MAKALA KAMPUNG NAGA

Embed Size (px)

DESCRIPTION

ARSITEKTUR

Citation preview

Kampung Naga (Jawa Barat)

Kampung Naga (Jawa Barat)

Kampung Naga terletak di lembah perbukitan Salawu yang di kelilingi oleh hutan dan di lewati oleh aliran sungan Ciwulan merupakan kearifan lokal yang dimiliki oleh Kampung ini dari segi pemilihan letak kawasan.Kawasan yang letaknya berada di cekungan perbukitan Salawu dengan luas kampung 1.5 Ha dan luas wilayah Adat 4 Ha. Dengan Elevasi sekitar 600m dpl. Topografi area kampung berbukit cukup curam. Kepadatan tanah relatif stabil, kondisi tanah subur (purwanto,et all.2003).

Dahulu sempat terdengar kabar kalau Kampung Naga ditutup untuk orang luar karena ada mereka tidak mau daerahnya dijadikan objek wisata. setelah banyak mengobrol dengan sesepuh Kampung mereka tidak mau menjadikan Kampung Naga ini menjadi Desa Wisata, karena alasannya tidak mau ditonton oleh orang ataupun turis yang datang.

Kampung Naga merupakan sebuah kampung adat yang masih lestari, di sini masyarakatnya masih memegang adat tradisi nenek moyang mereka. Mereka menolak intervensi dari pihak luar jika hal itu mencampuri dan merusak kelestarian kampung tersebut.

Namun, setahu saya sampai sekarang, saya belum dapat penjelasan kapan dan siapa pendiri serta apa yang melatarbelakangi terbentuknya kampung dengan budaya yang masih kuat ini.

Warga kampung Naga sendiri menyebut sejarah kampungnya dengan istilah "Pareum Obor". Pareum jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, yaitu mati, gelap. Dan obor itu sendiri berarti penerangan, cahaya, lampu. Jika diterjemahkan secara singkat yaitu, matinya penerangan. Hal ini berkaitan dengan sejarah Kampung Naga itu sendiri. Mereka tidak mengetahui asal-usul kampungnya.

Menurut masyarakat kampung naga, hal ini disebabkan oleh terbakarnya arsip/sejarah mereka pada saat kampung ini dibakar oleh Organisasi DI/TII Kartosoewiryo di masa lalu. Pada saat itu, DI/TII menginginkan terciptanya negara Islam di Indonesia. Kampung Naga yang saat itu lebih mendukung Soekarno dan kurang simpatik dengan niat organisasi tersebut. Oleh karena tidak mendapatkan simpati warga Kampung Naga maka DI/TII membumihanguskan perkampungan tersebut pada 1956.

Adapun versi sejarah yang diceritakan pada masa kewalian Sunan Gunung Jati, seorang abdinya yang bernama Singaparana ditugasi untuk menyebarkan agama Islam ke sebelah Barat. Kemudian ia sampai ke daerah Neglasari yang sekarang menjadi Desa Neglasari.

Di tempat tersebut sang abdi bersemedi dan dalam persemediannya Singaparana mendapat petunjuk, bahwa ia harus mendiami satu tempat yang sekarang disebut Kampung Naga.

Kampung ini berada di wilayah Desa Neglasari, Jawa Barat. Lokasi Kampung Naga tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan Kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur yang dibatasi oleh hutan keramat karena di dalam hutan tersebut terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga.

Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan di sebelah utara dan timur dibatasi oleh Ci Wulan (Kali Wulan) yang sumber airnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut. Jarak tempuh dari kota Tasikmalaya ke Kampung Naga kurang lebih 30 kilometer, sedangkan dari kota Garut jaraknya 26 kilometer.

Untuk menuju Kampung Naga dari arah jalan raya Garut-Tasikmalaya harus menuruni tangga yang sudah ditembok. Nah yang unik banyak orang mencoba menghitung anak tangga ini, dan sampai sekarang jumlah pastinya tidak ada yang tahu. Pasalnya, setiap tiap orang yang menghitungnya hasilnya selalu berbeda-beda.

Penduduk Kampung Naga semuanya beragama Islam, sebagaimana masyarakat adat lainnya mereka juga sangat taat memegang adat-istiadat dan kepercayaan nenek moyangnya.

