99
LAPORAN TUTORIAL BLOK HEMATOIMUNOLOGI SKENARIO 5 “SERING DIARE” Oleh : Kelompok 3 1. Advisedly (1018011003) 2. Ahmad Habibi Gafur (1018011004) 3. Agustia Pratiwi (1018011035) 4. Aris Yanuar Jaelani (1018011042) 5. Farah Bilqistiputri (1018011060) 6. Kurnia Putra Wardhana (1018011070) 7. Meta Sakina (1018011076) 8. Ucha Clarina (1018011100) 9. Anggun Permata Sari (1018011110) 10. Yulia Dewi Asmariati (1018011129) 11. Reisha Gasshani (0818011090)

LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

LAPORAN TUTORIAL BLOK HEMATOIMUNOLOGI

SKENARIO 5

“SERING DIARE”

Oleh :

Kelompok 3

1. Advisedly (1018011003)

2. Ahmad Habibi Gafur (1018011004)

3. Agustia Pratiwi (1018011035)

4. Aris Yanuar Jaelani (1018011042)

5. Farah Bilqistiputri (1018011060)

6. Kurnia Putra Wardhana (1018011070)

7. Meta Sakina (1018011076)

8. Ucha Clarina (1018011100)

9. Anggun Permata Sari (1018011110)

10. Yulia Dewi Asmariati (1018011129)

11. Reisha Gasshani (0818011090)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

2012

Page 2: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan nikmat-Nya yang telah

diberikan kepada penyusun sehingga dapat terselesaikannya LAPORAN TUTORIAL

KASUS 1 ”LEMAH DAN LESU” MATA KULIAH BLOK HEMATOIMUNOLOGI.

Tujuan pembelajaran materi tutorial ini adalah melatih kepahaman penyusun

dalam menjelaskan dan menangani kasus mengenai kelenjar adrneal.

Tujuan dibuatnya laporan tutorial ini adalah sebagai pemenuhan tugas dalam mata

kuliah di Blok HEMATOIMUNOLOGI serta sebagai sajian dari hasil pembelajaran

penyusun dalam kasus ke – 5 ini.

Terimakasih penyusun tujukan kepada dosen-dosen Blok

HEMATOIMUNOLOGI yang telah memberikan materi dan kepada tutor kasus 5

kelompok 3.

Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan ini, sehingga

penyusun mengharapkan banyak masukan dari dosen-dosen dan pembaca agar dapat

memberikan laporan yang lebih baik selanjutnya. Semoga Laporan Kasus 1 Mata Kuliah

Blok HEMATOIMUNOLOGI dapat bermanfaat bagi penyusun maupun pihak lain.

Bandar Lampung, 6 Oktober 2012

Penyusun

Kelompok 3

Page 3: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

SKENARIO 1

“Sering diare”

Tuan X, 35 tahun dibawa oleh istirnya ke Unit Gawat Darurat karena lemas dan

hampir pingsan. Setelah di anamnesis ternyata dari hari sebelumnya Tuan X menderita

diare dan muntah-muntah. Menurut istrinya buka kali pertama ini suaminya menderita

sakit seperti ini. Istrinya yang saat ini sedang mengandung mengatakan sejak di PHK dari

pekerjaannya sebagai supir truk di Jakarta dan kembali ke kampung halamannya, sang

suami menjadi sering sakit-sakitan. Dalam 6 bulan terakhir dirasakan Tuan X makin

kurus dan mudah terkena pilek.

Dari hasil pemeriksaan fisik antara lain di dapatkan bercak-bercak putih di dalam

mukosa mulut. Dokter segera menyarankan Tuan X melakukan beberapa rangkaian

pemerikasaan Laboratorium.

Page 4: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

STEP 1

FINDING UNFAMILIAR TERMS

-

Page 5: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

STEP 2

FINDING THE PROBLEMS

1. Bagaimana cara mendiagnosis penyakit Tuan X?

2. Apa saja diagnosis banding penyakit Tuan X?

3. Bagaimana pathogenesis penyakit Tuan X?

4. Bagaimana penatalaksanaan penyakit Tuan X?

5. Apa saja factor risiko dari penyakit Tuan X?

Page 6: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

STEP 3

BRAIN STORMING

1. Diagnosis penyakit Tuan X

- Anamnesis

- Pemeriksaan fisik

- Pemeriksaan penunjang

- Pemeriksaan laboratorium

- Pemeriksaan klinis

Dilihat dari gejala-gejala di scenario, Tuan X di duga menderita penyakit HIV

AIDS.

2. Diagnosis Banding

Kandidiasis oral :

Kandidiasis oral merupakan salah satu penyakit jaringan lunak mulut yang

mulai banyak ditemukan, terutama sekali disebabkan karena kemajuan ilmu

pengetahuan yang menghasilkan berbagai obat baru seperti antibiotik spektrum

luas dan karena gangguan sistem kekebalan seperti penderita HIV/AIDS atau

penderita kanker yang menjalani kemoterapi.

Kandidiasis oral merupakan infeksi superfisial pada mulut yang disebabkan oleh

jamur dari genus Kandida.1-3,6 Sejauh ini, Kandida albikan merupakan yang

paling patogen dari semua spesies Kandida dan menjadi etiologi utama

kandidiasis oral.1,6,7 Fakta bahwa kandidiasis oral merupakan infeksi jamur yang

paling banyak ditemukan tidaklah mengherankan mengingat hampir 50% dari

rongga mulut manusia yang sehat membawa jamur ini sebagai komponen normal

mikroflora mulut.

Sebenarnya Kandida pada rongga mulut individu yang sehat merupakan

organisme komensal yang hidup bersama dengan mikrobial flora mulut dalam

keadaan seimbang. Tetapi, jika terjadi gangguan pada keseimbangan antara

Kandida dengan anggota mikrobial mulut lainnya, maka organisme ini dapat

Page 7: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

berproliferasi, berkolonisasi, menginvasi jaringan dan menghasilkan infeksi

oportunistik yang dikenal sebagai kandidiasis oral.

Limfadenopati Generalisata

Limfadenopati berarti penyakit pada kelenjar atau aliran getah bening (sistem

limfatik). Biasanya, penyakit tersebut terlihat sebagai kelenjar getah

bening menjadi bengkak, sering tanpa rasa sakit. Pembengkakan kelenjar itu

disebabkan oleh reaksi sistem kekebalan tubuhterhadap berbagai infeksi, termasuk

HIV dan TB.

Ada ratusan kelenjar getah bening di tubuh kita, dengan ukuran antara

sebesar kepala peniti hingga biji kacang. Organ ini sangat penting untuk fungsi

sistem kekebalan tubuh, dengan tugas menyerang infeksi dan menyaring cairan

getah bening. Sebagian besar kelenjar getah bening ada di daerah tertentu,

misalnya mulut, leher, lengan bawah, ketiak, dan kunci paha.

Segera setelah seseorang terinfeksi HIV, kebanyakan virus keluar dari darah.

Sebagian melarikan diri ke sistem limfatik (getah bening) untuk menyembunyikan

diri dalam sel di kelenjar getah bening. Beberapa ilmuwan menganggap bahwa

hanya 2% HIV ada dalam darah. Sisanya ada di sistem limfatik, termasuk limpa, di

lapisan usus dan di otak.

Infeksi HIV sendiri dapat menyebabkan limfadenopati atau pembengkakan

kelenjar getah bening. Limfadenopati adalah salah satu gejala umum infeksi primer

HIV. Infeksi primer atauakut adalah penyakit yang dialami oleh sebagian orang

beberapa minggu setelah tertular HIV – lihat Lembaran Informasi (LI) 103. Gejala

lain termasuk demam dan sakit kepala, dan sering kali penyakit ini dianggap flu.

Walaupun limfadenopati sering disebabkan HIV sendiri, penyakit ini dapat gejala

infeksi lain, termasuk TB di luar paru, sifilis, histoplasmosis, virus

sitomegalia, sarkoma Kaposi, limfomadan kelainan kulit.

Diare Kronis

Diare terkait HIV berasal dari pilihan untuk HIV berada pada saluran

pencernaan – perut dan usus. Bahkan, seluruh sel sistem kekebalan tubuh hidup di

dinding usus, bukan dalam aliran darah sebagaimana yang dikira orang selama

Page 8: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

ini. Dengan ketertarikkan virus terhadap sel ini, jaringan usus menjadi sasaran

utama terhadap infeksi. Penelitian menentukan bahwa usus terinfeksi HIV secara

luas segera setelah infeksi awal dan terus menjadi pusat infeksi yang cukup besar

walau dengan viral load ‘tidak terdeteksi’ dalam darah. Sebagaimana yang

dijelaskan oleh Dr. Peter Anton – direktur Center for HIV Prevention Research,

UCLA AIDS Institute, “apabila virus mempunyai pilihan antara sel CD4 dalam

darah dan sel CD4 di usus, ia akan memilih usus, tempat tipe sel kekebalan aktif

yang lebih disukainya.”

Infeksi yang terus berlangsung ini kemudian dapat memicu masalah lain secara

bersamaan. Pada orang lain yang sehat, orang HIV-negatif, diare sering

disebabkan oleh penyebab tunggal. Tidak demikian dengan HIV, yaitu berbagai

faktor yang luas dan sering berlangsung secara bersamaan. Hal ini membuat

diagnosis secara hati-hati dan menyeluruh adalah penting. (Kemampunan untuk

berbicara langsung dengan dokter kita mengenai tinja kita – jumlah, konsistensi

bahkan baunya – merupakan aset yang sangat bernilai di sini.) Antara lima dan

tujuh penyebab yang mungkin pada Odha, Dr. Anton mencatat, menjadikannya

penting untuk dokter dan pasien untuk memahami bahwa berbagai intervensi

mungkin diperlukan sebelum melihat hasil yang dramatis. Dia mengatakan,

“apabila ada lima penyebabnya dan kita mengobati salah satunya dengan

keberhasilan 100%, kita mungkin masih belum melihat penurunan masalah secara

langsung, walaupun sesungguhnya kita sudah berhasil melaju selangkah menuju

pengobatannya.”

Infeksi usus

3. Ada 2 jenis HIV :

HIV tipe 1 : virus HIV pada manusia tidak homogen tetapi sebagian besar

merupakan varian dari HIV 1

HIV tipe 2 : tampak hanya prevalen di afrika barat dan sangat tidak virulen hanya

sekitar 40% dari rangkain HIV-1 dan HIV-2 yang identik.

Replikasi : infeksi HIV dimulai dengan adsorpsi virion dimana virus bebas dan

yang terinfeksi dengan HIV masuk ke tubuh

Page 9: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Envelope virus gp120 menempel pada CD4 receptors dengan bantuan

coreceptors, CCR-5 atau CXCR4 virus menembus sel dan isinya masuk ke sel

Envelope berfusi dengan membrane sel plasma, inti yang bagian dalam

dipindahkan, membebaskan retroviral RNA

Reverse transcriptase partikel subviral dalam sel yang terinfeksi dan produk

double stranded DNA transportasikan kedalam nucleus.

4. Penatalaksanaan

Konseling dan Edukasi

Konseling dan edukasi perlu diberikan segera sesudah diagnosis HIV/AIDS

ditegakkan dandilakukan secara berkesinambungan. Bahkan, konseling dan

edukasi merupakan pilar pertamadan utama dalam penatalaksanaan HIV/AIDS;

karena keberhasilan pencegahan penularanhorizontal maupun vertikal,

pengendalian kepadatan virus dengan ARV, peningkatan CD4, pencegahan dan

pengobatan IO serta komplikasi lainnya akan berhasil jika konseling danedukasi

berhasil dilakukan dengan baik. Pada konseling dan edukasi perlu diberikan

dukungan psikososial supaya ODHA mampu memahami, percaya diri dan tidak

takut tentang status dan perjalanan alami HIV/AIDS, cara penularan, pencegahan

serta pengobatan HIV/AIDS dan IO;semuanya ini akan memberi keuntungan bagi

ODHA dan lingkunganny

Antiretrovirus (ARV)

Indikasi pemberian ARV yaitu pada infeksi HIV akut, ODHA yang menunjukkan

gejala klinisatau ODHA tanpa gejala klinis yang memiliki CD4 < 500/mm3 dan

atau RNA HIV > 20.000/ml.serta pada PPE HIV.Kombinasi ARV merupakan

dasar penatalaksanaan pemberian antivirus terhadap ODHA; karenadapat

mengurangi resistensi, menekan replikasi HIV secara efektif sehingga kejadian

penularan/IO/komplikasi lainnya dapat dihindari, dan meningkatkan kualitas serta

harapan hidupODHA. Dua golongan ARV yang diakui

Food and Drug Administration

(FDA) dan

World Health Organization

Page 10: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

(WHO) adalah penghambat reverse

transcriptase

(PRT), yang terdiri darianalog nukleosida dan non-analog nukleosida, serta

penghambat protease (PP) HIV. Ketiga jenisini dipakai secara kombinasi dan

tidak dianjurkan pada pemakaian tunggal.Penggunaan kombinasi ARV

merupakan farmakoterapi yang rasional; sebab masing-masing preparat bekerja

pada tempat yang berlainan atau memberikan efek sinergis terhadap yanglain.

Preparat golongan PRT analog nukleosida menghambat beberapa proses

polimerisasi

deoxyribo nucleic adid

(DNA) sel termasuk sintesis DNA yang tergantung pada

ribonucleicacid

(RNA) pada saat terjadi

reverse

transkripsi; sedangkan PRT analog non-nukleosida secaraselektif menghambat

proses

reverse

transkripsi HIV-1. Penghambat protease bekerja dengan caramenghambat sintesis

protein inti HIV.

