View
260
Download
12
Embed Size (px)
DESCRIPTION
ljln
Citation preview
LAPORAN KASUS POLI
ILMU KESEHATAN JIWA
RSJD DR AMINO GONDOHUTOMO, SEMARANG
Oleh : Vincentius Adrian Madargerong (11.2014.143)
Mengetahui, Mengetahui,
Psikiater Pembimbing
dr. Widodo Sarjana, Sp.KJ dr. Endang Septiningsih, Sp.KJ
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA
RSJD DR AMINO GONDOHUTAMA, SEMARANG
SMF ILMU KESEHATAN JIWA FK UKRIDA
PERIODE 1 JUNI 2015 – 4 JULI 2015
STATUS PASIEN
I. Identitas PasienNama : Ny. MUmur : 41 tahunTempat, Tanggal Lahir : Demak, 03 Mei 1974Jenis Kelamin : PerempuanAlamat : Taman Sari, DemakAgama : IslamStatus Pernikahan : MenikahSuku : JawaPendidikan : SMPPekerjaan : Buruh PabrikTanggal Pemeriksaan : 8 Juni 2015- Identitas Keluarga
Nama : NyUmur : 30 tahunTempat, Tanggal Lahir : Demak, -Jenis Kelamin : PerempuanAlamat : Taman Sari, DemakAgama : IslamStatus Pernikahan : MenikahSuku : JawaPendidikan : S1Pekerjaan : Ibu Rumah TanggaHubungan dengan pasein : Adik Ipar
II. AnamnesisA. Keluhan Utama
Autoanamnesis : Sakit kepala, perut mual, rasa berdebar-debarAlloanamnesis : Sakit kepala dan sudah berobat ke beberapa dokter,
namun tidak ada hasilB. Riwayat Penyakit Sekarang
- Sebelum masuk rumah sakit sekitar awal 2013 pasien mulai mengeluh sakit kepala. Sakit kepala terutama dirasakan sehabis pulang kerja dengan alasan lelah habis lembur. Awalnya minum obat warung seperti Panadol, keluhan yang dirasakan dapat berkurang namun bila tidak minum obat, mengeluh sakit kepala lagi. Keluhan ini muncul disebabkan oleh masalah pekerjaan dimana pasien harus bekerja 8 jam dalam 1 hari, sedangkan target pekerjaan tidak memungkinkan untuk selesai dalam waktu tersebut sehingga pasien harus bekerja lembur untuk mencapai target, dan tidak mendapatkan gaji tambahan dari waktu lemburnya. Sampai di rumah pasien harus melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri dan ibu setelah pekerjaan yang melelahkan
selama sehari. Walaupun ada keluhan, pasien masih dapat melaksanakan fungsi peran, fungsi sosial, perawatan diri dan penggunaan waktu luang dengan baik tanpa ada hambatan (GAF 70).
- Pada tahun 2013 akhir menuju 2014 sebelum masuk rumah sakit, pasien memutuskan untuk mencari pertolongan karena sakit kepala yang dirasakan pasien tidak kunjung hilang dengan minum obat warung saja, maka dari itu pasien mencari pertolongan dengan berobat ke dokter umum. Berdasarkan pemeriksaan dan anamnesis, dokter tersebut menyimpulkan bahwa pasien tidak menderita sakit apapun dan tidak ditemukan kelainan sama sekali. Namun dokter tetap memberikan obat untuk mengatasi keluhan pasien. Sama dengan sebelumnya, keluhan hilang saat minum obat, namun saat sudah tidak minum obat maka keluhan akan kembali. Selama kurang lebih satu tahun itu pasien sudah berobat ke berbagai dokter untuk mengatasi keluhannya, pasien sudah berobat mulai dari dokter umum sampai kepada dokter spesialis seperti spesialis saraf dan spesialis penyakit dalam untuk mengadukan keluhanya. Namun setiap dokter menyatakan bahwa pasien normal dan tidak ada kelainan yang berarti dari keluhan pasien. Bahkan sudah dilakukan pemeriksaan penunjang seperti foto rontgen, CT-Scan, pemeriksaan laboratorium, dan EKG, namun hasil yang didapatkan adalah normal. Obat yang diberikan dari beberapa dokter memang dapat menghilangkan gejala sementara, namun keluhan tersebut dapat kembali setelah tidak minum obat. Keluhan sekarang disertai dengan dada yang terasa berdebar-debar, padahal dari pemeriksaan tidak di dapatkan hasil yang normal. Yang menjadi masalah untuk saat ini adalah masih dengan masalah pekerjaan, namun pasien sudah dapat sedikit melakukan penyesuaian dengan masalah tersebut. Pasien tidak mempunyai hendaya yang berarti dalam fungsi peran, fungsi sosial, perawatan diri dan penggunaan waktu luang, sehingga (GAF 70).
