21
BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG Ada dua masalah dalam bidang kedokteran atau kesehatan yang berkaitan dengan aspek hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga dapat digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran yaitu tentang abortus provokatus dan euthanasia. Dlam lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hippokrates (460-377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan telah diingatkan. Sampai kini tetap saja persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi atau diselesaikan dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yangdapat diteroma oleh semua pihak. Di satu pihak tindakan abortus provokatus dan euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang diperlukan sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan hukum, moral dan agama. Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan masalahnya sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak tersembuhkan, sementara pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi demikian tidak jarang pasien memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi atau di lain keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar, keluarga orang sakit yang tidak tega melihat pasien yang penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang 1

Makalah Euthanasia

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tentang pembunuhan

Citation preview

Page 1: Makalah Euthanasia

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Ada dua masalah dalam bidang kedokteran atau kesehatan yang berkaitan dengan

aspek hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga dapat

digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran yaitu tentang abortus

provokatus dan euthanasia. Dlam lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hippokrates (460-

377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan telah diingatkan. Sampai kini tetap saja

persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi atau diselesaikan

dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yangdapat diteroma oleh semua pihak. Di satu

pihak tindakan abortus provokatus dan euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang

diperlukan sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan

hukum, moral dan agama.

Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan masalahnya

sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak tersembuhkan, sementara

pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi demikian tidak jarang pasien

memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi

atau di lain keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar, keluarga orang sakit yang tidak tega

melihat pasien yang penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk

tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat kematian.

Dari sinilah istilah euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari

penderitaan atau mati secara baik.

Masalah makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena semakin

banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat terutama setelah

ditemukannya tindakan didalam dunia pengobatan dengan mempergunakan tegnologi

canggih dalam menghadapi keadaan-keadaan gawat dan mengancam kelangsungan hidup.

Banyak kasus-kasus di pusat pelayanan kesehatanterurtama di bagian gawat darurat dan di

bagian unit perawatan intensif yang pada masa lalu sudah merupakn kasus yang sudah tidak

dapat dibantu lagi.

1

Page 2: Makalah Euthanasia

1.2 RUMUSAN MASALAH

1.2.1 Apa Pengertian Dari Euthanasia

1.2.2 Apa saja jenis-jenisnya

1.2.3 Apa hukum Euthanasia

1.3 TUJUAN

1.3.1 Untuk mengetahui pengertian euthanasia

1.3.2 Untuk mengetahui jenis-jenisnya

1.3.3 Untuk mengetahui hukumnya

2

Page 3: Makalah Euthanasia

BAB II

PENJELASAN

2.1 PENGERTIAN EUTHANASIA

Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti

baik, tanpa penderitaan dan thanatos berarti mati. Dengan demikian euthanasia dapat

diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada yang menerjemahkan mati cepat tanpa

derita.

Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka

dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian,

namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi

kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan

panggilan manusia untuk mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga

tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat

dipertanggung jawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.

Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih menunjukkan

perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang

ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya

merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini

maknanya berkembang menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga

banyak masalah yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks

karena definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.

Beberapa Pengetian tentang euthanasia :

1. Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien.

Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang

hidup pasien

Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau

tanpa permintaan pasien.

2. Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga

arti:

Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk

yang beriman dengan nama Allah dibibir.

Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberinya

obat penenang.

3

Page 4: Makalah Euthanasia

Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas

permintaan pasien sendiri dan keluarganya

3. Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur euthanasia

adalah sebagai berikut:

Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu

Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup

pasien.

Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.

Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.

Demi kepentingan pasien dan keluarganya.

2.2 JENIS-JENIS EUTHANASIA

Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana

datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Secara garis besar euthanasia

dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Di bawah ini

dikemukakan beberapa jenis euthanasia:

1. Euthanasia aktif

Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter

untuk mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya

dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan.

Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan

Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan

medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya

dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan

Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis

yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui

bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya,

mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.

2. Euthanasia pasif

4

Page 5: Makalah Euthanasia

Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau

pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan

akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.

3. Euthanasia valonter

Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat

kematian atas permintaan sendiri.

4. Euthanasia involunter

Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam

keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini

dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan.

Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.

Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai macam

yang lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans magnis suseno dan

Yezzi seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka menambahkan macam-macam euthanasia

selain euthanasia secara garis besarnya, yaitu:

1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa

memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan agar

yang bersangkutan dapat mati dengan "baik".

2. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan efek

samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di sini ke dalamnya

termasuk pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik dan analgetika yang

mungkin "de fakto" dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja

3. Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan

pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari

pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.

4. Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan keinginan

pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (misalnya keluarga), atau atas

keputusan pemerintah.

2.3 Tinjauan hukum

1. Tinjauan kedokteran

Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi

kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis adalah

untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-

5

Page 6: Makalah Euthanasia

jelas menolaknya, “Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun

memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya.” Sumpah ini

kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin

saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri yang membuatnya.

Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter

kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban

melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter

tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan

dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami

kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut

secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan

terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus

secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan

dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga

pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk

melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan

mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang

mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif

maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan

permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan

penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu.

Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan

medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Ini

berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar

batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk

melakukan perawatan medis. Apabila suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi,

dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis.

2. Tinjauan filosofis etis

Dari segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan erat dengan pandangan otonomi

dan kebebasan manusia di mana manusia ingin menguasai dirinya sendiri secara penuh

sehingga dapat menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia akan mati (hak untuk mati).

Perdebatan mengenai euthanasia dapat diringkas sebagai berikut: atas nama penghormatan

terhadap otonomi manusia, manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan

6

Page 7: Makalah Euthanasia

matinya sehingga seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia

menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna.

Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted suicide. Salah satu

argumentasinya menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita mengizinkan

pengecualian atas larangan membunuh, sebentar lagi cara ini bisa dipakai juga terhadap orang

cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain yang dianggap tidak berguna lagi. Ada suatu

prinsip etika yang sangat mendasar yaitu kita harus menghormati kehidupan manusia. Tidak

pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan tertentu. Prinsip ini

dirumuskan sebagai “kesucian kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah

suci karena mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-mana harus dihormati.

Masing-masing orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada secara

intrinsik (ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan berakhirnya

manusia). Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari pengakuan orang, artinya ia ada

entah diakui atau tidak oleh orang lain. Masing-masing orang harus mempertanggung

jawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan oleh karena itu masing-masing orang memiliki tujuan

hidupnya sendiri. Karena itu, manusia tidak pernah boleh dipakai hanya sebagai

alat/instrumen untuk mencapai suatu tujuan tertentu oleh orang lain.

Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi yang

banyak dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die. Menurut mereka, jika pasien

sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri.

Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri dengan

bantuan hanya sekedar mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan “kematian yang

baik”, tanpa penderitaan yang tidak perlu.

3. Tinjauan yuridis euthanasia

Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada

pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia.

Tetapi bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan

keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-

kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat

dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Pidana Indonesia.

Kitab undang-undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau dihukum

jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati.

7

Page 8: Makalah Euthanasia

Ketentuan pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif tedapat pada

pasal 344 KUHP yaitu :

1. Pasal 344 KUHP:

Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang

disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya

dua belas tahun.

Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa

alasan kuat untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri hidup atau

memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus dihadapinya.

Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah

ini perlu diketahui oleh dokter, yaitu:

1. Pasal 338 KUHP:

Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar

mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.

2. Pasal 340 KUHP:

Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa

orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau

penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.

3. Pasal 359 KUHP:

Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara

selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.

Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan

kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia, yaitu:

4. Pasal 345 KUHP:

Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri,

menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri,

dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.

Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia

dalam KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk undang-

undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia

sebagai miliknya yang paling berharga. Oleh sebab itu setiap perbuatan  apapun motif dan

macamnya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa

manusia, maka hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.

8

Page 9: Makalah Euthanasia

Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras,

warna kulit dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia

dijamin oleh undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.

4. Tinjauan agama

Syariat islam jelas mengharamkan euthanasia aktif , karena termasuk dalam katagori

melakukan pembunuhan dengan sengaja (al-qath al-amad), walaupun niatnya baik, yaitu

untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram walupun atas permintaan

pasien sendiri atau keluarganya, tindakan tersebut dapat dikatagorikan tindakan putus asa dan

bunuh diri sendiri yang diharamkan. Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-

dalil yang mengharamkan pembunuhan, baik pembunuhan terhadap jiwa orang lain maupun

diri sendiri, misalnya firman Allah Swt.:

�ح�ق� �ال ب �ال إ الله م� ح�ر �ي ت ال ف�س� الن وا ل �ق�ت ت � و�الartinya : Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)

melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS al-An‘am [6]: 151).

ح�يم�ا ر� م� �ك ب �ان� ك الله� �ن إ م� ك �ف س� �ن أ وا ل �ق�ت ت � و�الartinya : Janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha

Penyayang kepadakalian. (QS an-Nisa' [4] : 29).

Karena itu, apapun alasannya (termasuk faktor kasihan kepada penderita), tindakan

euthanasia aktif tersebut jelas tidak dapat diterima. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah

(empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lain yang tidak diketahui dan terjangkau oleh

manusia, yaitu pengampunan dosa. Rasulullahsaw. bersabda:

» ه�ا اك ش� ي �ة� و�ك الش ى ح�ت �ه ع�ن �ه�ا ب الله �فر� ك �ال إ �م� ل �م س� ال ص�يب ت �ة0 م ص�يب م�ن� »م�ا

Artinya : Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang Muslim, kecuali Allah menghapuskan

dengan musibah itu dosanya, hatta sekadar duri yang menusuknya. (HR al-Bukhari dan

Muslim).

Mengenai euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam kategori

menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa

pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh

kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan

cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Lalu, bagaimanakah hukumnya

menurut syariatIslam?