Walaupun mereka menyatakan memeluk agama Islam, mereka tetap menjaga warisan budaya leluhurnya. Menurut kepercayaan masyarakat Kampung Naga, dengan menjalankan adat-istiadat warisan nenek moyang berarti menghormati para leluhur atau karuhun.

Segala sesuatu yang datangnya bukan dari ajaran karuhun Kampung Naga, dan sesuatu yang tidak dilakukan karuhunnya dianggap sesuatu yang tabu. Apabila hal-hal tersebut dilakukan oleh masyarakat Kampung Naga berarti melanggar adat, tidak menghormati karuhun, hal ini pasti akan menimbulkan malapetaka.

Kepercayaan masyarakat Kampung Naga kepada mahluk halus masih dipegang kuat. Percaya adanya jurig cai, yaitu mahluk halus yang menempati air atau sungai terutama bagian sungai yang dalam. Kemudian "ririwa" yaitu mahluk halus yang senang mengganggu atau menakut-nakuti manusia pada malam hari.

Ada pula yang disebut "kunti anak" yaitu mahluk halus yang berasal dari perempuan hamil yang meninggal dunia dan suka mengganggu wanita yang sedang atau akan melahirkan.

Sedangkan tempat-tempat yang dijadikan tempat tinggal mahluk halus tersebut oleh masyarakat Kampung Naga disebut sebagai tempat yang angker atau sanget. Demikian juga tempat-tempat seperti makam Sembah Eyang Singaparna, Bumi Ageung dan masjid merupakan tempat yang dipandang suci bagi masyarakat Kampung Naga.

Bentuk rumah masyarakat Kampung Naga harus panggung, bahan rumah dari bambu dan kayu. Atap rumah harus dari daun nipah, ijuk, atau alang-alang, lantai rumah harus terbuat dari bambu atau papan kayu. Rumah harus menghadap ke utara atau ke sebelah selatan dengan memanjang kearah barat-timur.Agama yang dianut oleh penduduk Kampung Naga adalah Islam. Agama islam dijalankan beriringan dengan toleransi tinggi terhadap nilai-nilai adat. Meski menganut Islam, tidak dijumpai satu pun wanita penduduk Kampung Naga yang menggunakan Kerudung atau Jilbab. Bagi mereka, kerudung atau jilbab tidak menjadi satu-satunya identitas wanita muslim yang sebenarnya. Kerudung atau Jilbab tidak menjamin perilaku mereka yang sebenarnya.Biasanya kampung adat identik dengan tradisionalitas dengan nilai adat yang tinggi, hal tersebut bisa dilihat dari identitas yang mereka kenakan, lelaku adat yang diberlakukan. Kampung Naga memang masih memegang nilai-nilai adat leluhur, tetapi tidak sepenuhnya masih tradisional, kampung ini sudah tersentuh oleh budaya modernitas. Penduduk setempat sudah mengenakan baju sebagaimana masyarakat pada umumnya, barang-barang yang digunakan sudah modern seperti barang gerabah rumah tangga. Listrik memang tidak ada di Kampung Naga, karena material bangunan rumah terdiri dari bahan yang mudah terbakar. Namun, barang elektronik sudah masuk disini, seperti HP, Radio, maupun Televisi (menggunakan Accu). Sistem hidrologi di Kampung Naga ini pun sudah terintegrasi dengan baik menggunakan pipa paralon, baik untuk irigasi ke sawah maupun saluran air untuk sumur-sumur. Ya, mereka tidak menolak kehadiran teknologi, selama memberikan manfaat dalam keberlangsungan hidup mereka.

Pakaian Penduduk Kampung Naga (Kiri) dan Barang Gerabah Penduduk Kampung Naga (Kanan)

Nilai-nilai adat yang masih dipegang penduduk Kampung Naga diantaranya tiga kata pamali/tabu yaitu Amanat, Wasiat dan Akibat. Filosofi sederhanya adalah, bahwa dalam hidup itu harus mengikuti amanat dan wasiat nenek moyang, pun jika amanat wasiat tersebut dilanggar, maka harus siap dengan segala resiko atau akibat yang harus ditanggungnya.Bapak Punduh Suharyo (75 Tahun)

