Upload
all-malik-ha
View
247
Download
7
Embed Size (px)
DESCRIPTION
makalah PPOK
Citation preview
MAKALAH
DUS (DRUG UTILITY STUDY)
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)
RUMAH SAKIT DAERAH dr. SOEBANDI
JEMBER– JAWA TIMUR
10-18 November 2011
Disusun oleh :
Elisnawati Margana S.Farm (11811044)
Elisabet, S.Farm (1120211643)
RUMAH SAKIT DAERAH dr SOEBANDI
INSTALASI FARMASI
PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)
November 2011
LEMBARAN PENGESAHAN
DUS (DRUG UTULITY STUDY)
RUMAH SAKIT DAERAH dr SOEBANDI
JEMBER – JAWA TIMUR
10 November – 18 November 2011
Disetujui Oleh
Jember, November 2011
Mengetahui
Ka IFRSD dr Soebandi Pembimbing
Drs. Prihwanto Budi,Apt.,Sp.FRS Dhani Wijaya S.Farm.,Apt
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)
Defenisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau COPD (Chronic Obstruktive
Pulmonary Disease) merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh keterbatasan
jalan udara biasanya dapat progresif yang tidak sepenuhnya dapat pulih kembali.
Keterbatasan jalan udara biasanya dapat progresif dan terasosiasi dengan respon
inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel asing atau gas. Kondisi paling
umum yang menyebabkan COPD adalah bronkitis dan emfisema.
Bronkitis kronik berhubungan dengan sekresi berlebih mukus kronik atau
berulang kedalam dengan batuk yang terjadi hampir setiap hari selama
paling tidak 3 bulan dalam setahun, dan ini berlangsung paling tidak dalam
2 tahun berturut-turut bila penyebab batuk yang lain telah dikeluarkan.
Emfisema didefenisikan sebagai pembesaran permanen yang abnormal
dari ruang udara pada posisi distal terhadap bronkhiol terminal, disertai
dengan kerusakan dindingnya, tapi tanpa fibrosis yang jelas.
Epidemiologi
Menurut survey nasional menunjukkan bahwa pada kenyataannya
penderita dengan gejala obstruksi aliran udara kronik dapat melebihi 24 juta,
dimana penyakit ini merupakan penyebab utama keempat kematian di Amerika
Serikat. Pada tahun 2000, lebih dari 119.000 kematian di Amerika Serikat dan
2,74 juta kematian di seluruh dunia yang disebabkan oleh PPOK. Hal ini yang
menyebabkan penyebab utama peningkatan jumlah. Secara keseluruhan lebih
banyak terjadi pada laki-laki, namun angka kematian lebih banyak pada penderita
perempuan dimana jumlah kematian perempuan melebihi kematian laki-laki
selama 25 tahun terakhir.
Etiologi
Faktor resiko yang terkait dengan perkembangan PPOK dapat dibagi
menjadi faktor host, faktor lingkungan dan faktor umum, dimana interaksi antar
resiko menunjukkan munculnya penyakit ini.
Faktor host, seperti kecenderungan genetik tidak dapat dirubah
tetapi merupakan hal penting untuk mengetahui besarnya faktor resiko yang
menyebabkan pasien terkena penyakit ini. Meskipun banyak yang tidak
diidentifikasi namun gen dapat mempengaruhi risiko pengembangan PPOK,
faktor genetik terbaik didokumentasikan dari kekurangan waris α1- antitrypsin
(AAT). AAT emfisema adalah contoh terkait dari kelainan genetik murni
diturunkan dalam pola autosom resesif. Konsekuensi dari defisiensi AAT dibahas
dalam patofisiologi bagian bawah sebagai ketidakseimbangan protease-
antiprotease.
Sedangkan faktor lingkungan seperti asap tembakau, debu pekerjaan dan
bahan kimia merupakan faktor yang dapat dirubah dimana jika dihindari dapat
mengurangi resiko terkena penyakit. Merokok merupakan faktor risiko yang
paling umum di antara Negara industri dan menyumbang 85% sampai 90% dari
kasus merupakan COPD. Asap tembakau mengaktifkan sel-sel inflamasi, yang
memproduksi dan melepaskan mediator inflamasi karakteristik dari COPD.
