengan bunuh diri pada orang usia lanjut , seperti telah ditemukan pada orang dewasa muda dan setengah baya. Namun, karena fakta bahwa kualitas tidur adalah yang mendasari secara kuat daripada gejala insomnia, dimana mustahil untuk menentukan apakah gejala insomnia, khususnya, terkait dengan keinginan bunuh diri di orang dewasa yang telah didasari oleh studi Bernert dkk.

Dengan demikian, bukti menunjukkan bahwa gejala insomnia adalah faktor yang mendukung ide bunuh diri, upaya, dan kematian di muda dan sampel usia campuran. Meskipun penelitian telah menunjukkan hubungan antara kualitas tidur dan bunuh diri di lanjut usia, penelitian belum meneliti hubungan khusus antara insomnia, dan keinginan bunuh diri pada orang usia lanjut .

Mimpi buruk

Mimpi buruk didefinisikan sebagai mimpi yang mengganggu yang membangkitkan individu (Levin & Nielsen, 2007 ). Meskipun mimpi buruk sering dipandang sebagai gangguan kecil, Salvio dan rekan (1992) menemukan bahwa 4,3% dari orang usia lanjut yang sehat Laporan mengalami masalah mimpi buruk. Selanjutnya, orang dewasa dengan depresi atau kecemasan mungkin memiliki lebih dari mimpi buruk orang usia lanjut tanpa gangguan ini. Sebuah studi dari Swedia orang dewasa menemukan bahwa meskipun hanya 2,2% dari semua lanjut usia dilaporkan mengalami mimpi buruk, 11,4% dari mereka dengan klinis yang signifikan gejala depresi, dan 17,1% dari orang-orang dengan klinis yang signifikan gejala kecemasan dilaporkan mengalami mimpi buruk (Mallon, Broman, & Hetta, 2000 ).

Ada beberapa hipotesis mengapa mimpi buruk terkait untuk keinginan bunuh diri. Sangatlah mungkin untuk stress macam ini, tanpa memandang waktu, dan bahkan teror dilaporkan oleh penderita mimpi buruk mungkin mengarah langsung ke pemikiran bunuh diri. Fragmentasi tidur ataupun pengurangan wakktu tidur terkait dengan mimpi buruk (Davis & Wright, 2005) juga dapat menyebabkan pemikiran bunuh diri. Atau, mimpi buruk mungkin terkait dengan keinginan bunuh diri karena dikaitkan dengan pristiwa yang memberikan trauma (Wood, Bootzin, Rosenhan, Nolen-Hoeksema, & Jourden, 1992 ) Dan stres pasca trauma gangguan (PTSD) atau bentuk lain dari psikopatologi. Mirip dengan gejala insomnia, beberapa penelitian akan menampilkan hubungan antara mimpi buruk dan keinginan dan perilaku bunuh diri, bahkan independen dari gejala psikopat. Sayangnya, sampai saat ini, tidak satupun dari mereka telah diperiksa adanya hubungan ini pada orang usia lanjut . Cukrowicz dkk(2006) menemukan bahwa gangguan mimpi atau mimpi buruk berhubungan dengan peningkatan risiko yang berkaitan keinginan bunuh diri pada gejala insomnia. Pada penelitian kami sebelumnya, kami mengunakan dasar karya Cukrowicz dkk dengan menunjukkan bahwa mimpi buruk berhubungan dengan keinginan bunuh diri setelah sebelumnya memiliki gejala depresi, kecemasan, dan PTSD dalam sampel siswa kuliah (Nadorff et al., 2011).

Halaman 3

Mimpi buruk juga telah diperiksa dalam kaitannya dengan percobaan bunuh diri dan kematian oleh bunuh diri. Sjostrom dan col liga (2007) dengan meneliti 165 pasien berusia 18-68 tahun (M = 35,3 tahun) yang telah dirawat di rumah sakit para pasien memiliki keluhan usaha bunuh diri medis yang serius. Mereka menemukan bahwa onset Insomnia, insomnia terminal, dan mimpi buruk yang seluruhnya secara signifikan terkait dengan meningkatnya suatu nilai dari bunuh diri. Namun, hanya mimpi buruk tetap sangatlah signifikan terkait dengan bunuh diri yang tinggi setelah penegakan DSM meliputi gangguan axis I, gejala depresi, dan gejala kecemasanx. Selanjutnya, sebuah studi tindak lanjut menemukan bahwa mimpi buruk merupakan perkiraan pemicu upaya bunuh diri di masa depan dalam 2 tahun ke depan di sampel yang sama ( Sjostrom, Hetta, & Wrn 2009 ).