- Pada 1 hari sebelum masuk rumah sakit, pasien mengeluh sakit kepala terus menerus. Atas anjuran saudaranya pasien dibawa ke RSJD Amino Gondohutomo untuk diperiksakan. Saat ini pasien sudah tidak bekerja hampir 3 bulan lebih. Namun pasien masih dapat berhubungan baik dengan anggota keluarga, dengan masyarakat dan teman kerjanya. Pasien masih mau makan dan mandi dengan keinginan sendiri tanpa harus diminta, dan apabila ada waktu luang pasien menggunakannya untuk mengurusi urusan rumah sehari-hari. (GAF 60)
C. Riwayat Penyakit Dahulu- Riwayat Psikiatri
Pasien tidak pernah menderita kelainan jiwa sebelumnya, dan tidak pernah dirawat di rumah sakit jiwa sebelumnya.
- Riwayat Medis UmumRiwayat Hipertensi : disangkalRiwayat DM : disangkal
Riwayat Kejang : disangkalRiwayat Asma : disangkalRiwayat Trauma : disangkal
- Riwayat Obat-obatan dan NAPZAPasien mengaku tidak pernah menggunakan obat-obatan, NAPZA, merokok dan meminum alcohol sebelumnya.
D. Riwayat Pribadi dan Premorbid - Prenatal dan Perinatal
Pasien merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Pada saat kehamilan normal tidak ada keluhan dan tidak mengkonsumsi obat-obatan. Pasien termasuk anak yang diharapkan. Dan saat kelahiran pasien lahir sehat tanpa kelainan bawaan.
- Masa Anak Awal (0-3 tahun)Pasien dirawat oleh kedua orang tua. Perkembangan dan pertumbuhan pasien sesuai usia dan tidak ada kelainan.
- Masa Anak Pertengahan (3-7 tahun)Masuk SD usia 6 tahun, bisa bermain dengan teman sebaya di rumah dan di sekolahnya. Selama di sekolah hubungan dengan teman dan pengajar baik, mudah bergaul dan akademisnya tergolong baik.
- Masa Anak Akhir (7-11 tahun)Saat sekolah dasar mampu mengikuti pelajaran dengan baik. Mempunyai prestasi akademis yang baik, tidak pernah tinggal kelas, dan dapat bergaul dengan teman sekolah dan teman di lingkungan rumah.dirumah pasien adalah anak yang penurut.
- Masa Remaja (11-18 tahun)Pasien memiliki hubungan baik dengan teman di sekolah, di rumah, dengan orang tua dan tetangganya. Pasien tidak pernah tinggal kelas dan riwayat akademisnya baik. Mudah bergaul dan punya hubungan yang baik dengan teman maupun staf di sekolah. Di rumah juga dapat bergaul dengan teman-teman sebaya dan pasien termasuk anak yang penurut.
- Masa Dewasao Riwayat Pendidikan
Pendidikan terakhir pasien adalah SMP. Pasien tidak pernah tinggal kelas, dan akademis pasien termasuk baik. Pasien tidak meneruskan pendidikan karena tidak ada biaya.
o Riwayat PekerjaanPasien bekerja sebagai buruh pabrik, dapat bergaul dengan rekan kerja.
o Riwayat PernikahanPasien sudah menikah satu kali dan dikarunia 2 anak.
o Riwayat KeagamaanAgama islam, dan pasien taat beribadah
o Riwayat MiliterTidak pernah terlibat dalam aktivitas kemiliteran.
o Riwayat PsikososialPasien tidak pernah mendapatkan tindakan kekerasan dan pelecehan.
o Riwayat HukumPasien tidak pernah terlibat dengan masalah hokum dan tindakan criminal.
E. Riwayat KeluargaTidak ada anggota keluarga yang mengalami riwayat kelainan jiwa, ataupun mengalami keluhan yang dirasakan oleh pasien.
