Upload
amanda-samurti-pertiwi
View
53
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
LAPORAN TUTORIAL BLOK HEMATOIMUNOLOGI
SKENARIO 5
“SERING DIARE”
Oleh :
Kelompok 3
1. Advisedly (1018011003)
2. Ahmad Habibi Gafur (1018011004)
3. Agustia Pratiwi (1018011035)
4. Aris Yanuar Jaelani (1018011042)
5. Farah Bilqistiputri (1018011060)
6. Kurnia Putra Wardhana (1018011070)
7. Meta Sakina (1018011076)
8. Ucha Clarina (1018011100)
9. Anggun Permata Sari (1018011110)
10. Yulia Dewi Asmariati (1018011129)
11. Reisha Gasshani (0818011090)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan nikmat-Nya yang telah
diberikan kepada penyusun sehingga dapat terselesaikannya LAPORAN TUTORIAL
KASUS 1 ”LEMAH DAN LESU” MATA KULIAH BLOK HEMATOIMUNOLOGI.
Tujuan pembelajaran materi tutorial ini adalah melatih kepahaman penyusun
dalam menjelaskan dan menangani kasus mengenai kelenjar adrneal.
Tujuan dibuatnya laporan tutorial ini adalah sebagai pemenuhan tugas dalam mata
kuliah di Blok HEMATOIMUNOLOGI serta sebagai sajian dari hasil pembelajaran
penyusun dalam kasus ke – 5 ini.
Terimakasih penyusun tujukan kepada dosen-dosen Blok
HEMATOIMUNOLOGI yang telah memberikan materi dan kepada tutor kasus 5
kelompok 3.
Penyusun menyadari masih banyak kekurangan dalam laporan ini, sehingga
penyusun mengharapkan banyak masukan dari dosen-dosen dan pembaca agar dapat
memberikan laporan yang lebih baik selanjutnya. Semoga Laporan Kasus 1 Mata Kuliah
Blok HEMATOIMUNOLOGI dapat bermanfaat bagi penyusun maupun pihak lain.
Bandar Lampung, 6 Oktober 2012
Penyusun
Kelompok 3
SKENARIO 1
“Sering diare”
Tuan X, 35 tahun dibawa oleh istirnya ke Unit Gawat Darurat karena lemas dan
hampir pingsan. Setelah di anamnesis ternyata dari hari sebelumnya Tuan X menderita
diare dan muntah-muntah. Menurut istrinya buka kali pertama ini suaminya menderita
sakit seperti ini. Istrinya yang saat ini sedang mengandung mengatakan sejak di PHK dari
pekerjaannya sebagai supir truk di Jakarta dan kembali ke kampung halamannya, sang
suami menjadi sering sakit-sakitan. Dalam 6 bulan terakhir dirasakan Tuan X makin
kurus dan mudah terkena pilek.
Dari hasil pemeriksaan fisik antara lain di dapatkan bercak-bercak putih di dalam
mukosa mulut. Dokter segera menyarankan Tuan X melakukan beberapa rangkaian
pemerikasaan Laboratorium.
STEP 1
FINDING UNFAMILIAR TERMS
-
STEP 2
FINDING THE PROBLEMS
1. Bagaimana cara mendiagnosis penyakit Tuan X?
2. Apa saja diagnosis banding penyakit Tuan X?
3. Bagaimana pathogenesis penyakit Tuan X?
4. Bagaimana penatalaksanaan penyakit Tuan X?
5. Apa saja factor risiko dari penyakit Tuan X?
STEP 3
BRAIN STORMING
1. Diagnosis penyakit Tuan X
- Anamnesis
- Pemeriksaan fisik
- Pemeriksaan penunjang
- Pemeriksaan laboratorium
- Pemeriksaan klinis
Dilihat dari gejala-gejala di scenario, Tuan X di duga menderita penyakit HIV
AIDS.
2. Diagnosis Banding
Kandidiasis oral :
Kandidiasis oral merupakan salah satu penyakit jaringan lunak mulut yang
mulai banyak ditemukan, terutama sekali disebabkan karena kemajuan ilmu
pengetahuan yang menghasilkan berbagai obat baru seperti antibiotik spektrum
luas dan karena gangguan sistem kekebalan seperti penderita HIV/AIDS atau
penderita kanker yang menjalani kemoterapi.
Kandidiasis oral merupakan infeksi superfisial pada mulut yang disebabkan oleh
jamur dari genus Kandida.1-3,6 Sejauh ini, Kandida albikan merupakan yang
paling patogen dari semua spesies Kandida dan menjadi etiologi utama
kandidiasis oral.1,6,7 Fakta bahwa kandidiasis oral merupakan infeksi jamur yang
paling banyak ditemukan tidaklah mengherankan mengingat hampir 50% dari
rongga mulut manusia yang sehat membawa jamur ini sebagai komponen normal
mikroflora mulut.
Sebenarnya Kandida pada rongga mulut individu yang sehat merupakan
organisme komensal yang hidup bersama dengan mikrobial flora mulut dalam
keadaan seimbang. Tetapi, jika terjadi gangguan pada keseimbangan antara
Kandida dengan anggota mikrobial mulut lainnya, maka organisme ini dapat
berproliferasi, berkolonisasi, menginvasi jaringan dan menghasilkan infeksi
oportunistik yang dikenal sebagai kandidiasis oral.
Limfadenopati Generalisata
Limfadenopati berarti penyakit pada kelenjar atau aliran getah bening (sistem
limfatik). Biasanya, penyakit tersebut terlihat sebagai kelenjar getah
bening menjadi bengkak, sering tanpa rasa sakit. Pembengkakan kelenjar itu
disebabkan oleh reaksi sistem kekebalan tubuhterhadap berbagai infeksi, termasuk
HIV dan TB.
Ada ratusan kelenjar getah bening di tubuh kita, dengan ukuran antara
sebesar kepala peniti hingga biji kacang. Organ ini sangat penting untuk fungsi
sistem kekebalan tubuh, dengan tugas menyerang infeksi dan menyaring cairan
getah bening. Sebagian besar kelenjar getah bening ada di daerah tertentu,
misalnya mulut, leher, lengan bawah, ketiak, dan kunci paha.
Segera setelah seseorang terinfeksi HIV, kebanyakan virus keluar dari darah.
Sebagian melarikan diri ke sistem limfatik (getah bening) untuk menyembunyikan
diri dalam sel di kelenjar getah bening. Beberapa ilmuwan menganggap bahwa
hanya 2% HIV ada dalam darah. Sisanya ada di sistem limfatik, termasuk limpa, di
lapisan usus dan di otak.
Infeksi HIV sendiri dapat menyebabkan limfadenopati atau pembengkakan
kelenjar getah bening. Limfadenopati adalah salah satu gejala umum infeksi primer
HIV. Infeksi primer atauakut adalah penyakit yang dialami oleh sebagian orang
beberapa minggu setelah tertular HIV – lihat Lembaran Informasi (LI) 103. Gejala
lain termasuk demam dan sakit kepala, dan sering kali penyakit ini dianggap flu.
Walaupun limfadenopati sering disebabkan HIV sendiri, penyakit ini dapat gejala
infeksi lain, termasuk TB di luar paru, sifilis, histoplasmosis, virus
sitomegalia, sarkoma Kaposi, limfomadan kelainan kulit.
Diare Kronis
Diare terkait HIV berasal dari pilihan untuk HIV berada pada saluran
pencernaan – perut dan usus. Bahkan, seluruh sel sistem kekebalan tubuh hidup di
dinding usus, bukan dalam aliran darah sebagaimana yang dikira orang selama
ini. Dengan ketertarikkan virus terhadap sel ini, jaringan usus menjadi sasaran
utama terhadap infeksi. Penelitian menentukan bahwa usus terinfeksi HIV secara
luas segera setelah infeksi awal dan terus menjadi pusat infeksi yang cukup besar
walau dengan viral load ‘tidak terdeteksi’ dalam darah. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Dr. Peter Anton – direktur Center for HIV Prevention Research,
UCLA AIDS Institute, “apabila virus mempunyai pilihan antara sel CD4 dalam
darah dan sel CD4 di usus, ia akan memilih usus, tempat tipe sel kekebalan aktif
yang lebih disukainya.”
Infeksi yang terus berlangsung ini kemudian dapat memicu masalah lain secara
bersamaan. Pada orang lain yang sehat, orang HIV-negatif, diare sering
disebabkan oleh penyebab tunggal. Tidak demikian dengan HIV, yaitu berbagai
faktor yang luas dan sering berlangsung secara bersamaan. Hal ini membuat
diagnosis secara hati-hati dan menyeluruh adalah penting. (Kemampunan untuk
berbicara langsung dengan dokter kita mengenai tinja kita – jumlah, konsistensi
bahkan baunya – merupakan aset yang sangat bernilai di sini.) Antara lima dan
tujuh penyebab yang mungkin pada Odha, Dr. Anton mencatat, menjadikannya
penting untuk dokter dan pasien untuk memahami bahwa berbagai intervensi
mungkin diperlukan sebelum melihat hasil yang dramatis. Dia mengatakan,
“apabila ada lima penyebabnya dan kita mengobati salah satunya dengan
keberhasilan 100%, kita mungkin masih belum melihat penurunan masalah secara
langsung, walaupun sesungguhnya kita sudah berhasil melaju selangkah menuju
pengobatannya.”
Infeksi usus
3. Ada 2 jenis HIV :
HIV tipe 1 : virus HIV pada manusia tidak homogen tetapi sebagian besar
merupakan varian dari HIV 1
HIV tipe 2 : tampak hanya prevalen di afrika barat dan sangat tidak virulen hanya
sekitar 40% dari rangkain HIV-1 dan HIV-2 yang identik.
Replikasi : infeksi HIV dimulai dengan adsorpsi virion dimana virus bebas dan
yang terinfeksi dengan HIV masuk ke tubuh
Envelope virus gp120 menempel pada CD4 receptors dengan bantuan
coreceptors, CCR-5 atau CXCR4 virus menembus sel dan isinya masuk ke sel
Envelope berfusi dengan membrane sel plasma, inti yang bagian dalam
dipindahkan, membebaskan retroviral RNA
Reverse transcriptase partikel subviral dalam sel yang terinfeksi dan produk
double stranded DNA transportasikan kedalam nucleus.
4. Penatalaksanaan
Konseling dan Edukasi
Konseling dan edukasi perlu diberikan segera sesudah diagnosis HIV/AIDS
ditegakkan dandilakukan secara berkesinambungan. Bahkan, konseling dan
edukasi merupakan pilar pertamadan utama dalam penatalaksanaan HIV/AIDS;
karena keberhasilan pencegahan penularanhorizontal maupun vertikal,
pengendalian kepadatan virus dengan ARV, peningkatan CD4, pencegahan dan
pengobatan IO serta komplikasi lainnya akan berhasil jika konseling danedukasi
berhasil dilakukan dengan baik. Pada konseling dan edukasi perlu diberikan
dukungan psikososial supaya ODHA mampu memahami, percaya diri dan tidak
takut tentang status dan perjalanan alami HIV/AIDS, cara penularan, pencegahan
serta pengobatan HIV/AIDS dan IO;semuanya ini akan memberi keuntungan bagi
ODHA dan lingkunganny
Antiretrovirus (ARV)
Indikasi pemberian ARV yaitu pada infeksi HIV akut, ODHA yang menunjukkan
gejala klinisatau ODHA tanpa gejala klinis yang memiliki CD4 < 500/mm3 dan
atau RNA HIV > 20.000/ml.serta pada PPE HIV.Kombinasi ARV merupakan
dasar penatalaksanaan pemberian antivirus terhadap ODHA; karenadapat
mengurangi resistensi, menekan replikasi HIV secara efektif sehingga kejadian
penularan/IO/komplikasi lainnya dapat dihindari, dan meningkatkan kualitas serta
harapan hidupODHA. Dua golongan ARV yang diakui
Food and Drug Administration
(FDA) dan
World Health Organization
(WHO) adalah penghambat reverse
transcriptase
(PRT), yang terdiri darianalog nukleosida dan non-analog nukleosida, serta
penghambat protease (PP) HIV. Ketiga jenisini dipakai secara kombinasi dan
tidak dianjurkan pada pemakaian tunggal.Penggunaan kombinasi ARV
merupakan farmakoterapi yang rasional; sebab masing-masing preparat bekerja
pada tempat yang berlainan atau memberikan efek sinergis terhadap yanglain.
Preparat golongan PRT analog nukleosida menghambat beberapa proses
polimerisasi
deoxyribo nucleic adid
(DNA) sel termasuk sintesis DNA yang tergantung pada
ribonucleicacid
(RNA) pada saat terjadi
reverse
transkripsi; sedangkan PRT analog non-nukleosida secaraselektif menghambat
proses
reverse
transkripsi HIV-1. Penghambat protease bekerja dengan caramenghambat sintesis
protein inti HIV.
United States Public Health Service
(USPHS) dan WHO menganjurkan kombinasi ARV yangdipakai sebagai
pengobatan pertama kali adalah 2 preparat PRT analog nukleosida dengan PP,atau
2 preparat PRT analog nukleosida dikombinasikan dengan analog non-
nukleosida.Sedangkan kombinasi antara PRT nukleosida, non-nukleosida dengan
PP dipertimbangkansebagai kombinasi pada pengobatan kasus lanjut.Perlu
diperhatikan kombinasi saquinavir dengan ritonavir akan meningkatkan kadar
saquinavir dalam plasma, karena ritonavir menghambat kerja enzim sitokrom
P450. Sedangkanzidovudin (ZDV) dengan stavudin dan efavirenz dengan
saquinavir merupakan kombinasiantagonis satu dengan yang lain. Nevirapin akan
menurunkan berturut-turut kadar dalam plasma saquinavir, ritonavir, indinavir
dan lopinavir jika dikombinasikan, sehingga kombinasiARV ini jangan dilakukan.
5. Factor resiko
Faktor resiko epidemiologis infeksi HIV adalah sebagai berikut :
1. Mempunyai perilaku seksual beresiko tinggi (sekarang atau di masa lalu) yaitu
melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan banyak mitra seksual, dengan
mitra seksual yang diketahui HIV/AIDS, dengan mitra seksual dari daerah dengan
prevalensi HIV/AIDS tinggi atau kontak sek anal.
2. Mempunyai riwayat infeksi menular seksual.
3. Mempunyai riwayat menerima transfusi darah berulang tanpa tes penapisan.
4. Mempunyai riwayat perlukaan kulit, tato, tindik atau sirkumsisi dengan alat
yang tidak steril dan bergantian.
5. Sebagai pemakai narkotik suntik terutama pemakaian jarum bersama secara
bergantian tanpa sterilisasi yang memadai.