9

Page 10: Makalah Euthanasia

Jawaban untuk pertanyaan tersebut bergantung pada pengetahuan kita tentang hukum

berobat (at-tadâwi) itu sendiri; apakah berobat itu wajib, mandûb (sunnah), mubah, atau

makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau

berobat itu hukumnya sunnah, tidak wajib. Namun, sebagian ulama ada yang mewajibkan

berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikh

al-Islam Ibnu Taimiyah (Utomo,2003:180). Menurut Abdul Qadim Zallum (1998: 68) hukum

berobat adalah mandûb, tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadis; pada satu sisi Nabi

saw. menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan pada sisi lain ada qarînah (indikasi) bahwa

tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas yang berimplikasi hukum wajib.

Di antara hadis-hadis tersebut adalah yang dituturkan oleh Usama bin Syarik, bahwa

beberapa orang Arab pernah bertanya, “Ya Rasulullah, haruskah kami berobat?”

Rasulullah saw. Kemudian bersabda, “Benar wahai hamba-hamba Allah, berobatlah kalian,

karena sesungguhnya Allah tidak membuat suatu penyakit kecuali Dia membuat pula

obatnya.(HRat-Tirmidzi).

Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw. memerintahkan kita untuk berobat.

Hanya saja, perintah (al-amr) tersebut tidak serta-merta berkonotasi wajib. Ini sesuai dengan

kaidah:

�ب� �لطل ل م�ر�� �أل ا ف�ي� ص�ل

� �أل ا

Artinya : perintah itu pada asalnya sekadar menunjukkan adanya tuntutan. (An-Nabhani,

1953).

Jadi, hadis riwayat Imam at-Tirmidzi di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam

hadis itu tidak ada satu indikasi pun yang membuktikan bahwa tuntutan tersebut bersifat

wajib. Qarînah yang ada dalam hadis-hadis lain juga menunjukkan bahwa perintah di atas

tidak bersifat wajib. Di antaranya hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra., bahwa seorang

perempuan yang berkulit hitam pernah datang kepada Nabi saw. Ia lalu berkata,

"Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat

kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!" Nabi saw. lalu berkata, "Jika kamu

mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah

agar Dia menyembuhkanmu. "Perempuan itu berkata, "Baiklahakuakanbersabar. "Lalu dia

berkata lagi, "Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh]. Karena itu,

berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap" Nabi saw. kemudian berdoa untuknya.

(HRBukhari).

10

Page 11: Makalah Euthanasia

Hadis di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadis ini digabungkan dengan

hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat maka hadis terakhir ini menjadi indikasi

(qarînah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib.

Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandûb), bukan wajib (Zallum, 1998: 69),

termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini

hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yang telah kritis

keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998: 69) mengatakan, bahwa jika para dokter telah

menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya maka para dokter berhak

menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya.

Sebab, kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya

kehidupan bagi pasien. Penggunaan dan penghentiaan alat-alat bantu itu sendiri termasuk

aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, tidak wajib. Karena itu, hukum euthanasia pasif

dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien (setelah

matinya atau rusaknya organ otak) hukumnya boleh (jâ'iz) bagi dokter. Jadi, ketika dokter

mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, ia tidak dapat dikatakan melakukan

pembunuhan terhadap pasien (Zallum, 1998: 69; Zuhaili, 1996: 500; Utomo, 2003:

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

11

Page 12: Makalah Euthanasia

3.1 KESIMPULAN

Euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan,

maka menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai

pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan

penderitaan.

1. Euthanasia dapat dikelompkkan menjadi euthanasia aktif, euthanasia pasif, euthanasia

volunter, dan uethanasia involunter.

2. Menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang

yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi

3. Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada

pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang

euthanasia. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah

apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.

3.2 SARAN

Dalam makalah ini penulis memberikan saran kepada kepeda para pemberi layanan

kesehatan khususnya para dokter untuk tidak melakukan euthanasia, karena jika dilihat dari

segi hak asasi manusia steiap orang berhak untuk hidup. Dan jika dilihat dari segi agama,

yang mempunyai kuasa atas hidup manusia adalah Tuhan.

DAFTAR PUSAKA

12

Page 13: Makalah Euthanasia

Hanafiah Jusuf: Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta, 2005

http://Hukum-Kesehatan.web.id/AspekHukumdalamPelaksanaanEuthanasiadi

Indonesia«HukumKesehatan.htm

http:// Johnkoplo’sWeblog.com/Euthanasia Tinjauan dari Segi Medis, Etis, dan Moral

Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah.

An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Al-Quds :

Mansyurat Hizb Al-Tahrir.

Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah Ar-Risalah.

Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak).

Damaskus : Darul Fikr.

http://www.google.co.id/url?url=http://eprints.undip.ac.id/5896/1/aspek_hukum_euthanasia_-

_lucia_ratna_kartika_wulan.pdf&rct=j&sa=U&ei=VLS4UO_uHYrmrAfeiYCgCg&ved=0CC

YQFjAC&q=hukum+euthasia&usg=AFQjCNGt6es-s3d9baCCDRlP8Nay6AXraA

13

Page 14: Makalah Euthanasia

14