47
BAB I LAPORAN KASUS I. IDENTITAS Pasien Nama : An. F Umur : 13 tahun Jenis kelamin : Laki-laki Alamat : Sragi, Sukorejo Pekerjaan : Pelajar Status perkawinan : Belum menikah Agama : Islam Suku : Jawa Tanggal pemeriksaan : 17 Oktober 2014 No. RM : 0638xx II. ANAMNESIS A. Keluhan Utama Nyeri telinga kanan. B. Riwayat Penyakit Sekarang Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 17 Oktober 2014 di poli THT. Pasien datang ke poli THT RSUD dr. Harjono Ponorogo dengan keluhan nyeri pada telinga kanan sejak 1 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan penurunan pendengaran dan telinga terasa penuh atau 1

Laporan Kasus OED-AD

  • Upload
    ivan-ho

  • View
    229

  • Download
    0

Embed Size (px)

DESCRIPTION

oed

Citation preview

BAB I

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS

Pasien Nama : An. F

Umur : 13 tahun

Jenis kelamin: Laki-laki

Alamat: Sragi, Sukorejo

Pekerjaan: Pelajar

Status perkawinan: Belum menikah

Agama: Islam

Suku: Jawa

Tanggal pemeriksaan: 17 Oktober 2014

No. RM: 0638xx

II. ANAMNESIS

A. Keluhan Utama

Nyeri telinga kanan.

B. Riwayat Penyakit Sekarang

Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 17 Oktober 2014 di poli THT. Pasien datang ke poli THT RSUD dr. Harjono Ponorogo dengan keluhan nyeri pada telinga kanan sejak 1 hari yang lalu. Pasien juga mengeluhkan penurunan pendengaran dan telinga terasa penuh atau gembrebeg. Pasien juga mengaku sedang batuk dan pilek sejak 3 hari yang lalu. Pasien juga mengeluh mengalami demam dan pusing. Tidak ada keluhan lain pada hidung, seperti nyeri, mimisan, dan gangguan membau. Tidak ada keluhan pada tenggorokan, seperti nyeri tenggorok, nyeri telan, sulit menelan, rasa mengganjal pada tenggorokan, suara sengau, sakit gigi, keluar ludah banyak, nafas berbau.

C. Riwayat penyakit dahulu

Riwayat batuk lama: disangkal

Riwayat hipertensi : disangkal

Riwayat diabetes melitus : disangkal

Riwayat asma : disangkal

Riwayat alergi : disangkal

Riwayat sakit gigi: disangkal

D. Riwayat keluarga

Riwayat keluhan serupa dalam keluarga : disangkal

Riwayat alergi dalam keluarga : disangkal

Riwayat asma dalam keluarga : disangkal

Riwayat hipertensi dalam keluarga : disangkal

Riwayat diabetes melitus dalam keluarga: disangkal

III. Pemeriksaan Fisik

A. Status Generalis

Keadaan Umum: Compos Mentis

Vital Sign

a. Tekanan Darah: 120/90 mmHg

b. Nadi: 80x/menit

c. RR: 20x/menit

d. Suhu: 36,2OC

e. Berat Badan : 40 kg

B. Status Interna

a. Jantung: BJ I-II regular, bising jantung (-)

b. Paru-paru: simetris, fremitus (+/+), sonor, SD vesikuler

c. Abdomen: simetris, peristaltic usus normal, timpani, NT (-)

d. Ekstremitas: edema (-), clubbing finger (-)

C. Status Lokalis

1. Telinga

a. Pemeriksaan telinga luar

Auricula ADS

1) Bentuk dan ukuran: normal/normal

2) Benjolan: -/-

3) Edema: -/-

4) Hiperemis: -/-

5) Sikatrik: -/-

6) Tragus pain: -/-

7) Nyeri tarik aurikuler: -/-

8) Nyeri pre/ retro aurikuler: -/-

Canalis auditoris eksterna ADS

1) Serumen: +/+

2) Laserasi: -/-

3) Tumor: -/-

4) Inflamasi: -/-

5) Discharge: +/-

b. Telinga Tengah ADS

Kanan

Kiri

Membran timpani

Bulging,hiperemis(-), retraksi(-)

Dalam batas normal

Discharge

Purulent, darah (-)

Dalam batas normal

Mastoid

Tidak ada nyeri tekan, tanda peradangan (-)

Tidak ada nyeri tekan, tanda peradangan (-)

Perforasi

(-)

(-)

Cone of light

(-)

(+)

c. Telinga Dalam ADS : tidak dilakukan pemeriksaan

2. Hidung

a. Pemeriksaan hidung luar

1) Tidak terdapat kelainan congenital pada hidung

2) Tidak terdapat jaringan parut/ sikatrikpada hidung

3) Pada palpasi tidak terdapat nyeri tekan

4) Tidak terdapat tumor

5) Tidak terdapat laserasi

b. Rinoskopi anterior

1) Mukosa : hiperemis (+/+), edema(+/-)

2) Konka: kemerahan

3) Septum deviasi: normal

4) Discharge: serous, darah(-), tidak berbau

5) Tumor: (-/-)

6) Sinus paranasal: (-/-)

c. Rinoskopi posterior

1) Dinding belakang:

2) Muara tuba eusthachii: Tidak dilakukan

3) Adenoid: pemeriksaan

4) Tumor:

