Upload
novella-iona-tiffany
View
12
Download
3
Embed Size (px)
DESCRIPTION
JK
Citation preview
Keluhan Mata Kiri tidak dapat Menutup
dan Mulut Mencong ke Kanan
Hendrikus Hendra Suseno
102011381
A8
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No. 6 Jakarta Barat
Pendahuluan
Bell’s palsy adalah suatu gangguan neurologis yang disebabkan oleh kerusakan saraf
fasialis, yang menyebabkan kelemahan atau paralisis satu sisi ajah. Paralisis ini menyebabkan
asimetri wajah serta mengganggu fungsi normal, seperti menutup mata dan makan. Awitan
Bell’s palsy biasanya mendadak, penderita setelah bangun pagi mendapati salah satu sisi
wajahnya asimetris. Gejala awal yang ringan seperti kesemutan di sekitar bibir atau mata
kering biasanya cepat menjadi berat dalam waktu 48 jam atau kurang. Infeksi virus seperti
herpes, mumps, dan HIV, serta infeksi bakteri seperti penyakit lyme atau tuberkulosis dapat
menyababkan inflamai dan pembengkakan saraf kranial sehingga menyebabkan Bell’s palsy.
Stres, kehamilan, fraktur tengkorak, tumor, atau kondisi neurologis yang disebabkan oleh
penyakit kronis seperti diabetes melitus dan sindrom Guillain-Barre dapat menyebabkan
Bell’s palsy.1
Pembahasan
Di dalam proses penelusuran suatu penyakit, kita harus mempunyai pengetahuan
mengenai ciri-ciri suatu penyakit dari keluhan pasien dan langkah-langkah dalam
mendiagnosa suatu penyakit untuk mengetahui penyakit apa yang dialami oleh pasien kita.
1
A. Anamnesis
Dalam proses anamnesa dilakukan komunikasi dengan pasien yang berkaitan
dengan kondisi kesehatannya. Hal yang pertama kita tanyakan tentu mengenai
identitasnya, kemudian apa keluhannya dan sejak kapan. Kemudian kita tanya yang
berkaitan dengan penyakitnya atau keluhan penyerta lainnya seperti apakah ada rasa
nyeri di tempat lain, apakah ada gangguan atau kehilangan rasa kecap, dan riwayat
penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan, otitis,
herpes, cacar, rubella, mumps, dan lain-lain karena dapat menyebabkan inflamasi dan
pembengkakan saraf fasialis sehingga mengakibatkan Bells palsy.1
B. Pemeriksaan Fisik
Pada inspeksi terlihat pendataran dahi dan lipatan nasolabial pada sisi yang
terkena. Ketika pasien meminta menaikkan alis mata, sisi dahi yang lumpuh terlihat
datar. Ketika pasien diminta tersenyum, wajah menjadi menyimpang dan terdapat
lateralisasi ke sisi yang berlawanan dari yang lumpuh. Psien tidak dapat menutup
matanya secara sempurna pada sisi yang lumpuh. Pada saaat berusaha untuk menutup
mata, bola mata seolah bergulir ke atas pada sisi yang lumpuh. Hal ini disebut dengan
fenomena Bell dan merupakan hal yang normal pada saat menutup mata. Pemeriksaan
yang teliti pada kepala, telinga, mata, hidung, dan tenggorokan harus dilakukan pada
pasien dengan kelumpuhan wajah. Pada telinga luar harus dilihat adanya vesikel,
infeksi, atau trauma, penurunan sensibilitas rasa nyeri di daerah aurikular posterior.1
C. Pemeriksaan Penunjang
Berikut adalah pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan:1,2
1. Laboratorium
Titer Lyme (IgM dan IgG), gula darah atau hemoglobin A1C (HbA1c),
pemeriksaan titer serum herpes simplek virus (HSV).
Pada MRI (magnetic resonansi imaging) tampak peningkatan intensitas
N. VII atau di dekat ganglion genikulatum. Jika pasien memiliki
riwayat trauma, dapat dilakukan CT-Scan tulang temporal.
2. Uji untuk menilai fungsi syaraf wajah dapat dilakukan dengan uji kecepatan
hantar syaraf dan EMG.
2
D. Diagnosis Banding dan Diagnosis Kerja
Diagnosis banding
1. Stroke iskemik
Klasifikasi stroke iskemik berdasrkan waktunya terdiri atas:1
Transient Ischaemic Attack (TIA), merupaka defisit neurologis yang
membaik dalam waktu kurang dari 30 menit.
Reversible Ischaemic Neurological Defisit (RIND), merupakan defisit
neurologis membaik kurang dari 1 minggu.
