Upload
dhita-budi-wibowo
View
44
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Tn. St Kdj
Umur : 50 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sidomukti, Salatiga
Tanggal MRS : 16 Agustus 2013
II. ANAMNESA
a. Keluhan utama : Lemas tangan dan kaki kiri
b. Riwayat Penyakit Sekarang : Pada pagi hari pasien tidak merasakan apa-apa. Saat
beraktifitas, pasien merasakan sakit kepala yang sangat hebat dan berputar, setelah itu pasien
merasakan tangan dan kaki sebelah kiri tidak bias digerakkan. Saat berada di rumah pasien
merasa mual dan muntah sebanyak 3 kali dan kemudian bicaranya pelo padahal sebelumnya
tidak pelo. Pasien tidak kejang dan sebelumnya pasien tidak pernah jatuh dan terbentur.
c. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien tidak tahu apakah menderita Hipertensi dan DM
Pasien tidak mempunyai riwayat Penyakit Jantung
Pasien mengaku kadang pusing namun membaik setelah
tiduran dan minum obat warung
Pasien tidak mempunyai riwayat kejang
d. Riwayat Pengobatan : Pasien tidak pernah berobat
III. Pemeriksaan Fisik
a. Status Interna
1. Vital Sign :
Tensi : 152/94 mmHg
Nadi : 69 x/mnt
RR : 24 x/mnt
Suhu : 36 oC
2. Kepala s/d leher
Anemi (-) Ikterus (-)
3. Thorax
Paru-paru : Rhonki -/- Wheezing -/-
Jantung : S1 S2 tunggal
4. Abdomen
Hepar tidak teraba, lien, tidak teraba, Bising usus dbn
5. Ekstremitas
Oedem (-) Akral (-) hangat
b. Kepala s/d Leher
Dalam batas normal
c. Status Neurologis
1. Kesan Umum
a. Kesadaran : compos mentis
b. GCS : E4 V4 M6
2. Pemeriksaan Khusus
a. Rangsangan selaput otak
- Kaku kuduk : +
- Laseque : -
- Kerniq : -
- Brudzinski tanda leher : -
- Brudzinski tanda kontralateral : -
- Brudzinski tanda pipi : -
- Brudzinski tanda symphisis pubis : -
- Disartri : +
b. Sistem Motorik
Kekuatan :
Bebas Terbatas 5/5 2/2Bebas Terbatas 5/5 2/2
Tonus : Trophi :Normal Hipotonus 5/5/5 2/2/2Normal Hipotonus 5/5/5 2/2/2
c. Sistem sensorik :
Rasa eksteroceptik : N / -
Rasa proploseptik : N / -
Rasa Enteroseptik : N / -
Rasa kombinasi : N / -
d. Reflek-reflek
- Reflek Fisiologis
Kanan KiriBPR N MeningkatTPR N MeningkatKPR N MeningkatAPR N Meningkat
- Reflek Patologis :
Babinski (+) Chaddock (-) Gordon (-) Gonda (-) Schauffer (-) Rossolimo (-)
e. Susunan saraf otonom
Miksi (N) Defekasi (N) Salivasi (N) Sekresi keringat (N)
IV. Diagnosa
Diagnosa : hemiparese sinistra, Vertigo
DD: Stroke Non Hemoragik
Stroke Hemoragik
Tumor
V. Terapi
- Infus RL 20 tpm + sohobion drip
- Injeksi Citicolin 2 x 500 mg
- Injeksi Piracetam 2 x 3gr
- Manitol 6 x 100
- Vastigo 3 x 1
- Frego 3x 10 mg
VI. Pemeriksaan Penunjang
CT-scan : Kesan Gambaran SNH di daerah Substantia Grisea Alba di Lobus Temporalis
VII. Hasil Lab
GDS : 147
Ureum : 23 mg/dl
Kreatinin : 0.68 mg/dl
SGOT : 25 u/l
SGPT : 16 u/l
TINJAUAN PUSTAKA
A PENDAHULUAN
Stroke sudah dikenal sejak dulu kala, bahkan sebelum zaman Hippocrates. Soranus dari
Ephesus (98 -138) di Eropa telah mengamati beberapa faktor yang mempengaruhi stroke.
Hippocrates adalah Bapak Kedokteran asal Yunani. Ia mengetahui stroke 2400 tahun silam. Kala
itu, belum ada istilah stroke. Hippocrates menyebutnya dalam bahasa Yunani: apopleksi.
Artinya, tertubruk oleh pengabaian. Sampai saat ini, stroke masih merupakan salah satu penyakit
saraf yang paling banyak menarik perhatian.(1,2)
Definisi WHO, stroke adalah menifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal
maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, selama lebih dari 24 jam atau
berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab lain selain gangguan vaskuler. Istilah kuno
apopleksia serebri sama maknanya dengan Cerebrovascular Accidents/Attacks (CVA)
dan Stroke.(1)
B. INSIDEN
Stroke mengenai semua usia, termasuk anak-anak. Namun, sebagian besar kasus
dijumpai pada orang-orang yang berusia di atas 40 tahun. Makin tua umur, resiko terjangkit
stroke makin besar. Penyakit ini juga tidak mengenal jenis kelamin. Tetapi, stroke lebih banyak
menjangkiti laki-laki daripada perempuan. Lalu dari segi warna kulit, orang berkulit berwarna
berpeluang terkena stroke lebih besar daripada orang berkulit putih.(2)
C. EPIDEMIOLOGI
Stroke adalah penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian nomor dua di dunia.
Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin penting, dengan dua
pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang.(3)
Menurut taksiran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia sudah
terjangkit stroke pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah meninggal dunia. Penyakit
tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke di dunia.(2)
Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit utama yang menyebabkan
kematian. Posisi di atasnya dipegang penyakit jantung dan kanker. Di negeri Paman Sam ini,
setiap tahun terdapat laporan 700.000 kasus stroke. Sebanyak 500.000 diantaranya kasus
serangan pertama, sedangkan 200.000 kasus lainnya berupa stroke berulang. Sebanyak 75 persen
penderita stroke menderita lumpuh dan kehilangan pekerjaan.(2)
Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker. Sebanyak 28,5
persen penderita stroke meninggal dunia. Sisanya menderita kelumpuhan sebagian maupun total.
Hanya 15 persen saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke dan kecacatan.(2)
D. ANATOMI
Otak memperoleh darah melalui dua sistem yakni sistem karotis (arteri
karotis interna kanan dan kiri) dan sistem vertebral. Arteri koritis interna, setelah memisahkan
diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak melalui kanalis karotikus,
berjalan dalam sinus kavernosum, mempercabangkan arteri oftalmika untuk nervus optikus dan
retina, akhirnya bercabang dua: arteri serebri anterior dan arteri serebri media. Untuk otak,
sistem ini memberi darah bagi lobus frontalis, parietalis dan beberapa bagian lobus temporalis.(1)
Sistem vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri yang berpangkal di arteri
subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis tranversalis di kolumna vertebralis servikal,
masuk rongga kranium melalui foramen magnum, lalu mempercabangkan masing-masing
sepasang arteri serebeli inferior. Pada batas medula oblongata dan pons, keduanya bersatu arteri
basilaris, dan setelah mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri, pada tingkat mesensefalon, arteri
basilaris berakhir sebagai sepasang cabang: arteri serebri posterior, yang melayani darah bagi
lobus oksipitalis, dan bagian medial lobus temporalis.(1)
Ke 3 pasang arteri serebri ini bercabang-cabang menelusuri permukaan otak, dan beranastomosis
satu bagian lainnya. Cabang-cabang yang lebih kecil menembus ke dalam jaringan otak dan juga
saling berhubungan dengan cabang-cabang arteri serebri lainya. Untuk menjamin pemberian
darah ke otak, ada sekurang-kurangnya 3 sistem kolateral antara sistem karotis dan sitem
vertebral, yaitu:(1)
Sirkulus Willisi, yakni lingkungan pembuluh darah yang tersusun oleh arteri serebri
media kanan dan kiri, arteri komunikans anterior (yang menghubungkan kedua arteri serebri
anterior), sepasang arteri serebri media posterior dan arteri komunikans posterior (yang
menghubungkan arteri serebri media dan posterior) kanan dan kiri. Anyaman arteri ini terletak
di dasar otak.
Anastomosis antara arteri serebri interna dan arteri karotis eksterna di daerah orbita,
masing-masing melalui arteri oftalmika dan arteri fasialis ke arteri maksilaris eksterna.
Hubungan antara sitem vertebral dengan arteri karotis ekterna (pembuluh darah
ekstrakranial).
Selain itu masih terdapat lagi hubungan antara cabang-cabang arteri tersebut, sehingga menurut
Buskrik tak ada arteri ujung (true end arteries) dalam jaringan otak.(1)
Darah vena dialirkan dari otak melalui 2 sistem: kelompok vena interna, yang mengumpulkan
darah ke vena Galen dan sinus rektus, dan kelompok vena eksterna yang terletak dipermukaan
hemisfer otak, dan mencurahkan darah ke sinus sagitalis superior dan sinus-sinus basalis
laterales, dan seterusnya melalui vena-vena jugularis dicurahkan menuju ke jantung.(1)
E. FISIOLOGI
Sistem karotis terutama melayani kedua hemisfer otak, dan sistem
vertebrabasilaris terutama memberi darah bagi batang otak, serebelum dan bagian posterior
hemisfer. Aliran darah di otak (ADO) dipengaruhi terutama 3 faktor. Dua faktor yang paling
penting adalah tekanan untuk memompa darah dari sistem arteri-kapiler ke sistem vena, dan
tahanan (perifer) pembuluh darah otak. Faktor ketiga, adalah faktor darah sendiri yaitu viskositas
darah dan koagulobilitasnya (kemampuan untuk membeku).(1)
Dari faktor pertama, yang terpenting adalah tekanan darah sistemik (faktor jantung,
darah, pembuluh darah, dll), dan faktor kemampuan khusus pembuluh darah otak (arteriol) untuk
menguncup bila tekanan darah sistemik naik dan berdilatasi bila tekanan darah sistemik
menurun. Daya akomodasi sistem arteriol otak ini disebut daya otoregulasi pembuluh darah otak
(yang berfungsi normal bila tekanan sistolik antara 50-150 mmHg).(1)
Faktor darah, selain viskositas darah dan daya membekunya, juga di antaranya seperti
kadar/tekanan parsial CO2 dan O2 berpengaruh terhadap diameter arteriol. Kadar/tekanan parsial
CO2 yang naik, PO2 yang turun, serta suasana jaringan yang asam (pH rendah), menyebabkan
vasodilatasi, sebaliknya bila tekanan darah parsial CO2 turun, PO2 naik, atau suasana pH tinggi,
maka terjadi vasokonstriksi.(1)
Viskositas/kekentalan darah yang tinggi mengurangi ADO. Sedangkan koagulobilitas yang besar
juga memudahkan terjadinya trombosis, aliran darah lambat, akibat ADO menurun.(1)
F. FAKTOR RESIKO
Pemeriksaan faktor resiko dengan cermat dapat memudahkan seorang dokter untuk
menemukan penyebab terjadinya stroke. Terdapat beberapa faktor resiko stroke non hemoragik,
yakni:(4,5)
Usia lanjut (resiko meningkat setiap pertambahan dekade)
Hipertensi
Merokok
Penyakit jantung (penyakit jantung koroner, hipertrofi ventrikel kiri, dan fibrilasi atrium
kiri)
Hiperkolesterolemia
Riwayat mengalami penyakit serebrovaskuler
Resiko stroke juga meningkat pada kondisi di mana terjadi peningkatan viskositas darah dan
penggunaan kontrasepsi oral pada pasien dengan resiko tinggi megalami stroke non hemoragik.(4,6)
G. KLASIFIKASI
Stroke iskemik dapat dijumpai dalam 4 bentuk klinis:(1)
1. Serangan Iskemia Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)
Pada bentuk ini gejalah neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan
menghilang dalam waktu 24 jam.
