Upload
setiyakusumaanggraeni
View
218
Download
0
Embed Size (px)
DESCRIPTION
mitigasi bencana
Citation preview
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bencana merupakan suatu peristiwa di alam yang disebabkan oleh
manusia maupun alam yang berpotensi merugikan kehidupan manusia,
mengganggu kehidupan normal, serta hilangnya harta dan benda. Pengertian
lain dari bencana adalah kemampuan masyarakat (dalam menghadapi
bencana) lebih rendah dibanding dengan tingkat bahaya yang mungkin terjadi
padanya yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor non alam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Kerentanan (vulnerability) adalah tingkat kemungkinan suatu objek bencana
yang terdiri dari masyarakat, struktur, pelayanan atau daerah geografis
mengalami kerusakan atau gangguan akibat dampak bencana atau
kecenderungan sesuatu benda atau mahluk rusak akibat bencana.
Perkembangan yang terus berlangsung di wilayah pantai akan menyebabkan
perubahan lingkungan yang ditandai dengan perubahan ekosistem. Hal ini
akan menimbulkan dampak negatif pada wilayah tersebut. Salah satu dampak
negatif yang ditimbulkan adalah abrasi. Abrasi bisa terjadi secara alami
karena serangan gelombang dan juga terjadi karena kegiatan manusia seperti
penebangan hutan bakau, pengambilan karang, pembangunan pelabuhan,
perluasan areal tambak ke arah laut dan lain-lain. Abrasi dapat menimbulkan
kerugian besar dengan rusaknya kawasan pemukiman dan fasilitas-fasilitas
yang ada di daerah tersebut.
Rob merupakan fenomena yang umum terjadi dikota yang terletak di tepi
pantai, di Indonesia sendiri banjir rob sering terjadi dikota pantai seperti
daerah Jakarta bagian utara dan Semarang. Fenomena banjir rob di Semarang
khususnya disebabkan oleh naiknya muka laut juga penurunan muka tanah
atau biasa disebut sebagai land subsidence. Banjir rob merupakan genangan
air pada bagian daratan pantai yang terjadi pada saat air laut pasang. Banjir
rob menggenangi bagian daratan pantai atau tempat yang lebih rendah dari
muka air laut pasang tinggi (high water level). Fenomena banjir rob yang
terjadi hampir disepanjang tahun baik terjadi di musim hujan maupun di
musim kemarau. Hal ini menunjukan bahwa curah hujan bukanlah faktor
utama yang menyebabkan fenomena rob. Rob terjadi terutama karena
pengaruh tinggi-rendahnya pasang surut air laut yang terjadi oleh gaya
gravitasi. Selain itu, banjir rob juga terjadi akibat adanya fenomena iklim
global yang ditandai dengan peningkatan temperatur rata-rata bumi dari tahun
ke tahun. Lapisan ozon merupakan pelindung bumi dari pengaruh sinar
matahari sehingga bila lapisan ini menipis maka akan terjadi pemanasan
global, sehingga menyebabkan lapisan es di kutub utara dan antartika
mencair. Akibatnya, permukaan permukaan laut air global naik. Berdasarkan
data rata-rata suhu permukaan global meningkat 0,3-0,6 °C, sejak akhir abad
19 sampai tahun 2100 suhu bumi diperkirakan akan naik sekitar 1,4-5,8°C.
Penyebab-penyebab banjir rob ini sesuai dengan pendapat yang disebabkan
oleh curah hujan yang tinggi dan naiknya air laut ke daratan. Masalah abrasi
pantai akhir-akhir ini cenderung meningkat di berbagai daerah. Di pantai
utara Jawa Tengah, luasan abrasi sudah mencapai 5.500 hektar yang tersebar
di 10 kabupaten/kota. Salah satu daerah yang mengalami abrasi cukup parah
adalah pantai di Kecamatan Sayung, Demak. Di daerah tersebut permasalahan
yang terjadi cukup berat khususnya menyangkut penurunan fungsi lahan
dikarenakan abrasi pantai, dan penggenangan air laut di kawasan tambak
seluas 582,8 ha yang selama lima tahun ini tergenang dan kemudian hilang.
Banjir Rob dan abrasi yang terjadi di Kecamatan Sayung, Demak
merupakan implikasi dari berbagai proses alam mulai dari perubahan iklim,
kenaikan muka air laut, dan land subsidance yang membuat wilayah
kecamatan sayung menjadi terendam air dan hilang. Oleh sebab itu, di
perlkan suatu kajian atau studi lebih lanjut mengenai kerentanan wilayah
kecamatan sayung dan mencari penyelesaian masalah tersebut dengan
mitigasi ataupun adaptasi yang dapat diterapkan di Kecamatan Sayung,
Demak.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dalam penyelesaian laporan ini antara lain :
1. Dapat mengetahui nilai potensi bahaya, kerentanan dan resiko pada suatu
wilayah pengamatan.