Beberapa contoh Amanat adalah, penduduk setempat dipimpin oleh Kuncen (tetua adat paling tinggi) harus melakukan ziarah kubur ke makam leluhur selama 6 kali dalam setahun. Periode palaksanaaanya pun telah ditentukan, yaitu pada bulan Muharram (tahun baru hijriyah), Bulan Robbiulawal (Maulid Nabi Muhammad SAW), bulan Jumadil Akhir (pertengahan tahun hijriyah), bulanSyaban (menjelang ramadhan), bulan Syawal (hari raya idul fitri), bulan Idhul Adha (hari raya qurban). Jika ada masa/periode wajib untuk berziarah ke makam leluhur mereka, pun ada masa dan periode yang menjadi larangan untuk berziarah kubur, diantaranya hari selasa, rabu, sabtu, bulan Safar, dan bulan Ramadhan. Selain dilarang berziarah kubur, di masa/periode tersebut penduduk setempat termasuk tetua adat pun dilarang untuk menceritakan asal-asul (sejarah) nenek moyang mereka kepada pengunjung.Sementara itu, beberaoa contoh Wasiat yang dipegang kuat oleh penduduk Kampung Naga adalah disucikannya beberapa tempat dan dilarangnya penduduk memasuki beberapa tempat. Tempat yang disucikan diantaranya Bumi Ageng dan Depok. Bumi Ageng merupakan rumah bermula tetua adat dan penduduk setempat melakukan ritual sebelum berziarah ke makam leluhur mereka. Tidak sembarang orang memasuki Bumi Ageng, hanya Kuncen dan tetua adat lainnya. Pun warga setempat tidak bisa seenaknya masuk ke Bumi Ageng. Makanya keberadaan Bumi Ageng dipagar mengelilingi rumah ini, untuk megantisipasi pengunjung yang main masuk saja. Sementara itu yang dimaksud dengan Depok, adalah tempat bermula nenek moyang mereka melakukan sembahyang sebelum ada perintah mendirikan masjid. Tempat ini berwujud petakan tanah yang dipagar juga. Pengunjung dilarang masuk dan mengambil foto dalam jarak dekat baik Bumi Ageng, maupun Depok. Pengunjung diperbolehkan mengambil foto minimal dengan jarak lebih dari 10 meter. Adapun wasiat mengenai tempat terlarang adalah hutan keramat dan hutan larangan. Hutan keramat hanya boleh dimasuki oleh Kuncen dan tetua adat yang mewakili ziarah setelah mengadakan ritual bersama-sama dengan penduduk di Bumi Ageng. Sementara itu, hutan larangan memang dilarang untuk siapa pun, baik penduduk setempat apalagi pengunjung, namun masih diperbolehkan mengambil gambar. Menurut hemat saya, adanya hokum adat yang melarang memasuki kedua hutan tersebut adalah semata untuk menjaga eksistensi dan kelestarian hutan yang menjadi batas fisik Kampung Naga, terbukti kedua hutan ini tumbuh hijau karena tidak dieksploitasi oleh penduduk.Bentuk nilai Akibat pernah dialami oleh sejumlah pengunjung yang datang secara berombongan, dan terjadi kesurupan masal setelah mengambil gambar Bumi Ageng secara dekat, padahal sebelumnya sudah diberi tahu tentang larangan tersebut. Hal ini tentu semakin menguatkan nilai-nilai yang dipegang penduduk Kampung Naga, bahwa siapa yang melanggar amanat dan wasiat, aakan menanggung akibatnya, hokum alam akan terjadi. Seperti yang saya sebutkan di atas, bahwa Kampung Naga sudah tersentuh modernitas. Identitas yang dikenakan penduduknya tidak unik lagi, sudah sama sebagaimana penduduk pada umumnya. Bahkan, baju yang dikenakan penduduknya kadang nyaru sama pendatang. Satu-satunya yang menarik dan unik dari Kampung Naga adalah bentuk permukimannya. Permukiman Kampung Naga begitu teratur, antar satu rumah dengan rumah lainnya sama; bentuk rumah panggung, lantai kayu, dindingnya berwarna putih (bukan cat melainkan kapur), serta beratapkan ijuk. Ukuran rumah memang tidak sama, namun sesuai ketentuan adat, material bangunan harus sama yang terdiri dari 7 material yaitu Tepus, Ijuk, Kayu, Bambu, Batu, Paku, Kapur. Bentuk rumah pun sama, membujur dari timur ke barat, serta menghadap ke utara atau selatan. Filosofi sederhanya, rumah sengaja membujur dari timur ke barat agar memperoleh sinar matahari untuk kesehatan penduduk. Sementara itu, rumah didesain saling menghadap utara-selatan antar tetangga agar saling peduli dengan tetangga, jika salah satu sakit maka tetangga yang satu bisa langsung segera member bantuan. Penerangan yang digunakan di Kampung Naga adalah lampu tempel, sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, dulu-dulunya tetua adat memang sudah sepakat tidak menerima kehadiran listrik, karena material bahan bangunannya mudah terbakar. Jumlah bangunan di Kampung Naga terdiri dari 113 bangunan. Jumlah bangunan tidak pernah bertambah, sekalipun jumlah penduduk meningkat. Strategi yang dilakukan agar keberadaan bangunan tetap sustain, keturunan penduduk Kampung Naga yang sudah menikah lebih sering meninggalkan Kampung Naga dan mendirikan rumah di luar Kampung Naga, serta akan kembali jika orang tua mereka telah meninggal.

