Upload
ajie-kusuma-j-h
View
76
Download
5
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Kumpulan Artikel TPPLN
Citation preview
Konsep Dasar dan Perkembangan Studi Kebijakan Luar
Negeri
Ditulis pada 13 September 2014 Oleh luthfiana12unairacid-fisip12 | Kategori : Perbandingan Politik Luar
Negeri
Berdirinya sebuah negara tentunya diikuti dengan tujuan dan kepentingan negara tersebut.
kepentingan sebuah negara beragam dan tentunya kepentingan tersebut ada untuk
menguntungkan negara tersebut. untuk mencapai kepentingannya, sebuah negara membuat
kebijakan kebijakan kedala maupun keluar yang disebut dengan kebijakan luar negeri. Pentingnya kebijakan luar negeri membuat studi mengenai politik luar negeri sangat menarik
untuk dikaji. Studi politik luar negeri merupakan sub bagian dari disiplin studi ilmu hubungan
internasional, studi untuk mempelajari, menganalisa, dan mendeskripsikan politik luar negeri
sebuah negara berdasar pada pola, sifat, jenis dan keputusan yang diambil oleh decision makers
berdasarkan proses dan tujuan politik luar negeri tersebut (Wicaksana, 2007). Untuk mengetahui
lebih lanjut mengenai studi kebijakan luar negeri perlu diketahui definisi dari kebijakan luar
negeri itu sendiri. Secara umum kebijakan luar negeri didefinisikan sebagai perpanjangan dari
politik dalam negeri. Menurut Rosenau (dalam Dugis 2007, 41) kebijakan luar negeri adalah
suatu tindakan otoritatif yang diambil oleh negara untuk mempertahankan dan mengembangkan
aspek-aspek yang diinginkan dari lingkungan internasional. selain itu, menurut Breuning (2007)
kebijakan luar negeri adalah sebuah totalitas kebijakan negara dan interaksi-interaksi dengan
lingkungan diluar batasnya (Breuning 2007, 5). Dari berbagai definisi yang ada penulis
menyimpulkan kebijakan luar negeri didefinisikan sebagai segala tindakan yang diambil oleh
negara untuk mencapai kepentingan negaranya dengan segala konsekuensinya yang akan
berpengaruh pada negaranya dan lingkungan sekitarnya. Dari berbagai definisi yang ada pada
akhirnya akan menimbulkan perbedaan yang kemudian dibutuhkan sesuatu untuk melakukan
analisa dari berbagai macam perspektif dan berbagai metode. Jika dilihat dari fenomena saat ini
banyak yang memandang hasil akhirnya saja dari keputusan kebijakan yang diambil tanpa
melihat proses pengambilan keputusannya. Hal ini kemudian yang menyebabkan banyak orang
menyalahkan para decision makers, terlebih jika keputusan yang diambil berakhir dengan tidak
sesuai harapan. Oleh karena itu penting bagi para penstudi HI untuk mengetahui proses
pembuatan dan apa yang ada di balik hasil keputusan politik luar negeri. Maka dari itu
dibutuhkanlah Analisa Kebijakan Luar Negeri yang tidak hanya mengajari memahami mengapa
para aktor membuat pilihan, tetapi juga bagaimana dan apa saja kendala domestik dan
internasional, serta berbagai kesempatan yang mempengaruhi pilihan mereka (Breuning 2007,
6). Studi mengenai analisa kebijakan luar negeri atau Foreign Policy Analysis (FPA) muncul
sejak tahun 1950-an dan mengalami perkembangan hingga saat ini. Hudson (2007) membagi
menjadi tiga generasi. Generasi pertama sekitar tahun 1954-1974. Dalam awal terbentuknya
studi ini terdapat tiga paradigma utama yang mendasari Foreign Policy Analysis yang berwujud
dalam tiga karya besar yaitu : 1) Decision-Making as an Approach to the Study of International
Politics oleh Richard C. Snyder, H. W. Bruck, dan Burton Sapin pada tahun 1954; 2) Pre-
Theories and Theories of Foreign Policy oleh James N. Rosenau pada tahun 1964; 3) Man-
Milieu Relationship Hypotheses in the Context of International Politics oleh Harold dan
Margaret Sprout pada tahun 1956. Tulisan Harold dan Margaret lebih membahas tantang
pentingnya faktor-faktor lingkungan dalam melihat keputusan yang diambil dan dijalankan oleh
suatu negara. Michael Brecher menyebutnya dengan lingkungan yang meliputi konteks
psikologis, situasional, geografi, politik, ekonomi, sosial dan budaya (Hudson 2007, 14-16).
Tulisan Snyder, Bruck dan Sapin juga menekankan pengaruh lingkungan dalam pembuatan
keputusan, serta pentingya Analisa Kebijakan Luar Negeri untuk mengenali karakteristik proses
pembuatan keputusan. Metode perbandingan politik luar negeri yang ditawarkan generasi
pertama ini menjadi hal yang sangat penting untuk para penstudi HI agar dapat mengenali
karakteristik politik suatu negara, mengidentifikasi persamaan dan perbedaan, serta untuk
mengembangkan teori-teori umum politik luar negeri (Wicaksana 2007, 25-26). Generasi kedua
sekitar 1974-1993 masih banyak mengikuti teori-teori generasi pertama, namun dalam generasi
kedua ini ada beberapa konsep yang dikembangkan dan menyempurnakannya. Misalnya, seperti
pembentukan kerangka pemikiran dan penentuan sampel (Hudson 2007, 17). Generasi ketiga
yaitu 1993-sekarang, Analisa Kebijakan Luar Negeri lebih banyak dipengaruhi oleh teori-teori
kritis. Ada pula pendekatan pada peranan ide, kesepakatan serta fakta sosial di masyarakat dalam
proses konstruksi identitas politik luar negeri suatu negara. Bagi para penstudi HI mempelajari
dan membandingkan kebijakan luar negeri sangat penting. Terdapat manfaat yang diperoleh dari
studi kebijakan luar negeri ini yaitu untuk menggeneralisasikan pengetahuan agar lebih
memahami pengertian, persamaan dan perbedaan aspek-aspek kebijakan luar negeri (Breuning
2007, 17). Sehingga pada akhirnya para penstudi nantinya akan dapat menganalisa proses
pengambilan kebijakan dan memberikan respon yang tepat dalam menghadapi fenomena yang
ada. Dengan demikian dari apa yang telah dijelaskan diatas dapat disimpulkan bahwa Analisa
Politik Luar Negeri adalah studi yang sangat penting untuk memahami faktor-faktor yang
mempengaruhi pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri suatu
negara. Hal ini dikarenakan untuk menghindari persepsi yang buruk terhadap negara sebagai
aktor dalam menentukan pengambilan keputusan kebijakan luar negeri serta interaksi dengan
aktor-aktor dalam hubungan internasional. Dapat dilihat ternyata banyak faktor yang cukup
mempengaruhi pengambilan keputusan. Selain itu kebijakan luar negeri telah mengalami
berbagai perkembangan dan akan terus mengalami perkembangan sesuai dengan fenomena yang
ada. Sehingga sebuah negara sangat memerlukan kemampuan untuk memahami kebijakan luar
negeri yang tepat untuk merumuskan kebijakan agar kepentingannya tercapai, serta digunakan
untuk merespon segala fenomena yang ada dalam dunia internasional. Referensi Breuning,
Marijke. (2007). Foreign Policy Analysis: A Comparative Introduction. New York: Palgrave
MacMillan. Ch.1. Dugis, Vinsensio (2007). Analysing Foreign Policy, Masyarakat, Kebudayaan, dan Politik, 20(2); pp.41-52. Hudson, Valerie M. (2007). Foreign Policy Analysis,
Classic and Contemporary Theory, Rowman & Littlefield Publisher. Wicaksana, I.G.Wahyu.
(2007). Epistemologi Politik Luar Negeri: A Guide to Theory, Global & Strategis, 1(1); pp.18-29.
Pengertian Hubungan Internasional Politik Internasional
dan Politik Luar Negeri
oleh: seta basri 26 komentar
pengantar ilmu politik
Pengertian hubungan internasional, politik internasional, dan politik luar negeri sesungguhnya
memiliki ontologi sendiri-sendiri. Tulisan ini akan membahas secara tersendiri ketiga konsep
tersebut. Konsep-konsep tersebut adalah Hubungan Internasional, Politik Luar Negeri, dan Politik
Internasional. Dua konsep terakhir Politik Luar Negeri dan Politik Internasional adalah sub disiplin Hubungan Internasional.
Karena sifat keindukan dari Hubungan Internasional ini-lah, maka konsep tersebut akan dijelaskan dijelaskan terlebih dahulu. Untuk lebih memperjelas sifat keindukan dari Hubungan Internasional ini, kami persembahkan skema berikut:
------------pict>>
Politik Luar Negeri dan Politik Internasional tercakup ke dalam disiplin Hubungan Internasional.
Hubungan Internasional sendiri masuk ke dalam materi disiplin Ilmu Politik secara keseluruhan.
Apa yang dimaksud dengan Hubungan Internasional? K.J. Holsti dalam bukunya International
Politics, mendefinisikan bahwa Hubungan Internasional sebagai:
Semua bentuk interaksi antara masyarakat yang berbeda, apakah itu disponsori oleh pemerintah atau tidak ia mencakup juga studi mengenai serikat perdagangan internasional, Palang Merah Internasional, turisme, perdagangan interasional, transportasi, komunikasi, dan perkembangan
nilai dan etik internasional.
Hubungan Internasional mencakup seluruh hubungan yang dilakukan baik oleh negara maupun
non-negara (individual), di mana hubungan tersebut melewati batas yuridiksi wilayah masing-
masing.
Aktor negara misalnya pemerintah Amerika Serikat, Iraq, Afganistan, atau Israel. Aktor non-
negara misalnya team bulutangkis Piala Thomas, petani buah Mekar Sari yang sedang menjalin
hubungan dagang dengan pengusaha di Australia, masalah turis luar negeri yang berkunjung ke
Bali, ataupun pernik perizinan yang dialami oleh pelajar-pelajar Indonesia yang tengah belajar di
Mesir.
Singkatnya, jika kita belajar Hubungan Internasional, perhatian kita tidak hanya terpaku pada
aktivitas yang dilakukan negara, melainkan pula aktor individu/organisasi non politik/negara,
seperti telah disebut. Namun, hal yang patut diingat adalah, Hubungan Internasional menghendaki
hubungan-hubungan yang dilakukan tersebut melewati batas yuridiksi wilayah masing aktor yang
berhubungan.
Dengan demikian, hubungan dagang antara Departemen Pertanian Republik Indonesia dengan
petani beras di Cianjur, bukan termasuk Hubungan Intenasional oleh sebab batas yuridiksinya
hanya berada di dalam wilayah Indonesia. Namun, jika petani Cianjur tersebut berdagang dengan
agen beras di Dili (Timor Leste), proses tersebut masuk dalam kerangka Hubungan Internasional.
Hubungan Internasional juga mengkaji masalah Politik Luar Negeri dan Politik Internasional.
Perbedaan Hubungan Internasional dengan kedua konsep ini adalah bahwa dua konsep yang
terakhir hanya mengkaji aktor negara. Berikut kami akan uraikan apa yang dimaksud oleh dua
konsep terakhir ini.
Apa yang dimaksud dengan Politik Luar Negeri? Carlton Clymer Rodee et al. mendefinisikan
Politik Luar Negeri sebagai:
Pola perilaku yang diwujudkan oleh suatu negara sewaktu memperjuangkan kepentingannya dalam hubungannya dengan negara lain [yaitu] bagaimana cara menentukan tujuan, menyusun prioritas, menggerakkan mesin pengambilan keputusan pemerintah, dan mengelola sumber daya
manusia dan alam untuk bersaing dengan negara lain di dalam lapangan internasional.
Berbeda dengan disiplin Hubungan Internasional yang memasukkan baik aktor negara maupun
non-negara ke dalam kajian, Politik Luar Negeri hanya mengkaji aktor negara.
