37
LAPORAN KASUS I. IDENTITAS PENDERITA Nama : Tn. St Kdj Umur : 50 tahun Jenis Kelamin : Perempuan Alamat : Sidomukti, Salatiga Tanggal MRS : 16 Agustus 2013 II. ANAMNESA a. Keluhan utama : Lemas tangan dan kaki kiri b. Riwayat Penyakit Sekarang : Pada pagi hari pasien tidak merasakan apa-apa. Saat beraktifitas, pasien merasakan sakit kepala yang sangat hebat dan berputar, setelah itu pasien merasakan tangan dan kaki sebelah kiri tidak bias digerakkan. Saat berada di rumah pasien merasa mual dan muntah sebanyak 3 kali dan kemudian bicaranya pelo padahal sebelumnya tidak pelo. Pasien tidak kejang dan sebelumnya pasien tidak pernah jatuh dan terbentur. c. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien tidak tahu apakah menderita Hipertensi dan DM

LAPORAN KASUS.doc

Embed Size (px)

Citation preview

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Tn. St Kdj

Umur : 50 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Sidomukti, Salatiga

Tanggal MRS : 16 Agustus 2013

II. ANAMNESA

a. Keluhan utama : Lemas tangan dan kaki kiri

b. Riwayat Penyakit Sekarang : Pada pagi hari pasien tidak merasakan apa-apa. Saat

beraktifitas, pasien merasakan sakit kepala yang sangat hebat dan berputar, setelah itu pasien

merasakan tangan dan kaki sebelah kiri tidak bias digerakkan. Saat berada di rumah pasien

merasa mual dan muntah sebanyak 3 kali dan kemudian bicaranya pelo padahal sebelumnya

tidak pelo. Pasien tidak kejang dan sebelumnya pasien tidak pernah jatuh dan terbentur.

c. Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien tidak tahu apakah menderita Hipertensi dan DM

Pasien tidak mempunyai riwayat Penyakit Jantung

Pasien mengaku kadang pusing namun membaik setelah

tiduran dan minum obat warung

Pasien tidak mempunyai riwayat kejang

d. Riwayat Pengobatan : Pasien tidak pernah berobat

III. Pemeriksaan Fisik

a. Status Interna

1. Vital Sign :

Tensi : 152/94 mmHg

Nadi : 69 x/mnt

RR : 24 x/mnt

Suhu : 36 oC

2. Kepala s/d leher

Anemi (-) Ikterus (-)

3. Thorax

Paru-paru : Rhonki -/- Wheezing -/-

Jantung : S1 S2 tunggal

4. Abdomen

Hepar tidak teraba, lien, tidak teraba, Bising usus dbn

5. Ekstremitas

Oedem (-) Akral (-) hangat

b. Kepala s/d Leher

Dalam batas normal

c. Status Neurologis

1. Kesan Umum

a. Kesadaran : compos mentis

b. GCS : E4 V4 M6

2. Pemeriksaan Khusus

a. Rangsangan selaput otak

- Kaku kuduk : +

- Laseque : -

- Kerniq : -

- Brudzinski tanda leher : -

- Brudzinski tanda kontralateral : -

- Brudzinski tanda pipi : -

- Brudzinski tanda symphisis pubis : -

- Disartri : +

b. Sistem Motorik

                                          Kekuatan :

Bebas Terbatas 5/5 2/2Bebas Terbatas 5/5 2/2

Tonus : Trophi :Normal Hipotonus 5/5/5 2/2/2Normal Hipotonus 5/5/5 2/2/2

c. Sistem sensorik :

Rasa eksteroceptik : N / -

Rasa proploseptik : N / -

Rasa Enteroseptik : N / -

Rasa kombinasi : N / -

d. Reflek-reflek

- Reflek Fisiologis

Kanan KiriBPR N MeningkatTPR N MeningkatKPR N MeningkatAPR N Meningkat

- Reflek Patologis :

Babinski (+) Chaddock (-) Gordon (-) Gonda (-) Schauffer (-) Rossolimo (-)

e. Susunan saraf otonom

Miksi (N) Defekasi (N) Salivasi (N) Sekresi keringat (N)

IV. Diagnosa

Diagnosa : hemiparese sinistra, Vertigo

DD: Stroke Non Hemoragik

Stroke Hemoragik

Tumor

V. Terapi

- Infus RL 20 tpm + sohobion drip

- Injeksi Citicolin 2 x 500 mg

- Injeksi Piracetam 2 x 3gr

- Manitol 6 x 100

- Vastigo 3 x 1

- Frego 3x 10 mg

VI. Pemeriksaan Penunjang

CT-scan : Kesan Gambaran SNH di daerah Substantia Grisea Alba di Lobus Temporalis

VII. Hasil Lab

GDS : 147

Ureum : 23 mg/dl

Kreatinin : 0.68 mg/dl

SGOT : 25 u/l

SGPT : 16 u/l

TINJAUAN PUSTAKA

A PENDAHULUAN

Stroke sudah dikenal sejak dulu kala, bahkan sebelum zaman Hippocrates. Soranus dari

Ephesus (98 -138) di Eropa telah mengamati beberapa faktor yang mempengaruhi stroke.

Hippocrates adalah Bapak Kedokteran asal Yunani. Ia mengetahui stroke 2400 tahun silam. Kala

itu, belum ada istilah stroke. Hippocrates menyebutnya dalam bahasa Yunani: apopleksi.

Artinya, tertubruk oleh pengabaian. Sampai saat ini, stroke masih merupakan salah satu penyakit

saraf yang paling banyak menarik perhatian.(1,2)

Definisi WHO, stroke adalah menifestasi klinik dari gangguan fungsi serebral, baik fokal

maupun menyeluruh (global), yang berlangsung dengan cepat, selama lebih dari 24 jam atau

berakhir dengan maut, tanpa ditemukannya penyebab lain selain gangguan vaskuler. Istilah kuno

apopleksia serebri sama maknanya dengan Cerebrovascular Accidents/Attacks (CVA)

dan Stroke.(1)

B.   INSIDEN

Stroke mengenai semua usia, termasuk anak-anak. Namun, sebagian besar kasus

dijumpai pada orang-orang yang berusia di atas 40 tahun. Makin tua umur, resiko terjangkit

stroke makin besar. Penyakit ini juga tidak mengenal jenis kelamin. Tetapi, stroke lebih banyak

menjangkiti laki-laki daripada perempuan. Lalu dari segi warna kulit, orang berkulit berwarna

berpeluang terkena stroke lebih besar daripada orang berkulit putih.(2)

C.   EPIDEMIOLOGI

Stroke adalah penyebab cacat nomor satu dan penyebab kematian nomor dua di dunia.