STEP 4
1. Diagnosis
ANAMNESIS
Tanyakan pada pasien apakah ia mengalami tanda dan gejala dibawah ini:
a. Demam tinggi selama 5 – 7 hari
b. Mual, muntah, tidak ada nafsu makan, diare, konstipasi.
d. Perdarahan terutama perdarahan bawah kulit, ptechie, echymosis, hematoma.
e. Epistaksis, hematemisis, melena, hematuri.
f. Nyeri otot, tulang sendi, abdoment, dan ulu hati.
g. Sakit kepala.
h. Pembengkakan sekitar mata.
i. Pembesaran hati, limpa, dan kelenjar getah bening.
j. Tanda-tanda renjatan (sianosis, kulit lembab dan dingin, tekanan darah
k.menurun, gelisah, capillary refill lebih dari dua detik, nadi cepat dan lemah)
Ada berbagai tempat untuk pergi untuk tes darah HIV, seperti:
- klinik kesehatan seksual, juga disebut obat genitourinari (GUM) klinik
- klinik dijalankan oleh Terrence Higgins Trust
- beberapa GP operasi
- beberapa orang kontrasepsi dan muda klinik
- lokal obat lembaga
- di klinik antenatal , jika Anda sedang hamil
- sebuah klinik swasta, di mana Anda akan harus membayar.
TANDA DAN GEJALA INFEKSI HIV DAN AIDS.
Fase penyakit
Manifestasi klinis
Penyakit HIV akut
Demam, sakit kepala, sakit tenggorokan dengan faringitis, limfadenopati
generalisata, eritema
Masa laten klinis
Berkurangnya jumlah sel T CD4+
AIDS
Infeksi oportunistik
Protozoa (Pneumocystis carinii, Cryptosporidium)
Bakteri (Toxoplasma, Mycobacterium avium, Nocardia, Salmonella)
Jamur (Candida, Cryptococcus neoformans, Coccidioides immitis, Histoplasma
capsulatum)
Virus (cytomegalovirus, herpes simplex, varicella-zoster)
Tumor
Limfoma (termasuk limfoma sel B yang berhubungan dengan EBV)
Sarkoma Kaposi
Karsinoma servikal
Ensefalopati
Wasting syndrome.
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis infeksi HIV pada anak bervariasi dari asimtomatis sampai
penyakit berat yang dinamakan AIDS. AIDS pada anak terutama terjadi pada
umur muda karena sebagian besar (>80%) AIDS pada anak akibat transmisi
vertikal dari ibu ke anak. Lima puluh persen kasus AIDS anak berumur <>
Gejala klinis yang terlihat adalah akibat adanya infeksi oleh mikroorganisme yang
ada di lingkungan anak. Oleh karena itu, manifestasinya pun berupa manifestasi
nonspesifik berupa gagal tumbuh, berat badan menurun, anemia, panas berulang,
limfadenopati, dan hepatosplenomegali. Gejala yang menjurus kemungkinan
adanya infeksi HIV adalah adanya infeksi oportunistik, yaitu infeksi dengan
kuman, parasit, jamur, atau protozoa yang lazimnya tidak memberikan penyakit
pada anak normal. Karena adanya penurunan fungsi imun, terutama imunitas
selular, maka anak akan menjadi sakit bila terpajan pada organisme tersebut, yang
biasanya lebih lama, lebih berat serta sering berulang. Penyakit tersebut antara
lain kandidiasis mulut yang dapat menyebar ke esofagus, radang paru karena
Pneumocystis carinii, radang paru karena mikobakterium atipik, atau
toksoplasmosis otak. Bila anak terserang Mycobacterium tuberculosis,
penyakitnya akan berjalan berat dengan kelainan luas pada paru dan otak. Anak
sering juga menderita diare berulang.
Manifestasi klinis lainnya yang sering ditemukan pada anak adalah pneumonia
interstisialis limfositik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan oleh
HIV pada jaringan paru. Manifestasi klinisnya berupa hipoksia, sesak napas, jari
tabuh, dan limfadenopati. Secara radiologis terlihat adanya infiltrat
retikulonodular difus bilateral, terkadang dengan adenopati di hilus dan
mediastinum.
Manifestasi klinis yang lebih tragis adalah yang dinamakan ensefalopati kronik
yang mengakibatkan hambatan perkembangan atau kemunduran ketrampilan
motorik dan daya intelektual, sehingga terjadi retardasi mental dan motorik.
Ensefalopati dapat merupakan manifestasi primer infeksi HIV. Otak menjadi
atrofi dengan pelebaran ventrikel dan kadangkala terdapat kalsifikasi. Antigen
HIV dapat ditemukan pada jaringan susunan saraf pusat atau cairan serebrospinal.
Stadium Klinis WHO untuk Bayi dan Anak yang Terinfeksi HIV a, b
Stadium klinis 1
Asimtomatik
Limfadenopati generalisata persisten
Stadium klinis 2
Hepatosplenomegali persisten yang tidak dapat dijelaskana
Erupsi pruritik papular
Infeksi virus wart luas
Angular cheilitis
Moluskum kontagiosum luas
Ulserasi oral berulang
Pembesaran kelenjar parotis persisten yang tidak dapat dijelaskan
Eritema ginggival lineal
Herpes zoster
Infeksi saluran napas atas kronik atau berulang (otitis media, otorrhoea, sinusitis,
tonsillitis )
Infeksi kuku oleh fungus
Stadium klinis 3
Malnutrisi sedang yang tidak dapat dijelaskan, tidak berespons secara adekuat
terhadap terapi standara
Diare persisten yang tidak dapat dijelaskan (14 hari atau lebih ) a
Demam persisten yang tidak dapat dijelaskan (lebih dari 37.5o C intermiten atau
konstan, > 1 bulan) a
Kandidosis oral persisten (di luar saat 6- 8 minggu pertama kehidupan)
Oral hairy leukoplakia
Periodontitis/ginggivitis ulseratif nekrotikans akut
TB kelenjar
TB Paru
Pneumonia bakterial yang berat dan berulang
Pneumonistis interstitial limfoid simtomatik
Penyakit paru-berhubungan dengan HIV yang kronik termasuk bronkiektasis
Anemia yang tidak dapat dijelaskan (<8g/dl>
Stadium klinis 4b
Malnutrisi, wasting dan stunting berat yang tidak dapat dijelaskan dan tidak
berespons terhadap terapi standara
Pneumonia pneumosistis
Infeksi bakterial berat yang berulang (misalnya empiema, piomiositis, infeksi
tulang dan sendi, meningitis, kecuali pneumonia)
Infeksi herpes simplex kronik (orolabial atau kutaneus > 1 bulan atau viseralis di
lokasi manapun)
TB ekstrapulmonar
Sarkoma Kaposi
Kandidiasis esofagus (atau trakea, bronkus, atau paru)
Toksoplasmosis susunan saraf pusat (di luar masa neonatus)
Ensefalopati HIV
Infeksi sitomegalovirus (CMV), retinitis atau infeksi CMV pada organ lain,
dengan onset umur > 1bulan
Kriptokokosis ekstrapulmonar termasuk meningitis
Mikosis endemik diseminata (histoplasmosis, coccidiomycosis)
Kriptosporidiosis kronik (dengan diarea)
Isosporiasis kronik
Infeksi mikobakteria non-tuberkulosis diseminata
Kardiomiopati atau nefropati yang dihubungkan dengan HIV yang simtomatik
Limfoma sel B non-Hodgkin atau limfoma serebral
Progressive multifocal leukoencephalopathy
Catatan:
a. Tidak dapat dijelaskan ebrarti kondisi tersebut tidak dapat dibuktikan oleh
sebab yang lain
b. Beberapa kondisi khas regional seperti Penisiliosis dapat disertakan pada
kategori ini
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan assay antibodi dapat mendeteksi antibodi terhadap HIV.
Tetapi karena antibodi anti HIV maternal ditransfer secara pasif selama kehamilan
dan dapat dideteksi hingga usia anak 18 bulan, maka adanya hasil antibodi yang
positif pada anak kurang dari 18 bulan tidak serta merta menjadikan seorang anak
pasti terinfeksi HIV. Karenanya diperlukan uji laboratorik yang mampu
mendeteksi virus atau komponennya seperti:
- assay untuk mendeteksi DNA HIV dari plasma
- assay untuk mendeteksi RNA HIV dari plasma
- assay untuk mendeteksi antigen p24 Immune Complex Dissociated (ICD)
Teknologi uji virologi masih dianggap mahal dan kompleks untuk negara
berkembang. Real time PCR(RT-PCR) mampu mendeteksi RNA dan DNA HIV,
dan saat ini sudah dipasarkan dengan harga yang jauh lebih murah dari
sebelumnya. Assay ICD p24 yang sudah dikembangkan hingga generasi keempat
masih dapat dipergunakan secara terbatas. Evaluasi dan pemantauan kualitas uji
laboratorium harus terus dilakukan untuk kepastian program. Selain sampel darah
lengkap (whole blood) yang sulit diambil pada bayi kecil, saat ini juga telah
dikembangkan di negara tertentu penggunaan dried blood spots (DBS) pada kertas
saring tertentu untuk uji DNA maupun RNA HIV. Tetapi uji ini belum
dipergunakan secara luas, masih terbatas pada penelitian.
Meskipun uji deteksi antibodi tidak dapat digunakan untuk menegakkan
diagnosis definitif HIV pada anak yang berumur kurang dari 18 bulan, antibodi
HIV dapat digunakan untuk mengeksklusi infeksi HIV, paling dini pada usia 9
sampai 12 bulan pada bayi yang tidak mendapat ASI atau yang sudah dihentikan
pemberian ASI sekurang-kurangnya 6 minggu sebelum dilakukannya uji antibodi.
Dasarnya adalah antibodi maternal akan sudah menghilang dari tubuh anak pada
usia 12 bulan.
Pada anak yang berumur lebih dari 18 bulan uji antibodi termasuk uji
cepat (rapid test) dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi HIV sama seperti
orang dewasa.
Pemeriksaan laboratorium lain bersifat melengkapi informasi dan
membantu dalam penentuan stadium serta pemilihan obat ARV. Pada
pemeriksaan darah tepi dapat dijumpai anemia, leukositopenia, limfopenia, dan
trombositopenia. Hal ini dapat disebabkan oleh efek langsung HIV pada sel asal,
adanya pembentukan autoantibodi terhadap sel asal, atau akibat infeksi
oportunistik.
Jumlah limfosit CD4 menurun dan CD8 meningkat sehingga rasio CD4/CD8
menurun. Fungsi sel T menurun, dapat dilihat dari menurunnya respons
proliferatif sel T terhadap antigen atau mitogen. Secara in vivo, menurunnya
fungsi sel T ini dapat pula dilihat dari adanya anergi kulit terhadap antigen yang
menimbulkan hipersensitivitas tipe lambat. Kadar imunoglobulin meningkat
secara poliklonal. Tetapi meskipun terdapat hipergamaglobulinemia, respons
antibodi spesifik terhadap antigen baru, seperti respons terhadap vaksinasi difteri,
tetanus, atau hepatitis B menurun.
- Langkah langkah berikut untuk diagnosa infeksi HIV-AIDS
1. Lakukan tanya jawab segala perihal gejala infeksi oportunistik juga
gejala Kanker yang terkait dengan AIDS serta tanyakan pula mengenai
Perilaku Resiko.
2. Telusuri Perilaku beresiko yang memungkinkan untuk terjadinya
Penularan.
3. Pemeriksaan fisik untuk mencari tanda-tanda infeksi oportunistik dan
kanker yang terkait, serta perhatikan perubahan kelenjar yang terjadi,
pemeiksaan mulu, kulit dan funduskopi untuk melihat perubahan yang
terjadi.
4. Pemeriksaan penunjang Laboratorium, limfosit Total, antibody HIV ,
Pemeriksaan Rontgen.
5. Bila hasil antibody POSITIF maka langkah selanjutnya adalah
pemeriksaan KONFIRMASI dengan metode Westren Blot.
6. Bila hasil Westren Blot memberikan hasil POSITIF maka selanjut
periksalah :
- Kadar CD4
- PPD
- ToksoplasmA
- Serologi CMV
- Serologi STD
- Hepatitis.
- Pap smear.
7. Pemeriksaan Virus Load.
2. DIAGNOSIS BANDING HIV AIDS DI KASUS
Kandidiasis oral :
Kandidiasis oral merupakan salah satu penyakit jaringan lunak mulut yang
mulai banyak ditemukan, terutama sekali disebabkan karena kemajuan ilmu
pengetahuan yang menghasilkan berbagai obat baru seperti antibiotik spektrum
luas dan karena gangguan sistem kekebalan seperti penderita HIV/AIDS atau
penderita kanker yang menjalani kemoterapi.
Kandidiasis oral merupakan infeksi superfisial pada mulut yang
disebabkan oleh jamur dari genus Kandida.1-3,6 Sejauh ini, Kandida albikan
merupakan yang paling patogen dari semua spesies Kandida dan menjadi etiologi
utama kandidiasis oral.1,6,7 Fakta bahwa kandidiasis oral merupakan infeksi
jamur yang paling banyak ditemukan tidaklah mengherankan mengingat hampir
50% dari rongga mulut manusia yang sehat membawa jamur ini sebagai
komponen normal mikroflora mulut.
Sebenarnya Kandida pada rongga mulut individu yang sehat merupakan
organisme komensal yang hidup bersama dengan mikrobial flora mulut dalam
keadaan seimbang. Tetapi, jika terjadi gangguan pada keseimbangan antara
Kandida dengan anggota mikrobial mulut lainnya, maka organisme ini dapat
berproliferasi, berkolonisasi, menginvasi jaringan dan menghasilkan infeksi
oportunistik yang dikenal sebagai kandidiasis oral.
Limfadenopati Generalisata
Limfadenopati berarti penyakit pada kelenjar atau aliran getah bening
(sistem limfatik). Biasanya, penyakit tersebut terlihat sebagai kelenjar getah
bening menjadi bengkak, sering tanpa rasa sakit. Pembengkakan kelenjar itu
disebabkan oleh reaksi sistem kekebalan tubuhterhadap berbagai infeksi, termasuk
HIV dan TB.
Ada ratusan kelenjar getah bening di tubuh kita, dengan ukuran antara
sebesar kepala peniti hingga biji kacang. Organ ini sangat penting untuk fungsi
sistem kekebalan tubuh, dengan tugas menyerang infeksi dan menyaring cairan
getah bening. Sebagian besar kelenjar getah bening ada di daerah tertentu,
misalnya mulut, leher, lengan bawah, ketiak, dan kunci paha.
Segera setelah seseorang terinfeksi HIV, kebanyakan virus keluar dari darah.
Sebagian melarikan diri ke sistem limfatik (getah bening) untuk menyembunyikan
diri dalam sel di kelenjar getah bening. Beberapa ilmuwan menganggap bahwa
hanya 2% HIV ada dalam darah. Sisanya ada di sistem limfatik, termasuk limpa, di
lapisan usus dan di otak.