2. Dapat melakukan analisa dengan strategi adaptasi dan mitigasi yang
efektif dalam menjawab permasalahan bencana suatu wilayah pengamatan.
1.3 Manfaat
Manfaat dari penulisan laporan ini bagi penulis adalah dapat mengetahui
nilai suatu potensi bahaya, kerentanan suatu daerah dan resiko serta dapat
menganalisa bagaimana tindakan yang harus di ambil sebagai langkah dari
mitigasi dan adaptasi suatu daerah dalam menyelesaikan permasalahan pada
suatu wilayah yang memiliki nilai kerentanan dan resiko yang tinggi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum Lokasi Pengamatan
Kecamatan Sayung terletak berbatasan dengan Kecamatan Genuk
Semarang di sebelah baratnya sedangkan disebelah selatan berbatasan dengan
Kecamatan Mranggen , disebelah utara Laut Jawa dan sebelah timur
Kecamatan Karagtengah. Kecamatan Sayung memiliki luas 7.222 ha (8.05
persen dari seluruh luas wilayah Kabupaten Demak) yang terdiri dari 854
tanah sawah dan 6.368 ha tanah kering. Jumlah penduduk Kecamatan Guntur
adalah sekitar 93.453 jiwa yang terdiri dari 45.624 jiwa laki-laki dan 47.929
jiwa perempuan. Kecamatan Sayung merupakan Kecamatan dengan jumlah
penduduk terbanyak nomor tiga setelah Mranggen dan Demak Kota di
Kabupaten Demak (Bappeda Demak, 2014).
2.2 Pasang Surut
Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik
menarik benda-benda dilangit, terutama matahari dan bulan terhadap massa
air laut dibumi. Gaya tarik bulan yang mempengaruhi pasang surut adalah
2,2, kali lebih besar dari pada gaya tarik matahari (Triatmodjo, 1999).
Menurut Setiadi (1988) dalam Fadillah et al (2014), pasang surut adalah
perubahan gerak relatif dari materi suatu planet, bintang dan benda angkasa
lainnya yang diakibatkan oleh aksi gravitasi benda-benda di luar materi itu
berada.Pasang surut atau pasut merupakan suatu fenomena pergerakan naik
turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi
gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama
oleh matahari, bumi dan bulan. Faktor non astronomi yang mempengaruhi
pasut terutama di perairan semi tertutup (teluk) antara lain adalah bentuk garis
pantai dan topografi dasar perairan (Siswanto, 2010).
Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek
sentrifugal. Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi.
Gravitasi bervariasi secara langsung dengan massa tetapi berbanding terbalik
terhadap jarak. Meskipun ukuran bulan lebih kecil dari matahari, gaya tarik
gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya tarik matahari dalam
membangkitkan pasang surut laut karena jarak bulan lebih dekat daripada
jarak matahari ke bumi. Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan
dan matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang surut
gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh
deklinasi, sedangkan sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan
dan matahari (Gross, 1987 dalam Arifin, 2012).
2.3 Gaya Pembangkit Pasang Surut
Gaya-gaya pembangkitan pasang surut ditimbulkan oleh gaya tarik
menarik antara bumi, bulan dan matahari. Penjelasan terjadinya pasang surut
dilakukan hanya dengan memandang suatu sistem bumi-bulan; sedangkan
untuk sistem bumi-matahari penjelasannya adalah identik. Dalam penjelasan
ini dianggap bahwa permukaan bumi, yang apabila tanpa pengaruh gaya tarik
bulan, tertutup secara merata oleh laut (bentuk permukaan air adalah bundar)
(Triatmodjo, 1999).
Gaya-gaya pembangkit pasang surut ditimbulkan oleh gaya tarik menarik
antara bumi, bulan dan matahari. Penjelasan terjadinya pasang surut
dilakukan hanya dengan memandang suatu sistem bumi-bulan sedang sistem
bumi-matahari penjelasannya adalah identik. Dalam penjelasan ini dianggap
bahwa permukaan bumi, yang apabila tanpa pengaruh gaya tarik bulan,
tertutup secara merata oleh laut (bentuk permukaan air adalah bundar)
(Triadmojo,1999).
Pariwono dalam Nanda (2012) menyatakan hal yang serupa bahwa dari
semua benda angkasa yang mempengaruhi proses pembentukan pasang surut
air laut, hanya matahari dan bulan yang sangat berpengaruh melalui tiga
gerakan utama yang menentukan paras / muka air laut di bumi ini. Ketiga
gerakan itu adalah :
1. Revolusi bulan terhadap bumi, dimana orbitnya berbentuk elips dan
memerlukan waktu 29,5 hari untuk menyelesaikan revolusinya.