Keterangan:
: Perempuan
: Laki-laki
: Pasien
: Orang satu rumah pasien
F. Kurva Global Assesment of Functioning (GAF) scale
0 -
10-1 -
20-11 -
30-21 -
40-31 -
50-41 -
60-51 -
70-61 -
80-71 -
90-81 -
100-91-
2 tahun SMRS 1 tahun SMRS HMRSIII. Pemeriksaan Status Mental
a. Deskripsi Umumi. Penampilan
Seorang perempuan usia 41 tahun berpenampilan sesuai usia, kebersihan dan kerapian cukup.
ii. Perilaku dan Psikomotor- Normoaktif : (+) - Terkoordinasi : (-)- Hiperaktif : (-) - Tak terkoordinasi : (-)- Hipoaktif : (-) - Manineren : (-)- Stupor : (-) - Grimaceren : (-)- Gelisah : (-) - Ambivalensi : (-)- Kompulsif : (-) - Gerak otomatis : (-)- Stereotipik : (-)
iii. KesadaranKesadaran sensorium : compos mentisKesadaran psikiatri : Jernih
iv. Sikap Terhadap Pemeriksa- Kooperatif : (+) - Curiga : (-)- Non kooperatif : (-) - Berubah-ubah : (-)- Apatik : (-) - Tegang : (-)- Negatifisme pasif : (-) - Pasif : (-)- Indifferent : (-) - Aktif : (-)- Infantile : (-) - Katalepsi : (-)- Rigid : (-) - Permusuhan : (-)- Dependent : (-)
v. PembicaraanKualitas, kuantitas dan laju pembicaraan baik
vi. Kontak PsikisKontak psikis ada, wajar dan dapat dipertahankan
b. Mood dan AfekMood- Eutimik : (+) - Depresif : (-)- Hipertimik : (-) - Manik : (-)- Hipotimik : (-) - Cemas : (-)- Disforik : (-) - Irritable : (-)
Afek
- Serasi : (+) - Tumpul : (-)- Tidak serasi : (-) - Datar : (-)- Terbatas : (-) - Labil : (-)
c. Gangguan Persepsi1. Halusinasi
- Visual : (-)- Akustik : (-)- Olfaktorik : (-)- Gustatorik : (-)- Taktil : (-)
2. Ilusi- Visual : (-)- Akustik : (-)- Olfaktorik : (-)- Gustatorik : (-)- Taktil : (-)
3. Depersonalisasi : (-)4. Derealisasi : (-)
d. Gangguan Proses Pikir1. Bentuk Pikir : realistic2. Arus Pikir
- Flight of idea : (-) - Retardasi : (-)- Asosiasi longgar : (-) - Asosiasi bunyi : (-)- Inkoherensi : (-) - Blocking : (-)- Sirkumstansial : (-) - Perseverasi : (-)- Neologisme : (-) - Verbegerasi : (-)- Jawaban irrelevan : (-) - Lancar : (+)- Tangensial : (-)
3. Isi Pikir- Waham Kebesaran : (-)- Waham berdosa : (-)- Waham Kejar : (-)- Waham Curiga : (-)- Waham Somatis : (-)- Waham Magis/mistis : (-)- Overvalued Idea : (-)- Fobia : (-)- Delusion of Control : (-)- Delusion of Insertion : (-)- Delusion of Passivity : (-)- Delusion of Perception : (-)- Obsesif Kompulsif : (-)- Thought of Echo : (-)
- Thought of Insertion : (-)- Thought of Broadcasting : (-)- Kemiskinan Isi Pikir : (-)- Gangguan menyangkut diri sendiri & Pengaruh : (-)
e. Sensorium dan Kognitif1. Kesadaran : Jernih2. Orientasi
- Waktu : baik- Tempat : baik- Personal : baik- Situasi : baik
3. Memori- Segera : baik- Jangka Pendek : baik- Jangka Panjang : baik
4. Konsentrasi : baik5. Perhatian : baik6. Visuospasial : baik7. Abstraksi : baik8. Baca Tulis : baik9. Pengetahuan Umum : baik10. Daya Nilai : baik
f. Pengendalian Impuls : baikg. Tilikan : 4 (Pasien menyadari dirinya memiliki penyakit
disebabkan oleh sesuatu yang tidak diketahui pada diri pasien)
h. Reliabilitas : Pasien dapat dipercaya
IV. Pemeriksaan Fisik a. Status Internus
- Keadaan Umum : baik- Kesadaran : compos mentis- Tanda Vital : TD : 120/80 mmHg RR : 20 x/menit
HR : 84 x/menit T : 36,5o C
- Kepala Leher : dalam batas normal- Thoraks : dalam batas normal- Abdomen : dalam batas normal- Ekstremitas : dalam batas normal
b. Status Neurologis : dalam batas normal
V. Pemeriksaan Penunjang- EKG : dalam batas normal- Foto rontgen kepala : dalam batas normal- Laboratoriumo Darah rutin : dalam batas normalo Kimia darah : Gula darah sewaktu : 190 (meningkat)
Kolesterol : 281 (meningkat)VI. Formulasi Diagnostik
Wanita usia 41 tahun, bertempat tinggal di Taman Sari, Demak. Agama islam, sudah menikah, sehari-hari bekerja sebagai buruh pabrik di perusahaan garment, pendidikan terakhir adalah Sekolah Menengah Pertama. Datang ke RSJD Amino Gondohutomo dengan keluhan sakit kepala, mual dan berdebar-debar.
