32
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bencana merupakan suatu peristiwa di alam yang disebabkan oleh manusia maupun alam yang berpotensi merugikan kehidupan manusia, mengganggu kehidupan normal, serta hilangnya harta dan benda. Pengertian lain dari bencana adalah kemampuan masyarakat (dalam menghadapi bencana) lebih rendah dibanding dengan tingkat bahaya yang mungkin terjadi padanya yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Kerentanan (vulnerability) adalah tingkat kemungkinan suatu objek bencana yang terdiri dari masyarakat, struktur, pelayanan atau daerah geografis mengalami kerusakan atau gangguan akibat dampak bencana atau kecenderungan sesuatu benda atau mahluk rusak akibat bencana. Perkembangan yang terus berlangsung di wilayah pantai akan menyebabkan perubahan lingkungan yang ditandai dengan perubahan ekosistem. Hal ini akan menimbulkan dampak negatif pada wilayah tersebut. Salah satu dampak negatif yang ditimbulkan adalah abrasi. Abrasi bisa terjadi secara alami karena serangan gelombang dan juga terjadi karena kegiatan manusia seperti penebangan hutan bakau,

laporan-mitigasi

Embed Size (px)

DESCRIPTION

mitigasi bencana

Citation preview

Page 1: laporan-mitigasi

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bencana merupakan suatu peristiwa di alam yang disebabkan oleh

manusia maupun alam yang berpotensi merugikan kehidupan manusia,

mengganggu kehidupan normal, serta hilangnya harta dan benda. Pengertian

lain dari bencana adalah kemampuan masyarakat (dalam menghadapi

bencana) lebih rendah dibanding dengan tingkat bahaya yang mungkin terjadi

padanya yang disebabkan, baik oleh faktor alam atau faktor non alam maupun

faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,

kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.

Kerentanan (vulnerability) adalah tingkat kemungkinan suatu objek bencana

yang terdiri dari masyarakat, struktur, pelayanan atau daerah geografis

mengalami kerusakan atau gangguan akibat dampak bencana atau

kecenderungan sesuatu benda atau mahluk rusak akibat bencana.

Perkembangan yang terus berlangsung di wilayah pantai akan menyebabkan

perubahan lingkungan yang ditandai dengan perubahan ekosistem. Hal ini

akan menimbulkan dampak negatif pada wilayah tersebut. Salah satu dampak

negatif yang ditimbulkan adalah abrasi. Abrasi bisa terjadi secara alami

karena serangan gelombang dan juga terjadi karena kegiatan manusia seperti

penebangan hutan bakau, pengambilan karang, pembangunan pelabuhan,

perluasan areal tambak ke arah laut dan lain-lain. Abrasi dapat menimbulkan

kerugian besar dengan rusaknya kawasan pemukiman dan fasilitas-fasilitas

yang ada di daerah tersebut.

Rob merupakan fenomena yang umum terjadi dikota yang terletak di tepi

pantai, di Indonesia sendiri banjir rob sering terjadi dikota pantai seperti

daerah Jakarta bagian utara dan Semarang. Fenomena banjir rob di Semarang

khususnya disebabkan oleh naiknya muka laut juga penurunan muka tanah

atau biasa disebut sebagai land subsidence. Banjir rob merupakan genangan

air pada bagian daratan pantai yang terjadi pada saat air laut pasang. Banjir

rob menggenangi bagian daratan pantai atau tempat yang lebih rendah dari

muka air laut pasang tinggi (high water level). Fenomena banjir rob yang

Page 2: laporan-mitigasi

terjadi hampir disepanjang tahun baik terjadi di musim hujan maupun di

musim kemarau. Hal ini menunjukan bahwa curah hujan bukanlah faktor

utama yang menyebabkan fenomena rob. Rob terjadi terutama karena

pengaruh tinggi-rendahnya pasang surut air laut yang terjadi oleh gaya

gravitasi. Selain itu, banjir rob juga terjadi akibat adanya fenomena iklim

global yang ditandai dengan peningkatan temperatur rata-rata bumi dari tahun

ke tahun. Lapisan ozon merupakan pelindung bumi dari pengaruh sinar

matahari sehingga bila lapisan ini menipis maka akan terjadi pemanasan

global, sehingga menyebabkan lapisan es di kutub utara dan antartika

mencair. Akibatnya, permukaan permukaan laut air global naik. Berdasarkan

data rata-rata suhu permukaan global meningkat 0,3-0,6 °C, sejak akhir abad

19 sampai tahun 2100 suhu bumi diperkirakan akan naik sekitar 1,4-5,8°C.

Penyebab-penyebab banjir rob ini sesuai dengan pendapat yang disebabkan

oleh curah hujan yang tinggi dan naiknya air laut ke daratan. Masalah abrasi

pantai akhir-akhir ini cenderung meningkat di berbagai daerah. Di pantai

utara Jawa Tengah, luasan abrasi sudah mencapai 5.500 hektar yang tersebar

di 10 kabupaten/kota. Salah satu daerah yang mengalami abrasi cukup parah

adalah pantai di Kecamatan Sayung, Demak. Di daerah tersebut permasalahan

yang terjadi cukup berat khususnya menyangkut penurunan fungsi lahan

dikarenakan abrasi pantai, dan penggenangan air laut di kawasan tambak

seluas 582,8 ha yang selama lima tahun ini tergenang dan kemudian hilang.