Patofisiologi
Penyakit pulmonary obstruksi kronik terjadi karena perubahan patologi di
pusat saluran nafas, saluran nafas perifer, jaringan parenkim paru-paru dan
pembuluh darah paru-paru. Inflamasi kronik yang terjadi diparu-paru
berasal dari paparan berulang dari partikel noxious dan perubahan gas
yang sangat berespon. Adanya ketidakseimbangan antara jumlah
proteinase dengan antiproteinase dalam paru-paru dan stres oksidativ yang
juga berperan penting terhadap patogenesis PPOK. Proses ini
menyebabkan terbentuknya inflamasi berkepanjangan atau dapat timbul
dari lingkungan (ex. oksidan dari asap rokok) atau faktor genetik (ex.
deficienci AAT) dapat dilihat pada gambar12-1. Proses kerusakan ini,
akibat inflamasi kronik dan paparan partikel berbahaya dan gas yang
menggangu atau merusak proteksi normal dan merusak mekanisme
perbaikan.
Inflamasi banyak ditemukan pada paru-paru semua perokok. Belum jelas
mengapa hanya 15-20% perokok berkembang menjadi PPOK, tapi rentan
untuk menjadi respon inflamasi yang semakin buruk. Inflamasi yang
berasal dari PPOK berbedadari inflmasi yang terlihat pada asma. Sehingga
penggunaan terapi anti-inflamasi dan respon terapi berbeda. Pada PPOK
inflmasi sel terutama dimediasi oleh neutrofil, makrofag, dan CD8+
limfosit T. eosinofil dapat meningkat pada beberapa pasien, sebagian lagi
selama kekambuhan. Aktivasi pelepasan media sel inflamasi bervariasi.
Paling banyak di dominasi leukotrien B4, interleukin 8 dan faktor nekrosis
tumor (TNF). Macam-macam proteinase adalah elastase, cathepsin G dan
proteinase-3 disekresikan oleh aktivasi neutrofil. Mediator ini dan
proteinase mampu meneyebabkan inflmasi dan kerusakan struktur paru-
paru.
Proteinase dan antiproteinase adalah bagian dari protektiv normal dan
perbaikan mekanisme pada paru-paru. Ketidakseimbangan antara aktivitas
proteinase-antiproteinase pada PPOK menghasilkan peningkatan keduanya
peningkatan produksi atau aktivitas perusakan proteinase atau inaktivasi
atau penurunan produksi proteksi antiproteinase. AAT (antiproteinase)
menghambat tripsin, elastase dan beberapa enzim proteolitik lain.
Defisiensi AAT menyebabkan perlawanan aktivitas proteinase, perusakan
promotor dinding alveolar dan parenkim paru-paru menyebebkan
emfisema.
Pembentuk stress oksidativ (ex peroksid hidrogen, nitrit oksid, dan
isoprostan F2(-III) yang ditemukan pada cairan epitelia, nafas dan urin
pada perokok dan pasien dengan PPOK. Peningkatan strees oksidativ
berkontribusi terhadap PPOK pada jalur yang bermacam-macam. Oksidan
(ex. reaktiv oksigen, superoksid, dan tirtit oksid) dapat berekasi dengan
dan kerusakan berbagai macam molukel menghasilkan disfungsi sel dan
kerusakan matriks ekstraseluler paru-paru. Promoror inflamasi strees
oksidatif dan kontribusi ketidak seimbangan proteinase-antiproteinase oleh
penurunan antivitas antiprotein. Sehingga oksidan menyebabkan kontriksi
otot halus di jalur nafas dan berkontribusi terhadap penyempitan yang
reversibel pada penyempitan jalur nafas.
Di pusat jalur nafas (trakea, bronki dan perbesaran bronkiol 2-4 mm
diameter internal), inflamasi sel dan stimulasi mediator pelepasan mukus
di kelenjar hiperplasia dan hipersekresi mukus. Hipersekresi mukus dan
sisfungsi silia menyebabkan batuk kronik dan prduksi sputum. Sisi utama
obstruksi saluran udara adalah jalur udara perifer (bronki yang kecil dan
bronkiolus dengan diameter internal kurang dari 2mm). tiga mekanisme
yang termasuk dalam penyempitan jalur nafas yang kecil; jalur nafas dapat
diblokade oleh inflamasi eksudatif dan hipersekresi mukus. Kehilangan
elastisitas dan kerusakan alveolar menyebabkan kehilangan support dan
pengakhiran jalur nafas yang kecil selama ekspirasi. Infiltasi sel yang
inflamasi, peningkatan jaringan otot halus, dan fibrosis akibat penebalan
dinding jalur nafas. Pada mekanisme ini perubahan struktur di dinding
jalur nafas paling penting karena memperbaiki obstruksi aliran udara.