Dalam Politik Luar Negeri, negara dipandang sebagai tengah memperjuangkan kepentingan di
dalam hubungannya dengan negara (atau beberapa negara) lain. Secara otomatis pula, jika suatu
hubungan dilakukan suatu negara terhadap negara lain, maka ia pasti melewati batas yuridiksi
wilayah masing-masing. Dalam aktivitas Politik Luar Negeri, suatu negara memiliki tujuan, cara
mencapai tujuan, cara mengelola sumber daya alam agar ia dapat bersaing dengan aktor-aktor
(negara) lain.
Lihat skema berikut:
------------pict>>
Dalam Politik Luar Negeri, suatu negara menetapkan serta menerapkan serangkaian tindakan yang
ditujukan terhadap negara lain. Misalnya, Amerika Serikat di bawah administrasi Presiden George
Walker Bush menetapkan politik luar negeri berupa Global War on Terrorism (GWOT).
Dalam politik luar negeri tersebut, pemerintahan Amerika Serikat menetapkan kebijakan
keamanan ekstra ketat di dalam negeri, menseleksi ketat orang asing yang masuk ke negaranya, membangun teknologi militer anti teror, menekan parlemen untuk memberi anggaran lebih besar
pada bidang keamanan, dan menjalin hubungan dengan negara lain yang sepaham dengan politik luar negeri anti terorisme tersebut, menekan negara-negara lain yang tidak sepaham untuk mau
mendukung politik luar negeri Amerika Serikat, bahkan mencap negara-negara seperti Iran, Korea
Utara, dan Kuba sebagai poros jahat (rogue state) akibat mereka dicurigai menghambat politik luar negeri Amerika Serikat itu.
Namun, Politik Luar Negeri hanya menganalisa apa-apa yang ditetapkan suatu negara terhadap
lingkungan luarnya. Ia tidak ingin masuk lebih dalam lagi guna membahas apa saja reaksi lingkungan (atau negara) luar terhadap suatu negara yang memberlakukan Politik Luar Negeri. Reaksi tersebut meliputi interakisi antar negara di luar Amerika Serikat, sebagai contoh, dalam
menanggapi politik luar negeri Global War on Terrorism. Apakah mereka satu sama lain saling
mendukung, netral, atau bahkan cenderung menjauhi Amerika Serikat.
Masalah reaksi yang dimunculkan oleh lingkungan luar ini dibahas di dalam disiplin Politik Internasional. Apa yang dimaksud dengan Politik Internasional? KJ. Holsti mendefinisikan Politik
Internasional sebagai:
[] interaksi antara dua negara atau lebih [yang terdiri atas] pola tindakan suatu negara dan reaksi atau tanggapan negara lain terhadap tindakan tersebut []
Jika Politik Luar Negeri hanya membahas bagaimana sebuah negara menanggapi serangkaian
tindakan yang diambil berdasarkan analisis kondisi internasional, maka politik internasional
merupakan aksi-reaksi tindakan antarnegara. Bidang yang secara khusus membahas prinsip aksi-reaksi ini adalah Politik Internasional. Agar lebih jelas, lihat skema berikut :
Berbeda dengan Politik Luar Negeri, Politik Internasional menitikberatkan pada dinamika
tanggap-menanggapi antara dua atau lebih negara. Tentu saja, di dalam Politik Internasional juga dibahas masalah Politik Luar Negeri, tetapi sejauh Politik Luar Negeri tersebut berakibat pada
kondisi aksi-reaksi antarnegara.
Misalnya peristiwa masuknya Timor Timur ke dalam negara kesatuan Republik Indonesia. Kasus
tersebut merupakan masalah politik internasional, oleh sebab melibatkan 2 negara berdaulat :
Indonesia dan Portugal. Indonesia memasukkan Timor Timur ke dalam wilayahnya bukan tanpa
sebab.
Pertama, kondisi politik internasional tahun 1976 ditengarai Perang Dingin antara Blok Komunis
(dipimpin Uni Sovyet) melawan Blok Kapitalis (dipimpin Amerika Serikat). Kedua, Amerika
Serikat memiliki sekutu di dekat wilayah Timor Timur yaitu Australia. Ketiga, Indonesia ---yang
tergabung dalam ASEAN--- juga tengah menghadapi ancaman Komunis dari Utara (lewat jalur
Cina ke Vietnam Utara). Keempat, Portugal seperti menterlarkan wilayah Timor Timur yang berakibat di wilayah tersebut menjadi basis pelatihan gerilyawan komunis yang hendak merebut
kekuasaan. Kelima, pemerintahan Indonesia berada di bawah Orde Baru Suharto yang anti
komunis tetapi cenderung pro Blok Kapitalis. Kasus pemasukan Timor Timur ke dalam wilayah
Indonesia, sebab itu, sangat kental dimensi Politik Internasional-nya.
Studi politik internasional dapat ditesuri hingga tulisan-tulisan pra Masehi, semisal dari
Tuchydides, Aristoteles dan Plato. Mereka dinyatakan sebagai perintis awal teorisasi hubungan
internasional. Masing-masing dari mereka mewakili 2 aliran dalam teori ini : Realis dan Idealis.
Aliran Realis diwakili Tuchydides dan Aristoteles, sementara Plato mewakili Aliran Idealis.
Dalam studi hubungan internasional kontemporer, kedua aliran tersebut masih berpengaruh meski
dengan sejumlah variasi. Aliran Realis memandang bahwa aktor dalam hubungan internasional
adalah negara berdaulat serta organisasi pemerintahan internasional (misalnya PBB). Aliran ini
juga memandang bahwa dunia berada dalam kondisi perang, di mana aktor-aktornya (negara atau organisasi internasional) bersaing mutlak untuk memperoleh teritori, kekuasaan, dan sumber
daya (alam dan manusia).
Di sisi lain, Aliran Idealis memandang bahwa aktor dalam hubungan internasional, selain negara
adalah juga termasuk Organisasi Pemerintahan Internasional, LSM Internasional, masyarakat
aneka negara, serta individu. Jadi, aktor hubungan internasional dalam Aliran Idealis cukup luas
dan plural. Aliran ini juga memandang bahwa masyarakat internasional terbangun atas aneka
hubungan yang menyerupai jaring laba-laba dan tak terhitung jumlahnya. Hubungan tersebut bercorak lintas batas negara dan terkadang melewati kewenangan negara. Para aktor terlibat dalam
suatu hubungan yang bersifat positif.
Agar lebih jelas, baiklah dimuat bagan perkembangan aliran pemikiran dalam hubungan
internasional berikut:
Realisme
Perkembangan aliran pemikiran dalam hubungan internasional pun memiliki akar filsafat politik.
Realisme mendasarkan diri para filsafat politik dari Tuchydides dan Aristoteles. Thucydides
dianggap sebagai penulis realis hubungan internasional yang pertama. Ia hidup tahun 400 sM di
Athena dan menulis buku The History of Peloponnesian War.
Setelah itu muncul konsep kedaulatan negara di akhir abad pertengahan Eropa. Konsep partikularis
negara dari Marsilius Padua, balance of power (perimbangan kekuatan), dan teori negara dari
Machiavelli melengkapi akar filosofis aliran Realisme dalam hubungan internasional.
Jika dapat disebut Realis klasik, maka Machiavelli dapat disebut Realis Modern. Melalui bukunya
Il Principe dan Discourse, Machiavelli menulis tentang kekuasaan, kekuatan, formasi aliansi dan
kontra aliansi, serta sebab-sebab terjadinya perang antarnegara. Tidak seperti Thucydides,
Machiavelli lebih memfokuskan diri pada masalah keamanan nasional.
Jika boleh ditambah, realis modern lain (di samping Machiavelli) adalah Thomas Hobbes. Hobbes
lewat bukunya Leviathan (1668) menulis tentang kondisi anarki Eropa selama dia hidup.
Bagaimana negara-negara di Eropa saling berperang dan tidak menghormati perjanjian
perdamaian adalah fokusnya. Pemikiran Hobbes mengenai anarki dan kekuasaan ini berpengaruh
besar pada teoretisi kontemporer semisal Hans J. Morgenthau lewat bukunya Politics Among
Nations.
Pada perkembangannya, aliran Realisme ini mengalami perkembangan. Perkembangan ini akibat
munculnya Globalisme sistem politik internasional dari pihak Idealisme. Beda Neorealis dengan
Realis adalah, Realis beranggapan sistem internasional selalu dalam kondisi anarki, sementara
Neorealis menggap anarki adalah akibat dari ketiadaan otoritas sentral. Beda lainnya, jika Realis
mengkaji aktor state yang berusaha memenuhi kepentingan nasional, maka Neorealis mengkaji
sistem internasional yang berisi hubungan antarnegara.
Realis dan Neorealis juga berbeda dalam konsep stabilitas. Jika Realis menganggap keteraturan otomatis muncul jika masing-masing negara memaksimalisasi kepentingan nasional dengan
memperhatikan kekuatan/kelemahan negara lain, maka Neorealis memandang setiap negara harus
mempertahankan posisi kekuatan relatifnya di dalam sistem yang ada. Sebab, aliran Neorealis
memandang negara yang memaksimalisasi kepentingan ala Realis akan dibuang dari sistem politik internasional. Neorealisme mengajukan konsep-konsep seperti Unipolar (satu negara
sebagai pusat kekuasaan), Bipolar (dua negara sebagai pusat kekuasaan), dan multipolar (banyak
negara sebagai pusat kekuasaan).
Kembangan Neorealis yang paling berpengaruh adalah Neorealis-Strukturalis yang dimotori
Kenneth N. Waltz. Neorealisme-Strukturalis menganggap stuktur sistem politik internasional
sebagai penentu. Dalam sistem ini, kemampuan tiap negara untuk memenuhi kepentingan
nasionalnya dibatasi oleh kekuatan negara lain. Sistem internasional terbentuk melalui perubahan
dalam pola distribusi kemampuan antar masing-masing unit (negara). Anarki internasional akan
muncul ketika kekuatan salah satu negara berubah (lebih kuat atau lebih lemah).
Gambaran aliran Realisme atas hubungan internasional adalah, negara-negara yang ada di dunia
berinteraksi seperti bola bilyard. Masing-masing terpisah dan saling bertabrakan sesuai dengan
kepentingan nasionalnya sendiri-sendiri. Sebab itu, kajian atas Politik Luar Negeri menjadi inti
hubungan internasional. Titik tekannya adalah pada aspek kepentingan nasional, sebagai dasar
dibuatnya kebijakan politik luar negeri setiap negara. Realisme menjadi mapan setelah Liga
Bangsa-bangsa tidak mampu menanggulangi konflik antarnegara di Eropa tahun 1930-an yang
berakibat Perang Dunia II.
Idealisme
Di sisi lain, aliran Idealisme memiliki akar filsafat dari Plato. Plato membayangkan bahwa konsep-
konsep seperti keadilan dan harmonisasi yang bersifat positif merupakan ide mutlak yang dapat
diterapkan di dunia. Pemimpin yang bisa menerjemahkan hal tersebut adalah seorang filosof yang
sekaligus raja. Pemikiran Plato ini diteruskan oleh kaum Stoic, yaitu raja-raja yang memanfaatkan
filsafat Plato untuk memerintah. Ciri raja-raja Stoic adalah upaya mereka untuk menahan nafsu
berperang, dan anggapan bahwa seluruh negara adalah sama, yaitu sekumpulan warga dunia
(kosmopolitanisme) dan saling bantu-membantu.
Lebih lanjut, kosmopolitanisme ini mengembangkan ide utopis (belum ada di kenyataan) berupa
satu negara dunia. Inilah yang mengilhami berdirinya Liga Bangsa-bangsa pasca terjadinya Perang
Dunia I. Penekanan Liga Bangsa-bangsa adalah mencapai perdamaian internasional melalui
hubungan kooperatif antarnegara. Pemikiran yang melandasi berdirinya Liga Bangsa-bangsa ini
disebut Aliran Idealis, dan para pendukungnya (seperti Presiden Amerika Serikat 1920-an,
Woodrow Wilson) disebut kaum Idealis. Pada kenyataannya, Liga Bangsa-bangsa tidak mampu
mencegah terjadinya Perang Dunia II yang berlangsung tahun 1939 hingga 1945.