United States Public Health Service

(USPHS) dan WHO menganjurkan kombinasi ARV yangdipakai sebagai

pengobatan pertama kali adalah 2 preparat PRT analog nukleosida dengan PP,atau

2 preparat PRT analog nukleosida dikombinasikan dengan analog non-

nukleosida.Sedangkan kombinasi antara PRT nukleosida, non-nukleosida dengan

PP dipertimbangkansebagai kombinasi pada pengobatan kasus lanjut.Perlu

diperhatikan kombinasi saquinavir dengan ritonavir akan meningkatkan kadar

saquinavir dalam plasma, karena ritonavir menghambat kerja enzim sitokrom

P450. Sedangkanzidovudin (ZDV) dengan stavudin dan efavirenz dengan

saquinavir merupakan kombinasiantagonis satu dengan yang lain. Nevirapin akan

menurunkan berturut-turut kadar dalam plasma saquinavir, ritonavir, indinavir

dan lopinavir jika dikombinasikan, sehingga kombinasiARV ini jangan dilakukan.

Page 11: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

5. Factor resiko

Faktor resiko epidemiologis infeksi HIV adalah sebagai berikut :

1. Mempunyai perilaku seksual beresiko tinggi (sekarang atau di masa lalu) yaitu

melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan banyak mitra seksual, dengan

mitra seksual yang diketahui HIV/AIDS, dengan mitra seksual dari daerah dengan

prevalensi HIV/AIDS tinggi atau kontak sek anal.

2. Mempunyai riwayat infeksi menular seksual.

3. Mempunyai riwayat menerima transfusi darah berulang tanpa tes penapisan.

4. Mempunyai riwayat perlukaan kulit, tato, tindik atau sirkumsisi dengan alat

yang tidak steril dan bergantian.

5. Sebagai pemakai narkotik suntik terutama pemakaian jarum bersama secara

bergantian tanpa sterilisasi yang memadai.

Page 12: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

STEP 4

1. Diagnosis

ANAMNESIS

Tanyakan pada pasien apakah ia mengalami tanda dan gejala dibawah ini:

a. Demam tinggi selama 5 – 7 hari 

b. Mual, muntah, tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi. 

d. Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit, ptechie, echymosis, hematoma. 

e. Epistaksis, hematemisis, melena, hematuri. 

f. Nyeri otot, tulang sendi, abdoment, dan ulu hati. 

g. Sakit kepala. 

h. Pembengkakan sekitar mata. 

i. Pembesaran hati, limpa, dan kelenjar getah bening. 

j. Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah

k.menurun, gelisah, capillary refill lebih dari dua detik, nadi cepat dan lemah)

Ada berbagai tempat untuk pergi untuk tes darah HIV, seperti:

- klinik kesehatan seksual, juga disebut obat genitourinari (GUM) klinik

- klinik dijalankan oleh Terrence Higgins Trust

- beberapa GP operasi

- beberapa orang kontrasepsi dan muda klinik

- lokal obat lembaga

- di klinik antenatal , jika Anda sedang hamil

- sebuah klinik swasta, di mana Anda akan harus membayar.

TANDA DAN GEJALA INFEKSI HIV DAN AIDS.

Fase penyakit

Manifestasi klinis

Penyakit HIV akut

Page 13: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Demam, sakit kepala, sakit tenggorokan dengan faringitis, limfadenopati

generalisata, eritema

Masa laten klinis

Berkurangnya jumlah sel T CD4+

AIDS

Infeksi oportunistik

Protozoa (Pneumocystis carinii, Cryptosporidium)

Bakteri (Toxoplasma, Mycobacterium avium, Nocardia, Salmonella)

Jamur (Candida, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, Histoplasma

capsulatum)

Virus (cytomegalovirus, herpes simplex, varicella-zoster)

Tumor

Limfoma (termasuk limfoma sel B yang berhubungan dengan EBV)

Sarkoma Kaposi

Karsinoma servikal

Ensefalopati

Wasting syndrome.

MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai

penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada

umur muda karena sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi

vertikal dari ibu ke anak. Lima puluh persen kasus AIDS anak berumur <>

Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme yang

ada di lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun berupa manifestasi

nonspesifik berupa gagal tumbuh, berat badan menurun, anemia, panas berulang,

limfadenopati, dan hepatosplenomegali. Gejala yang menjurus kemungkinan

adanya infeksi HIV adalah adanya infeksi oportunistik, yaitu infeksi dengan

kuman, parasit, jamur, atau protozoa yang lazimnya tidak memberikan penyakit

pada anak normal. Karena adanya penurunan fungsi imun, terutama imunitas

Page 14: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

selular, maka anak akan menjadi sakit bila terpajan pada organisme tersebut, yang

biasanya lebih lama, lebih berat serta sering berulang. Penyakit tersebut antara

lain kandidiasis mulut yang dapat menyebar ke esofagus, radang paru karena

Pneumocystis carinii, radang paru karena mikobakterium atipik, atau

toksoplasmosis otak. Bila anak terserang Mycobacterium tuberculosis,

penyakitnya akan berjalan berat dengan kelainan luas pada paru dan otak. Anak

sering juga menderita diare berulang.

Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah pneumonia

interstisialis limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan oleh

HIV pada jaringan paru. Manifestasi klinisnya berupa hipoksia, sesak napas, jari

tabuh, dan limfadenopati. Secara radiologis terlihat adanya infiltrat

retikulonodular difus bilateral, terkadang dengan adenopati di hilus dan

mediastinum.

Manifestasi klinis yang lebih tragis adalah yang dinamakan ensefalopati kronik

yang mengakibatkan hambatan perkembangan atau kemunduran ketrampilan

motorik dan daya intelektual, sehingga terjadi retardasi mental dan motorik.

Ensefalopati dapat merupakan manifestasi primer infeksi HIV. Otak menjadi

atrofi dengan pelebaran ventrikel dan kadangkala terdapat kalsifikasi. Antigen

HIV dapat ditemukan pada jaringan susunan saraf pusat atau cairan serebrospinal.

Stadium Klinis WHO untuk Bayi dan Anak yang Terinfeksi HIV a, b

Stadium klinis 1

Asimtomatik

Limfadenopati generalisata persisten

Stadium klinis 2

Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskana

Erupsi pruritik papular

Infeksi virus wart luas

Angular cheilitis

Page 15: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Moluskum kontagiosum luas

Ulserasi oral berulang

Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan

Eritema ginggival lineal

Herpes zoster

Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis,

tonsillitis )

Infeksi kuku oleh fungus

Stadium klinis 3

Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara adekuat

terhadap terapi standara

Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih ) a

Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5o C intermiten atau

konstan, > 1 bulan) a

Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan)

Oral hairy leukoplakia

Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut

TB kelenjar

TB Paru

Pneumonia bakterial yang berat dan berulang

Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik

Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk bronkiektasis

Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl>

Stadium klinis 4b

Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak

berespons terhadap terapi standara

Pneumonia pneumosistis

Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi

tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia)

Page 16: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau viseralis di

lokasi manapun)

TB ekstrapulmonar

Sarkoma Kaposi

Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru)

Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus)

Ensefalopati HIV

Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain,

dengan onset umur > 1bulan

Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis

Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)

Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea)

Isosporiasis kronik

Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata

Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang simtomatik

Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral

Progressive multifocal leukoencephalopathy

Catatan:

a. Tidak dapat dijelaskan ebrarti kondisi tersebut tidak dapat dibuktikan oleh

sebab yang lain

b. Beberapa kondisi khas regional seperti Penisiliosis dapat disertakan pada

kategori ini

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan assay antibodi dapat mendeteksi antibodi terhadap HIV.

Tetapi karena antibodi anti HIV maternal ditransfer secara pasif selama kehamilan

dan dapat dideteksi hingga usia anak 18 bulan, maka adanya hasil antibodi yang

positif pada anak kurang dari 18 bulan tidak serta merta menjadikan seorang anak

pasti terinfeksi HIV. Karenanya diperlukan uji laboratorik yang mampu

mendeteksi virus atau komponennya seperti:

- assay untuk mendeteksi DNA HIV dari plasma

Page 17: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

- assay untuk mendeteksi RNA HIV dari plasma

- assay untuk mendeteksi antigen p24 Immune Complex Dissociated (ICD)

Teknologi uji virologi masih dianggap mahal dan kompleks untuk negara

berkembang. Real time PCR(RT-PCR) mampu mendeteksi RNA dan DNA HIV,

dan saat ini sudah dipasarkan dengan harga yang jauh lebih murah dari

sebelumnya. Assay ICD p24 yang sudah dikembangkan hingga generasi keempat

masih dapat dipergunakan secara terbatas. Evaluasi dan pemantauan kualitas uji

laboratorium harus terus dilakukan untuk kepastian program. Selain sampel darah

lengkap (whole blood) yang sulit diambil pada bayi kecil, saat ini juga telah

dikembangkan di negara tertentu penggunaan dried blood spots (DBS) pada kertas

saring tertentu untuk uji DNA maupun RNA HIV. Tetapi uji ini belum

dipergunakan secara luas, masih terbatas pada penelitian.

Meskipun uji deteksi antibodi tidak dapat digunakan untuk menegakkan

diagnosis definitif HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan, antibodi

HIV dapat digunakan untuk mengeksklusi infeksi HIV, paling dini pada usia 9

sampai 12 bulan pada bayi yang tidak mendapat ASI atau yang sudah dihentikan

pemberian ASI sekurang-kurangnya 6 minggu sebelum dilakukannya uji antibodi.

Dasarnya adalah antibodi maternal akan sudah menghilang dari tubuh anak pada

usia 12 bulan.

Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan uji antibodi termasuk uji

cepat (rapid test) dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV sama seperti

orang dewasa.

Pemeriksaan laboratorium lain bersifat melengkapi informasi dan

membantu dalam penentuan stadium serta pemilihan obat ARV. Pada

pemeriksaan darah tepi dapat dijumpai anemia, leukositopenia, limfopenia, dan

trombositopenia. Hal ini dapat disebabkan oleh efek langsung HIV pada sel asal,

adanya pembentukan autoantibodi terhadap sel asal, atau akibat infeksi

oportunistik.

Jumlah limfosit CD4 menurun dan CD8 meningkat sehingga rasio CD4/CD8

menurun. Fungsi sel T menurun, dapat dilihat dari menurunnya respons

proliferatif sel T terhadap antigen atau mitogen. Secara in vivo, menurunnya

Page 18: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

fungsi sel T ini dapat pula dilihat dari adanya anergi kulit terhadap antigen yang

menimbulkan hipersensitivitas tipe lambat. Kadar imunoglobulin meningkat

secara poliklonal. Tetapi meskipun terdapat hipergamaglobulinemia, respons

antibodi spesifik terhadap antigen baru, seperti respons terhadap vaksinasi difteri,

tetanus, atau hepatitis B menurun.

- Langkah langkah berikut untuk diagnosa infeksi HIV-AIDS

1. Lakukan tanya jawab segala perihal gejala infeksi oportunistik juga

gejala Kanker yang terkait dengan AIDS serta tanyakan pula mengenai

Perilaku Resiko.

2. Telusuri Perilaku beresiko yang memungkinkan untuk terjadinya

Penularan.

3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda-tanda infeksi oportunistik dan

kanker yang terkait, serta perhatikan perubahan kelenjar yang terjadi,

pemeiksaan mulu, kulit dan funduskopi untuk melihat perubahan yang

terjadi.

4. Pemeriksaan penunjang Laboratorium, limfosit Total, antibody HIV ,

Pemeriksaan Rontgen.

5. Bila hasil antibody POSITIF maka langkah selanjutnya adalah

pemeriksaan KONFIRMASI dengan metode Westren Blot.

6. Bila hasil Westren Blot memberikan hasil POSITIF maka selanjut

periksalah :

- Kadar CD4

- PPD

- ToksoplasmA

- Serologi CMV

- Serologi STD

- Hepatitis.

- Pap smear.

Page 19: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

7. Pemeriksaan Virus Load.

2. DIAGNOSIS BANDING HIV AIDS DI KASUS

Kandidiasis oral :

Kandidiasis oral merupakan salah satu penyakit jaringan lunak mulut yang

mulai banyak ditemukan, terutama sekali disebabkan karena kemajuan ilmu

pengetahuan yang menghasilkan berbagai obat baru seperti antibiotik spektrum

luas dan karena gangguan sistem kekebalan seperti penderita HIV/AIDS atau

penderita kanker yang menjalani kemoterapi.

Kandidiasis oral merupakan infeksi superfisial pada mulut yang

disebabkan oleh jamur dari genus Kandida.1-3,6 Sejauh ini, Kandida albikan

merupakan yang paling patogen dari semua spesies Kandida dan menjadi etiologi

utama kandidiasis oral.1,6,7 Fakta bahwa kandidiasis oral merupakan infeksi

jamur yang paling banyak ditemukan tidaklah mengherankan mengingat hampir

50% dari rongga mulut manusia yang sehat membawa jamur ini sebagai

komponen normal mikroflora mulut.

Sebenarnya Kandida pada rongga mulut individu yang sehat merupakan

organisme komensal yang hidup bersama dengan mikrobial flora mulut dalam

keadaan seimbang. Tetapi, jika terjadi gangguan pada keseimbangan antara

Kandida dengan anggota mikrobial mulut lainnya, maka organisme ini dapat

berproliferasi, berkolonisasi, menginvasi jaringan dan menghasilkan infeksi

oportunistik yang dikenal sebagai kandidiasis oral.

Limfadenopati Generalisata

Limfadenopati berarti penyakit pada kelenjar atau aliran getah bening

(sistem limfatik). Biasanya, penyakit tersebut terlihat sebagai kelenjar getah

bening menjadi bengkak, sering tanpa rasa sakit. Pembengkakan kelenjar itu

disebabkan oleh reaksi sistem kekebalan tubuhterhadap berbagai infeksi, termasuk

HIV dan TB.

Ada ratusan kelenjar getah bening di tubuh kita, dengan ukuran antara

sebesar kepala peniti hingga biji kacang. Organ ini sangat penting untuk fungsi

Page 20: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

sistem kekebalan tubuh, dengan tugas menyerang infeksi dan menyaring cairan

getah bening. Sebagian besar kelenjar getah bening ada di daerah tertentu,

misalnya mulut, leher, lengan bawah, ketiak, dan kunci paha.