Penyakit ini telah menjadi masalah kesehatan yang mendunia dan semakin penting, dengan dua

pertiga stroke sekarang terjadi di negara-negara yang sedang berkembang.(3)

Menurut taksiran Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), sebanyak 20,5 juta jiwa di dunia sudah

terjangkit stroke pada tahun 2001. Dari jumlah itu 5,5 juta telah meninggal dunia. Penyakit

tekanan darah tinggi atau hipertensi menyumbangkan 17,5 juta kasus stroke di dunia.(2)

Di Amerika Serikat, stroke menempati posisi ketiga sebagai penyakit utama yang menyebabkan

kematian. Posisi di atasnya dipegang penyakit jantung dan kanker. Di negeri Paman Sam ini,

setiap tahun terdapat laporan 700.000 kasus stroke. Sebanyak 500.000 diantaranya kasus

serangan pertama, sedangkan 200.000 kasus lainnya berupa stroke berulang. Sebanyak 75 persen

penderita stroke menderita lumpuh dan kehilangan pekerjaan.(2)

Di Indonesia penyakit ini menduduki posisi ketiga setelah jantung dan kanker. Sebanyak 28,5

persen penderita stroke meninggal dunia. Sisanya menderita kelumpuhan sebagian maupun total.

Hanya 15 persen saja yang dapat sembuh total dari serangan stroke dan kecacatan.(2)

D.   ANATOMI

Otak memperoleh darah melalui dua sistem yakni sistem karotis (arteri

karotis interna kanan dan kiri) dan sistem vertebral. Arteri koritis interna, setelah memisahkan

diri dari arteri karotis komunis, naik dan masuk ke rongga tengkorak melalui kanalis karotikus,

berjalan dalam sinus kavernosum, mempercabangkan arteri oftalmika untuk nervus optikus dan

retina, akhirnya bercabang dua: arteri serebri anterior dan arteri serebri media. Untuk otak,

sistem ini memberi darah bagi lobus frontalis, parietalis dan beberapa bagian lobus temporalis.(1)

Sistem vertebral dibentuk oleh arteri vertebralis kanan dan kiri yang berpangkal di arteri

subklavia, menuju dasar tengkorak melalui kanalis tranversalis di kolumna vertebralis servikal,

masuk rongga kranium melalui foramen magnum, lalu mempercabangkan masing-masing

sepasang arteri serebeli inferior. Pada batas medula oblongata dan pons, keduanya bersatu arteri

basilaris, dan setelah mengeluarkan 3 kelompok cabang arteri, pada tingkat mesensefalon, arteri

basilaris berakhir sebagai sepasang cabang: arteri serebri posterior, yang melayani darah bagi

lobus oksipitalis, dan bagian medial lobus temporalis.(1)

Ke 3 pasang arteri serebri ini bercabang-cabang menelusuri permukaan otak, dan beranastomosis

satu bagian lainnya. Cabang-cabang yang lebih kecil menembus ke dalam jaringan otak dan juga

saling berhubungan dengan cabang-cabang arteri serebri lainya. Untuk menjamin pemberian

darah ke otak, ada sekurang-kurangnya 3 sistem kolateral antara sistem karotis dan sitem

vertebral, yaitu:(1)

Sirkulus Willisi, yakni lingkungan pembuluh darah yang tersusun oleh arteri serebri

media kanan dan kiri, arteri komunikans anterior (yang menghubungkan kedua arteri serebri

anterior), sepasang arteri serebri media posterior dan arteri komunikans posterior (yang

menghubungkan arteri serebri media dan posterior) kanan dan kiri. Anyaman arteri ini terletak

di dasar otak.

Anastomosis antara arteri serebri interna dan arteri karotis eksterna di daerah orbita,

masing-masing melalui arteri oftalmika dan arteri fasialis ke arteri maksilaris eksterna.

Hubungan antara sitem vertebral dengan arteri karotis ekterna (pembuluh darah

ekstrakranial).

Selain itu masih terdapat lagi hubungan antara cabang-cabang arteri tersebut, sehingga menurut

Buskrik tak ada arteri ujung (true end arteries) dalam jaringan otak.(1)

Darah vena dialirkan dari otak melalui 2 sistem: kelompok vena interna, yang mengumpulkan

darah ke vena Galen dan sinus rektus, dan kelompok vena eksterna yang terletak dipermukaan

hemisfer otak, dan mencurahkan darah ke sinus sagitalis superior dan sinus-sinus basalis

laterales, dan seterusnya melalui vena-vena jugularis dicurahkan menuju ke jantung.(1)

 

E.   FISIOLOGI

Sistem karotis terutama melayani kedua hemisfer otak, dan sistem

vertebrabasilaris terutama memberi darah bagi batang otak, serebelum dan bagian posterior

hemisfer. Aliran darah di otak (ADO) dipengaruhi terutama 3 faktor. Dua faktor yang paling

penting adalah tekanan untuk memompa darah dari sistem arteri-kapiler ke sistem vena, dan

tahanan (perifer) pembuluh darah otak. Faktor ketiga, adalah faktor darah sendiri yaitu viskositas

darah dan koagulobilitasnya (kemampuan untuk membeku).(1)

Dari faktor pertama, yang terpenting adalah tekanan darah sistemik (faktor jantung,

darah, pembuluh darah, dll), dan faktor kemampuan khusus pembuluh darah otak (arteriol) untuk

menguncup bila tekanan darah sistemik naik dan berdilatasi bila tekanan darah sistemik

menurun. Daya akomodasi sistem arteriol otak ini disebut daya otoregulasi pembuluh darah otak

(yang berfungsi normal bila tekanan sistolik antara 50-150 mmHg).(1)

Faktor darah, selain viskositas darah dan daya membekunya, juga di antaranya seperti

kadar/tekanan parsial CO2 dan O2 berpengaruh terhadap diameter arteriol. Kadar/tekanan parsial

CO2 yang naik, PO2 yang turun, serta suasana jaringan yang asam (pH rendah), menyebabkan

vasodilatasi, sebaliknya bila tekanan darah parsial CO2 turun, PO2 naik, atau suasana pH tinggi,

maka terjadi vasokonstriksi.(1)

Viskositas/kekentalan darah yang tinggi mengurangi ADO. Sedangkan koagulobilitas yang besar

juga memudahkan terjadinya trombosis, aliran darah lambat, akibat ADO menurun.(1)

F.    FAKTOR RESIKO

Pemeriksaan faktor resiko dengan cermat dapat memudahkan seorang dokter untuk

menemukan penyebab terjadinya stroke. Terdapat beberapa faktor resiko stroke non hemoragik,

yakni:(4,5)

Usia lanjut (resiko meningkat setiap pertambahan dekade)

Hipertensi

Merokok

Penyakit jantung (penyakit jantung koroner, hipertrofi ventrikel kiri, dan fibrilasi atrium

kiri)

Hiperkolesterolemia

Riwayat mengalami penyakit serebrovaskuler

Resiko stroke juga meningkat pada kondisi di mana terjadi peningkatan viskositas darah dan

penggunaan kontrasepsi oral pada pasien dengan resiko tinggi megalami stroke non hemoragik.(4,6)

G.   KLASIFIKASI

Stroke iskemik dapat dijumpai dalam 4 bentuk klinis:(1)

1.         Serangan Iskemia Sepintas/Transient Ischemic Attack (TIA)

Pada bentuk ini gejalah neurologik yang timbul akibat gangguan peredaran darah di otak akan

menghilang dalam waktu 24 jam.