Kegagalan kaum idealis utamanya adalah tidak konsistennya negara-negara dominan dalam
menciptakan perdamaian dunia lewat kerjasama interansional, pengurangan senjata secara
berdisiplin, serta ketegasan sikap yang diiringi kekuatan militer pemaksa. Bagi Wilson, benih
absolutisme dan militerisme adalah penyebab Perang Dunia I. Benih-benih tersebut hanya bisa
dipangkas lewat penciptaan pemerintahan yang demokratis dibentuknya asosiasi bangsa-bangsa
(nantinya jadi LBB). Asosiasi tersebut yang --menurut keyakinannya--- akan menjamin
kemerdekaan dan integritas nasional setiap negara, besar ataupun kecil. Wilson ini juga ditengarai
membawa konsep Tata Dunia Baru (New World Order) yang menggemborkan demokrasi dan
kerjasama internasional sebagai cara memastikan keteraturan dalam politik internasional.
Di kemudian hari, konsep Wilson tersebut termanifestasi dalam wujud Liga Bangsa-bangsa (LBB)
yang berdiri 16 Januari 1920. LBB adalah representasi dari Idealisme dalam politik internasional.
Wilson bisa berperan besar karena AS adalah salah satu dari 3 negara utama pemenang PD I (dua
lainnya Perancis dan Inggris). Lalu, mengapa LBB 'Wilson' ini gagal mencegah terjadinya perang
dunia II?
Pertama, LBB gagal memfasilitasi kerjasama internasional untuk secara stabil merestorasi
perekonomian Eropa daratan pasca PD I. Pasal 231 Perjanjian Versailles secara eksplisit menyebut
Jerman (juga Austria-Hongaria, kerajaan ini hilang dari peta) sebagai pihak yang pertama kali
memulai PD I dan sebab itu harus bayar kompensasi 33 milyar dollar AS. Harga diri Jerman
(Austria hilang dari peta) jatuh dan menciptakan kemarahan di publik politik dan masyarakat sipil
Jerman.
Dari 33 milyar, Jerman hanya sanggup membayar cicilannya sekali saja, yaitu sebesar 2,5 milyar
pada tahun 1921 dan setelah itu macet. Menyikapi kemacetan ini, Perancis langsung menganekasi
Ruhr, distrik industri dan pertambangan utama milik Jerman. Jerman melakukan perlawanan pasif
(karena persenjataannya telah jauh berkurang, juga akibat Perjanjian Versailles) yang dibiayai
lewat percetakan uang Mark (mata uang Jerman) secara besar-besaran. Karena dicetak besar-
besaran buntutnya jelas: Jerman mengalami inflasi yang justru memperburuk keuangan Jerman
dan semakin jauh mengurangi kemampuannya untuk membayar kompensasi perang.
Untuk mengatasi ini, LBB membentuk komisi restorasi ekonomi Jerman (The Dawes Plan) tahun
1924. Dawes Plan diketuai bankir AS, memberi pinjaman 200 milyar dollar AS kepada Jerman
guna menggerakkan perekonomiannya. Selama 1924 - 1929 ekonomi Jerman pulih 'sementara'
(demikian pula Eropa daratan dan Inggris) sehingga pembicaranan 'anti militerisme', demokrasi,
dan perdamaian terus dilakukan karena spirit idealisme Wilson adalah pengurangan persenjataan
setiap negara hingga ke batas minimal.
Hanya kurang lebih 5 tahun 'kapitalis' AS mempertahankan jiwa idealis-nya. Perlu diingat,
perbaikan ekonomi Eropa (terutama Jerman) yang 5 tahun itu murni mengandalkan uang bantuan
(investasi) dari para kapitalis AS. Tahun 1928, bursa saham di New York mengalami booming
Booming ini dilingkupi oleh situasi anomali pasca perang: Barang industri mahal karena banyak
pabrik hancur, sementra hasil pertanian yang mengandalkan tanah justru overproduksi dan jatuh
nilai jualnya.
Untuk menjaga harga jual, masing-masing negara menaikan tarif masuk komoditas pertanian dari
negara lain. Namun, di sisi lain para investor 'kapitalis' AS --karena menimbang profit taking akan
lebih besar--- ramai-ramai menarik uang yang sebelumnya mereka tanamkan di dari Jerman.
Karena serangan 'tiba-tiba' tahun 1929 bursa saham di NY tersebut malah 'anjlok.' Akibatnya bisa
ditebak: Semakin banyak uang ditarik dari Jerman oleh investor AS untuk menutupi kerugian
mereka di bursa. Bayangkan apa yang terjadi pada ekonomi Jerman yang baru pulih tersebut!
Jangankan Jerman, bahkan The Credit-Ansalt, bank prestisius di Wina, Austria pun mengalami
kolaps tahun 1931.
Depresi ekonomi (malaise) ini berpuncak di tahun 1932. Akibat krisis yang dilakukan proses
produksi adalah memangkas ongkos produksi yaitu pengurangan tenaga kerja. AKibatnya 1 dari 4
pekerja di Inggris menganggur dan: 40% atau 6 juta pekerja di Jerman kehilangan pekerjaannya.
Apa yang akan lahir dari situasi semacam ini, di mana harga diri Jerman akibat Perjanjian
Versailles turun hingga batas horizon, pengangguran 6 juta orang, dan Alsace-Lorraine-
PrussiaTImur-Ruhr hilang? Hitler dan Lebensraum!
Kedua, LBB gagal menekan 'realisme' politik internasional. Perjanjian Versailles membuat Jerman
wajib mengurangi kekuatan militer meliputi tentara hingga tinggal 100.000 orang, mengurangi
kekuatan angkatan laut hingga di bawah kekuatan AL Inggris dan Perancis, serta mengeliminasi
angkatan udaranya. Namun, LBB tidak mampu mem-push negara-negara selain Jerman untuk
melakukan hal serupa. Ini akibat setiap negara tetap 'realis': Mereka tidak bisa mempercayakan
keamanan negara mereka pada kehendak baik negara lain, yaitu jika mereka mengurangi senjata
negara lain pun akan melakukan hal serupa. Contoh, ketika Jerman tidak mampu mencicil
kompensasi perang sejak 1921, Perancis langsung menganeksasi Ruhr, distrik Jerman yang
merupakan pusat industri dan pertambangan. Kendati Ruhn adalah legal miliknya, Jerman sulit
melakukan beladiri aktif karena persenjataannya jauh dari mencukupi. Akibatnya, Jerman
melakukan bela-diri pasif yang dibiayainya dengan cara mencetak sebanyak-banyak uang Mark
Jerman. Akibatnya jelas, Jerman jatuh ke dalam inflasi dan semakin rendah kemampuannya
membayar kompensasi perang.
Juga bayangkan, sejumlah negara terpaksa keluar atau dikeluarkan dari LBB karena melakukan
invasi: Jepang (1933) karena menginvasi Manchuria-Cina 1932; Italia menginvasi Abbysinia
(Ethiopia) 1935; Uni Sovyet (1939) karena menginvasi Finlandia 1939; Kostarika (1925); Brasil
(1926); Haiti (1942); Jerman (1933); Luxemburg (1942). Selain itu, Konferensi Perlucutan Senjata
yang disponsori LBB tahun 1932 di Jenewa tidak mampu menghentikan semangat Jerman, Jepang,
dan Italia untuk meningkatkan kemampuan persenjataan mereka.
Ketiga,, LBB tidak memiliki kekuatan realis penting dalam politik internasional: Kekuatan
Bersenjata. Ketika Jepang menginvasi Manchuria atau Italia menginvasi Abbysinia, LBB tidak
mampu menurunkan armed-force yang mampu memaksa negara-negara agresor kembali ke garis
demarkasinya. Mengapa? Tiga kekuatan pemenang perang (Perancis, Inggris, dan AS) satu pun
tidak memiliki keinginan untuk terlibat ke dalam perang baru walaupun sebenarnya legal karena
mengatasnamakan LBB. Akibatnya, agresivitas negara-negara agresor sulit dihentikan karena
tidak ada kekuatan 'realis' yang mampu melakukan tindakan pemaksa (kekuatan militer). LBB jadi
macan ompong.
Keempat,, LBB melakukan kebijakan berstandar ganda. Kendati Wilson menggemborkan setiap
bangsa berhak atas identitas dan wilayah nasionalnya masing-masing, 'penjajahan' semu tetap
berlangsung. Bagaimana tidak, Timur Tengah misalnya, bukannya diserahkan kepada masing-
masing bangsa (setelah disita dari Ottoman Turki akibat dinasti ini kalah dalam PD I): Syiria dan
Lebanon jatuh menjadi mandat Perancis; Iraq, Transyordania, Palestina, dan Kuwait jatuh ke
mandat Inggris. Belum lagi negara-negara Eropa yang masih melakukan tindak kolonialisme
seperti Belanda di Indonesia.
Pasca kegagalan Liga Bangsa-bangsa, aliran Idealis merapatkan diri ke dalam varian barunya:
Liberalisme-Institusionalis. Liberalisme-Institusionalis memandang bahwa politik dalam negeri
setiap negara adalah penting. Di dalam politik dalam negeri tersebut, hal yang dipantau adalah
aspek demokrasi dan penentuan nasib bangsa secara mandiri. Liberalisme-Institusionalis juga
memandang
Perang Dunia II dianggap sebagai kegagalan pandangan Idealisme dalam hubungan internasional.
Terbukti, sifat hubungan antarnegara bukan kerjasama konstruktif tetapi egoisme kepentingan
nasional yang dicapai dengan penggunaan kekuatan militer. Sebab itu, aliran Realisme
memperoleh pembenaran atas pandangan mereka dalam melukiskan fenomena hubungan
internasional. Varian dari aliran Idealisme adalah Globalisme dan Neoliberalisme Institusionalis.
Globalisme muncul sebagai kritik atas pandangan Realisme yang secara sempit memandang aktor
politik internasional adalah negara saja. Globalisme juga mengkritik Realisme yang pesimis pada dimensi pasifis (suka damai) pada diri aktor politik.
Globalisme, yang tumbuh di tahun 1970-an memandang bahwa aktor politik internasional tidak
cuma negara, melainkan juga meliputi pemerintahan internasional (misalnya PBB), lembaga
swadaya masyarakat (misalnya Red Cross, GreenPeace), koalisi internasional (misalnya
International Political Science Association), multi national corporation (misalnya McDonald,
KFC, Sharp), ataupun asosiasi masyarakat transnasional (misalnya International Olympic
Committee).
Tidak seperti Realisme, Globalisme memandang hubungan antar aktor lintas negara tersebut
bercorak positif. Pencapaian kepentingan para aktor diperoleh melalui sumber daya sosial yang
terus-menerus berkembang sebanding dengan kemajuan teknologi, rasionalisasi cara produksi, dan
makin rumitnya pembagian kerja antar aktor. Permainan tersebut dinamakan kerjasama internasional, di mana masing-masing aktor ingin memperoleh hasil yang maksimal. Tujuan dari Globalisme adalah perdamaian dunia, yang dicapai melalui kesalingtergantungan antaraktor di
tingkat internasional.
Kembangan lain dari Idealisme adalah Neoliberalisme-Institusionalis. Neoliberalisme-
Institusionalis muncul sebagai kritik atas Neorealisme dalam memandang sistem politik
internasional. Neoliberalisme-Institusionalis merupakan perkembangan dari Liberalisme, ideologi
yang berkembang di Eropa awal abad ke-19. Liberalisme menekankan pada pemenuhan
kepentingan individu semaksimal mungkin.