Infeksi HIV sendiri dapat menyebabkan limfadenopati atau pembengkakan
kelenjar getah bening. Limfadenopati adalah salah satu gejala umum infeksi primer
HIV. Infeksi primer atauakut adalah penyakit yang dialami oleh sebagian orang
beberapa minggu setelah tertular HIV – lihat Lembaran Informasi (LI) 103. Gejala
lain termasuk demam dan sakit kepala, dan sering kali penyakit ini dianggap flu.
Walaupun limfadenopati sering disebabkan HIV sendiri, penyakit ini dapat gejala
infeksi lain, termasuk TB di luar paru, sifilis, histoplasmosis, virus
sitomegalia, sarkoma Kaposi, limfomadan kelainan kulit.
Apa Limfadenopati Generalisata yang Persisten Itu?
Limfadenopati generalisata yang persisten (persistent generalized
lymphadenopathy/PGL) adalah limfadenopati pada beberapa kelenjar getah
bening yang bertahan lama. PGL adalah gejala khusus infeksi HIV yang timbul
pada lebih dari 50% Odha dan sering disebabkan oleh infeksi HIV sendiri.
Batasan limfadenopati pada infeksi HIV adalah sbb.:
Melibatkan sedikitnya dua kelompok kelenjar getah bening;
Sedikitnya dua kelenjar yang simetris berdiameter lebih dari 1cm dalam setiap
kelompok;
Berlangsung lebih dari satu bulan; dan
Tidak ada infeksi lain yang menyebabkannya.
Pembengkakan kelenjar getah bening ini bersifat tidak sakit, simetris (kiri-kanan
sama), dan kebanyakan terdapat di leher bagian belakang dan depan, di bawah
rahang bawah, di ketiak serta di tempat lain, tidak termasuk kunci paha. Biasanya
kulit pada kelenjar yang bengkak karena PGL akibat HIV tidak berwarna merah.
Kelenjar yang bengkak kadang kala sulit dilihat, dan lebih mudah ditemukan
melalui menyentuhnya. Biasanya kelenjar ini berukuran antara ukur kacang
polong dan buah anggur, dan bila diraba, merasa seperti buah anggur.
PGL berkembang secara pelan dan mungkin dapat menghilang pada saat jumlah
CD4 menurun menjelang 200.
Kurang lebih 30% orang dengan PGL juga mengalami splenomegali (pembesaran
limpa).
Diare Kronis
Diare terkait HIV berasal dari pilihan untuk HIV berada pada saluran
pencernaan – perut dan usus. Bahkan, seluruh sel sistem kekebalan tubuh hidup di
dinding usus, bukan dalam aliran darah sebagaimana yang dikira orang selama ini.
Dengan ketertarikkan virus terhadap sel ini, jaringan usus menjadi sasaran utama
terhadap infeksi. Penelitian menentukan bahwa usus terinfeksi HIV secara luas
segera setelah infeksi awal dan terus menjadi pusat infeksi yang cukup besar
walau dengan viral load ‘tidak terdeteksi’ dalam darah. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh Dr. Peter Anton – direktur Center for HIV Prevention Research,
UCLA AIDS Institute, “apabila virus mempunyai pilihan antara sel CD4 dalam
darah dan sel CD4 di usus, ia akan memilih usus, tempat tipe sel kekebalan aktif
yang lebih disukainya.”
Infeksi yang terus berlangsung ini kemudian dapat memicu masalah lain
secara bersamaan. Pada orang lain yang sehat, orang HIV-negatif, diare sering
disebabkan oleh penyebab tunggal. Tidak demikian dengan HIV, yaitu berbagai
faktor yang luas dan sering berlangsung secara bersamaan. Hal ini membuat
diagnosis secara hati-hati dan menyeluruh adalah penting. (Kemampunan untuk
berbicara langsung dengan dokter kita mengenai tinja kita – jumlah, konsistensi
bahkan baunya – merupakan aset yang sangat bernilai di sini.) Antara lima dan
tujuh penyebab yang mungkin pada Odha, Dr. Anton mencatat, menjadikannya
penting untuk dokter dan pasien untuk memahami bahwa berbagai intervensi
mungkin diperlukan sebelum melihat hasil yang dramatis. Dia mengatakan,
“apabila ada lima penyebabnya dan kita mengobati salah satunya dengan
keberhasilan 100%, kita mungkin masih belum melihat penurunan masalah secara
langsung, walaupun sesungguhnya kita sudah berhasil melaju selangkah menuju
pengobatannya.”
Infeksi usus
Langkah pertama pada umumnya adalah skrining terhadap infeksi awal
yang disebabkan oleh bakteri, parasit atau virus – khususnya pada diare berat
yang terjadi secara tiba-tiba atau disertai gejala seperti nyeri perut dan darah pada
tinja. Giardia, amoebiasis, kriptosporidium, salmonela, sigela, bakteri kampilo,
atau organisme lain dapat diperoleh dari makanan, minuman yang tercemar atau
dari orang lain yang terinfeksi (termasuk melalui hubungan seks oral-dubur atau
‘rimming’). Bakteri tersebut dapat lebih ganas pada orang yang sistem
kekebalannya lemah. Penyakit berat akibat beberapa organisme (contohnya
kriptosporidium) sebenarnya adalah kondisi terdefinisi AIDS, dan penyakit yang
mengancam jiwa adalah jauh lebih sedikit pada orang dengan jumlah CD4 lebih
tinggi. Tetapi, mereka yang mempunyai riwayat penyakit sebelumnya atau yang
jumlah CD4-nya pernah rendah mungkin lebih berisiko. Tes diagnostik, biakan
yang diambil dari contoh tinja, akan menentukan pengobatan antiinfeksi secara
tepat.
Efek samping obat
Setelah mengetahui atau menangani infeksi awal sebagai penyebab,
pengobatan biasanya adalah langkah berikut. Diare mungkin adalah efek samping
terhadap serangkaian jenis antiretroviral (ARV). Dengan adanya terapi ARV
(ART), apabila berhasil menekan viral load, adalah pertahanan yang utama
terhadap dampak penyakit HIV, ART juga mungkin memberi tantangan. Dokter
dan pasien mungkin enggan untuk mengganggu kombinasi obat yang sudah
berhasil. Walau demikian, perubahan pengobatan sering dimungkinkan. Dr. Anita
Rachlis, dari Division of Infectious Diseases, Rumah Sakit Sunnybrook dan
Universitas Toronto, Kanada mengatakan bahwa “pertanyaannya adalah, seberapa
jauh obat tersebut mengganggu kehidupan kita? Apabila masalahnya dapat
ditahan, kita mungkin ingin bertahan dengan pengobatan saat ini dan
menatalaksanakan gejalanya atau menerimanya, apabila mungkin.” Dan apabila
tidak? “Maka kita harus mencari apakah mungkin untuk beralih ke pengobatan
lain. Sebagai contoh, apabila kita [masih] memakai kapsul lopinavir, kita dapat
mencoba menggantinya dengan yang tablet.” Walaupun ARV tertentu, misalnya
lopinavir dan nelfinavir adalah yang selalu dicurigai, reaksinya mungkin cukup
individu. “Saya mempunyai pasien yang diare akibat efavirenz yang tidak akan
pernah kita duga,” Dr. Rachlis mencatat, “sehingga kita mencari alasan lain, dan
apabila pengobatannya bermasalah, maka ganti apabila kita mampu. Apabila kita
memiliki pilihan lain yang tepat secara medis, yaitu yang kita tidak resistan
terhadap obat tersebut atau tidak akan menimbulkan masalah misalnya interaksi
obat, kita dapat mencobanya. Apabila pilihan kita terbatas, kita mungkin harus
bertahan dengan yang sedang dipakai dan mencoba menatalaksanakan gejalanya.”
Pencernaan dan saluran perut-usus
Proses pencernaan mengambil makanan yang kita makan, menguraikan
sesuai dengan unsurnya, dan menyaring gizi yang dibutuhkan tubuh kita.
Sistem pencernaan ini terjadi dalam saluran perut-usus (gastrointestinal/GI)
yang termasuk perut, usus kecil dan besar. Pencernaan sesungguhnya
dimulai saat makanan dikunyah dan ditelan, makanan dihaluskan lebih
lanjut dalam lambung oleh tambahan enzim pencernaan.
Hasilnya – adonan gizi yang kental – kemudian disalurkan ke usus.
Sebagian besar gizi yang diperlukan tubuh diserap dalam usus halus,
sisanya diteruskan ke usus besar, dan dikeluarkan dari tubuh. Proses
pencernaan yang normal membuang hampir 11 liter cairan ke dalam usus
besar setiap hari. Usus besar yang sehat akan menyerap kembali sebagian
besar air ini, mencegah dehidrasi dan menghasilkan bentuk tinja yang baik
sebagaimana yang diharapkan. Luka atau radang usus akan membuang air
begitu saja, mengakibatkan diare.
Waspadai apa yang kita makan
Lemak dalam makanan secara khusus sering menimbulkan masalah.
“Kami melihat masalah pencernaan lemak pada sejumlah besar Odha,” dikatakan
oleh Peter Anton. Hal ini mungkin karena enzim pankreas yang tidak cukup untuk
mencerna lemak. Lebih sering, alasan yang tepat belum dipahami secara jelas,
tetapi hasil akhirnya adalah sama: lemak tidak terserap secara baik dalam saluran
pencernaan. “Untuk setiap seratus gram lemak yang kita makan, hanya kurang
lebih nol hingga tujuh gram yang akhirnya dikeluarkan,” dikatakan oleh Anton.
Namun, pada Odha, mungkin mencapai 15 hingga 40 gram, menyebabkan BAB
yang berminyak, sering, meledak dan bau. “Apabila lemak tidak terserap di
saluran pencernaan bagian atas, lemak turun ke usus besar yang bukanlah
tempatnya,” Anton menjelaskan. “Bakteri senang berada di sana: mereka
memakannya.” Gas busuk dan produk buangan lain yang dihasilkan lebih
merusak usus, dampak selanjutnya yang mengakibatkan lebih banyak diare.
Tetapi, karena lemak adalah bagian penting dari makanan, Anton
menyarankan apa yang juga disarankan oleh banyak ahli gizi: makanan sedikit,
lebih sering. Makan lima atau enam kali sehari porsi sedikit, plus makanan kecil
seperti kacang-kacangan, “seolah-olah menyusupkan lemak ke dalam sistem”
tanpa memperbesar kemampuan sistem pencernaan untuk memrosesnya. Enzim
pankreas dapat diperoleh dalam bentuk suplemen.
3. Pathogenesis :
Infeksi HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune
Deficiency Syndrome) pertama kali dilaporkan di Amerika pada tahun 1981 pada
orang dewasa homoseksual, sedangkan pada anak tahun 1983. Enam tahun
kemudian (1989), AIDS sudah merupakan penyakit yang mengancam kesehatan
anak di Amerika. Di seluruh dunia, AIDS menyebabkan kematian pada lebih dari
8,000 orang setiap hari saat ini, yang berarti 1 orang setiap 10 detik. Karena itu
infeksi HIV dianggap sebagai penyebab kematian tertinggi akibat satu jenis agen
infeksius.
AIDS pada anak pertama kali dilaporkan oleh Oleske, Rubinstein dan
Amman pada tahun 1983 di Amerika Serikat. Sejak itu laporan jumlah AIDS pada
anak di Amerika makin lama makin meningkat. Pada bulan Desember 1989 di
Amerika telah dilaporkan 1995 anak yang berumur kurang dari 13 tahun yang
menderita AIDS dan pada bulan Maret 1993 terdapat 4.480 kasus. Jumlah ini
merupakan l,5 % dari seluruh jumlah kasus AIDS yang dilaporkan di Amerika. Di
Eropa sampai tahun 1988 terdapat 356 anak dengan AIDS. Kasus infeksi HIV
terbanyak pada orang dewasa maupun anak-anak tertinggi di dunia adalah di
Afrika terutama negara-negara Afrika Sub-Sahara.
Sejak dimulainya epidemi HIV, AIDS telah mematikan lebih dari 25 juta
orang; lebih dari 14 juta anak kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya
akibat AIDS. Setiap tahun diperkirakan 3 juta orang meninggal karena AIDS;
500,000 diantaranya adalah anak di bawah umur 15 tahun. Setiap tahun pula
terjadi infeksi baru pada 5 juta orang terutama di negara terbelakang dan
berkembang; 700,000 diantaranya terjadi pada anak-anak. Dengan angka
transmisi sebesar ini maka dari 37.8 juta orang pengidap infeksi HIV/AIDS pada
tahun 2005, terdapat 2.1 juta anak-anak di bawah 15 tahun.
Infeksi HIV
Infeksi HIV adalah penyakit yang diakibatkan oleh infeksi virus HIV
(Human Immunodeficiency Virus). AIDS adalah penyakit yang menunjukkan
adanya sindrom defisiensi imun selular sebagai akibat infeksi HIV.
Cara paling efisien dan efektif untuk menanggulangi infeksi HIV pada anak
secara universal adalah dengan mengurangi penularan dari ibu ke anaknya
(mother-to-child transmission (MTCT). Namun demikian setiap hari terjadi 1800
infeksi baru pada anak umur kurang dari 15 tahun, 90% nya di negara
berkembang atau terbelakang dan melalui penularan dari ibu ke anaknya. Upaya
pencegahan transmisi HIV pada anak menurut WHO dilakukan melalui 4 strategi,
yaitu mencegah penularan HIV pada wanita usia subur, mencegah kehamilan
yang tidak direncanakan pada wanita HIV, mencegah penularan HIV dari ibu HIV
hamil ke anak yang akan dilahirkannya dan memberikan dukungan, layanan dan
perawatan berkesinambungan bagi pengidap HIV. Pemberian obat Anti Retroviral
(ARV) untuk anak dan bayi yang terinfeksi karenanya menjadi satu jalan untuk
menanggulangi pandemi HIV pada anak di samping upaya untuk mencegah
penularan infeksi HIV pada anak dan bayi.
Penyebab penyakit AIDS adalah HIV yaitu virus yang tergolong ke dalam
keluarga retrovirus subkelompok lentivirus, seperti virus Visna pada biri-biri,
sapi, dan feline serta Simian Immunodeficiency Virus (SIV). Lentivirus mampu
menyebabkan efek sitopatik yang singkat dan infeksi laten dalam jangka panjang,
juga menyebabkan penyakit progresif dan fatal termasuk wasting syndrom dan
degenerasi susunan saraf pusat.
Perjalanan penyakit HIV
Perkembangan penyakit AIDS tergantung dari kemampuan virus HIV
untuk menghancurkan sistem imun pejamu dan ketidakmampuan sistem imun
untuk menghancurkan HIV.
Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi
sempurna oleh respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan
limfoid perifer yang kronik dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti
dengan memeriksa jumlah virus di plasma dan jumlah sel T CD4+ dalam darah.
Infeksi primer HIV pada fetus dan neonatus terjadi pada situasi sistim imun
imatur, sehingga penjelasan berikut merupakan ilustrasi patogenesis yang khas
dapat diikuti pada orang dewasa.
Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan
tubuh lainnya dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang
diperantarai oleh reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya
virus, sel T CD4+ dan monosit di darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di
jaringan mukosa merupakan sel yang pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat
masuknya virus akan menangkap virus kemudian bermigrasi ke kelenjar getah
bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yang berperan dalam pengikatan
envelope HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam penyebaran HIV ke
jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan HIV ke sel T
CD4+ melalui kontak langsung antar sel.
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam
jumlah banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini
menyebabkan viremia disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda
nonspesifik seperti infeksi virus lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan
menginfeksi sel T subset CD4 atau T helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan
limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi HIV, terjadi respons imun adaptif baik
humoral maupun selular terhadap antigen virus. Respons imun dapat mengontrol
sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang menyebabkan berkurangnya
viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama.
Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening
dan limpa menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem
imun masih kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul
manifestasi klinis infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis
(clinical latency period). Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel
T perifer tidak mengandung HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+
dalam jaringan limfoid terus berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang
bersirkulasi semakin berkurang. Lebih dari 90% sel T yang berjumlah 1012
terdapat dalam jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan menghancurkan 1-2 x 109
sel T CD4+ per hari. Pada awal penyakit, tubuh dapat menggantikan sel T CD4+
yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun, siklus infeksi
virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya
menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons
imun terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi
jaringan limfoid. Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang
mengaktivasi sel T, seperti antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang
diproduksi sistem imun alamiah sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat
efektif untuk memacu produksi HIV. Jadi, pada saat sistem imun berusaha
menghancurkan mikroba lain, terjadi pula kerusakan terhadap sistem imun oleh
HIV.
Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS
dimana terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+
dalam darah kurang dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien
AIDS menderita infeksi oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting
syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV), dan degenerasi susunan saraf pusat
(ensefalopati HIV).
MASA INKUBASI DAN PENULARAN
Masa inkubasi pada orang dewasa berkisar 3 bulan sampai terbentuknya
antibodi anti HIV. Manifestasi klinis infeksi HIV dapat singkat maupun bertahun-
tahun kemudian. Khusus pada bayi di bawah umur 1 tahun, diketahui bahwa
viremia sudah dapat dideteksi pada bulan-bulan awal kehidupan dan tetap
terdeteksi hingga usia 1 tahun. Manifestasi klinis infeksi oportunistik sudah dapat
dilihat ketika usia 2 bulan.
Cara penularan HIV yang paling penting pada anak adalah dari ibu
kandungnya yang sudah mengidap HIV baik saat sebelum dan sesudah
kehamilan. Penularan lain yang juga penting adalah dari transfusi produk darah
yang tercemar HIV, kontak seksual dini pada perlakuan salah seksual atau
perkosaan anak oleh penderita HIV, prostitusi anak, dan sebab-sebab lain yang
buktinya sangat sedikit.
Meskipun HIV dapat ditemukan pada cairan tubuh pengidap HIV seperti
air ludah (saliva) dan air mata serta urin, namun ciuman, berenang di kolam
renang atau kontak sosial seperti pelukan dan berjabatan tangan, serta dengan
barang yang dipergunakan sehari-hari bukanlah merupakan cara untuk penularan.
Oleh karena itu, seorang anak yang terinfeksi HIV tetapi belum memberikan
gejala AIDS tidak perlu dikucilkan dari sekolah atau pergaulan.
Ibu hamil yang terinfeksi HIV dapat menularkan virus tersebut ke bayi
yang dikandungnya. Cara transmisi ini dinamakan juga transmisi secara vertikal.
Transmisi dapat terjadi melalui plasenta (intrauterin) intrapartum, yaitu pada
waktu bayi terpapar dengan darah ibu atau sekret genitalia yang mengandung
HIVselama proses kelahiran, dan post partum melalui ASI. Transmisi dapat
terjadi pada 20-50% kasus.
Faktor prediktor penularan adalah stadium infeksi ibu, kadar Limfosit T
CD4 dan jumlah virus pada tubuh ibu, penyakit koinfeksi hepatitis B, CMV atau
penyakit menular seksual lain pada ibu, serta apakah ibu pengguna narkoba suntik
sebelumnya dan tidak minum obat ARV selama hamil. Proses intrapartum yang
sulit juga akan meningkatkan transmisi, yaitu lamanya ketuban pecah, persalinan
per vaginam dan dilakukannya prosedur invasif pada bayi. Selain itu prematuritas
akan meningkatkan angka transmisi HIV pada bayi.
HIV dapat diisolasi dari ASI pada ibu yang mengandung HIV di dalam
tubuhnya baik dari cairan ASI maupun sel-sel yang berada dalam cairan ASI
(limfosit, epitel duktus laktiferus). Risiko untuk tertular HIV melalui ASI adalah
11-29%. Bayi yang lahir dari ibu HIV (+) dan mendapat ASI tidak semuanya
tertular HIV, dan hingga kini belum didapatkan jawaban pasti; tetapi diduga IgA
yang terlarut berperan dalam proses pengurangan antigen. WHO menganjurkan
untuk negara dengan angka kematian bayi tinggi dan akses terhadap pengganti air
susu ibu rendah, pemberian ASI eksklusif sebagai pilihan cara nutrisi bagi bayi
yang lahir dari ibu HIV (+). Transmisi melalui perawatan ibu ke bayinya belum
pernah dilaporkan.
Penularan dapat terjadi melalui transfusi darah yang mengandung HIV
atau produk darah yang berasal dari donor yang mengandung HIV. Dengan sudah
dilakukannya skrining darah donor untuk HIV, maka transmisi melalui cara ini
menjadi jauh berkurang.
Penularan melalui cara ini terutama ditemukan pada penyalahguna obat
intravena yang menggunakan jarum suntik bersama. Sekali tertulari, maka
seorang pengguna akan dapat menulari pasangannya melalui hubungan seksual.
Untuk mengantisipasi tersebarnya aneka penyakit melalui cara ini, di banyak
negara maju sudah dilakukan program harm reduction bagi pengguna narkoba
dengan membagikan jarum suntik steril pada pemakai.
Penularan cara ini ditemukan pada anak remaja yang berganti-ganti
pasangan seksual, atau korban perkosaan, atau prostitusi anak. Penderita AIDS
yang berumur 20-an mendapat infeksi HIV pada masa remaja.
4. Penatalaksanaan
PILIHAN OBAT ARV
Dengan semakin meningkatnya pengidap HIV dan kasus AIDS yang memerlukan
terapi antiretroviral (ARV), maka strategi penanggulangan HIV dan AIDS
dilaksanakan dengan memadukan upaya pencegahan dengan upaya perawatan,
dukungan serta pengobatan.
Anti retroviral untuk anak harus memenuhi syarat farmakokinetik, formulasi yang
tepat untuk anak, dan pembuatan dosis yang tepat menurut umur. Selain itu juga
faktor yang berpengaruh dalam pemberian ARV adalah potensi obat, kompleksitas
pemberian (frekuensi dosis, hubungannya dengan makanan dan minuman) dan efek
samping.
Terdapat 5 kelas obat ARV hingga saat ini, yaitu yang tergolong nucleoside reverse
transcriptase inhibitor (NRTI), non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor
(NNRTI), protease inhibitor (PI), anti integrase, dan fusion entry inhibitor. Umumnya
rekomendasi pemakaian ARV untuk anak didasarkan pada studi efikasi pada orang
dewasa dan didukung oleh penelitian keamanan dan farmakokinetik. Penggunaan
ARV pada anak paling tidak 3 obat dan minimal 2 kelas obat yang berbeda. Panduan
obat yang banyak dianut adalah panduan WHO.
Program terapi ARV di Indonesia mulai berjalan sejak tahun 2004. Untuk
melaksanakan program ini pemerintah menyiapkan pedoman nasional, melatih tenaga
kesehatan, serta menyiapkan obat ARV. WHO merekomendasikan penggunaan obat
ARV lini pertama berupa kombinasi 2 NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama
yang termasuk NRTI adalah Zidovudin/AZT, lamivudin/3TC, stavudin/d4T,
sedangkan NNRTI adalah nevirapin dan efavirenz. Kombinasi obat ARV lini pertama
yang dapat digunakan dapat berupa AZT, 3TC, Nevirapin atau AZT, 3TC, efavirenz
atau d4T, 3TC, nevirapin atau d4T, 3TC.
5. Factor resiko
Perilaku berisiko:
- dalam pemakaian narkotika suntik
- dalam perilaku seksual
- dalam perilaku lain
Perilaku pencegahan:
- dalam pemakaian narkotika suntik
- dalam perilaku seksual
- dalam perilaku lain
Hambatan berperilaku pencegahan:
- dalam pemakaian narkotika suntik
- dalam perilaku seksual
Kontribusi program:
- dalam pemakaian narkotika suntik (methadon, bleaching)
- dalam perilaku seksual (kondom)
Faktor resiko epidemiologis infeksi HIV adalah sebagai berikut :
1. Mempunyai perilaku seksual beresiko tinggi (sekarang atau di masa lalu) yaitu
melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan banyak mitra seksual, dengan
mitra seksual yang diketahui HIV/AIDS, dengan mitra seksual dari daerah dengan
prevalensi HIV/AIDS tinggi atau kontak sek anal.
2. Mempunyai riwayat infeksi menular seksual.
3. Mempunyai riwayat menerima transfusi darah berulang tanpa tes penapisan.
4. Mempunyai riwayat perlukaan kulit, tato, tindik atau sirkumsisi dengan alat
yang tidak steril dan bergantian.
5. Sebagai pemakai narkotik suntik terutama pemakaian jarum bersama secara
bergantian tanpa sterilisasi yang memadai.
STEP 5
LEARNING OBJECTIVE
1. Diagnosis banding HIV AIDS
2. Proteksi penularan HIV AIDS pada janin
3. Patofisiologi HIV AIDS
4. Penatalaksanaan
STEP 6
Price, Sylvia. 2006. Patofisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC
Guyton, A. C., 1983, Fisiologi Kedokteran 2, Jakarta : CV. EGC.
Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi. Jakarta : EGC
W. Sudayo, Aru. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta : Interna
Publishing.
Spiritia.or.id
STEP 7
1.Diagnosis banding AIDS
Limfadenopati
Limfadenopati berarti penyakit pada kelenjar atau aliran getah bening (sistem limfatik).
Biasanya, penyakit tersebut terlihat sebagai kelenjar getah bening menjadi bengkak,
sering tanpa rasa sakit. Pembengkakan kelenjar itu disebabkan oleh reaksi sistem
kekebalan tubuh terhadap berbagai infeksi, termasuk HIV dan TB.
Ada ratusan kelenjar getah bening di tubuh kita, dengan ukuran antara sebesar kepala
peniti hingga biji kacang. Organ ini sangat penting untuk fungsi sistem kekebalan tubuh,
dengan tugas menyerang infeksi dan menyaring cairan getah bening. Sebagian besar
kelenjar getah bening ada di daerah tertentu, misalnya mulut, leher, lengan bawah, ketiak,
dan kunci paha.
Segera setelah seseorang terinfeksi HIV, kebanyakan virus keluar dari darah. Sebagian
melarikan diri ke sistem limfatik (getah bening) untuk menyembunyikan diri dalam sel di
kelenjar getah bening. Beberapa ilmuwan menganggap bahwa hanya 2% HIV ada dalam
darah. Sisanya ada di sistem limfatik, termasuk limpa, di lapisan usus dan di otak.
Infeksi HIV sendiri dapat menyebabkan limfadenopati atau pembengkakan kelenjar getah
bening. Limfadenopati adalah salah satu gejala umum infeksi primer HIV. Infeksi primer
atau akut adalah penyakit yang dialami oleh sebagian orang beberapa minggu setelah
tertular HIV Gejala lain termasuk demam dan sakit kepala, dan sering kali penyakit ini
dianggap flu.
Walaupun limfadenopati sering disebabkan HIV sendiri, penyakit ini dapat gejala infeksi
lain, termasuk TB di luar paru, sifilis, histoplasmosis, virus sitomegalia, sarkoma Kaposi,
limfoma dan kelainan kulit.
Apa Limfadenopati Generalisata yang Persisten Itu?
Limfadenopati generalisata yang persisten (persistent generalized
lymphadenopathy/PGL) adalah limfadenopati pada beberapa kelenjar getah bening yang
bertahan lama. PGL adalah gejala khusus infeksi HIV yang timbul pada lebih dari 50%
Odha dan sering disebabkan oleh infeksi HIV sendiri. Batasan limfadenopati pada infeksi
HIV adalah sbb.:
Melibatkan sedikitnya dua kelompok kelenjar getah bening;
Sedikitnya dua kelenjar yang simetris berdiameter lebih dari 1cm dalam setiap
kelompok;
Berlangsung lebih dari satu bulan; dan
Tidak ada infeksi lain yang menyebabkannya.
Pembengkakan kelenjar getah bening ini bersifat tidak sakit, simetris (kiri-kanan sama),
dan kebanyakan terdapat di leher bagian belakang dan depan, di bawah rahang bawah, di
ketiak serta di tempat lain, tidak termasuk kunci paha. Biasanya kulit pada kelenjar yang
bengkak karena PGL akibat HIV tidak berwarna merah. Kelenjar yang bengkak kadang
kala sulit dilihat, dan lebih mudah ditemukan melalui menyentuhnya. Biasanya kelenjar
ini berukuran antara ukur kacang polong dan buah anggur, dan bila diraba, merasa seperti
buah anggur.
PGL berkembang secara pelan dan mungkin dapat menghilang pada saat jumlah CD4
menurun menjelang 200.Kurang lebih 30% orang dengan PGL juga mengalami
splenomegali (pembesaran limpa).
Bagaimana Limfadenopati Diobati?
Asal jumlah, tempat dan ukuran kelenjar yang bengkak tidak berubah, orang dengan PGL
tidak membutuhkan pengobatan lebih lanjut, selain pemantauan setiap periksa ke dokter.
Perubahan pada ciri kelenjar harus secepatnya dilaporkan ke dokter.
Bila kelenjar menjadi semakin besar, berwarna merah, sakit atau tampaknya berisi cairan
bila diraba, dan dokter mencurigai ada infeksi bakteri, dokter mungkin akan memberi
obat antibiotik. Kalau tidak ada perubahan, dokter mungkin akan melakukan aspirasi
(mengambil contoh kecil dari kelenjar dengan jarum tipis, untuk diperiksa dengan
mikroskop). Aspirasi ini berguna untuk menyingkirkan diagnosis limfoma, limfadenopati
karena sarkoma Kaposi, penyakit jamur, TB atau penyebab yang lain. Bila kelenjar terus
membesar, mungkin dokter akan menyedot cairan isinya dengan jarum kecil (aspirasi)
agar tidak meledak.