3. Tenggorok

a. Pemeriksaan cavum oris

1) Bibir: dalam batas normal

2) Gigi: gigi lengkap

3) Uvula : ditengah,panjang uvula dalam batas

normal

4) Mukosa lidah: dalam batas normal

5) Palatum mole: edema (-)

6) Palatum durum: dalam batas normal

b. Pemeriksaan orofaring

1) Arch faring: dalam batas normal

2) Mukosa faring posterior: hiperemis (-)

3) Tonsil

a. Pembesaran: T1/T2

b. Warna: merah muda

c. Kripte: tidak ditemukan

d. Detritus: tidak ditemukan

4) Kepala dan leher

a. Kepala

1) Konjungtiva anemis: -/-

2) Sclera ikterik: -/-

3) Nafas cupping hidung: -/-

b. Leher

1) Retraksi: -/-

2) Deviasi trachea: -/-

3) Pembesaran Kelenjar limfe: -/-

4) Nyeri Tekan: -/-

5) Massa: -/-

IV. Resume Anamnesis dan Pemeriksaan

Pasien datang dengan keluhan nyeri pada telinga kanan sejak 1 hari yang lalu, penurunan pendengaran, telinga terasa penuh atau gembrebeg, demam, pusing. riwayat batuk dan pilek sejak 3 hari yang lalu.

Pada pemeriksaan didapatkan membrane timpani kanan bulging, hiperemis, discharge purulen, perforasi (-), tragus pain (-). Didapatkan serumen pada auris dekstra et sinistra. Pada nasal dekstra et sinistra mukosa hiperemis, edem, discharge serous. Pada orofaring ditemukan tonsil sebelah kiri tampak membesar (T1/T2).

V. Diagnosis

Suspec Otitis Media Akut stadium supurasi ausris dekstra

VI. Dignosis Banding

1. Suspec Otitis Media Akut stadium supurasi ausris dekstra

2. Otitis Media Purulenta

VII. Rencana pemeriksaan penunjang dan tambahan

1. Audiometri

2. Foto rontgen mastoid

VIII. Terapi

1. Parasintesis aurikula dekstra

2. Antibiotik: Cefadroksil 3x500mg

3. Kortikosteroid: Metilprednisolon 3x1

4. Antihistamin: Cetirizin 2x1

IX. Edukasi

1. Menjaga higinitas

2. Telinga kanan-kiri jangan kena air

3. Jangan mengorek telinga terlalu dalam

4. Jika pilek segera diterapi

X. Prognosis

Quo ad vitam: ad bonam

Quo ad fungtionam: ad malam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Definisi Otitis Media

Otitis Media adalah peradangan pada sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media berdasarkan gejalanya dibagi atas otitis media supuratif dan otitis media non supuratif, di mana masing-masing memiliki bentuk yang akut dan kronis. Selain itu, juga terdapat jenis otitis media spesifik, seperti otitis media tuberkulosa, otitis media sifilitika. Otitis media yang lain adalah otitis media adhesiva (Djaafar, 2007).

Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan gejala dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga dijumpai efusi telinga tengah (Buchman, 2003). Terjadinya efusi telinga tengah atau inflamasi telinga tengah ditandai dengan membengkak pada membran timpani atau bulging, mobilitas yang terhad pada membran timpani, terdapat cairan di belakang membran timpani, dan otore (Kerschner, 2007).

Klasifikasi

Gambar 1. Skema Pembagian Otitis Media

Gambar 2. Skema Pembagian Otitis Media Berdasarkan Gejala

Etiologi

1. Bakteri

Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut penelitian, 65-75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah. Kasus lain tergolong sebagai non- patogenik karena tidak ditemukan mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media tersering adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh Haemophilus influenzae (25-30%) dan Moraxella catarhalis (10-15%). Kira-kira 5% kasus dijumpai patogen-patogen yang lain seperti Streptococcus pyogenes (group A beta- hemolytic), Staphylococcus aureus, dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani rawat inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak balita. Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama dengan yang dijumpai pada anak-anak (Kerschner, 2007).

2. Virus

Virus juga merupakan penyebab OMA. Virus dapat dijumpai tersendiri atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling sering dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV), influenza virus, atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15% dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya (Kerschner, 2007). Dengan menggunakan teknik polymerase chain reaction (PCR) dan virus specific enzyme-linked immunoabsorbent assay (ELISA), virus-virus dapat diisolasi dari cairan telinga tengah pada anak yang menderita OMA pada 75% kasus (Buchman, 2003).

Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya otitis media adalah umur, jenis kelamin, ras, faktor genetik, status sosioekonomi serta lingkungan, asupan air susu ibu (ASI) atau susu formula, lingkungan merokok, kontak dengan anak lain, abnormalitas kraniofasialis kongenital, status imunologi, infeksi bakteri atau virus di saluran pernapasan atas, disfungsi tuba Eustachius, inmatur tuba Eustachius dan lain-lain (Kerschner, 2007).