2. Revolusi bumi terhadap matahari, dengan orbitnya berbentuk elips
juga dan periode yang diperlukan 365.25 hari.
3. Perputaran bumi terhadap sumbunya dan waktu yang diperlukan 24
jam (one solar day). Rotasi bumi tidak menimbulkan pasang surut
namun mempengaruhi muka air pasang surut.
Rotasi bumi menyebabkan elevasi muka air laut di khatulistiwa lebih
tinggi daripada di garis lintang yang lebih tinggi. Tetapi karena pengaruhnya
yang seragam di sepanjang garis lintang yang sama, sehingga tidak bisa
diamati sebagai suatu variasi pasang surut. Oleh karena itu, rotasi bumi tidak
menimbulkan pasang surut. Di dalam penjelasan pasang surut ini dianggap
bahwa bumi tidak berrotasi (Triatmodjo, 1999). Perkataan pasang surut
biasanya dikaitkan dengan proses naik turunnya paras laut (sea level) secara
berkala yang ditimbulkan oleh adanya gaya tarik dari benda-benda angkasa
terutama matahari dan bulan, terhadap massa air di bumi (Pariwono, 1989).
2.4 Tipe Pasang Surut
Perairan laut memberikan respon yang berbeda terhadap gaya
pembangkit pasang surut, sehingga terjadi tipe pasut yang berlainan di
sepanjang pesisir. Menurut Dronkers (1964) dalam Rampengan (2009), ada
tiga tipe pasut yang dapat diketahui, yaitu :
1. Pasang surut diurnal. Yaitu bila dalam sehari terjadi satu satu kali
pasang dan satu kali surut. Biasanya terjadi di laut sekitar
khatulistiwa.
2. Pasang surut semi diurnal. Yaitu bila dalam sehari terjadi dua kali
pasang dan dua kali surut yang hampir sama tingginya.
3. Pasang surut campuran. Yaitu gabungan dari tipe 1 dan tipe 2, bila
bulan melintasi khatulistiwa (deklinasi kecil), pasutnya bertipe semi
diurnal, dan jika deklinasi bulan mendekati maksimum, terbentuk
pasut diurnal.
Gambar 2.1 Kurva Tipe Pasut (Triatmodjo, 1999).
Sedangkan untuk di Indonesia sendiri terbagi menjadi empat tipe:
1. Pasang Surut Harian Ganda (Semi Diurnal Tide)
Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan
tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan
secara teratur . Periode pasang surut adalah 12 jam 24 menit. Pasang
surut tipe ini terjadi di selat Malaka sampai laut Andaman.
2. Pasang Surut Harian Tunggal (Diurnal Tide)
Dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut.
Periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit. Pasang surut tipe ini
terjadi di perairan selat karimata.
3. Pasang Surut Campuran Condong ke Harian Ganda (Mixed Tide
Prevailing Semidiurnal)
Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi
tinggi dan periodenya berbeda. Pasang surut jenis ini banyak terdapat di
perairan Indonesia timur.
4. Pasang Surut Campuran Condong ke Harian Tunggal (Mixed Tide
Prevailing Diurnal)
Pada tipe ini dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air
surut, tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali
pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat
berbeda. Pasang surut jenis ini terdapat di selat Kalimantan dan pantai
utara Jawa Barat.
Gambar 2.2 Sebaran Pasang Surut di Perairan Indonesia (Triatmodjo,
1999).
Dilihat dari pola gerakan muka lautnya, pasang-surut di Indonesia dapat
dibagi menjadi empat jenis yakni pasang-surut harian tunggal (diurnal tide),
harian ganda (semidiurnal tide) dan dua jenis campuran. Jenis harian tunggal
misalnya terdapat di perairan sekitar selat Karimata, antara Sumatra dan
Kalimantan. Pada jenis harian ganda misalnya terdapat di perairan Selat
Malaka sampai ke Laut Andaman. Di samping itu dikenal pula campuran
antara keduanya, meskipun jenis tunggal maupun gandanya masih menonjol.
Pada pasang-surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide, prevailing
semidiurnal) misalnya terjadi di sebagian besar perairan Indonesia bagian
timur. Sedangkan jenis campuran condong ke harian tunggal (mixed tide,
prevailing diurnal) contohnya terdapat di pantai selatan Kalimantan dan
pantai utara Jawa Barat. Pola gerak muka air pada keempat jenis pasang-surut
yang terdapat di Indonesia diberikan (Triatmodjo, 1999).
