Upload
iqbalsmith
View
29
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tentang pembunuhan
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Ada dua masalah dalam bidang kedokteran atau kesehatan yang berkaitan dengan
aspek hukum yang selalu aktual dibicarakan dari waktu ke waktu, sehingga dapat
digolongkan ke dalam masalah klasik dalam bidang kedokteran yaitu tentang abortus
provokatus dan euthanasia. Dlam lafal sumpah dokter yang disusun oleh Hippokrates (460-
377 SM), kedua masalah ini telah ditulis dan telah diingatkan. Sampai kini tetap saja
persoalan yang timbul berkaitan dengan masalah ini tidak dapat diatasi atau diselesaikan
dengan baik, atau dicapainya kesepakatan yangdapat diteroma oleh semua pihak. Di satu
pihak tindakan abortus provokatus dan euthanasia pada beberapa kasus dan keadaan memang
diperlukan sementara di lain pihak tindakan ini tidak dapat diterima, bertentangan dengan
hukum, moral dan agama.
Mengenai masalah euthanasia bila ditarik ke belakang boleh dikatakan masalahnya
sudah ada sejak kalangan kesehatan menghadapi penyakit yang tak tersembuhkan, sementara
pasien sudah dalam keadaan merana dan sekarat. Dalam situasi demikian tidak jarang pasien
memohon agar dibebaskan dari penderitaan ini dan tidak ingin diperpanjang hidupnya lagi
atau di lain keadaan pada pasien yang sudah tidak sadar, keluarga orang sakit yang tidak tega
melihat pasien yang penuh penderitaan menjelang ajalnya dan minta kepada dokter untuk
tidak meneruskan pengobatan atau bila perlu memberikan obat yang mempercepat kematian.
Dari sinilah istilah euthanasia muncul, yaitu melepas kehidupan seseorang agar terbebas dari
penderitaan atau mati secara baik.
Masalah makin sering dibicarakan dan menarik banyak perhatian karena semakin
banyak kasus yang dihadapi kalangan kedokteran dan masyarakat terutama setelah
ditemukannya tindakan didalam dunia pengobatan dengan mempergunakan tegnologi
canggih dalam menghadapi keadaan-keadaan gawat dan mengancam kelangsungan hidup.
Banyak kasus-kasus di pusat pelayanan kesehatanterurtama di bagian gawat darurat dan di
bagian unit perawatan intensif yang pada masa lalu sudah merupakn kasus yang sudah tidak
dapat dibantu lagi.
1
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.2.1 Apa Pengertian Dari Euthanasia
1.2.2 Apa saja jenis-jenisnya
1.2.3 Apa hukum Euthanasia
1.3 TUJUAN
1.3.1 Untuk mengetahui pengertian euthanasia
1.3.2 Untuk mengetahui jenis-jenisnya
1.3.3 Untuk mengetahui hukumnya
2
BAB II
PENJELASAN
2.1 PENGERTIAN EUTHANASIA
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu dan thanatos. Kata eu berarti
baik, tanpa penderitaan dan thanatos berarti mati. Dengan demikian euthanasia dapat
diartikan mati dengan baik tanpa penderitaan. Ada yang menerjemahkan mati cepat tanpa
derita.
Secara etimologis euthanasia berarti kematian dengan baik tanpa penderitaan, maka
dari itu dalam mengadakan euthanasia arti sebenarnya bukan untuk menyebabkan kematian,
namun untuk mengurangi atau meringankan penderitaan orang yang sedang menghadapi
kematiannya. Dalam arti yang demikian itu euthanasia tidaklah bertentangan dengan
panggilan manusia untuk mempertahankan dan memperkembangkan hidupnya, sehingga
tidak menjadi persoalan dari segi kesusilaan. Artinya dari segi kesusilaan dapat
dipertanggung jawabkan bila orang yang bersangkutan menghendakinya.