2. Defisit Neurologik Iskemia Sepintas/Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND).
Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam, tapi tidak lebih
dari seminggu.
3. Stroke progresif (Progressive Stroke/Stroke in evolution)
Gejala neurologik makin lama makin berat.
4. Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)
Gejala klinis sudah menetap.
H. ETIOLOGI
Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering disebabkan oleh emboli
ektrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu, stroke non hemoragik juga dapat diakibatkan
oleh penurunan aliran serebral. Pada tingkatan seluler, setiap proses yang mengganggu aliran
darah menuju otak menyebabkan timbulnya kaskade iskemik yang berujung pada terjadinya
kematian neuron dan infark serebri.(4)
1. Emboli
Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akan tetapi dapat juga di
jantung dan sistem vaskuler sistemik.(5)
a) Embolus yang dilepaskan oleh arteria karotis atau vertebralis, dapat berasal dari “plaque
athersclerotique” yang berulserasi atau dari trombus yang melekat pada intima arteri akibat
trauma tumpul pada daerah leher.
b) Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:
1) Penyakit jantung dengan “shunt” yang menghubungkan bagian kanan dengan bagian kiri
atrium atau ventrikel;
2) Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan gangguan pada
katup mitralis;
3) Fibralisi atrium;
4) Infarksio kordis akut;
5) Embolus yang berasal dari vena pulmonalis
6) Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial, jantung miksomatosus
sistemik;
c) Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai:
1) Embolia septik, misalnya dari abses paru atau bronkiektasis.
2) Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru.
3) Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti penyakit “caisson”).
Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-
sided circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik adalah trombi
valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan), trombi mural (seperti infark
miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung kongestif) dan atrial miksoma. Sebanyak 2-
3 persen stroke emboli diakibatkan oleh infark miokard dan 85 persen di antaranya terjadi pada
bulan pertama setelah terjadinya infark miokard.(4)
2. Trombosis
Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar (termasuk
sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus Willisi dan sirkulus posterior).
Tempat terjadinya trombosis yang paling sering adalah titik percabangan arteri serebral
utamanya pada daerah distribusi dari arteri karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat
menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah (sehingga meningkatkan resiko pembentukan
trombus aterosklerosis (ulserasi plak), dan perlengketan platelet.(4)
Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemia sickle sel, defisiensi
protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi yang berkepanjangan
akibat gangguan migren. Setiap proses yang menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat
menyebabkan terjadinya stroke trombotik (contohnya trauma, diseksi aorta thorasik, arteritis).(4)
3. Patofisiologi
Infark iskemik serebri, sangat erat hubungannya aterosklerosis (terbentuknya ateroma) dan
arteriolosklerosis. (1,6)
Gambar 4. Penyumbatan pembuluh darah
Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik dengan cara:(1)
a. Menyempatkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran darah.
b. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau peredaran darah
aterom.
c. Merupakan terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli.
d. Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang kemudian
dapat robek.
Faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak:(1)
a. Keadaan pembuluh darah, bila menyempit akibat stenosis atau ateroma atau tersumbat
oleh trombus/embolus.
b. Keadaan darah: viskositas darah yang meningkat, hematokrit yang meningkat
(polisetemial) yang menyebabkan aliran darah ke otak lebih lambat: anemia yang berat
menyebabkan oksigenasi otak menurun.
c. Tekanan darah sistematik memegang peranan tekanan perfusi otak. Perlu diingat apa
yang disebut otoregulasi otak yakni kemampuan intrinsik dari pembuluh darah otak agar aliran
darah otak tetap konstan walaupun ada perubahan dari tekanan perfusi otak.
Batas normal otoregulasi antara 50-150 mmHg. Pada penderita hipertensi otoregulasi otak
bergeser ke kanan.
d. Kelainan jantung
1) Menyebabkan menurunnya curah jantung a.l. fibrilasi, blok jantung.
2) Lepasnya embolus menimbulkan iskemia di otak.
I. DIAGNOSIS
1. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit neurologi akut
(baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat kesadaran. Tidak terdapat tanda atau gejala
yang dapat membedakan stroke hemoragik dan non hemoragik meskipun gejalah
seperti mual muntah, sakit kepala dan perubahan tingkat kesadaran lebih sering terjadi pada
stroke hemoragik. Beberapa gejalah umum yang terjadi pada stroke meliputi hemiparese,
monoparese, atau qudriparese, hilangnya penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia,
disartria, ataksia, vertigo, afasia, atau penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun gejala-gejala
tersebut dapat muncul sendiri namun umumnya muncul secara bersamaan. Penentuan waktu
terjadinya gejala-gejala tersebut juga penting untuk menentukan perlu tidaknya
pemberian terapi trombolitik. Beberapa faktor dapat mengganggu dalam mencari gejalah atau
onset stroke seperti:
1) Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak didapatkan hingga
pasien bangun (wake up stroke).
2) Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari pertolongan.
3) Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.
4) Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke
seperti kejang, infeksi sistemik,tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis, dan hiponatremia.(4)
b. Pemeriksaan Fisik
Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke ekstrakranial,
memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke, dan menentukan beratnya
defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaaan kepala dan leher
untuk mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi menings. Pemeriksaan terhadap faktor
kardiovaskuler penyebab stroke membutuhkan pemeriksaan fundus okuler (retinopati, emboli,
perdarahan), jantung (ritmik ireguler, bising), dan vaskuler perifer (palpasi arteri karotis, radial,
dan femoralis). Pasien dengan gangguan kesadaran harus dipastikan mampu untuk menjaga jalan
napasnya sendiri.(4)
c. Pemeriksaan Neurologi
Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejalah stroke, memisahkan
stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejalah seperti stroke, dan menyediakan informasi
neurologi untuk mengetahui keberhasilan terapi. Komponen penting dalam pemeriksaan
neurologi mencakup pemeriksaan status mental dan tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus
kranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks tendon profunda.