Faktor umur juga berperan dalam terjadinya OMA. Peningkatan insidens OMA pada bayi dan anak-anak kemungkinan disebabkan oleh struktur dan fungsi tidak matang atau imatur tuba Eustachius. Selain itu, sistem pertahanan tubuh atau status imunologi anak juga masih rendah. Insidens terjadinya otitis media pada anak laki-laki lebih tinggi dibanding dengan anak perempuan. Anak-anak pada ras Native American, Inuit, dan Indigenous Australian menunjukkan prevalensi yang lebih tinggi dibanding dengan ras lain. Faktor genetik juga berpengaruh. Status sosioekonomi juga berpengaruh, seperti kemiskinan, kepadatan penduduk, fasilitas higiene yang terbatas, status nutrisi rendah, dan pelayanan pengobatan terbatas, sehingga mendorong terjadinya OMA pada anak- anak. ASI dapat membantu dalam pertahanan tubuh. Oleh karena itu, anak-anak yang kurangnya asupan ASI banyak menderita OMA. Lingkungan merokok menyebabkan anak-anak mengalami OMA yang lebih signifikan dibanding dengan anak-anak lain. Dengan adanya riwayat kontak yang sering dengan anak-anak lain seperti di pusat penitipan anak-anak, insidens OMA juga meningkat. Anak dengan adanya abnormalitas kraniofasialis kongenital mudah terkena OMA karena fungsi tuba Eustachius turut terganggu, anak mudah menderita penyakit telinga tengah. Otitis media merupakan komplikasi yang sering terjadi akibat infeksi saluran napas atas, baik bakteri atau virus (Kerschner, 2007).

Gejala Klinis

Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta umur pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga, di samping suhu tubuh yang tinggi. Biasanya terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau rasa kurang mendengar. Pada bayi dan anak kecil, gejala khas OMA adalah suhu tubuh tinggi dapat mencapai 39,5C (pada stadium supurasi), anak gelisah dan sukar tidur, tiba-tiba anak menjerit waktu tidur, diare, kejang-kejang dan kadang-kadang anak memegang telinga yang sakit. Bila terjadi ruptur membran timpani, maka sekret mengalir ke liang telinga, suhu tubuh turun dan anak tidur tenang (Djaafar, 2007).

Penilaian klinik OMA digunakan untuk menentukan berat atau ringannya suatu penyakit. Penilaian berdasarkan pada pengukuran temperatur, keluhan orang tua pasien tentang anak yang gelisah dan menarik telinga atau tugging, serta membran timpani yang kemerahan dan membengkak atau bulging. Menurut Dagan (2003) dalam Titisari (2005), skor OMA adalah seperti berikut:

Tabel 1. Skor OMA

Skor

Suhu

Gelisah

Tarik telinga

Kemerahan Pada Membran Timpani

Bengkak Pada Membran Timpani

0

< 38,0

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

Tidak ada

1

38,0 38,5

Ringan

Ringan

Ringan

Ringan

2

38,6 39,0

Sedang

Sedang

Sedang

Sedang

3

> 39,0

Berat

Berat

Berat

Berat, termasuk otore

Penilaian derajat OMA dibuat berdasarkan skor. Bila didapatkan angka 0 hingga 3, berarti OMA ringan dan bila melebihi 3, berarti OMA berat.

Pembagian OMA lainnya yaitu OMA berat apabila terdapat otalgia berat atau sedang, suhu lebih atau sama dengan 39C oral atau 39,5C rektal. OMA ringan bila nyeri telinga tidak hebat dan demam kurang dari 39C oral atau 39,5C rektal (Titisari, 2005).

Fisiologi, Patologi dan Patogenesis

Tuba Eustachius

Fungsi abnormal tuba Eustachius merupakan faktor yang penting pada otitis media. Tuba Eustachius adalah saluran yang menghubungkan rongga telinga tengah dengan nasofaring, yang terdiri atas tulang rawan pada dua pertiga ke arah nasofaring dan sepertiganya terdiri atas tulang (Djaafar, 2007).

Tuba Eustachius biasanya dalam keadaan steril serta tertutup dan baru terbuka apabila udara diperlukan masuk ke telinga tengah atau pada saat mengunyah, menelan dan menguap. Pembukaan tuba dibantu oleh kontraksi muskulus tensor veli palatini apabila terjadi perbedaan tekanan telinga tengah dan tekanan udara luar antara 20 sampai dengan 40 mmHg. Tuba Eustachius mempunyai tiga fungsi penting, yaitu ventilasi, proteksi, dan drainase sekret. Ventilasi berguna untuk menjaga agar tekanan udara dalam telinga tengah selalu sama dengan tekanan udara luar. Proteksi, yaitu melindung telinga tengah dari tekanan suara, dan menghalangi masuknya sekret atau cairan dari nasofaring ke telinga tengah. Drainase bertujuan untuk mengalirkan hasil sekret cairan telinga tengah ke nasofaring (Djaafar, 2007; Kerschner, 2007).

Patogenesis OMA

Pathogenesis OMA pada sebagian besar anak-anak dimulai oleh infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran napas atas, termasuk nasofaring dan tuba Eustachius. Tuba Eustachius menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba Eustachius.

Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba Eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Ini merupakan faktor pencetus terjadinya OMA dan otitis media dengan efusi. Bila tuba Eustachius tersumbat, drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret.

Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba Eustachius. Virus respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu pertahanan imum pasien terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi lokal, perndengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang- tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani akibat tekanannya yang meninggi (Kerschner, 2007).

Obstruksi tuba Eustachius dapat terjadi secara intraluminal dan ekstraluminal. Faktor intraluminal adalah seperti akibat ISPA, dimana proses inflamasi terjadi, lalu timbul edema pada mukosa tuba serta akumulasi sekret di telinga tengah. Selain itu, sebagian besar pasien dengan otitis media dihubungkan dengan riwayat fungsi abnormal dari tuba Eustachius, sehingga mekanisme pembukaan tuba terganggu. Faktor ekstraluminal seperti tumor, dan hipertrofi adenoid (Kerschner, 2007).