Apakah Limfadenopati Tanda AIDS?
Limfadenopati dapat terjadi dari awal infeksi HIV, dan PGL biasanya dialami waktu
belum ada gejala lain, sering pada waktu jumlah CD4 di atas 500. Sebaliknya, hilangnya
PGL dapat menunjukkan kita tidak lama lagi akan masuk tahap AIDS, berarti sebaiknya
kita mempertimbangkan mulai terapi antiretroviral (ART).
Garis Dasar
Limfadenopati sering di antara gejala pertama infeksi HIV, yang dialami waktu infeksi
primer atau akut, beberapa minggu setelah terinfeksi. Penyakit ini ditandai
pembengkakan pada satu atau lebih kelenjar getah bening, biasanya di leher dan ketiak,
tetapi kadang kala di tempat lain. Gejala ini biasanya cepat hilang tanpa diobati. Namun
gejala ini dapat bertahan terus, menjadi PGL.
Limfadenopati generalisata yang persisten (PGL) adalah kelenjar yang bengkak di
sedikitnya dua tempat secara simetris. PGL biasanya dialami waktu tahap infeksi HIV
tanpa gejala, dengan jumlah CD4 di atas 500, dan sering hilang sebagaimana jumlah CD4
menurun menjelang 200.
Selain infeksi HIV sendiri, limfadenopati dapat disebabkan oleh infeksi lain, termasuk
TB di luar paru dan sifilis. Jika ada gejala lain, sebaiknya ada pemeriksaan secara teliti
untuk menyingkirkan alasan lain. Bila tidak ada alasan lain, limfadenopati tidak perlu
diobati.
Limfadenopati tidak berkembang menjadi limfoma (kanker pada sistem limfatik), dan
tidak menunjukkan peningkatan dalam kemungkinan limfoma akan terjadi.
Sindrom diGeorge
adalah kondisi yang disebabkan oleh penghapusan sebagian kromosom 22 sehingga
mengakibatkan terjadinya sejumlah gangguan pada sistem tubuh seperti gagal jantung,
bibir sumbing, fungsi sistem kekebalan tubuh yang buruk, komplikasi yang berkaitan
dengan rendahnya kadar kalsium dalam darah dan gangguan perilaku. Namun
penghapusan sejumlah gen dari kromosom 22 ini biasanya terjadi secara acak dalam
sperma ayah atau sel telur ibu atau bahkan mungkin terjadi saat janin mulai berkembang.
Oleh karena itu, penghapusan ini bisa berulang di hampir seluruh sel tubuh ketika janin
berkembang.
Penyebab
Sindrom DiGeorge disebabkan oleh penghapusan sebagian kromosom 22. Padahal setiap
orang seharusnya memiliki dua salinan kromosom 22 yang diwariskan dari kedua
orangtuanya. Kromosom ini diperkirakan berisi 500-800 gen. Jika seseorang mengidap
sindrom DiGeorge, satu salinan kromosom 22 akan kehilangan sebuah segmen yang
diperkirakan berisi 30-40 gen. Namun banyak dari gen-gen yang hilang ini belum bisa
diidentifikasi secara jelas.
Gejala
Beberapa gejala mungkin takkan terlihat pada saat lahir, tetapi gejala lainnya bisa saja
tidak muncul sampai bayi atau anak-anak usia dini. - Kulit membiru akibat sirkulasi
darah yang kaya oksigen yang buruk (cyanosis) - Mudah lemah dan capek - Gagal
tumbuh/thrive - Gagal menambah berat badan - Kontraksi otot yang buruk - Sesak nafas -
Kejang di sekitar mulut, tangan, lengan atau tenggorokan - Sering terserang infeksi -
Susah makan - Pertumbuhannya tertunda seperti kemampuannya berguling, duduk atau
berdiri - Telat bicara - Susah atau lambat belajar - Bibir sumbing atau ada masalah lain di
langit-langit mulut - Sejumlah fitur wajah yang berbeda dari orang normal seperti telinga
yang lebih rendah dan mata yang lebih lebar
Pengobatan
Tak ada obat khusus untuk sindrom DiGeorge. Pengobatannya hanya ditujukan untuk
mengatasi masalah kritis yang berkaitan dengan sindrom tersebut seperti gagal jantung
atau rendahnya kadar kalsium dalam darah.
Defisiensi imun primer sel T
• Sangat rentan terhadap infeksi virus, jamur dan
protozoa
• Dpt juga menyebabkan gangguan produksi Ig
Aplasia timus kongenital (sindroma di George)
Disebabkan defek dalam perkembangan embrio, baikkelenjar timus maupun
kelenjar paratiroid terkena
Sel T tidak ada / sedikit dalam darah, kelenjar getah bening dan limpa
Kandidiasis mukokutan kronik
Kemampuan sel T yg kurang untuk memproduksi MIF dalam respons terhadap
antigen / kandida
Infeksi jamur bisa non patogenik seperti kandida, albicans pd kulit dan selaput
lendir
Defisiensi kombinasi sel B dan sel T yg berat
Severe combined immunodeficiency disease
Merupakan penyakit akibat gangguan sel T dan sel B
(limfositopenia)
Rentan thd infeksi virus, bakteri, jamur dan protozoaterutama CMV, pneumonitis
karini dan kandida
Sindroma Nezelof
Imunitas sel T nampak jelas menurun
Defisiensi sel B variabel dan disgammaglobulinemia
Respon antibodi terhadap antigen spesifik biasanya rendah atau tidak ada
Rentan terhadap infeksi rekuren berbagai mikroba
Sindroma Wiskott-Aldrich
IgM serum rendah, kadar IgG normal sedang IgA dan IgE meningkat
Jumlah sel B normal, tidak memberikan respon thd antigen polisakarida untuk
memproduksi antibodi
Mengenai usia muda dgn gejala trombositopenia, eksim dan infeksi rekuren
2. Penularan HIV/AIDS dari ibu ke bayi
Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh manusia, dan paling banyak ditemukan pada
darah, cairan sperma dan cairan vagina. Pada cairan tubuh lain bisa juga ditemukan,
misalnya air susu ibu dan juga air liur, tapi jumlahnya sangat sedikit. Sejumlah 75-85%
penularan virus ini terjadi melalui hubungan seks (5-10% diantaranya melalui hubungan
homoseksual), 5-10% akibat alat suntik yang tercemar (terutama para pemakai narkoba
suntik yang dipakai bergantian), 3-5% dapat terjadi melalui transfusi darah yang
tercemar.
Infeksi HIV sebagian besar (lebih dari 80%) diderita oleh kelompok usia produktif (15-50
tahun) terutama laki-laki, tetapi proporsi penderita wanita cenderung meningkat. Infeksi
pada bayi dan anak-anak 90% terjadi dari ibu yang mengidap HIV. sekitar 25-35% bayi
yang dilahirkan ibu yang terinfeksi HIV, akan tertular virus tersebut melalui infeksi yang
terjadi selama dalam kandungan, proses persalinan dan pemberian ASI.
Dengan pengobatan antiretroviral pada ibu hamil trimester terakhir, resiko penularan
dapat dikurangi menjadi 8%.Ibu HIV-positif dapat mengurangi risiko bayinya tertular
dengan:
1. Mengkonsumsi obat antiretroviral (ARV)
Resiko penularan sangat rendah bila terapi ARV (ART) dipakai. Angka penularan hanya
1 persen bila ibu memakai ART. Angka ini kurang-lebih 4 persen bila ibu memakai AZT
selama minggu enam bulan terahkir kehamilannya dan bayinya diberikan AZT selama
enam pertama hidupnya. Namun jika ibu tidak memakai ARV sebelum dia mulai sakit
melahirkan, ada dua cara yang dapat mengurangi separuh penularan ini. AZT dan 3TC
dipakai selama waktu persalinan, dan untuk ibu dan bayi selama satu minggu setelah
lahir. Satu tablet nevirapine pada waktu mulai sakit melahirkan, kemudian satu tablet lagi
diberi pada bayi 2–3 hari setelah lahir. Menggabungkan nevirapine dan AZT selama
persalinan mengurangi penularan menjadi hanya 2 persen. Namun, resistansi terhadap
nevirapine dapat muncul pada hingga 20 persen perempuan yang memakai satu tablet
waktu hamil. Hal ini mengurangi keberhasilan ART yang dipakai kemudian oleh ibu.
Resistansi ini juga dapat disebarkan pada bayi waktu menyusui. Walaupun begitu, terapi
jangka pendek ini lebih terjangkau di negara berkembang.
2. Menjaga proses kelahiran tetap singkat waktunya
Semakin lama proses kelahiran, semakin besar risiko penularan. Bila si ibu memakai
AZT dan mempunyai viral load di bawah 1000, risiko hampir nol. Ibu dengan viral load
tinggi dapat mengurangi risiko dengan memakai bedah Sesar.
3. Menghindari menyusui
Kurang-lebih 14 persen bayi terinfeksi HIV melalui ASI yang terinfeksi. Risiko ini dapat
dihindari jika bayinya diberi pengganti ASI (PASI, atau formula).
Namun jika PASI tidak diberi secara benar, risiko lain pada bayinya menjadi semakin
tinggi. Jika formula tidak bisa dilarut dengan air bersih, atau masalah biaya menyebabkan
jumlah formula yang diberikan tidak cukup, lebih baik bayi disusui. Yang terburuk
adalah campuran ASI dan PASI. Mungkin cara paling cocok untuk sebagian besar ibu di
Indonesia adalah menyusui secara eksklusif (tidak campur dengan PASI) selama 3-4
bulan pertama, kemudian diganti dengan formula secara eksklusif (tidak campur dengan
ASI).
Dampak infeksi HIV terhadap ibu antara lain: timbulnya stigma sosial, diskriminasi,
morbiditas dan mortalitas maternal. Sebagian besar infeksi HIV pada bayi disebabkan
penularan dari ibu, hanya sebagian kecil yang terjadi karena proses transfusi.
Kecenderungan Infeksi HIV pada Perempuan dan Anak Meningkat oleh karenanya
diperlukan berbagai upaya untuk mencegah infeksi HIV pada perempuan, serta mencegah
penularan HIV dari ibu hamil ke bayi yaitu PMTCT (Prevention of Mother to Child HIV
Transmission). Dengan intervensi yang baik maka risiko penularan HIV dari ibu ke bayi
sebesar 25 hingga 45% bisa ditekan menjadi kurang dari 2%. Intervensi tersebut meliputi
4 konsep dasar:
(1) Mengurangi jumlah ibu hamil dengan HIV positif
(2) Menurunkan viral load serendah-rendahnya
(3) Meminimalkan paparan janin/bayi terhadap darah dan cairan tubuh ibu HIV positif
(4) Mengoptimalkan kesehatan dari ibu dengan HIV positif. PREVENTION OF
MOTHER TO CHILD HIV TRANSMISSION
Latar Belakang Pelayanan PMTCT semakin menjadi perhatian dikarenakan epidemi
HIV/AIDS di Indonesia meningkat dengan cepat (jumlah kasus AIDS pada akhir triwulan
II 2008 adalah 12,686 kasus). Infeksi HIV dapat berdampak kepada ibu dan bayi.
Dampak infeksi HIV terhadap ibu antara lain: timbulnya stigma sosial, diskriminasi,
morbiditas dan mortalitas maternal. Besarnya stigma sosial menyebabkan orang hidup
dengan HIV AIDS (Odha) semakin menutup diri tentang keberadaannya, yang pada
akhirnya akan mempersulit proses pencegahan dan pengendalian infeksi. Dampak buruk
dari penularan HIV dari ibu ke bayi dapat dicegah apabila :
(1) Terdeteksi dini
(2) Terkendali (Ibu melakukan perilaku hidup sehat, Ibu mendapatkan ARV profilaksis
secara teratur, Ibu melakukan ANC secara teratur, Petugas kesehatan menerapkan
pencegahan infeksi sesuai Kewaspadaan Standar)
(3) Pemilihan rute persalinan yang aman (seksio sesarea)
(4) Pemberian PASI (susu formula) yang memenuhi persyaratan
(5) Pemantauan ketat tumbuh- kembang bayi & balita dari ibu dengan HIV positif
(6) Adanya dukungan yang tulus, dan perhatian yang berkesinambungan kepada ibu, bayi
dan keluarganya. Pelayanan PMTCT dapat dilakukan di berbagai sarana kesehatan
(rumah sakit, puskesmas) dengan proporsi pelayanan yang sesuai dengan keadaan sarana
tersebut.
HIV/AIDS tidak hanya ditularkan secara horizontal akibat hubungan seksual risiko
tinggi, tapi juga dapat ditularkan secara vertikal dari ibu ke janin atau bayinya.
Penularan ibu ke bayi dapat terjadi saat kehamilan, saat kelahiran, atau saat menyusui.
Selama kehamilan, virus HIV dapat melewati plasenta dan masuk ke aliran darah bayi.
Saat persalinan, bayi mungkin terpapar dengan virus yang ada dalam darah maupun
cairan tubuh ibu. Ketika menyusui, virus yang ada dalam air susu ibu akan menginfeksi
bayi yang meminumnya.
Tidak semua bayi yang dilahirkan dari ibu pengidap HIV akan terinfeksi. Tanpa
pengobatan dan jika ibu menyusui bayinya, kemungkinan penularan adalah 25% (1 dari
4). Tetapi jika ibu mendapat pengobatan antiretroviral (ARV) dan bayi mendapat obat
tersebut setelah lahir, maka penularan akan berkurang dari 25% menjadi 2% (2 diantara
100).
Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh ibu pengidap HIV yang sedang hamil:
Melakukan pemeriksaan kehamilan lebih dini dan teratur.
Minum obat ARV, baik tunggal (AZT, Zidovudine) maupun kombinasi (terapi
HAART). Minum obat harus sesuai dosis dan jam yang ditentukan, serta jangan
menghentikan pengobatan tanpa instruksi dokter.
Minum vitamin untuk ibu hamil.
Olahraga dan makan makanan yang bergizi.
Jangan merokok, minum alkohol, dan obat-obat terlarang.
Jangan menyusui bayi yang dilahirkan.
WHO dan PBB merekomendasikan empat kerangka strategi jangka panjang untuk
mencegah transmisi HIV dari ibu ke Janin/bayinya. Adapun ke empat kerangka strategi
tersebut adalah : 8,9,10,11
1. Mencegah infeksi primer HIV
2. Mencegah terjadinya kehamilan pada wanita yang terinfeksi HIV
3. Mencegah transmisi HIV dari wanita yang terinfeksi ke bayinya
4. Memberikan perhatian kepada ibu yang terinfeksi HIV, bayi dan keluarganya.
A. Kerangka 1. Mencegah infeksi primer HIV dengan cara8 :
Melakukan intervensi terhadap perubahan pola hidup.