Dari anamnesis dan pemeriksaan dan anamnesis didapatkan bahwa pasien sudah mengalami keluhan ini kurang lebih 2 tahun, dan tidak ada perbaikan baik setelah minum obat warung, maupun ke dokter. Pasien sudah berobat ke banyak dokter umum dan dokter spesialis namun keluhan yang dirasakan sama sekali tidak berubah.setiap hasil pemeriksaan di dokter baik itu pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan didapatkan hasil yang normal dan tidak ada kelainan yang berarti. Keluhan hanya akan menghilang saat minum obat, saat obat tidak diminum maka keluhan akan muncul kembali. Keluhan ini terus berlangsung tanpa ada remisi sehingga membuat pasien mencoba untuk mengkonsultasikan keluhannya pada dokter spesialis kesehatan jiwa.
Pasien mempunyai riwayat masalah dengan pekerjaan, dimana pekerjaan pasien sebagai buruh pabrik sangat melelahkan. Jam kerja yang 8 jam dan target kerja yang dipatok tinggi menyebabkan pasien harus bekerja lembur untuk mencapai target yang berakibat pasien kelelahan dan tidak sempat untuk mengurus urusan rumah tangga pasien. Saat ini sudah 3 bulan pasien tidak bekerja dan terancam akan di pecat, hubungan sosial dengan keluarga, dengan tetangga dan rekan kerja baik dan tidak ada masalah berarti. Nafsu makan dan kebiasaan mandi pasien masih baik dan penggunaan waktu luang pasien juga baik dimana digunakan untuk membereskan urusan sehari-hari di dalam rumah. Daya tilikan pasien baik dimana pasien menyadari dirinya memiliki penyakit disebabkan oleh sesuatu yang tidak diketahui pada diri pasien.
Axis I : Dari anamnesis dan pemeriksaan pada pasien didapatkan keluhan berupa sakit kepala, perut mual dan terasa berdebar-debar. Pasien telah berobat ke beberapa dokter umum dan dokter spesialis, dan dari hasil pemeriksaan baik fisik maupun pemeriksaan penunjang tidak ditemukan kelainan yang berarti pada pasien. Dan walaupun sudah diberikan obat keluhan tersebut hanya akan hilang sebentar, apabila sudah tidak meminum obat maka keluhan akan kembali muncul. Didapatkan stressor yaitu masalah pekerjaan, dan adanya hendaya dalam fungsi peran. Namun dalam fungsi sosial, perawatan diri dan
penggunaan waktu luang pasien masih baik. Pemeriksaan status mental, dan pemeriksaan fisik pasien dalam batas normal. Sehingga axis I dapat ditegakkan diagnosis F 45.0 Gangguan Somatisasi.
Axis II : Dari data premorbid didapatkan bahwa pasien merupakan anak pertama dari 3 bersaudara. Pasien dikenal mudah bergaul, tidak pernah melakukan atau terlibat hukum dan tindakan criminal. Sehingga axis II tidak ada diagnosis.
Axis III : Dari pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan, namun dari pemeriksaan penunjang didapatkan hasil gula darah sewaktu yang tinggi dan kadar kolesterol yang tinggi. Sehingga axis III adalah Diabetes Mellitus tipe 2.
Axis IV : Masalah yang menjadi focus pada pasien ini adalah masalah pekerjaan dikarenakan waktu kerja yang 8 jam dengan target kerja yang cukup banyak menyebabkan pasien kewalahan dan harus sering lembur untuk memenuhi target, sehingga berdampak kelelahan dan tidak adanya tempat untuk membagikan masalahnya tersebut. Sehingga axis IV adalah masalah pekerjaan.
Axis V : Pada skala penilaian fungsi secara global bahwa 2 tahun dan 1 tahun yang lalu GAF pasien adalah 70 dan saat ini saat pasien masuk rumah sakit, GAF pasien adalah 60.