Penyebab-penyebab Anak Mudah Terserang OMA

Dipercayai bahwa anak lebih mudah terserang OMA dibanding dengan orang dewasa. Ini karena pada anak dan bayi, tuba lebih pendek, lebih lebar dan kedudukannya lebih horizontal dari tuba orang dewasa, sehingga infeksi saluran pernapasan atas lebih mudah menyebar ke telinga tengah. Panjang tuba orang dewasa 37,5 mm dan pada anak di bawah umur 9 bulan adalah 17,5 mm (Djaafar, 2007). Ini meningkatkan peluang terjadinya refluks dari nasofaring menganggu drainase melalui tuba Eustachius.

Insidens terjadinya otitis media pada anak yang berumur lebih tua berkurang, karena tuba telah berkembang sempurna dan diameter tuba Eustschius meningkat, sehingga jarang terjadi obstruksi dan disfungsi tuba. Selain itu, sistem pertahanan tubuh anak masih rendah sehingga mudah terkena ISPA lalu terinfeksi di telinga tengah. Adenoid merupakan salah satu organ di tenggorokan bagian atas yang berperan dalam kekebalan tubuh. Pada anak, adenoid relatif lebih besar dibanding orang dewasa.

Posisi adenoid yang berdekatan dengan muara tuba Eustachius sehingga adenoid yang besar dapat mengganggu terbukanya tuba Eustachius. Selain itu, adenoid dapat terinfeksi akibat ISPA kemudian menyebar ke telinga tengah melalui tuba Eustachius (Kerschner, 2007).

Gambar 3. Perbedaan Antara Tuba Eustachius pada Anak-anak dan Orang Dewasa

Stadium OMA

OMA dalam perjalanan penyakitnya dibagi menjadi lima stadium, bergantung pada perubahan pada mukosa telinga tengah, yaitu stadium oklusi tuba Eustachius, stadium hiperemis atau stadium pre-supurasi, stadium supurasi, stadium perforasi dan stadium resolusi (Djaafar, 2007).

Gambar 4. Membran Timpani Normal

1. Stadium Oklusi Tuba Eustachius

Pada stadium ini, terdapat sumbatan tuba Eustachius yang ditandai oleh retraksi membran timpani akibat terjadinya tekanan intratimpani negatif di dalam telinga tengah, dengan adanya absorpsi udara. Retraksi membran timpani terjadi dan posisi malleus menjadi lebih horizontal, refleks cahaya juga berkurang. Edema yang terjadi pada tuba Eustachius juga menyebabkannya tersumbat. Selain retraksi, membran timpani kadang- kadang tetap normal dan tidak ada kelainan, atau hanya berwarna keruh pucat. Efusi mungkin telah terjadi tetapi tidak dapat dideteksi. Stadium ini sulit dibedakan dengan tanda dari otitis media serosa yang disebabkan oleh virus dan alergi. Tidak terjadi demam pada stadium ini (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

2. Stadium Hiperemis atau Stadium Pre-supurasi

Pada stadium ini, terjadi pelebaran pembuluh darah di membran timpani, yang ditandai oleh membran timpani mengalami hiperemis, edema mukosa dan adanya sekret eksudat serosa yang sulit terlihat. Hiperemis disebabkan oleh oklusi tuba yang berpanjangan sehingga terjadinya invasi oleh mikroorganisme piogenik. Proses inflamasi berlaku di telinga tengah dan membran timpani menjadi kongesti. Stadium ini merupakan tanda infeksi bakteri yang menyebabkan pasien mengeluhkan otalgia, telinga rasa penuh dan demam. Pendengaran mungkin masih normal atau terjadi gangguan ringan, tergantung dari cepatnya proses hiperemis. Hal ini terjadi karena terdapat tekanan udara yang meningkat di kavum timpani. Gejala-gejala berkisar antara dua belas jam sampai dengan satu hari (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Gambar 5. Membran Timpani Hiperemis

3. Stadium Supurasi

Stadium supurasi ditandai oleh terbentuknya sekret eksudat purulen atau bernanah di telinga tengah dan juga di sel-sel mastoid. Selain itu edema pada mukosa telinga tengah menjadi makin hebat dan sel epitel superfisial terhancur. Terbentuknya eksudat yang purulen di kavum timpani menyebabkan membran timpani menonjol atau bulging ke arah liang telinga luar.

Pada keadaan ini, pasien akan tampak sangat sakit, nadi dan suhu meningkat serta rasa nyeri di telinga bertambah hebat. Pasien selalu gelisah dan tidak dapat tidur nyenyak. Dapat disertai dengan gangguan pendengaran konduktif. Pada bayi demam tinggi dapat disertai muntah dan kejang.

Stadium supurasi yang berlanjut dan tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan iskemia membran timpani, akibat timbulnya nekrosis mukosa dan submukosa membran timpani. Terjadi penumpukan nanah yang terus berlangsung di kavum timpani dan akibat tromboflebitis vena-vena kecil, sehingga tekanan kapiler membran timpani meningkat, lalu menimbulkan nekrosis. Daerah nekrosis terasa lebih lembek dan berwarna kekuningan atau yellow spot.