Akan tetapi dalam perkembangan istilah selanjutnya, euthanasia lebih menunjukkan
perbuatan yang membunuh karena belas kasihan, maka menurut pengertian umum sekarang
ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya
merupakan suatu kesengsaraan dan penderitaan. Inilah konsep dasar dari euthanasia yang kini
maknanya berkembang menjadi kematian atas dasar pilihan rasional seseorang, sehingga
banyak masalah yang ditimbulkan dari euthanasia ini. Masalah tersebut semakin kompleks
karena definisi dari kematian itu sendiri telah menjadi kabur.
Beberapa Pengetian tentang euthanasia :
1. Dengan sengaja melakukan sesuatu untuk mengakhiri hidup seorang pasien.
Dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (palaten) untuk memperpanjang
hidup pasien
Dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri atas permintaan atau
tanpa permintaan pasien.
2. Menurut kode etik kedokteran indonesia, kata euthanasia dipergunakan dalam tiga
arti:
Berpindahnya ke alam baka dengan tenang dan aman tanpa penderitaan, untuk
yang beriman dengan nama Allah dibibir.
Ketika hidup berakhir, diringankan penderitaan sisakit dengan memberinya
obat penenang.
3
Mengakhiri penderitaan dan hidup seorang sakit dengan sengaja atas
permintaan pasien sendiri dan keluarganya
3. Dari beberapa kategori tersebut, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur euthanasia
adalah sebagai berikut:
Berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
Mengakhiri hidup, mempercepat kematian, atau tidak memperpanjang hidup
pasien.
Pasien menderita suatu penyakit yang sulit untuk disembuhkan kembali.
Atas atau tanpa permintaan pasien atau keluarganya.
Demi kepentingan pasien dan keluarganya.
2.2 JENIS-JENIS EUTHANASIA
Euthanasia bisa ditinjau dari berbagai sudut, seperti cara pelaksanaanya, dari mana
datang permintaan, sadar tidaknya pasien dan lain-lain. Secara garis besar euthanasia
dikelompokan dalam dua kelompok, yaitu euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Di bawah ini
dikemukakan beberapa jenis euthanasia:
1. Euthanasia aktif
Euthanasia aktif adalah perbuatan yang dilakukan secara aktif oleh dokter
untuk mengakhiri hidup seorang (pasien) yang dilakukan secara medis. Biasanya
dilakukan dengan penggunaan obat-obatan yang bekerja cepat dan mematikan.
Euthanasia aktif terbagi menjadi dua golongan
Euthanasia aktif langsung, yaitu cara pengakhiran kehidupan melalui tindakan
medis yang diperhitungkan akan langsung mengakhiri hidup pasien. Misalnya
dengan memberi tablet sianida atau suntikan zat yang segera mematikan
Euthanasia aktif tidak langsung, yang menunjukkan bahwa tindakan medis
yang dilakukan tidak akan langsung mengakhiri hidup pasien, tetapi diketahui
bahwa risiko tindakan tersebut dapat mengakhiri hidup pasien. Misalnya,
mencabut oksigen atau alat bantu kehidupan lainnya.
2. Euthanasia pasif
4
Euthanasia pasif adalah perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau
pengobatan yang perlu untuk mempertahankan hidup manusia, sehingga pasien diperkirakan
akan meninggal setelah tindakan pertolongan dihentikan.
3. Euthanasia valonter
Euthanasia jenis ini adalah Penghentian tindakan pengobatan atau mempercepat
kematian atas permintaan sendiri.
4. Euthanasia involunter
Euthanasia involunter adalah jenis euthanasia yang dilakukan pada pasien dalam
keadaan tidak sadar yang tidak mungkin untuk menyampaikan keinginannya. Dalam hal ini
dianggap famili pasien yang bertanggung jawab atas penghentian bantuan pengobatan.
Perbuatan ini sulit dibedakan dengan perbuatan kriminal.
Selain kategori empat macam euthanasia di atas, euthanasia juga mempunyai macam
yang lain, hal ini diungkapkan oleh beberapa tokoh, diantaranya Frans magnis suseno dan
Yezzi seperti dikutip Petrus Yoyo Karyadi, mereka menambahkan macam-macam euthanasia
selain euthanasia secara garis besarnya, yaitu:
1. Euthanasia murni, yaitu usaha untuk memperingan kematian seseorang tanpa
memperpendek kehidupannya. Kedalamnya termasuk semua usaha perawatan agar
yang bersangkutan dapat mati dengan "baik".