Segera setelah seseorang terinfeksi HIV, kebanyakan virus keluar dari darah.

Sebagian melarikan diri ke sistem limfatik (getah bening) untuk menyembunyikan

diri dalam sel di kelenjar getah bening. Beberapa ilmuwan menganggap bahwa

hanya 2% HIV ada dalam darah. Sisanya ada di sistem limfatik, termasuk limpa, di

lapisan usus dan di otak.

Infeksi HIV sendiri dapat menyebabkan limfadenopati atau pembengkakan

kelenjar getah bening. Limfadenopati adalah salah satu gejala umum infeksi primer

HIV. Infeksi primer atauakut adalah penyakit yang dialami oleh sebagian orang

beberapa minggu setelah tertular HIV – lihat Lembaran Informasi (LI) 103. Gejala

lain termasuk demam dan sakit kepala, dan sering kali penyakit ini dianggap flu.

Walaupun limfadenopati sering disebabkan HIV sendiri, penyakit ini dapat gejala

infeksi lain, termasuk TB di luar paru, sifilis, histoplasmosis, virus

sitomegalia, sarkoma Kaposi, limfomadan kelainan kulit.

Apa Limfadenopati Generalisata yang Persisten Itu?

Limfadenopati generalisata yang persisten (persistent generalized

lymphadenopathy/PGL) adalah limfadenopati pada beberapa kelenjar getah

bening yang bertahan lama. PGL adalah gejala khusus infeksi HIV yang timbul

pada lebih dari 50% Odha dan sering disebabkan oleh infeksi HIV sendiri.

Batasan limfadenopati pada infeksi HIV adalah sbb.:

Melibatkan sedikitnya dua kelompok kelenjar getah bening;

Sedikitnya dua kelenjar yang simetris berdiameter lebih dari 1cm dalam setiap

kelompok;

Berlangsung lebih dari satu bulan; dan

Tidak ada infeksi lain yang menyebabkannya.

Pembengkakan kelenjar getah bening ini bersifat tidak sakit, simetris (kiri-kanan

sama), dan kebanyakan terdapat di leher bagian belakang dan depan, di bawah

rahang bawah, di ketiak serta di tempat lain, tidak termasuk kunci paha. Biasanya

kulit pada kelenjar yang bengkak karena PGL akibat HIV tidak berwarna merah.

Page 21: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Kelenjar yang bengkak kadang kala sulit dilihat, dan lebih mudah ditemukan

melalui menyentuhnya. Biasanya kelenjar ini berukuran antara ukur kacang

polong dan buah anggur, dan bila diraba, merasa seperti buah anggur.

PGL berkembang secara pelan dan mungkin dapat menghilang pada saat jumlah

CD4 menurun menjelang 200.

Kurang lebih 30% orang dengan PGL juga mengalami splenomegali (pembesaran

limpa).

Diare Kronis

Diare terkait HIV berasal dari pilihan untuk HIV berada pada saluran

pencernaan – perut dan usus. Bahkan, seluruh sel sistem kekebalan tubuh hidup di

dinding usus, bukan dalam aliran darah sebagaimana yang dikira orang selama ini.

Dengan ketertarikkan virus terhadap sel ini, jaringan usus menjadi sasaran utama

terhadap infeksi. Penelitian menentukan bahwa usus terinfeksi HIV secara luas

segera setelah infeksi awal dan terus menjadi pusat infeksi yang cukup besar

walau dengan viral load ‘tidak terdeteksi’ dalam darah. Sebagaimana yang

dijelaskan oleh Dr. Peter Anton – direktur Center for HIV Prevention Research,

UCLA AIDS Institute, “apabila virus mempunyai pilihan antara sel CD4 dalam

darah dan sel CD4 di usus, ia akan memilih usus, tempat tipe sel kekebalan aktif

yang lebih disukainya.”

Infeksi yang terus berlangsung ini kemudian dapat memicu masalah lain

secara bersamaan. Pada orang lain yang sehat, orang HIV-negatif, diare sering

disebabkan oleh penyebab tunggal. Tidak demikian dengan HIV, yaitu berbagai

faktor yang luas dan sering berlangsung secara bersamaan. Hal ini membuat

diagnosis secara hati-hati dan menyeluruh adalah penting. (Kemampunan untuk

berbicara langsung dengan dokter kita mengenai tinja kita – jumlah, konsistensi

bahkan baunya – merupakan aset yang sangat bernilai di sini.) Antara lima dan

tujuh penyebab yang mungkin pada Odha, Dr. Anton mencatat, menjadikannya

penting untuk dokter dan pasien untuk memahami bahwa berbagai intervensi

mungkin diperlukan sebelum melihat hasil yang dramatis. Dia mengatakan,

“apabila ada lima penyebabnya dan kita mengobati salah satunya dengan

Page 22: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

keberhasilan 100%, kita mungkin masih belum melihat penurunan masalah secara

langsung, walaupun sesungguhnya kita sudah berhasil melaju selangkah menuju

pengobatannya.”

Infeksi usus

Langkah pertama pada umumnya adalah skrining terhadap infeksi awal

yang disebabkan oleh bakteri, parasit atau virus – khususnya pada diare berat

yang terjadi secara tiba-tiba atau disertai gejala seperti nyeri perut dan darah pada

tinja. Giardia, amoebiasis, kriptosporidium, salmonela, sigela, bakteri kampilo,

atau organisme lain dapat diperoleh dari makanan, minuman yang tercemar atau

dari orang lain yang terinfeksi (termasuk melalui hubungan seks oral-dubur atau

‘rimming’). Bakteri tersebut dapat lebih ganas pada orang yang sistem

kekebalannya lemah. Penyakit berat akibat beberapa organisme (contohnya

kriptosporidium) sebenarnya adalah kondisi terdefinisi AIDS, dan penyakit yang

mengancam jiwa adalah jauh lebih sedikit pada orang dengan jumlah CD4 lebih

tinggi. Tetapi, mereka yang mempunyai riwayat penyakit sebelumnya atau yang

jumlah CD4-nya pernah rendah mungkin lebih berisiko. Tes diagnostik, biakan

yang diambil dari contoh tinja, akan menentukan pengobatan antiinfeksi secara

tepat.

Efek samping obat

Setelah mengetahui atau menangani infeksi awal sebagai penyebab,

pengobatan biasanya adalah langkah berikut. Diare mungkin adalah efek samping

terhadap serangkaian jenis antiretroviral (ARV). Dengan adanya terapi ARV

(ART), apabila berhasil menekan viral load, adalah pertahanan yang utama

terhadap dampak penyakit HIV, ART juga mungkin memberi tantangan. Dokter

dan pasien mungkin enggan untuk mengganggu kombinasi obat yang sudah

berhasil. Walau demikian, perubahan pengobatan sering dimungkinkan. Dr. Anita

Rachlis, dari Division of Infectious Diseases, Rumah Sakit Sunnybrook dan

Universitas Toronto, Kanada mengatakan bahwa “pertanyaannya adalah, seberapa

jauh obat tersebut mengganggu kehidupan kita? Apabila masalahnya dapat

ditahan, kita mungkin ingin bertahan dengan pengobatan saat ini dan

Page 23: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

menatalaksanakan gejalanya atau menerimanya, apabila mungkin.” Dan apabila

tidak? “Maka kita harus mencari apakah mungkin untuk beralih ke pengobatan

lain. Sebagai contoh, apabila kita [masih] memakai kapsul lopinavir, kita dapat

mencoba menggantinya dengan yang tablet.” Walaupun ARV tertentu, misalnya

lopinavir dan nelfinavir adalah yang selalu dicurigai, reaksinya mungkin cukup

individu. “Saya mempunyai pasien yang diare akibat efavirenz yang tidak akan

pernah kita duga,” Dr. Rachlis mencatat, “sehingga kita mencari alasan lain, dan

apabila pengobatannya bermasalah, maka ganti apabila kita mampu. Apabila kita

memiliki pilihan lain yang tepat secara medis, yaitu yang kita tidak resistan

terhadap obat tersebut atau tidak akan menimbulkan masalah misalnya interaksi

obat, kita dapat mencobanya. Apabila pilihan kita terbatas, kita mungkin harus

bertahan dengan yang sedang dipakai dan mencoba menatalaksanakan gejalanya.”

Pencernaan dan saluran perut-usus

Proses pencernaan mengambil makanan yang kita makan, menguraikan

sesuai dengan unsurnya, dan menyaring gizi yang dibutuhkan tubuh kita.

Sistem pencernaan ini terjadi dalam saluran perut-usus (gastrointestinal/GI)

yang termasuk perut, usus kecil dan besar. Pencernaan sesungguhnya

dimulai saat makanan dikunyah dan ditelan, makanan dihaluskan lebih

lanjut dalam lambung oleh tambahan enzim pencernaan.

Hasilnya – adonan gizi yang kental – kemudian disalurkan ke usus.

Sebagian besar gizi yang diperlukan tubuh diserap dalam usus halus,

sisanya diteruskan ke usus besar, dan dikeluarkan dari tubuh. Proses

pencernaan yang normal membuang hampir 11 liter cairan ke dalam usus

besar setiap hari. Usus besar yang sehat akan menyerap kembali sebagian

besar air ini, mencegah dehidrasi dan menghasilkan bentuk tinja yang baik

sebagaimana yang diharapkan. Luka atau radang usus akan membuang air

begitu saja, mengakibatkan diare.

Waspadai apa yang kita makan

Page 24: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Lemak dalam makanan secara khusus sering menimbulkan masalah.

“Kami melihat masalah pencernaan lemak pada sejumlah besar Odha,” dikatakan

oleh Peter Anton. Hal ini mungkin karena enzim pankreas yang tidak cukup untuk

mencerna lemak. Lebih sering, alasan yang tepat belum dipahami secara jelas,

tetapi hasil akhirnya adalah sama: lemak tidak terserap secara baik dalam saluran

pencernaan. “Untuk setiap seratus gram lemak yang kita makan, hanya kurang

lebih nol hingga tujuh gram yang akhirnya dikeluarkan,” dikatakan oleh Anton.

Namun, pada Odha, mungkin mencapai 15 hingga 40 gram, menyebabkan BAB

yang berminyak, sering, meledak dan bau. “Apabila lemak tidak terserap di

saluran pencernaan bagian atas, lemak turun ke usus besar yang bukanlah

tempatnya,” Anton menjelaskan. “Bakteri senang berada di sana: mereka

memakannya.” Gas busuk dan produk buangan lain yang dihasilkan lebih

merusak usus, dampak selanjutnya yang mengakibatkan lebih banyak diare.

Tetapi, karena lemak adalah bagian penting dari makanan, Anton

menyarankan apa yang juga disarankan oleh banyak ahli gizi: makanan sedikit,

lebih sering. Makan lima atau enam kali sehari porsi sedikit, plus makanan kecil

seperti kacang-kacangan, “seolah-olah menyusupkan lemak ke dalam sistem”

tanpa memperbesar kemampuan sistem pencernaan untuk memrosesnya. Enzim

pankreas dapat diperoleh dalam bentuk suplemen.

3. Pathogenesis :

Infeksi HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune

Deficiency Syndrome) pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun 1981 pada

orang dewasa homoseksual, sedangkan pada anak tahun 1983. Enam tahun

kemudian (1989), AIDS sudah merupakan penyakit yang mengancam kesehatan

anak di Amerika. Di seluruh dunia, AIDS menyebabkan kematian pada lebih dari

8,000 orang setiap hari saat ini, yang berarti 1 orang setiap 10 detik. Karena itu

infeksi HIV dianggap sebagai penyebab kematian tertinggi akibat satu jenis agen

infeksius.

AIDS pada anak pertama kali dilaporkan oleh Oleske, Rubinstein dan

Amman pada tahun 1983 di Amerika Serikat. Sejak itu laporan jumlah AIDS pada

Page 25: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

anak di Amerika makin lama makin meningkat. Pada bulan Desember 1989 di

Amerika telah dilaporkan 1995 anak yang berumur kurang dari 13 tahun yang

menderita AIDS dan pada bulan Maret 1993 terdapat 4.480 kasus. Jumlah ini

merupakan l,5 % dari seluruh jumlah kasus AIDS yang dilaporkan di Amerika. Di

Eropa sampai tahun 1988 terdapat 356 anak dengan AIDS. Kasus infeksi HIV

terbanyak pada orang dewasa maupun anak-anak tertinggi di dunia adalah di

Afrika terutama negara-negara Afrika Sub-Sahara.

Sejak dimulainya epidemi HIV, AIDS telah mematikan lebih dari 25 juta

orang; lebih dari 14 juta anak kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya

akibat AIDS. Setiap tahun diperkirakan 3 juta orang meninggal karena AIDS;

500,000 diantaranya adalah anak di bawah umur 15 tahun. Setiap tahun pula

terjadi infeksi baru pada 5 juta orang terutama di negara terbelakang dan

berkembang; 700,000 diantaranya terjadi pada anak-anak. Dengan angka

transmisi sebesar ini maka dari 37.8 juta orang pengidap infeksi HIV/AIDS pada

tahun 2005, terdapat 2.1 juta anak-anak di bawah 15 tahun.

Infeksi HIV

Infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi virus HIV

(Human Immunodeficiency Virus). AIDS adalah penyakit yang menunjukkan

adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi HIV.

Cara paling efisien dan efektif untuk menanggulangi infeksi HIV pada anak

secara universal adalah dengan mengurangi penularan dari ibu ke anaknya

(mother-to-child transmission (MTCT). Namun demikian setiap hari terjadi 1800

infeksi baru pada anak umur kurang dari 15 tahun, 90% nya di negara

berkembang atau terbelakang dan melalui penularan dari ibu ke anaknya. Upaya

pencegahan transmisi HIV pada anak menurut WHO dilakukan melalui 4 strategi,

yaitu mencegah penularan HIV pada wanita usia subur, mencegah kehamilan

yang tidak direncanakan pada wanita HIV, mencegah penularan HIV dari ibu HIV

hamil ke anak yang akan dilahirkannya dan memberikan dukungan, layanan dan

perawatan berkesinambungan bagi pengidap HIV. Pemberian obat Anti Retroviral

Page 26: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

(ARV) untuk anak dan bayi yang terinfeksi karenanya menjadi satu jalan untuk

menanggulangi pandemi HIV pada anak di samping upaya untuk mencegah

penularan infeksi HIV pada anak dan bayi.