Perburukan obstruksi aliran udara, kecepatan pengosongan paru-paru yang
lambat dan interval anatara inspirasi tidak mengikuti ekspirasi terhadap
relakasasi volume paru-paru. Ahal ini menyebabkan hiperinflasi
pulmonari, yang bermula hanya terjadi selama olatihan, tapi selanjutnya
juga terlihat pada saat istirahat. Hiperinflasi bekontribusi terhadap
ketidaknyamanan yang bergabung dengan obstruksi aliran udara terjadi
hanya selama latihan, tapi berikutnya oleh perataan diagfragma dan
penempatan hiperinflasi pada ketidakuntungan mekanisme.
Pada perkembangan PPOK, obstruksi saluran udara, kerusakan bronkiolus
dan alveoli dan abnormalitas pembuluh pulmonari menyebakan ketidak
seimbangan pertukaran gas. Hasilnya adalah hipoksemia dan rerkadang
hiperkapnia. Hipoksemia diawali hanya selama latihan atau dapat terjadi
lagi pada saat istirahat sepertihalnya perburukan penyakit. Perbandingan
pada rasio ventilasi/perfusi (VAQ) adalah mekanisme utama selain
hipksemia pada PPOK.
Hipertensi pulmonari selanjutnya berkembang pada PPOK, kadang-
kadang berkembang pada beberapa hiposesemia. Hal ini sangat
berpengaruh pada komplikasi kardioavaskuar pada PPOK dan
menyebabkan cor pulmonale, gagal jantung sebelah kanan. Hipoksemia
berperan utamanya pada perkembangan hipertensi yang disebabkan
vasokonstriksi pada arteri pulmonari dan oleh promotor remodeling
dinding pembuluh. Desktruksi pada kapiler paru oleh emfisema lebih jauh
berkontribusi terhadap peningkatan tekanan yang berkaitan dengan perfusi
pada pembuluh pulmonari. Cor pulmonale adalah gabungan antara venous
yang statis dan trombosis yang dapat menghasilkan embolism paru-paru.
Penting yang lain yaitu efek sistemik dengan hilangya massa otot skelet
yang berkontribusi terhadap pembatasan latihan dan status kesehatan.
Pemeriksaan
Umum
Pasien dengan PPOK menunjukan gejala awal yang tidak jelas. Penyakit
biasanya tidak didiagnosa sampai fungsi paru menunjukan gejala yang
signifikan dan cepat pasien untuk dilakukan pengobatan.
Gejala
Onset gejala bervariasi tapi sering tidak terjadi sampai volume ekspirasi
paksa pada FEV1 satu kedua diprediksi kira-kira 50% . Gejala awal
termasuk batuk kronik (durasi lebih besar 3 bulan) yang dapat menjadi
intermitan pada pertama kali; produksi spuum kronik dan dispenia pada
eksersi. Progres PPOK, dyspnea berkembang saat istirahat dan
kemampuan untuk menampilkan aktiitas harian hidup.
Tanda
Observasi pada pasien dapat menyatakan menggunakan asesori otot
respirasi (manifestasi perubahan paradksikal dada dan perut), bernafas
pada bibir, dan hiperinflasi pada dada dengan peningkatan diameter
anterior-posterior. Pada auskultasi paru pasien dapat jauh suara nafas,
distensi jugular venous (JVD), edema secara ekstrim lebih rendah dan
hepatomegali.
Tes laboratorium
Hematokrit dapat di evaluasi dan dapat berjumlah 50% (polisitemia).
Arteri gas darah (ABGs) diperoleh pada pasien dengan FEV1 diprediksi
kurang dari 40% atau tanda atau gejala pada cor pulmonalne atau
pernafasan jantung, pasien PPOK memiliki karakteristik normal atau
peningkatan tekanan CO2 diarteri. Level Antitrisin-1 terjadi pada pasien
yang lebih muda (kurang dari 45 tahun) dengan tanda dan gejala PPOK
secara khusus dengan sejarah keluarga yang kuat dengan emfisema.
Diagnosis
Diagnosis PPOK berdasarkan pada gejala pasien dan atau sejarah paparan
faktor resiko. Sprirometri adalah alat untuk mendiagnosa. Persen setelah
bronkodilator rasio FEV1/FVC kurang daripada 70% [rasio FEV1
terhadap kapasitas vital paksa (FVC)] pembatasan aliran udara sehingga
tidak penuh secara reversible. Spirometry dapat lebih jauh digunkan untuk
klasifikasi keparahan PPOK (tabel 12-1). Test fungsi pulmonari lengkap
(PFTs) dengan volume paru dan difusi kapasitas dan gas darah arteri tidak
memenuhi kebutuhan dalam membangun diagnosa atau keparahan PPOK.