Keadaan stadium supurasi dapat ditangani dengan melakukan miringotomi. Bedah kecil ini kita lakukan dengan menjalankan insisi pada membran timpani sehingga nanah akan keluar dari telinga tengah menuju liang telinga luar. Luka insisi pada membran timpani akan menutup kembali, sedangkan apabila terjadi ruptur, lubang tempat perforasi lebih sulit menutup kembali. Membran timpani mungkin tidak menutup kembali jikanya tidak utuh lagi (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Gambar 6. Membran Timpani Bulging dengan Pus Purulen

4. Stadium Perforasi

Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah yang jumlahnya banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak.

Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Gambar 7. Membran Timpani Peforasi

5. Stadium Resolusi

Keadaan ini merupakan stadium akhir OMA yang diawali dengan berkurangnya dan berhentinya otore. Stadium resolusi ditandai oleh membran timpani berangsur normal hingga perforasi membran timpani menutup kembali dan sekret purulen akan berkurang dan akhirnya kering. Pendengaran kembali normal. Stadium ini berlangsung walaupun tanpa pengobatan, jika membran timpani masih utuh, daya tahan tubuh baik, dan virulensi kuman rendah.

Apabila stadium resolusi gagal terjadi, maka akan berlanjut menjadi otitis media supuratif kronik. Kegagalan stadium ini berupa perforasi membran timpani menetap, dengan sekret yang keluar secara terus-menerus atau hilang timbul.

Otitis media supuratif akut dapat menimbulkan gejala sisa berupa otitis media serosa. Otitis media serosa terjadi jika sekret menetap di kavum timpani tanpa mengalami perforasi membran timpani (Djaafar, 2007; Dhingra, 2007).

Diagnosis

Kriteria Diagnosis OMA

Menurut Kerschner (2007), kriteria diagnosis OMA harus memenuhi tiga hal berikut, yaitu:

1. Penyakitnya muncul secara mendadak dan bersifat akut.

2. Ditemukan adanya tanda efusi. Efusi merupakan pengumpulan cairan di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti menggembungnya membran timpani atau bulging, terbatas atau tidak ada gerakan pada membran timpani, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, dan terdapat cairan yang keluar dari telinga.

3. Terdapat tanda atau gejala peradangan telinga tengah, yang dibuktikan dengan adanya salah satu di antara tanda berikut, seperti kemerahan atau erythema pada membran timpani, nyeri telinga atau otalgia yang mengganggu tidur dan aktivitas normal.

Menurut Rubin et al. (2008), keparahan OMA dibagi kepada dua kategori, yaitu ringan-sedang, dan berat. Kriteria diagnosis ringan-sedang adalah terdapat cairan di telinga tengah, mobilitas membran timpani yang menurun, terdapat bayangan cairan di belakang membran timpani, membengkak pada membran timpani, dan otore yang purulen. Selain itu, juga terdapat tanda dan gejala inflamasi pada telinga tengah, seperti demam, otalgia, gangguan pendengaran, tinitus, vertigo dan kemerahan pada membran timpani. Tahap berat meliputi semua kriteria tersebut, dengan tambahan ditandai dengan demam melebihi 39,0C, dan disertai dengan otalgia yang bersifat sedang sampai berat.

Perbedaan OMA dan Otitis Media dengan Efusi

OMA dapat dibedakan dari otitis media dengan efusi yang dapat menyerupai OMA. Efusi telinga tengah (middle ear effusion) merupakan tanda yang ada pada OMA dan otitis media dengan efusi. Efusi telinga tengah dapat menimbulkan gangguan pendengaran dengan 0-50 decibels hearing loss.

Table 2. Perbedaan Gejala dan Tanda Antara OMA dan Otitis Media dengan Efusi

Gejala dan tanda

Otitis Media Akut

Otitis Media dengan Efusi

Nyeri telinga (otalgia), menarik telinga (tugging)

+

-

Inflamasi akut, demam

+

-

Efusi telinga tengah

+

+

Membran timpani membengkak (bulging), rasa penuh di telinga

+/-

-

Gerakan membran timpani berkurang atau tidak ada

+

+

Warna membran timpani abnormal seperti menjadi putih, kuning, dan biru

+

+

Gangguan pendengaran

+

+

Otore purulen akut

+

-

Kemerahan membrane timpani, erythema

+

-

Penatalaksanaa

Pengobatan

Penatalaksanaan OMA tergantung pada stadium penyakitnya. Pengobatan pada stadium awal ditujukan untuk mengobati infeksi saluran napas, dengan pemberian antibiotik, dekongestan lokal atau sistemik, dan antipiretik. Tujuan pengobatan pada otitis media adalah untuk menghindari komplikasi intrakrania dan ekstrakrania yang mungkin terjadi, mengobati gejala, memperbaiki fungsi tuba Eustachius, menghindari perforasi membran timpani, dan memperbaiki sistem imum lokal dan sistemik (Titisari, 2005).

Pada stadium oklusi tuba, pengobatan bertujuan untuk membuka kembali tuba Eustachius sehingga tekanan negatif di telinga tengah hilang. Diberikan obat tetes hidung HCl efedrin 0,5 % dalam larutan fisiologik untuk anak kurang dari 12 tahun atau HCl efedrin 1 % dalam larutan fisiologis untuk anak yang berumur atas 12 tahun pada orang dewasa. Sumber infeksi harus diobati dengan pemberian antibiotik (Djaafar, 2007).