Penyebab penyakit AIDS adalah HIV yaitu virus yang tergolong ke dalam

keluarga retrovirus subkelompok lentivirus, seperti virus Visna pada biri-biri,

sapi, dan feline serta Simian Immunodeficiency Virus (SIV). Lentivirus mampu

menyebabkan efek sitopatik yang singkat dan infeksi laten dalam jangka panjang,

juga menyebabkan penyakit progresif dan fatal termasuk wasting syndrom dan

degenerasi susunan saraf pusat.

Perjalanan penyakit HIV

Perkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV

untuk menghancurkan sistem imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun

untuk menghancurkan HIV.

Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi

sempurna oleh respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan

limfoid perifer yang kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti

dengan memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel T CD4+ dalam darah.

Infeksi primer HIV pada fetus dan neonatus terjadi pada situasi sistim imun

imatur, sehingga penjelasan berikut merupakan ilustrasi patogenesis yang khas

dapat diikuti pada orang dewasa.

Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan

tubuh lainnya dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang

diperantarai oleh reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya

virus, sel T CD4+ dan monosit di darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di

jaringan mukosa merupakan sel yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat

masuknya virus akan menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah

bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan

envelope HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke

jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel T

CD4+ melalui kontak langsung antar sel.

Page 27: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam

jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini

menyebabkan viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda

nonspesifik seperti infeksi virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan

menginfeksi sel T subset CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan

limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik

humoral maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol

sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya

viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama.

Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening

dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem

imun masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul

manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis

(clinical latency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel

T perifer tidak mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+

dalam jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang

bersirkulasi semakin berkurang. Lebih dari 90% sel T yang berjumlah 1012

terdapat dalam jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x 109

sel T CD4+ per hari. Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T CD4+

yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun, siklus infeksi

virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya

menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.

Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons

imun terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi

jaringan limfoid. Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang

mengaktivasi sel T, seperti antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang

diproduksi sistem imun alamiah sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat

efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha

menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh

HIV.

Page 28: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS

dimana terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+

dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien

AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting

syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat

(ensefalopati HIV).

MASA INKUBASI DAN PENULARAN

Masa inkubasi pada orang dewasa berkisar 3 bulan sampai terbentuknya

antibodi anti HIV. Manifestasi klinis infeksi HIV dapat singkat maupun bertahun-

tahun kemudian. Khusus pada bayi di bawah umur 1 tahun, diketahui bahwa

viremia sudah dapat dideteksi pada bulan-bulan awal kehidupan dan tetap

terdeteksi hingga usia 1 tahun. Manifestasi klinis infeksi oportunistik sudah dapat

dilihat ketika usia 2 bulan.

Cara penularan HIV yang paling penting pada anak adalah dari ibu

kandungnya yang sudah mengidap HIV baik saat sebelum dan sesudah

kehamilan. Penularan lain yang juga penting adalah dari transfusi produk darah

yang tercemar HIV, kontak seksual dini pada perlakuan salah seksual atau

perkosaan anak oleh penderita HIV, prostitusi anak, dan sebab-sebab lain yang

buktinya sangat sedikit.

Meskipun HIV dapat ditemukan pada cairan tubuh pengidap HIV seperti

air ludah (saliva) dan air mata serta urin, namun ciuman, berenang di kolam

renang atau kontak sosial seperti pelukan dan berjabatan tangan, serta dengan

barang yang dipergunakan sehari-hari bukanlah merupakan cara untuk penularan.

Oleh karena itu, seorang anak yang terinfeksi HIV tetapi belum memberikan

gejala AIDS tidak perlu dikucilkan dari sekolah atau pergaulan.

Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke bayi

yang dikandungnya. Cara transmisi ini dinamakan juga transmisi secara vertikal.

Transmisi dapat terjadi melalui plasenta (intrauterin) intrapartum, yaitu pada

waktu bayi terpapar dengan darah ibu atau sekret genitalia yang mengandung

Page 29: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

HIVselama proses kelahiran, dan post partum melalui ASI. Transmisi dapat

terjadi pada 20-50% kasus.

Faktor prediktor penularan adalah stadium infeksi ibu, kadar Limfosit T

CD4 dan jumlah virus pada tubuh ibu, penyakit koinfeksi hepatitis B, CMV atau

penyakit menular seksual lain pada ibu, serta apakah ibu pengguna narkoba suntik

sebelumnya dan tidak minum obat ARV selama hamil. Proses intrapartum yang

sulit juga akan meningkatkan transmisi, yaitu lamanya ketuban pecah, persalinan

per vaginam dan dilakukannya prosedur invasif pada bayi. Selain itu prematuritas

akan meningkatkan angka transmisi HIV pada bayi.

HIV dapat diisolasi dari ASI pada ibu yang mengandung HIV di dalam

tubuhnya baik dari cairan ASI maupun sel-sel yang berada dalam cairan ASI

(limfosit, epitel duktus laktiferus). Risiko untuk tertular HIV melalui ASI adalah

11-29%. Bayi yang lahir dari ibu HIV (+) dan mendapat ASI tidak semuanya

tertular HIV, dan hingga kini belum didapatkan jawaban pasti; tetapi diduga IgA

yang terlarut berperan dalam proses pengurangan antigen. WHO menganjurkan

untuk negara dengan angka kematian bayi tinggi dan akses terhadap pengganti air

susu ibu rendah, pemberian ASI eksklusif sebagai pilihan cara nutrisi bagi bayi

yang lahir dari ibu HIV (+). Transmisi melalui perawatan ibu ke bayinya belum

pernah dilaporkan.

Penularan dapat terjadi melalui transfusi darah yang mengandung HIV

atau produk darah yang berasal dari donor yang mengandung HIV. Dengan sudah

dilakukannya skrining darah donor untuk HIV, maka transmisi melalui cara ini

menjadi jauh berkurang.

Penularan melalui cara ini terutama ditemukan pada penyalahguna obat

intravena yang menggunakan jarum suntik bersama. Sekali tertulari, maka

seorang pengguna akan dapat menulari pasangannya melalui hubungan seksual.

Untuk mengantisipasi tersebarnya aneka penyakit melalui cara ini, di banyak

negara maju sudah dilakukan program harm reduction bagi pengguna narkoba

dengan membagikan jarum suntik steril pada pemakai.

Page 30: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Penularan cara ini ditemukan pada anak remaja yang berganti-ganti

pasangan seksual, atau korban perkosaan, atau prostitusi anak. Penderita AIDS

yang berumur 20-an mendapat infeksi HIV pada masa remaja.

4. Penatalaksanaan

PILIHAN OBAT ARV

Dengan semakin meningkatnya pengidap HIV dan kasus AIDS yang memerlukan

terapi antiretroviral (ARV), maka strategi penanggulangan HIV dan AIDS

dilaksanakan dengan memadukan upaya pencegahan dengan upaya perawatan,

dukungan serta pengobatan.

Anti retroviral untuk anak harus memenuhi syarat farmakokinetik, formulasi yang

tepat untuk anak, dan pembuatan dosis yang tepat menurut umur. Selain itu juga

faktor yang berpengaruh dalam pemberian ARV adalah potensi obat, kompleksitas

pemberian (frekuensi dosis, hubungannya dengan makanan dan minuman) dan efek

samping.

Terdapat 5 kelas obat ARV hingga saat ini, yaitu yang tergolong nucleoside reverse

transcriptase inhibitor (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor

(NNRTI), protease inhibitor (PI), anti integrase, dan fusion entry inhibitor. Umumnya

rekomendasi pemakaian ARV untuk anak didasarkan pada studi efikasi pada orang

dewasa dan didukung oleh penelitian keamanan dan farmakokinetik. Penggunaan

ARV pada anak paling tidak 3 obat dan minimal 2 kelas obat yang berbeda. Panduan

obat yang banyak dianut adalah panduan WHO.

Program terapi ARV di Indonesia mulai berjalan sejak tahun 2004. Untuk

melaksanakan program ini pemerintah menyiapkan pedoman nasional, melatih tenaga

kesehatan, serta menyiapkan obat ARV. WHO merekomendasikan penggunaan obat

ARV lini pertama berupa kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama

yang termasuk NRTI adalah Zidovudin/AZT, lamivudin/3TC, stavudin/d4T,

sedangkan NNRTI adalah nevirapin dan efavirenz. Kombinasi obat ARV lini pertama

yang dapat digunakan dapat berupa AZT, 3TC, Nevirapin atau AZT, 3TC, efavirenz

atau d4T, 3TC, nevirapin atau d4T, 3TC.

Page 31: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

5. Factor resiko

Perilaku berisiko:

- dalam pemakaian narkotika suntik

- dalam perilaku seksual

- dalam perilaku lain

Perilaku pencegahan:

- dalam pemakaian narkotika suntik

- dalam perilaku seksual

- dalam perilaku lain

Hambatan berperilaku pencegahan:

- dalam pemakaian narkotika suntik

- dalam perilaku seksual

Kontribusi program:

- dalam pemakaian narkotika suntik (methadon, bleaching)

- dalam perilaku seksual (kondom)

Faktor resiko epidemiologis infeksi HIV adalah sebagai berikut :

1. Mempunyai perilaku seksual beresiko tinggi (sekarang atau di masa lalu) yaitu

melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan banyak mitra seksual, dengan

mitra seksual yang diketahui HIV/AIDS, dengan mitra seksual dari daerah dengan

prevalensi HIV/AIDS tinggi atau kontak sek anal.

2. Mempunyai riwayat infeksi menular seksual.

3. Mempunyai riwayat menerima transfusi darah berulang tanpa tes penapisan.

4. Mempunyai riwayat perlukaan kulit, tato, tindik atau sirkumsisi dengan alat

yang tidak steril dan bergantian.

5. Sebagai pemakai narkotik suntik terutama pemakaian jarum bersama secara

bergantian tanpa sterilisasi yang memadai.

Page 32: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

STEP 5

LEARNING OBJECTIVE

1. Diagnosis banding HIV AIDS

2. Proteksi penularan HIV AIDS pada janin

3. Patofisiologi HIV AIDS

4. Penatalaksanaan

Page 33: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

STEP 6

Price, Sylvia. 2006. Patofisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC

Guyton, A. C., 1983, Fisiologi Kedokteran 2, Jakarta : CV. EGC.

Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi. Jakarta : EGC

W. Sudayo, Aru. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta : Interna

Publishing.

Spiritia.or.id

Page 34: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

STEP 7

1.Diagnosis banding AIDS

Limfadenopati

Limfadenopati berarti penyakit pada kelenjar atau aliran getah bening (sistem limfatik).

Biasanya, penyakit tersebut terlihat sebagai kelenjar getah bening menjadi bengkak,

sering tanpa rasa sakit. Pembengkakan kelenjar itu disebabkan oleh reaksi sistem

kekebalan tubuh terhadap berbagai infeksi, termasuk HIV dan TB.

Ada ratusan kelenjar getah bening di tubuh kita, dengan ukuran antara sebesar kepala

peniti hingga biji kacang. Organ ini sangat penting untuk fungsi sistem kekebalan tubuh,

dengan tugas menyerang infeksi dan menyaring cairan getah bening. Sebagian besar

kelenjar getah bening ada di daerah tertentu, misalnya mulut, leher, lengan bawah, ketiak,

dan kunci paha.

Segera setelah seseorang terinfeksi HIV, kebanyakan virus keluar dari darah. Sebagian

melarikan diri ke sistem limfatik (getah bening) untuk menyembunyikan diri dalam sel di

kelenjar getah bening. Beberapa ilmuwan menganggap bahwa hanya 2% HIV ada dalam

darah. Sisanya ada di sistem limfatik, termasuk limpa, di lapisan usus dan di otak.

Infeksi HIV sendiri dapat menyebabkan limfadenopati atau pembengkakan kelenjar getah

bening. Limfadenopati adalah salah satu gejala umum infeksi primer HIV. Infeksi primer

atau akut adalah penyakit yang dialami oleh sebagian orang beberapa minggu setelah

tertular HIV Gejala lain termasuk demam dan sakit kepala, dan sering kali penyakit ini

dianggap flu.

Walaupun limfadenopati sering disebabkan HIV sendiri, penyakit ini dapat gejala infeksi

lain, termasuk TB di luar paru, sifilis, histoplasmosis, virus sitomegalia, sarkoma Kaposi,

limfoma dan kelainan kulit.

Apa Limfadenopati Generalisata yang Persisten Itu?

Page 35: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Limfadenopati generalisata yang persisten (persistent generalized

lymphadenopathy/PGL) adalah limfadenopati pada beberapa kelenjar getah bening yang

bertahan lama. PGL adalah gejala khusus infeksi HIV yang timbul pada lebih dari 50%

Odha dan sering disebabkan oleh infeksi HIV sendiri. Batasan limfadenopati pada infeksi

HIV adalah sbb.:

Melibatkan sedikitnya dua kelompok kelenjar getah bening;

Sedikitnya dua kelenjar yang simetris berdiameter lebih dari 1cm dalam setiap

kelompok;

Berlangsung lebih dari satu bulan; dan

Tidak ada infeksi lain yang menyebabkannya.