Neoliberalisme Institusionalis mengkombinasikan antara liberalisme dengan Realisme. Aliran ini
sepakat dengan Realisme bahwa negara adalah aktor internasional yang penting, tetapi ragu bahwa
negara secara sendirian mampu mencapai perolehan absolut ketimbang sekadar relatif saja. Saat
negara berupaya mencapai kepentingannya, maka ia akan membentuk organisasi yang
diperuntukkan bagi pencapaian kepentingannya itu. Dengan demikian, posisi organisasi ---seperti
organisasi internasional, lembaga swadaya masyarakat, gerakan sosial transnasional, dan multi
national corporation--- menjadi sama penting dengan negara. Memang semua gerakan dalam
politik internasional dilakukan oleh negara, tetapi itu sekadar langkah awal, sebab penyelesaiannya
kemudian diserahkan kepada organisasi-organisasi yang tadi telah disebutkan.
Organisasi, sebab itu, dapat mempengaruhi negara, dan sebaliknya. Negara akan mendukung
kerjasama jika itu mampu menghasilkan perolehan kepentingan relatif ataupun absolut.
Sebaliknya, jika negara menilai organisasi tersebut tidak mendukung perolehan kepentingannya,
mereka akan menentangnya. Andrew Moravcsik bahkan menyatakan bahwa [neoliberalisme-institusionalis] sebagai teori liberal pilihan negara yang memasukkan aktor-aktor dalam negeri
secara luas ---dan sebab itu bersifat transnasionali dan internasional---- dihubungkan dengan
kepentingan domestik---- ke dalam perilaku negara. Sebab itu, menurut Neoliberalisme
Institusional bukan tidak mungkin bahwa politik luar negeri suatu negara dipengaruhi aktor-aktor
domestiknya.
Tokoh dari Neoliberalisme Institusional ini adalah Robert Keohane dan Robert Axelrod. Contoh
dari organisasi-organisasi yang terbentuk berlatar Neoliberalisme-Institusionalis ini adalah
International Monetary Fund, World Trade Organization, World Bank, ataupun perusahaan-
perusahaan swasta transnasional.
Pada bagan juga dapat diperhatikan bahwa Realisme muncul sebagai lawan dari Idealisme.
Realisme kemudian memperoleh couter dari Globalisme (varian Idealisme), dan Globalisme ini
kembali dikritik oleh varian Realisme yang lain, yaitu Neorealisme. Neorealisme ini kemudian
dilawan kembali oleh varian Idealisme yaitu Neoliberalisme Institusionalis, yang kembali dilawan
oleh varian Realisme Strukturalis.
Selain Realisme dan Idealisme, hubungan internasional juga dikaji oleh beberapa aliran baru.
Aliran-aliran ini terbentuk setelah menyaksikan dialektika (pertentangan) antara Realisme versus
Idealisme. Aliran-aliran tersebut adalah Teori Imperialisme, Teori Dependensi, dan Teori Sistem
Dunia Kapitalis.
Politik Internasional
Politik internasional mengkaji interaksi antaraktor state (negara) dalam sistem politik
internasional. Guna menelaah politik internasional, ada baiknya kita beranjak ke level sistemik.
Tujuannya, agar lebih mudah memberikan penggambaran secara garis besar atas politik
internasional yang berlaku dewasa ini.
Aliran Neorealisme melihat pola struktur sistem politik internasional berdasarkan pola interaksi
antarnegara. Aliran ini juga menekankan pada aspek kekuatan nasional, yang digunakan negara tersebut dalam bertindak di dalam sistem politik internasional. Penggambaran pada tulisan ini
menggunakan tradisi berpikir yang ada di aliran Neorealisme ini.
Politik internasional dewasa ini ditandari berakhirnya Perang Dingin (Cold War) tahun 1990-an
yang ditandari runtuhnya Uni Sovyet. Keruntuhan tersebut sekaligus menandai berakhirnya sistem
politik bercorak Bipolar. Bipolar adalah struktur sistem politik internasional yang ditandai
kehadiran 2 negara yang memiliki kekuatan relatif besar ketimbang negara-negara lainnya. Bipolar
System sebelum 1990-an diwakili Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Kini, sistem tersebut telah
tiada dan digantikan dengan Unipolarity System.
William C. Wohlforth menulis bahwa secara meyakinkan, politik internasional kini ditandai pola
Unipolarity System. Amerika Serikat kini menjadi negara superior dan menentukan oleh sebab
menguasai sumber daya seperti ekonomi, militer, teknologi, dan geopolitik yang relatif jauh di atas
negara-negara lainnya pasca Perang Dingin. Status Unipolar ini tetap ada meskipun negara-negara
lain berkesempatan menduduki posisi sebaga polar (kutub) seperti Jepang, Cina, Jerman, Russia, Perancis, dan Inggris.
Dalam sistem Unipolar, di mana kutub-kutub lain tidak ada ataupun belum terbentuk, Amerika
Serikat berposisi sebagai Hegemon. Hegemon berasal dari bahasa Yunani, Hegemonia, yang
berarti kepemimpinan. Dalam hubungan internasional, hegemon adalah pemimpin atau negara pemimpin. Ide dasar yang berada di belakang stabilitas yang bersifat hegemonik dalam sistem
politik internasional adalah adanya sebuah negara yang mampu membuat juga memaksakan
peraturan (misalnya perdagangan bebas, demokratisasi) di antara anggota-anggota penting dari
sistem politik internasional.
Kemampuan membuat dan memaksa tersebut hanya dapat dilakukan negara yang punya serakaian kapabilitas. Kapabilitas tersebut meliputi perkembangan ekonomi yang besar, dominasi
di bidang ekonomi dan teknologi, serta kekuasaan politik yang didukung oleh kekuatan militer
yang signifikan. Namun, sebuah negara hegemon menggunakan soft power dalam melancarkan
pengaruh ketimbang hardpower.
Soft power misalnya pengetahuan, diplomasi, teknologi, atau show of force. Penggunaan soft
power akan secara simpatik membuat negara-negara lain, terutama yang berpotensi menjadi rival,
menerima pengaruh si hegemon tanpa perlawanan yang kasar atau terang-terangan. Di sisi lain, penggunaan hard power berakibat pada tingginya social cost, yang membuat berkurangnya simpati
negara lain akan aksi si hegemon. Ditinjau dari teori hegemoni ini, Amerika Serikat kelihatannya
kurang secara penuh dapat dinyatakan sebagai hegemon.
Kebangkitan Amerika Serikat duduk di posisi kunci Unipolarity System beraneka ragam. Namun,
sekurang-kurangnya G. John Ickerberry menyebut ada 5 faktor, yaitu:
1. Negara-negara yang potensial menjadi kutub baru relatif telah kehilangan landasannya. Misalnya, Russia mengalami kolaps segera setelah Perang Dingin berakhir dan kini pun,
mereka pun Cuma memiliki setengan kekuatan ekonomi ukurang menengah jika dibanding
negara-negara Eropa lainnya. Cina masih merupakan negara berkembang dengan sejumlah
masalah politik dan ekonomi dalam negeri. Jepang telah satu dekade mengalami
kemunduran ekonomi.
2. Perang Dingin menghilangkan ganjalan bipolar kekuasaan Amerika Serikat. Jika dahulu Amerika Serikat menghabiskan sumber daya untuk 2 hal: Menjalin aliansi dengan negara
lain yang menyita biaya dan tenaga, dan; Uni Sovyet dulu mengetatkan pengawasan
Amerika Serikat akan bahaya perang. Kini, sumber daya yang dihabiskan untuk menjalin
aliansi jauh berkurang, sementara ancaman nyata Uni Sovyet telah hilang.
3. Tidak ada rival Amerika Serikat di bidang ideologi liberal. Komunisme telah runtuh dan sulit untuk kembali kuat.
4. Perang Afghanistan dan Iraq menunjukkan kekuatan militer Amerika Serikat yang besar. 5. Meski Perang Dingin berakhir, sistem klien dan hubungan keamanan dengan Eropa dan
Asia Timur tetap berlanjut.
Untuk sekadar memberikan gambaran mengenai perkembangan politik internasional dari era ke
era, di bagian berikut akan dicantumkan grafik spider kekuatan militer, ekonomi, dan COW Index
(index militer, ekonomi, medis, teknologi, pendidikan, dan semacamnya).
Pada masa Pax Brittanica, sistem politik internasional ditandai 6 negara dengan kekuatan militer,
ekonomi, dan index COW tertinggi yaitu Britain (Inggris), Prussia (Jerman), France (Perancis),
Russia, United States (Amerika Serikat), dan Austria. Inggris memiliki kekuatan ekonomi tertinggi
sementara kekuatan militer dipegang oleh Russia.
Pada era Bipolaritas Awal tahun 1950, terdapat 6 kekuatan signifikan yaitu United States, France,
Jepang, Uni Sovyet, Inggris, dan Jerman. Amerika Serikat dan Uni Sovyet, memiliki kekuatan
ekonomi, militer, dan index COW tertinggi. Jepang masuk ke dalam kekuatan politik dunia.
Pada era Bipolaritas Akhir 1985, Uni Sovyet memiliki kekuatan militer yang lebih tinggi
ketimbang Amerika Serikat, tetapi kekuatan ekonominya jauh melemah. Cina masuk ke dalam
struktur kekuatan politik terbesar dunia.
Era Unipolaritas 1996-1997, sistem politik internasional ditandai 7 kekuatan dunia yaitu Amerika
Serikat, Perancis, Jepang, Rusia, Cina, Inggris, dan Jerman. Seluruh kekuatan militer, ekonomi,
dan indeks COW terkonsentrasi di Amerika Serikat. Namun, index COW Cina adalah yang paling
mendekati Amerika Serikat ketimbang negara-negara lainnya.
Politik Luar Negeri
Politik luar negeri adalah seperangkat maksud, tatacara, dan tujuan, yang diformulasikan oleh
orang-orang dalam posisi resmi atau otoritatif, yang ditujukan terhadap sejumlah aktor ataupun
kondisi di lingkungan luar wilayah kekuasaan suatu negara, yang bertujuan mempengaruhi target
tertentu dengan cara yang diinginkan oleh para pembuat keputusan. Agar lebih jelas, berikut adalah
skema pembuatan kebijakan luar negeri:
Terdapat 2 faktor yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan politik luar negari :
Faktor internasional dan faktor domestik. Kedua faktor ini digunakan sebagai basis pertimbangan
oleh para pembuat kebijakan politik luar negeri, yang melakukan proses pembuatan keputusan.
Keputusan yang dihasilkan dapat berupa penyesuaian, program, masalah/tujuan, dan orientasi
internasional.
Faktor Internasional
Faktor-faktor internasional yang diperhatikan para pembuat kebijakan luar negeri di antaranya
adalah:
1. Faktor Global, berkaitan dengan perubahan sistem politik internasional yang punya dampak global dan juga negara dalam konteks pembuatan kebijakan luar negeri.
2. Faktor Regional, berkaitan dengan lembaga-lembaga regional (yang terdiri atas negara) yang punya dampak tertentu atas formasi kebijakan luar negeri suatu negara. Ini juga
termasuk norma-norma yang disepakati di dalam suatu regional khusus yang harus
dipertimbangkan tatkala suatu negara menentukan politik luar negerinya.
3. Hubungan Bilateral, berkaitan dengan hubungan bilateral antar aktor negara juga lembaga-lembaga tingkat global ataupun regional. Aktor-aktor tersebut dapat mempengaruhi negara
suatu negara dengan menggunakan metode aliansi, perdagangan, juga ancaman ekonomi
dan militer.
4. Aktor-aktor Non Negara, aktor-aktor transnasional seperti jaringan kriminal, jaringan teroris, perusahan multinasional, dan organisasi hak asasi manusia, memainkan peran yang
mampu membentuk dan mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara.
Faktor Domestik
Faktor-faktor domestik yang diperhatikan para pembuat kebijakan luar negeri adalah:
1. Birokrasi, birokrasi kerap diidentikan dengan kelambatan kerja dalam mengadaptasi perubahan politik luar negeri, tetapi cenderung terdapat satu kelompok di dalam birokrasi
yang punya akses pada pejabat tinggi yang efektif mengusahakan perubahan kebijakan.