Permukiman di Kampung NagaStruktur permukiman yang terbentuk di Kampung Naga polanya mengikuti bentuk struktur kota Kolonial dimana alun-alun, kantor pemerintahan, dan fasilitas umum berada di posisi center atau tengah. Bangunan di Kampung Naga meliputi Bumi Ageng, rumah warga, masjid, balai kampung, alun-alun, serta kolam. Alun-alun, Masjid dan Balai Kampung dan pusat oleh-oleh berada di tengah-tengah atau sebagai pusat permukiman Kampung Naga.

Balai Kampung (Kiri) dan Masjid Kampung Naga (Kanan)

Permukiman Kampung Naga, jika dilihat dari keberadaannya yang berada di lembah, dimana sungai mengalir sebagai sumber air, terbentuknya permukiman ini mengikuti teori Hidrolik (Pacione, 2005). Teori ini menyebutkan, awal mula terbentuknya permukiman yang akan berkembang menjadi suatu kota berawal dari sungai sebagai sumber air untuk kehidupan dan sumber irigasi untuk pertanian.

Ci Wulan., Hal-hal lain yang menarik dari Kampung Naga diantaranya adanya sistem hidrologi, kolam ikan, lesung penumbuk padi dan tempat pembuangan sampah akhir. Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, bahwa sistem hidrologi di Kampung Naga sudah terintegrasi dengan baik. Banyak pipa-pipa paralon menyalurkan air dari sungai ke sawah dan sumur-sumur penduduk, yang dimaksud sumur disini adalah bilik berbentuk persegi bentuknya ada yang sudah permanen cor batu dan semen, ada yang masih menggunakan anyaman bambu, dengan pancuran air dari pipa. Ada juga sumur yang sudah tertutup, artinya memiliki atap dan kebanyakan sumur yang sudah beratap merupakan milik Kampung. Sumur-sumur di sini semi panggung dan dibawahnya ada kolam ikan. Sumur-sumur ini tempat melakukan segala hajat; BAK, BAB, Mandi, dan kegiatan bebersih lain-lainnya. Tidak ada WC permanen di sini, lantai sumur merupakan rakitan bambu yang disisakan lubang memanjang tempat buang hajat yang langsung menuju kolam ikan. Jadi kalau BAB, langsung jatuh ke bawah dan dimakan sama ikan.

Pancuran tempat wudhu (Kiri) dan Sumur tertutup (Kanan)Kolam ikan yang ada di Kampung Naga terdiri dari kolam ikan milik kampung dan milik pribadi. Kolam ikan milik kampung, letaknya ditaruh di muka, memberikan sajian kepada pengunjung pemandangan menarik ikan warna-warni sedang berenang kesana-kemari

Kolam Ikan Milik PendudukMenurut salah satu guide yang memandu rombongan saya, penduduk Kampung Naga hanya menerima teknologi yang bisa memudahkan keberlangsungan hidup penduduk, namun tidak menghilangkan warisan budaya leluhur. Hidup boleh bergaya, asal tidak meninggalkan gaya hidup. Di Kampung Naga tidak terdapat mesin penggiling beras, karena jika ada akan membuat penduduk malas. Padi ditumbuk dengan cara tradisional menggunakan Lesung dan alat tumbuk padi. Mungkin, karena sudah jarang ditemui, pemandangan penduduk setempat (kaum ibu) yang sedang menumbuk padi menjadi pemandangan yang menarik bagi pengunjung. Alunan penumbuk padi yang bergantian antara penumbuk yang satu dan penumbuk yang lain seperti member irama tersendiri. Pemandangan seperti ini dapat ditemuai di sore hari.