2.         Defisit Neurologik Iskemia Sepintas/Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND).

Gejala neurologik yang timbul akan menghilang dalam waktu lebih dari 24 jam, tapi tidak lebih

dari seminggu.

3.         Stroke progresif (Progressive Stroke/Stroke in evolution)

Gejala neurologik makin lama makin berat.

4.         Stroke komplet (Completed Stroke/Permanent Stroke)

Gejala klinis sudah menetap.

H.   ETIOLOGI

Pada tingkatan makroskopik, stroke non hemoragik paling sering disebabkan oleh emboli

ektrakranial atau trombosis intrakranial. Selain itu, stroke non hemoragik juga dapat diakibatkan

oleh penurunan aliran serebral. Pada tingkatan seluler, setiap proses yang mengganggu aliran

darah menuju otak menyebabkan timbulnya kaskade iskemik yang berujung pada terjadinya

kematian neuron dan infark serebri.(4)

1.         Emboli

Sumber embolisasi dapat terletak di arteria karotis atau vertebralis akan tetapi dapat juga di

jantung dan sistem vaskuler sistemik.(5)

a)        Embolus yang dilepaskan oleh arteria karotis atau vertebralis, dapat berasal dari “plaque

athersclerotique” yang berulserasi atau dari trombus yang melekat pada intima arteri akibat

trauma tumpul pada daerah leher.

b)        Embolisasi kardiogenik dapat terjadi pada:

1)        Penyakit jantung dengan “shunt” yang menghubungkan bagian kanan dengan bagian kiri

atrium atau ventrikel;

2)        Penyakit jantung rheumatoid akut atau menahun yang meninggalkan gangguan pada

katup mitralis;

3)        Fibralisi atrium;

4)        Infarksio kordis akut;

5)        Embolus yang berasal dari vena pulmonalis

6)        Kadang-kadang pada kardiomiopati, fibrosis endrokardial, jantung miksomatosus

sistemik;

c)        Embolisasi akibat gangguan sistemik dapat terjadi sebagai:

1)        Embolia septik, misalnya dari abses paru atau bronkiektasis.

2)        Metastasis neoplasma yang sudah tiba di paru.

3)        Embolisasi lemak dan udara atau gas N (seperti penyakit “caisson”).

Emboli dapat berasal dari jantung, arteri ekstrakranial, ataupun dari right-

sided circulation (emboli paradoksikal). Penyebab terjadinya emboli kardiogenik adalah trombi

valvular seperti pada mitral stenosis, endokarditis, katup buatan), trombi mural (seperti infark

miokard, atrial fibrilasi, kardiomiopati, gagal jantung kongestif) dan atrial miksoma. Sebanyak 2-

3 persen stroke emboli diakibatkan oleh infark miokard dan 85 persen di antaranya terjadi pada

bulan pertama setelah terjadinya infark miokard.(4)

2.         Trombosis

Stroke trombotik dapat dibagi menjadi stroke pada pembuluh darah besar (termasuk

sistem arteri karotis) dan pembuluh darah kecil (termasuk sirkulus Willisi dan sirkulus posterior).

Tempat terjadinya trombosis yang paling sering adalah titik percabangan arteri serebral

utamanya pada daerah distribusi dari arteri karotis interna. Adanya stenosis arteri dapat

menyebabkan terjadinya turbulensi aliran darah (sehingga meningkatkan resiko pembentukan

trombus aterosklerosis (ulserasi plak), dan perlengketan platelet.(4)

Penyebab lain terjadinya trombosis adalah polisetemia, anemia sickle sel, defisiensi

protein C, displasia fibromuskular dari arteri serebral, dan vasokonstriksi yang berkepanjangan

akibat gangguan migren. Setiap proses yang menyebabkan diseksi arteri serebral juga dapat

menyebabkan terjadinya stroke trombotik (contohnya trauma, diseksi aorta thorasik, arteritis).(4)

3.         Patofisiologi

Infark iskemik serebri, sangat erat hubungannya aterosklerosis (terbentuknya ateroma) dan

arteriolosklerosis. (1,6)

Gambar 4. Penyumbatan pembuluh darah

Aterosklerosis dapat menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik dengan cara:(1)

a.         Menyempatkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi aliran darah.

b.        Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya trombus atau peredaran darah

aterom.

c.         Merupakan terbentuknya trombus yang kemudian terlepas sebagai emboli.

d.        Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma yang kemudian

dapat robek.

Faktor yang mempengaruhi aliran darah ke otak:(1)

a.         Keadaan pembuluh darah, bila menyempit akibat stenosis atau ateroma atau tersumbat

oleh trombus/embolus.

b.        Keadaan darah: viskositas darah yang meningkat, hematokrit yang meningkat

(polisetemial) yang menyebabkan aliran darah ke otak lebih lambat: anemia yang berat

menyebabkan oksigenasi otak menurun.

c.         Tekanan darah sistematik memegang peranan tekanan perfusi otak. Perlu diingat apa

yang disebut otoregulasi otak yakni kemampuan intrinsik dari pembuluh darah otak agar aliran

darah otak tetap konstan walaupun ada perubahan dari tekanan perfusi otak.

Batas normal otoregulasi antara 50-150 mmHg. Pada penderita hipertensi otoregulasi otak

bergeser ke kanan.

d.        Kelainan jantung

1)        Menyebabkan menurunnya curah jantung a.l. fibrilasi, blok jantung.

2)        Lepasnya embolus menimbulkan iskemia di otak.