Banjir Rob dan abrasi yang terjadi di Kecamatan Sayung, Demak

merupakan implikasi dari berbagai proses alam mulai dari perubahan iklim,

kenaikan muka air laut, dan land subsidance yang membuat wilayah

kecamatan sayung menjadi terendam air dan hilang. Oleh sebab itu, di

perlkan suatu kajian atau studi lebih lanjut mengenai kerentanan wilayah

kecamatan sayung dan mencari penyelesaian masalah tersebut dengan

mitigasi ataupun adaptasi yang dapat diterapkan di Kecamatan Sayung,

Demak.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dalam penyelesaian laporan ini antara lain :

Page 3: laporan-mitigasi

1. Dapat mengetahui nilai potensi bahaya, kerentanan dan resiko pada suatu

wilayah pengamatan.

2. Dapat melakukan analisa dengan strategi adaptasi dan mitigasi yang

efektif dalam menjawab permasalahan bencana suatu wilayah pengamatan.

1.3 Manfaat

Manfaat dari penulisan laporan ini bagi penulis adalah dapat mengetahui

nilai suatu potensi bahaya, kerentanan suatu daerah dan resiko serta dapat

menganalisa bagaimana tindakan yang harus di ambil sebagai langkah dari

mitigasi dan adaptasi suatu daerah dalam menyelesaikan permasalahan pada

suatu wilayah yang memiliki nilai kerentanan dan resiko yang tinggi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gambaran Umum Lokasi Pengamatan

Kecamatan Sayung terletak berbatasan dengan Kecamatan Genuk

Semarang di sebelah baratnya sedangkan disebelah selatan berbatasan dengan

Kecamatan Mranggen , disebelah utara Laut Jawa dan sebelah timur

Kecamatan Karagtengah. Kecamatan Sayung memiliki luas 7.222 ha (8.05

persen dari seluruh luas wilayah Kabupaten Demak) yang terdiri dari 854

tanah sawah dan 6.368 ha tanah kering. Jumlah penduduk Kecamatan Guntur

adalah sekitar 93.453 jiwa yang terdiri dari 45.624 jiwa laki-laki dan 47.929

jiwa perempuan. Kecamatan Sayung merupakan Kecamatan dengan jumlah

penduduk terbanyak nomor tiga setelah Mranggen dan Demak Kota di

Kabupaten Demak (Bappeda Demak, 2014).

2.2 Pasang Surut

Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik

menarik benda-benda dilangit, terutama matahari dan bulan terhadap massa

air laut dibumi. Gaya tarik bulan yang mempengaruhi pasang surut adalah

2,2, kali lebih besar dari pada gaya tarik matahari (Triatmodjo, 1999).

Menurut Setiadi (1988) dalam Fadillah et al (2014), pasang surut adalah

Page 4: laporan-mitigasi

perubahan gerak relatif dari materi suatu planet, bintang dan benda angkasa

lainnya yang diakibatkan oleh aksi gravitasi benda-benda di luar materi itu

berada.Pasang surut atau pasut merupakan suatu fenomena pergerakan naik

turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi

gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama

oleh matahari, bumi dan bulan. Faktor non astronomi yang mempengaruhi

pasut terutama di perairan semi tertutup (teluk) antara lain adalah bentuk garis

pantai dan topografi dasar perairan (Siswanto, 2010).

Pasang surut laut merupakan hasil dari gaya tarik gravitasi dan efek

sentrifugal. Efek sentrifugal adalah dorongan ke arah luar pusat rotasi.

Gravitasi bervariasi secara langsung dengan massa tetapi berbanding terbalik

terhadap jarak. Meskipun ukuran bulan lebih kecil dari matahari, gaya tarik

gravitasi bulan dua kali lebih besar daripada gaya tarik matahari dalam

membangkitkan pasang surut laut karena jarak bulan lebih dekat daripada

jarak matahari ke bumi. Gaya tarik gravitasi menarik air laut ke arah bulan

dan matahari dan menghasilkan dua tonjolan (bulge) pasang surut

gravitasional di laut. Lintang dari tonjolan pasang surut ditentukan oleh

deklinasi, sedangkan sudut antara sumbu rotasi bumi dan bidang orbital bulan

dan matahari (Gross, 1987 dalam Arifin, 2012).

2.3 Gaya Pembangkit Pasang Surut

Gaya-gaya pembangkitan pasang surut ditimbulkan oleh gaya tarik

menarik antara bumi, bulan dan matahari. Penjelasan terjadinya pasang surut

dilakukan hanya dengan memandang suatu sistem bumi-bulan; sedangkan

untuk sistem bumi-matahari penjelasannya adalah identik. Dalam penjelasan

ini dianggap bahwa permukaan bumi, yang apabila tanpa pengaruh gaya tarik

bulan, tertutup secara merata oleh laut (bentuk permukaan air adalah bundar)

(Triatmodjo, 1999).