2. Euthanasia tidak langsung, yaitu usaha untuk memperingan kematian dengan efek
samping, bahwa pasien mungkin mati dengan lebih cepat. Di sini ke dalamnya
termasuk pemberian segala macam obat narkotik, hipnotik dan analgetika yang
mungkin "de fakto" dapat memperpendek kehidupan walaupun hal itu tidak disengaja
3. Euthanasia sukarela, yaitu mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan
pasien. Adakalanya hal itu tidak harus dibuktikan dengan pernyataan tertulis dari
pasien atau bahkan bertentangan dengan pasien.
4. Euthanasia nonvoluntary, yaitu mempercepat kematian sesuai dengan keinginan
pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga (misalnya keluarga), atau atas
keputusan pemerintah.
2.3 Tinjauan hukum
1. Tinjauan kedokteran
Profesi tenaga medis sudah sejak lama menentang euthanasia sebab profesi
kedokteran adalah untuk menyembuhkan dan bukan untuk mematikan. Profesi medis adalah
untuk merawat kehidupan dan bukan untuk merusak kehidupan. Sumpah Hipokrates jelas-
5
jelas menolaknya, “Saya tidak akan memberikan racun yang mematikan ataupun
memberikan saran mengenai hal ini kepada mereka yang memintanya.” Sumpah ini
kemudian menjadi dasar sumpah seluruh dokter di dunia, termasuk di Indonesia. Mungkin
saja sumpah ini bukan Hipokrates sendiri yang membuatnya.
Dalam pasal 9, bab II Kode Etik Kedokteran Indonesia tentang kewajiban dokter
kepada pasien, disebutkan bahwa seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban
melindungi hidup makhluk insani. Ini berarti bahwa menurut kode etik kedokteran, dokter
tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang yang sakit meskipun menurut pengetahuan
dan pengalaman tidak akan sembuh lagi. Tetapi apabila pasien sudah dipastikan mengalami
kematian batang otak atau kehilangan fungsi otaknya sama sekali, maka pasien tersebut
secara keseluruhan telah mati walaupun jantungnya masih berdenyut. Penghentian tindakan
terapeutik harus diputuskan oleh dokter yang berpengalaman yang mengalami kasus-kasus
secara keseluruhan dan sebaiknya hal itu dilakukan setelah diadakan konsultasi dengan
dokter yang berpengalaman, selain harus pula dipertimbangkan keinginan pasien, kelurga
pasien, dan kualitas hidup terbaik yang diharapkan. Dengan demikian, dasar etik moral untuk
melakukan euthanasia adalah memperpendek atau mengakhiri penderitaan pasien dan bukan
mengakhiri hidup pasien. Sampai saat ini, belum ada aturan hukum di Indonesia yang
mengatur tentang euthanasia. Pasal-pasal KUHP justru menegaskan bahwa euthanasia aktif
maupun pasif tanpa permintaan dilarang. Demikian pula dengan euthanasia aktif dengan
permintaan. Hakikat profesi kedokteran adalah menyembuhkan dan meringankan
penderitaan. Euthanasia justru bertentangan radikal dengan hakikat itu.
Namun, beberapa ahli hukum juga berpendapat bahwa tindakan melakukan perawatan
medis yang tidak ada gunanya secara yuridis dapat dianggap sebagai penganiayaan. Ini
berkaitan dengan batas ilmu kedokteran yang dikuasai oleh seorang dokter. Tindakan di luar
batas ilmu kedokteran tersebut dapat dikatakan di luar kompetensi dokter tersebut untuk
melakukan perawatan medis. Apabila suatu tindakan dapat dinilai tidak ada gunanya lagi,
dokter tidak lagi berkompeten melakukan perawatan medis.