II.5 Mean Sea Level (MSL)
Kenaikan muka air laut merupakan fenomena naiknya muka air laut
akibat pertambahan volume air laut. Perubahan tinggi permukaan air laut
dapat dilihat sebagai suatu fenomena alam yang terjadi secara periodik
maupun menerus. Perubahan secara periodik dapat dilihat dari fenomena
pasang surut air laut, sedangkan kenaikan air laut yang menerus adalah
seperti yang teridentifikasi oleh pemanasan global. Fenomena naiknya muka
air laut yang direpresentasikan dengan SLR (sea level rise) dipengaruhi
secara dominan oleh pemuaian thermal (thermal expansion) sehingga volume
air laut bertambah. Selain itu, mencairnya es di kutub dan gletser juga
memberikan kontribusi terhadap perubahan kenaikan muka air laut. Kenaikan
muka air laut bisa menyebabkan berkurangnya atau mundurnya garis pantai,
mempercepat terjadinya erosi pantai berpasir, banjir di wilayah pesisir, dan
kerusakan infrastruktur yang berada di wilayah pesisir seperti dermaga, dan
bangunan pantai lainnya. Hal ini semakin lama akan semakin mengganggu
masyarakat yang tinggal di wilyah pesisir (Liyani. 2012).
Salah satu bentuk aplikasi dari pentingnya pengetahuan tentang pasang
surut yaitu dalam hal penentuan model geoid. Geoid adalah bidang
equipotensial gaya berat bumi yang diasumsikan berhimpit dengan
permukaan laut rata-rata (MLR) yang tidak terganggu (Welenhof dan Moritz
2006 dalam Affandi dkk. 2012). Kegunaan dari geoid adalah sebagai acuan
referensi tinggi. Pentingnya sebuah referensi tinggi tersebut tidak lepas dalam
pengembangan suatu wilayah, terutama dalam hal pembangunan
infrastruktur. Muka laut rata - rata (MLR) atau duduk tengah adalah
permukaan laut rata-rata yang dihitung dalam periode waktu tertentu. Nilai
MLR yang dianggap terbaik yaitu nilai pengamatan yang dilakukan selam
18,6 tahun. Karena muka laut rata-rata dianggap mendekati bentuk dari model
geoid, sehingga nilai dari MLR dapat digunakan sebagai sebuah acuan
referensi tinggi. Kedudukan serta nilai muka laut rata-rata setiap saat selalu
berubah-ubah. Perubahan naik turun inilah yang disebut dengan perubahan
muka air laut (sea level rise). Sea level rise (SLR) adalah peningkatan volume
air laut yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti fluktuasi curah hujan
yang tinggi serta meningkatnya suhu air laut. Beberapa faktor tersebut diduga
terjadi karena adanya perubahan iklim secara global. Jika berbicara tentang
perubahan iklim secara global, tentu saja hal tersebut tidak lepas dari
pengaruh pemanasan global (global warming). Efek yang timbul akibat
global warming yaitu meningkatnya suhu di permukaan bumi, baik darat, alut
ataupun atmosfer, yang mengakibatkan salah satunya yaitu mencairnya
gunung es di daerah kutub. Hal ini lah yang mengakibatkan terjadinya
peningkatan muka air laut (Affandi dkk. 2012).
II.6 Land Susidence (Penurunan Tanah)
Penurunan muka tanah (land subsidence) merupakan fenomena yang
sedang dikaji di beberapa negara, termasuk Indonesia. Penurunan muka tanah
dapat menyebabkan beberapa masalah, seperti rusaknya struktur bangunan,
peningkatan daerah resapan air laut dan peningkatan area banjir. Fenomena ini
dapat disebabkan oleh beberapa proses baik alamiah seperti pemampatan
sedimen maupun non-alamiah seperti ekstraksi air tanah, minyak bumi, gas
atau pertambangan bawah tanah (Moh. Fifik Syafiudin dan R.S. Chatterjee,
2009).
Turunnya permukaan tanah yang terakumulasi selama rentang waktu
tertentu akan dapat mencapai besaran penurunan hingga beberapa meter lebih
(Galloway dkk., 1999) sehingga dampaknya dapat merusak infrastruktur
perkotaan yang kemudian dapat saja menjadi gangguan terhadap stabilitas
perekonomian dan kehidupan sosial di wilayah tersebut. Definisi penurunan
muka tanah berdasarkan beberapa referensi dapat didefinisikan sebagai
berikut: terjadi pada skala regional yaitu meliputi daerah yang luas atau terjadi
secara lokal yaitu hanya sebagian kecil permukaan tanah. Hal ini biasanya
disebabkan oleh adanya rongga di bawah permukaan tanah, biasanya terjadi di
daerah yang berkapur atau turunnya kedudukan permukaan tanah yang
disebabkan oleh kompaksi tanah (Wei, 2006).