Tengkorak dan tulang belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda meningimus pun harus
dicari. Adanya kelemahan otot wajah pada stroke harus dibedakan dengan Bell’s palsy di mana
pada Bell’s palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu mengangkat alis atau
mengerutkan dahinya.(4,7)
Gejala-gejala neurologi yang timbul biasanya bergantung pada arteri yang tersumbat.
1) Arteri serebri media (MCA)
Gejala-gejalanya antara lain hemiparese kontralateral, hipestesi kontralateral, hemianopsia
ipsilateral, agnosia, afasia, dan disfagia. Karena MCA memperdarahi motorik ekstremitas atas
maka kelemahan tungkai atas dan wajah biasanya lebih berat daripada tungkai bawah.(4,8)
2) Arteri serebri anterior
Umumnya menyerang lobus frontalis sehingga menyebabkan gangguan bicara, timbulnya refleks
primitive (grasping dan sucking reflex), penurunan tingkat kesadaran, kelemahan kontralateral
(tungkai bawah lebih berat dari pada tungkai atas), defisit sensorik kontralateral, demensia, dan
inkontinensia uri.(4,8)
3) Arteri serebri posterior
Menimbulkan gejalah seperti hemianopsia homonymous kontralateral, kebutaan kortikal, agnosia
visual, penurunan tingkat kesadaran, hemiparese kontralateral, gangguan memori.(4,8)
4) Arteri vertebrobasiler (sirkulasi posterior)
Umumnya sulit dideteksi karena menyebabkan deficit nervus kranialis, serebellar, batang otak
yang luas. Gejalah yang timbul antara lain vertigo, nistagmus, diplopia, sinkop, ataksia,
peningkatan refleks tendon, tanda Babynski bilateral, tanda serebellar, disfagia, disatria, dan rasa
tebal pada wajah. Tanda khas pada stroke jenis ini adalah temuan klinis yang saling
berseberangan (defisit nervus kranialis ipsilateral dan deficit motorik kontralateral).(4,8)
5) Arteri karotis interna (sirkulasi anterior)
Gejala yang ada umumnya unilateral. Lokasi lesi yang paling sering adalah bifurkasio arteri
karotis komunis menjadi arteri karotis interna dan eksterna. Adapun cabang-cabang dari arteri
karotis interna adalah arteri oftalmika (manifestasinya adalah buta satu mata yang episodik biasa
disebut amaurosis fugaks), komunikans posterior, karoidea anterior, serebri anterior dan media
sehingga gejala pada oklusi arteri serebri anterior dan media pun dapat timbul.(4,8)
6) Lakunar stroke
Lakunar stroke timbul akibat adanya oklusi pada arteri perforans kecil di daerah subkortikal
profunda otak. Diameter infark biasanya 2-20 mm. Gejala yang timbul adalah hemiparese
motorik saja, sensorik saja, atau ataksia. Stroke jenis ini biasanya terjadi pada pasien dengan
penyakit pembuluh darah kecil seperti diabetes dan hipertensi.(4)
2. Gambaran Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan mungkin pula menunjukkan
faktor resiko stroke seperti polisitemia, trombositosis, trombositopenia, dan leukemia).
Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini
seperti anemia.(9)
Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan yang memiliki gejalah seperti
stoke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat pula menunjukka penyakit yang diderita pasien
saat ini (diabetes, gangguan ginjal).(9)
Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati pada pasien. Selain itu,
pemeriksaan ini juga berguna jika digunakan terapi trombolitik dan antikoagulan.(9)
Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan antara stroke dengan penyakit jantung
koroner. Penelitian lain juga mengindikasikan adanya hubungan anatara peningkatan enzim
jantung dengan hasih yang buruk dari stroke.(9)
3. Gambaran Radiologi
a. CT scan kepala non kontras
Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dan stroke non hemoragik
secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik memerlukan pemberian trombolitik sesegera
mungkin. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari
stroke dan mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalahnya mirip dengan
stroke (hematoma, neoplasma, abses).(4)
Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami. Setelah 6-12 jam
setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang menandakan terjadinya edema di otak.
Jika setelah 3 jam terdapat daerah hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan
ulang mengenai waktu terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya stroke non hemoragik adalah
adanya insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan hilangnya
perberdaan gray-white matter.(4,10)
b. CT perfussion
Modalitas ini merupakan modalitas baru yang berguna untuk mengidentifikasi daerah awal
terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari region
otak dapat diukur. Adanya hipoatenuasi menunjukkan terjadinya iskemik di daerah tersebut.(4,17)
c. CT angiografi (CTA)
Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT angiografi (CTA). Pemeriksaan
ini dapat mengidentifikasi defek pengisian arteri serebral yang menunjukkan lesi spesifik dari
pembuluh darah penyebab stroke. Selain itu, CTA juga dapat memperkirakan jumlah perfusi
karena daerah yang mengalami hipoperfusi memberikan gambaran hipodense.(4)
d. MR angiografi (MRA)
MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusi lebih awal pada stroke akut.