VII. Diagnosis Multi Aksial
Axis I : F 45.0 Gangguan SomatisasiAxis II : Tidak Ada DiagnosisAxis III : Diabetes Mellitus tipe 2Axis IV : Masalah PekerjaanAxis V : GAF 2 tahun SMRS : 70
GAF 1 tahun SMRS : 70 GAF HMRS : 60
VIII. Tata LaksanaMedika Mentosa:
- Alprazolam 2 x 1 mg (sediaan 1 mg)- Sertralin 2 x 50 mg (sediaan 50 mg)
Non Medika Mentosa:
- Terapi suportif- Terapi kelompok- Terapi keluarga
IX. Prognosis
Baik Buruk- Onset Akut : (-) - Onset Kronis : (+)- Usia 15-25 : (-) - Usia <15/>25 tahun : (+)- Tidak ada riwayat keluarga : (+) - Ada riwayat di keluarga : (-)- Premorbid baik : (+) - Premorbid buruk : (-)- Menikah : (+) - Belum menikah : (-)- Tidak ada kekambuhan : (-) - Ada kekambuhan : (-)- Factor pencetus jelas : (-) - Faktor pencetus tidak jelas : (+)- Status ekonomi baik : (+) - Status ekonomi buruk : (-)
Dubia Ad Bonam
TINJAUAN PUSTAKA
Gangguan somatisasi, juga dikenal sebagai gangguan Syndrom Briket itu, jika tidak
diakui oleh dokter, dapat menyebabkan frustrasi bagi dokter dan pasien, saling penolakan oleh
dokter dan pasien, serta pengeluaran medis yang tidak perlu dan risiko penyakit iatrogenik. Ini
adalah gangguan yang sering sulit dipahami, karena itu, dokter harus memiliki indeks kecurigaan
yang tinggi. Pada sesi pertama, klinisi harus hati-hati dalam mengevaluasi pasien berdasarkan
pemahaman tentang evolusi penyakit pasien dan pengalaman yang berhubungan dengan
kesehatan. Pada tahap awal evaluasi, pasien menyajikan kepada dokter dengan gejala dan tanda-
tanda khusus yang dokter merespon dengan pertanyaan, pemeriksaan fisik, tes laboratorium, dan
studi radiografi.1
Etiologi
- Pertahanan Mekanisme / Resolusi Konflik
Teori psikodinamik telah dikonsepkan somatisasi sebagai neurosis , proses bawah sadar
yang mengarah ke penggunaan maladaptif dari mekanisme pertahanan, yang dapat
menimbulkan gangguan fisik. Literatur penuh dengan sejarah kasus, dan pengalaman klinis
menunjukkan bahwa beberapa orang menggunakan metafora tubuh sebagai ekspresi tekanan
emosional. Namun, konsep ini rumit dan sulit untuk menguji secara empiris, yang mungkin
menjelaskan kurangnya studi empiris. Hal ini tidak menghalangi kemungkinan bahwa
mekanisme ini memainkan peran penting dalam gangguan somatisasi, setidaknya dalam
beberapa individu.1
- Studi Genetika / Keluarga
Ada tingkat peningkatan gangguan somatisasi dalam relatif tingkat pertama perempuan
pasien dengan gangguan somatisasi , menunjukkan agregasi familial gangguan tersebut .
Studi keluarga telah mengaitkan gangguan somatisasi gangguan kepribadian anti – sosial.3
- Teori Perilaku / Belajar
Beberapa teori telah mengusulkan bahwa hasil somatisasi dari pembelajaran sosial atau
model perilaku penyakit dan bahwa paparan masa kanak-kanak untuk model perilaku
penyakit , seperti orang tua sakit , dapat meningkatkan risiko somatisasi.1
- Awal Hidup Pengalaman
Pengalaman hidup awal lainnya diusulkan untuk menjelaskan perilaku somatisasi
termasuk sakit saat balita dan trauma masa kanak-kanak . Craig et al . ( 1993) menemukan
bahwa orang dewasa dengan berbagai gangguan somatoform melaporkan penyakit saat anak-
anak lebih sering dan serius daripada pasien kejiwaan dan medis lainnya . Mereka
menghipotesiskan bahwa perilaku somatisasi dapat dipahami sebagai bentuk unik kejiwaan
interpersonal yang didorong oleh gaya lampiran cemas dan maladaptif . Kekerasan fisik dan
seksual juga telah dikaitkan dengan gangguan somatisasi . Penyakit ini biasanya
berhubungan dengan sistem organ yang merupakan target pelecehan.1
- Kepribadian
Seperti disebutkan sebelumnya, studi keluarga sebelumnya mengusulkan hubungan
antara gangguan kepribadian antisosial dan gangguan somatisasi. Namun, penelitian yang
lebih baru tidak menemukan gangguan kepribadian tertentu menjadi lebih umum di antara
pasien dengan gangguan somatisasi. Gangguan kepribadian yang paling sering dilaporkan
oleh Rost dan rekan dalam kelompok pasien somatisasi yang dirujuk dari pengaturan
perawatan primer yang avoidant, paranoid, diri sendiri, dan gangguan kepribadian obsesif-
kompulsif.