Pada stadium hiperemis dapat diberikan antibiotik, obat tetes hidung dan analgesik. Dianjurkan pemberian antibiotik golongan penisilin atau eritromisin. Jika terjadi resistensi, dapat diberikan kombinasi dengan asam klavulanat atau sefalosporin. Untuk terapi awal diberikan penisilin intramuskular agar konsentrasinya adekuat di dalam darah sehingga tidak terjadi mastoiditis terselubung, gangguan pendengaran sebagai gejala sisa dan kekambuhan.

Antibiotik diberikan minimal selama 7 hari. Bila pasien alergi tehadap penisilin, diberikan eritromisin. Pada anak, diberikan ampisilin 50-100 mg/kgBB/hari yang terbagi da lam empat dosis, amoksisilin atau eritromisin masing-masing 50 mg/kgBB/hari yang terbagi dalam 3 dosis (Djaafar, 2007).

Pada stadium supurasi, selain diberikan antibiotik, pasien harus dirujuk untuk melakukan miringotomi bila membran timpani masih utuh sehingga gejala cepat hilang dan tidak terjadi ruptur (Djaafar, 2007).

Pada stadium perforasi, sering terlihat sekret banyak keluar, kadang secara berdenyut atau pulsasi. Diberikan obat cuci telinga (ear toilet) H2O2 3% selama 3 sampai dengan 5 hari serta antibiotik yang adekuat sampai 3 minggu. Biasanya sekret akan hilang dan perforasi akan menutup kembali dalam 7 sampai dengan 10 hari (Djaafar, 2007).

Pada stadium resolusi, membran timpani berangsur normal kembali, sekret tidak ada lagi, dan perforasi menutup. Bila tidak terjadi resolusi biasanya sekret mengalir di liang telinga luar melalui perforasi di membran timpani. Antibiotik dapat dilanjutkan sampai 3 minggu. Bila keadaan ini berterusan, mungkin telah terjadi mastoiditis (Djaafar, 2007).

Sekitar 80% kasus OMA sembuh dalam 3 hari tanpa pemberian antibiotik. Observasi dapat dilakukan. Antibiotik dianjurkan jika gejala tidak membaik dalam dua sampai tiga hari, atau ada perburukan gejala. Ternyata pemberian antibiotik yang segera dan dosis sesuai dapat terhindar dari tejadinya komplikasi supuratif seterusnya. Masalah yang muncul adalah risiko terbentuknya bakteri yang resisten terhadap antibiotik meningkat. Menurut American Academy of Pediatrics (2004) dalam Kerschner (2007), mengkategorikan OMA yang dapat diobservasi dan yang harus segera diterapi dengan antibiotik sebagai berikut.

Table 3. Kriteria Terapi Antibiotik dan Observasi pada Anak dengan OMA

Usia

Diagnosis Pasti (certain)

Diagnosis meragukan (uncertain)

Kurang dari 6 bulan

Antibiotik

Antibiotik

6 bulan sampai 2 tahun

Antibiotik

Antibiotik jika gejala berat, observasi jika gejala ringan

2 tahun ke atas

Antibiotik jika gejala berat, observasi jika gejala ringan

Observasi

Diagnosis pasti OMA harus memiliki tiga kriteria, yaitu bersifat akut, terdapat efusi telinga tengah, dan terdapat tanda serta gejala inflamasi telinga tengah. Gejala ringan adalah nyeri telinga ringan dan demam kurang dari 39C dalam 24 jam terakhir. Sedangkan gejala berat adalah nyeri telinga sedang-berat atau demam 39C. Pilihan observasi selama 48-72 jam hanya dapat dilakukan pada anak usia enam bulan sampai dengan dua tahun, dengan gejala ringan saat pemeriksaan, atau diagnosis meragukan pada anak di atas dua tahun. Follow-up dilaksanakan dan pemberian analgesia seperti asetaminofen dan ibuprofen tetap diberikan pada masa observasi (Kerschner, 2007).

Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan first-line terapi dengan pemberian 80mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal selama lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus penumoniae. Jika pasien alergi ringan terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti cefdinir. Second-line terapi seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus penumoniae (Kerschner, 2007). Pneumococcal 7- valent conjugate vaccine dapat dianjurkan untuk menurunkan prevalensi otitis media (American Academic of Pediatric, 2004).

Pembedahan

Terdapat beberapa tindakan pembedahan yang dapat menangani OMA rekuren, seperti miringotomi dengan insersi tuba timpanosintesis, dan adenoidektomi (Buchman, 2003).

1. Miringotomi

Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani, supaya terjadi drainase sekret dari telinga tengah ke liang telinga luar. Syaratnya adalah harus dilakukan secara dapat dilihat langsung, anak harus tenang sehingga membran timpani dapat dilihat dengan baik. Lokasi miringotomi ialah di kuadran posterior-inferior. Bila terapi yang diberikan sudah adekuat, miringotomi tidak perlu dilakukan, kecuali jika terdapat pus di telinga tengah (Djaafar, 2007). Indikasi miringostomi pada anak dengan OMA adalah nyeri berat, demam, komplikasi OMA seperti paresis nervus fasialis, mastoiditis, labirinitis, dan infeksi sistem saraf pusat.

Miringotomi merupakan terapi third-line pada pasien yang mengalami kegagalan terhadap dua kali terapi antibiotik pada satu episode OMA. Salah satu tindakan miringotomi atau timpanosintesis dijalankan terhadap anak OMA yang respon kurang memuaskan terhadap terapi second-line, untuk menidentifikasi mikroorganisme melalui kultur (Kerschner, 2007).