Sayangnya, pemerikasaan ini dan pemeriksaan MRI lainnya memerlukan biaya yang tidak
sedikit serta waktu pemeriksaan yang agak panjang.(4,10)
Protokol MRI memiliki banyak kegunaan untuk pada stroke akut. MR T1 dan T2 standar dapat
dikombinasikan dengan protokol lain seperti diffusion-weighted imaging (DWI) dan perfussion-
weighted imaging (PWI) untuk meningkatkan sensitivitas agar dapat mendeteksi stroke non
hemoragik akut. DWI dapat mendeteksi iskemik lebih cepat daripada CT scan dan MRI. Selain
itu, DWI juga dapat mendeteksi iskemik pada daerah kecil. PWI dapat mengukur langsung
perfusi daerah di otak dengan cara yang serupa dengan CT perfusion. Kontras dimasukkan dan
beberapa gambar dinilai dari waktu ke waktu serta dibandingkan.(4)
e. USG, ECG, EKG, Chest X-Ray
Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai stenosis atau oklusi arteri
karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan dupleks karotis. USG transkranial dopler berguna
untuk mengevaluasi anatomi vaskuler proksimal lebih lanjut termasuk di antaranya MCA, arteri
karotis intrakranial, dan arteri vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi) dilakukan
pada semua pasien dengan stroke non hemoragik yang dicurigai mengalami emboli kardiogenik.
Transesofageal ECG diperlukan untuk mendeteksi diseksi aorta thorasik. Selain itu, modalitas ini
juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi pada atrium kiri. Modalitas lain yang juga
berguna untuk mendeteksi kelainan jantung adalah EKG dan foto thoraks.(4)
J. PENATALAKSANAAN
Target managemen stroke non hemoragik akut adalah untuk menstabilkan pasien dan
menyelesaikan evaluasi dan pemeriksaan termasuk diantaranya pencitraan dan pemeriksaan
laboratorium dalam jangka waktu 60 menit setelah pasien tiba. Keputusan penting pada
manajemen akut ini mencakup perlu tidaknya intubasi, pengontrolan tekanan darah, dan
menentukan resiko atau keuntungan dari pemberian terapi trombolitik.(6,12)
1. Penatalaksanaan Umum
a. Airway and breathing
Pasien dengan GCS ≤ 8 atau memiliki jalan napas yang tidak adekuat atau paten memerlukan
intubasi. Jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK) maka pemberian
induksi dilakukan untuk mencegah efek samping dari intubasi. Pada kasus dimana kemungkinan
terjadinya herniasi otak besar maka target pCO2 arteri adalah 32-36 mmHg. Dapat pula diberikan
manitol intravena untuk mengurangi edema serebri. Pasien harus mendapatkan bantuan oksigen
jika pulse oxymetri atau pemeriksaan analisa gas darah menunjukkan terjadinya hipoksia.
Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan hipoksia pada stroke non hemoragik adalah adanya
obstruksi jalan napas parsial, hipoventilasi, atelektasis ataupun GERD.(11,12,13,14)
b. Circulation
Pasien dengan stroke non hemoragik akut membutuhkan terapi intravena dan pengawasan
jantung. Pasien dengan stroke akut berisiko tinggi mengalami aritmia jantung dan peningkatan
biomarker jantung. Sebaliknya, atrial fibrilasi juga dapat menyebabkan terjadinya stroke.(11,12,13,14)
c. Pengontrolan gula darah
Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait dengan prognosis yang kurang
baik dan menghambat reperfusi pada trombolisis. Pasien dengan normoglokemik tidak boleh
diberikan cairan intravena yang mengandung glukosa dalam jumlah besar karena dapat
menyebabkan hiperglikemia dan memicu iskemik serebral eksaserbasi. Pengontrolan gula darah
harus dilakukan secara ketat dengan pemberian insulin. Target gula darah yang harus dicapai
adalah 90-140 mg/dl. Pengawasan terhadap gula darah ini harus dilanjutkan hingga pasien
pulang untuk mengantisipasi terjadinya hipoglikemi akibat pemberian insulin.(11,12,13,14)
d. Posisi kepala pasien
Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih maksimal jika pasien dalam
pasien supinasi. Sayangnya, berbaring telentang dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intrakranial padahal hal tersebut tidak dianjurkan pada kasus stroke. Oleh karena itu, pasien
stroke diposisikan telentang dengan kepala ditinggikan sekitar 30-45 derajat.(11,12,13,14)
e. Pengontrolan tekanan darah
Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau peningkatan TIK, pembuluh
darah otak tidak memiliki kemampuan vasoregulator sehingga hanya bergantung pada maen
arterial pressure (MAP) dan cardiac output (CO) untuk mempertahankan aliran darah otak. Oleh
karena itu, usaha agresif untuk menurunkan tekanan darah dapat berakibat turunnya tekanan
perfusi yang nantinya akan semakin memperberat iskemik. Di sisi lain didapatkan bahwa
pemberian terapi anti hipertensi diperlukan jika pasien memiliki tekanan darah yang ekstrim
(sistole lebih dari 220 mmHg dan diastole lebih dari 120 mmHg) atau pasien direncanakan untuk
mendapatkan terapi trombolitik.(11,12,13,14)
Adapun langkah-langkah pengontrolan tekanan darah pada pasien stroke non hemoragik adalah
sebagai berikut. Jika pasien tidak direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik, tekanan
darah sistolik kurang dari 220 mmHg, dan tekanan darah diastolik kurang dari 120 mmHg tanpa
adanya gangguan organ end-diastolic maka tekanan darah harus diawasi (tanpa adanya
intervensi) dan gejala stroke serta komplikasinya harus ditangani.(11,12,13,14)
Untuk pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau diastolik antara 120-140 mmHg maka
pasien dapat diberikan labetolol (10-20 mmHg IV selama 1-2 menit jika tidak ada kontraindikasi.
Dosis dapat ditingkatkan atau diulang setiap 10 menit hingga mencapai dosis maksiamal 300 mg.