2. Tinjauan filosofis etis
Dari segi filosofis, persoalan euthanasia berhubungan erat dengan pandangan otonomi
dan kebebasan manusia di mana manusia ingin menguasai dirinya sendiri secara penuh
sehingga dapat menentukan sendiri kapan dan bagaimana ia akan mati (hak untuk mati).
Perdebatan mengenai euthanasia dapat diringkas sebagai berikut: atas nama penghormatan
terhadap otonomi manusia, manusia harus mempunyai kontrol secara penuh atas hidup dan
6
matinya sehingga seharusnya ia mempunyai kuasa untuk mengakhiri hidupnya jika ia
menghendakinya demi pengakhiran penderitaan yang tidak berguna.
Banyak pakar etika menolak euthanasia dan assisted suicide. Salah satu
argumentasinya menekankan bahaya euthanasia disalahgunakan. Jika kita mengizinkan
pengecualian atas larangan membunuh, sebentar lagi cara ini bisa dipakai juga terhadap orang
cacat, orang berusia lanjut, atau orang lain yang dianggap tidak berguna lagi. Ada suatu
prinsip etika yang sangat mendasar yaitu kita harus menghormati kehidupan manusia. Tidak
pernah boleh kita mengorbankan manusia kepada suatu tujuan tertentu. Prinsip ini
dirumuskan sebagai “kesucian kehidupan” (the sanctity of life). Kehidupan manusia adalah
suci karena mempunyai nilai absolut dan karena itu dimana-mana harus dihormati.
Masing-masing orang memiliki martabat (nilai) sendiri-sendiri yang ada secara
intrinsik (ada bersama dengan adanya manusia dan berakhir bersama dengan berakhirnya
manusia). Keberadaan martabat manusia ini terlepas dari pengakuan orang, artinya ia ada
entah diakui atau tidak oleh orang lain. Masing-masing orang harus mempertanggung
jawabkan hidupnya sendiri-sendiri dan oleh karena itu masing-masing orang memiliki tujuan
hidupnya sendiri. Karena itu, manusia tidak pernah boleh dipakai hanya sebagai
alat/instrumen untuk mencapai suatu tujuan tertentu oleh orang lain.
Meski demikian, tidak sedikit juga yang mendukung euthanasia. Argumentasi yang
banyak dipakai adalah hak pasien terminal: the right to die. Menurut mereka, jika pasien
sudah sampai akhir hidupnya, ia berhak meminta agar penderitaannya segera diakhiri.
Beberapa hari yang tersisa lagi pasti penuh penderitaan. Euthanasia atau bunuh diri dengan
bantuan hanya sekedar mempercepat kematiannya, sekaligus memungkinkan “kematian yang
baik”, tanpa penderitaan yang tidak perlu.
3. Tinjauan yuridis euthanasia
Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada
pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang euthanasia.
Tetapi bagaimanapun karena masalah euthanasia menyangkut soal keamanan dan
keselamatan nyawa manusia, maka harus dicari pengaturan atau pasal yang sekurang-
kurangnya sedikit mendekati unsur-unsur euthanasia itu. Maka satu-satunya yang dapat
dipakai sebagai landasan hukum, adalah apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana Indonesia.
Kitab undang-undang Hukum Pidana mengatur sesorang dapat dipidana atau dihukum
jika ia menghilangkan nyawa orang lain dengan sengaja ataupun karena kurang hati-hati.
7
Ketentuan pelangaran pidana yang berkaitan langsung dengan euthanasia aktif tedapat pada
pasal 344 KUHP yaitu :
1. Pasal 344 KUHP:
Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang itu sendiri, yang
disebutnya dengan nyata dan dengan sungguh-sungguh, dihukum penjara selama-lamanya
dua belas tahun.
Ketentuan ini harus diingat kalangan kedokteran sebab walaupun terdapat beberapa
alasan kuat untuk membantu pasien atau keluarga pasien mengakhiri hidup atau
memperpendek hidup pasien, ancaman hukuman ini harus dihadapinya.
Untuk jenis euthanasia aktif maupun pasif tanpa permintaan, beberapa pasal dibawah
ini perlu diketahui oleh dokter, yaitu:
1. Pasal 338 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain, dihukum karena makar
mati, dengan penjara selama-lamanya lima belas tahun.