2. Timpanosintesis

Menurut Bluestone (1996) dalam Titisari (2005), timpanosintesis merupakan pungsi pada membran timpani, dengan analgesia lokal supaya mendapatkan sekret untuk tujuan pemeriksaan. Indikasi timpanosintesis adalah terapi antibiotik tidak memuaskan, terdapat komplikasi supuratif, pada bayi baru lahir atau pasien yang sistem imun tubuh rendah. Menurut Buchman (2003), pipa timpanostomi dapat menurun morbiditas OMA seperti otalgia, efusi telinga tengah, gangguan pendengaran secara signifikan dibanding dengan plasebo dalam tiga penelitian prospertif, randomized trial yang telah dijalankan.

3. AdenoidektomiAdenoidektomi efektif dalam menurunkan risiko terjadi otitis media dengan efusi dan OMA rekuren, pada anak yang pernah menjalankan miringotomi dan insersi tuba timpanosintesis, tetapi hasil masih tidak memuaskan. Pada anak kecil dengan OMA rekuren yang tidak pernah didahului dengan insersi tuba, tidak dianjurkan adenoidektomi, kecuali jika terjadi obstruksi jalan napas dan rinosinusitis rekuren (Kerschner, 2007).

Komplikasi

Sebelum adanya antibiotik, OMA dapat menimbulkan komplikasi, mulai dari abses subperiosteal sampai abses otak dan meningitis. Sekarang semua jenis komplikasi tersebut biasanya didapat pada otitis media supuratif kronik. Mengikut Shambough (2003) dalam Djaafar (2005), komplikasi OMA terbagi kepada komplikasi intratemporal (perforasi membran timpani, mastoiditis akut , paresis nervus fasialis, labirinitis, petrositis), ekstratemporal (abses subperiosteal), dan intracranial (abses otak, tromboflebitis).

Pencegahan

Terdapat beberapa hal yang dapat mencegah terjadinya OMA. Mencegah ISPA pada bayi dan anak-anak, menangani ISPA dengan pengobatan adekuat, menganjurkan pemberian ASI minimal enam bulan, menghindarkan pajanan terhadap lingkungan merokok, dan lain-lain (Kerschner, 2007).

BAB III

PEMBAHASAN

Otitis Media merupakan suatu peradangan pada telinga tengah. Otitis dapat disebabkan oleh beberapa factor diantaranya yang paling sering adalah sumbatan tuba eustachius akibat infeksi. Selain itu, otitis media dapat juga merupakan suatu komplikasiakibat penyakit lain misalnya rhinitis, sinusitis, faringitis, otitis eksterna, dan lain-lain. Gejala yang sering ditimbulkan pada otitis media biasanya adalah rasa nyeri, pendengaran berkurang, demam, pusing, juga kadang disertai mendengar suara dengung (tinnitus).

Pada kasus diatas pasien mengalami gejala nyeri pada telinga kanan sejak satu hari yang lalu, yang disertai dengan batuk pilek sejak 3 hari yang lalu.

Diagnosis Otitis Media Akut Stadium Supurasi didapatkan melalui hasil anamnesis dan pemeriksaan fiaik telinga yang dilakukan. Pada anamnesis, tergambar jelas mengenai etiologi dan perjalanan penyakit pasien. Anamnesis adanya riwayat batuk, pilek sebelum keluhan telinga muncul menunjukkan penyebab terjadinya infeksi pada telinga tengah. Infeksi pada hidung dan tenggorokan dapat menyebabkan gangguan tuba auditiva yang selanjutnya menyebabkan tekanan negative pada telinga tengah, bermanifestasi sebagai rasa penuh pada telinga yang ditrasakan pasien. Sumbatan tuba terus berlanjut menyebabkan hipersekresi sel goblet pada mukosa telinga tengah. Sekret merupakan media pertumbuhan bakteri yang baik, kemudian timbul proses infeksi pada telinga tengah. Rasa nyeri pada telinga akibat proses inflamasi. Hasil anamnesis menunjukkan proses perjalanan penyakit yang sesuai dengan perjalanan penyakit pada OMA mulai dari stadium oklusi tuba, stadium hiperemis, dan stadium supurasi. Pemeriksaan fisik telinga mengkonfirmasi adanya proses inflamasi akibat infeksi pada telinga tengah. Membrane timpani tampak edema, terdapat eksudat purulent, dan membrane timpani terdapat bulging. Riwayat keluhan telinga yang baru terjadi selama satu hari yang lalu, menunjukkan proses akut pada telinga.

Pasien juga mengeluhkan demam sejak 3 hari yang lalu. Demam ini kemungkinan dikarenakan adanya reaksi sistemik akibat infeksi pada telinga tengah, yang kemudian diikuti dengan nyeri pada telinga kanan pasien akibat adanya proses inflamasi.

Sesuai dengan Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok (2001) maka gejala Otitis Media ini diklasifikasikan sesuai dengan proses patologi yang terjadi pada telinga maka gejala yang timbul pada pasien dapat digolongkan pada stadium supurasi ketika pasien mengalami demam tinggi disertai nyeri pada telinga dimana hal tersebut disebabkan oleh edema hebat pada mukosa tengah dan hancurnya sel epitel superficial, serta terbentuknya eksudat pada kavum timpani karena jika secret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi local, pendengaran dapat terganggu karena membrane timpani dan tulang-tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak inilah yang akhirnya membuat pasien kesakitan karena tekanan pada saraf-saraf nyeri di daerah telinga tengah dan membrane timpani.