Ini juga dibuktikan adanya mimpi buruk berhubungan dengan kematian karena bunuh diri. Dalam studi prospektif besar pada usia campuran, Tanskanen dkk(2001) menemukan bahwa mimpi buruk secara signifikan terkait dengan kematian karena bunuh diri. Ketika dihubungkan dengan individu tanpa mimpi buruk, mereka yang dilaporkan mimpi buruk sesekali berada pada risiko 57% lebih besar untuk mati oleh bunuh diri. Selanjutnya, peserta dilaporkan sering mimpi buruk berada pada risiko yang lebih besar 107% dari bunuh diri bila dibandingkan dengan mereka yang tidak mimpi buruk. Namun, perlu dicatat bahwa

penulis tidak mengontrol jenis lain pada psikopatologi yang dapat menjelaskan dampak dari mimpi buruk pada bunuh diri.

Penelitian memanfaatkan dewasa muda dan sampel usia campuran menunjukkan bahwa mimpi buruk secara signifikan berhubungan dengan ide bunuh diri, percobaan bunuh diri, dan kematian karena bunuh diri. Lebih lanjut, hubungan antara mimpi buruk dan keinginan bunuh diri, serta upaya bunuh diri tetap tetap berhubungan dengan yang memiliki gangguan terkait seperti depresi, kecemasan, dan PTSD. Namun, belum ada penelitian yang meneliti asosiasi yang antara mimpi buruk dan keinginan bunuh diri secara khusus pada orang usia lanjut .

INTI PERMASALAHAN

Penelitian telah menunjukkan bahwa baik insomnia dan mimpi buruk mungkin berkaitan dengan ide dan perilaku bunuh diri. gejala Insomnia dan mimpi buruk keduanya telah dikaitkan dengan ide bunuh diri (Nadorff et al., 2011), upaya bunuh diri ( Balai et al., 1999 ; Sjostrom et al, 2009.), Dan kematian karena bunuh diri ( Fujino et al., 2005 ; Tanskanen dkk, 2001.). Selain itu, penelitian telah menunjukkan bahwa mimpi buruk, tapi tanpa gejala insomnia, berkaitan dengan keinginan bunuh diri dan perilaku yang menyangkut dari beberapa jenis psikopatologi (Nadorff et al., 2011 ; Sjostrom et al., 2007 , 2009 ). Meskipun demikian, penelitian belum belum menilai apakah insomnia dan mimpi buruk yang terkait dengan keinginan bunuh diri pada orang usia lanjut , yang berisiko tinggi untuk bunuh diri (Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit 2012). Menentukan apakah efek insomnia dan mimpi buruk berkontribusi pencetus pikiran untuk bunuh diri dan perilaku pada orang usia lanjut .

Tujuan penelitianPenelitian ini bertujuan untuk mengkarakterisasi hubungan antara gejala insomnia, mimpi buruk, dan keinginan bunuh diri di usia lanjut . Penelitian ini memiliki relevansi klinis besar seperti masalah tidur yang sangat umum dalam masa tua( Vitiello, 2006 ), Dan orang usia lanjut berada pada risiko tertinggi untuk bunuh diri (Centers for Pengendalian dan Pencegahan Penyakit 2012 ). Mengingat bahwa kesulitan tidur dan keinginan bunuh diri telah terbukti terkait dalam sampel usia muda dan campuran, ini merupan sesuatu yang penting untuk memahami apakah kesulitan tidur terkait dengan keinginan bunuh diri untuk orang usia lanjut juga , yang merupakan fokus dari penelitian ini.

Berdasarkan temuan sebelum diterbitkan, hipotesis pertama kami adalah bahwa gejala insomnia akan secara signifikan berhubungan dengan keinginan untuk bunuh diri dalam sampel orang usia lanjut . Demikian pula, hipotesis kedua adalah bahwa mimpi buruk akan secara signifikan berhubungan dengan keinginan bunuh diri. Hipotesis ketiga memprediksi bahwa gejala insomnia dan mimpi buruk akan terkait dengan keinginan seseorang untuk bunuh diri satu sama lain dalam komunitas ini sampel. Selain tiga hipotesis, ada satu hipotesis eksplorasi dimana gejala depresi akan memediasi hubungan antara gejala insomnia dan ide bunuh diri, tapi tidak akan memediasi hubungan antara mimpi buruk dan keinginan bunuh diri. Secara teoritis, depresi Merupakan gejala komprehensif yang dapat memediasi hubungan antara gejala insomnia dan keinginan bunuh diri karena insomnia dan itu telah terbukti di dahului depresi pada orang usia lanjut ( Perlis et al., 2006 ), Dan karenanya dapat menyebabkan makin parannya depresi dan pada akhirnya, keinginan bunuh diri muncul. Hipotesis ini adalah sesuai dengan literatur (misalnya, Cukrowicz et al.,

2006 ), Tetapi dianggap penelitian ini tidak cukup kuat untuk menguji pengaruhnya.