I.     DIAGNOSIS

1.         Gambaran Klinis

a.         Anamnesis

Stroke harus dipertimbangkan pada setiap pasien yang mengalami defisit neurologi akut

(baik fokal maupun global) atau penurunan tingkat kesadaran. Tidak terdapat tanda atau gejala

yang dapat membedakan stroke hemoragik dan non hemoragik meskipun gejalah

seperti mual muntah, sakit kepala dan perubahan tingkat kesadaran lebih sering terjadi pada

stroke hemoragik. Beberapa gejalah umum yang terjadi pada stroke meliputi hemiparese,

monoparese, atau qudriparese, hilangnya penglihatan monokuler atau binokuler, diplopia,

disartria, ataksia, vertigo, afasia, atau penurunan kesadaran tiba-tiba. Meskipun gejala-gejala

tersebut dapat muncul sendiri namun umumnya muncul secara bersamaan. Penentuan waktu

terjadinya gejala-gejala tersebut juga penting untuk menentukan perlu tidaknya

pemberian terapi trombolitik. Beberapa faktor dapat mengganggu dalam mencari gejalah atau

onset stroke seperti:

1)        Stroke terjadi saat pasien sedang tertidur sehingga kelainan tidak didapatkan hingga

pasien bangun (wake up stroke).

2)        Stroke mengakibatkan seseorang sangat tidak mampu untuk mencari pertolongan.

3)        Penderita atau penolong tidak mengetahui gejala-gejala stroke.

4)        Terdapat beberapa kelainan yang gejalanya menyerupai stroke

seperti kejang, infeksi sistemik,tumor serebral, subdural hematom, ensefalitis, dan hiponatremia.(4)

b.        Pemeriksaan Fisik

Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke ekstrakranial,

memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke, dan menentukan beratnya

defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaaan kepala dan leher

untuk mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi menings. Pemeriksaan terhadap faktor

kardiovaskuler penyebab stroke membutuhkan pemeriksaan fundus okuler (retinopati, emboli,

perdarahan), jantung (ritmik ireguler, bising), dan vaskuler perifer (palpasi arteri karotis, radial,

dan femoralis). Pasien dengan gangguan kesadaran harus dipastikan mampu untuk menjaga jalan

napasnya sendiri.(4)

c.         Pemeriksaan Neurologi

Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejalah stroke, memisahkan

stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejalah seperti stroke, dan menyediakan informasi

neurologi untuk mengetahui keberhasilan terapi. Komponen penting dalam pemeriksaan

neurologi mencakup pemeriksaan status mental dan tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus

kranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks tendon profunda.

Tengkorak dan tulang belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda meningimus pun harus

dicari. Adanya kelemahan otot wajah pada stroke harus dibedakan dengan Bell’s palsy di mana

pada Bell’s palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu mengangkat alis atau

mengerutkan dahinya.(4,7)

Gejala-gejala neurologi yang timbul biasanya bergantung pada arteri yang tersumbat.

1)        Arteri serebri media (MCA)

Gejala-gejalanya antara lain hemiparese kontralateral, hipestesi kontralateral, hemianopsia

ipsilateral, agnosia, afasia, dan disfagia. Karena MCA memperdarahi motorik ekstremitas atas

maka kelemahan tungkai atas dan wajah biasanya lebih berat daripada tungkai bawah.(4,8)

2)        Arteri serebri anterior

Umumnya menyerang lobus frontalis sehingga menyebabkan gangguan bicara, timbulnya refleks

primitive (grasping dan sucking reflex), penurunan tingkat kesadaran, kelemahan kontralateral

(tungkai bawah lebih berat dari pada tungkai atas), defisit sensorik kontralateral, demensia, dan

inkontinensia uri.(4,8)

3)        Arteri serebri posterior

Menimbulkan gejalah seperti hemianopsia homonymous kontralateral, kebutaan kortikal, agnosia

visual, penurunan tingkat kesadaran, hemiparese kontralateral, gangguan memori.(4,8)

4)        Arteri vertebrobasiler (sirkulasi posterior)

Umumnya sulit dideteksi karena menyebabkan deficit nervus kranialis, serebellar, batang otak

yang luas. Gejalah yang timbul antara lain vertigo, nistagmus, diplopia, sinkop, ataksia,

peningkatan refleks tendon, tanda Babynski bilateral, tanda serebellar, disfagia, disatria, dan rasa

tebal pada wajah. Tanda khas pada stroke jenis ini adalah temuan klinis yang saling

berseberangan (defisit nervus kranialis ipsilateral dan deficit motorik kontralateral).(4,8)

5)        Arteri karotis interna (sirkulasi anterior)

Gejala yang ada umumnya unilateral. Lokasi lesi yang paling sering adalah bifurkasio arteri

karotis komunis menjadi arteri karotis interna dan eksterna. Adapun cabang-cabang dari arteri

karotis interna adalah arteri oftalmika (manifestasinya adalah buta satu mata yang episodik biasa

disebut amaurosis fugaks), komunikans posterior, karoidea anterior, serebri anterior dan media

sehingga gejala pada oklusi arteri serebri anterior dan media pun dapat timbul.(4,8)

6)        Lakunar stroke

Lakunar stroke timbul akibat adanya oklusi pada arteri perforans kecil di daerah subkortikal

profunda otak. Diameter infark biasanya 2-20 mm. Gejala yang timbul adalah hemiparese

motorik saja, sensorik saja, atau ataksia. Stroke jenis ini biasanya terjadi pada pasien dengan

penyakit pembuluh darah kecil seperti diabetes dan hipertensi.(4)

2.         Gambaran Laboratorium

Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan mungkin pula menunjukkan

faktor resiko stroke seperti polisitemia, trombositosis, trombositopenia, dan leukemia).

Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini

seperti anemia.(9)

Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan yang memiliki gejalah seperti

stoke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat pula menunjukka penyakit yang diderita pasien

saat ini (diabetes, gangguan ginjal).(9)

Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati pada pasien. Selain itu,

pemeriksaan ini juga berguna jika digunakan terapi trombolitik dan antikoagulan.(9)

Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan antara stroke dengan penyakit jantung

koroner. Penelitian lain juga mengindikasikan adanya hubungan anatara peningkatan enzim

jantung dengan hasih yang buruk dari stroke.(9)

3.         Gambaran Radiologi

a.         CT scan kepala non kontras

Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dan stroke non hemoragik

secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik memerlukan pemberian trombolitik sesegera

mungkin. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari

stroke dan mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalahnya mirip dengan

stroke (hematoma, neoplasma, abses).(4)

Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami. Setelah 6-12 jam

setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang menandakan terjadinya edema di otak.