Sebagai alternatif dapat diberikan nicardipine (5 mg/jam IV infus awal) yang dititrasi hingga
mencapai efek yang diinginkan dengan menambahkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit hingga
mencapai dosis maksimal 15 mg/jam. Pilihan terakhir dapat diberikan nitroprusside 0,5
mcg/kgBB/menit/IV via syringe pump. Target pencapaian terapi ini adalah nilai tekanan darah
berkurang 10-15 persen.(11,12,13,14)
Pada pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik, TD sistolik lebih 185 mmHg, dan
diastolik lebih dari 110 mmHg maka dibutuhkan antihipertensi. Pengawasan dan pengontrolan
tekanan darah selama dan setelah pemberian trombolitik agar tidak
terjadi komplikasi perdarahan. Preparat antihipertensi yang dapat diberikan adalah labetolol (10-
20 mmHg/IV selama 1-2 menit dapat diulang satu kali). Alternatif obat yang dapat digunakan
adalah nicardipine infuse 5 mg/jam yang dititrasi hingga dosis maksimal 15 mg/jam.(11,12,13,14)
Pengawasan terhadap tekanan darah adalah penting. Tekanan darah harus diperiksa setiap 15
menit selama 2 jam pertama, setiap 30 menit selama 6 jam berikutnya, dan setiap jam selama 16
jam terakhir. Target terapi adalah tekanan darah berkurang 10-15 persen dari nilai awal. Untuk
mengontrol tekanan darah selama opname maka agen berikut dapat diberikan.(11,12,13,14)
1. TD sistolik 180-230 mmHg dan diastolik 105-120 mmHg maka dapat diberikan labetolol
10 mg IV selama 1-2 menit yang dapat diulang selama 10-20 menit hingga maksimal 300 mg
atau jika diberikan lewat infuse hingga 2-8 mg/menit.
2. TD sistolik lebih dari 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg dapat diberikan labetolol
dengan dosis diatas atau nicardipine infuse 5 mg/jam hingga dosis maksimal 15mg/jam.
3. Penggunaan nifedipin sublingual untuk mengurangi TD dihindari karena dapat
menyebabkan hipotensi ekstrim.
f. Pengontrolan demam
Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami demam karena hipertermia
(utamanya pada 12-24 jam setelah onset) dapat menyebabkan trauma neuronal iskemik. Sebuah
penelitian eksprimen menunjukkan bahwa hipotermia otak ringan dapat berfungsi sebagai
neuroprotektor.(11,12,13,14)
g. Pengontrolan edema serebri
Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non hemoragik dan mencapai puncak
keparahan 72-96 jam setelah onset stroke. Hiperventilasi dan pemberian manitol rutin digunakan
untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan cepat.(11,12,13,14)
h. Pengontrolan kejang
Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama setelah onset. Meskipun
profilaksis kejang tidak diindikasikan, pencegahan terhadap sekuel kejang dengan menggunakan
preparat antiepileptik tetap direkomendasikan.(11,12,13,14)
2. Penatalaksanaan Khusus
a. Terapi Trombolitik
Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan secara intravena akan mengubah
plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim proteolitik yang mampu menghidrolisa fibrin,
fibrinogen dan protein pembekuan lainnya.(15)
Pada penelitian NINDS (National Institute of Neurological Disorders and Stroke) di Amerika
Serikat, rt-PA diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 jam setelah onset stroke, dalam dosis 0,9
mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis tersebut diberikan secara bolus IV sedang sisanya
diberikan dalam tempo 1 jam. Tiga bulan setelah pemberian rt-PA didapati pasien tidak
mengalami cacat atau hanya minimal. Efek samping dari rt-PA ini adalah perdarahan
intraserebral, yang diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah
mendapat pengakuan FDA pada tahun 1996.(15)
Tetapi pada penelitian random dari European Coorperative Acute Stroke Study (ECASS) pada
620 pasien dengan dosis t-PA 1,1 mg/kg (maksimal 100 mg) diberikan secara IV dalam waktu
tidak lebih dari 6 jam setelah onset. Memperlihatkan adanya perbaikan fungsi neurologik tapi
secara keseluruhan hasil dari penelitian ini dinyatakan kurang menguntungkan. Tetapi pada
penelitian kedua (ECASS II) pada 800 pasien menggunakan dosis 0,9 mg/kg diberikan dalam
waktu tidak lebih dari 6 jam sesudah onset. Hasilnya lebih sedikit pasien yang meninggal atau
cacat dengan pemberian rt-PA dan perdarahan intraserebral dijumpai sebesar 8,8%. Tetapi rt-PA
belum mendapat ijin untuk digunakan di Eropa.(15)
Kontroversi mengenai manfaat rt-PA masih berlanjut, JM Mardlaw dkk mengatakan bahwa
terapi trombolisis perlu penelitian random dalam skala besar sebab resikonya sangat besar
sedang manfaatnya kurang jelas. Lagi pula jendela waktu untuk terapi tersebut masih kurang
jelas dan secara objektif belum terbukti rt-PA lebih aman dari streptokinase. Sedang penelitian
dari The Multicenter Acute Stroke Trial-Europe Study Group (MAST-E) dengan menggunakan
streptokinase 1,5 juta unit dalam waktu satu jam. Jendela waktu 6 jam setelah onset, ternyata
meningkatkan mortalitas. Sehingga penggunaan streptokinase untuk stroke iskemik akut tidak
dianjurkan.(15)
b. Antikoagulan
Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang mengancam. Suatu fakta yang
jelas adalah antikoagulan tidak banyak artinya bilamana stroke telah terjadi, baik apakah stroke
itu berupa infark lakuner atau infark massif dengan hemiplegia. Keadaan yang memerlukan
penggunaan heparin adalah trombosis arteri basilaris, trombosis arteri karotisdan infark serebral
akibat kardioemboli. Pada keadaan yang terakhir ini perlu diwaspadai terjadinya perdarahan
intraserebral karena pemberian heparin tersebut.(15)
1) Warfarin
Segera diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait dengan protein plasma. Waktu paro plasma: 44
jam. Dimetabolisir di hati, ekskresi: lewat urin. Dosis: 40 mg (loading dose), diikuti setelah 48
jam dengan 3-10 mg/hari, tergantung PT. Reaksi yang merugikan: hemoragi, terutama ren dan
gastrointestinal.(16)
2) Heparin
Merupakan acidic mucopolysaccharide, sangat terionisir. Normal terdapat pada mast cells. Cepat
bereaksi dengan protein plasma yang terlibat dalam proses pembekuan darah. Heparin
mempunyai efek vasodilatasi ringan. Heparin melepas lipoprotein lipase. Dimetabolisir di hati,
ekskresi lewat urin. Wakto paro plasma: 50-150 menit. Diberikan tiap 4-6 jam atau infus
kontinu. Dosis biasa: 500 mg (50.000 unit) per hari. Bolus initial 50 mg diikuti infus 250 mg
dalam 1 liter garam fisiologis atau glukose. Dosis disesuaikan dengan Whole Blood Clotting
Time. Nilai normal: 5-7 menit, dan level terapetik heparin: memanjang sampai 15 menit. Reaksi
yang merugikan: hemoragi, alopesia, osteoporosis dan diare. Kontraindikasi: sesuai dengan
antikoagulan oral. Apabila pemberian obat dihentikan segala sesuatunya dapat kembali normal.