Semarang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah yang mengalami
perkembangan dan pertumbuhan kota yang pesat. Hal ini ditunjukkan dengan
adanya peningkatan laju pembangunan di kota tersebut. Dengan
perkembangan ini, tentunya akan menimbulkan masalah baru yaitu penurunan
muka tanah. Semarang terbentuk dari endapan alluvial yang terdiri dari
material berukuran lempung dan pasir. Lapisan pembentuk tersebut berumur
muda (sekitar 10.000 tahun) yang memiliki derajat kompaksi rendah sehingga
masih memungkinkan tahapan pemadatan dan berpengaruh dengan penurunan
muka tanah. Selain itu pengambilan air tanah secara besar-besaran
mengakibatkan kekosongan di ruang bawah tanah dan ditambah juga dibebani
dengan pembangunan gedung-gedung baru. Penurunan muka tanah tidaklah
fenomena baru di Semarang. Dampak dari fenomena ini dapat dilihat dari
adanya perluasan area banjir dan peningkatan daerah resapan air laut.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh JICA bekerja sama dengan
Direktorat Geologi Tata Guna Lingkungan dan UNDIP pada tahun 2011
tentang penurunan muka tanah di Semarang menunjukkan bahwa Semarang
mengalami penurunan muka tanah sebesar 1 cm/tahun - 10 cm/tahun (Kahar,
2011).
2.7 Banjir dan Banjir Genangan (Rob)
Banjir adalah bencana alam yang membuat banyak penduduk menderita.
Hampir setiap tahun banjir melanda daerah-daerah yang letaknya di sepanjang
pantai utara pulau jawa. Banjir dari tinjauan ekologis merupakan peristiwa
fisik yang terjadi di lingkungan hidup manusia dan mempengaruhi kehidupan
manusia (Khadiyanto dalam Wahyudi. 2007).
Banjir dapat terjadi karena hujan yang terus menerus dan saliran tidak
dapat menampung air sehingga meluap. Terjadi banjir dapat pula disebabkan
oleh pasang air laut yang masuk ke wilayah daratan, banjir genangan ini
biasa disebut rob. Air laut masuk melalui sungai sungai pada saat pasang dan
selanjutnya mengalir ke pemukiman setelah melewati drainase. Rob adalah
kejadian / fenomena alam dimana air laut masuk ke wilayah daratan, pada
waktu air laut mengalami pasang. Intrusi air laut tersebut dapat melalui
sungai, saluran drainase atau aliran bawah tanah. Rob dapat muncul karena
dinamika alam atau karena kegiatan manusia. Dinamika alam yang dapat
menyebabkan rob adalah adanya perubahan elevasi pasang surut air laut.
Sedangkan yang di akibatkan oleh kegiatan manusia misalnya karena
pemompaan air yang berlebihan, pengerukan alur pelayaran, reklamasi dan
lain-lain (Wahyudi, 2007).
2.8 Perubahan Iklim
Pemanasan global sudah bukan lagi merupakan masalah masa depan,
tetapi sudah menjadi masalah yang sedang kita hadapi sekarang. Hasil
penelusuran terhadap database bencana alam intenasional (International
Disaster Database) menunjukkan bahwa banyak bencana alam yang masuk ke
dalam kategori bencana global ialah sebanyak 345 bencana (Boer dan
Perdinan, 2008). Temuan ini sejalan dengan hasil kajian Panel Antar
Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC, 2007) bahwa pemanasan global
akan meningkatkan frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim.
Penelitian tentang pengaruh pemanasan global terhadap perubahan musim
di pulau Jawa sudah dilakukan oleh Naylor dkk. (2007) dalam Efendi (2012).
Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa dalam 40 tahun mendatang,
terjadinya pemanasan global akan menyebabkan awal musim hujan di Jawa
Tengah akan mengalami kemunduran sedangkan akhir musim hujan akan
lebih cepat yang berarti lama musim hujan akan semakin pendek. Di lain
pihak curah hujan musim hujan akan cenderung meningkat sedangkan curah
hujan musim kemarau cenderung menurun. Hal ini berimplikasi pada semakin
meningkatnya risiko kekeringan pada musim kemarau dan risiko banjir atau
bahaya longsor pada musim hujan. WWF (2007) dalam effendi (2012)
menyatakan perubahan distribusi curah hujan tersebut menyebabkan berbagai
potensi bencana alam yang dipicu oleh curah hujan menjadi semakin tinggi,
seperti : banjir, longsor, peluapan sungai, dan penyebaran vektor penyakit.