Jika setelah 3 jam terdapat daerah hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan

ulang mengenai waktu terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya stroke non hemoragik adalah

adanya insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan hilangnya

perberdaan gray-white matter.(4,10)

b.        CT perfussion

Modalitas ini merupakan modalitas baru yang berguna untuk mengidentifikasi daerah awal

terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari region

otak dapat diukur. Adanya hipoatenuasi menunjukkan terjadinya iskemik di daerah tersebut.(4,17)

 

c.         CT angiografi (CTA)

Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT angiografi (CTA). Pemeriksaan

ini dapat mengidentifikasi defek pengisian arteri serebral yang menunjukkan lesi spesifik dari

pembuluh darah penyebab stroke. Selain itu, CTA juga dapat memperkirakan jumlah perfusi

karena daerah yang mengalami hipoperfusi memberikan gambaran hipodense.(4)

d.        MR angiografi (MRA)

MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusi lebih awal pada stroke akut.

Sayangnya, pemerikasaan ini dan pemeriksaan MRI lainnya memerlukan biaya yang tidak

sedikit serta waktu pemeriksaan yang agak panjang.(4,10)

Protokol MRI memiliki banyak kegunaan untuk pada stroke akut. MR T1 dan T2 standar dapat

dikombinasikan dengan protokol lain seperti diffusion-weighted imaging (DWI) dan perfussion-

weighted imaging (PWI) untuk meningkatkan sensitivitas agar dapat mendeteksi stroke non

hemoragik akut. DWI dapat mendeteksi iskemik lebih cepat daripada CT scan dan MRI. Selain

itu, DWI juga dapat mendeteksi iskemik pada daerah kecil. PWI dapat mengukur langsung

perfusi daerah di otak dengan cara yang serupa dengan CT perfusion. Kontras dimasukkan dan

beberapa gambar dinilai dari waktu ke waktu serta dibandingkan.(4)

 

e.         USG, ECG, EKG, Chest X-Ray

Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai stenosis atau oklusi arteri

karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan dupleks karotis. USG transkranial dopler berguna

untuk mengevaluasi anatomi vaskuler proksimal lebih lanjut termasuk di antaranya MCA, arteri

karotis intrakranial, dan arteri vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi) dilakukan

pada semua pasien dengan stroke non hemoragik yang dicurigai mengalami emboli kardiogenik.

Transesofageal ECG diperlukan untuk mendeteksi diseksi aorta thorasik. Selain itu, modalitas ini

juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi pada atrium kiri. Modalitas lain yang juga

berguna untuk mendeteksi kelainan jantung adalah EKG dan foto thoraks.(4)

J.    PENATALAKSANAAN

Target managemen stroke non hemoragik akut adalah untuk menstabilkan pasien dan

menyelesaikan evaluasi dan pemeriksaan termasuk diantaranya pencitraan dan pemeriksaan

laboratorium dalam jangka waktu 60 menit setelah pasien tiba. Keputusan penting pada

manajemen akut ini mencakup perlu tidaknya intubasi, pengontrolan tekanan darah, dan

menentukan resiko atau keuntungan dari pemberian terapi trombolitik.(6,12)

1.      Penatalaksanaan Umum

a. Airway and breathing

Pasien dengan GCS ≤ 8 atau memiliki jalan napas yang tidak adekuat atau paten memerlukan

intubasi. Jika terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK) maka pemberian

induksi dilakukan untuk mencegah efek samping dari intubasi. Pada kasus dimana kemungkinan

terjadinya herniasi otak besar maka target pCO2 arteri adalah 32-36 mmHg. Dapat pula diberikan

manitol intravena untuk mengurangi edema serebri. Pasien harus mendapatkan bantuan oksigen

jika pulse oxymetri atau pemeriksaan analisa gas darah menunjukkan terjadinya hipoksia.

Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan hipoksia pada stroke non hemoragik adalah adanya

obstruksi jalan napas parsial, hipoventilasi, atelektasis ataupun GERD.(11,12,13,14)

b. Circulation

Pasien dengan stroke non hemoragik akut membutuhkan terapi intravena dan pengawasan

jantung. Pasien dengan stroke akut berisiko tinggi mengalami aritmia jantung dan peningkatan

biomarker jantung. Sebaliknya, atrial fibrilasi juga dapat menyebabkan terjadinya stroke.(11,12,13,14)

c.         Pengontrolan gula darah

Beberapa data menunjukkan bahwa hiperglikemia berat terkait dengan prognosis yang kurang

baik dan menghambat reperfusi pada trombolisis. Pasien dengan normoglokemik tidak boleh

diberikan cairan intravena yang mengandung glukosa dalam jumlah besar karena dapat

menyebabkan hiperglikemia dan memicu iskemik serebral eksaserbasi. Pengontrolan gula darah

harus dilakukan secara ketat dengan pemberian insulin. Target gula darah yang harus dicapai

adalah 90-140 mg/dl. Pengawasan terhadap gula darah ini harus dilanjutkan hingga pasien

pulang untuk mengantisipasi terjadinya hipoglikemi akibat pemberian insulin.(11,12,13,14)

d.        Posisi kepala pasien

Penelitian telah membuktikan bahwa tekanan perfusi serebral lebih maksimal jika pasien dalam

pasien supinasi. Sayangnya, berbaring telentang dapat menyebabkan peningkatan tekanan

intrakranial padahal hal tersebut tidak dianjurkan pada kasus stroke. Oleh karena itu, pasien

stroke diposisikan telentang dengan kepala ditinggikan sekitar 30-45 derajat.(11,12,13,14)

e.         Pengontrolan tekanan darah

Pada keadaan dimana aliran darah kurang seperti pada stroke atau peningkatan TIK, pembuluh

darah otak tidak memiliki kemampuan vasoregulator sehingga hanya bergantung pada maen

arterial pressure (MAP) dan cardiac output (CO) untuk mempertahankan aliran darah otak. Oleh

karena itu, usaha agresif untuk menurunkan tekanan darah dapat berakibat turunnya tekanan

perfusi yang nantinya akan semakin memperberat iskemik. Di sisi lain didapatkan bahwa

pemberian terapi anti hipertensi diperlukan jika pasien memiliki tekanan darah yang ekstrim

(sistole lebih dari 220 mmHg dan diastole lebih dari 120 mmHg) atau pasien direncanakan untuk

mendapatkan terapi trombolitik.(11,12,13,14)

Adapun langkah-langkah pengontrolan tekanan darah pada pasien stroke non hemoragik adalah

sebagai berikut. Jika pasien tidak direncanakan untuk mendapatkan terapi trombolitik, tekanan

darah sistolik kurang dari 220 mmHg, dan tekanan darah diastolik kurang dari 120 mmHg tanpa

adanya gangguan organ end-diastolic maka tekanan darah harus diawasi (tanpa adanya

intervensi) dan gejala stroke serta komplikasinya harus ditangani.(11,12,13,14)

Untuk pasien dengan TD sistolik di atas 220 mmHg atau diastolik antara 120-140 mmHg maka

pasien dapat diberikan labetolol (10-20 mmHg IV selama 1-2 menit jika tidak ada kontraindikasi.