2. Opini Publik, opini publik menjadi penting tatkala pejabat pemerintah butuh dukungan pemilih dalam rangka menerapkan suatu kebijakan serta agar terpilih kembali.
3. Media, media berperan penting dalam dalam mensetting agenda, dan membentuk opini publik; media menyediakan informasi dari pemerintah ke publik; media dapat menjadi
investigator, menyediakan informasi baru bagi pemerintah juga publik, yang dapat
mempengaruhi perubahan kebijakan luar negeri.
4. Kelompok Kepentingan, kelompok kepentingan adalah kelompok yang terorganisir, yang terlibat dalam sejumlah aktivitas pengambilan keputusan pemerintah. Kelompok ini
termasuk yang dibentuk warganegara, diorganisir berdasarkan isu-isu khusus, lobby-lobby
bisnis, profesional, dan firma-firma hukum publik.
5. Partai Politik, partai politik yang memberikan dukungan pada pemerintah, ataupun untuk meneruskan/mengubah politik luar negeri.
Faktor-faktor domestik dan internasional ini diserap oleh para pembuat kebijakan. Sebagai
manusia, para pembuat kebijakan dipengaruhi karakteristik yang melekat pada dirinya dalam
memandang faktor-faktor domestik dan internasional tersebut, Karakteristik-karakteristik yang
melekat tersebut adalah: Keyakinan (beliefs), motif, gaya pembuatan keputusan, gaya
interpersonal, kepentingan dalam hubungan luar negeri, dan pelatihan yang pernah didapat dalam
hubungan luar negeri.
Keyakinan mengacu pada asumsi-asumsi dasar pemimpin politik yang berakibat pada
penafsirannya atas lingkungan, dan secara lebih jauh berdampak pada strategi-strategi yang
diambil kemudian. Motif mengacu pada alasan mengapa seorang pengambil keputusan luar negeri
melakukan hal tersebut, dan ini meliputi motif akan afiliasi, motif kekuasaan, dan motif untuk
disetujui. Gaya pengambilan keputusan mengacu pada metode yang diambil seorang pembuat
kebijakan seperti sebagaimana terbuka mereka akan informasi atau tingkat resiko yang harus
diambil.
Gaya interpersonal mengacu pada bagaimana seorang pemimpin politik melakukan kesepakatan
dengan para pembuat kebijakan lainnya, yang meliputi dua jenis yaitu paranoid (kecurigaan
berlebihan) dan Machiavellian (perilaku yang manipulatif). Pelatihan yang diperoleh dalam
hubungan luar negeri mengacu pada jumlah pengalaman yang diterima seorang pembuat kebijakan
dalam konteks pembuatan kebijakan luar negeri, yang berpengaruh pada si pembuat kebijakan
bertindadak serta strategi apa yang akan diambil. Kepentingan dalam hubungan luar negeri
mengacu pada kepentingan yang hendak diambil seorang pembuat kebijakan luar negeri, di mana
jika kepentingan tersebut kecil maka ia cenderung mendelegasikannya pada orang lain, sementara
jika besar, maka ia akan melakukan pemantauan secara langsung.
Proses Pembuatan Keputusan. Proses pembuatan keputusan yang dilakukan oleh para pemimpin
politik memiliki sejumlah tahap. Tahap-tahap tersebut adalah:
1. keinginan awal untuk membuat kebijakan 2. rangsangan dari lingkungan/aktor luar negeri 3. menerima beragam informasi 4. melakukan penghubungan antara masalah dengan kebijakan 5. membangun serangkaian alternatif 6. membangun konsensus yang otoritatif atat pilihan 7. menerapkan kebijakan baru
Aktor-aktor Non Negara dalam Hubungan Internasional
Perlu ditambahkan, bahwa di abad ke-21 dunia hubungan internasional ditengarai dengan semakin
signifikan peran yang dimainkan oleh aktor-aktor non negara (non-state actors), baik dalam
konteks hubungan internasional, bilkhusus di era yang disebut "globalisasi" ini. Non state actors
atau aktor-aktor non negara oleh Thomas M. Magstadt didefinisikan sebagai:
Entitas-entitas selain negara-bangsa, termasuk ke dalamnya multinational corporation, organisasi
non pemerintah, serta organisasi-organisasi internasional non pemerintah, yang memainkan peran
tertentu di dalam politik internasional.
Magstadt lalu mengidentifikasi sejumlah aktor negara yang signifikan perannya dalam politik
internasional, yang meliputi:
1. Multinational Corporation; 2. International Organizatioan (meliputi INGO dan IGO) 3. Uni Eropa 4. Perserikatan Bangsa-bangsa 5. Unconventional Nonstate Actors (meliputi organisasi teroris, dan firma-firma militer
swasta)
Multinational corporation merupakan perusahaan (swasta) yang beraktivitas di lebih dari satu
negara. Umumnya perusahaan ini lazim ditemui bergerak secara global, di seluruh dunia. Magstadt
mencontohkan perusahaan-perusahaan berbasis di Amerika Serikat memenuhi kategori
multinasional ini, seperti Exxon Mobil, Wal-Mart, Chevron, ConocoPhillips, General Electric,
General Motors, Ford Motor, AT&T, Hewlett Packard, Valero Energy, Citigroup, Bank of
America, AIG, Sementara itu yang berbasis di Eropa dapat disebut seperti Royal Dutch Shell, BP,
dan Total. Ini belum termasuk perusahaan-perusahan multinational yang berbasis di Jepang dan
Korea Selatan seperti KIA, Mitsubishi, Toshiba, ataupun Samsung. Salah satu sumber daya utama
yang mendukung ekspansi pasar perusahaan-perusahaan tersebut adalah pendaan dari bank-bank.
Banyak di antara bank-bank tersebut (juga termasuk multinational corporation, tentunya) berbasis
di Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa Barat. Kehadiran aktor-aktor non negara seperti MNC-
MNC ini ditanggapi secara optimis dan pesimis. Pihak yang optimis menyatakan bahwa kehadiran
MNC dalam politik internasional akan mendorong efisiensi ekonomi, kompetisi dalam skala
global, dan mempromosikan teknologi. Pihak yang pesimis menyatakan, kehadiran MNC
mengakibatkan campur-tangan berlebihan MNC tersebut (juga pemerintah negara asalnya) atas
kebijakan-kebijakan dalam negeri negara tempat mereka beroperasi, selain motif egoistik mereka
dalam mencari untuk yang tidak memperhitungkan dampak aktivitas perusahaan di masa depan
bagi wilayah atau lingkungan hidup tempat kegiatan mereka.
Organisasi internasional terdiri atas dua jenis yaitu INGO (International NonGovernmental
Organizations) dan IGO (International Governmental Organizations). INGO terdiri atas organisasi
swasta individual maupun kelompok yang aktivitasnya melangkahi yuridiksi negara-negara dalam
mencapai tujuan-tujuannya. Sementara itu IGO adalah kelompok yang terdiri atas sejumlah
negara, yang pendiriannya didasarkan atas suatu perjanjian (treaties), punya struktur formal, dan
saling bertemu dalam suatu pertemuan periodik. Contoh dari INGO adalah Amensty International,
International Crisis Groups, World Vision, Greenpeace, atau Special Olympic (di Indonesia
namanya SOIna, aktivitasnya kegiatan olahraga bagi yang mengalami tuna grahita). Contoh dari
IGO sangat banyak dan ini yang kemudian populer disebut sebagai "rezim internasional" seperti
IAEA, IPU, ASEAN, IMF, World Bank, ADB, juga termasuk ke dalamnya PBB.
INGO, kendati bersifat swasta (privat) memiliki daya "paksa" dalam memengaruhi tindakan suatu
negara. Greenpeace contohnya, para aktivisnya memiliki keberanian yang luar biasa dalam
menghalangi kapal-kapal negara adikuasa, swasta ataupun pemerintah, yang hendak melakukan
pembuangan limbah baik di laut maupun darat. Amnesty International memerhatikan aspek
kebebasan politik individual dan menghalangi represi pemerintah suatu negara di saat mereka
menekan kalangan oposisi politiknya. Di sisi IGO, kita telah menyaksikan bagaimana IAEA
menjalankan peran "mediator" dalam dugaan pengembangan senjata nuklir Iran yang dilancarkan
oleh Amerika Serikat dan Israel. Kasus tersebut masih terus bergulir hingga kini. Atau, IPU
sebagai serikat parlemen internasional yang mempromosikan kuota perwakilan politik perempuan
bagi negara-negara yang menjadi anggotanya.
Uni Eropa diyakini menjadi embrio bagi satu pasar tunggal dunia. Kini Uni Eropa telah
menancapkan langkahnya di Eropa daratan. Uni Eropa adalah pewaris dari Masyarakat Ekonomi
Eropa. Perbedaannya, kini Uni Eropa tidak lagi semata-mata mengurus masalah ekonomi seperti
MEE melainkan menjadi suatu organisasi politik supra nasional yang mengatasi negara-negara
Eropa dalam beberapa kebijakan. Argumentasi mengapa Uni Eropa dikatakan sebagai organisasi
politik supra nasional karena kini ia membawahi sejumlah struktur yang menjalankan fungsi
lembaga pemerintahan seperti European Council and Council of Ministers, Commissions,
European Parliament, dan Court of Justice, yang keseluruhannya mencerminkan trias politika:
Eksekutif, Legislatif, Yudikatif. Tentu saja, setiap negara anggotanya tetap berdaulat tetapi telah
cukup banyak hal-hal yang diatur oleh Uni Eropa di mana setiap negara anggotanya tidak boleh
melanggar. Misalnya, suatu negara tidak akan beroleh izin bergabung ke dalam Uni Eropa jika
tidak menunjukkan komitmen nyata atas aturan konstitusinya, pemilu yang bebas, dan jaminan
atas hak-hak asasi manusia. Inilah serangkaian faktor yang mempersulit Turki masuk ke dalam
Uni Eropa selain tentunya masalah kekuatan ekonominya.
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) merupakan satu bentuk IGO yang khusus. Ini akibat sejarah
panjang pendiriannya serta luasnya keterlibatan negara-negara di dunia ke dalam organisasi ini.
PBB mengemban "impian" stoisisme yaitu "satu pemerintahan dunia" atau "novum ordo
seclorum." Kendati tentunya, secara kritis dapat diujarkan bahwa dalam gagasan satu
pemerintahan dunia, dapat saja yang terjadi adalah kekuasaan satu negara atau satu oligarki negara
di dalam organisasi ini atas "dunia." Negara dengan kekuatan ekonomi, militer, politik, dan
teknologi besar memiliki kans untuk menjadi pengendalinya.
Organisasi teroris dan pasukan militer swasta dimasukkan oleh Magstadt ke dalam organisasi
nonkonvensional dalam konteks aktor-aktor non negara. Organisasi teroris ini sama dengan MNC,
yaitu beroperasi lintas negara dengan tujuan-tujuan spesifik masing-masing. Organisasi teroris ini
beroperasi di banyak negara seperti Indonesia, Peru Bolivia, Spanyol, Pakistan, ataupun Amerika
Serikat tanpa harus berasal dari negara-negara tersebut. Di Spanyol yang masih dilanda pertikaian
etnis Catalan dan Basque, serangan-serangan teroris banyak dimaksudkan demi mempengaruhi
hasil pemilu ataupun pemilihan gubernur. Di Amerika Serikat, operasi-operasi Al Qaeda
ditunjukkan demi memberi peringatan kepada Amerika Serikat untuk bersikap adil dalam
kebijakan-kebijakan politik luar negerinya di Timur Tengah.
Firma-firma militer swasta merupakan perkembangan baru yang cukup menyentak, kendati
keberadaan "pasukan bayaran" di kisah-kisah politik masa lalu sesungguhnya cukup biasa. Untuk
organisasi ini misalnya dapat disebut BlackWater Company (basis di Amerika Serikat), Military
Professional Resources Incorporated (MPRJ) yang berbasis di Virginia (AS) merupakan sedikit
contohnya. Firma-firma militer swasta ini bertindak sebagian besar bukan karena alasan moral,
ideologi, ataupun politik melainkan karena alasan profit layaknya MNC. Blackwater misalnya,
disewa oleh pemerintah transisi Amerika Serikat untuk mengamankan pendudukan mereka di Irak.