Beberapa studi telah menyarankan bahwa alexithymia mungkin terkait dengan gangguan
somatizaton. Istilah "alexithymia" berarti ketidakmampuan untuk verbalisasi emosi
seseorang. Pasien dengan gangguan psikosomatik mengalami kesulitan mengekspresikan
emosi secara verbal dan tidak memiliki fantasi atau perasaan. Dalam sebuah penelitian di
Finlandia terhadap pasien perawatan kesehatan primer di perkotaan, alexithymia dikaitkan
dengan sering menggunakan layanan kesehatan. Alexithymia berkorelasi positif dengan
depresi, hypochondriasis, dan gangguan somatisasi serta kecenderungan untuk melaporkan
gejala fisik.1
Epidemiologi
Kurang dari 1 persen dari populasi di Amerika Serikat menderita sindrom somatisasi, dan
sebagian besar adalah perempuan. Namun, menurut DSM, gangguan somatisasi telah diamati
pada 10 sampai 20 persen dari tingkat pertama kerabat biologis perempuan perempuan dengan
gangguan tersebut. Selain itu, orangtua angkat atau orang tua kandung dengan baik gangguan
antisosial kepribadian, gangguan-substansi terkait, atau gangguan somatisasi meningkatkan
risiko anak terkena salah satu dari gangguan. Individu dengan sindrom somatisasi memiliki
tingkat lebih tinggi mengalami kekerasan fisik pad saat anak-anak dan pelecehan seksual
dibandingkan mereka yang tanpa gangguan.2
Wanita dengan somatisasi syndome sering mengalami masalah kejiwaan, seperti depresi
dan gangguan kecemasan. Pria dengan gangguan somatisasi lebih mungkin dibandingkan
perempuan untuk memiliki gangguan kepribadian antisosial dan untuk terlibat dalam minum
berlebihan dan komisi tindak pidana.2
Somatisasi sebagai perilaku umum di semua budaya dan dengan demikian mungkin
bukan merupakan gangguan kesehatan atau kejiwaan. Survei berbasis populasi telah
menunjukkan bahwa 85% -95% dari responden masyarakat mengalami setidaknya satu gejala
fisik setiap 2-4 minggu. Dalam populasi umum, gangguan somatisasi cukup langka. Para peneliti
telah menyelidiki aspek epidemiologi lainnya somatisasi, seperti jenis kelamin, status sosial
ekonomi, tingkat pendidikan, dan status imigran. Wanita memiliki resiko lebih dari laki-laki, dan
individu dari status sosial ekonomi rendah memiliki resiko lebih dari orang-orang dari status
sosial ekonomi yang lebih tinggi. Dalam studi ECA, gangguan somatisasi paling umum di
kalangan wanita Amerika Afrika, diikuti oleh pria Amerika Afrika. Gangguan somatisasi tidak
lebih umum di kalangan orang Amerika Hispanik.1
Gejala Klinis
Ciri utamanya adalah adanya gejala-gejala fisik yang bermacam-macam (multiple),
berulang dan sering berubah-ubah, yang biasanya sudah berlangsung beberapa tahun sebelum
pasien datang ke psikiater. Kebanyakan pasien mempunyai riwayat pengobatan yang panjang
dan sangat kompleks, baik kepelayanan kesehatan dasar, maupun spesialistik, dengan hasil
pemeriksaan atau bahkan operasi yang negative. Sindrom ini umumnya pertama kali muncul di
tahun-tahun remaja, onset melampaui usia 30 sangat langka. Pasien cenderung terlalu samar-
samar atau dramatis dalam berhubungan sejarah mereka, sering bergerak-gerak gelisah dari satu
gejala yang lain, tidak pernah fokus cukup lama pada salah satu gejala untuk memberikan
keterangan secara detail. Seperti disebutkan sebelumnya, beberapa keluhan didengar, dan ini
