29
MAKALAH EUTHANASIA Disusun oleh Kelompok 8 Anggota : 1. Farras Arlinda 2. Irham Janata Firdaus 3. Mega Ayu Lestari 4. Nova Anesti 5. Pratiwi Kristianti 6. Purnomo Ponco Nugroho 7. Qurotul Aqyun 8. Rachma Ayu Maulidiany 9. Sandy C. Widyatama 10. Salas Putri Rahayu

Makalah Euthanasia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Blok 114

Citation preview

MAKALAH

EUTHANASIA

Disusun oleh Kelompok 8Anggota :

1. Farras Arlinda

2. Irham Janata Firdaus

3. Mega Ayu Lestari

4. Nova Anesti

5. Pratiwi Kristianti

6. Purnomo Ponco Nugroho

7. Qurotul Aqyun

8. Rachma Ayu Maulidiany

9. Sandy C. Widyatama

10. Salas Putri Rahayu

FAKULTAS KEDOKTERAN UNSWAGATI

2014

BAB I

A.PENGERTIAN EUTHANASIA

 Istilah euthanasia, atau biasa disebut dengan “Mercy killing”, berasal dari

bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti baik, dan thanatos berarti

mati. Jadi, artinya adalah mati baik. Menurut Philo (50-20 SM), euthanasia berarti

kematian dengan tenang dan baik. Menurut Suetonis dalam bukunya yang berjudul

“Vita Ceaserum” mengatakan bahwa euthanasia adalah mati dengan cepat dan

tanpa derita. Euthanasia dalam bahasa arab dikenal dengan istilah Qatlu ar-

rahma atau Taysir al-maut. Euthanasia merupakan suatu tindakan medis yang

dilakukan secara sadar untuk mengakhiri suatu kehidupan dan melepaskannya dari

penderitaan rasa sakit tanpa merasakan sakit karena tidak ada pengobatan yang

memungkinkan.

Euthanasia tidak bisa terlepas dari perkemangan tentang konsep kematian.

Manusia terkadang berusaha memperpanjang kehidupan ataupun menghindari

kematian dengan mengunakan tekhnologi kedokteran,akan tetapi beberap orang

justru mengunakan teknologi kedokteran untuk mempercepat kematian. Hal ini

membawa masalah baru terutama berkenaan dengan konsep kematian itu sendiri.

Antara lain

1. Mati sebagai berhentinya darah mengalir

2. Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh

3. Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen

4. Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan

interaksi sosial.

Beberapa pengertian tentang terminologi euthanasia:

a.       Menurut hasil seminar aborsi dan euthanasia ditinjau dari segi medis, hukum

dan psikologi, euthanasia diartikan:

Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien.

Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang hidup

pasien

Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau tanpa

permintaan pasien.

b.    Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam

tiga arti:

Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk

yang beriman dengan nama Allah dibibir.

Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberinya obat

penenang.

Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas permintaan

pasien sendiri dan keluarganya.

Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur euthanasia

adalah sebagai berikut:

a.  Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu

b.  Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup

pasien.

c.  Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.

d. Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.

e.  Demi kepentingan pasien dan keluarganya.

B.Sejarah eutanasia

Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "eutanasia" ini pada "sumpah

Hippokrates" yang ditulis pada masa 400-300 SM.

Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan

obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu".

Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat

"bunuh diri" ataupun "membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan.

1. Eutanasia dalam dunia modern

Sejak abad ke-19, eutanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan pergerakan di

wilayah Amerika Utara dan di Eropa Pada tahun 1828 undang-undang anti

eutanasia mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang pada beberapa

tahun kemudian diberlakukan pula oleh beberapa negara bagian.

Setelah masa Perang Saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung

dilakukannya eutanasia secara sukarela.

Kelompok-kelompok pendukung eutanasia mulanya terbentuk di Inggris pada

tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada

pelaksanaan eutanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan

eutanasia tidak berhasil digolkan di Amerika maupun Inggris.

Pada tahun 1937, eutanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang

pasien yang bersangkutan tidak memperoleh keuntungan daripadanya.

Pada era yang sama, pengadilan Amerika menolak beberapa permohonan dari

pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak cacat yang

mengajukan permohonan eutanasia kepada dokter sebagai bentuk "pembunuhan

berdasarkan belas kasihan".

Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman melakukan suatu tindakan kontroversial

dalam suatu "program" eutanasia terhadap anak-anak di bawah umur 3 tahun yang

menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh, ataupun gangguan lainnya yang

menjadikan hidup mereka tak berguna. Program ini dikenal dengan nama Aksi

T4 ("Action T4") yang kelak diberlakukan juga terhadap anak-anak usia di atas 3

tahun dan para jompo / lansia.

2. Eutanasia pada masa setelah perang dunia

Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan eutanasia,

pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap eutanasia,

terlebih-lebih lagi terhadap tindakan eutanasia yang dilakukan secara tidak

sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika.

3. Praktik-praktik eutanasia di dunia

Praktik-praktik eutanasia pernah yang dilaporkan dalam berbagai tindakan

masyarakat

Di India pernah dipraktikkan suatu kebiasaan untuk melemparkan orang-orang

tua ke dalam sungai Gangga.

Di Sardinia, orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya.

Uruguay mencantumkan kebebasan praktik eutanasia dalam undang-undang

yang telah berlaku sejak tahun 1933.

Di beberapa negara Eropa, praktik eutanasia bukan lagi kejahatan kecuali

di Norwegia yang sejak 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.

Di Amerika Serikat, khususnya di semua negara bagian, eutanasia

dikategorikan sebagai kejahatan. Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh

adalah melanggar hukum di Amerika Serikat.

Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan eutanasia bagi para

anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan

tertentu dapat meminta tindakan eutanasia atas dirinya. Ada beberapa warga

Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktik medis, biasanya

tidak pernah dilakukan eutanasia aktif, namun mungkin ada praktik-praktik

medis yang dapat digolongkan eutanasia pasif.

C. JENIS-JENIS EUTHANASIA

Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana

datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Secara garis besar

euthanasia dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan

euthanasia pasif.

Di bawah ini dikemukakan beberapa jenis euthanasia:

1.      Euthanasia aktif

Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter untuk

mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya

dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan.

Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan

a.       Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui

tindakan medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien.

Misalnya dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera

mematikan

b.      Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan

medis yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi

diketahui bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien.

Misalnya, mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.

2.      Euthanasia pasif

Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan

atau pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga

pasien diperkirakan akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.

3.      Euthanasia volunter

Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat

kematian atas permintaan sendiri.

4.      Euthanasia involunter

Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien

dalam keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan

keinginannya. Dalam hal ini dianggap famili pasien yang bertanggung jawab

atas penghentian bantuan pengobatan. Perbuatan ini sulit dibedakan dengan

perbuatan kriminal.

Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai

macam yang lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans

magnis suseno dan Yezzi seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka

menambahkan macam-macam euthanasia selain euthanasia secara garis

besarnya, yaitu:

1.      Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang

tanpa memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha

perawatan agar yang bersangkutan dapat mati dengan "baik".

2.      Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian

dengan efek samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di sini

ke dalamnya termasuk pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik dan

analgetika yang mungkin "de fakto" dapat memperpendek kehidupan walaupun

hal itu tidak disengaja

3.      Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau

permintaan pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan

pernyataan tertulis dari pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.

4.      Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan

keinginan pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (misalnya

keluarga), atau atas keputusan pemerintah.

D.TINJAUAN ETIS EUTHANASIA

A.    Tinjauan Kedokteran

Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi

kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi

medis adalah untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan.

Sumpah Hipokrates jelas-jelas menolaknya, “Saya tidak akan memberikan racun

yang mematikan ataupun memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang

memintanya.” Sumpah ini kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di

dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri

yang membuatnya.

Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban

dokter kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa

mengingat akan kewajiban melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa

menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup

seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan

sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami kematian batang

otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut secara

keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian

tindakan terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang

mengalami kasus-kasus secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah

diadakan konsultasi dengan dokter yang berpengalaman, selain harus pula

dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga pasien, dan kualitas hidup terbaik yang

diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk melakukan euthanasia

adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan mengakhiri

hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang

mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa

euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan

euthanasia aktif dengan permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah

menyembuhkan dan meringankan penderitaan. Euthanasia justru bertentangan

radikal dengan hakikat itu.

Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan

perawatan medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai

penganiayaan. Ini berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh

seorang dokter. Tindakan di luar batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di

luar kompetensi dokter tersebut untuk melakukan perawatan medis. Apabila suatu

tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi, dokter tidak lagi berkompeten

melakukan perawatan medis.

B.     Tinjauan Filosofis-Etis

Dari segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan erat dengan pandangan

otonomi dan kebebasan manusia di mana manusia ingin menguasai dirinya sendiri

secara penuh sehingga dapat menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia akan

mati (hak untuk mati). Perdebatan mengenai euthanasia dapat diringkas sebagai

berikut: atas nama penghormatan terhadap otonomi manusia, manusia harus

mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan matinya sehingga seharusnya ia

mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia menghendakinya demi

pengakhiran penderitaan yang tidak berguna.

Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted suicide. Salah satu

argumentasinya menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita

mengizinkan pengecualian atas larangan membunuh, sebentar lagi cara ini bisa

dipakai juga terhadap orang cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain yang

dianggap tidak berguna lagi. Ada suatu prinsip etika yang sangat mendasar yaitu

kita harus menghormati kehidupan manusia. Tidak pernah boleh kita

mengorbankan manusia kepada suatu tujuan tertentu. Prinsip ini dirumuskan

sebagai “kesucian kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah suci

karena mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-mana harus dihormati.

Masing-masing orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada secara

intrinsik (ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan

berakhirnya manusia). Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari pengakuan

orang, artinya ia ada entah diakui atau tidak oleh orang lain. Masing-masing orang

harus mempertanggungjawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan oleh karena itu

masing-masing orang memiliki tujuan hidupnya sendiri. Karena itu, manusia tidak

pernah boleh dipakai hanya sebagai alat/instrumen untuk mencapai suatu tujuan

tertentu oleh orang lain.

Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi yang

banyak dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die. Menurut mereka, jika

pasien sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya

segera diakhiri. Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh penderitaan. Euthanasia

atau bunuh diri dengan bantuan hanya sekedar mempercepat kematian

nya, sekaligus memungkinkan “kematian yang baik”, tanpa penderitaan yang tidak

perlu.

C.  TINJAUAN YURIDIS EUTHANASIA

Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada

pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang

euthanasia. Tetapi bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut soal

keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari pengaturan atau

pasal yang sekurang-kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu.

Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang

terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.

Kitab undang-undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau

dihukum jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena

kurang hati-hati. Ketentuan pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan

euthanasia aktif tedapat padapasal 344 KUHP.

Pasal 344 KUHP:

Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri,

yang disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara

selama-lamanya dua belas tahun.

Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa

alasan kuat untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri hidup atau

memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus dihadapinya.

Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal

dibawah ini perlu diketahui oleh dokter, yaitu:

Pasal 338 KUHP:

Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena

makar mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.

Pasal 340 KUHP:

Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa

orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman

mati atau penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara selama-lamanya

dua puluh tahun.

Pasal 359 KUHP:             

Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara

selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.

Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang

mengingatkan kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus

euthanasia, yaitu:

Pasal 345 KUHP:

Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri,

menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh

diri, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.

Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia

dalam KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya

pembentuk undang-undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah

menganggap bahwa nyawa manusia sebagai miliknya yang paling berharga. Oleh

sebab itu setiap perbuatan  apapun motif dan macamnya sepanjang perbuatan

tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa manusia, maka hal ini

dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.

Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras,

warna kulit dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia

Indonesia dijamin oleh undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah

euthanasia ini.