Rekrutmen anggota militer swasta ini tidak semata-mata berasal dari dalam negeri Amerika Serikat
sendiri melainkan bisa direkrut dari Filipina, Peru, Ekuador, untuk kemudian didatangkan ke
Amerika Serikat untuk dilatih secara militer-profesional. Firma-firma militer swasta ini terbuka
untuk direkrut aktor-aktor negara demi tujuan politik spesifik pihak penyewa.
--------------------------------
Referensi
1. Benjamin N. Schiff, Building the International Criminal Court, Cambridge University Press.
2. Carlton Clymer Rodee, et al., Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Rajawali, 2002), h. 499.
3. G. John Ickenberry, Strategic Reactions to American Preeminence: Great Power Politics in the Age of Unipolarity, NIC 2020 Project, 23 Juli 2003.
4. Jacob Gustavsson, The Politics of Foreign Policy Change: Explaining the Swedish Reorientation on EC Membership, (Lund: Lund University Press, 1998).
5. Joakim Eidenfalk, Towards a New Model of Foreign Policy Change, Refereed paper presented to the Australasian Political Studies Association conference, University of
Newcastle 25-27 September 2006.
6. K.J. Holsti, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, Jilid 1, Penerjemah M. Thahir Azhary, (Jakarta: Erlangga, 1988)
7. Marti Griffiths, Beyond the Bush Doctrine: American Hegemony and World Order, Australasian Journal of American Studies.
8. Philip G. Cerny, Embedding Neoliberalism: The Evolution of a Hegemonic Paradigm, The Journal of International Trade and Diplomacy 2 (1), Spring 2008:1-46.
9. Reinhard Meyes, Contemporary Developments in International Relations, (Serbia, University of Novi Sad : Centre for Advanced European Studies and Research, 2005).
10. Sezai ZELK, Neorealist And Neo-Gramscian Hegemony in International Relations and Conflict Resolution during the 1990s, Ekonomik ve Sosyal Aratrmalar Dergisi, Gz , 2005.
11. Skyler J. Cranmer, Realism and Liberalism : Third Pass, Summary, 22 September 2005. 12. Thucydides, History of the Peloponnesian War, Book 5: The Melian Dialogue, Translated
by Rex Warner, (Penguin Books , 1954).
13. William C. Wohlforth, The Stability of a Unipolar World, International Security, Vol. 24, No. 1 (Summer 1999), pp. 541.
14. William J. Duicker and Jackson J. Spielgovel, World History: Volume II Since 1500, 5th Edition (Belmont: Thomson Higher Education, 2007) p. 643-7.
15. Thomas M. Magstadt, Understanding Politikcs, Ninth Edition (Boston: Wadsworth, 2011) p. 579-602.
tags: definisi hubungan internasional politik internasional definisi politik luar negeri realisme idealisme
teori hubungan internasional neorealisme aktor-akton non negara dalam politik internasional
AMERIKA SERIKAT, HEGEMONI GLOBAL DAN DOMINASI MILITER By kainsa 1 Comment
Categories: Tulisan Lama
Tags: as, hegemoni, Tulisan Lama
Oleh:
Wawan Kurniawan
Pendiri Kajian Internasional Strategis (KAINSA)
Kemarin (4 Juli 2005), rakyat Amerika Serikat (AS) memperingati 229 tahun kemerdekaan
negerinya. Independence Day yang keempat pascaserangan 9/11 September 2001 dan yang
kelima selama pemerintahan Bush. Suatu peringatan kelahiran di tengah masa perang karena
Donald Rumsfeld menyatakan AS sekarang dalam kondisi perang (Department of Defense, The
National Defense Strategy of the USA, Maret 2005). Suatu peringatan pada saat kebencian
terhadap AS di seluruh dunia, terutama di negeri-negeri Muslim, semakin besar dan terakumulasi
dalam permusuhan-permusuhan nyata (shocking level) (Ivan Eland, Can America Spin Away
Anti-U.S. Hatred in Islamic Countries?, Antiwar.com, 15/10/2003)
Dibandingkan era-era tahun sebelumnya (pasca Perang Dunia II), terjadi perubahan yang
mendasar dalam pemerintahan AS, terutama kebijakan luar negeri. Di era 50-an hingga 90-an,
komunis menjadi musuh utama AS. Sebagai akibatnya, AS harus bertempur di beberapa front:
Perang Korea (1950-1953), Invansi Teluk Babi Kuba (1961), Krisis Rudal Soviet di Kuba
(Oktober 1962), Perang Vietnam (1968-1975), dan Invasi Grenada (1983). Di samping, itu, AS
harus memberikan bantuan kepada our local friend: Mujahidin di Afghanistan (1979-1997), Jenderal Pinochet yang mengkudeta presiden Chili berhaluan kiri, Salvador Allende (1973),
rezim Jenderal Jorge Rafael Videla yang bertahan dari upaya kudeta oposisi kiri Argentina dalam
Dirty War (1976-1983), pemberontak UNITA dan FNLA melawan rezim Marxis Angola (pertengahan 70-an hingga akhir 2002), monarki Nepal melawan kaum Maoist (1994),
gerilyawan Kontra di Nikaragua (1983-1988), dan rezim-rezim kawasan segitiga Amerika Latin:
El Salvador, Guetemala, dan Honduras.
Memasuki milenium baru, terjadi tranformasi paradigma kebijakan luar negeri AS; anti
terorisme-sentris menggeser anti komunisme-sentris. Komunisme bukan lagi menjadi momok
yang menakutkan. Uni Soviet telah lama hancur di tahun 1991. Beberapa negara eks komunis di
Eropa Timur sudah menjadi anggota NATO (Hongaria, Polandia, dan Republik Czech).
Beberapa negara eks komunis lainnya diperkirakan segera menyusul. Di Asia Tengah, negara eks
komunis malah menjadi sekutu terdekat AS dalam global war on terrorism (GWOT), seperti Ukraina, Uzbekistan, dan Kyrgystan.
China memang masih komunis, tetapi bukan itu yang ditakutkan. Analisis futuristik (tahun 2020)
yang dikeluarkan CIA memprediksikan China (bersama India) akan menjadi kekuatan utama
masa depan (new major global player) yang mampu menandingi kekuatan AS (National
Intellegence Council, Mapping the Global Future, cia.gov, Desember 2004). Bukan karena
ideologi komunis Mao, melainkan karena China memiliki apa yang disebut sebagai 4 faktor
penyokong global power (kekuatan dunia): produk domestik bruto (PDB), populasi, anggaran
pertahanan, dan inovasi teknologi (Gregory F. Treverton dan Seth G Jones, Measuring National
Power, rand.org). Populasi China mencapai 1,299 miliar jiwa (CIA The World Fact Book 2005,
cia.gov, 10/02/2005). Produk domestik bruto China mencapai 6,436 miliar dolar (2004) dan
diperkirakan akan menjadi 25,155 miliar dolar di tahun 2025, sementara China pada 2004 telah
mengeluarkan 65,2 miliar dolar untuk memperkuat pertahanannya (Newsweek, Februari 2005)
Sementara itu, Fidel Castro semakin tua. Kepemimpinan one man show di Kuba memberikan peluang munculnya situasi yang berbeda jika suatu saat Castro meninggal dunia. Di sisi lain,
Kuba yang memiliki penduduk 11,3 juta ini bukan negara penentu di Amerika Latin. Terbukti,
Castro kini bergandengan tangan dengan Hugo Chavez (Venezuela) menggalang resistensi anti
AS.
Neo Konservatif dan Project for New American Century (PNAC)
Perubahan paradigma kebijakan luar negeri AS dimulai pada tahun 1992. Ketika itu, pada bulat
Maret, sekumpulan pejabat penting pada masa pemerintahan Bush senior dimotori Dick Cheney
dan Paul Wolfowitz mengeluarkan Draf Pedoman dan Rencana Pertahanan (Defence Planning
Guidance Draft) yang mengharuskan dominasi militer dalam kebijakan AS di masa depan.
Dokumen itu, yang di kemudian hari dinamai Pentagon Paper menganjurkan pre-emptive force untuk melindungi AS dari senjata pemusnah massal (WMD) serta melakukannya sendirian jika
perlu. Strategi kita (pascajatuhnya Uni Sovyet) harus difokuskan pada pemusnahan segala potensi timbulnya kompetitor global di masa depan (New York Times, 08/03/1992).
Langkah selanjutnya, di tahun 1997, Cheney, Wolfowitz, Donald Rumsfeld, dan I. Lewis Libby
mengorganisasikan diri secara resmi dengan membentuk PNAC (newamericancentury.org).
Anggota PNAC terdiri para politisi kanan Republik, Yahudi, intelektual, dan aktivis Christian
Right. Zalmay Khalilzad, mantan duta besar AS untuk Afghanistan, yang sekarang menjadi duta
besar AS untuk Irak, juga merupakan anggota PNAC.
Sebuah dokumen yang berisi analis kontemporer AS dikeluarkan PNAC di bulan September
2000. Dokumen itu menegaskan kondisi AS yang harus bermain sendirian (no global rival) dan mengambil peran penting dalam menjaga perdamaian dan keamanan Eropa, Asia, dan Timur
tengah. Grand strategy Amerika harus diarahkan pada usaha memelihara dan mempertahankan posisi yang menguntungkan ini selama mungkin di masa depan (Rebuilding Americas Defenses: Strategy, Forces and Resources for New Century, newamericancentury.org)
Sebenarnya, PNAC merupakan revitalisasi dari serangkaian grup hawkish (penggemar perang)
yang berebut pengaruh dengan kelompok antiperang Partai Demokrat di era 70-an. Grup-grup
hawkish itu seperti Committee on the Present Danger (didirikan oleh sepasang suami istri, Midge
Decter dan Norman Podhoretz) yang hadir di akhir 70-an dan Committee for the Free World
(dirikan oleh Descter dan Rumsfeld)
Bush junior mengambil mereka, para kolega ayahnya itu, sebagai penasehatnya dalam masa
kampanye 2000. Dari sinilah timbul kedekatan antara Bush dengan para Vulcan-meminjam
istilah James Man (2004). Di samping memiliki kesamaan idelogogi konservatif dan visi
supremasi AS, keduanya saling bersimbios-mutualisme. Bush adalah seorang tipe pelaksana
(doer) bukan pemikir (tinker). Bush lebih tertarik pada tindakan daripada introspeksi dan
memiliki kepercayaan diri kuat tentang kebenaran apa yang dilakukannya (John Langmore, The
Bush Foreign Policy Revolution, Its Origin, and Alternatives, globalpolicy.org, Agustus 2004).
Hal lain yang menguntungkan bagi para neokon adalah fundamentalisme dan keyakinan
(keukeh) Bush seperti yang pernah dia ucapkan, Saya telah menemukan keyakinan. Saya telah menemukan Tuhan. Saya di sini (Gedung Putih) karena kekuatan doa (New York Review of Books, 06/11/03)
Dalam perkembangan selanjutnya. Bush yang memperoleh kemenangan setelah Mahkamah
Agung memenangkannya dalam kasus Florida, memberikan posisi-posisi kunci pada kaum
hegemons (istilah yang dimunculkan oleh Daalder dan Lindsay dalam buku America Unbound:
The Bush Revolution in Foreign Policy)
Dick Cheney menjadi wakil presiden. Rumsfeld memperoleh kursi menteri pertahanan.