Gaya-gaya pembangkit pasang surut ditimbulkan oleh gaya tarik menarik

antara bumi, bulan dan matahari. Penjelasan terjadinya pasang surut

dilakukan hanya dengan memandang suatu sistem bumi-bulan sedang sistem

bumi-matahari penjelasannya adalah identik. Dalam penjelasan ini dianggap

bahwa permukaan bumi, yang apabila tanpa pengaruh gaya tarik bulan,

Page 5: laporan-mitigasi

tertutup secara merata oleh laut (bentuk permukaan air adalah bundar)

(Triadmojo,1999).

Pariwono dalam Nanda (2012) menyatakan hal yang serupa bahwa dari

semua benda angkasa yang mempengaruhi proses pembentukan pasang surut

air laut, hanya matahari dan bulan yang sangat berpengaruh melalui tiga

gerakan utama yang menentukan paras / muka air laut di bumi ini. Ketiga

gerakan itu adalah :

1. Revolusi bulan terhadap bumi, dimana orbitnya berbentuk elips dan

memerlukan waktu 29,5 hari untuk menyelesaikan revolusinya.

2. Revolusi bumi terhadap matahari, dengan orbitnya berbentuk elips

juga dan periode yang diperlukan 365.25 hari.

3. Perputaran bumi terhadap sumbunya dan waktu yang diperlukan 24

jam (one solar day). Rotasi bumi tidak menimbulkan pasang surut

namun mempengaruhi muka air pasang surut.

Rotasi bumi menyebabkan elevasi muka air laut di khatulistiwa lebih

tinggi daripada di garis lintang yang lebih tinggi. Tetapi karena pengaruhnya

yang seragam di sepanjang garis lintang yang sama, sehingga tidak bisa

diamati sebagai suatu variasi pasang surut. Oleh karena itu, rotasi bumi tidak

menimbulkan pasang surut. Di dalam penjelasan pasang surut ini dianggap

bahwa bumi tidak berrotasi (Triatmodjo, 1999). Perkataan pasang surut

biasanya dikaitkan dengan proses naik turunnya paras laut (sea level) secara

berkala yang ditimbulkan oleh adanya gaya tarik dari benda-benda angkasa

terutama matahari dan bulan, terhadap massa air di bumi (Pariwono, 1989).

2.4 Tipe Pasang Surut

Perairan laut memberikan respon yang berbeda terhadap gaya

pembangkit pasang surut, sehingga terjadi tipe pasut yang berlainan di

sepanjang pesisir. Menurut Dronkers (1964) dalam Rampengan (2009), ada

tiga tipe pasut yang dapat diketahui, yaitu :

1. Pasang surut diurnal. Yaitu bila dalam sehari terjadi satu satu kali

pasang dan satu kali surut.  Biasanya terjadi di laut sekitar

khatulistiwa.

Page 6: laporan-mitigasi

2. Pasang surut semi diurnal.  Yaitu bila dalam sehari terjadi dua kali

pasang dan dua kali surut yang hampir sama tingginya.

3. Pasang surut campuran.  Yaitu gabungan dari tipe 1 dan tipe 2, bila

bulan melintasi khatulistiwa (deklinasi kecil), pasutnya bertipe semi

diurnal, dan jika deklinasi bulan mendekati maksimum, terbentuk

pasut diurnal.

Gambar 2.1 Kurva Tipe Pasut (Triatmodjo, 1999).

Sedangkan untuk di Indonesia sendiri terbagi menjadi empat tipe:

1. Pasang Surut Harian Ganda (Semi Diurnal Tide)

Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut dengan

tinggi yang hampir sama dan pasang surut terjadi secara berurutan

secara teratur . Periode pasang surut adalah 12 jam 24 menit. Pasang

surut tipe ini terjadi di selat Malaka sampai laut Andaman.

2. Pasang Surut Harian Tunggal (Diurnal Tide)

Dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut.

Periode pasang surut adalah 24 jam 50 menit. Pasang surut tipe ini

terjadi di perairan selat karimata.

3. Pasang Surut Campuran Condong ke Harian Ganda (Mixed Tide

Prevailing Semidiurnal)

Page 7: laporan-mitigasi

Dalam satu hari terjadi dua kali air pasang dan dua kali air surut, tetapi

tinggi dan periodenya berbeda. Pasang surut jenis ini banyak terdapat di

perairan Indonesia timur.

4. Pasang Surut Campuran Condong ke Harian Tunggal (Mixed Tide

Prevailing Diurnal)

Pada tipe ini dalam satu hari terjadi satu kali air pasang dan satu kali air

surut, tetapi kadang-kadang untuk sementara waktu terjadi dua kali

pasang dan dua kali surut dengan tinggi dan periode yang sangat

berbeda. Pasang surut jenis ini terdapat di selat Kalimantan dan pantai

utara Jawa Barat.

Gambar 2.2 Sebaran Pasang Surut di Perairan Indonesia (Triatmodjo,

1999).