Sedangkan pada kondisi curah hujan yang mengecil dapat terjadi potensi
bencana seperti : kekeringan, gagal panen, kekurangan air bersih, dan berbagai
permasalahan sosial yang mungkin timbul.
Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel
on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global
telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861.
Pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang
menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan
temperatur rata-rata global akan meningkat 1,1 hingga 6,4 °C (2,0 hingga 11,5
°F) antara tahun 1990 dan 2100. (IPCC, 2007). Kondisi ini akan
mengakibatkan iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat
emisi yang telah dilepaskan sebelumnya dan karbon dioksida akan tetap
berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu
menyerapnya kembali (Stocker, et al., 2007). Dampak dari pemansan global
(Global warming) akan mempengaruhi pola presipitasi, evaporasi, water run-
off, kelembaban tanah dan variasi iklim yang sangat fluktuatif secara
keseluruhan mengancam keberhasilan produksi pangan. Kajian terkait dampak
perubahan iklim pada bidang pertanian oleh National Academy of
Science/NAS (2007), menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia telah
dipengaruhi secara nyata oleh adanya variasi hujan tahunan dan antar tahun
yang disebabkan oleh Australia-Asia Monsoon and El Nino-Southern
Oscilation (ENSO).
Dampak perubahan iklim pada peningkatan temperatur sebenarnya sudah
ditengarai sejak tahun 1990-an. Department for International Development
(DFID), badan dari pemerintah Inggris yang mengurusi bantuan pembangunan
untuk negara-negara lain) dan World Bank (2007) melaporkan rata-rata
kenaikan suhu per tahun sebesar 0,3 derajat celsius. Pada tahun 1998 terjadi
kenaikan suhu yang luar biasa mencapai 1 derajat celsius. Indonesia diprediksi
akan mengalami lebih banyak hujan dengan perubahan 2-3 persen per tahun.
Intensitas hujan akan meningkat, namun jumlah hari hujan akan semakin
pendek, dan meningkatkan risiko banjir. Iklim selalu berubah menurut ruang
dan waktu. Dalam skala waktu perubahan iklim akan membentuk pola atau
siklus tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun siklus beberapa
tahunan . Selain perubahan yang berpola siklus, aktivitas manusia
menyebabkan pola iklim berubah secara berkelanjutan, baik dalam skala
global maupun skala lokal. Unsur-unsur iklim yang menunjukan pola
keragaman yang jelas merupakan dasar dalam melakukan klasifikasi iklim.
Unsur iklim yang sering dipakai adalah suhu dan curah hujan (presipitasi).
Menurut Trenberth, Houghton dan Filho (1995) dalam Ditjen. Penataan
Ruang - Dekimpraswil, 2002), iklim selalu berubah menurut ruang dan waktu.
Dalam skala waktu perubahan iklim akan membentuk pola atau siklus
tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun siklus beberapa tahunan .
Selain perubahan yang berpola siklus, aktivitas manusia menyebabkan pola
iklim berubah secara berkelanjutan, baik dalam skala global maupun skala
lokal. Perubahan iklim akan membawa pengaruh pada intensitas dampak dan
sangat tergantung pada tingkat penyimpangannya.
III. MATERI DAN METODE
3.1 Materi Pengamatan
3.2 Waktu dan Lokasi Pengamatan
3.3 Alat dan Bahan
3.4 Metode Pengambilan Data
3.5 Metode Pengolahan Data
Untuk menghasilkan mitigasi bencana banjir rob maka diperlukan
beberapa tahapan analisis, adapun tahapan analisis tersebut adalah sebagai
berikut :
Analisis Potensi Bahaya
Analisis potensi bahaya ini menggunakan acuan dari tabel
variabel potensi bahaya dimana kita harus mengamati keadaan
suatu wilayah yang diamati dengan acuan pada variabel-variabel
yang tertera pada tabel 2.
Tabel 2. Variabel-Variabel Perhitungan Potensi Bahaya
(Sumber : USGS, 2007. Dimodifikasi 2008)
Setelah menentukan kekuatan potensi bahaya berdasarkan
variabel-variabel yang tertera pada tabel 2, maka kita harus
mengklasifikasikan potensi bahaya tersebut untu mengetahui kelas
atau tingkat potensi bahaya yang ada pada daerah pengamatan
berdasarkan pada tabel 3.
Tabel 3. Klasifikasi Perhitungan Potensi Bahaya
Kelas Deskripsi0.1-1.0 Rendah1.1-2.0 Sedang2.1-3.0 Tinggi
Kelas Potensi Bahaya
(Sumber : USGS, 2007. Dimodifikasi 2008)
Analisis Kerentanan Pantai
Analisis kerentanan pantai ini menggunakan acuan dari tabel
variabel kerentanan pantai dimana kita harus mengamati keadaan
suatu wilayah yang diamati dan mengkaji hasil wawancara dengan
acuan pada variabel-variabel yang tertera pada tabel 4.