Memperbaiki penanganan penularan infeksi secara seksual
Memastikan keamanan persediaan darah
Memperhatikan faktor-faktor konstitusional yang memudahkan seorang wanita
terinfeksi HIV (cth: masalah ekonomi, pendidikan, dll)
Pencegahan HIV pada wanita, terutama pada wanita muda dan pasangannya
adalah jalan yang terbaik untuk menjamin bahwa penularan sekunder ke bayi tidak
terjadi. Mayoritas infeksi HIV di seluruh dunia terjadi pada penduduk muda yang berusia
10-24 tahun. Diantara kelompok ini anak perempuan dan wanita muda tercatat paling
banyak mendapat infeksi baru dan mayoritas wanita yang memeriksakan kehamilannya
pada klinik MCH (Maternal and child health) berusia 15-24 tahun.8
Cara lain dalam pencegahan primer infeksi HIV adalah intervensi dengan skala luas
terhadap sexual transmitted infection (STI). Seperti diketahui bahwa STI memiliki
hubungan terhadap faktor resiko terjadinya infeksi HIV.8
Di Thailand prevalensi HIV yang sebelumnya tinggi menjadi berkurang dengan
penanganan STI melalui pengobatan dan promosi pemakaian kondom terhadap pekerja-
pekerja seksual.8
B. Kerangka 2. Mencegah terjadinya kehamilan pada wanita yang terinfeksi HIV 8:
Memberikan informasi tentang KB dan konseling untuk membantu dalam
pengambilan keputusan
Mengintegrasikan pelayanan kontrasepsi pada konseling sukarela
Memperkuat hubungan antara FP (Family Planning)dan pelayanan HIV
Menjamin akses FP (Family Planning) ke pilihan yang aman.
Upaya PMTCT (Prevention of mother-to-child transmission) berfokus hampir
semata-mata pada pencegahan transmisi dari wanita hamil yang positif menderita HIV.
Pendekatan ini diambil sebagai akibat tidak berhasilnya penggunan kontrasepsi dalam hal
menurunkan MTCT (Mother-to-child transmission) dalam mencegah kehamilan pada
wanita yang positif terinfeksi HIV. Karena kehamilan yang tidak diharapkan berjumlah
lebih dari 50% pada semua kelahiran dibeberapa negara, kontrasepsi merupakan hal yang
potensial untuk mencegah ribuan transmisi vertikal HIV.8
C. Kerangka 3. Mencegah Transmisi HIV dari wanita yang terinfeksi ke bayinya :8
Melakukan intervensi untuk menurunkan penularan selama kehamilan, persalinan dan
kelahiran.
Melakukan intervensi untuk menurunkan penularan melalui menyusui (tidak
menyusui bayinya).
Penelitian dan pengalaman yang telah terbukti aman, dapat dikerjakan dengan
mudah dan efektif untuk menurunkan transmisi HIV dari wanita hamil yang terinfeksi ke
bayi adalah dengan cara :
Kemoprofilaksis antiretrovirus
Praktek obstetri yang aman
Konseling pemberian makanan pada bayi.
Meskipun demikian, untuk keberhasilan dari intervensi ini, wanita hamil yang
terinfeksi HIV harus melakukan ANC dan atau pelayanan maternal dan dia harus
memiliki akses konseling dan pelayanan tes HIV.8
Dua pendekatan utama pada konseling dan tes HIV pada ANC yaitu : Opt-in dan
Opt-out.
1. Yang dimaksud dengan optimal-in (Opt-in) yaitu testing HIV yang ditujukan
pada wanita hamil sebagai intervensi terpisah dari pelayanan ANC rutin dan harus
bersedia untuk mendapat tes ini.
2. Sedangkan optimal-out (Opt-out) yaitu testing HIV merupakan bagian dari
pelayanan ANC rutin dan harus dilakukan kecuali wanita tersebut menolak.
Kemoprofilaksis antiretroviral pada PMTCT
Beberapa penelitian yang telah dilakukan memperlihatkan keberhasilan
pemberian obat antiretroviral pada wanita selama hamil, persalinan dan kelahiran dan
pada bayi setelah kelahiran secara signifikan menurunkan risiko MTCT.8,10
Obat antiretroviral seperti Zidovudine (ZDV), Lamivudine (3TC) dan Niverapine (NVP)
telah diuji coba dan aman serta efektif saat digunakan tersendiri (ZDV atau NVP) atau
dikombinasikan (ZDV+3TC, ZDV+NVP atau ZDV+3TC+NVP). Banyak protokol yang
aman dan efektif tapi keberhasilannya tergantung dari kecepatan wanita tersebut
ditemukan pada pemeriksaan kehamilannya.
Dukungan dan konseling pemberian makanan pada bayi
Transmisi HIV postnatal melalui ASI pertama kali dilaporkan tahun 1985.
Diperkirakan 15-20% dari MTCT terjadi melalui pemberian ASI, dan akan terus
meningkat sampai 29% jika terjadi infeksi maternal yang baru.8
Penghentian pemberian ASI pada bayi yang dilahirkan oleh ibu yang terinfeksi HIV
merupakan satu-satunya jalan untuk mencegah trasmisi HIV postnatal.8
Hasil penelitian di Kenya menyatakan bahwa ibu yang terinfeksi HIV yang
menyusui mengalami mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan yang tidak menyusui.8
Praktek obstetri yang aman
Beberapa intervensi obstetrik dipercayai atau terbukti menurunkan MTCT
termasuk diantaranya adalah 8,14 :
Seksio sesarea elektif
Pembilasan vagina dengan larutan chlorhexidine
Memperpendek waktu antara pecahnya ketuban dan persalinan
Menghindari episiotomi yang tidak perlu
Menghindari pemakaian suction dan prosedur invasif lainnya dan
Pengeringan sekresi maternal dan darah pada bayi baru lahir.
Analisis beberapa penelitian pada negara-negara industri menunjukkan bahwa seksio
sesarea elektif menurunkan transmisi HIV, meskipun demikian manfaat seksio
sesarea akan menghilang jika dilakukan setelah persalinan dimulai.
Seksio sesarea tidak memberikan keuntungan tambahan pada ibu dengan muatan
virus (viral loads) < 1000 /ml dan CD4 > 500/μl.8
Penelitian yang dilakukan di Malawi mengenai pembilasan vagina dengan
chlorhexidine dilaporkan menurunkan MTCT, hal ini berlaku hanya pada ketuban
pecah lebih dari 4 jam. Disinfeksi vagina juga memeperlihatkan penurunan
morbiditas dan mortalitas bayi yang dilahirkan. Studi retrospektif memperlihatkan
bahwa mengurangi waktu pecahnya ketuban dengan persalinan menurunkan MTCT.8
D. Kerangka 4. Memberikan perhatian kepada ibu yang terinfeksi HIV, bayi dan
keluarganya.8
Menjamin penapisan untuk profilaksis dan penanganan infeksi oportunistik
Memberikan pengobatan antiretroviral
Memberikan perhatian terhadap nutrisi dan pelayanan pendukungnya
Memberikan konseling seksual dan kesehatan reproduksi, termasuk pelayanan KB
Memberikan pelayanan penanganan gejala awal dan terminal
Memberikan pelayanan kesehatan mental dan dukungan pelayanan psikologi
Memberikan dukungan sosial
Ada 3 cara perlakuan pada ibu hamil ODHA untuk mengurangi risiko bayi yang
dilahirkan juga terinfeksi HIV. Pertama, dengan menggunakan obat antiretroviral (ARV)
pada saat kehamilan dan pascamelahirkan. Kedua, persalinan dilakukan dengan cara
operasi cesar. Dan ketiga, memberikan susu formula kepada bayi yang dilahirkan, karena
ASI berpotensi besar menularkan HIV.
Bayi dapat mudah tertular virus apabila proses persalinan berlangsung lama, karena
selama proses tersebut bayi akan terus kontak dengan darah ibunya. Pilihan melahirkan
yang paling aman adalah lewat bedah caesar. Begitu juga dengan menyusui ASI dari ibu
terinfeksi virus HIV juga dapat menularkan HIV kepada ibunya. Karena itu ibu yang HIV
positif tidak diperbolehkan menyusui bayinya. Paling aman adalah dengan memberikan
susu formula.
Dan yang paling penting juga memberikan obat ARV selama masa kehamilan dan
persalinan. Obat berupa pil ini harus dikonsumsi dua kali sehari. Dan setelah lahir si bayi
pun diberikan ARV setiap 6 jam sekali hingga usia 6 minggu. Setelah itu bayi diperiksa,
bila negatif maka obatnya pun dihentikan. Menurut Dr. Evy, Pokdiksus AIDS-FKUI
RSCM jika semua ini dilakukan, maka risiko penularan dari yang semula 25-45 persen
bisa ditekan menjadi kurang dari 2 persen.
PMTCT (Prevention of Mother to Child HIV Transmition)
Adalah program untuk menurunkan penularan HIV dari ibu hamil kepada bayinya. Untuk
menjalani program PMTCT dibantu oleh para ibu kader PKK dan Posyandu karena
mampu menjangkau ibu hamil dan mengajak mereka untuk mendapatkan informasi
seputar kehamilan yang sehat. Para kader tersebut dilatih terlebih dahulu sebelum terjun
ke lapangan. Setiap dua minggu mengundang untuk penyuluhan. Setelah itu baru
dilakukan konseling dan secara sukarela dan dengan kesadaran mereka mau diambil
darahnya
Ada empat program PMTCT yang dijalankan, yaitu
Cegah penularan HIV pada usia produktif
Cegah kehamilan yang tidak direncanakan para perempuan dengan HIV positif
Cegah penularan HIV dari ibu hamil positif pada janin yang dikandungnya
Mendukung secara psikologis dan sosial pascapersalinan
Strategi di Indonesia
Strategi Penanggulangan AIDS Nasional 2003–2007 menegaskan bahwa pencegahan
penularan HIV dari ibu ke bayi merupakan sebuah program prioritas. Departemen
Kesehatan RI dan Komisi Penanggulangan AIDS Nasional telah berkomitmen untuk
meningkatkan cakupan program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi di Indonesia.
Sebagai pedoman untuk menjalankan program tersebut bagi manajer program, aparat
pemerintahan, petugas kesehatan, serta kelompok profesi dan kelompok seminat bidang
kesehatan di Indonesia, perlu adanya kebijakan pemerintah tentang pencegahan penularan
HIV dari ibu ke bayi. Kebijakan ini mencakup hal-hal penting pada tiap-tiap langkah
intervensi program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi di Indonesia.
A. INTEGRASI PROGRAM
Kebijakan umum pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi sejalan dengan
kebijakan umum kesehatan ibu dan anak dan kebijakan penanggulangan
HIV/AIDS di Indonesia.
Layanan pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi diintegrasikan dengan paket
pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana di tiap jenjang
pelayanan kesehatan.
Semua perempuan yang datang ke pelayanan kesehatan ibu dan anak dan layanan
keluarga berencana di tiap jenjang pelayanan kesehatan mendapatkan informasi
pencegahan penularan HIV selama masa kehamilan dan menyusui.
B. PRONG
1) Program untuk mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu ke bayi, dilaksanakan
secara komprehensif dengan menggunakan empat prong, yaitu :
Prong 1: Mencegah terjadinya penularan HIV pada perempuan usia reproduktif;
Prong 2: Mencegah kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif;
Prong 3: Mencegah terjadinya penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi
yang dikandungnya;
Prong 4: Memberikan dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu
HIV positif beserta bayi dan keluarganya.
Pada daerah dengan prevalensi HIV yang rendah, diimplementasikan Prong 1 dan Prong
2. Pada daerah dengan prevalensi HIV yang terkonsentrasi, diimplementasikan semua
prong. Ke-empat prong secara nasional dikoordinir dan dijalankan oleh pemerintah, serta
dapat dilaksanakan institusi kesehatan swasta dan lembaga swadaya masyarakat.
C. KONSELING DAN TES HIV SUKARELA
1) Konseling HIV menjadi salah satu komponen standar dari pelayanan kesehatan ibu
dan anak dan layanan keluarga berencana di tiap jenjang pelayanan
kesehatan.Penatalaksanaan konseling dan tes HIV sukarela untuk pencegahan penularan
HIV dari ibu ke bayi mengikuti Pedoman Nasional Konseling dan Tes HIV Sukarela.Tes
HIV dilakukan kepada semua ibu hamil (routine HIV testing) di seluruh rumah sakit
rujukan Odha yang telah ditetapkan pemerintah.Ibu hamil menjalani konseling dan
diberikan kesempatan untuk menetapkan sendiri keputusannya untuk menjalani tes HIV
atau tidak.
Di daerah prevalensi HIV tinggi yang tidak terdapat layanan pencegahan penularan HIV
dari ibu ke bayi, untuk menentukan faktor-faktor risiko ibu hamil digunakan beberapa
kriteria, seperti memiliki penyakit menular seksual, berganti-ganti pasangan, pengguna
narkoba, dll.Layanan tes HIV dipromosikan dan dimungkinkan bagi laki-laki dan
perempuan yang merencanakan untuk memiliki bayi.Pada tiap jenjang pelayanan
kesehatan yang memberikan konseling dan tes HIV sukarela dalam paket pelayanan
kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana, harus terdapat tenaga petugas
yang mampu memberikan konseling sebelum dan sesudah tes HIV.Pada pelayanan
kesehatan ibu dan anak dan layanan keluarga berencana yang memberikan layanan
konseling dan tes HIV sukarela, konseling pasca tes (post-test counseling) bagi
perempuan HIV negatif memberikan bimbingan untuk tetap HIV negatif selama
kehamilan, menyusui, dan seterusnya.Pada tiap jenjang pelayanan kesehatan tersebut
harus terjamin aspek kerahasiaan ibu hamil ketika mengikuti proses konseling sebelum
dan sesudah tes HIV.
Untuk program pencegahan penularan HIV dari ibu ke bayi, pemerintah memberikan
bantuan biaya konseling dan tes HIV bagi ibu hamil di tiap jenjang layanan
kesehatan.Program PMTCT sebaiknya diintegrasikan dengan kegiatan safe motherhood
sehingga tidak hanya mencegah penularan HIV ke bayi bagi ibu yang diketahui HIV
positif, namun juga bermanfaat bagi seluruh ibu hamil yang mengikuti program agar
melakukan persalinan yang aman. Ratusan bahkan ribuan ibu hamil dengan hasil tes HIV
negatif mendapatkan konseling pascates dari konselor terlatih agar mempertahankan
status HIV negatifnya.