Dilihat dari pola gerakan muka lautnya, pasang-surut di Indonesia dapat

dibagi menjadi empat jenis yakni pasang-surut harian tunggal (diurnal tide),

harian ganda (semidiurnal tide) dan dua jenis campuran. Jenis harian tunggal

misalnya terdapat di perairan sekitar selat Karimata, antara Sumatra dan

Kalimantan. Pada jenis harian ganda misalnya terdapat di perairan Selat

Malaka sampai ke Laut Andaman. Di samping itu dikenal pula campuran

antara keduanya, meskipun jenis tunggal maupun gandanya masih menonjol.

Pada pasang-surut campuran condong ke harian ganda (mixed tide, prevailing

semidiurnal) misalnya terjadi di sebagian besar perairan Indonesia bagian

Page 8: laporan-mitigasi

timur. Sedangkan jenis campuran condong ke harian tunggal (mixed tide,

prevailing diurnal) contohnya terdapat di pantai selatan Kalimantan dan

pantai utara Jawa Barat. Pola gerak muka air pada keempat jenis pasang-surut

yang terdapat di Indonesia diberikan (Triatmodjo, 1999).

II.5 Mean Sea Level (MSL)

Kenaikan muka air laut merupakan fenomena naiknya muka air laut

akibat pertambahan volume air laut. Perubahan tinggi permukaan air laut

dapat dilihat sebagai suatu fenomena alam yang terjadi secara periodik

maupun menerus. Perubahan secara periodik dapat dilihat dari fenomena

pasang surut air laut, sedangkan kenaikan air laut yang menerus adalah

seperti yang teridentifikasi oleh pemanasan global. Fenomena naiknya muka

air laut yang direpresentasikan dengan SLR (sea level rise) dipengaruhi

secara dominan oleh pemuaian thermal (thermal expansion) sehingga volume

air laut bertambah. Selain itu, mencairnya es di kutub dan gletser juga

memberikan kontribusi terhadap perubahan kenaikan muka air laut. Kenaikan

muka air laut bisa menyebabkan berkurangnya atau mundurnya garis pantai,

mempercepat terjadinya erosi pantai berpasir, banjir di wilayah pesisir, dan

kerusakan infrastruktur yang berada di wilayah pesisir seperti dermaga, dan

bangunan pantai lainnya. Hal ini semakin lama akan semakin mengganggu

masyarakat yang tinggal di wilyah pesisir (Liyani. 2012).

Salah satu bentuk aplikasi dari pentingnya pengetahuan tentang pasang

surut yaitu dalam hal penentuan model geoid. Geoid adalah bidang

equipotensial gaya berat bumi yang diasumsikan berhimpit dengan

permukaan laut rata-rata (MLR) yang tidak terganggu (Welenhof dan Moritz

2006 dalam Affandi dkk. 2012). Kegunaan dari geoid adalah sebagai acuan

referensi tinggi. Pentingnya sebuah referensi tinggi tersebut tidak lepas dalam

pengembangan suatu wilayah, terutama dalam hal pembangunan

infrastruktur. Muka laut rata - rata (MLR) atau duduk tengah adalah

permukaan laut rata-rata yang dihitung dalam periode waktu tertentu. Nilai

MLR yang dianggap terbaik yaitu nilai pengamatan yang dilakukan selam

18,6 tahun. Karena muka laut rata-rata dianggap mendekati bentuk dari model

Page 9: laporan-mitigasi

geoid, sehingga nilai dari MLR dapat digunakan sebagai sebuah acuan

referensi tinggi. Kedudukan serta nilai muka laut rata-rata setiap saat selalu

berubah-ubah. Perubahan naik turun inilah yang disebut dengan perubahan

muka air laut (sea level rise). Sea level rise (SLR) adalah peningkatan volume

air laut yang disebabkan oleh beberapa faktor seperti fluktuasi curah hujan

yang tinggi serta meningkatnya suhu air laut. Beberapa faktor tersebut diduga

terjadi karena adanya perubahan iklim secara global. Jika berbicara tentang

perubahan iklim secara global, tentu saja hal tersebut tidak lepas dari

pengaruh pemanasan global (global warming). Efek yang timbul akibat

global warming yaitu meningkatnya suhu di permukaan bumi, baik darat, alut

ataupun atmosfer, yang mengakibatkan salah satunya yaitu mencairnya

gunung es di daerah kutub. Hal ini lah yang mengakibatkan terjadinya

peningkatan muka air laut (Affandi dkk. 2012).

II.6 Land Susidence (Penurunan Tanah)

Penurunan muka tanah (land subsidence) merupakan fenomena yang

sedang dikaji di beberapa negara, termasuk Indonesia. Penurunan muka tanah

dapat menyebabkan beberapa masalah, seperti rusaknya struktur bangunan,

peningkatan daerah resapan air laut dan peningkatan area banjir. Fenomena ini

dapat disebabkan oleh beberapa proses baik alamiah seperti pemampatan

sedimen maupun non-alamiah seperti ekstraksi air tanah, minyak bumi, gas

atau pertambangan bawah tanah (Moh. Fifik Syafiudin dan R.S. Chatterjee,

2009).