Pengobatan yang diberikan pada pasien diatas ialah pemberian antibiotic (cefadroksil), kortikosteroid ( metilprednisolon), dan antihistamin (cetirizin). Kemudian pasien diminta untuk control lagi 3 hari kemudian.

DAFTAR PUSTAKA

Alho, O., Laara, E., Oja, H., 1996. Public Health Impact of Various Risk Factors for Acute Otitis Media in Northern Finland. Am. J. Epidemiol 143 (11).

American Academy of Pediatrics and America Academy of Family Physicians, 2004. Diagnosis and Management of Acute Otitis Media. Pediatrics 113(5):1451-1465.

Berman, S., 1995. Otitis Media in Children. N Engl J Med 332 (23): 1560-1565.

Bluestone, C.D., Klein, J.O., 1996. Otitis Media, Atelektasis, and Eustachian Tube Dysfunction. In Bluestone, Stool, Kenna eds. Pediatric Otolaryngology. 3rd ed. London: WB Saunders, Philadelphia, 388-582.

Buchman, C.A., Levine, J.D., Balkany, T.J., 2003. Infection of the Ear. In: Lee, K.J., ed. Essential Otolaryngology Head and Neck Surgery. 8th ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc., 462-511.

Commisso, R., Romero-Orellano, F., Montanaro, P.B., Romero-Moroni, F., Romero-Diaz, R., 2000. Acute Otitis Media: Bacteriology and Bacterial Resistance in 205 Pediatric Patients. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 56: 23-31.

Djaafar, Z.A., Helmi, Restuti, R.D., 2007. Kelainan Telinga Tengah. Dalam: Soepardi, E.A., ed. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 64-86.

Hassan, R., 1985. Usaha Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA). Dalam: Hassan, R., ed. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 49-58.

Hassan, R., 1985. Usaha Kesejahteraan Sekolah. Dalam: Hassan, R., ed. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 59-62.

Homoe, P., Christensen, R.B., Bretlau, P., 1999. Acute Otitis Media and Sociomedical Risk factors Amongst Unselected Children in Greenland. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 49: 37-52.

Kerschner, J.E., 2007. Otitis Media. In: Kliegman, R.M., ed. Nelson Textbook of Pediatrics. 18th ed. USA: Saunders Elsevier, 2632-2646.

Klein, J.O., 2009. Acute Otitis Media in Children: Epidermiology, Pathogenesis, Clinical Manifestations, and Complications. Up to Date.

Madiyono, B., Moeslichan, S.M., Sastroasmoro, S., Budiman, I., Purwanto, S.H., 2008. Perkiraan Besar Sampel. Dalam: Sastroasmoro, S., ed. Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-3. Jakarta: Sagung Seto, 302-331.

Mora, R., Barbieri, M., Passali, G.C., Sovatzis, A., Mora, F., Cordone, M.P., 2002. A Preventive Measure for Otitis Media in Children with Upper Respiratory Tract Infections. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 63: 111-118.

Onion, D.K., Taylor, C., 1977. The Epidermiology of Recurrent Otitis Media. Am. J. Public Health 67 (5).

Revai, K., Dobbs, L.A., Nair, S., Patel, J.A., Grady, J.J., Chonmaitree, T., 2007. Incidence of Acute Otitis Media and Sinusitis Complicating Upper Respiratory Tract Infection: The Effect of Age. Pediatrics 119 (6).

Rubin, M.A., Gonzales, R., Sande, M.A., 2008. Pharyngitis, Sinusitis, Otitis, and Other Upper Respiratory Tract Infections. In: Fauci, A.S., ed. Harrysonss Principles of Internal Medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill Companies, Inc., 205-214.

Teele, D.W., Klein, J.O., Rosner, B,. The Greater Boston Otitis Media Study Group. Epidemiology of Otitis Media During the First Seven Years of Life in Children in Greater Boston: A Prospective, Cohort Study. J. Infect. Dis. 160 (1): 83-94.

Titisari, H., 2005. Prevalensi dan Sensitivitas Haemophilus Influenzae pada Otitis Media Akut di PSCM dan RSAB Harapan Kita. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

Vernacchio, L., Lesko, S.M., Vezina, R.M., Corwin, M.J., Hunt, C.E., Hoffman, H.J., Mitchell, A.A., 2004. Racial/Ethnic Disparities in the Diagnosis of Otitis Media in Infancy. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 68: 795-804.

Zakzuok, S.M., Jamal, T.S., Daghistani, K.J., 2002. Epidermiology of Acute Otitis Media Among Saudi Children. Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol. 62: 219-222

LAPORAN KASUS

SEORANG ANAK BERUSIA 13 TAHUN

DENGAN OTITIS MEDIA AKUT

Pembimbing

dr. Made Jeren, Sp.THT

Oleh

Oleh

Betty Wulandari (J500090055)

Devi Handayani (J500100080)

Ivan Kurniawan (J500100086)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU TELINGA HIDUNG TENGGOROK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

2014

LAPORAN KASUS

OTITIS MEDIA AKUT STADIUM SUPURASI

AURIS DEKSTRA

Telah disetujui dan disahkan oleh Bagian Program Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :

(..)

dr. Made Jeren, Sp.THT

()

dr. Made Jeren, Sp. THT

Disahkan Ketua Program Profesi :

(..)

dr. D. Dewi Nirlawati

1