Wolfowitz sekarang menjadi Presiden Bank Dunia setelah sebelumnya menjabat sebagai wakil
menteri pertahanan. Rize sempat sebagai penasehat keamanan nasional lalu menjadi menteri luar
negeri. Douglas Feith di posisi bidang politik di bawah menteri pertahanan. Stephen Hadley
menggantikan posisi Rize. I. Lewis Libby mengepalai seluruh staf wakil presiden. Daniel Pipes
di unit khusus bidang teror dan teknologi pada departemen pertahanan dan mengepalai US
Institute of Peace. Peter W. Rodman di posisi asisten menteri pertahanan untuk hubungan
keamanan internasional. John D Negroponte mengepalai Badan Keamanan Nasional (National
Security Service, NSC). NSC merupakan muara semua badan intelejen AS, seperti CIA dan FBI.
John Bolton, figur kontroversial, yang dikandidatkan oleh Bush sebagai duta besar AS untuk
PBB, meski telah dihalangi dua kali oleh Partai Demokrat dalam voting di komite Senat. Bolton,
sekarang masih di posisi Pengawasan Senjata dan Keamanan Internasional di bawah menteri luar
negeri.
Mereka inilah yang dikatakan sebagai komplotan rahasia yang mengambil alih kebijakan luar
negeri negara yang paling kuat di dunia atau sebuah grup ideologi yang sangat kecil namun
menggunakan kekuasaan yang tidak semestinya untuk mencampuri hubungan AS dengan negara
lain, membuat sebuah kerajaan dan membuang hukum internasional (Economist, 26/04/03)
Kolaborasi Intelektual dan Media Massa
Kelompok neokon atau vulcan tidak saja memenuhi posisi-posisi penting dalam pemerintahan
Bush, tetapi juga di organisasi-organisasi intelektual dan media massa. Tercatat, selain PNAC,
ada beberapa kelompok cendekiawan yang aktif mendukung kebijakan Bush, seperti American
Enterprise Institute (AEI), Carnegie Endowment for International Peace, Cato Institute, Center
For Strategic and International Studies (CSIS), Council on Foreign Relations (CFR), Center for
Security Policy (CSP), Freedom House, Hoover Institue (didirikan oleh Herbert Hoover,
presiden ke-31 AS. Bernaung di bawah Stanford University dan memiliki dua anggota
kehormatan: Ronald Reagan dan Margaret Thatcher. Condoleezza Rice dan Seymour Martin
Lipset menjadi anggota seniornya), Heritage Foundation, Jewish Institute for National Security
Affairs (mempunyai hubungan dekat dengan partai Likud), National Endowment for Democracy
(NED), Nixon Center, National Institute for Public Policy (NIPP), Middle East Forum , Rand
Corporation, dan The New Atlantic Initiative (di-launching pada Juni 1996 dan memiliki 300-an
anggota terdiri dari politisi, cendekiawan, maupun pebisnis). John Bolton sendiri mendirikan dua
lembaga sekaligus: Olin Foundation dan Lynde & Harry Bradley Foundation. Aneka lembaga di
atas menjadi think tank (pusat kajian dan pemikiran) yang mendistribusikan riset dan penelitian
mereka kepada pemerintah AS demi apa yang mereka sebut sebagai dan kepemimpinan global
Amerika (American global leadership) dalam Abad Baru Amerika (New American Century).
Di media massa, terdapat pendukung neokon pula seperti Max Boot (Los Angeles Times), David
Brooks dan Judith Miller (New York Times), dan Robert Kagan (Washington Post). Para neokon
juga mendominasi Wall Street Journal, majalah Foreign Policy, National Review, USA Today,
dan The Weekly Standard (mendapat dana dari Rupert Murdoch) (Jim Lobe, Pump Up the
Pentagon, Hawks Tell Bush, irc-online.org, 28/01/03). Jangan lupakan juga Daniel Pipes,
direktur Middle East Forum (MEF), yang mengajar di tiga universitas sekaligus (University of
Chicago, Harvard University, dan US Naval War College), dan penulis aktif di New York Post
dan The Jerusalem Post.
Media massa turut berperan dalam membentuk mind setting rakyat AS. Ketakutan masif
pascaserangan 9/11 dikelola sedemikian rupa sehingga Bush yang lebih menjanjikan keamanan
dibandingkan Kerry akhirnya terpilih untuk kedua kali.
Media massa adalah salah satu bagian dari sebuah sistem doktrinal (Noam Chomsky: 1993).
Pemerintah Bush dan media massa beririsan dalam satu kepentingan yaitu propaganda yang
memanufakturisasi persetujuan (manufacture of consent, istilah yang diperkenalkan oleh Walter
Lippman) demi kelangsungan suatu kebijakan tertentu. Dapat dipahami, bila sebagian pengamat
memandang media massa AS turut bertanggung jawab atas kebohongan Bush yang diyakini
kebenarannya oeh mayoritas warga AS.
Di AS, ada istilah Seven Deadly Sinners yang meliputi Time, Newsweek, CBS, NBC, ABC,
New York Time, dan Washington Post (Taki, Fourth Estate Follies, The American Conservative,
23/05/2005). Jika Pol Pot membunuh jutaan manusia secara fisik, Seven Deadly Sinners telah
menjadi mesin propaganda dan agitasi pemerintahan Bush yang membunuh jutaan (pikiran)
manusia.
Jaringan media massa yang mengusung konservatisme berkembang sangat pesat pascaperistiwa
9/11. Sebagai contoh jaringan radio, yang berjumlah 1300 pemancar, sebagian besar memiliki
kedekatan dengan ideologi kanan (Hendrik Hertzberg, New Yorker, 08/08/03)
Kedekatan militer AS dengan media konservatif bisa terlihat dengan diikutkannya (embedded)
mereka dalam penyerbuan ke Irak. Sebagai hasilnya, laporan-laporan live datang dari front
terdepan, tentu saja dengan versi militer. Masih untung ada Al Jazeerah, yang menyajikan berita
dari another side.
Pada 26 Januari 1998, William Kristol dan Robert Kagan bersama para pendukung neokon
lainnya mengirim sebuah surat kepada Clinton yang isinya meminta agar AS segera
menggulingkan Saddam Husein (Andrew J. Bacevich dan Tom Engelhardt, New Boys in Town:
The Neocon Revolution and American Militarism, antiwar.com, 23/04/05). Namun, baru pada
tahun 2003, lima tahun kemudian, mimpi para neokon itu dapat terpenuhi.
Selanjutnya, pada 23 Januari 2003, William Kristol, Max Boot, Eliot Cohen, Frank Gaffney, dan
22 orang neokon lainnya yang tergabung dalam PNAC mengirimkan sebuah surat kepada Bush.
Mereka menganjurkan Bush menambah pembiayaan untuk riset dan pengembangan rudal
pertahanan daripada tentara konvensional. Mereka juga meminta Bush menambah anggaran
pertahanan sebanyak 70 hingga 100 miliar dolar, yang itu berarti sama dengan 3,8 hingga 4
persen dari PDB 2007. Di samping itu, AS harus memutuskan hubungan dengan Pemerintah
Palestina dan menyiapkan tindakan hukuman bagi Iran, Suriah, dan Hizbullah di Lebanon.
Doktrin Bush
Robert Jervis dalam tulisan Understanding the Bush Doctrine yang dimuat di Political Science Quarterly Volume 118 Nomor 3 Musim Gugur 2003 menjelaskan empat doktrin utama Bush
sekarang. Pertama, apa yang menjadi keyakinan rezim lokal akan mewarnai kebijakan luar
negeri lalu untuk selanjutnya akan mempengaruhi politik internasional. Oleh karena itu penting
bagi AS untuk menopang, membantu, dan melindungi rezim-rezim lokal meskipun rezim itu
tidak populer baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Terlebih lagi bagi penguasa berkonflik
dengan kelompok radikal Islam. Rezim Husni Mubarak di Mesir dan rezim Perez Musharraf di
Pakistan dapat dijadikan contoh dalam hal ini. Juga Uzbekistan dan Arab Saudi. Pelanggaran-
pelanggaran hak asasi dapat ditolerir selama para penguasa lokal masih menjadi sekutu AS
dalam GWOT. Di sisi lain, AS akan berusaha mengganti rezim yang melawannya dengan orang
dalam yang sepaham dengan AS. Rezim Pinochet (Chili), Hamid Karzai (Afghanisan), Iyad
Allawi dan Ibrahim al Jafaari serta Ahmed Chalabi (Irak), merupakan pemimpin-pemimpin lokal
yang menjadi kepanjangan AS menggantikan rezim sebelumnya. Hal ini sejalan dengan ucapan
Bush pada hari pelantikanya 20 Januari lalu, ending tyranny in our world, meski perlu dicermati tirani macam mana yang akan dihancurkan oleh Bush
Kedua, ancaman luar terhadap keamanan nasional AS hanya dapat dipungkasi dengan
melakukan serangan pendahuluan (preventive war) terhadap ancaman itu. Menyerang sebelum
diserang. AS memandang ancaman terbesar berasal dari jaringan teroris internasional dan rogue
state. AS menyerbu Aghanistan karena Taliban menolak menyerahkan Osamah bin Laden. AS
menyakini Osamah memiliki kemampuan untuk menyerang pusat-pusat kepentingan AS dan
sekutunya di seluruh dunia. Salah satu alasan invasi AS ke Iraq adalah karena Iraq dianggap
memiliki senjata pemusnah massal (WMD) yang bisa mengancam AS dan sekutunya di Timur
Tengah. Dalam versi intelejen Inggris, WMD itu dapat diluncurkan dalam waktu 45 menit.
Meski kemudian terbukti Iraq tidak memiliki WMD. Intelejen Inggris juga diketahui telah
memalsukan laporan tentang WMD itu.
Bagi Bush, sikap diam hanya akan menghasilkan risiko yang lebih besar. Semakin besar ancaman, semakin besar risiko bila hanya diam saja (In President Words: Free people Will Keep the Peace of the World, New York Times, 27/02/03)
Ketiga, bertindak sendiri (unilateral) bila diperlukan. Invasi Afghanistan (2002) dan Irak (2003)
merefleksikan keyakinan Bush itu. Meski ditolak oleh sekutu-sekutu terdekat, semacam Perancis
dan Jerman, dan juga Dewan Keamanan PBB, AS tidak ambil peduli. AS juga tidak
memperdulikan demontrasi puluhan juta warga dunia di seluruh kota-kota besar dunia.
Inggris, meskipun bergabung dengan AS dalam invasi ke Irak, dapat belajar cepat dan
memahami kemarahan dunia. Terlebih setelah Tony Blair terpilih kembali pada pemilu terakhir
(5 Mei) dan mendapati kenyataan bahwa dirinya dan Partai Buruh mengalami erosi suara yang
signifikan. Inggris bersama beberapa negara lain lebih memilih jalan diplomasi dalam menangani
nuklir Iran dan Korea Utara, namun AS lebih menyukai cara konfrontasi dengan kedua negara
itu.
Unilateralisme AS juga bisa terlihat dari tindakan AS keluar dari keanggotaan Mahkamah
Internasional, Perjanjian Non Proliferasi Nuklir (NPT), dan Protokol Kyoto. Belajar dari kasus
kejahatan perang Serbia, AS berusaha melindungi para jenderal perangnya. Dan satu-satunya
cara adalah keluar dari Mahkamah Internasional.
Doktrin Bush yang terakhir adalah (keniscayaan) hegemoni AS terhadap dunia. Joshua S
Goldstein (1988) menyatakan jika hegemoni berarti kebisaan untuk mendikte, mendominasi,
mengatur, dan merancang konstelasi dan geopolitik internasional, maka AS bisa dikatakan telah
menghegemoni. Dan untuk melanggengkan hegemoni itu, AS memerlukan militer yang kuat.
Bush secara tegas menyampaikan hal ini ketika ia berpidato pada pelepasan kadet baru West
Point 1 Juni 2002: Amerika harus bisa memastikan kekuatan militernya mampu mengatasi berbagai tantangan, meskipun harus merusak stabilitas perlombaan senjata dunia. AS juga harus
membatasi kekuatan negara lain meskipun kekuatan itu ditujukan untuk perdamaian.