Turunnya permukaan tanah yang terakumulasi selama rentang waktu

tertentu akan dapat mencapai besaran penurunan hingga beberapa meter lebih

(Galloway dkk., 1999) sehingga dampaknya dapat merusak infrastruktur

perkotaan yang kemudian dapat saja menjadi gangguan terhadap stabilitas

perekonomian dan kehidupan sosial di wilayah tersebut. Definisi penurunan

muka tanah berdasarkan beberapa referensi dapat didefinisikan sebagai

berikut: terjadi pada skala regional yaitu meliputi daerah yang luas atau terjadi

secara lokal yaitu hanya sebagian kecil permukaan tanah. Hal ini biasanya

disebabkan oleh adanya rongga di bawah permukaan tanah, biasanya terjadi di

Page 10: laporan-mitigasi

daerah yang berkapur atau turunnya kedudukan permukaan tanah yang

disebabkan oleh kompaksi tanah (Wei, 2006).

Semarang merupakan ibukota Provinsi Jawa Tengah yang mengalami

perkembangan dan pertumbuhan kota yang pesat. Hal ini ditunjukkan dengan

adanya peningkatan laju pembangunan di kota tersebut. Dengan

perkembangan ini, tentunya akan menimbulkan masalah baru yaitu penurunan

muka tanah. Semarang terbentuk dari endapan alluvial yang terdiri dari

material berukuran lempung dan pasir. Lapisan pembentuk tersebut berumur

muda (sekitar 10.000 tahun) yang memiliki derajat kompaksi rendah sehingga

masih memungkinkan tahapan pemadatan dan berpengaruh dengan penurunan

muka tanah. Selain itu pengambilan air tanah secara besar-besaran

mengakibatkan kekosongan di ruang bawah tanah dan ditambah juga dibebani

dengan pembangunan gedung-gedung baru. Penurunan muka tanah tidaklah

fenomena baru di Semarang. Dampak dari fenomena ini dapat dilihat dari

adanya perluasan area banjir dan peningkatan daerah resapan air laut.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh JICA bekerja sama dengan

Direktorat Geologi Tata Guna Lingkungan dan UNDIP pada tahun 2011

tentang penurunan muka tanah di Semarang menunjukkan bahwa Semarang

mengalami penurunan muka tanah sebesar 1 cm/tahun - 10 cm/tahun (Kahar,

2011).

2.7 Banjir dan Banjir Genangan (Rob)

Banjir adalah bencana alam yang membuat banyak penduduk menderita.

Hampir setiap tahun banjir melanda daerah-daerah yang letaknya di sepanjang

pantai utara pulau jawa. Banjir dari tinjauan ekologis merupakan peristiwa

fisik yang terjadi di lingkungan hidup manusia dan mempengaruhi kehidupan

manusia (Khadiyanto dalam Wahyudi. 2007).

Banjir dapat terjadi karena hujan yang terus menerus dan saliran tidak

dapat menampung air sehingga meluap. Terjadi banjir dapat pula disebabkan

oleh pasang air laut yang masuk ke wilayah daratan, banjir genangan ini

biasa disebut rob. Air laut masuk melalui sungai sungai pada saat pasang dan

selanjutnya mengalir ke pemukiman setelah melewati drainase. Rob adalah

Page 11: laporan-mitigasi

kejadian / fenomena alam dimana air laut masuk ke wilayah daratan, pada

waktu air laut mengalami pasang. Intrusi air laut tersebut dapat melalui

sungai, saluran drainase atau aliran bawah tanah. Rob dapat muncul karena

dinamika alam atau karena kegiatan manusia. Dinamika alam yang dapat

menyebabkan rob adalah adanya perubahan elevasi pasang surut air laut.

Sedangkan yang di akibatkan oleh kegiatan manusia misalnya karena

pemompaan air yang berlebihan, pengerukan alur pelayaran, reklamasi dan

lain-lain (Wahyudi, 2007).

2.8 Perubahan Iklim

Pemanasan global sudah bukan lagi merupakan masalah masa depan,

tetapi sudah menjadi masalah yang sedang kita hadapi sekarang. Hasil

penelusuran terhadap database bencana alam intenasional (International

Disaster Database) menunjukkan bahwa banyak bencana alam yang masuk ke

dalam kategori bencana global ialah sebanyak 345 bencana (Boer dan

Perdinan, 2008). Temuan ini sejalan dengan hasil kajian Panel Antar

Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC, 2007) bahwa pemanasan global

akan meningkatkan frekuensi dan intensitas kejadian iklim ekstrim.

Penelitian tentang pengaruh pemanasan global terhadap perubahan musim

di pulau Jawa sudah dilakukan oleh Naylor dkk. (2007) dalam Efendi (2012).

Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa dalam 40 tahun mendatang,

terjadinya pemanasan global akan menyebabkan awal musim hujan di Jawa

Tengah akan mengalami kemunduran sedangkan akhir musim hujan akan

lebih cepat yang berarti lama musim hujan akan semakin pendek. Di lain

pihak curah hujan musim hujan akan cenderung meningkat sedangkan curah

hujan musim kemarau cenderung menurun. Hal ini berimplikasi pada semakin

meningkatnya risiko kekeringan pada musim kemarau dan risiko banjir atau

bahaya longsor pada musim hujan. WWF (2007) dalam effendi (2012)

menyatakan perubahan distribusi curah hujan tersebut menyebabkan berbagai

potensi bencana alam yang dipicu oleh curah hujan menjadi semakin tinggi,

seperti : banjir, longsor, peluapan sungai, dan penyebaran vektor penyakit.