Akan tetapi kemungkinan perlu diberi protamine sulphute dengan intravenous lambat untuk
menetralisir. Dalam setengah jam pertama, 1 mg protamin diperlukan untuk tiap 1 mg heparin
(100 unit).(16)
c. Hemoreologi
Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu peningkatan hematokrit, berkurangnya
fleksibilitas eritrosit, aktivitas trombosit, peningkatan kadar fibrinogen dan aggregasi abnormal
eritrosit, keadaan ini menimbulkan gangguan pada aliran darah. Pentoxyfilline merupakan obat
yang mempengaruhi hemoreologi yaitu memperbaiki mikrosirkulasi dan oksigenasi jaringan
dengan cara: meningkatkan fleksibilitas eritrosit, menghambat aggregasi trombosit dan
menurunkan kadar fibrinogen plasma. Dengan demikian eritrosit akan mengurangi viskositas
darah. Pentoxyfillinediberikan dalam dosis 16/kg/hari, maksimum 1200 mg/hari dalam jendela
waktu 12 jam sesudah onset.(15)
d. Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)
1) Aspirin
Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara menurunkan sintesis atau mengurangi
lepasnya senyawa yang mendorong adhesi seperti thromboxane A2. Aspirin merupakan obat
pilihan untuk pencegahan stroke. Dosis yang dipakai bermacam-macam, mulai dari 50 mg/hari,
80 mg/hari samapi 1.300 mg/hari. Obat ini sering dikombinasikan dengan dipiridamol. Suatu
penelitian di Eropa (ESPE) memakai dosis aspirin 975 mg/hari dikombinasi dengan dipiridamol
225 mg/hari dengan hasil yang efikasius.(16)
Dosis lain yang diakui efektif ialah: 625 mg 2 kali sehari. Aspirin harus diminum terus, kecuali
bila terjadi reaksi yang merugikan. Konsentrasi puncak tercapai 2 jam sesudah diminum. Cepat
diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah. Hidrolise ke asam salisilat terjadi cepat, tetapi tetap aktif.
Ikatan protein plasma: 50-80 persen. Waktu paro (half time) plasma: 4 jam. Metabolisme secara
konjugasi (dengan glucuronic acid dan glycine). Ekskresi lewat urine, tergantung pH. Sekitar 85
persen dari obat yang diberikan dibuang lewat urin pada suasana alkalis. Reaksi yang
merugikan: nyeri epigastrik, muntah, perdarahan, hipoprotrombinemia dan diduga: sindrom
Reye.(16)
Alasan mereka yang tidak menggunakan dosis rendah aspirin antara lain adalah kemungkinan
terjadi “resistensi aspirin” pada dosis rendah. Hal ini memungkinkan platelet untuk
menghasilkan 12-hydroxy-eicosatetraenoic acid, hasil samping kreasi asam arakhidonat
intraplatelet (lipid – oksigenase). Sintesis senyawa ini tidak dipengaruhi oleh dosis rendah
aspirin, walaupun penghambatan pada tromboksan A2 terjadi dengan dosis rendah aspirin.(16)
Aspirin mengurangi agregasi platelet dosis aspirin 300-600 mg (belakangan ada yang memakai
150 mg) mampu secara permanen merusak pembentukan agregasi platelet. Sayang ada yang
mendapatkan bukti bahwa aspirin tidak efektif untuk wanita.(16)
2) Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel)
Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi aspirin, dapat menggunakan tiklopidin
atau clopidogrel. Obat ini bereaksi dengan mencegah aktivasi platelet, agregasi, dan melepaskan
granul platelet, mengganggu fungsi membran platelet dengan penghambatan ikatan fibrinogen-
platelet yang diperantarai oleh ADP dan antraksi platelet-platelet. Menurut suatu studi, angka
fatalitas dan nonfatalitas stroke dalam 3 tahun dan dalam 10 persen untuk grup tiklopidin dan 13
persen untuk grup aspirin. Resiko relatif berkurang 21 persen dengan penggunaan tiklopidin.(16)
Setyaningsih at al, (1988) telah melakukan studi meta-analisis terhadap terapi tiklopidin untuk
prevensi sekunder stroke iskemik. Berdasarkan sejumlah 7 studi terapi tiklopidin, disimpulkan
bahwa efikasi tiklopidin lebih baik daripada plasebo, aspirin maupun indofen dalam mencegah
serangan ulang stroke iskemik.(16)
Efek samping tiklopidin adalah diare (12,5 persen) dan netropenia (2,4 persen). Bila obat
dihentikan akan reversibel. Pantau jumlah sel darah putih tiap 15 hari selama 3 bulan. Komplikas
yang lebih serius, teyapi jarang, adalah pur-pura trombositopenia trombotik dan anemia aplastik.(16)
e. Terapi Neuroprotektif
Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron yang iskemik dan sel-sel glia
di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki fungsi sel yang terganggu akibat oklusi dan
reperfusi. Berdasarkan pada kaskade iskemik dan jendela waktu yang potensial untuk
reversibilitas daerah penumbra maka berbagai terapi neuroprotektif telah dievaluasi pada
binatang percobaan maupun pada manusia.(15)
f. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada completed stroke sangat dibatasi. Jika kondisi pasien semakin buruk
akibat penekanan batang otak yang diikuti infark serebral maka pemindahan dari jaringan yang
mengalami infark harus dilakukan.(18)
1) Karotis Endarterektomi
Prosedur ini mencakup pemindahan trombus dari arteri karotis interna yang mengalami stenosis.