Dosis dapat ditingkatkan atau diulang setiap 10 menit hingga mencapai dosis maksiamal 300 mg.

Sebagai alternatif dapat diberikan nicardipine (5 mg/jam IV infus awal) yang dititrasi hingga

mencapai efek yang diinginkan dengan menambahkan 2,5 mg/jam setiap 5 menit hingga

mencapai dosis maksimal 15 mg/jam. Pilihan terakhir dapat diberikan nitroprusside 0,5

mcg/kgBB/menit/IV via syringe pump. Target pencapaian terapi ini adalah nilai tekanan darah

berkurang 10-15 persen.(11,12,13,14)

Pada pasien yang akan mendapatkan terapi trombolitik, TD sistolik lebih 185 mmHg, dan

diastolik lebih dari 110 mmHg maka dibutuhkan antihipertensi. Pengawasan dan pengontrolan

tekanan darah selama dan setelah pemberian trombolitik agar tidak

terjadi komplikasi perdarahan. Preparat antihipertensi yang dapat diberikan adalah labetolol (10-

20 mmHg/IV selama 1-2 menit dapat diulang satu kali). Alternatif obat yang dapat digunakan

adalah nicardipine infuse 5 mg/jam yang dititrasi hingga dosis maksimal 15 mg/jam.(11,12,13,14)

Pengawasan terhadap tekanan darah adalah penting. Tekanan darah harus diperiksa setiap 15

menit selama 2 jam pertama, setiap 30 menit selama 6 jam berikutnya, dan setiap jam selama 16

jam terakhir. Target terapi adalah tekanan darah berkurang 10-15 persen dari nilai awal. Untuk

mengontrol tekanan darah selama opname maka agen berikut dapat diberikan.(11,12,13,14)

1.      TD sistolik 180-230 mmHg dan diastolik 105-120 mmHg maka dapat diberikan labetolol

10 mg IV selama 1-2 menit yang dapat diulang selama 10-20 menit hingga maksimal 300 mg

atau jika diberikan lewat infuse hingga 2-8 mg/menit.

2.      TD sistolik lebih dari 230 mmHg atau diastolik 121-140 mmHg dapat diberikan labetolol

dengan dosis diatas atau nicardipine infuse 5 mg/jam hingga dosis maksimal 15mg/jam.

3.      Penggunaan nifedipin sublingual untuk mengurangi TD dihindari karena dapat

menyebabkan hipotensi ekstrim.

f.         Pengontrolan demam

Antipiretik diindikasikan pada pasien stroke yang mengalami demam karena hipertermia

(utamanya pada 12-24 jam setelah onset) dapat menyebabkan trauma neuronal iskemik. Sebuah

penelitian eksprimen menunjukkan bahwa hipotermia otak ringan dapat berfungsi sebagai

neuroprotektor.(11,12,13,14)

g.        Pengontrolan edema serebri

Edema serebri terjadi pada 15 persen pasien dengan stroke non hemoragik dan mencapai puncak

keparahan 72-96 jam setelah onset stroke. Hiperventilasi dan pemberian manitol rutin digunakan

untuk mengurangi tekanan intrakranial dengan cepat.(11,12,13,14)

h.        Pengontrolan kejang

Kejang terjadi pada 2-23 persen pasien dalam 24 jam pertama setelah onset. Meskipun

profilaksis kejang tidak diindikasikan, pencegahan terhadap sekuel kejang dengan menggunakan

preparat antiepileptik tetap direkomendasikan.(11,12,13,14)

2.      Penatalaksanaan Khusus

a.         Terapi Trombolitik

Tissue plaminogen activator (recombinant t-PA) yang diberikan secara intravena akan mengubah

plasminogen menjadi plasmin yaitu enzim proteolitik yang mampu menghidrolisa fibrin,

fibrinogen dan protein pembekuan lainnya.(15)

Pada penelitian NINDS (National Institute of Neurological Disorders and Stroke) di Amerika

Serikat, rt-PA diberikan dalam waktu tidak lebih dari 3 jam setelah onset stroke, dalam dosis 0,9

mg/kg (maksimal 90 mg) dan 10% dari dosis tersebut diberikan secara bolus IV sedang sisanya

diberikan dalam tempo 1 jam. Tiga bulan setelah pemberian rt-PA didapati pasien tidak

mengalami cacat atau hanya minimal. Efek samping dari rt-PA ini adalah perdarahan

intraserebral, yang diperkirakan sekitar 6%. Penggunaan rt-PA di Amerika Serikat telah

mendapat pengakuan FDA pada tahun 1996.(15)

Tetapi pada penelitian random dari European Coorperative Acute Stroke Study (ECASS) pada

620 pasien dengan dosis t-PA 1,1 mg/kg (maksimal 100 mg) diberikan secara IV dalam waktu

tidak lebih dari 6 jam setelah onset. Memperlihatkan adanya perbaikan fungsi neurologik tapi

secara keseluruhan hasil dari penelitian ini dinyatakan kurang menguntungkan. Tetapi pada

penelitian kedua (ECASS II) pada 800 pasien menggunakan dosis 0,9 mg/kg diberikan dalam

waktu tidak lebih dari 6 jam sesudah onset. Hasilnya lebih sedikit pasien yang meninggal atau

cacat dengan pemberian rt-PA dan perdarahan intraserebral dijumpai sebesar 8,8%. Tetapi rt-PA

belum mendapat ijin untuk digunakan di Eropa.(15)

Kontroversi mengenai manfaat rt-PA masih berlanjut, JM Mardlaw dkk mengatakan bahwa

terapi trombolisis perlu penelitian random dalam skala besar sebab resikonya sangat besar

sedang manfaatnya kurang jelas. Lagi pula jendela waktu untuk terapi tersebut masih kurang

jelas dan secara objektif belum terbukti rt-PA lebih aman dari streptokinase. Sedang penelitian

dari The Multicenter Acute Stroke Trial-Europe Study Group (MAST-E) dengan menggunakan

streptokinase 1,5 juta unit dalam waktu satu jam. Jendela waktu 6 jam setelah onset, ternyata

meningkatkan mortalitas. Sehingga penggunaan streptokinase untuk stroke iskemik akut tidak

dianjurkan.(15)

b.        Antikoagulan

Warfarin dan heparin sering digunakan pada TIA dan stroke yang mengancam. Suatu fakta yang

jelas adalah antikoagulan tidak banyak artinya bilamana stroke telah terjadi, baik apakah stroke

itu berupa infark lakuner atau infark massif dengan hemiplegia. Keadaan yang memerlukan

penggunaan heparin adalah trombosis arteri basilaris, trombosis arteri karotisdan infark serebral

akibat kardioemboli. Pada keadaan yang terakhir ini perlu diwaspadai terjadinya perdarahan

intraserebral karena pemberian heparin tersebut.(15)