Sedangkan pada kondisi curah hujan yang mengecil dapat terjadi potensi

Page 12: laporan-mitigasi

bencana seperti : kekeringan, gagal panen, kekurangan air bersih, dan berbagai

permasalahan sosial yang mungkin timbul.

Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel

on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global

telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861.

Pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas manusia yang

menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan

temperatur rata-rata global akan meningkat 1,1 hingga 6,4 °C (2,0 hingga 11,5

°F) antara tahun 1990 dan 2100. (IPCC, 2007). Kondisi ini akan

mengakibatkan iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat

emisi yang telah dilepaskan sebelumnya dan karbon dioksida akan tetap

berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu

menyerapnya kembali (Stocker, et al., 2007). Dampak dari pemansan global

(Global warming) akan mempengaruhi pola presipitasi, evaporasi, water run-

off, kelembaban tanah dan variasi iklim yang sangat fluktuatif secara

keseluruhan mengancam keberhasilan produksi pangan. Kajian terkait dampak

perubahan iklim pada bidang pertanian oleh National Academy of

Science/NAS (2007), menunjukkan bahwa pertanian di Indonesia telah

dipengaruhi secara nyata oleh adanya variasi hujan tahunan dan antar tahun

yang disebabkan oleh Australia-Asia Monsoon and El Nino-Southern

Oscilation (ENSO).

Dampak perubahan iklim pada peningkatan temperatur sebenarnya sudah

ditengarai sejak tahun 1990-an. Department for International Development

(DFID), badan dari pemerintah Inggris yang mengurusi bantuan pembangunan

untuk negara-negara lain) dan World Bank (2007) melaporkan rata-rata

kenaikan suhu per tahun sebesar 0,3 derajat celsius. Pada tahun 1998 terjadi

kenaikan suhu yang luar biasa mencapai 1 derajat celsius. Indonesia diprediksi

akan mengalami lebih banyak hujan dengan perubahan 2-3 persen per tahun.

Intensitas hujan akan meningkat, namun jumlah hari hujan akan semakin

pendek, dan meningkatkan risiko banjir. Iklim selalu berubah menurut ruang

dan waktu. Dalam skala waktu perubahan iklim akan membentuk pola atau

siklus tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun siklus beberapa

Page 13: laporan-mitigasi

tahunan . Selain perubahan yang berpola siklus, aktivitas manusia

menyebabkan pola iklim berubah secara berkelanjutan, baik dalam skala

global maupun skala lokal. Unsur-unsur iklim yang menunjukan pola

keragaman yang jelas merupakan dasar dalam melakukan klasifikasi iklim.

Unsur iklim yang sering dipakai adalah suhu dan curah hujan (presipitasi).

Menurut Trenberth, Houghton dan Filho (1995) dalam Ditjen. Penataan

Ruang - Dekimpraswil, 2002), iklim selalu berubah menurut ruang dan waktu.

Dalam skala waktu perubahan iklim akan membentuk pola atau siklus

tertentu, baik harian, musiman, tahunan maupun siklus beberapa tahunan .

Selain perubahan yang berpola siklus, aktivitas manusia menyebabkan pola

iklim berubah secara berkelanjutan, baik dalam skala global maupun skala

lokal. Perubahan iklim akan membawa pengaruh pada intensitas dampak dan

sangat tergantung pada tingkat penyimpangannya.

Page 14: laporan-mitigasi

III. MATERI DAN METODE

3.1 Materi Pengamatan

3.2 Waktu dan Lokasi Pengamatan

3.3 Alat dan Bahan

3.4 Metode Pengambilan Data

3.5 Metode Pengolahan Data

Untuk menghasilkan mitigasi bencana banjir rob maka diperlukan

beberapa tahapan analisis, adapun tahapan analisis tersebut adalah sebagai

berikut :

Analisis Potensi Bahaya

Analisis potensi bahaya ini menggunakan acuan dari tabel

variabel potensi bahaya dimana kita harus mengamati keadaan

suatu wilayah yang diamati dengan acuan pada variabel-variabel

yang tertera pada tabel 2.

Tabel 2. Variabel-Variabel Perhitungan Potensi Bahaya

(Sumber : USGS, 2007. Dimodifikasi 2008)

Setelah menentukan kekuatan potensi bahaya berdasarkan

variabel-variabel yang tertera pada tabel 2, maka kita harus

mengklasifikasikan potensi bahaya tersebut untu mengetahui kelas

Page 15: laporan-mitigasi

atau tingkat potensi bahaya yang ada pada daerah pengamatan

berdasarkan pada tabel 3.

Tabel 3. Klasifikasi Perhitungan Potensi Bahaya

Kelas Deskripsi0.1-1.0 Rendah1.1-2.0 Sedang2.1-3.0 Tinggi

Kelas Potensi Bahaya

(Sumber : USGS, 2007. Dimodifikasi 2008)

Analisis Kerentanan Pantai

Analisis kerentanan pantai ini menggunakan acuan dari tabel

variabel kerentanan pantai dimana kita harus mengamati keadaan

suatu wilayah yang diamati dan mengkaji hasil wawancara dengan

acuan pada variabel-variabel yang tertera pada tabel 4.