Wanita Penumbuk PadiMenariknya lagi di Kampung Naga terdapat tempat sampah yang berbentuk corong sepanjang anak tangga menuju kampung naga dan di depan rumah-rumah penduduk. Memang kapasitas menampung sampahnya sedikit, tetapi bentuknya unik. Selain itu terdapat tempat pembuangan akhir sampah yang dibangun di pinggir sungai. Bentuk bangunannya sudah permanen dari cor-coran seman dan batu yang tertata rapi. Tempat pembuangan sampah akhir ini tempat membakar sampah dari rumah-rumah penduduk.

Tempat Sampah di Kampung Naga

ARSITEKTUR KAMPUNG NAGAArsitektur Kampung Naga : sederhana, adat, selaraslingkungan

Keserasian antara bangunan dan alam di Kampung Naga. Mengundang rasa ingin tahu pengunjung.Kampung Naga, salah satu permukiman tradisional rakyat Parahyangan. Berarsitektur adaptif, menyelarasi lingkungannya. Terletak di lembah subur, di kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Dusun ini dibatasi hutan, sawah, dan aliran sungai Ciwulan. Di capai setelah menuruni 300 anak tangga yang berkelok menuju lembah. Kampung Naga yang sekarang adalah permukiman baru yang dibangun, setelah kampung lama dibumihanguskan oleh gerombolan DI/TII Kartosuwiryo tahun 1956. Benda sakral, senjata adat, buku sejarah Naga, semuanya berbahasa Sansekerta. Akibatnya, penduduk tak tahu lagi asal usul nenek moyang mereka menamai desa mereka Kampung Naga. Namun demikian, mereka tetap kuat memegang dan memelihara tradisi adat Naga. Saat kampung dibangun kembali, desain rumah sedikit berubah ; jendela ditambah pada setiap hunian. Dusun ini prototipe kampung Sunda dengan pola perkampungan khas masyarakat yang sudah maju. Rumah dan bangunan di Kampung Naga berjumlah 105 buah, tertata rapi dalam pola mengelompok dan tanah lapang di tengah. Tanah lapang merupakan pusat aktivitas sosial dan ritual masyarakat, sekaligus tempat orientasi. Di sekitarnya ada masjid, balai pertemuan dan beberapa rumah penduduk. Di tempat yang lebih tinggi, sebelah barat kampung, terdapat Bumi Ageung dan rumah kuncen ( kepala adat ). Semua bangunan diletakkan memanjang ke arah barat timur, sehingga kampung seakan terlihat menghadap ke sungai Ciwulan yang berfungsi sebagai area servis penduduk. Dekat sungai, dalam kampung, terdapat kolam2 ( balong ) dan beberapa pancuran air.Hunian masyarakat Naga berbentuk rumah panggung dengan kolong setinggi 40-60 cm dari tanah. Selain untuk pengatur suhu dan kelembaban, kolong difungsikan sebagai tempat penyimpanan alat pertanian, kayu bakar serta kandang ternak. Rumah2 persegi panjang ini ditata secara teratur di atas tanah berkontur berbentuk teras2 yang diperkuat dengan sengked/ turap batu. Bentuk rumah panggung terkait kepercayaan warga Naga bahwa dunia terbagi menjadi dunia bawah, tengah dan atas. Dunia tengah melambangkan pusat alam semesta dengan manusia sebagai pusatnya. Tempat tinggal manusia di tengah, dengan tiang sebagai penopang yang tak boleh menyentuh tanah, sehingga diletakkan di atas tatapakan/ umpak batu.Ukuran rumah tergantung besar kecilnya keluarga dan kemampuan penghuni. Jika perlu tambahan ruang, dibuatlah sosompang di bagian kiri atau kanan rumah. Memberi warna pada rumah adalah tabu, kecuali dikapur atau dimeni. Pintu harus menghadap utara atau selatan, semua pada satu sisi rumah, sesuai ketentuan adat. Menghindari petaka dengan cagak gunting ?