2. Pasal 340 KUHP:
Barangsiapa dengan sengaja dan direncanakan lebih dahulu menghilangkan jiwa
orang lain, dihukum, karena pembunuhan direncanakan (moord) dengan hukuman mati atau
penjara selama-lamanya seumur hidup atau penjara selama-lamanya dua puluh tahun.
3. Pasal 359 KUHP:
Barang siapa karena salahnya menyebabkan matinya orang dihukum penjara
selama-lamanya lima tahun atau kurungan selama-lamanya satu tahun.
Selanjutnya di bawah ini dikemukakan sebuah ketentuan hukum yang mengingatkan
kalangan kesehatan untuk berhati-hati menghadapi kasus euthanasia, yaitu:
4. Pasal 345 KUHP:
Barang siapa dengan sengaja menghasut orang lain unutk membunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberikan daya upaya itu jadi bunuh diri,
dihukum penjara selama-lamanya empat tahun.
Kalau diperhatikan bunyi pasal-pasal mengenai kejahatan terhadap nyawa manusia
dalam KUHP tersebut, maka dapatlah kita dimengerti betapa sebenarnya pembentuk undang-
undang pada saat itu (zaman Hindia Belanda) telah menganggap bahwa nyawa manusia
sebagai miliknya yang paling berharga. Oleh sebab itu setiap perbuatan apapun motif dan
macamnya sepanjang perbuatan tersebut mengancam keamanan dan keselamatan nyawa
manusia, maka hal ini dianggap sebagai suatu kejahatan yang besar oleh negara.
8
Adalah suatu kenyataan sampai sekarang bahwa tanpa membedakan agama, ras,
warna kulit dan ideologi, tentang keamanan dan keselamatan nyawa manusia Indonesia
dijamin oleh undang-undang. Demikian halnya terhadap masalah euthanasia ini.
4. Tinjauan agama
Syariat islam jelas mengharamkan euthanasia aktif , karena termasuk dalam katagori
melakukan pembunuhan dengan sengaja (al-qath al-amad), walaupun niatnya baik, yaitu
untuk meringankan penderitaan pasien. Hukumnya tetap haram walupun atas permintaan
pasien sendiri atau keluarganya, tindakan tersebut dapat dikatagorikan tindakan putus asa dan
bunuh diri sendiri yang diharamkan. Dalil-dalil dalam masalah ini sangatlah jelas, yaitu dalil-
dalil yang mengharamkan pembunuhan, baik pembunuhan terhadap jiwa orang lain maupun
diri sendiri, misalnya firman Allah Swt.:
�ح�ق� �ال ب �ال إ الله م� ح�ر �ي ت ال ف�س� الن وا ل �ق�ت ت � و�الartinya : Janganlah kalian membunuh jiwa yang diharamkan Allah (untuk membunuhnya)
melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS al-An‘am [6]: 151).
ح�يم�ا ر� م� �ك ب �ان� ك الله� �ن إ م� ك �ف س� �ن أ وا ل �ق�ت ت � و�الartinya : Janganlah kalian membunuh diri kalian, sesungguhnya Allah adalah Maha
Penyayang kepadakalian. (QS an-Nisa' [4] : 29).
Karena itu, apapun alasannya (termasuk faktor kasihan kepada penderita), tindakan
euthanasia aktif tersebut jelas tidak dapat diterima. Alasan ini hanya melihat aspek lahiriah
(empiris), padahal di balik itu ada aspek-aspek lain yang tidak diketahui dan terjangkau oleh
manusia, yaitu pengampunan dosa. Rasulullahsaw. bersabda:
» ه�ا اك ش� ي �ة� و�ك الش ى ح�ت �ه ع�ن �ه�ا ب الله �فر� ك �ال إ �م� ل �م س� ال ص�يب ت �ة0 م ص�يب م�ن� »م�ا
Artinya : Tidaklah suatu musibah menimpa seseorang Muslim, kecuali Allah menghapuskan
dengan musibah itu dosanya, hatta sekadar duri yang menusuknya. (HR al-Bukhari dan
Muslim).