Perbedaan faktor termasuk umur, sejarah merokok, trigger, sejarah
pekerjaan, dan derajat pengukuran dapat kembali semula pada spirometri
sebelum dan setelah relaksasi bronkus. Managemen pada pasien ini hampir
sama dengan pasien asma. Broncitasis, fibrosis sistic, obliterative
bronchiolitis, gagal jantung kongesti dan tuberkulosis adalah kemungkinan
lain pada perbedaan diagnosis yang biasanya lebih awal untuk
memnedakan dari PPOK. Chest radiography or high-resolution computed
tomography (CT) dengan presentasi pasien membantu penetapan penyakit
lain pada paru- paru.
Tatalaksana Terapi
Hasil akhir terapi pada pasien dengan PPOK termasuk penghentian
merokok, peningkatan gejala, penurunana FEV1, pengurangan angka kejadian
memburuk akut, peningkatan kesejahteraan fisik dan psikologis, dan pengurangan
tingkat kematian, perawatan di rumah sakit, dan hari tidak masuk kerja.
1. Terapi Nonfarmakologi dan Farmakologi Pada PPOK Stabil
Pasien dengan PPOK harus mendapatkan penjelasan mengenai
penyakitnya, rencana pengobatan, dan strategi untuk memperlambat
perkembangan dan mencegah komplikasi.
Terapi Nonfarmakologi
Penghentian Merokok
Komponen utama manajemen PPOK adalah menghindari atau mengurangi
terpaparnya faktor-faktor resiko. Paparan terhadap asap rokok merupakan faktor
resiko utama, dan berhenti merokok adalah strategi yang paling efektif untuk
mengurangi resiko berkembangnya PPOK dan memperlambat atau menghentikan
perkembangan penyakit. Penghentian merokok menyebabkan penurunan
simtomatologi dan memperlambat laju penurunan paru bahkan kelainan fungsi
yang signifikan dalam tes fungsi paru telah terdeteksi (FEV1/FVC <60%).
Ada bukti kuat yang mendukung penggunaan terapi farmakoterapi untuk
membantu berhenti merokok. Bupropion merupakan agen pertama yang dapat
digunakan. Mempertimbangkan tindakan pencegahan sebelum menggunakan
bupropion termasuk riwayat kejang atau gangguan makan. Terapi pengganti
nikotin yang kontraindikasi pada pasien dengan penyakit arteri koroner tidak
stabil, ulkus peptic aktif, atau infark miokard atau stroke.
Rehabilitasi Paru
Program rehabilitasi paru merupakan komponen integral dalam
manajemen PPOK dan harus mencakup latihan jangka panjang dengan
penghentian merokok, latihan pernafasan, pengobatan yang optimal, dukungan
psikososial dan pendidikan. Penelitian telah menunjukkan bahwa rehabilitasi paru
dengan latihan 3-7 kali seminggu dapat menghasilkan perbaikan jangka panjang
dalam aktivitas hidup sehari-hari, kualitas hidup dan toleransi latihan pada pasien
PPOK sedang sampai parah.
Imunisasi
Vaksin dapat dianggap sebagai agen farmakologi, namun vaksin
dijelaskan disini berperan dalam mengurangi faktor resiko untuk eksaserbasi
PPOK. Karena influenza adalah komplikasi umum pada PPOK yang dapat
menyebabkan eksaserbasi dan kegagalan pernafasan, sebuah vaksinasi tahunan
dengan vaksin influenza intramuscular inaktif dianjurkan. Imunisasi terhadap
influenza dapat mengurangi penyakit serius dan kematian sebesar 50% pada
pasien PPOK. Agen oral anti influenza (misalnya amantadine, rimantadine, dan
oseltamivir) dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan PPOK selama wabah
bagi pasien yang belum diimunisasi, namun terapi ini kurang efektif dan
menimbulkan efek samping lebih.