biasanya melibatkan empat sistem, yaitu saraf , urogenital, gastrointentinal, dan sistem
muskuloskeletal.3,4
Ada tipe tertentu dari gejala yang hadir dengan gangguan somatisasi termasuk riwayat
keluhan medis dan rasa sakit di setidaknya empat area tubuh atau dengan beberapa fungsi,
seperti menstruasi, buang air kecil, atau hubungan seksual. Selain itu, harus ada riwayat
setidaknya dua keluhan gastrointestinal selain nyeri, seperti mual dan kembung atau irritable
bowel syndrome tanpa studi gastrointestinal yang mengidentifikasi masalah medis. Selanjutnya,
harus ada keluhan reproduksi seksual selain rasa sakit, seperti kesulitan menstruasi pada wanita
atau disfungsi ereksi pada pria. Terakhir , harus ada gejala yang menunjukkan gangguan
neurologis mungkin, seperti retensi urin, penglihatan ganda, gangguan koordinasi, dan gejala
lainnya.2
Studi menemukan bahwa wanita dengan sindrom somatisasi yang berpengaruh nyata
kurang logis dan konsisten dalam respon mereka daripada para wanita dengan depresi. Mereka
juga menemukan bahwa subyek dengan sindrom somatisasi memiliki lebih banyak masalah
psikologis / interpersonal dan gejala somatik lebih daripada wanita depresi.2
Para pasien dengan gangguan somatisasi telah mengalami beberapa operasi, gejala
menstruasi, dan keadaan kurang sehat umum. Para peneliti berusaha untuk menemukan
hubungan antara sindrom somatisasi dan gangguan kejiwaan lainnya, seperti depresi berat,
gangguan panik, atau agoraphobia. Mereka menemukan bahwa pasien dengan sindrom
somatisasi lebih mungkin untuk mengalami depresi dan gangguan panik baik atau agoraphobia,
daripada memiliki depresi atau gangguan panik atau agoraphobia saja.2
Gejala urogenital termasuk gejala nyeri, seperti nyeri haid, disuria, dan gejala non -
menyakitkan, seperti ketidakteraturan menstruasi, perdarahan menstruasi yang berlebihan,
muntah sepanjang hampir keseluruhan kehamilan, penurunan libido, dan baik ereksi atau
disfungsi ejakulasi. Gejala gastrointestinal meliputi gejala seperti sakit perut dan nyeri dubur,
dan gejala non - menyakitkan, termasuk kembung, mual, muntah, diare, atau beberapa makanan
intoleransi. Keluhan muskuloskeletal semua melibatkan rasa sakit, dan sakit punggung juga
termasuk, arthralgia, nyeri ekstremitas, dan nyeri dada, yang biasanya menyebar.3
Penatalaksanaan
Gangguan somatisasi bisa sangat sulit untuk mengobati karena pasien biasanya yakin
bahwa dia benar-benar sakit secara fisik para dokter, untuk alasan yang tidak diketahui, belum
menemukan penyebab sebenarnya dari penyakit. Perawatan psikiatris direkomendasikan untuk
sindrom ini, tetapi pasien mungkin menolaknya. Bila mungkin, gangguan yang menyertai seperti
depresi harus diobati. Dalam beberapa kasus, mengobati gangguan sekunder seperti depresi
tampaknya meningkatkan gangguan utama sindrom somatisasi.2
- Pendekatan Umum
Dokter sering menghadapi kesulitan dalam mendiagnosa dan menangani pasien yang
somatik. Masalah utama adalah bahwa pasien ini fokus pada masalah somatik dan cenderung
menyangkal masalah psikologis dan sosial. Kecenderungan gangguan somatisasi untuk
meniru kondisi medis adalah kesulitan lain yang dihadapi oleh dokter.1
Perlakuan umum gangguan somatisasi didasarkan pada data yang menunjukkan
bahwa gangguan kronis dan bahwa intervensi medis perlu dan operasi sering dilakukan.