Mengenai euthanasia pasif, sebenarnya faktanya termasuk dalam kategori
menghentikan pengobatan. Tindakan tersebut dilakukan berdasarkan keyakinan dokter bahwa
pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya lagi dan tidak memberikan harapan sembuh
kepada pasien. Karena itu, dokter menghentikan pengobatan kepada pasien, misalnya dengan
cara menghentikan alat pernapasan buatan dari tubuh pasien. Lalu, bagaimanakah hukumnya
menurut syariatIslam?
9
Jawaban untuk pertanyaan tersebut bergantung pada pengetahuan kita tentang hukum
berobat (at-tadâwi) itu sendiri; apakah berobat itu wajib, mandûb (sunnah), mubah, atau
makruh? Dalam masalah ini ada perbedaan pendapat. Menurut jumhur ulama, mengobati atau
berobat itu hukumnya sunnah, tidak wajib. Namun, sebagian ulama ada yang mewajibkan
berobat, seperti kalangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, seperti dikemukakan oleh Syaikh
al-Islam Ibnu Taimiyah (Utomo,2003:180). Menurut Abdul Qadim Zallum (1998: 68) hukum
berobat adalah mandûb, tidak wajib. Hal ini berdasarkan berbagai hadis; pada satu sisi Nabi
saw. menuntut umatnya untuk berobat, sedangkan pada sisi lain ada qarînah (indikasi) bahwa
tuntutan itu bukanlah tuntutan yang tegas yang berimplikasi hukum wajib.
Di antara hadis-hadis tersebut adalah yang dituturkan oleh Usama bin Syarik, bahwa
beberapa orang Arab pernah bertanya, “Ya Rasulullah, haruskah kami berobat?”
Rasulullah saw. Kemudian bersabda, “Benar wahai hamba-hamba Allah, berobatlah kalian,
karena sesungguhnya Allah tidak membuat suatu penyakit kecuali Dia membuat pula
obatnya.(HRat-Tirmidzi).
Hadis di atas menunjukkan bahwa Rasulullah saw. memerintahkan kita untuk berobat.
Hanya saja, perintah (al-amr) tersebut tidak serta-merta berkonotasi wajib. Ini sesuai dengan
kaidah:
�ب� �لطل ل م�ر�� �أل ا ف�ي� ص�ل
� �أل ا
Artinya : perintah itu pada asalnya sekadar menunjukkan adanya tuntutan. (An-Nabhani,
1953).
Jadi, hadis riwayat Imam at-Tirmidzi di atas hanya menuntut kita berobat. Dalam
hadis itu tidak ada satu indikasi pun yang membuktikan bahwa tuntutan tersebut bersifat
wajib. Qarînah yang ada dalam hadis-hadis lain juga menunjukkan bahwa perintah di atas
tidak bersifat wajib. Di antaranya hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra., bahwa seorang
perempuan yang berkulit hitam pernah datang kepada Nabi saw. Ia lalu berkata,
"Sesungguhnya aku terkena penyakit ayan (epilepsi) dan sering tersingkap auratku [saat
kambuh]. Berdoalah kepada Allah untuk kesembuhanku!" Nabi saw. lalu berkata, "Jika kamu
mau, kamu bersabar dan akan mendapat surga. Jika tidak mau, aku akan berdoa kepada Allah
agar Dia menyembuhkanmu. "Perempuan itu berkata, "Baiklahakuakanbersabar. "Lalu dia
berkata lagi, "Sesungguhnya auratku sering tersingkap [saat ayanku kambuh]. Karena itu,
berdoalah kepada Allah agar auratku tidak tersingkap" Nabi saw. kemudian berdoa untuknya.
(HRBukhari).
10
Hadis di atas menunjukkan bolehnya tidak berobat. Jika hadis ini digabungkan dengan
hadits pertama di atas yang memerintahkan berobat maka hadis terakhir ini menjadi indikasi
(qarînah), bahwa perintah berobat adalah perintah sunnah, bukan perintah wajib.