Tabel 4. Variabel-Variabel Kerentanan Pantai

(Sumber: Ministry For Environment – New Zeland Goverment, 2008, 2007,

dimodifikasi 2008)

Setelah menentukan kerentanan pantai berdasarkan variabel-variabel yang

tertera pada tabel 4, maka kita harus mengklasifikasikan kerentanan pantai

Page 16: laporan-mitigasi

tersebut untu mengetahui kelas atau tingkat kerentanan pantai yang ada pada

daerah pengamatan berdasarkan pada tabel 5.

Tabel 5. Klasifikasi Perhitungan Kerentanan Pantai

Kelas Deskripsi0.1-1.0 Kecil1.1-2.0 Sedang2.1-3.0 Besar

Kelas Kerentanan

(Sumber : USGS, 2007. Dimodifikasi 2008)

Analisis Resiko

Setelah mengetahui nilai dari suatu potensi bahaya dan

kerentanan pantai, langkah berikutnya yaitu menganalisis resiko

yang diperoleh dari perhitungan sebagai berikut:

Kemudian langkah terakhir yaitu mengklasifikasikan nilai suatu

resiko suatu wilayah berdasarkan pada tabel 6:

Tabel 6. Kelas Resiko

Kelas Deskripsi0.1-07 Rendah0.8-1.4 Sedang1.5-2.1 Tinggi

Kelas Resiko

(Sumber : USGS, 2007. Dimodifikasi 2008)

Page 17: laporan-mitigasi

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Analisa Potensi Bahaya

Tabel 7. Variabel-Variabel Perhitungan Potensi Bahaya

Berdasarkan Hasil PengamatanRendah Sedang Tinggi

1 2 3Geomorfologi - - √Erosi/Akresi pada garis pantai (m/tahun) - - √Kemiringan Pantai (%) - - -Perubahan elevasi muka air relatif (mm/tahun) - - √Rata-rata tinggi gelombang - - -Rata-rata kisaran pasang surut (m) - - -

Variabel

Tabel 8. Klasifikasi Perhitungan Potensi Bahaya Berdasarkan Hasil

Pengamatan

Kelas Deskripsi0.1-1.0 Rendah1.1-2.0 Sedang2.1-3.0 Tinggi

Kelas Potensi Bahaya

Potensi Bahaya = ∑ Klasifikasi / ∑variabel = (3+3+3) / 3 = 3

Analisa Kerentanan Pantai

Tabel 9. Variabel-Variabel Kerentanan Pantai Berdasarkan Hasil

PengamatanNo Penerima Dampak Konsekuensi (Dampak)

Kecil Sedang Besar1 2 3

1 Perpindahan Penduduk (jumlah pemukiman) - - √2 Penduduk - - √3 Penduduk - - √4 Dampak Ekonomi - - √5 Jasa Pelayanan Penting - - √6 Infrastruktur - - √7 Jasa Pelayanan Komersial - - √8 Ekosistem - √ -

Tabel 10. Klasifikasi Perhitungan Kerentanan Pantai Berdasarkan

Hasil Pengamatan

Page 18: laporan-mitigasi

Kelas Deskripsi0.1-1.0 Kecil1.1-2.0 Sedang2.1-3.0 Besar

Kelas Kerentanan

Potensi Bahaya = ∑ Klasifikasi / ∑variabel = (3+3+3+3+3+3+3+2)

/ 8 = 2.875

Analisa Resiko

Metode Perhitungan

Resiko = = 1.714

Tabel 11. Kelas Resiko Berdasarkan Hasil Pengamatan

Kelas Deskripsi0.1-07 Rendah0.8-1.4 Sedang1.5-2.1 Tinggi

Kelas Resiko

Tabel 12. Hasil Perhitungan Resiko

No Wilayah Administrasi Potensi

Bahaya

Kerentanan

Pantai

Resiko Kelas Deskripsi

1 Desa Bedono, Kecamatan

Sayung, Demak

3 2.75 1.714 1.5-2.1 Tinggi

4.2 Pembahasan

V. PENUTUP

Page 19: laporan-mitigasi

DAFTAR PUSTAKA

Affandi, Ikhsan Dwi., Muhamad Taufik. 2012. Analisa Perubahan Muka Air Laut

(Sea Level Rise) Terkait Dengan Fenomena Pemanasan Global (Global

Warming) ( Studi Kasus : Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya ) Jurnal

Teknik Pomits Vol. 1

Arifin, Taslim. 2009. Kondisi Arus Pasang Surut di Perairan Pesisir Kota

Makassar, Sulawesi Selatan. Depik, 1(3): 183-188 Desember 2012. ISSN

2089-7790.

Ariyanto, Shodiq Eko. - .Kajian Dampak Perubahan Iklim Terhadap

Produktivitas Kacang Hijau (Phaseolus Radiatus L.) Di Lahan Kering.