Pembengkakan kelenjar getah bening ini bersifat tidak sakit, simetris (kiri-kanan sama),

dan kebanyakan terdapat di leher bagian belakang dan depan, di bawah rahang bawah, di

ketiak serta di tempat lain, tidak termasuk kunci paha. Biasanya kulit pada kelenjar yang

bengkak karena PGL akibat HIV tidak berwarna merah. Kelenjar yang bengkak kadang

kala sulit dilihat, dan lebih mudah ditemukan melalui menyentuhnya. Biasanya kelenjar

ini berukuran antara ukur kacang polong dan buah anggur, dan bila diraba, merasa seperti

buah anggur.

PGL berkembang secara pelan dan mungkin dapat menghilang pada saat jumlah CD4

menurun menjelang 200.Kurang lebih 30% orang dengan PGL juga mengalami

splenomegali (pembesaran limpa).

Bagaimana Limfadenopati Diobati?

Asal jumlah, tempat dan ukuran kelenjar yang bengkak tidak berubah, orang dengan PGL

tidak membutuhkan pengobatan lebih lanjut, selain pemantauan setiap periksa ke dokter.

Perubahan pada ciri kelenjar harus secepatnya dilaporkan ke dokter.

Bila kelenjar menjadi semakin besar, berwarna merah, sakit atau tampaknya berisi cairan

bila diraba, dan dokter mencurigai ada infeksi bakteri, dokter mungkin akan memberi

obat antibiotik. Kalau tidak ada perubahan, dokter mungkin akan melakukan aspirasi

Page 36: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

(mengambil contoh kecil dari kelenjar dengan jarum tipis, untuk diperiksa dengan

mikroskop). Aspirasi ini berguna untuk menyingkirkan diagnosis limfoma, limfadenopati

karena sarkoma Kaposi, penyakit jamur, TB atau penyebab yang lain. Bila kelenjar terus

membesar, mungkin dokter akan menyedot cairan isinya dengan jarum kecil (aspirasi)

agar tidak meledak.

Apakah Limfadenopati Tanda AIDS?

Limfadenopati dapat terjadi dari awal infeksi HIV, dan PGL biasanya dialami waktu

belum ada gejala lain, sering pada waktu jumlah CD4 di atas 500. Sebaliknya, hilangnya

PGL dapat menunjukkan kita tidak lama lagi akan masuk tahap AIDS, berarti sebaiknya

kita mempertimbangkan mulai terapi antiretroviral (ART).

Garis Dasar

Limfadenopati sering di antara gejala pertama infeksi HIV, yang dialami waktu infeksi

primer atau akut, beberapa minggu setelah terinfeksi. Penyakit ini ditandai

pembengkakan pada satu atau lebih kelenjar getah bening, biasanya di leher dan ketiak,

tetapi kadang kala di tempat lain. Gejala ini biasanya cepat hilang tanpa diobati. Namun

gejala ini dapat bertahan terus, menjadi PGL.

Limfadenopati generalisata yang persisten (PGL) adalah kelenjar yang bengkak di

sedikitnya dua tempat secara simetris. PGL biasanya dialami waktu tahap infeksi HIV

tanpa gejala, dengan jumlah CD4 di atas 500, dan sering hilang sebagaimana jumlah CD4

menurun menjelang 200.

Selain infeksi HIV sendiri, limfadenopati dapat disebabkan oleh infeksi lain, termasuk

TB di luar paru dan sifilis. Jika ada gejala lain, sebaiknya ada pemeriksaan secara teliti

untuk menyingkirkan alasan lain. Bila tidak ada alasan lain, limfadenopati tidak perlu

diobati.

Limfadenopati tidak berkembang menjadi limfoma (kanker pada sistem limfatik), dan

tidak menunjukkan peningkatan dalam kemungkinan limfoma akan terjadi.

Page 37: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Sindrom diGeorge

adalah kondisi yang disebabkan oleh penghapusan sebagian kromosom 22 sehingga

mengakibatkan terjadinya sejumlah gangguan pada sistem tubuh seperti gagal jantung,

bibir sumbing, fungsi sistem kekebalan tubuh yang buruk, komplikasi yang berkaitan

dengan rendahnya kadar kalsium dalam darah dan gangguan perilaku. Namun

penghapusan sejumlah gen dari kromosom 22 ini biasanya terjadi secara acak dalam

sperma ayah atau sel telur ibu atau bahkan mungkin terjadi saat janin mulai berkembang.

Oleh karena itu, penghapusan ini bisa berulang di hampir seluruh sel tubuh ketika janin

berkembang.

Penyebab

Sindrom DiGeorge disebabkan oleh penghapusan sebagian kromosom 22. Padahal setiap

orang seharusnya memiliki dua salinan kromosom 22 yang diwariskan dari kedua

orangtuanya. Kromosom ini diperkirakan berisi 500-800 gen. Jika seseorang mengidap

sindrom DiGeorge, satu salinan kromosom 22 akan kehilangan sebuah segmen yang

diperkirakan berisi 30-40 gen. Namun banyak dari gen-gen yang hilang ini belum bisa

diidentifikasi secara jelas.

Gejala

Beberapa gejala mungkin takkan terlihat pada saat lahir, tetapi gejala lainnya bisa saja

tidak muncul sampai bayi atau anak-anak usia dini. - Kulit membiru akibat sirkulasi

darah yang kaya oksigen yang buruk (cyanosis) - Mudah lemah dan capek - Gagal

tumbuh/thrive - Gagal menambah berat badan - Kontraksi otot yang buruk - Sesak nafas -

Kejang di sekitar mulut, tangan, lengan atau tenggorokan - Sering terserang infeksi -

Susah makan - Pertumbuhannya tertunda seperti kemampuannya berguling, duduk atau

berdiri - Telat bicara - Susah atau lambat belajar - Bibir sumbing atau ada masalah lain di

langit-langit mulut - Sejumlah fitur wajah yang berbeda dari orang normal seperti telinga

yang lebih rendah dan mata yang lebih lebar

Page 38: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Pengobatan

Tak ada obat khusus untuk sindrom DiGeorge. Pengobatannya hanya ditujukan untuk

mengatasi masalah kritis yang berkaitan dengan sindrom tersebut seperti gagal jantung

atau rendahnya kadar kalsium dalam darah.

Defisiensi imun primer sel T

• Sangat rentan terhadap infeksi virus, jamur dan

protozoa

• Dpt juga menyebabkan gangguan produksi Ig

Aplasia timus kongenital (sindroma di George)

Disebabkan defek dalam perkembangan embrio, baikkelenjar timus maupun

kelenjar paratiroid terkena

Sel T tidak ada / sedikit dalam darah, kelenjar getah bening dan limpa

Kandidiasis mukokutan kronik

Kemampuan sel T yg kurang untuk memproduksi MIF dalam respons terhadap

antigen / kandida

Infeksi jamur bisa non patogenik seperti kandida, albicans pd kulit dan selaput

lendir

Defisiensi kombinasi sel B dan sel T yg berat

Severe combined immunodeficiency disease

Merupakan penyakit akibat gangguan sel T dan sel B

(limfositopenia)

Rentan thd infeksi virus, bakteri, jamur dan protozoaterutama CMV, pneumonitis

karini dan kandida

Sindroma Nezelof

Page 39: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Imunitas sel T nampak jelas menurun

Defisiensi sel B variabel dan disgammaglobulinemia

Respon antibodi terhadap antigen spesifik biasanya rendah atau tidak ada

Rentan terhadap infeksi rekuren berbagai mikroba

Sindroma Wiskott-Aldrich

IgM serum rendah, kadar IgG normal sedang IgA dan IgE meningkat

Jumlah sel B normal, tidak memberikan respon thd antigen polisakarida untuk

memproduksi antibodi

Mengenai usia muda dgn gejala trombositopenia, eksim dan infeksi rekuren

2. Penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi

Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh manusia, dan paling banyak ditemukan pada

darah, cairan sperma dan cairan vagina. Pada cairan tubuh lain bisa juga ditemukan,

misalnya air susu ibu dan juga air liur, tapi jumlahnya sangat sedikit. Sejumlah 75-85%

penularan virus ini terjadi melalui hubungan seks (5-10% diantaranya melalui hubungan

homoseksual), 5-10% akibat alat suntik yang tercemar (terutama para pemakai narkoba

suntik yang dipakai bergantian), 3-5% dapat terjadi melalui transfusi darah yang

tercemar.

Infeksi HIV sebagian besar (lebih dari 80%) diderita oleh kelompok usia produktif (15-50

tahun) terutama laki-laki, tetapi proporsi penderita wanita cenderung meningkat. Infeksi

Page 40: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

pada bayi dan anak-anak 90% terjadi dari ibu yang mengidap HIV. sekitar 25-35% bayi

yang dilahirkan ibu yang terinfeksi HIV, akan tertular virus tersebut melalui infeksi yang

terjadi selama dalam kandungan, proses persalinan dan pemberian ASI.

Dengan pengobatan antiretroviral pada ibu hamil trimester terakhir, resiko penularan

dapat dikurangi menjadi 8%.Ibu HIV-positif dapat mengurangi risiko bayinya tertular

dengan:

1.      Mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV)

Resiko penularan sangat rendah bila terapi ARV (ART) dipakai. Angka penularan hanya

1 persen bila ibu memakai ART. Angka ini kurang-lebih 4 persen bila ibu memakai AZT

selama minggu enam bulan terahkir kehamilannya dan bayinya diberikan AZT selama

enam pertama hidupnya. Namun jika ibu tidak memakai ARV sebelum dia mulai sakit

melahirkan, ada dua cara yang dapat mengurangi separuh penularan ini. AZT dan 3TC

dipakai selama waktu persalinan, dan untuk ibu dan bayi selama satu minggu setelah

lahir. Satu tablet nevirapine pada waktu mulai sakit melahirkan, kemudian satu tablet lagi

diberi pada bayi 2–3 hari setelah lahir. Menggabungkan nevirapine dan AZT selama

persalinan mengurangi penularan menjadi hanya 2 persen. Namun, resistansi terhadap

nevirapine dapat muncul pada hingga 20 persen perempuan yang memakai satu tablet

waktu hamil. Hal ini mengurangi keberhasilan ART yang dipakai kemudian oleh ibu.

Resistansi ini juga dapat disebarkan pada bayi waktu menyusui. Walaupun begitu, terapi

jangka pendek ini lebih terjangkau di negara berkembang.

2.      Menjaga proses kelahiran tetap singkat waktunya

Semakin lama proses kelahiran, semakin besar risiko penularan. Bila si ibu memakai

AZT dan mempunyai viral load di bawah 1000, risiko hampir nol. Ibu dengan viral load

tinggi dapat mengurangi risiko dengan memakai bedah Sesar.

3.      Menghindari menyusui

Kurang-lebih 14 persen bayi terinfeksi HIV melalui ASI yang terinfeksi. Risiko ini dapat

dihindari jika bayinya diberi pengganti ASI (PASI, atau formula).

Page 41: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Namun jika PASI tidak diberi secara benar, risiko lain pada bayinya menjadi semakin

tinggi. Jika formula tidak bisa dilarut dengan air bersih, atau masalah biaya menyebabkan

jumlah formula yang diberikan tidak cukup, lebih baik bayi disusui. Yang terburuk

adalah campuran ASI dan PASI. Mungkin cara paling cocok untuk sebagian besar ibu di

Indonesia adalah menyusui secara eksklusif (tidak campur dengan PASI) selama 3-4

bulan pertama, kemudian diganti dengan formula secara eksklusif (tidak campur dengan

ASI).

Dampak infeksi HIV terhadap ibu antara lain: timbulnya stigma sosial, diskriminasi,

morbiditas dan mortalitas maternal. Sebagian besar infeksi HIV pada bayi disebabkan

penularan dari ibu, hanya sebagian kecil yang terjadi karena proses transfusi.

Kecenderungan Infeksi HIV pada Perempuan dan Anak Meningkat oleh karenanya

diperlukan berbagai upaya untuk mencegah infeksi HIV pada perempuan, serta mencegah

penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yaitu PMTCT (Prevention of Mother to Child HIV

Transmission). Dengan intervensi yang baik maka risiko penularan HIV dari ibu ke bayi

sebesar 25 hingga 45% bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Intervensi tersebut meliputi

4 konsep dasar:

(1) Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif

(2) Menurunkan viral load serendah-rendahnya

(3) Meminimalkan paparan janin/bayi terhadap darah dan cairan tubuh ibu HIV positif

(4) Mengoptimalkan kesehatan dari ibu dengan HIV positif. PREVENTION OF

MOTHER TO CHILD HIV TRANSMISSION

Latar Belakang Pelayanan PMTCT semakin menjadi perhatian dikarenakan epidemi

HIV/AIDS di Indonesia meningkat dengan cepat (jumlah kasus AIDS pada akhir triwulan

II 2008 adalah 12,686 kasus). Infeksi HIV dapat berdampak kepada ibu dan bayi.

Dampak infeksi HIV terhadap ibu antara lain: timbulnya stigma sosial, diskriminasi,

morbiditas dan mortalitas maternal. Besarnya stigma sosial menyebabkan orang hidup

dengan HIV AIDS (Odha) semakin menutup diri tentang keberadaannya, yang pada

akhirnya akan mempersulit proses pencegahan dan pengendalian infeksi. Dampak buruk

dari penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah apabila :

(1) Terdeteksi dini

Page 42: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

(2) Terkendali (Ibu melakukan perilaku hidup sehat, Ibu mendapatkan ARV profilaksis

secara teratur, Ibu melakukan ANC secara teratur, Petugas kesehatan menerapkan

pencegahan infeksi sesuai Kewaspadaan Standar)

(3) Pemilihan rute persalinan yang aman (seksio sesarea)

(4) Pemberian PASI (susu formula) yang memenuhi persyaratan

(5) Pemantauan ketat tumbuh- kembang bayi & balita dari ibu dengan HIV positif

(6) Adanya dukungan yang tulus, dan perhatian yang berkesinambungan kepada ibu, bayi

dan keluarganya. Pelayanan PMTCT dapat dilakukan di berbagai sarana kesehatan

(rumah sakit, puskesmas) dengan proporsi pelayanan yang sesuai dengan keadaan sarana

tersebut.