Manifestasi klinis dari stroke iskemik ini adalah:1
Gangguan peredaran darah arteri serebri anterior menyebabkan
hemiparesis dan hemihipestasi kontralateral yang terutama melibatkan
tungkai.
Gangguan peredaran darah arteri serebri media menyebabkan
hemiparesis dan hemihipestasi kontralateral yang terutama mengenai
lengan disertai gangguan fungsi luhur berupa afasia (bila mengenai
area otak dominan) atau hemipastial neglect (bila mengenai area otak
nondominan)
Gangguan peredaran darah batang otak menyebabkan gangguan saraf
kranial seperti disartri, diplopi, dan vertigo. Gangguan serebral seperti
ataksia atau kehilangan keseimbangan atau penurunan kesadaran.
Infark Infark lakunar merupakan infark kecil dengan klinis gangguan
murni motorik atau sensorik tanpa disertai gangguan fungsi luhur.
2. Stroke hemoragik
Klasifikasi stroke hemoragik adalah sebagai berikut:1
Perdarahan intraserebral (PIS), merupakan perdarahan primer yang
berasal dari pembuluh darah dalam parenkim otak.
Perdarahan subaraknoid (PSA), dimana suatu keadaan terdapatnya atau
masuknya darah ke dalam ruangan subaraknoid karena pecahnya
aneurisma, atau sekunder dari PIS.
3
Manifestasi klinisnya dapat dilihat pada tabel berikut:1
Tabel 1. Manifestasi Klinis pada Perdarahan Intraserebral (PIS) dan
Perdarahan Subaraknoid (PAS)
Gejala klinis PIS PAS
Gejala defisit fokal berat ringan
Awitan (onset) menit/jam 1-2 menit
Nyeri kepala hebat sangat hebat
Muntah pada awalnya sering sering
Hipertensi hampir selalu biasanya tidak
Kaku kuduk jarang biasa ada
Kesadaran biasa hilang bisa hilang sebentar
Hemiparesis sering sejak awal awal tidak ada
Deviasi mata biasanya ada jarang
Likuor sering berdarah berdarah
Gejala klinis pada stroke akut berupa:1
Kelumpuhan wajah atau anggota badan (biasanya hemiparesis) yang
timbul mendadak.
Gangguan sensibilitas pada satu anggota badan (gangguan
hemisensorik).
Perubahan mendadak pada status mental (konfusi, delirium , latergi,
stupor, atau koma).
Afasia (tidak lancar atau tidak dapat bicara).
Disatria (bicara pelo atau cadel).
Ataksia (tungkai atau anggota badan tidak tepat pada sasaran).
Vertigo (mual dan muntah atau nyeri kepala).
Diagnosis kerja adalah Bell’s palsy yang akan dibahas selanjutnya.
E. Etiologi
Penyebab tersering adalah virus herpes simplek tipe 1. Penyebab lain sebagai berikut:1
Infeksi virus lain
Neoplasma: setelah pengankatan tumor otak (neuroma akustik) atau tumor
lain.
Trauma: fraktur basal tengkorak, luka di telinga tengah, dan menyelam.
4
Metabolik: kehamilan, diabetes melitus, hipertiroidisme, dan hipertensi.
Toksik: alkohol, talidomid, tetanus, karbonmonoksida.
F. Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial
akut. Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden
terendah ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy
setiap tahun sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan.
Insiden Bell’s palsy rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes
mempunyai resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai
laki-laki dan wanita dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang
berumur 10-19 tahun lebih rentan terkena daripada laki-laki pada kelompok umur
yang sama. Penyakit ini dapat mengenai semua umur, namun lebih sering terjadi pada
umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester ketiga dan 2 minggu pasca persalinan
kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita tidak hamil, bahkan
bisa mencapai 10 kali lipat.1
Sedangkan di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan.
Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi
Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21
– 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan
insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan
adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan.1
G. Patofisiologi
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bell’s palsy terjadi proses inflamasi akut
pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus.