1)        Warfarin

Segera diabsorpsi dari gastrointestinal. Terkait dengan protein plasma. Waktu paro plasma: 44

jam. Dimetabolisir di hati, ekskresi: lewat urin. Dosis: 40 mg (loading dose), diikuti setelah 48

jam dengan 3-10 mg/hari, tergantung PT. Reaksi yang merugikan: hemoragi, terutama ren dan

gastrointestinal.(16)

2)        Heparin

Merupakan acidic mucopolysaccharide, sangat terionisir. Normal terdapat pada mast cells. Cepat

bereaksi dengan protein plasma yang terlibat dalam proses pembekuan darah. Heparin

mempunyai efek vasodilatasi ringan. Heparin melepas lipoprotein lipase. Dimetabolisir di hati,

ekskresi lewat urin. Wakto paro plasma: 50-150 menit. Diberikan tiap 4-6 jam atau infus

kontinu. Dosis biasa: 500 mg (50.000 unit) per hari. Bolus initial 50 mg diikuti infus 250 mg

dalam 1 liter garam fisiologis atau glukose. Dosis disesuaikan dengan Whole Blood Clotting

Time. Nilai normal: 5-7 menit, dan level terapetik heparin: memanjang sampai 15 menit. Reaksi

yang merugikan: hemoragi, alopesia, osteoporosis dan diare. Kontraindikasi: sesuai dengan

antikoagulan oral. Apabila pemberian obat dihentikan segala sesuatunya dapat kembali normal.

Akan tetapi kemungkinan perlu diberi protamine sulphute dengan intravenous lambat untuk

menetralisir. Dalam setengah jam pertama, 1 mg protamin diperlukan untuk tiap 1 mg heparin

(100 unit).(16)

c.         Hemoreologi

Pada stroke iskemik terjadi perubahan hemoreologi yaitu peningkatan hematokrit, berkurangnya

fleksibilitas eritrosit, aktivitas trombosit, peningkatan kadar fibrinogen dan aggregasi abnormal

eritrosit, keadaan ini menimbulkan gangguan pada aliran darah. Pentoxyfilline merupakan obat

yang mempengaruhi hemoreologi yaitu memperbaiki mikrosirkulasi dan oksigenasi jaringan

dengan cara: meningkatkan fleksibilitas eritrosit, menghambat aggregasi trombosit dan

menurunkan kadar fibrinogen plasma. Dengan demikian eritrosit akan mengurangi viskositas

darah. Pentoxyfillinediberikan dalam dosis 16/kg/hari, maksimum 1200 mg/hari dalam jendela

waktu 12 jam sesudah onset.(15)

d.        Antiplatelet (Antiaggregasi Trombosit)

1)        Aspirin

Obat ini menghambat sklooksigenase, dengan cara menurunkan sintesis atau mengurangi

lepasnya senyawa yang mendorong adhesi seperti thromboxane A2. Aspirin merupakan obat

pilihan untuk pencegahan stroke. Dosis yang dipakai bermacam-macam, mulai dari 50 mg/hari,

80 mg/hari samapi 1.300 mg/hari. Obat ini sering dikombinasikan dengan dipiridamol. Suatu

penelitian di Eropa (ESPE) memakai dosis aspirin 975 mg/hari dikombinasi dengan dipiridamol

225 mg/hari dengan hasil yang efikasius.(16)

Dosis lain yang diakui efektif ialah: 625 mg 2 kali sehari. Aspirin harus diminum terus, kecuali

bila terjadi reaksi yang merugikan. Konsentrasi puncak tercapai 2 jam sesudah diminum. Cepat

diabsorpsi, konsentrasi di otak rendah. Hidrolise ke asam salisilat terjadi cepat, tetapi tetap aktif.

Ikatan protein plasma: 50-80 persen. Waktu paro (half time) plasma: 4 jam. Metabolisme secara

konjugasi (dengan glucuronic acid dan glycine). Ekskresi lewat urine, tergantung pH. Sekitar 85

persen dari obat yang diberikan dibuang lewat urin pada suasana alkalis. Reaksi yang

merugikan: nyeri epigastrik, muntah, perdarahan, hipoprotrombinemia dan diduga: sindrom

Reye.(16)

Alasan mereka yang tidak menggunakan dosis rendah aspirin antara lain adalah kemungkinan

terjadi “resistensi aspirin” pada dosis rendah. Hal ini memungkinkan platelet untuk

menghasilkan 12-hydroxy-eicosatetraenoic acid, hasil samping kreasi asam arakhidonat

intraplatelet (lipid – oksigenase). Sintesis senyawa ini tidak dipengaruhi oleh dosis rendah

aspirin, walaupun penghambatan pada tromboksan A2 terjadi dengan dosis rendah aspirin.(16)

Aspirin mengurangi agregasi platelet dosis aspirin 300-600 mg (belakangan ada yang memakai

150 mg) mampu secara permanen merusak pembentukan agregasi platelet. Sayang ada yang

mendapatkan bukti bahwa aspirin tidak efektif untuk wanita.(16)

2)        Tiklopidin (ticlopidine) dan klopidogrel (clopidogrel)

Pasien yang tidak tahan aspirin atau gagal dengan terapi aspirin, dapat menggunakan tiklopidin

atau clopidogrel. Obat ini bereaksi dengan mencegah aktivasi platelet, agregasi, dan melepaskan

granul platelet, mengganggu fungsi membran platelet dengan penghambatan ikatan fibrinogen-

platelet yang diperantarai oleh ADP dan antraksi platelet-platelet. Menurut suatu studi, angka

fatalitas dan nonfatalitas stroke dalam 3 tahun dan dalam 10 persen untuk grup tiklopidin dan 13

persen untuk grup aspirin. Resiko relatif berkurang 21 persen dengan penggunaan tiklopidin.(16)

Setyaningsih at al, (1988) telah melakukan studi meta-analisis terhadap terapi tiklopidin untuk

prevensi sekunder stroke iskemik. Berdasarkan sejumlah 7 studi terapi tiklopidin, disimpulkan

bahwa efikasi tiklopidin lebih baik daripada plasebo, aspirin maupun indofen dalam mencegah

serangan ulang stroke iskemik.(16)