Pengobatan
Protokol pemberian obat antiretroviral (ARV) untuk ibu hamil HIV positif mengikuti
Pedoman Nasional Pengobatan ARV di Indonesia.
Pemerintah menyediakan ARV untuk ibu hamil HIV positif secara gratis untuk
mengurangi risiko penularan HIV ke bayi. Pemerintah juga menyediakan ARV secara
gratis untuk tujuan pengobatan jangka panjang jika ibu atau anaknya telah membutuhkan
ARV untuk mempertahankan kualitas fisiknya.Sedangkan di Thailand sendiri Pakar HIV
berharap mampu mengurangi penularan HIV pralahir dengan memberikan kombinasi
obat – GPO-VIR (d4T+ 3TC+nevirapine), efavirenz dan lopinavir/ritonavir – kepada ibu
hamil yang HIV-positif sebelum Oktober 2009, Praphan Phanuphak direktur Red Cross
Aids Research Centre Thailand mengatakan ”Dengan program yang ada saat ini, hanya
AZT yang disediakan untuk ibu hamil yang terinfeksi HIV sejak 20 minggu usia
kehamilan. Kemudian satu tablet nevirapine diberikan waktu sakit kelahiran.AZT dan
3TC hanya diberikan selama satu minggu setelah melahirkan untuk mengurangi resistansi
terhadap nevirapine. Tingkat MTCT berdasarkan model pengobatan saat ini adalah 4%.
3. Patofisiologi AIDS adalah kompleks, seperti halnya dengan semua sindrom. Pada
akhirnya, HIV menyebabkan AIDS dengan berkurangnya CD4 + limfosit T pembantu.
Hal ini melemahkan sistem kekebalan tubuh dan memungkinkan infeksi oportunistik.
Limfosit T sangat penting untuk respon kekebalan tubuh dan tanpa mereka, tubuh tidak
dapat melawan infeksi atau membunuh sel kanker. Mekanisme penurunan CD4 T +
berbeda di fase akut dan kronis.
Selama fase akut, HIV-diinduksi lisis sel dan membunuh sel yang terinfeksi oleh sel
sitotoksik akun T untuk CD4 + T deplesi sel, walaupun apoptosis juga dapat menjadi
faktor. Selama fase kronis, konsekuensi dari aktivasi kekebalan umum ditambah dengan
hilangnya bertahap kemampuan sistem kekebalan tubuh untuk menghasilkan sel baru T
muncul untuk menjelaskan penurunan lamban dalam jumlah CD4 + T sel.
Meskipun gejala defisiensi imun karakteristik AIDS tidak muncul selama bertahun-tahun
setelah seseorang terinfeksi, sebagian besar CD4 + T hilangnya sel terjadi selama minggu
pertama infeksi, terutama di mukosa usus, pelabuhan yang mayoritas limfosit ditemukan
dalam tubuh. Alasan hilangnya preferensial CD4 + T sel mukosa adalah bahwa mayoritas
CD4 + T sel mukosa mengungkapkan coreceptor CCR5, sedangkan sebagian kecil CD4 +
sel T dalam aliran darah melakukannya.
HIV mencari dan menghancurkan CD4 + sel CCR5 mengekspresikan selama infeksi akut.
Sebuah respon imun yang kuat akhirnya kontrol infeksi dan inisiat fase laten klinis.
Namun, CD4 + T sel dalam jaringan mukosa tetap habis seluruh infeksi, meskipun cukup
tetap awalnya menangkal infeksi yang mengancam jiwa.
Replikasi HIV terus-menerus menghasilkan keadaan aktivasi kekebalan umum bertahan
selama fase kronis. Aktivasi kekebalan tubuh, yang tercermin oleh negara aktivasi
peningkatan sel kekebalan dan pelepasan sitokin pro inflamasi, hasil dari aktivitas
beberapa produk gen HIV dan respon kebal terhadap replikasi HIV terus-menerus.
Penyebab lainnya adalah kerusakan pada sistem surveilans kekebalan penghalang
mukosa yang disebabkan oleh penipisan mukosa CD4 + sel T selama fase akut dari
penyakit.
Hal ini mengakibatkan pemaparan sistemik dari sistem kekebalan tubuh untuk komponen
mikroba flora normal usus, yang pada orang sehat adalah disimpan di cek oleh sistem
imun mukosa. Aktivasi dan proliferasi sel T yang hasil dari aktivasi kekebalan
memberikan target segar untuk infeksi HIV. Namun, pembunuhan langsung dengan HIV
saja tidak dapat menjelaskan menipisnya diamati CD4 + sel T karena hanya 0,01-0,10%
dari CD4 + T sel dalam darah yang terinfeksi.
Penyebab utama hilangnya CD4 T + muncul hasil dari kerentanan mereka untuk apoptosis
meningkat ketika sistem kekebalan tubuh tetap diaktifkan. Meskipun baru sel T terus
diproduksi oleh timus untuk menggantikan yang hilang, kapasitas regeneratif timus
secara perlahan dihancurkan oleh infeksi langsung thymocytes dengan HIV. Akhirnya,
jumlah minimal CD4 + sel T yang diperlukan untuk menjaga respon imun yang cukup
hilang, yang mengarah ke AIDS
Sel yang terkena dampak
Virus, yang pernah masuk melalui rute, bertindak terutama pada sel-sel berikut:
Lymphoreticular sistem:
o CD 4 + T-sel Helper
o Makrofag
o Monosit
o B-limfosit
o Tertentu sel-sel endotel
o Sistem saraf pusat:
Mikroglia dari sistem saraf
Astrosit
Oligodendrocytes
Neuron - secara tidak langsung oleh aksi sitokin dan gp-120
Efeknya
Virus memiliki efek sitopatik tapi bagaimana hal itu masih tidak cukup jelas. Hal ini
dapat tetap aktif dalam sel-sel untuk waktu yang lama, meskipun. Efek ini diduga
disebabkan CD 4-gp120 interaksi. Update berlangsung pada bulan September 2005.
Kebanyakan kondisi ini adalah infeksi oportunistik yang dengan mudah diobati pada
orang sehat.
Stadium I: infeksi HIV asimtomatik dan tidak dikategorikan sebagai AIDS
Stadium II: termasuk manifestasi mukokutan kecil dan berulang infeksi saluran
pernapasan atas
Stadium III: termasuk diare kronik yang tidak dapat dijelaskan selama lebih dari
sebulan, infeksi bakteri parah dan TB paru
Stadium IV: termasuk toksoplasmosis otak, kandidiasis esofagus, trakea, bronkus
atau paru-paru dan sarkoma Kaposi, penyakit ini adalah indikator AIDS.
CDC sistem klasifikasi
Ada dua definisi utama untuk AIDS, baik yang dihasilkan oleh Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit (CDC). Definisi yang lebih tua adalah untuk mengacu AIDS
menggunakan penyakit yang dikaitkan dengan itu, misalnya, limfadenopati, penyakit ini
setelah itu penemu HIV awalnya bernama virus. Pada tahun 1993, CDC memperluas
definisi AIDS mereka untuk memasukkan semua orang HIV positif dengan CD4 + T cell
count di bawah 200 per uL darah atau 14% dari seluruh limfosit. Mayoritas kasus AIDS
baru di negara maju menggunakan baik definisi ini atau definisi CDC pra-1993.
Diagnosis AIDS masih berdiri bahkan jika, setelah perawatan, jumlah sel CD4 + T naik di
atas 200 per uL darah atau penyakit terdefinisi AIDS dapat disembuhkan.
1. penularan dan masuknya virus
HIV dapat diisolasi dari darah, cairan serebrospinalis, semen, air mata, sekresi
vagina atau seviks, urine, ASI dan air liur. Penularan terjadi paling efisien melalui darah
dan semen. HIV bisa masuk ke dalam tubuh manusia akibat perilaku atau tindakan
(pribadi atau tindakan orang lain ), yang memungkinkan darah atau cairan kelamin atau
ASI yang tercemar HIV masuk ke dalam tubuh. misalnya: disuntik dokter dengan jarum
tidak steril.
Sesudah virus HIV memasuki tubuh seseorang, maka tubuh akan terinfeksi dan
virus mulai mereplikasi diri dalam sel orang tersebut (terutama sel T CD4 dan makrofag).
HIV akan mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan menghasilkan antibodi untuk
HIV. Masa antara masuknya infeksi dan terbentuknya antibodi yang dapat dideteksi
melalui pemeriksaan laboratorium adalah selama 2-12 minggu, masa ini disebut sebagai
masa jendela (window period). Selama masa jendela, pasien sangat infeksius, mudah
menularkan kepada orang lain, meski hasil pemeriksaan laboratoriumnya masih negatif.
Hampir 30-50% orang mengalami masa infeksi akut pada masa infeksius ini yakni
demam, pembesaran kelenjar getah bening, keringat malam, ruam kulit, sakit kepala dan
batuk.
Orang yang terinfeksi HIV dapat tetap tanpa gejala dan tanda untuk jangka waktu
cukup panjang bahkan sampai 10 tahun atau lebih. Orang tersebut mudah menularkan
infeksinya kepada orang lain, dan hanya dapat dikenali dari pemeriksaan laboratorium
serum antibodi HIV. Sesudah suatu jangka waktu, yang bervariasi dari orang ke orang,
virus memperbanyak diri secara cepat dan diikuti dengan perusakan limfosit CD4 dan sel
kekebalan lainnya sehingga terjadilah gejala berkurangnya daya kekebalan tubuh yang
progresif (progressive immunodeficiency syndrome). Progresivitas tergantung pada
beberapa faktor seperti: usia kurang dari 5 tahun atau diatas 40 tahun, infeksi lainnya, dan
faktor genetik.
Tiga cara utama penularan adalah kontak dengan darah dan kontak seksual dan
kontak bayi dan ibu yang sda dipaparkan lebih awal di bagian patofisiologi,. Setelah virus
ditularkan akan tejadi serangkaian proses yang kemudian menyrbabkan infeksi.
2. Perlekatan virus
Sel-sel lain yang mungkin rentan terhadap infeksi HIV mencakup monositdan
makrofag. Monosit dan makrofag. Monosit dan makrofag yang terinfeksi dapat berfungsi
sebagai reservoir untuk HIV tetapi tidak dihancurkan oleh virus. HIV bersifat politrofik
dan dapat menginfeksi beragam sel manusia. Sepeti sel natural killer, limfosit B, sel
endotel, sel epitel, sel langerhans, sel dendritik, sel microglia dan berbagai jaringan
tubuh.
Setelah virus berfusi dengan limfosit CD4+ maka berlangsung serangkaian proses
kompleks yang apabila berjalan lancar menyebabkan terbentuknya partikel-partikel virus
baru dari sel yang terinfeksi mungkin tetap laten dalam keadaan provirus atau mungkin
mengalami, siklus-siklus replikasi sehingga menghasilkan banyak virusinfeksi pada
limfosit CD4+ juga dapat menimbulkan sipatogenitas melalui beragam mekanisme,
termasuk apoptesis, anergi, atau pembentukan sinstisum (fusi sel).
3. Replikasi virus
Setelah terjadi fusi sel virus, RNA virus masuk kedalam tengah sitoplasma
limfosit CD4+ setelah nuk;leokapsid dilepas, maka akan terjadi transkripsi terbalik dari
satu untai tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai ganda virus. Integrase HIV
membantu in sersi cDNA kedalm inti sel pejamu. Apabila sudah terintegrasi kedal;am
kromosom sel pejamu maka dua untai DNA sekarang menjadi provirus. Provirus
meghasilkan mRNA yang meninggalkan inti sel dan masuk kedalam sitoplasma. Protein-
protein virus dihasilkan dari mRNA yang lengkap dan yang telah mengalami splicing
(penggabungan), setelah RNA genom dibebaskan kedalam sitoplasma. Tahap akhir
produksi virus membutuhka suatu enzim virus yang disebut HIV protease, yang
memotong dan menata protein virus menjadi segmen-segmen kecil yang mengelilingi
RNA virus, membentuk parikel virus menular yag menonjol dari sel yang terinfeksi.
Sewaktu menonjol dari sel pejamu, partikel-partikel virus tersebut akan terbungkus oleh
sebagian dari membrane sel yang terinfeksi. HIV yang baru terbentuk sekarang dapat
menyerang sel rentan lainnya di seluruh tubuh.
Replikasi HIV berlanjut sepanjang periode latensi klinis, bahkan saat hanya
terjadi aktivitas virus yang minimal di dalam darah. HIV ditemukan dalam jumlah besar
di dalam limfosit CD4+ dan makrofag di seluruh sistem limfoid pada tahap semua infeksi.
Partikel-partrikel virys juga telah dihubungkan sel-sel dendritik folikular, yang mungkin
memindahkan infeksi ke sel-sel selama imigrasi melaului folikel-folikel limfoid.
Walaupun selama masa latensi klinis tingkat viremia dan replikasi virus di sel-sel
monokleus darah perifer rendah, namun pada infeksi ini tidak ada latensi yang sejati. HIV
secara terus menerus terakumlasi dan bereplikasi di organ-orgna limfoid. Sebagian data
menunujaka bahwa terjadi replikasi dalam jumlah sangat besar dabn pertukaran sel yang
sangat cepat dengan waktu paruh virus didalam plasma sekitar 2 hari. Aktivitas ini
menunjukan bahwa terjadi pertempuran terus menerus antara virus dajn sistem imun
pasien.
4. infeksi HIV
Penyakit HIV dimulai dengan infeksi akut yang tidak dapat diatasi sempurna oleh
respons imun adaptif, dan berlanjut menjadi infeksi jaringan limfoid perifer yang kronik
dan progresif. Perjalanan penyakit HIV dapat diikuti dengan memeriksa jumlah virus di
plasma dan jumlah sel T CD4+ dalam darah. Infeksi primer HIV pada fetus dan neonatus
terjadi pada situasi sistim imun imatur, sehingga penjelasan berikut merupakan ilustrasi
patogenesis yang khas dapat diikuti pada orang dewasa.
Infeksi primer terjadi bila virion HIV dalam darah, semen, atau cairan tubuh
lainnya dari seseorang masuk ke dalam sel orang lain melalui fusi yang diperantarai oleh
reseptor gp120 atau gp41. Tergantung dari tempat masuknya virus, sel T CD4+ dan
monosit di darah, atau sel T CD4+ dan makrofag di jaringan mukosa merupakan sel yang
pertama terkena. Sel dendrit di epitel tempat masuknya virus akan menangkap virus
kemudian bermigrasi ke kelenjar getah bening. Sel dendrit mengekspresikan protein yang
berperan dalam pengikatan envelope HIV, sehingga sel dendrit berperan besar dalam
penyebaran HIV ke jaringan limfoid. Di jaringan limfoid, sel dendrit dapat menularkan
HIV ke sel T CD4+ melalui kontak langsung antar sel.