ISSN : 1979-6870

Boer, Rizaldi dan Perdinan. 2008. Adaptation to climate variability and climate

change: Its socio-economic aspect. Paper presented at the EEPSEA

Conference On Climate Change: Impacts, Adaptation, And Policy In South

East Asia With A Focus On Economics, Socio-Economics And Institutional

Aspects, 13-15 February 2008, Bali, <http://www.eepsea.cc-sea.org>,

diakses tanggal 23 Juni 2015.

Page 20: laporan-mitigasi

Ditjen. Penataan Ruang – Dekimpraswil, Review Rencana Tata Ruang Wilayah

Nasional, 2002. Kebijakan Nasional Untuk Pengembangan Kawasan

Budidaya, Bahan Sosialisasi RTRWN dalam rangka Roadshow dengan

Departemen Pertanian, Jakarta, 23 Juni 2015.

Efendi, Muchtar., Henna Rya Sunoko., Widada Sulistya. 2012. Kajian

Kerentanan Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim Berbasis Daerah

Aliran Sungai (Studi Kasus Sub Das Garang Hulu). Jurnal Ilmu

Lingkungan. Volume 10 Issue 1: 8-18 (2012) Issn 1829-8907

Fadillah, et al. 2014. Menentukan Tipe Pasang Surut dan Muka Air Rencana

Perairan Laut Kabupaten Bengkulu Tengah Menggunakan Metode

Admiralty. Maspari Journal, 2014, 6 (1), 1-12. ISSN: 2087-0558.

Galloway, D., Jones, D.R., dan Ingebritsen, S.E. 1999. Land Subsidence in The

United States. US Geological Survey, New York, 1182, 1-15.

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2001. Climate change 2001.

Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II

to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate

Change. Cambridge University Press. Cambridge, UK.

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2007. Climate change 2007.

Synthesis report. Contribution of Working Groups I, II and III to the

Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate

Change.

Kahar, Sutomo. 2011. Dampak Penurunan Tanah dan Kenaikan Muka Laut

Terhadap Luasan Genangan Rob di Semarang. Semarang : Program Studi

Magister Ilmu Lingkungan, Universitas Diponegoro.

Liyani., Kriyo Sambodho., Suntoyo. 2012. Analisa Perubahan Garis Pantai

Akibat Kenaikan Muka Air Laut di Kawasan Pesisir Kabupaten Tuban.

Jurnal Teknik Pomits Vol. 1, No. 1, Hal:1-5

Nanda, Nurisman. 2012. Karakteristik Pasang Surut di Alur Pleayaran Sungai

Musi Menggunakan Metode Admiralty. 110-115 Maspari 4(1). ISSN:

2087-0558.

Naylor, R.L., Battisti, D.S. Vimont, D.J., Falcon, W.P. and Burke, M.B. 2007.

Assessing risks of climate variability and climate change for Indonesian

Page 21: laporan-mitigasi

rice agriculture. Proceeding of the National Academic of Science.

114:7752-7757.

Pariwono, I., John, 1989. Gaya Penggerak Pasang Surut. Makalah. Lembaga

Ilmu Pengetahuan Indonesia, Pusat Penelitian dan Pengembangan

Oseanologi, Jakarta.

Rampengan, Royke. 2009. Pengaruh Pasang Surut di Teluk Manado. Jurnal

Perikanan dan Kelautan 5 (3): 15-19. ISSN: 1411-9234.

Siswanto, Dwi Aries et al. 2010. Analisa Stabilitas Garis Pantai di Kabupaten

Bangkalan. Jurnal Ilmu Kelautan Vol. 15 (4) 221-230. ISSN 0853-7291.

Stocker, Thomas F.; et al.7.5.2 Sea Ice. Climate Change 2001: The Scientific

Basis. Contribution of Working Group I to the Third Assessment Report of

the Intergovernmental Panel on Climate Change. Intergovernmental Panel

on Climate Change. Diakses pada 23 Juni 2015.

Syafiudin, Moh. Fifik dan R.S. Chatterjee. 2009. Potensi Pemanfaatan Teknologi

Differential Interferometric Synthetic Aperture Radar (DInSAR) Berbasis

Satelit Untuk Pemantauan Penurunan Muka Tanah Di Cekungan

Bandung. Jurnal Ilmiah Geomatika Vol. 15 No. 1 : 47-58.

Triatmodjo, Bambang. 1999. Teknik Pantai. Beta Offset.Yogyakarta.

Wahyudi. 2007. Tingkat Pengaruh Elevasi Pasang Surut Terhadap Banjir dan

Rob di Kawasan Kaligawe Semarang. Riptek. Vol. I No1 November 2007,

Hal : 27-34

Wei, L. (2006). Land Subsidence And Water Management In Shanghai. Master

Thesis. TU Delft, The Netherlands, p.1-79.

Whitaker, B.N. dan Reddish. (1989). Subsidence Occurrence, Prediction, and

Control. Elsevier Science Publishing Company INC, Netherland.

World Wildlife Fund (WWF). 2007. Dampak Perubahan Iklim Terhadap

Pengelolaan DAS Citarum. WWF Indonesia. Jakarta

Page 22: laporan-mitigasi