Efek samping tiklopidin adalah diare (12,5 persen) dan netropenia (2,4 persen). Bila obat

dihentikan akan reversibel. Pantau jumlah sel darah putih tiap 15 hari selama 3 bulan. Komplikas

yang lebih serius, teyapi jarang, adalah pur-pura trombositopenia trombotik dan anemia aplastik.(16)

e.         Terapi Neuroprotektif

Terapi neuroprotektif diharapkan meningkatkan ketahanan neuron yang iskemik dan sel-sel glia

di sekitar inti iskemik dengan memperbaiki fungsi sel yang terganggu akibat oklusi dan

reperfusi. Berdasarkan pada kaskade iskemik dan jendela waktu yang potensial untuk

reversibilitas daerah penumbra maka berbagai terapi neuroprotektif telah dievaluasi pada

binatang percobaan maupun pada manusia.(15)

f.         Pembedahan

Indikasi pembedahan pada completed stroke sangat dibatasi. Jika kondisi pasien semakin buruk

akibat penekanan batang otak yang diikuti infark serebral maka pemindahan dari jaringan yang

mengalami infark harus dilakukan.(18)

1)        Karotis Endarterektomi

Prosedur ini mencakup pemindahan trombus dari arteri karotis interna yang mengalami stenosis.

Pada pasien yang mengalami stroke di daerah sirkulasi anterior atau yang mengalami stenosis

arteri karotis interna yang sedang hingga berat maka kombinasi Carotid endarterectomy is a

surgical procedure that cleans out plaque and opens up the narrowed carotid arteries in the

neck.endarterektomi dan aspirin lebih baik daripada penggunaan aspirin saja untuk mencegah

stroke. Endarterektomi tidak dapat digunakan untuk stroke di daerah vertebrobasiler atau oklusi

karotis lengkap. Angka mortalitas akibat prosedur karotis endarterektomi berkisar 1-5 persen.(18)

 

 

Gambar 10. Endarterektomi adalah prosedur pembedahan yang menghilangkan plak dari lapisan

arteri (dikutip dari kepustakaan 18)

 

2)        Angioplasti dan Sten Intraluminal

Pemasangan angioplasti transluminal pada arteri karotis dan vertebral serta pemasangan sten

metal tubuler untuk menjaga patensi lumen pada stenosis arteri serebri masih dalam penelitian.

Suatu penelitian menyebutkan bahwa angioplasti lebih aman dilaksanakan dibandingkan

endarterektomi namun juga memiliki resiko untuk terjadi restenosis lebih besar.(18)

K.   KESIMPULAN

Berdasarkan data yang disajikan di atas, kami menyimpulkan bahwa setiap pasien dengan stroke

akut harus individulized berdasarkan usia, CT scan temuan (adanya atau kehadiran pergeseran

garis tengah, hypodensity fokus). An expert opinion should be formed with the contribution from

neurologist, vascular surgeon and interventional radiologist. Pendapat pakar harus dibentuk

dengan kontribusi dari ahli saraf, dokter bedah vaskular dan radiolog intervensi. High risk

patients should be treated with urgent CAS after the correction of the coagulation cascade.

Karotis endarterektomi mengurangi risiko stroke pada pasien dengan gejala stenosis paling

sedikit 70 persen, sebagaimana ditentukan oleh arteriography. Percobaan saat ini adalah

mengatasi pertanyaan apakah endarterektomi bermanfaat untuk pasien dengan derajat stenosis

karotis moderat. Manfaat endarterektomi untuk pasien dengan lesi karotid asimtomatik masih

belum jelas.

Uji klinis acak telah membuktikan bahwa terapi warfarin mengurangi risiko stroke pada pasien

dengan atrial fibrilasi nonvalvular dan pada mereka yang telah memiliki infark miokard. Pada

pasien yang tidak kandidat untuk terapi antikoagulan jangka panjang, aspirin bermanfaat, tapi

pengurangan risiko lebih kecil dengan aspirin dibandingkan dengan warfarin. Pada pasien

dengan gejala iskemik serebral asal noncardiac, aspirin dan ticlopidine mengurangi risiko stroke,

tapi manfaat itu sederhana. Mengingat sendirian, tidak dipyridamole atau sulfinpyrazone

mencegah stroke. Pertanyaannya tetap apakah salah satu dari obat ini ditambah aspirin lebih baik

daripada aspirin saja. Dosis optimal aspirin untuk pencegahan stroke belum ditentukan.(19,20)

L.   KOMPLIKASI

Komplikasi yang paling umum dan penting dari stroke iskemik meliputi edema serebral,

transformasi hemoragik, dan kejang.(21)

1.           Edema serebral yang signifikan setelah stroke iskemik bisa terjadi meskipun agak jarang

(10-20%)

2.           Indikator awal iskemik yang tampak pada CT scan tanpa kontras adalah indikator

independen untuk potensi pembengkakan dan kerusakan. Manitol dan terapi lain untuk

mengurangi tekanan intrakranial dapat dimanfaatkan dalam situasi darurat, meskipun

kegunaannya dalam pembengkakan sekunder stroke iskemik lebih lanjut belum diketahui.

Beberapa pasien mengalami transformasi hemoragik pada infark mereka. Hal ini diperkirakan

terjadi pada 5% dari stroke iskemik yang tidak rumit, tanpa adanya trombolitik. Transformasi

hemoragik tidak selalu dikaitkan dengan penurunan neurologis dan berkisar dari peteki kecil

sampai perdarahan hematoma yang memerlukan evakuasi.

3.           Insiden kejang berkisar 2-23% pada pasca-stroke periode pemulihan. Post-stroke

iskemik biasanya bersifat fokal tetapi menyebar. Beberapa pasien yang mengalami serangan

stroke berkembang menjadi chronic seizure disorders. Kejang sekunder dari stroke iskemik harus

dikelola dengan cara yang sama seperti gangguan kejang lain yang timbul sebagai akibat

neurologis injury.

M.  PROGNOSIS

Stroke berikutnya dipengaruhi oleh sejumlah faktor, yang paling penting adalah sifat dan tingkat

keparahan defisit neurologis yang dihasilkan. Usia pasien, penyebab stroke, gangguan medis

yang terjadi bersamaan juga mempengaruhi prognosis. Secara keseluruhan, agak kurang dari

80% pasien dengan stroke bertahan selama paling sedikit 1 bulan, dan didapatkan tingkat

kelangsungan hidup dalam 10 tahun sekitar 35%. Angka yang terakhir ini tidak mengejutkan,

mengingat usia lanjut di mana biasanya terjadi stroke. Dari pasien yang selamat dari periode

akut, sekitar satu setengah samapai dua pertiga kembali fungsi independen, sementara sekitar

15% memerlukan perawatan institusional.(11,22,23)