Dominasi Militer AS
Militer AS saat ini merupakan yang paling kuat di seluruh dunia. Teknologi tempur AS terbaik
meliputi persenjataan konvensional, biologi, kimia, nuklir, dan sistem transportasinya. Sebagai
contoh, di laut, AS memiliki 9 armada tempur dan sedang mempersiapkan armada kesepuluh.
Pada setiap armada terdapat kapal induk (supercarrier) yang mampu membawa 4500 hingga
6000 orang sekaligus. Di samping supercarrier, beberapa kapal penjelajah dan kapal selam nuklir
biasanya termasuk dalam satu satuan armada tempur. Sementara itu, Rusia hanya memiliki satu
kapal induk modern yang tonnasenya hanya separuh dari supercarrier AS. Inggris dan Perancis
hanya memiliki beberapa kapal induk kecil.
Militer AS juga mendominasi udara. AS memiliki tiga tipe pesawat siluman (stealth), dua tipe
pembom (bomber), dan penempur (fighter). Sementara itu, tidak ada negara lain yang memiliki
pesawat siluman. Teknologi pengisian bahan bakar di udara (air refueling) menyebabkan
bomber-bomber AS dapat menjangkau belahan dunia manapun.
AS memiliki 6000 kepala nulir (warhead) yang siap dioperasikan. Sekitar dua ribuan ditanamkan
pada rudal balistik antar benua di silo-silo seluruh AS, 3500 dipasang di kapal selam, dan
beberapa ratus buah dibawa oleh pesawat pembom (Steve Weinberg, The Growing Nuclear
Danger, New York Review of Books, 18/07/02).
Roberth S. Mcnamara, seorang mantan menteri pertahanan AS, memberikan gambaran yang
lebih detil lagi. Setiap nuklir AS, rata-rata memiliki kekuatan penghancur 20 kali bom
Hiroshima. Dari semua jumlah nuklir itu, 2000 diantaranya dikondisikan siaga penuh (hair triger
alert) dan siap diluncurkan dalam waktu 15 menit. SAC (Strategic Air Command) yang berpusat
di Ohama, Nebraska dan memiliki jaringan komunikasi dengan presiden AS dan markas
underground NORAD (North American Defense Command) di Pegunungan Cheyenne,
Colorado, harus memastikan 2 sampai 3 menit bahwa peringatan AS akan diserang adalah valid.
Komandan SAC harus menjawab telpon tidak boleh lebih dari tiga deringan. Sedemikian
urgennya, hingga Mcnamara mengilustrasikan jaringan komunikasi tersebut dengan Harus online 24 jam sehari, 7 hari seminggu, dan, 365 hari setahun. Komandan SAC harus membawa
telepon khususnya di manapun ia berada (Apocalypse Soon, foreignpolicy.com, May-Juni 2005)
Untuk menjaga dominasi militer dan berhubungan dekat dengan para sekutu lokal sekaligus
melindunginya, AS memiliki ratusan pangkalan militer di luar negeri. DOD (Departement of
Defense) merinci 725 markas AS di luar negeri dan kesatuan khusus AS (Special Operation
Forces) yang aktif di 125 negara (Chalmers Johson, The Sorrows of Empire: Militarism, Secrecy,
and the End of the Republic, 2004)
Oleh karena itu, tidak heran bila anggaran pertahanan AS mencapai separuh dari total biaya
pertahanan seluruh negara di dunia. Bush mengalokasikan 462 miliar dolar di tahun 2005, yang
berarti 3,5 persen dari PDB (Department of Defense, Budget for Fiscal 2005, Defense Week,
02/02/04). Dana sebesar itu sudah termasuk biaya rekonstruksi Iraq dan Afghanistan
Bantuan AS kepada Para Sekutunya
World Policy Institute, pada awal Juni kemarin, menerbitkan laporan khusus mengenai alur dan
distribusi bantuan militer AS sejak peristiwa 9/11 hingga 2003. Laporan dengan judul US Weapon at War 2005: Promoting Freedom or Fueling Conflict? menjelaskan dengan detail negara-negara penerima bantuan AS dan besarnya bantuan tersebut.
Ada beberapa jenis bantuan yang diberikan AS kepada sekutu-sekutunya. Pertama, Foreign
Military Financing (FMF). FMF merupakan kesediaan AS menjual produk senjatanya (termasuk
servis dan training) kepada negara asing. FMF meningkat signifikan dari 2001 sampai 2005; dari
3,5 miliar dolar hingga 4,6 miliar dolar. Proses FMF berlangsung G to G (government to
government) antara Pentagon dan negara yang bersangkutan.
Kedua, Economic Support Fund (ESF). ESF didesain sebagai program asistensi AS kepada
sekutunya dengan tujuan mengurangi akar-akar penyebab terorisme. Ketiga, International
Military Education adn Training (IMET) yang bertujuan melatih tentara-tentara asing dengan
pejabat militer dan senjata AS. Dalam 2004, AS telah mengeluarkan 9 miliar dolar untuk melatih
11 ribu serdadu dari seratus negara. Keempat, Excess Defense Articles (EDA). Dengan EDA, AS
dapat mentransfer senjata secara gratis atau dengan diskon besar. Kelima, Emergency
Drawdown, yang memungkinkan AS memberikan bantuan senjata secara cepat dan lunak dalam
keadaan kritis.
Ironisnya, lebih dari separuh (13) dari 25 negara penerima sumbangan terbesar AS dikategorikan
sebagai negara tidak demokratik oleh Laporan HAM Departemen Negara AS. Ketiga belas
negara itu, termasuk Arab Saudi, Mesir, Kuwait, Uni Emirat Arab, dan Uzbekistan, menerima
bantuan 2,7 miliar dolar lebih. Delapan belas dari 25 negara itu mengalami konlik internal yang
akut, termasuk Angola, Colombia, Pakistan, Filipina, dan Ethiopa. Dua puluh dari 25 merupakan
negara yang memiliki banyak pelanggaran HAM.
Arab Saudi memperoleh bantuan terbesar AS: 1,169 miliar dolar. Disusul Mesir (1,047 miliar),
Israel (846 juta), Taiwan (647 juta), dan Turki (524 juta). Sementara, Pakistan dan Filipina yang
dianggap Bush sebagai sekutu utama non NATO (major non-NATO ally) dalam GWOT
mendapat 49,5 juta dan 26,4 juta
Dua Kutub Penopang Partai Republik
Partai Republik sebagai kendaraan politik Bush dan menguasai mayoritas Kongres AS, memiliki
dua kutub yang saling menguatkan. Pertama, kelompok industriawan yang meliputi perusahaan-
perusahaan besar, mulai dari energi, media, pertahanan, hingga konstruksi multinasional. Banyak
neokon yang memiliki koneksi dengan perusahaan besar. Dick Cheney adalah mantan CEO
Halliburton. Halliburton merupakan pemegang mandat utama rekonstruksi Irak pascaperang
(New York Times, Editorial: The State of Iraq, 09/08/2004). Halliburton juga mitra utama militer AS (George Anders dan Susan Warren, Military Service: For Halliburton, Uncle Sam
Brings Lumps, Steady Profits, Wall Street Journal, 19/01/2004). Rumsfeld memiliki hubungan
dengan Bechtel (terlibat dalam pembuatan jalur pipa minyak Iraq di tahun 1980-an), Gulfstream
Aerospace, Gilead Sciences dan G.D. Searle (keduanya perusahaan farmasi), serta Metricom.
Rice dengan Chevron dan Hewlett Packard. Stephen Hadley dengan Shea & Gardner (biro
pengacara yang memiliki klien Lockheed Martin and Boeing), Raytheon and Bellcore
(kontraktor pertahanan),dan Scowcroft Group (firma konsultasi intenasional)
Jika ditelusuri lebih lanjut, perusahaan-perusahaan besar itu memiliki hubungan dengan media
massa. Sebuah riset yang dilakukan oleh Sonoma State University memperlihatkan sekitar 128
orang yang duduk di dewan direktur sepuluh media raksasa ternyata menduduki tempat yang
sama pada 228 perusahaan nasional dan internasional (Peter Phillips, Big Media Interlocks with
Corporate America, commondreams.org, 24/06/05). Di antaranya, Washington Post yang
terrelasi dengan Lockheed Martin, Coca-Cola, Gillette, G.E. Investments, J.P. Morgan, dan
Moodys. The Tribune (Chicago & LA Times) dengan 3M, Caterpillar, Kraft, McDonalds, Pepsi, dan Wells Fargo. NBC dengan Avon, Bechtel, Chevron, Coca-Cola, Dell, General
Motor,Kellogg, J.P. Morgan, Microsoft, dan Motorola.
ABC dengan Boeing, Northwest Airlines, FedEx, Gillette, Halliburton, Kmart, dan Yahoo. CBS
dengan American Express dan Oracle. Gannett dengan AP, Lockheed-Martin, Continental
Airlines, Prudential, dan Pepsi
Penopang Partai Republik yang kedua adalah para ideolog kanan. Mereka meliputi Evangelis
dan Yahudi Kanan. Ada satu pemahaman berbahaya mereka yang bersinggungan dengan umat
Islam yaitu Yesus akan tiba hanya jika Yahudi memiliki Jerusalem dan Palestina. Ini yang
membuat mereka matian-matian mendukung tindakan apapun Israel di Timur Tengah. Mereka
mengkritisi kebijakan Peta Jalan (Road Map) karena itu akan membuat Israel tidak bisa menguasai semua tanah Palestina.
Kelindasi Berbagai Anasir
Akhirnya, seperti teori konspirasi yang memungkinkan segalanya terjadi, para neocons, media
massa, doktrin fundamentalisme Bush, dominasi militer, bantuan senjata, kelompok industri
besar dan ideologi kanan, berkelindan menjadi satu dalam sebuah dominasi militer AS untuk
hegemoni global yang tidak mentolerir revitalisasi kekuatan-kekuatan lain.
Namun, the future is uknown dan tidak selamanya apa yang dikatakan George Orwell (who
controls the past controls the future; who controls the present controls the past) benar. Fred
Kaplan mengingatkan, Kekuatan baru (the new arriviste power) semacam China, India, juga Brasil dan Indonesia, bisa mengurangi kekuatan AS dan bahkan memaksa AS mengikuti aturan
mereka dalam dunia baru di masa depan (Fred Kaplan, A CIA Report Predicts That American Global Dominance Could End in 15 Years, globalpolicy.org, 26/01/05)
I am only one, but I am one. I cannot do everything, but I can do something. And because I cannot do everything, I will not refuse to do the something that I can do.
What I can do, I should do. And what I should do, by the grace of God, I will do.
SOFT DIPLOMASI SEBAGAI STRATEGI UTAMA PLN AS MASA KEPEMIMPINAN OBAMA
SOFT DIPLOMASI SEBAGAI STRATEGI UTAMA POLITIK LUAR NEGERI AMERIKA
SERIKAT DI BAWAH KEPEMIMPINAN BARACK OBAMA
Nama : Ardhiayu S.P
NIM : 151080098
JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA
2011
PENDAHULUAN
A. Alasan Pemilihan Judul
Dalam proposal ini saya memilih judul : Karakter Kepemimpinan Presiden Barack Obama
Mempengaruhi Gaya Diplomasi dan Kebijakan Politik Luar Negeri AS, dikarenakan bahwa penelitian ini
berfokus pada seorang Barack Obama sebagai pemimpin mampu mempengaruhi kebijakan politik luar
negeri Amerika Serikat berdasar karakter dan nilai-nilai yang berbeda dari dalam dirinya, dan bagaimana
ia berusaha memperbaiki kemudian mempertahankan citra Negara Amerika Serikat yang sudah terlanjur
buruk di mata dunia internasional sebagai Negara yang selalu mengandalkan kekuatan atau power dalam
setiap kebijakan politiknya, semasa presiden Bush.
Tentunya dari berbagai penelitian menyebutkan bahwa Amerika Serikat sebagai Negara hegemoni
terbesar di dunia selau melakukan kebijakan yang paling tepat di setiap kebijakan domestik maupun luar
negerinya. Pada kenyataannya, sebuah kebijakan yang diambil sebuah Negara ter