Metode

Peserta

Peserta direkrut dari ruang tunggu klinik perawatan primer di sebuah universitas publik besar di Atlantik tengah Amerika Serikat. Peserta diberikan $ 5 untuk menyelesaikan kuesioner. Sebanyak 81 peserta (usia 65-94, Median usia 73,9; 60% wanita; 94,9% Kaukasia) menyelesaikan kuesioner dan dimasukkan dalam studi. Studi ini dilakukan sesuai dengan

protokol IRB yang telah disetujui.

Tindakan

Insomnia Severity Index ( Bastien, Vallieres, & Morin, 2001 ) . Insomnia Severity Index (ISI) adalah Skala laporan terdiri dari 7-item yang menilai masing-masing individu secara objective keluhan insomnia selama 2 minggu terakhir. Setiap item memiliki nilai skala 0-4 dengan skor total berkisar 0-28. Skor dari 0-14 dianggap insomnia atau insomnia subklinis, 15-21 dianggap insomnia sedang, dan

22-28 dianggap insomnia yang parah. ISI telah terbukti memiliki kemampuan reabilitas berulang- ulang untuk lebih dari 3 bulan dan validitas bersamaan dengan jadwal tidur harian dan polisomnografi, dan telah digunakan dalam penelitian sebelumnya sebagai ukuran tingkat keparahan insomnia ( Bastien et al., 2001 ; Savard, Savard, Simard, & Ivers 2005 ). ISI memiliki juga digunakan untuk menentukan ada atau tidak adanya gejala klinis insomnia yang signifikan menggunakan nilai tengah 15 poin (Bernert et al., 2007 ; Tang, Wright, & Salkovskis 2007). Dalam sampel nilaimean adalah 5.2 (deviasi standar tion [SD] = 5.2), dengan keandalan yang baik ( = 0,89), dengan 8,70% peserta mencetak di atas cutoff klinis 15. berarti skor pada ISI itu mirip dengan rata-rata dilaporkan dari perawatan primer lain pada sampel usia lanjut (5,77; MacGregor, Funderburk, Pigeon, & Maisto 2012 ).

Indeks Keparahan Mimpi yang Mengganggu dan mimpi buruk (Krakow et al., 2002 ) .- mimpi yang mengganggu dan Indeks Keparahan Mimpi buruk (DDNSI) adalah versi revisi dari Kuesioner Frekuensi Mimpi buruk ( Krakow et al., 2000) dan digunakan untuk mengukur tingkat keparahan mimpi buruk dan frekuensinya dalam satu taun terakhir. Mengukur jumlah malam dengan mimpi buruk per minggu (0-7 malam) dan jumlah keseluruhan mimpi buruk per minggu (0-14 mimpi buruk). DDNSI juga mengukur tingkat keparahan dan intensitas dari mimpi buruk pada Skala Likert-jenis mulai dari tidak ada masalah (0) untuk sangat berat (6) serta seberapa sering mimpi buruk mengakibatkan di terbangun mulai dari tidak pernah / jarang (0) untuk selalu (4). Lalu di jumlahkan pada skala 0-37 dengan ini bertujuan untuk mengukur jumlah malam per minggu dengan mimpi buruk, Total mimpi buruk per minggu (dengan skor maksimum 14), Frekuensi bangun karena mimpi buruk tiap individu, keparahan dari mimpi buruk, dan intensitas mimpi buruk. apabila skornya lebih dari 10 mengindikasikan adanya gangguan akibat mimpi buruk ( Krakow et al., 2002). nilai, rata-rata sampel adalah 2,0 (SD = 5,4) dan 6,67% dari partisipasipan sample berada di atas cutoff klinis 10, yang mirip dengan tingkat mimpi buruk ditemukan pada orang usia lanjut lainnya (4,3%;. Salvio et al, 1992). DDNSI menunjukkan konsistensi internal yang baik ( = 0,93) dalam sampel ini. Pusat Epidemiologi Studi Depresi scale Revisi (Eaton, Smith, Ybarra, Muntaner, & Tien, 2004). CESD-R adalah versi revisi dari Studi Pusat Epidemiologi Skala Depresi (Radloff, 1977). Skala Ini terdiri 20-item gejala depresi, dengan masing-masing Item memiliki poin 0-3 dan total skor mulai dari 0 sampai 60. Untuk penelitian ini, dua gejala insomnia dan dua item keinginan bunuh diri telah dihapus untuk meminimalkan tumpang tindih dengan pertanyaan-pertanyaan lain. Dalam sampel saat ini, rata-rata dari CESD-R dengan empat item dihapus adalah 5,4 (SD = 7,5) dengan keandalan yang baik ( = 0,90). Mean untuk CESD-R dengan semua item termasuk adalah 6,95, dengan nilai 10,4% adalah nilai sample di atas cutoff klinis untuk gejala depresi. Persen hal ini tampaknya menjadi sedikit lebih tinggi di atas cutoff klinis ditemukan dalam sampel usia lanjut yang sama menggunakan versi nonrevised dari CESD (6,7%; Knight, McMahon, Hijau, & Skeaff 2004).