Masjid di Kampung Naga. Di atas umpak batu, dari bahan kayu, bentuk simetris, tahan gempa. Jenis konstruksi dan atap yang digunakan sangat genial dalam memecahkan masalah iklim setempat. Struktur tiang dan umpak membuat bangunan adaptif terhadap gempa dan kontur tanah. Umpak juga mencegah tiang kayu lapuk terkena kelembaban tanah dan serangan serangga tanah. Ventilasi diatur agar rumah tetap kering dan sejuk, mengimbangi kondisi iklim tropis. Bentuk atap pelana rumah adat Kampung Naga disebut suhunan panjang atau suhunan julang ngapak ( bila sisi rumah ditambah sosompang ) dan terbuat dari ijuk. Selain kedap air, atap juga menjaga kehangatan rumah saat malam, karena teritis antar rumah yang nyaris bersentuhan itu membentuk lorong yang mengurangi masuknya angin. Berdasar kepercayaan bahwa manusia tak boleh menentang kodrat alam, maka pada ujung timur dan barat atap, sesuai arah edar matahari, diletakkan dekorasi cagak gunting atau capit hurang untuk menghindari mala petaka. Dinding anyaman bambu, menyekat muka tengah belakang rumah.Dinding rumah terbuat dari bambu yang dianyam ( bilik ). Jenis anyaman sasag paling banyak digunakan karena kuat dan tahan lama. Anyaman bercelah tsb, terutama dipakai untuk dinding dan pintu dapur, sesuai ketentuan adat. Untuk keperluan bahan baku bilik, penduduk yang hampir seluruhnya perajin bambu, menanam bambu di sekitar kampung dan hutan. Pada dasarnya rumah di Kampung Naga terdiri 3 bagian ; muka ( hareup ), tengah ( tengah imah ) dan belakang. Bagian depan berupa teras/ emper, tempat menerima tamu yang dicapai dengan menaiki gelodog ( tangga ). Bagian tengah adalah ruangan besar tempat keluarga serta tamu berkumpul ketika acara selamatan. Di sebelahnya, pangkeng/ enggon ( kamar tidur ), yang kadang hanya berupa area kosong, tanpa penyekat atau pintu, di sudut ruang tengah. Dapur dan padaringan/ goah ( tempat penyimpanan beras ) terletak di bagian belakang, tempat yang diperuntukkan khusus untuk kegiatan kaum perempuan.KESIMPULAN :Teknologi bangunan yang digunakan pada hunian Kampung Naga sangat sustainable dan green. Jadi, Tidak harus bahwa green building itu harus hi tech dan mahal. Buktinya, rumah-rumah adat di Kampung Naga. Ini bisa membuka mata dunia bahwa Indonesia punya warisan bangunan hijau. Hal ini tidak lepas dari prinsip kearifan lokal yang dimiliki oleh Kampung Naga, membuktikan bahwa kearifan lokal masih relevan dengan kondisi kekinian.

Daftar Pustaka :

I. Aziz,Azwan.2009.Pengaruh Material. Universitas Indonesia

II. Discoverindonesia.net. Garumpai House system of Kampung Naga. http://discoverindonesia.net/2010/04/garumpai-house-system-of-kampung-naga [27/05/2013]III. Kompas.com. 2009. Kampung Naga Percontohan Sertifikasi Arsitektur Hemat Energi. http://travel.kompas.com/read. [24/05/2010]IV. Kompas.com. 2009. Kampung Naga Tahan gempa hingga 10 SR. http://travel.kompas.com/read. [20/05/2013]V. Redaksi Butaru. 2009. Kampung Naga Masyarakat Adat yang menjaga pelestarian lingkungan. http://bulletin.penataanruang.net [20/05/2013]VI. Purwanto,et all.2003.Praktek pengelolaan sumber daya lahan dan hutan masyarakat tradisional Kampung Naga. Jurnal Pengelolaan DAS.Vol IX: 1-19

Teknik ArsitekturPage 16