D. Tinjauan Agama

A. Dalam ajaran gereja Katolik Roma

Sejak pertengahan abad ke-20, gereja Katolik telah berjuang untuk memberikan

pedoman sejelas mungkin mengenai penanganan terhadap mereka yang menderita

sakit tak tersembuhkan, sehubungan dengan ajaran moral gereja mengenai

eutanasia dan sistem penunjang hidup. Paus Pius XII, yang tak hanya menjadi

saksi dan mengutuk program-program egenetika dan eutanasia Nazi, melainkan

juga menjadi saksi atas dimulainya sistem-sistem modern penunjang hidup, adalah

yang pertama menguraikan secara jelas masalah moral ini dan menetapkan

pedoman. Pada tanggal 5 Mei tahun 1980 , kongregasi untuk ajaran iman telah

menerbitkan Dekalarasi tentang eutanasia ("Declaratio de euthanasia") [20] yang

menguraikan pedoman ini lebih lanjut, khususnya dengan semakin meningkatnya

kompleksitas sistem-sistem penunjang hidup dan gencarnya promosi eutanasia

sebagai sarana yang sah untuk mengakhiri hidup. Paus Yohanes Paulus II, yang

prihatin dengan semakin meningkatnya praktik eutanasia, dalam ensiklik Injil

Kehidupan (Evangelium Vitae) nomor 64 yang memperingatkan kita agar melawan

"gejala yang paling mengkhawatirkan dari `budaya kematian' dimana jumlah

orang-orang lanjut usia dan lemah yang meningkat dianggap sebagai beban yang

mengganggu." Paus Yohanes Paulus II juga menegaskan bahwa eutanasia

merupakan tindakan belas kasihan yang keliru, belas kasihan yang semu: "Belas

kasihan yang sejati mendorong untuk ikut menanggung penderitaan sesama. Belas

kasihan itu tidak membunuh orang, yang penderitaannya tidak dapat kita

tanggung" (Evangelium Vitae, nomor 66)

B. Dalam ajaran agama Hindu

Pandangan agama Hindu terhadap euthanasia adalah didasarkan pada ajaran

tentang karma, moksa dan ahimsa.

Karma adalah merupakan suatu konsekwensi murni dari semua jenis kehendak dan

maksud perbuatan, yang baik maupun yang buruk, lahir atau bathin dengan pikiran

kata-kata atau tindakan. Sebagai akumulasi terus menerus dari "karma" yang buruk

adalah menjadi penghalang "moksa" yaitu suatu ialah kebebasan dari

siklus reinkarnasi yang menjadi suatu tujuan utama dari penganut ajaran Hindu.

Ahimsa adalah merupakan prinsip "anti kekerasan" atau pantang menyakiti

siapapun juga.

Bunuh diri adalah suatu perbuatan yang terlarang di dalam ajaran Hindu dengan

pemikiran bahwa perbuatan tersebut dapat menjadi suatu factor yang mengganggu

pada saat reinkarnasi oleh karena menghasilkan "karma" buruk. Kehidupan

manusia adalah merupakan suatu kesempatan yang sangat berharga untuk meraih

tingkat yang lebih baik dalam kehidupan kembali.

Berdasarkan kepercayaan umat Hindu, apabila seseorang melakukan bunuh diri,

maka rohnya tidak akan masuk neraka ataupun surga melainkan tetap berada

didunia fana sebagai roh jahat dan berkelana tanpa tujuan hingga ia mencapai masa

waktu dimana seharusnya ia menjalani kehidupan (Catatan : misalnya umurnya

waktu bunuh diri 17 tahun dan seharusnya ia ditakdirkan hidup hingga 60 tahun

maka 43 tahun itulah rohnya berkelana tanpa arah tujuan), setelah itu maka rohnya

masuk ke neraka menerima hukuman lebih berat dan akhirnya ia akan kembali ke

dunia dalam kehidupan kembali (reinkarnasi) untuk menyelesaikan "karma" nya

terdahulu yang belum selesai dijalaninya kembali lagi dari awal

C. Dalam ajaran agama Buddha

Ajaran agama Buddha sangat menekankan kepada makna dari

kehidupan dimana penghindaran untuk melakukan pembunuhan makhluk hidup

adalah merupakan salah satu moral dalam ajaran Budha. Berdasarkan pada hal

tersebut di atas maka nampak jelas bahwa euthanasia adalah sesuatu perbuatan

yang tidak dapat dibenarkan dalam ajaran agama Budha. Selain daripada hal

tersebut, ajaran Budha sangat menekankan pada "welas asih" ("karuna")

Mempercepat kematian seseorang secara tidak alamiah adalah merupakan

pelanggaran terhadap perintah utama ajaran Budha yang dengan demikian dapat

menjadi "karma" negatif kepada siapapun yang terlibat dalam pengambilan

keputusan guna memusnahkan kehidupan seseorang tersebut.[24]