HIV/AIDS tidak hanya ditularkan secara horizontal akibat hubungan seksual risiko

tinggi, tapi juga dapat ditularkan secara vertikal dari ibu ke janin atau bayinya.

Penularan ibu ke bayi dapat terjadi saat kehamilan, saat kelahiran, atau saat menyusui.

Selama kehamilan, virus HIV dapat melewati plasenta dan masuk ke aliran darah bayi.

Saat persalinan, bayi mungkin terpapar dengan virus yang ada dalam darah maupun

cairan tubuh ibu. Ketika menyusui, virus yang ada dalam air susu ibu akan menginfeksi

bayi yang meminumnya.

Tidak semua bayi yang dilahirkan dari ibu pengidap HIV akan terinfeksi. Tanpa

pengobatan dan jika ibu menyusui bayinya, kemungkinan penularan adalah 25% (1 dari

4). Tetapi jika ibu mendapat pengobatan antiretroviral (ARV) dan bayi mendapat obat

tersebut setelah lahir, maka penularan akan berkurang dari 25% menjadi 2% (2 diantara

100).

Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh ibu pengidap HIV yang sedang hamil:

Melakukan pemeriksaan kehamilan lebih dini dan teratur.

Minum obat ARV, baik tunggal (AZT, Zidovudine) maupun kombinasi (terapi

HAART). Minum obat harus sesuai dosis dan jam yang ditentukan, serta jangan

menghentikan pengobatan tanpa instruksi dokter.

Page 43: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Minum vitamin untuk ibu hamil.

Olahraga dan makan makanan yang bergizi.

Jangan merokok, minum alkohol, dan obat-obat terlarang.

Jangan menyusui bayi yang dilahirkan.

WHO dan PBB merekomendasikan empat kerangka strategi jangka panjang untuk

mencegah transmisi HIV dari ibu ke Janin/bayinya. Adapun ke empat kerangka strategi

tersebut adalah : 8,9,10,11

1. Mencegah infeksi primer HIV

2. Mencegah terjadinya kehamilan pada wanita yang terinfeksi HIV

3. Mencegah transmisi HIV dari wanita yang terinfeksi ke bayinya

4. Memberikan perhatian kepada ibu yang terinfeksi HIV, bayi dan keluarganya.

A. Kerangka 1. Mencegah infeksi primer HIV dengan cara8 :

Melakukan intervensi terhadap perubahan pola hidup.

Memperbaiki penanganan penularan infeksi secara seksual

Memastikan keamanan persediaan darah

Memperhatikan faktor-faktor konstitusional yang memudahkan seorang wanita

terinfeksi HIV (cth: masalah ekonomi, pendidikan, dll)

Pencegahan HIV pada wanita, terutama pada wanita muda dan pasangannya

adalah jalan yang terbaik untuk menjamin bahwa penularan sekunder ke bayi tidak

terjadi. Mayoritas infeksi HIV di seluruh dunia terjadi pada penduduk muda yang berusia

10-24 tahun. Diantara kelompok ini anak perempuan dan wanita muda tercatat paling

banyak mendapat infeksi baru dan mayoritas wanita yang memeriksakan kehamilannya

pada klinik MCH (Maternal and child health) berusia 15-24 tahun.8

Cara lain dalam pencegahan primer infeksi HIV adalah intervensi dengan skala luas

terhadap sexual transmitted infection (STI). Seperti diketahui bahwa STI memiliki

hubungan terhadap faktor resiko terjadinya infeksi HIV.8

Page 44: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Di Thailand prevalensi HIV yang sebelumnya tinggi menjadi berkurang dengan

penanganan STI melalui pengobatan dan promosi pemakaian kondom terhadap pekerja-

pekerja seksual.8

B. Kerangka 2. Mencegah terjadinya kehamilan pada wanita yang terinfeksi HIV 8:

Memberikan informasi tentang KB dan konseling untuk membantu dalam

pengambilan keputusan

Mengintegrasikan pelayanan kontrasepsi pada konseling sukarela

Memperkuat hubungan antara FP (Family Planning)dan pelayanan HIV

Menjamin akses FP (Family Planning) ke pilihan yang aman.

Upaya PMTCT (Prevention of mother-to-child transmission) berfokus hampir

semata-mata pada pencegahan transmisi dari wanita hamil yang positif menderita HIV.

Pendekatan ini diambil sebagai akibat tidak berhasilnya penggunan kontrasepsi dalam hal

menurunkan MTCT (Mother-to-child transmission) dalam mencegah kehamilan pada

wanita yang positif terinfeksi HIV. Karena kehamilan yang tidak diharapkan berjumlah

lebih dari 50% pada semua kelahiran dibeberapa negara, kontrasepsi merupakan hal yang

potensial untuk mencegah ribuan transmisi vertikal HIV.8

C. Kerangka 3. Mencegah Transmisi HIV dari wanita yang terinfeksi ke bayinya :8

Melakukan intervensi untuk menurunkan penularan selama kehamilan, persalinan dan

kelahiran.

Melakukan intervensi untuk menurunkan penularan melalui menyusui (tidak

menyusui bayinya).

Penelitian dan pengalaman yang telah terbukti aman, dapat dikerjakan dengan

mudah dan efektif untuk menurunkan transmisi HIV dari wanita hamil yang terinfeksi ke

bayi adalah dengan cara :

Kemoprofilaksis antiretrovirus

Praktek obstetri yang aman

Konseling pemberian makanan pada bayi.

Page 45: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Meskipun demikian, untuk keberhasilan dari intervensi ini, wanita hamil yang

terinfeksi HIV harus melakukan ANC dan atau pelayanan maternal dan dia harus

memiliki akses konseling dan pelayanan tes HIV.8

Dua pendekatan utama pada konseling dan tes HIV pada ANC yaitu : Opt-in dan

Opt-out.

1. Yang dimaksud dengan optimal-in (Opt-in) yaitu testing HIV yang ditujukan

pada wanita hamil sebagai intervensi terpisah dari pelayanan ANC rutin dan harus

bersedia untuk mendapat tes ini.

2. Sedangkan optimal-out (Opt-out) yaitu testing HIV merupakan bagian dari

pelayanan ANC rutin dan harus dilakukan kecuali wanita tersebut menolak.

Kemoprofilaksis antiretroviral pada PMTCT

Beberapa penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan keberhasilan

pemberian obat antiretroviral pada wanita selama hamil, persalinan dan kelahiran dan

pada bayi setelah kelahiran secara signifikan menurunkan risiko MTCT.8,10

Obat antiretroviral seperti Zidovudine (ZDV), Lamivudine (3TC) dan Niverapine (NVP)

telah diuji coba dan aman serta efektif saat digunakan tersendiri (ZDV atau NVP) atau

dikombinasikan (ZDV+3TC, ZDV+NVP atau ZDV+3TC+NVP). Banyak protokol yang

aman dan efektif tapi keberhasilannya tergantung dari kecepatan wanita tersebut

ditemukan pada pemeriksaan kehamilannya.

Dukungan dan konseling pemberian makanan pada bayi

Transmisi HIV postnatal melalui ASI pertama kali dilaporkan tahun 1985.

Diperkirakan 15-20% dari MTCT terjadi melalui pemberian ASI, dan akan terus

meningkat sampai 29% jika terjadi infeksi maternal yang baru.8

Penghentian pemberian ASI pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terinfeksi HIV

merupakan satu-satunya jalan untuk mencegah trasmisi HIV postnatal.8

Hasil penelitian di Kenya menyatakan bahwa ibu yang terinfeksi HIV yang

menyusui mengalami mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak menyusui.8

Page 46: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Praktek obstetri yang aman

Beberapa intervensi obstetrik dipercayai atau terbukti menurunkan MTCT

termasuk diantaranya adalah 8,14 :

Seksio sesarea elektif

Pembilasan vagina dengan larutan chlorhexidine

Memperpendek waktu antara pecahnya ketuban dan persalinan

Menghindari episiotomi yang tidak perlu

Menghindari pemakaian suction dan prosedur invasif lainnya dan

Pengeringan sekresi maternal dan darah pada bayi baru lahir.

Analisis beberapa penelitian pada negara-negara industri menunjukkan bahwa seksio

sesarea elektif menurunkan transmisi HIV, meskipun demikian manfaat seksio

sesarea akan menghilang jika dilakukan setelah persalinan dimulai.

Seksio sesarea tidak memberikan keuntungan tambahan pada ibu dengan muatan

virus (viral loads) < 1000 /ml dan CD4 > 500/μl.8

Penelitian yang dilakukan di Malawi mengenai pembilasan vagina dengan

chlorhexidine dilaporkan menurunkan MTCT, hal ini berlaku hanya pada ketuban

pecah lebih dari 4 jam. Disinfeksi vagina juga memeperlihatkan penurunan

morbiditas dan mortalitas bayi yang dilahirkan. Studi retrospektif memperlihatkan

bahwa mengurangi waktu pecahnya ketuban dengan persalinan menurunkan MTCT.8

D. Kerangka 4. Memberikan perhatian kepada ibu yang terinfeksi HIV, bayi dan

keluarganya.8

Menjamin penapisan untuk profilaksis dan penanganan infeksi oportunistik

Memberikan pengobatan antiretroviral

Memberikan perhatian terhadap nutrisi dan pelayanan pendukungnya

Memberikan konseling seksual dan kesehatan reproduksi, termasuk pelayanan KB

Memberikan pelayanan penanganan gejala awal dan terminal

Memberikan pelayanan kesehatan mental dan dukungan pelayanan psikologi

Memberikan dukungan sosial

Page 47: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Ada 3 cara perlakuan pada ibu hamil ODHA untuk mengurangi risiko bayi yang

dilahirkan juga terinfeksi HIV. Pertama, dengan menggunakan obat antiretroviral (ARV)

pada saat kehamilan dan pascamelahirkan. Kedua, persalinan dilakukan dengan cara

operasi cesar. Dan ketiga, memberikan susu formula kepada bayi yang dilahirkan, karena

ASI berpotensi besar menularkan HIV.

Bayi dapat mudah tertular virus apabila proses persalinan berlangsung lama, karena

selama proses tersebut bayi akan terus kontak dengan darah ibunya. Pilihan melahirkan

yang paling aman adalah lewat bedah caesar. Begitu juga dengan menyusui ASI dari ibu

terinfeksi virus HIV juga dapat menularkan HIV kepada ibunya. Karena itu ibu yang HIV

positif tidak diperbolehkan menyusui bayinya. Paling aman adalah  dengan memberikan

susu formula.

 

Dan yang paling penting juga memberikan obat ARV selama masa kehamilan dan

persalinan. Obat berupa pil ini harus dikonsumsi dua kali sehari. Dan setelah lahir si bayi

pun diberikan ARV setiap 6 jam sekali hingga usia 6 minggu. Setelah itu bayi diperiksa,

bila negatif maka obatnya pun dihentikan. Menurut Dr. Evy, Pokdiksus AIDS-FKUI

RSCM jika semua ini dilakukan, maka risiko penularan dari yang semula 25-45 persen

bisa ditekan menjadi kurang dari 2 persen.

 

PMTCT (Prevention of Mother to Child HIV Transmition)

Adalah program untuk menurunkan penularan HIV dari ibu hamil kepada bayinya. Untuk

menjalani program PMTCT dibantu oleh para ibu kader PKK dan Posyandu karena

mampu menjangkau ibu hamil dan mengajak mereka untuk mendapatkan informasi

seputar kehamilan yang sehat. Para kader tersebut dilatih terlebih dahulu sebelum terjun

ke lapangan. Setiap dua minggu mengundang untuk penyuluhan. Setelah itu baru

dilakukan konseling dan secara sukarela dan dengan kesadaran mereka mau diambil

darahnya

Page 48: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Ada empat program PMTCT yang dijalankan, yaitu

Cegah penularan HIV pada usia produktif

Cegah kehamilan yang tidak direncanakan para perempuan dengan HIV positif

Cegah penularan HIV dari ibu hamil positif pada janin yang dikandungnya

Mendukung secara psikologis dan sosial pascapersalinan

Strategi di Indonesia

Strategi Penanggulangan AIDS Nasional 2003–2007 menegaskan bahwa pencegahan

penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan sebuah program prioritas. Departemen

Kesehatan RI dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional telah berkomitmen untuk

meningkatkan cakupan program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi di Indonesia.

Sebagai pedoman untuk menjalankan program tersebut bagi manajer program, aparat

pemerintahan, petugas kesehatan, serta kelompok profesi dan kelompok seminat bidang

kesehatan di Indonesia, perlu adanya kebijakan pemerintah tentang pencegahan penularan

HIV dari ibu ke bayi. Kebijakan ini mencakup hal-hal penting pada tiap-tiap langkah

intervensi program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi di Indonesia.

A.  INTEGRASI PROGRAM

Kebijakan umum pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi sejalan dengan

kebijakan umum kesehatan ibu dan anak dan kebijakan penanggulangan

HIV/AIDS di Indonesia.

Layanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi diintegrasikan dengan paket

pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana di tiap jenjang

pelayanan kesehatan.

Semua perempuan yang datang ke pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan

keluarga berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan mendapatkan informasi

pencegahan penularan HIV selama masa kehamilan dan menyusui.

Page 49: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

 B.  PRONG

1)      Program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, dilaksanakan

secara komprehensif dengan menggunakan empat prong, yaitu :

Prong 1:  Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif;

Prong 2:  Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif;

Prong 3:  Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke  bayi

yang dikandungnya;

Prong 4:  Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu

HIV  positif beserta bayi dan keluarganya.

Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, diimplementasikan Prong 1 dan Prong

2. Pada daerah dengan prevalensi HIV yang terkonsentrasi, diimplementasikan semua

prong. Ke-empat prong secara nasional dikoordinir dan dijalankan oleh pemerintah, serta

dapat dilaksanakan institusi kesehatan swasta dan lembaga swadaya masyarakat.