Perhatian langsung ke kondisi komorbiditas, seperti depresi, kecemasan, dan penyalahgunaan
zat, juga penting.1
Pasien dengan gangguan somatisasi mungkin menolak intervensi kejiwaan karena
intervensi tersebut dapat diartikan bahwa "itu semua di kepala saya ." Dokter perawatan
primer umumnya harus mencari konsultasi kejiwaan tapi tidak mengalihkan perawatan
pasien ke psikiater. Dokter perawatan primer harus 1) menjadwalkan janji tindak lanjut
teratur panjang set, 2) mengatur agenda untuk kunjungan; 3) mengatur batas temuan
obyektif, sehingga membatasi iatrogenesis; 4) menetapkan batas pada kontak luar diluar janji
klinis; 5) menjelaskan bahwa stres, baik psikologis dan lingkungan, dapat menyebabkan
gejala fisik, dan 6) berhati-hati tentang resep beberapa obat untuk mengatasi gejala yang
tidak jelas dalam banyak sistem organ.1
- Psikoterapi
Berbagai psikoterapi telah digunakan untuk mengobati gangguan somatisasi. Strategi
kognitif - perilaku yang diarahkan pada kognitif, afektif, dan komponen perilaku gejala
pasien. Untuk membantu pasien memahami respon afektif mereka untuk sensasi tersebut,
dokter dapat meminta mereka untuk menyimpan log perilaku mendokumentasikan
ketidaknyamanan mereka, kegiatan di mana mereka mengalami ketidaknyamanan, reaksi
emosional mereka, dan cara mengatasi dengan sensasi.1
Klinik perawatan primer telah menetapkan program terapi kelompok singkat khusus
untuk pasien somatisasi. Beberapa program telah sangat efektif dalam meningkatkan fungsi
dan mengurangi tekanan. Sesi menggabungkan saran umum tentang topik-topik seperti
manajemen stres, pemecahan masalah, dan pelatihan keterampilan sosial. Kathol (1997 )
mengemukakan enam langkah yang diperlukan untuk secara efektif meyakinkan pasien
dengan penyakit jinak gejala tidak dijelaskan oleh penyakit: 1) pertanyaan dan memeriksa
pasien, 2) meyakinkan pasien bahwa penyakit serius tidak ada, 3) menunjukkan bahwa gejala
dapat diselesaikan, 4) memberitahu pasien untuk kembali ke aktivitas normal, 5)
mempertimbangkan pengobatan spesifik, dan 6) mengikuti pasien.1
- Pengobatan Psikotropika
Tidak ada obat yang tersedia khusus untuk pengobatan gangguan somatisasi. Namun
demikian, pasien dengan gangguan somatisasi seringkali mencari obat dari berbagai dokter
untuk mengobati setiap gejala. Untuk alasan ini, yang terbaik adalah untuk hanya satu dokter,
biasanya dokter perawatan primer, untuk meresepkan dan mengelola semua obat. 1
Obat psikotropik harus dipertimbangkan untuk gangguan kejiwaan komorbid, yang
umum pada pasien dengan gangguan somatisasi. Namun, sangat penting bahwa diagnosis
gangguan somatisasi dibentuk, karena dapat mempersulit pengobatan. Gangguan somatisasi
dapat mempotensiasi perilaku mencari obat untuk gangguan komorbid. Sebelum meresepkan
benzodiazepin atau narkotika, riwayat penyalahgunaan zat atau ketergantungan harus digali
dan didokumentasikan. Pasien dengan gangguan kecemasan, seperti gangguan panik,
mungkin memerlukan benzodiazepine, dan pasien pasca operasi mungkin perlu opiat untuk
manajemen nyeri. Penggunaan selective serotonin reuptake inhibitor ( SSRI ) atau buspirone
dapat diindikasikan untuk mengobati gangguan kecemasan umum komorbiditas, dan SSRI
dan agen lain yang lebih baru antidepresan mungkin bermanfaat untuk sindrom depresi
komorbid.
Pasien somatizing sering sensitif terhadap efek samping obat, sehingga dokter harus
mendiskusikan terlebih dahulu efek samping yang umum, menjelaskan bahwa ini adalah
respon normal terhadap obat tersebut. Hal ini juga penting bagi dokter untuk menanyakan
tentang obat lain , seperti persiapan herbal, bahwa pasien dapat mengambil, karena interaksi
obat memiliki potensi untuk menyebabkan reaksi yang merugikan. 1
Prognosis
Kedua gangguan somatisasi dan gangguan hypochondiacal cenderung memiliki program
episodik kronis dan gejala sering diperburuk oleh stres.5
DAFTAR PUSTAKA
1. Phillips KA. Somatoform and factitious disorders. Washington DC: American Psychiatric
Publishing; 2004.p. 1-20.
2. Doctor RM, Shiromoto FN. Trauma and traumatic stress disorders. New York: Library of
Congress Catalogin-in-Publication Data; 2009.p. 46-8.
3. Moore DP, Puri BK. Textbook of clinical neuropsychiatry and behavioral neuroscience.
3rd Ed, Florida: Taylor & Francis Group; 2012.p. 342-4.
4. Departemen Kesehatan RI. Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di
Indonesia III. Jakarta: Departemen Kesehatan; 1993.h. 211-2.
5. Bourke, Castle, Cameron. Crash course psychiatry. 3rd Ed. Philadelphia: Mosby Elsevier;
2008.p. 115.