D. Dalam ajaran Islam

Seperti dalam agama-agama Ibrahim lainnya (Yahudi dan Kristen),

Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut

merupakan anugerah Allah kepada manusia. Hanya Allah yang dapat menentukan

kapan seseorang lahir dan kapan ia mati (QS 22: 66; 2: 243). Oleh karena itu,

bunuh diri diharamkan dalam hukum Islam meskipun tidak ada teks dalam Al

Quran maupun Hadist yang secara eksplisit melarang bunuh diri. Kendati

demikian, ada sebuah ayat yang menyiratkan hal tersebut, "Dan belanjakanlah

(hartamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam

kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-

orang yang berbuat baik." (QS 2: 195), dan dalam ayat lain disebutkan, "Janganlah

engkau membunuh dirimu sendiri," (QS 4: 29), yang makna langsungnya adalah

"Janganlah kamu saling berbunuhan." Dengan demikian, seorang Muslim (dokter)

yang membunuh seorang Muslim lainnya (pasien) disetarakan dengan membunuh

dirinya sendiri.[25]

Eutanasia dalam ajaran Islam disebut qatl ar-rahmah atau taisir al-

maut (eutanasia), yaitu suatu tindakan memudahkan kematian seseorang dengan

sengaja tanpa merasakan sakit, karena kasih sayang, dengan tujuan meringankan

penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.

Pada konferensi pertama tentang kedokteran Islam di Kuwait tahun 1981,

dinyatakan bahwa tidak ada suatu alasan yang membenarkan dilakukannya

eutanasia ataupun pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing) dalam

alasan apapun juga .[26]

Eutanasia positif

Yang dimaksud taisir al-maut al-fa'al (eutanasia positif) ialah tindakan

memudahkan kematian si sakit—karena kasih sayang—yang dilakukan oleh dokter

dengan mempergunakan instrumen (alat).

Memudahkan proses kematian secara aktif (eutanasia positif) adalah tidak

diperkenankan oleh syara'. Sebab dalam tindakan ini seorang dokter melakukan

suatu tindakan aktif dengan tujuan membunuh si sakit dan mempercepat

kematiannya melalui pemberian obat secara overdosis dan ini termasuk

pembunuhan yang haram hukumnya, bahkan termasukdosa besar yang

membinasakan.

Perbuatan demikian itu adalah termasuk dalam kategori pembunuhan meskipun

yang mendorongnya itu rasa kasihan kepada si sakit dan untuk meringankan

penderitaannya. Karena bagaimanapun si dokter tidaklah lebih pengasih dan

penyayang daripada Yang Menciptakannya. Karena itu serahkanlah urusan tersebut

kepada Allah Ta'ala, karena Dia-lah yang memberi kehidupan kepada manusia dan

yang mencabutnya apabila telah tiba ajal yang telah ditetapkan-Nya.

Eutanasia negatif

Eutanasia negatif disebut dengan taisir al-maut al-munfa'il. Pada eutanasia negatif

tidak dipergunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri

kehidupan si sakit, tetapi ia hanya dibiarkan tanpa diberi pengobatan untuk

memperpanjang hayatnya. Hal ini didasarkan pada keyakinan dokter bahwa

pengobatan yang dilakukan itu tidak ada gunanya dan tidak memberikan harapan

kepada si sakit, sesuai dengan sunnatullah (hukum Allah terhadap alam semesta)

dan hukum sebab-akibat.

Di antara masalah yang sudah terkenal di kalangan ulama syara' ialah bahwa

mengobati atau berobat dari penyakit tidak wajib hukumnya menurut jumhur

fuqaha dan imam-imammazhab. Bahkan menurut mereka, mengobati atau berobat

ini hanya berkisar pada hukum mubah. Dalam hal ini hanya segolongan kecil yang

mewajibkannya seperti yang dikatakan oleh sahabat-sahabat Imam

Syafi'i dan Imam Ahmad sebagaimana dikemukakan oleh Syekhul Islam Ibnu

Taimiyah, dan sebagian ulama lagi menganggapnya mustahab(sunnah).[28]