Suicide Geriatri Ide scale ( Heisel & Flett, 2006 ) .- Skala Geriatri Suicide Ide (GSIS) adalah 31-item pengukur risiko bunuh diri yang dirancang khusus untuk usia lanjut . Ide bunuh diri dinilai dari GSIS (kisaran 10-50), yang sebelumnya telah divalidasi sebagai ukuran keinginan bunuh diri yang digunakan ini (Heisel & Flett, 2006), yang digunakan sebagai ukuran keinginan bunuh diri dalam penelitian ini. Item pertanyaannya termasuk "Saya ingin mengakhiri hidup saya," "Saya baru-baru ini telah berpikir banyak tentang cara-cara tertentu untuk bunuh diri, "dan" Aku mungkin melakukan sesuatu untuk mengakhiri itu semua jika Aku mampu mengumpulkan keberanian untuk melakukannya "( Heisel & Flett, 2006 ).tiap Item Likert skalanya 1-5 -jenis yang memberikan nilai, dengan satu mewakili sangat tidak setuju dan lima mewakili sangat setuju. Dengan gejala klinis yang berhubungan dengan ide bunuh diri yang hadir dalam sampel, tujuh orang

(9,46%) mendapat nilai tinggi pada ide subskala GSIS bunuh diri dari yang melewati nilai rata-rata dari sample (GSIS skor menunjukan keinginan bunuh diri 19; Heisel & Flett, 2006). Didalam upaya untuk mencapai asumsi analisi kami ,ide tiap skala bunuh diri itu masuk dirubah yang bertujuan membantu mengurangi ketidak normalan tersebut. Dalam sampel saat ini berarti adalah 12,2 (SD = 3,64), dengan keandalan yang baik ( = 0,91)

Ini adalah nilai sebelum dirubah.

Prosedur

Pengumpulan data dilakukan antara April dan Agustus 2010. Peserta direkrut dari ruang tunggu pusat universitas publik kesehatan keluarga yang belokasi Atlantik tengah. Pasien berusia 65 atau lebih tua menunggu janji di sebuah klinik kedokteran keluarga selama

periode survei diajak untuk ambil bagian dalam penelitian studi. Jika peserta sesuai dan bersedia untuk mengambil bagian dalam penelitian, lalu para peneliti meminta informed consent. Para peneliti kemudian memberikan peserta dengan set langkah-langkah laporan diri untuk diselesaikan. Peserta dalam menyelesaikan tiap-tiap pertanya di suatu di ruang tunggu lalu mengembalikan hasilnya ke asisten penelitian sebelum mereka meninggalkan klinik kedokteran keluarga. Kuesioner ditinjau setelah menerima adanya bukti klinis gejala depresi atau adanya keinginan bunuh diri. Peserta yang memiliki gejala seperti di tawarkan seorang psikolog berlisensi, sehingga depresi itu dan keinginan bunuh diri bisa dikaji lebih lanjut. Semua peserta menerima daftar rujukan kesehatan mental serta uang senilai $ 5 saat mereka selesai . Semua analisis menggunakan SAS (versi 9.2) software statistik.

Hasil

Statistik deskriptif dapat ditemukan di Tabel 1 . Pendahuluan menganalisis memeriksa apakah usia ataupun jenis kelamin yang berhubungan dengan keinginan bunuh diri pertama kali dilakukan

Untuk tiap skala bunuh ide diri dari GSIS, pada usia secara signifikan terkait dengan keinginan bunuh diri, F (1,71) = 4,11, p