Kesimpulannya, hukum berobat adalah sunnah (mandûb), bukan wajib (Zallum, 1998: 69),
termasuk dalam hal ini memasang alat-alat bantu bagi pasien. Jika memasang alat-alat ini
hukumnya sunnah, apakah dokter berhak mencabutnya dari pasien yang telah kritis
keadaannya? Abdul Qadim Zallum (1998: 69) mengatakan, bahwa jika para dokter telah
menetapkan bahwa si pasien telah mati organ otaknya maka para dokter berhak
menghentikan pengobatan, seperti menghentikan alat bantu pernapasan dan sebagainya.
Sebab, kematian otak tersebut berarti secara pasti tidak memungkinkan lagi kembalinya
kehidupan bagi pasien. Penggunaan dan penghentiaan alat-alat bantu itu sendiri termasuk
aktivitas pengobatan yang hukumnya sunnah, tidak wajib. Karena itu, hukum euthanasia pasif
dalam arti menghentikan pengobatan dengan mencabut alat-alat bantu pada pasien (setelah
matinya atau rusaknya organ otak) hukumnya boleh (jâ'iz) bagi dokter. Jadi, ketika dokter
mencabut alat-alat tersebut dari tubuh pasien, ia tidak dapat dikatakan melakukan
pembunuhan terhadap pasien (Zallum, 1998: 69; Zuhaili, 1996: 500; Utomo, 2003:
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
11
3.1 KESIMPULAN
Euthanasia lebih menunjukkan perbuatan yang membunuh karena belas kasihan,
maka menurut pengertian umum sekarang ini, euthanasia dapat diterangkan sebagai
pembunuhan yang sistematis karena kehidupannya merupakan suatu kesengsaraan dan
penderitaan.
1. Euthanasia dapat dikelompkkan menjadi euthanasia aktif, euthanasia pasif, euthanasia
volunter, dan uethanasia involunter.
2. Menurut kode etik kedokteran, dokter tidak diperbolehkan mengakhiri hidup seorang
yang sakit meskipun menurut pengetahuan dan pengalaman tidak akan sembuh lagi
3. Di Indonesia dilihat dari perundang-undangan dewasa ini, memang belum ada
pengaturan (dalam bentuk undang-undang) yang khusus dan lengkap tentang
euthanasia. Maka satu-satunya yang dapat dipakai sebagai landasan hukum, adalah
apa yang terdapat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.
3.2 SARAN
Dalam makalah ini penulis memberikan saran kepada kepeda para pemberi layanan
kesehatan khususnya para dokter untuk tidak melakukan euthanasia, karena jika dilihat dari
segi hak asasi manusia steiap orang berhak untuk hidup. Dan jika dilihat dari segi agama,
yang mempunyai kuasa atas hidup manusia adalah Tuhan.
DAFTAR PUSAKA
12
Hanafiah Jusuf: Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, Jakarta, 2005
http://Hukum-Kesehatan.web.id/AspekHukumdalamPelaksanaanEuthanasiadi
Indonesia«HukumKesehatan.htm
http:// Johnkoplo’sWeblog.com/Euthanasia Tinjauan dari Segi Medis, Etis, dan Moral
Al-Maliki, Abdurrahman. 1990. Nizham Al-‘Uqubat. Beirut : Darul Ummah.
An-Nabhani, Taqiyuddin. 1953. Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah. Juz III. Al-Quds :
Mansyurat Hizb Al-Tahrir.
Audah, Abdul Qadir. 1992. At-Tasyri’ Al-Jina`i Al-Islami. Beirut : Muassasah Ar-Risalah.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1996. Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu. Juz IX (Al-Mustadrak).
Damaskus : Darul Fikr.
http://www.google.co.id/url?url=http://eprints.undip.ac.id/5896/1/aspek_hukum_euthanasia_-
_lucia_ratna_kartika_wulan.pdf&rct=j&sa=U&ei=VLS4UO_uHYrmrAfeiYCgCg&ved=0CC
YQFjAC&q=hukum+euthasia&usg=AFQjCNGt6es-s3d9baCCDRlP8Nay6AXraA
13
14