E. Dalam ajaran gereja Ortodoks

Pada ajaran Gereja Ortodoks, gereja senantiasa mendampingi orang-orang beriman

sejak kelahiran hingga sepanjang perjalanan hidupnya hingga kematian dan alam

baka dengan doa, upacara/ritual, sakramen, khotbah, pengajaran dan kasih, iman

dan pengharapan. Seluruh kehidupan hingga kematian itu sendiri adalah

merupakan suatu kesatuan dengan kehidupan gerejawi. Kematian itu adalah

sesuatu yang buruk sebagai suatu simbol pertentangan dengan kehidupan yang

diberikan Tuhan. Gereja Ortodoks memiliki pendirian yang sangat kuat terhadap

prinsip pro-kehidupan dan oleh karenanya menentang anjuran eutanasia.[29]

F. Dalam ajaran agama Yahudi

Ajaran agama Yahudi melarang eutanasia dalam berbagai bentuk dan

menggolongkannya kedalam "pembunuhan". Hidup seseorang bukanlah miliknya

lagi melainkan milik dari Tuhan yang memberikannya kehidupan sebagai pemilik

sesungguhnya dari kehidupan. Walaupun tujuannya mulia sekalipun, sebuah

tindakan mercy killing ( pembunuhan berdasarkan belas kasihan), adalah

merupakan suatu kejahatan berupa campur tangan terhadap kewenangan Tuhan.[30]

Dasar dari larangan ini dapat ditemukan pada Kitab Kejadian dalam

alkitab Perjanjian Lama Kej 1:9 yang berbunyi :" Tetapi mengenai darah kamu,

yakni nyawa kamu, Aku akan menuntut balasnya; dari segala binatang Aku akan

menuntutnya, dan dari setiap manusia Aku akan menuntut nyawa sesama

manusia".[31] Pengarang buku : HaKtav v'haKaballahmenjelaskan bahwa ayat ini

adalah merujuk kepada larangan tindakan eutanasia.

G. Dalam ajaran Protestan

Gereja Protestan terdiri dari berbagai denominasi yang mana memiliki pendekatan

yang berbeda-beda dalam pandangannya terhadap eutanasia dan orang yang

membantu pelaksanaan eutanasia.

Beberapa pandangan dari berbagai denominasi tersebut misalnya :[33]

Gereja Methodis  (United Methodist church) dalam buku ajarannya menyatakan

bahwa : " penggunaan teknologi kedokteran untuk memperpanjang kehidupan

pasien terminal membutuhkan suatu keputusan yang dapat dipertanggung

jawabkan tentang hingga kapankah peralatan penyokong kehidupan tersebut

benar-benar dapat mendukung kesempatan hidup pasien, dan kapankah batas

akhir kesempatan hidup tersebut".

Gereja Lutheran di Amerika menggolongkan nutrisi buatan dan hidrasi sebagai

suatu perawatan medis yang bukan merupakan suatu perawatan fundamental.

Dalam kasusdimana perawatan medis tersebut menjadi sia-sia dan

memberatkan, maka secara tanggung jawab moral dapat dihentikan atau

dibatalkan dan membiarkan kematian terjadi.

Seorang kristiani percaya bahwa mereka berada dalam suatu posisi yang unik

untuk melepaskan pemberian kehidupan dari Tuhan karena mereka percaya bahwa

kematian tubuh adalah merupakan suatu awal perjalanan menuju ke kehidupan

yang lebih baik.

Lebih jauh lagi, pemimpin gereja Katolik dan Protestan mengakui bahwa apabila

tindakan mengakhiri kehidupan ini dilegalisasi maka berarti suatu pemaaf untuk

perbuatan dosa, juga dimasa depan merupakan suatu racun bagi dunia perawatan

kesehatan, memusnahkan harapan mereka atas pengobatan.

Sejak awalnya, cara pandang yang dilakukan kaum kristiani dalam menanggapi

masalah "bunuh diri" dan "pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing)

adalah dari sudut "kekudusan kehidupan" sebagai suatu pemberian Tuhan.

Mengakhiri hidup dengan alasan apapun juga adalah bertentangan dengan maksud

dan tujuan pemberian tersebut.