Bell’s palsy hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak
waktu satu minggu atau lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat
berulang atau kambuh. Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori
menyebutkan terjadinya proses inflamasi pada nervus fasialis yang menyebabkan
peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut
pada saat melalui tulang temporal.3
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis
yang mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai
foramen mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi,
demyelinisasi atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls
5
motorik yang dihantarkan oleh nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan
supranuklear dan infranuklear. Lesi supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks
motorik primer atau di jaras kortikobulbar ataupun di lintasan asosiasi yang
berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks motorik primer.3
Oleh karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai “masuk angin”
atau dalam bahasa inggris “cold”, paparan udara dingin seperti angin kencang, AC,
atau mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu
penyebab terjadinya Bell’s palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di
dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada
lesi LMN bisa terletak di pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum
timpani, di foramen stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi
di pons yang terletak di daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus
longitudinalis medialis. Karena itu paralisis fasialis LMN tersebut akan disertai
kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan melirik ke arah lesi. Selain itu,
paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan dengan tuli perseptif
ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan lidah).3
Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bell’s palsy adalah
reaktivasi virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf
kranialis. Terutama virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel
satelit. Pada radang herpes zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut
terlibat sehingga menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bell’s
palsy akan terjadi bagian atas dan bawah dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi
tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat ditutup dan pada usaha untuk
memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas. Sudut mulut tidak bisa
diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan platisma tidak bisa digerakkan. Karena
lagophtalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga tertimbun
disitu.3
H. Manifestasi Klinis
Berikut adalah manifestasi klinis penyakit Bell’s palsy berdasarkan tempat
yang terkena:1,2
1. Gejala pada sisi wajah ipsilateral
Kelemahan otot wajah ipsilateral.
Kerutan dahi menghilang ipsilateral
6
Tampak seperti orang letih.
Tidak mampu atau sulit mengedipkan mata.
Hidung terasa kaku.
Sulit berbicara
Sulit makan dan minum
Sensitive terhadap suara.
Salivias yang berlebihan atau berkurang.
Pembengkakan wajah.
Berkurang atau hilangnya rasa kecap.
Nyeri di dalam atau di sekitar telinga.
Air liur sering keluar.
2. Gejala pada mata ipsilateral
Sulit atau tidak mampu menutup mata ipsilateral.
Air mata berkurang.
Alis mata jatuh.
Kelopak mata bawah jatuh.
Sensitif terhadap cahaya.
3. Residual
Mata terlihat lebih kecil.
Kedipan mata jarang atau tidak sempurna.
Senyum yang asimetri
Spasme hemifasial pascaparalitik.
Otot hipertonik.
Sinkinesia.
Berkeringat saat makan dan beraktifitas.
Otot menjadi lebih flaksid jika lelah.
Otot menjadi kaku saat letih atau kedinginan.
Secara kilinis, saraf lain kadang-kadang ikut teriritasi, misalnya rasa nyeri atau
baal pada wajah yang bisa disebabkan oleh iritasi N.V.
I. Faktor Resiko
Wanita muda usia 10-19 tahun lebih sering terkena dibandingkan dengan laki-
laki. Wanita hamil memiliki 3,3 kali risiko lebih tinggi dibandingkan dengan wanita
yang tidak hamil.1
7
J. Penatalaksanaan
Terapi Umum
Untuk menghilangkan penekanan dapat diberikan prednisone dan antiviral
sesegera mungkin. Window of opportunity untuk memulai pengobatan adalah 7 hari
sejak awitan. Prednisone dapat diberikan jika muncul tanda-tanda radang. Istirahat
merupakan bagian dari terapi yang sangat penting. Pemakaian kacamata dengan lensa
berwarna atau kaca mata hitam kadang diperluka untuk menjaga mata tetap lembab
saat bekerja. Pemijatan wajah boleh dilakukan. Untuk rasa nyeri atau tidak nyaman,
kompres hangat akan membantu. Obat yang dapat menghilangkan nyeri ini
diantaranya gabapentin.1
Berikut pada tabel mengenai cara pemberian prednison dan antiviral pada
penyakit Bell’s palsy:1
Tabel 2. Dosis Prednison
Dosis Dewasa 1 mg/kg atau 60 mg oral qd selama 7 hari diikuti tapering-off
dengan total pemakaian 10 hari.
Dosis Anak 1 mg/kg PO qd selama 6 hari diikuti tapering-off dengan total
pemakain 10 hari.
Kontraindikasi Hipersensitivitas, diabetes berat yang tidak terkontrol, infeksi
jamur, ulkus peptikum, TBC, osteoporosis.
Tabel 3. Dosis Antiviral
Nama Obat Asiklovis, obat antiviral yang menghambat kerja HSV-1, HSV-
2, dan VZV.
Dosis Dewasa 400 mg PO 5 kali/hari selama 10 hari.
Dosis Anak < 2 tahun: belum dipastikan, > 2 tahun: 20 mg/kg PO selama 10
hari.
Kontraindikasi Hipersensitif, penderita gagal ginjal.
Selain tatalaksana di atas, ada juga terapi antiviral lain dan terapi tambahan berupa:1
1. Pemberian Antiviral pada Pasien Bell’s Palsy
Famsiklovir dan asiklovir sering diresepakn sebagai obat antiviral. Saat ini
dapat digunakan antiviral baru seperti valasiklovir yang bekerja cepat.