Tabel 4. Variabel-Variabel Kerentanan Pantai
(Sumber: Ministry For Environment – New Zeland Goverment, 2008, 2007,
dimodifikasi 2008)
Setelah menentukan kerentanan pantai berdasarkan variabel-variabel yang
tertera pada tabel 4, maka kita harus mengklasifikasikan kerentanan pantai
tersebut untu mengetahui kelas atau tingkat kerentanan pantai yang ada pada
daerah pengamatan berdasarkan pada tabel 5.
Tabel 5. Klasifikasi Perhitungan Kerentanan Pantai
Kelas Deskripsi0.1-1.0 Kecil1.1-2.0 Sedang2.1-3.0 Besar
Kelas Kerentanan
(Sumber : USGS, 2007. Dimodifikasi 2008)
Analisis Resiko
Setelah mengetahui nilai dari suatu potensi bahaya dan
kerentanan pantai, langkah berikutnya yaitu menganalisis resiko
yang diperoleh dari perhitungan sebagai berikut:
Kemudian langkah terakhir yaitu mengklasifikasikan nilai suatu
resiko suatu wilayah berdasarkan pada tabel 6:
Tabel 6. Kelas Resiko
Kelas Deskripsi0.1-07 Rendah0.8-1.4 Sedang1.5-2.1 Tinggi
Kelas Resiko
(Sumber : USGS, 2007. Dimodifikasi 2008)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
Analisa Potensi Bahaya
Tabel 7. Variabel-Variabel Perhitungan Potensi Bahaya
Berdasarkan Hasil PengamatanRendah Sedang Tinggi
1 2 3Geomorfologi - - √Erosi/Akresi pada garis pantai (m/tahun) - - √Kemiringan Pantai (%) - - -Perubahan elevasi muka air relatif (mm/tahun) - - √Rata-rata tinggi gelombang - - -Rata-rata kisaran pasang surut (m) - - -
Variabel
Tabel 8. Klasifikasi Perhitungan Potensi Bahaya Berdasarkan Hasil
Pengamatan
Kelas Deskripsi0.1-1.0 Rendah1.1-2.0 Sedang2.1-3.0 Tinggi
Kelas Potensi Bahaya
Potensi Bahaya = ∑ Klasifikasi / ∑variabel = (3+3+3) / 3 = 3
Analisa Kerentanan Pantai
Tabel 9. Variabel-Variabel Kerentanan Pantai Berdasarkan Hasil
PengamatanNo Penerima Dampak Konsekuensi (Dampak)
Kecil Sedang Besar1 2 3
1 Perpindahan Penduduk (jumlah pemukiman) - - √2 Penduduk - - √3 Penduduk - - √4 Dampak Ekonomi - - √5 Jasa Pelayanan Penting - - √6 Infrastruktur - - √7 Jasa Pelayanan Komersial - - √8 Ekosistem - √ -
Tabel 10. Klasifikasi Perhitungan Kerentanan Pantai Berdasarkan
Hasil Pengamatan
Kelas Deskripsi0.1-1.0 Kecil1.1-2.0 Sedang2.1-3.0 Besar
Kelas Kerentanan
Potensi Bahaya = ∑ Klasifikasi / ∑variabel = (3+3+3+3+3+3+3+2)
/ 8 = 2.875
Analisa Resiko
Metode Perhitungan
Resiko = = 1.714
Tabel 11. Kelas Resiko Berdasarkan Hasil Pengamatan
Kelas Deskripsi0.1-07 Rendah0.8-1.4 Sedang1.5-2.1 Tinggi
Kelas Resiko
Tabel 12. Hasil Perhitungan Resiko
No Wilayah Administrasi Potensi
Bahaya
Kerentanan
Pantai
Resiko Kelas Deskripsi
1 Desa Bedono, Kecamatan
Sayung, Demak
3 2.75 1.714 1.5-2.1 Tinggi
4.2 Pembahasan
V. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Ikhsan Dwi., Muhamad Taufik. 2012. Analisa Perubahan Muka Air Laut
(Sea Level Rise) Terkait Dengan Fenomena Pemanasan Global (Global
Warming) ( Studi Kasus : Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya ) Jurnal
Teknik Pomits Vol. 1
Arifin, Taslim. 2009. Kondisi Arus Pasang Surut di Perairan Pesisir Kota
Makassar, Sulawesi Selatan. Depik, 1(3): 183-188 Desember 2012. ISSN
2089-7790.