 

C.  KONSELING DAN TES HIV SUKARELA

 1)  Konseling HIV menjadi salah satu komponen standar dari pelayanan kesehatan ibu

dan anak dan layanan keluarga berencana di tiap jenjang pelayanan

kesehatan.Penatalaksanaan konseling dan tes HIV sukarela untuk pencegahan penularan

HIV dari ibu ke bayi mengikuti Pedoman Nasional Konseling dan Tes HIV Sukarela.Tes

HIV dilakukan kepada semua ibu hamil (routine HIV testing) di seluruh rumah sakit

rujukan Odha yang telah ditetapkan pemerintah.Ibu hamil menjalani konseling dan

diberikan kesempatan untuk menetapkan sendiri keputusannya untuk menjalani tes HIV

atau tidak.

Di daerah prevalensi HIV tinggi yang tidak terdapat layanan pencegahan penularan HIV

dari ibu ke bayi, untuk menentukan faktor-faktor risiko ibu hamil digunakan beberapa

kriteria, seperti memiliki penyakit menular seksual, berganti-ganti pasangan, pengguna

Page 50: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

narkoba, dll.Layanan tes HIV dipromosikan dan dimungkinkan bagi laki-laki dan

perempuan yang merencanakan untuk memiliki bayi.Pada tiap jenjang pelayanan

kesehatan yang memberikan konseling dan tes HIV sukarela dalam paket pelayanan

kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana, harus terdapat tenaga petugas

yang mampu memberikan konseling sebelum dan sesudah tes HIV.Pada pelayanan

kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana yang memberikan layanan

konseling dan tes HIV sukarela, konseling pasca tes (post-test counseling) bagi

perempuan HIV negatif memberikan bimbingan untuk tetap HIV negatif selama

kehamilan, menyusui, dan seterusnya.Pada tiap jenjang pelayanan kesehatan tersebut

harus terjamin aspek kerahasiaan ibu hamil ketika mengikuti proses konseling sebelum

dan sesudah tes HIV.

 Untuk program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, pemerintah memberikan

bantuan biaya konseling dan tes HIV bagi ibu hamil di tiap jenjang layanan

kesehatan.Program PMTCT sebaiknya diintegrasikan dengan kegiatan safe motherhood

sehingga tidak hanya mencegah penularan HIV ke bayi bagi ibu yang diketahui HIV

positif, namun juga bermanfaat bagi seluruh ibu hamil yang mengikuti program agar

melakukan persalinan yang aman. Ratusan bahkan ribuan ibu hamil dengan hasil tes HIV

negatif mendapatkan konseling pascates dari konselor terlatih agar mempertahankan

status HIV negatifnya.

Pengobatan

Protokol pemberian obat antiretroviral (ARV) untuk ibu hamil HIV positif mengikuti

Pedoman Nasional Pengobatan ARV di Indonesia.

Pemerintah menyediakan ARV untuk ibu hamil HIV positif secara gratis untuk

mengurangi risiko penularan HIV ke bayi. Pemerintah juga menyediakan ARV secara

gratis untuk tujuan pengobatan jangka panjang jika ibu atau anaknya telah membutuhkan

ARV untuk mempertahankan kualitas fisiknya.Sedangkan di Thailand sendiri Pakar HIV

berharap mampu mengurangi penularan HIV pralahir dengan memberikan kombinasi

Page 51: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

obat – GPO-VIR (d4T+ 3TC+nevirapine), efavirenz dan lopinavir/ritonavir – kepada ibu

hamil yang HIV-positif sebelum Oktober 2009, Praphan Phanuphak direktur Red Cross

Aids Research Centre Thailand mengatakan ”Dengan program yang ada saat ini, hanya

AZT yang disediakan untuk ibu hamil yang terinfeksi HIV sejak 20 minggu usia

kehamilan. Kemudian satu tablet nevirapine diberikan waktu sakit kelahiran.AZT dan

3TC hanya diberikan selama satu minggu setelah melahirkan untuk mengurangi resistansi

terhadap nevirapine. Tingkat MTCT berdasarkan model pengobatan saat ini adalah 4%.

3. Patofisiologi AIDS adalah kompleks, seperti halnya dengan semua sindrom. Pada

akhirnya, HIV menyebabkan AIDS dengan berkurangnya CD4 + limfosit T pembantu.

Hal ini melemahkan sistem kekebalan tubuh dan memungkinkan infeksi oportunistik.

Limfosit T sangat penting untuk respon kekebalan tubuh dan tanpa mereka, tubuh tidak

dapat melawan infeksi atau membunuh sel kanker. Mekanisme penurunan CD4 T +

berbeda di fase akut dan kronis.

Selama fase akut, HIV-diinduksi lisis sel dan membunuh sel yang terinfeksi oleh sel

sitotoksik akun T untuk CD4 + T deplesi sel, walaupun apoptosis juga dapat menjadi

faktor. Selama fase kronis, konsekuensi dari aktivasi kekebalan umum ditambah dengan

hilangnya bertahap kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan sel baru T

muncul untuk menjelaskan penurunan lamban dalam jumlah CD4 + T sel.

Meskipun gejala defisiensi imun karakteristik AIDS tidak muncul selama bertahun-tahun

setelah seseorang terinfeksi, sebagian besar CD4 + T hilangnya sel terjadi selama minggu

pertama infeksi, terutama di mukosa usus, pelabuhan yang mayoritas limfosit ditemukan

dalam tubuh. Alasan hilangnya preferensial CD4 + T sel mukosa adalah bahwa mayoritas

CD4 + T sel mukosa mengungkapkan coreceptor CCR5, sedangkan sebagian kecil CD4 +

sel T dalam aliran darah melakukannya.

Page 52: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

HIV mencari dan menghancurkan CD4 + sel CCR5 mengekspresikan selama infeksi akut.

Sebuah respon imun yang kuat akhirnya kontrol infeksi dan inisiat fase laten klinis.

Namun, CD4 + T sel dalam jaringan mukosa tetap habis seluruh infeksi, meskipun cukup

tetap awalnya menangkal infeksi yang mengancam jiwa.

Replikasi HIV terus-menerus menghasilkan keadaan aktivasi kekebalan umum bertahan

selama fase kronis. Aktivasi kekebalan tubuh, yang tercermin oleh negara aktivasi

peningkatan sel kekebalan dan pelepasan sitokin pro inflamasi, hasil dari aktivitas

beberapa produk gen HIV dan respon kebal terhadap replikasi HIV terus-menerus.

Penyebab lainnya adalah kerusakan pada sistem surveilans kekebalan penghalang

mukosa yang disebabkan oleh penipisan mukosa CD4 + sel T selama fase akut dari

penyakit.

Hal ini mengakibatkan pemaparan sistemik dari sistem kekebalan tubuh untuk komponen

mikroba flora normal usus, yang pada orang sehat adalah disimpan di cek oleh sistem

imun mukosa. Aktivasi dan proliferasi sel T yang hasil dari aktivasi kekebalan

memberikan target segar untuk infeksi HIV. Namun, pembunuhan langsung dengan HIV

Page 53: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

saja tidak dapat menjelaskan menipisnya diamati CD4 + sel T karena hanya 0,01-0,10%

dari CD4 + T sel dalam darah yang terinfeksi.

Penyebab utama hilangnya CD4 T + muncul hasil dari kerentanan mereka untuk apoptosis

meningkat ketika sistem kekebalan tubuh tetap diaktifkan. Meskipun baru sel T terus

diproduksi oleh timus untuk menggantikan yang hilang, kapasitas regeneratif timus

secara perlahan dihancurkan oleh infeksi langsung thymocytes dengan HIV. Akhirnya,

jumlah minimal CD4 + sel T yang diperlukan untuk menjaga respon imun yang cukup

hilang, yang mengarah ke AIDS

Sel yang terkena dampak

Virus, yang pernah masuk melalui rute, bertindak terutama pada sel-sel berikut:

Lymphoreticular sistem:

o CD 4 + T-sel Helper

o Makrofag

o Monosit

o B-limfosit

o Tertentu sel-sel endotel

o Sistem saraf pusat:

Mikroglia dari sistem saraf

Astrosit

Oligodendrocytes

Neuron - secara tidak langsung oleh aksi sitokin dan gp-120

Efeknya

Virus memiliki efek sitopatik tapi bagaimana hal itu masih tidak cukup jelas. Hal ini

dapat tetap aktif dalam sel-sel untuk waktu yang lama, meskipun. Efek ini diduga

Page 54: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

disebabkan CD 4-gp120 interaksi. Update berlangsung pada bulan September 2005.

Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi oportunistik yang dengan mudah diobati pada

orang sehat.

Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS

Stadium II: termasuk manifestasi mukokutan kecil dan berulang infeksi saluran

pernapasan atas

Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari

sebulan, infeksi bakteri parah dan TB paru

Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus

atau paru-paru dan sarkoma Kaposi, penyakit ini adalah indikator AIDS.

CDC sistem klasifikasi

Ada dua definisi utama untuk AIDS, baik yang dihasilkan oleh Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Penyakit (CDC). Definisi yang lebih tua adalah untuk mengacu AIDS

menggunakan penyakit yang dikaitkan dengan itu, misalnya, limfadenopati, penyakit ini

setelah itu penemu HIV awalnya bernama virus. Pada tahun 1993, CDC memperluas

definisi AIDS mereka untuk memasukkan semua orang HIV positif dengan CD4 + T cell

count di bawah 200 per uL darah atau 14% dari seluruh limfosit. Mayoritas kasus AIDS

baru di negara maju menggunakan baik definisi ini atau definisi CDC pra-1993.

Diagnosis AIDS masih berdiri bahkan jika, setelah perawatan, jumlah sel CD4 + T naik di

atas 200 per uL darah atau penyakit terdefinisi AIDS dapat disembuhkan.

1. penularan dan masuknya virus

HIV dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinalis, semen, air mata, sekresi

vagina atau seviks, urine, ASI dan air liur. Penularan terjadi paling efisien melalui darah

dan semen. HIV bisa masuk ke dalam tubuh manusia akibat perilaku atau tindakan

(pribadi atau tindakan orang lain ), yang memungkinkan darah atau cairan kelamin atau

ASI yang tercemar HIV masuk ke dalam tubuh. misalnya: disuntik dokter dengan jarum

tidak steril.

Page 55: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Sesudah virus HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh akan terinfeksi dan

virus mulai mereplikasi diri dalam sel orang tersebut (terutama sel T CD4 dan makrofag).

HIV akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan menghasilkan antibodi untuk

HIV. Masa antara masuknya infeksi dan terbentuknya antibodi yang dapat dideteksi

melalui pemeriksaan laboratorium adalah selama 2-12 minggu, masa ini disebut sebagai

masa jendela (window period). Selama masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah

menularkan kepada orang lain, meski hasil pemeriksaan laboratoriumnya masih negatif.

Hampir 30-50% orang mengalami masa infeksi akut pada masa infeksius ini yakni

demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala dan

batuk.

Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda untuk jangka waktu

cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Orang tersebut mudah menularkan

infeksinya kepada orang lain, dan hanya dapat dikenali dari pemeriksaan laboratorium

serum antibodi HIV. Sesudah suatu jangka waktu, yang bervariasi dari orang ke orang,

virus memperbanyak diri secara cepat dan diikuti dengan perusakan limfosit CD4 dan sel

kekebalan lainnya sehingga terjadilah gejala berkurangnya daya kekebalan tubuh yang

progresif (progressive immunodeficiency syndrome). Progresivitas tergantung pada

beberapa faktor seperti: usia kurang dari 5 tahun atau diatas 40 tahun, infeksi lainnya, dan

faktor genetik.

Tiga cara utama penularan adalah kontak dengan darah dan kontak seksual dan

kontak bayi dan ibu yang sda dipaparkan lebih awal di bagian patofisiologi,. Setelah virus

ditularkan akan tejadi serangkaian proses yang kemudian menyrbabkan infeksi.

2. Perlekatan virus

Sel-sel lain yang mungkin rentan terhadap infeksi HIV mencakup monositdan

makrofag. Monosit dan makrofag. Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi

sebagai reservoir untuk HIV tetapi tidak dihancurkan oleh virus. HIV bersifat politrofik

dan dapat menginfeksi beragam sel manusia. Sepeti sel natural killer, limfosit B, sel

endotel, sel epitel, sel langerhans, sel dendritik, sel microglia dan berbagai jaringan

tubuh.

Page 56: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4+ maka berlangsung serangkaian proses

kompleks yang apabila berjalan lancar menyebabkan terbentuknya partikel-partikel virus

baru dari sel yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam keadaan provirus atau mungkin

mengalami, siklus-siklus replikasi sehingga menghasilkan banyak virusinfeksi pada

limfosit CD4+ juga dapat menimbulkan sipatogenitas melalui beragam mekanisme,

termasuk apoptesis, anergi, atau pembentukan sinstisum (fusi sel).

3. Replikasi virus

Setelah terjadi fusi sel  virus,   RNA virus masuk kedalam tengah sitoplasma

limfosit CD4+ setelah nuk;leokapsid dilepas, maka akan terjadi transkripsi terbalik dari

satu untai tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai ganda virus. Integrase HIV

membantu in sersi cDNA kedalm inti sel pejamu. Apabila sudah terintegrasi kedal;am

kromosom sel pejamu maka dua untai DNA sekarang menjadi provirus. Provirus

meghasilkan mRNA yang meninggalkan inti sel dan masuk kedalam sitoplasma. Protein-

protein virus dihasilkan dari mRNA yang lengkap dan yang telah mengalami splicing

(penggabungan), setelah RNA genom dibebaskan kedalam sitoplasma. Tahap akhir

produksi virus membutuhka suatu enzim virus yang disebut HIV protease, yang

memotong dan menata protein virus menjadi segmen-segmen kecil yang mengelilingi

RNA virus, membentuk parikel virus menular yag menonjol dari sel yang terinfeksi.