Pada pasien yang mengalami stroke di daerah sirkulasi anterior atau yang mengalami stenosis
arteri karotis interna yang sedang hingga berat maka kombinasi Carotid endarterectomy is a
surgical procedure that cleans out plaque and opens up the narrowed carotid arteries in the
neck.endarterektomi dan aspirin lebih baik daripada penggunaan aspirin saja untuk mencegah
stroke. Endarterektomi tidak dapat digunakan untuk stroke di daerah vertebrobasiler atau oklusi
karotis lengkap. Angka mortalitas akibat prosedur karotis endarterektomi berkisar 1-5 persen.(18)
Gambar 10. Endarterektomi adalah prosedur pembedahan yang menghilangkan plak dari lapisan
arteri (dikutip dari kepustakaan 18)
2) Angioplasti dan Sten Intraluminal
Pemasangan angioplasti transluminal pada arteri karotis dan vertebral serta pemasangan sten
metal tubuler untuk menjaga patensi lumen pada stenosis arteri serebri masih dalam penelitian.
Suatu penelitian menyebutkan bahwa angioplasti lebih aman dilaksanakan dibandingkan
endarterektomi namun juga memiliki resiko untuk terjadi restenosis lebih besar.(18)
K. KESIMPULAN
Berdasarkan data yang disajikan di atas, kami menyimpulkan bahwa setiap pasien dengan stroke
akut harus individulized berdasarkan usia, CT scan temuan (adanya atau kehadiran pergeseran
garis tengah, hypodensity fokus). An expert opinion should be formed with the contribution from
neurologist, vascular surgeon and interventional radiologist. Pendapat pakar harus dibentuk
dengan kontribusi dari ahli saraf, dokter bedah vaskular dan radiolog intervensi. High risk
patients should be treated with urgent CAS after the correction of the coagulation cascade.
Karotis endarterektomi mengurangi risiko stroke pada pasien dengan gejala stenosis paling
sedikit 70 persen, sebagaimana ditentukan oleh arteriography. Percobaan saat ini adalah
mengatasi pertanyaan apakah endarterektomi bermanfaat untuk pasien dengan derajat stenosis
karotis moderat. Manfaat endarterektomi untuk pasien dengan lesi karotid asimtomatik masih
belum jelas.
Uji klinis acak telah membuktikan bahwa terapi warfarin mengurangi risiko stroke pada pasien
dengan atrial fibrilasi nonvalvular dan pada mereka yang telah memiliki infark miokard. Pada
pasien yang tidak kandidat untuk terapi antikoagulan jangka panjang, aspirin bermanfaat, tapi
pengurangan risiko lebih kecil dengan aspirin dibandingkan dengan warfarin. Pada pasien
dengan gejala iskemik serebral asal noncardiac, aspirin dan ticlopidine mengurangi risiko stroke,
tapi manfaat itu sederhana. Mengingat sendirian, tidak dipyridamole atau sulfinpyrazone
mencegah stroke. Pertanyaannya tetap apakah salah satu dari obat ini ditambah aspirin lebih baik
daripada aspirin saja. Dosis optimal aspirin untuk pencegahan stroke belum ditentukan.(19,20)
L. KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke iskemik meliputi edema serebral,
transformasi hemoragik, dan kejang.(21)
1. Edema serebral yang signifikan setelah stroke iskemik bisa terjadi meskipun agak jarang
(10-20%)
2. Indikator awal iskemik yang tampak pada CT scan tanpa kontras adalah indikator
independen untuk potensi pembengkakan dan kerusakan. Manitol dan terapi lain untuk
mengurangi tekanan intrakranial dapat dimanfaatkan dalam situasi darurat, meskipun
kegunaannya dalam pembengkakan sekunder stroke iskemik lebih lanjut belum diketahui.
Beberapa pasien mengalami transformasi hemoragik pada infark mereka. Hal ini diperkirakan
terjadi pada 5% dari stroke iskemik yang tidak rumit, tanpa adanya trombolitik. Transformasi
hemoragik tidak selalu dikaitkan dengan penurunan neurologis dan berkisar dari peteki kecil
sampai perdarahan hematoma yang memerlukan evakuasi.
3. Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode pemulihan. Post-stroke
iskemik biasanya bersifat fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien yang mengalami serangan
stroke berkembang menjadi chronic seizure disorders. Kejang sekunder dari stroke iskemik harus
dikelola dengan cara yang sama seperti gangguan kejang lain yang timbul sebagai akibat
neurologis injury.
M. PROGNOSIS
Stroke berikutnya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yang paling penting adalah sifat dan tingkat
keparahan defisit neurologis yang dihasilkan. Usia pasien, penyebab stroke, gangguan medis
yang terjadi bersamaan juga mempengaruhi prognosis. Secara keseluruhan, agak kurang dari
80% pasien dengan stroke bertahan selama paling sedikit 1 bulan, dan didapatkan tingkat
kelangsungan hidup dalam 10 tahun sekitar 35%. Angka yang terakhir ini tidak mengejutkan,
mengingat usia lanjut di mana biasanya terjadi stroke. Dari pasien yang selamat dari periode