Ariyanto, Shodiq Eko. - .Kajian Dampak Perubahan Iklim Terhadap
Produktivitas Kacang Hijau (Phaseolus Radiatus L.) Di Lahan Kering.
ISSN : 1979-6870
Boer, Rizaldi dan Perdinan. 2008. Adaptation to climate variability and climate
change: Its socio-economic aspect. Paper presented at the EEPSEA
Conference On Climate Change: Impacts, Adaptation, And Policy In South
East Asia With A Focus On Economics, Socio-Economics And Institutional
Aspects, 13-15 February 2008, Bali, <http://www.eepsea.cc-sea.org>,
diakses tanggal 23 Juni 2015.
Ditjen. Penataan Ruang – Dekimpraswil, Review Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional, 2002. Kebijakan Nasional Untuk Pengembangan Kawasan
Budidaya, Bahan Sosialisasi RTRWN dalam rangka Roadshow dengan
Departemen Pertanian, Jakarta, 23 Juni 2015.
Efendi, Muchtar., Henna Rya Sunoko., Widada Sulistya. 2012. Kajian
Kerentanan Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim Berbasis Daerah
Aliran Sungai (Studi Kasus Sub Das Garang Hulu). Jurnal Ilmu
Lingkungan. Volume 10 Issue 1: 8-18 (2012) Issn 1829-8907
Fadillah, et al. 2014. Menentukan Tipe Pasang Surut dan Muka Air Rencana
Perairan Laut Kabupaten Bengkulu Tengah Menggunakan Metode
Admiralty. Maspari Journal, 2014, 6 (1), 1-12. ISSN: 2087-0558.
Galloway, D., Jones, D.R., dan Ingebritsen, S.E. 1999. Land Subsidence in The
United States. US Geological Survey, New York, 1182, 1-15.
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2001. Climate change 2001.
Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II
to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Change. Cambridge University Press. Cambridge, UK.
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2007. Climate change 2007.
Synthesis report. Contribution of Working Groups I, II and III to the
Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate
Change.
Kahar, Sutomo. 2011. Dampak Penurunan Tanah dan Kenaikan Muka Laut
Terhadap Luasan Genangan Rob di Semarang. Semarang : Program Studi
Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro.
Liyani., Kriyo Sambodho., Suntoyo. 2012. Analisa Perubahan Garis Pantai
Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pesisir Kabupaten Tuban.
Jurnal Teknik Pomits Vol. 1, No. 1, Hal:1-5
Nanda, Nurisman. 2012. Karakteristik Pasang Surut di Alur Pleayaran Sungai
Musi Menggunakan Metode Admiralty. 110-115 Maspari 4(1). ISSN:
2087-0558.
Naylor, R.L., Battisti, D.S. Vimont, D.J., Falcon, W.P. and Burke, M.B. 2007.
Assessing risks of climate variability and climate change for Indonesian
rice agriculture. Proceeding of the National Academic of Science.
114:7752-7757.
Pariwono, I., John, 1989. Gaya Penggerak Pasang Surut. Makalah. Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi, Jakarta.
Rampengan, Royke. 2009. Pengaruh Pasang Surut di Teluk Manado. Jurnal
Perikanan dan Kelautan 5 (3): 15-19. ISSN: 1411-9234.
Siswanto, Dwi Aries et al. 2010. Analisa Stabilitas Garis Pantai di Kabupaten
Bangkalan. Jurnal Ilmu Kelautan Vol. 15 (4) 221-230. ISSN 0853-7291.
Stocker, Thomas F.; et al.7.5.2 Sea Ice. Climate Change 2001: The Scientific
Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of
the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel
on Climate Change. Diakses pada 23 Juni 2015.
Syafiudin, Moh. Fifik dan R.S. Chatterjee. 2009. Potensi Pemanfaatan Teknologi
Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DInSAR) Berbasis
Satelit Untuk Pemantauan Penurunan Muka Tanah Di Cekungan
Bandung. Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 15 No. 1 : 47-58.
Triatmodjo, Bambang. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset.Yogyakarta.
Wahyudi. 2007. Tingkat Pengaruh Elevasi Pasang Surut Terhadap Banjir dan
Rob di Kawasan Kaligawe Semarang. Riptek. Vol. I No1 November 2007,
Hal : 27-34
Wei, L. (2006). Land Subsidence And Water Management In Shanghai. Master
Thesis. TU Delft, The Netherlands, p.1-79.
Whitaker, B.N. dan Reddish. (1989). Subsidence Occurrence, Prediction, and
Control. Elsevier Science Publishing Company INC, Netherland.
World Wildlife Fund (WWF). 2007. Dampak Perubahan Iklim Terhadap
Pengelolaan DAS Citarum. WWF Indonesia. Jakarta