Sewaktu menonjol dari sel pejamu, partikel-partikel virus tersebut akan terbungkus oleh

sebagian dari membrane sel yang terinfeksi. HIV yang baru terbentuk sekarang dapat

menyerang sel rentan lainnya di seluruh tubuh.

Replikasi HIV berlanjut sepanjang periode latensi klinis, bahkan saat hanya

terjadi aktivitas virus yang minimal di dalam darah. HIV ditemukan dalam jumlah besar

di dalam limfosit CD4+ dan makrofag di seluruh sistem limfoid pada tahap semua infeksi.

Partikel-partrikel virys juga telah dihubungkan sel-sel dendritik folikular, yang mungkin

memindahkan infeksi ke sel-sel selama imigrasi melaului folikel-folikel limfoid.

Walaupun selama masa latensi klinis tingkat viremia dan replikasi virus di sel-sel

monokleus darah perifer rendah, namun pada infeksi ini tidak ada latensi yang sejati. HIV

secara terus menerus terakumlasi dan bereplikasi di organ-orgna limfoid. Sebagian data

Page 57: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

menunujaka bahwa terjadi replikasi dalam jumlah sangat besar dabn pertukaran sel yang

sangat cepat dengan waktu paruh virus didalam plasma sekitar 2 hari. Aktivitas ini

menunjukan bahwa terjadi pertempuran terus menerus antara virus dajn sistem imun

pasien.

4. infeksi HIV

Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna oleh

respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang kronik

dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa jumlah virus di

plasma dan jumlah sel T CD4+ dalam darah. Infeksi primer HIV pada fetus dan neonatus

terjadi pada situasi sistim imun imatur, sehingga penjelasan berikut merupakan ilustrasi

patogenesis yang khas dapat diikuti pada orang dewasa.

Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh

lainnya dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai oleh

reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4+ dan

monosit di darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di jaringan mukosa merupakan sel yang

pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus akan menangkap virus

kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yang

berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam

penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan

HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.

Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah

banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia

disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus

lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau T

helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi

HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen virus.

Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang

menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama.

Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa

menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih

Page 58: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis

infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency period).

Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung

HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+ dalam jaringan limfoid terus

berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang. Lebih dari

90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat dalam jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan

menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari. Pada awal penyakit, tubuh dapat

menggantikan sel T CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun,

siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya

menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.

Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons imun

terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid.

Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T, seperti

antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun alamiah

sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat efektif untuk memacu produksi HIV.

Jadi, pada saat sistem imun berusaha menghancurkan mikroba lain, terjadi pula

kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV.

Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana

terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang

dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi

oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome),  gagal ginjal (nefropati HIV),

dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV)

Struktur dan siklus HIV

Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat. Selubung luarnya, atau viral,

terdiri dari, lemak lapis ganda yang mengandung banyak tonjolan protein. Duri-duri ini

terdiri dari dua glikoprotein gp 120 dan gp41. Gp 120 adalah selubung permukaan

eksternal duri dan Gp1 adalah bagian transmembran.

Page 59: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Terdapat protein matriks yang disebut p17 yang mengelilingi segmen bagian

dalam membrane virus.  Sedangkan inti dikelilingi oleh suati protein kapsid yang disebut

p24. didalamnya terdapat dua untai rantai RNA identik dan mplekul performed reverse

transcip , integrase, dan protease yang yang sydah terbentuk. HIV adalah suatu retrovirus

sehingga materi genetiknya RNA bukan DNA. Reverse transciptase adalah enzim yang

mentranskripkan RNA virus menjadi DNA setelah virus masuk kesel sasaran. Enzim lain

yang menyertai RNA adalah integrase dan protease.

HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4 yang mempunyai reseptor

CD4 beberapa sel lain yang juga mempunyai resptor CD4 adalah : sel monosit, makrofag,

sel folikular dendritik, sel retina, sel dinding rahim, dan sel langerhans. Penelitian

terakhir juga menunjukan HIV dapat menginveksi sel astrogloa otak dan sel endotel

saluran cerna walaupun sel tsb tudak mempunyai reseptor CD4.

Protein selubung HIV gp 120 akan bersentuhan dan terikat pada reseptor CD4 sel

pejamu (antara lain sel selubunglimfosit t4); lalu selubung HIV akan mengalami fusi

denagn membrane sel 6pejamu dengan mendorong inti HIV masuk kedalam sitoplasma

pejamu. Dalam proses ini terlibat protein selubung HIV yang lain, yaitu gp 41. dalam

sitoplasma sel pejamu, RNA virus akan dikonversi menjadi DNA oleh enzim RTase dan

dna ini yang disebut DNA provirus . DNA provirus ini akan masuk kedala inti sel pejamu

dan dengan inti sel pejamu. Integrasi materi genetic virus ini biasanya akan terfjadi dalam

2-10 jam setelah infeksi. Selanjutnya virus replikasi virus dimulai dengan adanya

produksi RNA provirus yang sama sehingga akan terbentu virion baru, suati virus HIV

baru yang siap untuk menginfeksi sel target yang lain, setekah keluar dari sel pejamu

melalui suatu proses budding.

Page 60: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

4. Ada 2 cara pencegahan AIDS yaitu jangka pendek dan jangka panjang :

1. Upaya Pencegahan AIDS Jangka Pendek

Upaya pencegahan AIDS jangka pendek adalah dengan KIE, memberikan informasi

kepada kelompok resiko tinggi bagaimana pola penyebaran virus AIDS (HIV),

sehingga dapat diketahui langkah-langkah pencegahannya.

Ada 3 pola penyebaran virus HIV :

1. Melalui hubungan seksual

2. Melaui darah

3. Melaui ibu yang terinfeksi HIV kepada bayinya

Ad.1. Pencegahan Infeksi HIV Melaui Hubungan Seksual

HIV terdapat pada semua cairan tubuh penderita tetapi yang terbukti berperan dalam

penularan AIDS adalah mani, cairan vagina dan darah.

Page 61: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

HIV dapat menyebar melalui hubungan seksual pria ke wanita, dari wanita ke pria

dan dari pria ke pria.

Setelah mengetahui cara penyebaran HIV melaui hubungan seksual maka upaya

pencegahan adalah dengan cara :

• Tidak melakukan hubungan seksual. Walaupun cara ini sangat efektif, namun tidak

mungkin dilaksanakan sebab seks merupakan kebutuhan biologis.

• Melakukan hubungan seksual hanya dengan seorang mitra seksual yang setia dan

tidak terinfeksi HIV (homogami)

• Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin

• Hindari hubungan seksual dengan kelompok rediko tinggi tertular AIDS.

• Tidak melakukan hubungan anogenital.

• Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual dengan kelompok

resiko tinggi tertular AIDS dan pengidap HIV.

Ad.2. Pencegahan Infeksi HIV Melalui Darah

Darah merupakan media yang cocok untuk hidup virus AIDS. Penularan AIDS

melalui darah terjadi dengan :

− Transfusi darah yang mengandung HIV.

− Jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tato, tindik) bekas pakai orang

yang mengidap HIV tanpa disterilkan dengan baik.

− Pisau cukur, gunting kuku atau sikat gigi bekas pakai orang yang mengidap virus

HIV.

Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya penularan melalui darah adalah:

− Darah yang digunakan untuk transfusi diusahakan bebas HIV dengan jalan

memeriksa darah donor. Hal ini masih belum dapat dilaksanakan sebab

memerlukan biaya yang tingi serta peralatan canggih karena prevalensi HIV di

Indonesia masih rendah, maka pemeriksaan donor darah hanya dengan uji petik.

− Menghimbau kelompok resiko tinggi tertular AIDS untuk tidak menjadi donor

darah. Apabila terpaksa karena menolak, menjadi donor menyalahi kode etik,

maka darah yang dicurigai harus di buang.

Page 62: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

− Jarum suntik dan alat tusuk yang lain harus disterilisasikan secara baku setiap kali

habis dipakai.

− Semua alat yang tercemar dengan cairan tubuh penderita AIDS harus

disterillisasikan secara baku.

− Kelompok penyalahgunaan narkotik harus menghentikan kebiasaan penyuntikan

obat ke dalam badannya serta menghentikan kebiasaan mengunakan jarum suntik

bersama.

− Gunakan jarum suntik sekali pakai (disposable)

− Membakar semua alat bekas pakai pengidap HIV.

Ad.3. Pencegahan Infeksi HIV Melalui Ibu

Ibu hamil yang mengidap HIV dapat memindahkan virus tersebut kepada janinnya.

Penularan dapat terjadi pada waktu bayi di dalam kandungan, pada waktu persalinan

dan sesudah bayi di lahirkan.

Upaya untuk mencegah agar tidak terjadi penularan hanya dengan himbauan agar ibu

yang terinfeksi HIV tidak hamil.

2. Upaya Pencegahan AIDS Jangka Panjang

Penyebaran AIDS di Indonesia (Asia Pasifik) sebagian besar adalah karena hubungan

seksual, terutama dengan orang asing. Kasus AIDS yang menimpa orang Indonesia

adalah mereka yang pernah ke luar negeri dan mengadakan hubungan seksual dengan

orang asing.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiko penularan dari suami pengidap HIV ke

istrinya adalah 22% dan istri pengidap HIV ke suaminya adalah 8%. Namun ada

penelitian lain yang berpendapat bahwa resiko penularan suami ke istri atau istri ke

Page 63: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

suami dianggap sama. Kemungkinan penularan tidak terganggu pada frekuensi

hubungan seksual yang dilakukan suami istri.

Yang dimaksud dengan perilaku seksual yang bertanggung jawab adalah :

a. Tidak melakukan hubungan seksual sama sekali.

b. Hanya melakukan hubungan seksual dengan mitra seksual yang setia dan tidak

terinfeksi HIV (monogamy).

c. Menghindari hubungan seksual dengan wanita-wanita tuna susila.

d. Menghindari hubungan seksual dengan orang yang mempunyai lebih dari satu mitra

seksual.

e. Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin.

f. Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin

g. Hindari hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS.

h. Tidak melakukan hubungan anogenital.

i. Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual.

Kegiatan tersebut dapat berupa dialog antara tokoh-tokoh agama,

penyebarluasan informasi tentang AIDS dengan bahasa agama, melalui penataran P4

dan lain-lain yang bertujuan untuk mempertebal iman serta norma-norma agama

menuju perilaku seksual yang bertanggung jawab.

Penatalaksanaan

Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu: a) pengobatan

untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV), b) pengobatan

untuk

Page 64: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS,

seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, , toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker

serviks, c) pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih

baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama

serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang

lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian

infeksi oportunistik amat berkurang.

Tabel 2. Infeksi oportunistik/kondisi yang sesuai dengan kriteria diagnosis AIDS

Cytomegalovirus (CMV) (selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening)

CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)

Ensefalopati HIVa

Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronkitis, pneumonitis, atau

esofagitis

Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu

Isosporiasis, dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan)

Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru

Kandidiasis esofagus

Kanker serviks invasive

Koksidiodomikosis, diseminata atau ekstraparu

Kriptokokosis, ekstraparu

Kriptosporidiosis, dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan)

Leukoensefalopati multifokal progresif

Limfoma, Burkitt

Limfoma, imunoblastik

Limfoma, primer pada otak

Mikobakterium avium kompleks atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu

Mikobakterium tuberkulosis, paru atau ekstraparu

Mikobakterium, spesies lain atau spesies yang tidak dapat teridentifikasi, diseminata

atau ekstrapulmoner

Pneumonia Pneumocystis carinii

Pneumonia rekurenb

Page 65: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Sarkoma Kaposi

Septikemia Salmonella rekuren

Toksoplasmosis otak

Wasting syndromec

Terapi Antiretroviral (ARV)

Page 66: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3 obat

ARV. Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan(tabel 4), dengan keunggulan

dan kerugiannya masing-masing. Kombinasi obat antiretroviral lini pertama yang

umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin (ZDV)/lamivudin (3TC),

dengan nevirapin (NVP) .

Tabel 3. Kombinasi obat

ARV untuk terapi inisial

Kolom A

Kolom B

lamivudin + zidovudin# Evafirenz*,#

lamivudin + didanosin

lamivudin + stavudin#

lamivudin + zidovudin# Nevirapin#

lamivudin + stavudin#

lamivudin + didanosin

lamivudin + zidovudin Nelvinafir

lamivudin + stavudin

lamivudin + didanosin

Tatalaksana HIV Positif.

a. Tentukan status nutrisi dan intervensinya

b. Terapi profilaksis Infeksi Oportunistik

c. Tentukan klasifikasi klinis dan imunologis

d. Terapi kuratif Infeksi Oportunistik

e. Nilai indikasi ARV

f. Tentukan situasi social

Pemberian ARV

a. Tujuan pemberian ARV :

1) Mengurangi morbiditas dan mortalitas karena HIV

2) Memperbaiki dan memelihara fungsi imun

Page 67: LAPORAN TUTORIAL SKE 5 BLOK HEMATOIMUNOLOGI.docx

3) Menekan replikasi virus selama mungkin

4) Meminimalkan toksisitas karena obat

5) Membuat pertumbuhan fisik dan perkembangan neurokognitif normal

6) Memperbaiki kualitas hidup

7) Indikasi ARV

b. Stadium 4 WHO Untuk Anak . Semua diberi ARV.

c. Stadium 3 :

1) Umur < 1 tahun, semua diberi ARV

2) Umur > 1 tahun, diobati semua kecuali yg terkena TBC, LIP, trombopenia dan Oral

Hairy Leukoplakia, menurut hasil CD4

d. Stadium 2. Bergantung nilai CD4 (atau TLC).

e. Stadium 1. Tidak diberi ARV, kecuali bila CD4 sangat rendah.

f. Pemantauan ARV :

1) Waktu: setiap 2 minggu 2 X, selanjutnya bulanan.

2) Hal yang harus dipantau ada pada table

3) Hati-hati toksisitas obat (NNRTI)

4) Setelah 6 bulan dibuat kesimpulan apakah pasien responsif atau gagal terapi

Antiretroviral (ARV)