8
2. Pemberian Vitamin B
Vitamin B penting dalam fungsi system saraf.
3. Perawatan Mata
Pemberian air mata buatan, lubrikan dan pelindung mata.
K. Komplikasi
Berikut adalah beberapa komplikasi dari Bell’s palsy, yaitu:4,5
1. Crocodile tear phenomenon
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini
timbul beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari
regenerasi yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva
tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion
genikulatum.
2. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau
tersendiri. selalu timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh
memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut
mulut,kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi
yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan
serabut-serabut otot yang salah.
3. Hemifacial spasm
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan
tidak terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium
awal hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai
pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme
ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul
dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.
4. KontrakturHal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis
lebih jelas terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat.
Terjadi bila kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada
waktu otot wajah istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot wajah bergerak.
L. Pencegahan
Berikut adalah cara-cara yang dapat ditempuh untuk menghindari oenyakit
Bell’s palsy, yaitu:4,5
9
Jika berkendaraan motor, gunakan helm penutup wajah full untuk mencegah
angin mengenai wajah.
Jika tidur menggunakan kipas angin, jangan biarkan kipas angin menerpa
wajah langsung. Arahkan kipas angin itu ke arah lain. Jika kipas angin
terpasang di langit-langit, jangan tidur tepat di bawahnya. Dan selalu gunakan
kecepatan rendah saat pengoperasian kipas.
Kalau sering lembur hingga malam, jangan mandi air dingin di malam hari.
Selain tidak bagusuntuk jantung, juga tidak baik untuk kulit dan syaraf.
Bagi penggemar naik gunung, gunakan penutup wajah / masker dan pelindung
mata. Suhu rendah, angin kencang, dan tekanan atmosfir yang rendah
berpotensi tinggi menyebabkan menderita Bell's Palsy.
Setelah berolah raga berat, jangan langsung mandi atau mencuci wajah dengan
air dingin.
Saat menjalankan pengobatan, jangan membiarkan wajah terkena angin
langsung dengan cara menutupi wajah menggunakan kain atau penutup.
M. Prognosis
Kebanyakan pasien yang sembuh dari Bell’s palsy mengalami neuropraksia
atau hantaman konduksi saraf local. Pasein yang mengalami aksonotmesis memiliki
kesembuhan yang baik tetapi biasanya tidak sempurna. Faktor resiko yang
diperkirakan berhubungan dengan prognosis buruk adalah:1
1. Usia lebih dari 60 tahun.
2. Paralisis lengkap.
3. Penurunan rasa kecap atau air liur mengalir ke sisi yang lumpuh (biasanya 10-
25% dibandingkan dengan sisi normal).
Factor lain yang diperkirakan berhubungan dengan prognosis buruk termasuk
nyeri di bagian telinga posterior dan penurunan sekresi air mata. Pasien biasanya
memiliki prognosis baik. Hampir 80-90% pasien sembuh tanpa kelainan. Pasien yang
berusia 60 tahun atau lebih memliki kemungkinan 40% untuk sembuh dan 60%
mengalami sekuele. Bell’s palsy dapat rekuren pada 10-15% pasien. Hampir 30%
pasien dengan kelemahan wajah ipsilateral rekuren menderita tumor pada N.VII atau
kelenjar parotis.
Kesimpulan
10
Bell’s palsy adalah suatu gangguan neurologis yang disebabkan oleh kerusakan saraf
fasialis, yangmenyebabkan kelemahan atau paralisis satu sisi ajah. Paralisis ini menyebabkan
asimetri wajah serta mengganggu fungsi normal, seperti menutup mata dan makan. Diagnosis
dapat ditegakkan secara klinik setelah penyebab yang jelas untuk lesi n. fasialis perifer
disingkirkan. Terapi dapat diberi dengan prednison dan obat antiviral, juga penambahan
vitamin B. Prognosis Bell’s palsy bervariasi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa seorang laki-laki usia 25 tahun dengan
keluhan mata kiri tidak dapat ditutup dan mulutnya mencong ke kanan pada skenario,
menderita penyakit Bell’s palsy.
Daftar Pustaka
1. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y. Stroke dan bell’s palsy. Dalam:
Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC, 2009.h.25-30,137-41.
2. Djamil Y, Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.2009. h. 297-300.
3. Irga. Bell’s palsy,2009. http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html.
4. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia dan Bell’s palsy. Dalam: Buku Saku Neurologi. Ed 5.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001.h.174.
5. Sabirin J. Bell’s palsy. Dalam: Gangguan Gerak. Semarang: Fakultas Kedokteran
Universitas Diponegoro,1990.h.171-812.
11