Beberapa hari setelah paparan pertama dengan HIV, replikasi virus dalam jumlah
banyak dapat dideteksi di kelenjar getah bening. Replikasi ini menyebabkan viremia
disertai dengan sindrom HIV akut (gejala dan tanda nonspesifik seperti infeksi virus
lainnya). Virus menyebar ke seluruh tubuh dan menginfeksi sel T subset CD4 atau T
helper, makrofag, dan sel dendrit di jaringan limfoid perifer. Setelah penyebaran infeksi
HIV, terjadi respons imun adaptif baik humoral maupun selular terhadap antigen virus.
Respons imun dapat mengontrol sebagian dari infeksi dan produksi virus, yang
menyebabkan berkurangnya viremia dalam 12 minggu setelah paparan pertama.
Setelah infeksi akut, terjadilah fase kedua dimana kelenjar getah bening dan limpa
menjadi tempat replikasi HIV dan destruksi sel. Pada tahap ini, sistem imun masih
kompeten mengatasi infeksi mikroba oportunistik dan belum muncul manifestasi klinis
infeksi HIV, sehingga fase ini disebut juga masa laten klinis (clinical latency period).
Pada fase ini jumlah virus rendah dan sebagian besar sel T perifer tidak mengandung
HIV. Kendati demikian, penghancuran sel T CD4+ dalam jaringan limfoid terus
berlangsung dan jumlah sel T CD4+ yang bersirkulasi semakin berkurang. Lebih dari
90% sel T yang berjumlah 1012 terdapat dalam jaringan limfoid, dan HIV diperkirakan
menghancurkan 1-2 x 109 sel T CD4+ per hari. Pada awal penyakit, tubuh dapat
menggantikan sel T CD4+ yang hancur dengan yang baru. Namun setelah beberapa tahun,
siklus infeksi virus, kematian sel T, dan infeksi baru berjalan terus sehingga akhirnya
menyebabkan penurunan jumlah sel T CD4+ di jaringan limfoid dan sirkulasi.
Pada fase kronik progresif, pasien rentan terhadap infeksi lain, dan respons imun
terhadap infeksi tersebut akan menstimulasi produksi HIV dan destruksi jaringan limfoid.
Transkripsi gen HIV dapat ditingkatkan oleh stimulus yang mengaktivasi sel T, seperti
antigen dan sitokin. Sitokin (misalnya TNF) yang diproduksi sistem imun alamiah
sebagai respons terhadap infeksi mikroba, sangat efektif untuk memacu produksi HIV.
Jadi, pada saat sistem imun berusaha menghancurkan mikroba lain, terjadi pula
kerusakan terhadap sistem imun oleh HIV.
Penyakit HIV berjalan terus ke fase akhir dan letal yang disebut AIDS dimana
terjadi destruksi seluruh jaringan limfoid perifer, jumlah sel T CD4+ dalam darah kurang
dari 200 sel/mm3, dan viremia HIV meningkat drastis. Pasien AIDS menderita infeksi
oportunistik, neoplasma, kaheksia (HIV wasting syndrome), gagal ginjal (nefropati HIV),
dan degenerasi susunan saraf pusat (ensefalopati HIV)
Struktur dan siklus HIV
Virion HIV matang memiliki bentuk hampir bulat. Selubung luarnya, atau viral,
terdiri dari, lemak lapis ganda yang mengandung banyak tonjolan protein. Duri-duri ini
terdiri dari dua glikoprotein gp 120 dan gp41. Gp 120 adalah selubung permukaan
eksternal duri dan Gp1 adalah bagian transmembran.
Terdapat protein matriks yang disebut p17 yang mengelilingi segmen bagian
dalam membrane virus. Sedangkan inti dikelilingi oleh suati protein kapsid yang disebut
p24. didalamnya terdapat dua untai rantai RNA identik dan mplekul performed reverse
transcip , integrase, dan protease yang yang sydah terbentuk. HIV adalah suatu retrovirus
sehingga materi genetiknya RNA bukan DNA. Reverse transciptase adalah enzim yang
mentranskripkan RNA virus menjadi DNA setelah virus masuk kesel sasaran. Enzim lain
yang menyertai RNA adalah integrase dan protease.
HIV mempunyai target sel utama yaitu sel limfosit T4 yang mempunyai reseptor
CD4 beberapa sel lain yang juga mempunyai resptor CD4 adalah : sel monosit, makrofag,
sel folikular dendritik, sel retina, sel dinding rahim, dan sel langerhans. Penelitian
terakhir juga menunjukan HIV dapat menginveksi sel astrogloa otak dan sel endotel
saluran cerna walaupun sel tsb tudak mempunyai reseptor CD4.
Protein selubung HIV gp 120 akan bersentuhan dan terikat pada reseptor CD4 sel
pejamu (antara lain sel selubunglimfosit t4); lalu selubung HIV akan mengalami fusi
denagn membrane sel 6pejamu dengan mendorong inti HIV masuk kedalam sitoplasma
pejamu. Dalam proses ini terlibat protein selubung HIV yang lain, yaitu gp 41. dalam
sitoplasma sel pejamu, RNA virus akan dikonversi menjadi DNA oleh enzim RTase dan
dna ini yang disebut DNA provirus . DNA provirus ini akan masuk kedala inti sel pejamu
dan dengan inti sel pejamu. Integrasi materi genetic virus ini biasanya akan terfjadi dalam
2-10 jam setelah infeksi. Selanjutnya virus replikasi virus dimulai dengan adanya
produksi RNA provirus yang sama sehingga akan terbentu virion baru, suati virus HIV
baru yang siap untuk menginfeksi sel target yang lain, setekah keluar dari sel pejamu
melalui suatu proses budding.
4. Ada 2 cara pencegahan AIDS yaitu jangka pendek dan jangka panjang :
1. Upaya Pencegahan AIDS Jangka Pendek
Upaya pencegahan AIDS jangka pendek adalah dengan KIE, memberikan informasi
kepada kelompok resiko tinggi bagaimana pola penyebaran virus AIDS (HIV),
sehingga dapat diketahui langkah-langkah pencegahannya.
Ada 3 pola penyebaran virus HIV :
1. Melalui hubungan seksual
2. Melaui darah
3. Melaui ibu yang terinfeksi HIV kepada bayinya
Ad.1. Pencegahan Infeksi HIV Melaui Hubungan Seksual
HIV terdapat pada semua cairan tubuh penderita tetapi yang terbukti berperan dalam
penularan AIDS adalah mani, cairan vagina dan darah.
HIV dapat menyebar melalui hubungan seksual pria ke wanita, dari wanita ke pria
dan dari pria ke pria.
Setelah mengetahui cara penyebaran HIV melaui hubungan seksual maka upaya
pencegahan adalah dengan cara :
• Tidak melakukan hubungan seksual. Walaupun cara ini sangat efektif, namun tidak
mungkin dilaksanakan sebab seks merupakan kebutuhan biologis.
• Melakukan hubungan seksual hanya dengan seorang mitra seksual yang setia dan
tidak terinfeksi HIV (homogami)
• Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin
• Hindari hubungan seksual dengan kelompok rediko tinggi tertular AIDS.
• Tidak melakukan hubungan anogenital.
• Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual dengan kelompok
resiko tinggi tertular AIDS dan pengidap HIV.
Ad.2. Pencegahan Infeksi HIV Melalui Darah
Darah merupakan media yang cocok untuk hidup virus AIDS. Penularan AIDS
melalui darah terjadi dengan :
− Transfusi darah yang mengandung HIV.
− Jarum suntik atau alat tusuk lainnya (akupuntur, tato, tindik) bekas pakai orang
yang mengidap HIV tanpa disterilkan dengan baik.
− Pisau cukur, gunting kuku atau sikat gigi bekas pakai orang yang mengidap virus
HIV.
Langkah-langkah untuk mencegah terjadinya penularan melalui darah adalah:
− Darah yang digunakan untuk transfusi diusahakan bebas HIV dengan jalan
memeriksa darah donor. Hal ini masih belum dapat dilaksanakan sebab
memerlukan biaya yang tingi serta peralatan canggih karena prevalensi HIV di
Indonesia masih rendah, maka pemeriksaan donor darah hanya dengan uji petik.
− Menghimbau kelompok resiko tinggi tertular AIDS untuk tidak menjadi donor
darah. Apabila terpaksa karena menolak, menjadi donor menyalahi kode etik,
maka darah yang dicurigai harus di buang.
− Jarum suntik dan alat tusuk yang lain harus disterilisasikan secara baku setiap kali
habis dipakai.
− Semua alat yang tercemar dengan cairan tubuh penderita AIDS harus
disterillisasikan secara baku.
− Kelompok penyalahgunaan narkotik harus menghentikan kebiasaan penyuntikan
obat ke dalam badannya serta menghentikan kebiasaan mengunakan jarum suntik
bersama.
− Gunakan jarum suntik sekali pakai (disposable)
− Membakar semua alat bekas pakai pengidap HIV.
Ad.3. Pencegahan Infeksi HIV Melalui Ibu
Ibu hamil yang mengidap HIV dapat memindahkan virus tersebut kepada janinnya.
Penularan dapat terjadi pada waktu bayi di dalam kandungan, pada waktu persalinan
dan sesudah bayi di lahirkan.
Upaya untuk mencegah agar tidak terjadi penularan hanya dengan himbauan agar ibu
yang terinfeksi HIV tidak hamil.
2. Upaya Pencegahan AIDS Jangka Panjang
Penyebaran AIDS di Indonesia (Asia Pasifik) sebagian besar adalah karena hubungan
seksual, terutama dengan orang asing. Kasus AIDS yang menimpa orang Indonesia
adalah mereka yang pernah ke luar negeri dan mengadakan hubungan seksual dengan
orang asing.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa resiko penularan dari suami pengidap HIV ke
istrinya adalah 22% dan istri pengidap HIV ke suaminya adalah 8%. Namun ada
penelitian lain yang berpendapat bahwa resiko penularan suami ke istri atau istri ke
suami dianggap sama. Kemungkinan penularan tidak terganggu pada frekuensi
hubungan seksual yang dilakukan suami istri.
Yang dimaksud dengan perilaku seksual yang bertanggung jawab adalah :
a. Tidak melakukan hubungan seksual sama sekali.
b. Hanya melakukan hubungan seksual dengan mitra seksual yang setia dan tidak
terinfeksi HIV (monogamy).
c. Menghindari hubungan seksual dengan wanita-wanita tuna susila.
d. Menghindari hubungan seksual dengan orang yang mempunyai lebih dari satu mitra
seksual.
e. Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin.
f. Mengurangi jumlah mitra seksual sesedikit mungkin
g. Hindari hubungan seksual dengan kelompok resiko tinggi tertular AIDS.
h. Tidak melakukan hubungan anogenital.
i. Gunakan kondom mulai dari awal sampai akhir hubungan seksual.
Kegiatan tersebut dapat berupa dialog antara tokoh-tokoh agama,
penyebarluasan informasi tentang AIDS dengan bahasa agama, melalui penataran P4
dan lain-lain yang bertujuan untuk mempertebal iman serta norma-norma agama
menuju perilaku seksual yang bertanggung jawab.
Penatalaksanaan
Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu: a) pengobatan
untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV), b) pengobatan
untuk
mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS,
seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, , toksoplasma, sarkoma kaposi, limfoma, kanker
serviks, c) pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih
baik dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan agama
serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan pengobatan yang
lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup lebih baik dan kejadian
infeksi oportunistik amat berkurang.
Tabel 2. Infeksi oportunistik/kondisi yang sesuai dengan kriteria diagnosis AIDS
Cytomegalovirus (CMV) (selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening)
CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIVa
Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronkitis, pneumonitis, atau
esofagitis
Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
Isosporiasis, dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esofagus
Kanker serviks invasive
Koksidiodomikosis, diseminata atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptosporidiosis, dengan diare kronik (lebih dari 1 bulan)
Leukoensefalopati multifokal progresif
Limfoma, Burkitt
Limfoma, imunoblastik
Limfoma, primer pada otak
Mikobakterium avium kompleks atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu
Mikobakterium tuberkulosis, paru atau ekstraparu
Mikobakterium, spesies lain atau spesies yang tidak dapat teridentifikasi, diseminata
atau ekstrapulmoner
Pneumonia Pneumocystis carinii
Pneumonia rekurenb
Sarkoma Kaposi
Septikemia Salmonella rekuren
Toksoplasmosis otak
Wasting syndromec
Terapi Antiretroviral (ARV)
Saat ini regimen pengobatan ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari 3 obat
ARV. Terdapat beberapa regimen yang dapat dipergunakan(tabel 4), dengan keunggulan
dan kerugiannya masing-masing. Kombinasi obat antiretroviral lini pertama yang
umumnya digunakan di Indonesia adalah kombinasi zidovudin (ZDV)/lamivudin (3TC),
dengan nevirapin (NVP) .
Tabel 3. Kombinasi obat
ARV untuk terapi inisial
Kolom A
Kolom B
lamivudin + zidovudin# Evafirenz*,#
lamivudin + didanosin
lamivudin + stavudin#
lamivudin + zidovudin# Nevirapin#
lamivudin + stavudin#
lamivudin + didanosin
lamivudin + zidovudin Nelvinafir
lamivudin + stavudin
lamivudin + didanosin
Tatalaksana HIV Positif.
a. Tentukan status nutrisi dan intervensinya
b. Terapi profilaksis Infeksi Oportunistik
c. Tentukan klasifikasi klinis dan imunologis
d. Terapi kuratif Infeksi Oportunistik
e. Nilai indikasi ARV
f. Tentukan situasi social
Pemberian ARV
a. Tujuan pemberian ARV :
1) Mengurangi morbiditas dan mortalitas karena HIV
2) Memperbaiki dan memelihara fungsi imun
3) Menekan replikasi virus selama mungkin
4) Meminimalkan toksisitas karena obat
5) Membuat pertumbuhan fisik dan perkembangan neurokognitif normal
6) Memperbaiki kualitas hidup
7) Indikasi ARV
b. Stadium 4 WHO Untuk Anak . Semua diberi ARV.
c. Stadium 3 :
1) Umur < 1 tahun, semua diberi ARV
2) Umur > 1 tahun, diobati semua kecuali yg terkena TBC, LIP, trombopenia dan Oral
Hairy Leukoplakia, menurut hasil CD4
d. Stadium 2. Bergantung nilai CD4 (atau TLC).
e. Stadium 1. Tidak diberi ARV, kecuali bila CD4 sangat rendah.
f. Pemantauan ARV :
1) Waktu: setiap 2 minggu 2 X, selanjutnya bulanan.
2) Hal yang harus dipantau ada pada table
3) Hati-hati toksisitas obat (NNRTI)
4) Setelah 6 bulan dibuat kesimpulan apakah pasien responsif atau gagal terapi
Antiretroviral (ARV)