Vaksin pneumokokus polyvalent, diberikan satu kali, secara luas
direkomendasikan untuk orang-orang berusia 2-64 tahun yang memiliki penyakit
paru-paru kronis dan bagi semua orang yang berusia dari 65 tahun. Vaksinasi
berulang dengan produk 23-valent tidak dianjurkan untuk pasien usia 2-64 tahun
dengan penyakit paru-paru kronis, namun vaksinasi ulang direkomendasikan
untuk pasien lebih dari 65 tahun jika vaksinasi pertama lebih dari 5 tahun
sebelumnya dan pasien lebih muda dari usia 65 tahun.
Terapi Oksigen Jangka Panjang
Penggunaan tambahan terapi oksigen meningkatkan kelangsungan hidup
pada pasien PPOK dengan hipoksemia kronis. Analisis terbaru menunjukkan
bahwa terapi oksigen jangka panjang memberikan manfaat lebih dalam hal
kelangsungan hidup setelah minimal 5 tahun penggunaan dan meningkatkan
kualitas hidup pasien dengan meningkatkan jarak waktu dan kondisi
neuropsikologi dan mengurangi waktu rawat di rumah sakit.
Terapi Adjuvan
Terapi adjuvant dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari program
rehabilitasi paru yaitu perawatan psychoedukasi dan dukungan gizi. Perawatan
psychoedukasi (seperti relaksasi) telah dikaitkan dengan perbaikan fungsi dan
kesejahteraan pada orang dewasa dengan PPOK. Peran dukungan nutrisis pada
pasien dengan PPOK masih kontroversi. beberapa studi telah menunjukkan
hubungan antara kekurangan gizi, indek massa tubuh rendah (BMI), dan status
gangguan paru antara pasien dengan PPOK. Namun, dalam meta-analisis baru-
baru ini, pengaruh hasil dukungan nutrisi pada PPOK adalah kecil dan tidak
dikaitkan dengan perbaikan ukuran tropometri, fungsi paru-paru, atau kapasitas
latihan fungsional.
Terapi Farmakologi
Tujuan utama dari terapi farmakologi adalah untuk mengontrol gejala
pasien dan mengurangi komplikasi, termasuk frekuensi dan tingkat keparahan
eksaserbasi dan memperbaiki keseluruhan toleransi status kesehatan dan
pelaksanaan pasien.
Bronkodilator
Bronkodilator yang tersedia untuk perawatan PPOK adalah β2 agonis,
antikolionergik, dan methylxantin. Bronkodilator umumnya bekerja dengan
mengurangi nada saluran napas otot polos, sehingga meninimalkan hambatan
aliran udara. Pada pasien dengan PPOK, manfaat klinis bronkodilator meliputi
peningkatan kapasitas latihan fisik, penurunan terperangkapnya udara, dan
peredaan gejala seperti dispnea. Namun penggunaan bronkodilator mungkin tidak
berhubungan dengan perbaikan signifikan dalam pengukuran fungsi paru seperti
FEV1. Karena pasien PPOK lebih tua dan lebih mungkin memilik kondisi
komosbiditas, resiko efek samping dan interaksi obat lebih tinggi dibandingkan
dengan pasien asma.
Simpathomimetik (β2- agonis).
Dalam manajemen PPOK agen simpatomimetik dengan β2-selektiv atau β2-
agonis harus digunakan sebagai bronkodilator. β2-agonis menyebabkan
pembesaran bronkus dengan merangsang enzim adenylsiklase untuk
meningkatkan pembentukan monofosfat adenosine siklik (cAMP). cAMP
bertanggung jawab untuk menengahi relaksasi bronchial otot polos, yang
mengarah ke pembesaran bronkus. Meskipun aksi pendek dan kurang selektif β-
agonis masih digunakan secara luas. β2 selektif-agonis seperti albuterol,
levalbuterol, bitolterol, formoterol, pirbuterol,salmeterol, dan terbutaline lebih
disukai untuk terapi. Agen simpatomimetik tersedia dalam bentuk inhalasi, oral,
dan parenteral. Rute yang disukai adalah dengan inhalasi.
Inhalasi β2-agonis aksi panjang menawarkan manfaat durasi yang panjang
tanpa kehilangan efektivitas. Salmeterol dan formoterol dapat diberikan setiap 12
jam dan menghasilkan bronkodilatasi selama interval dosis. Penggunaan agen ini
sebaiknya dipertimbangkan pada pasien yang menunjukkan kebutuhan yang
sering akan agen aksi pendek.
Antikolinergik
Ketika diberikan secara inhalasi, agen antikolinergik seperti ipratropium
atau atropine menghasilkan bronkodilatasi dengan menghambat reseptor
kolinergik secara kompetitif pada otot polos bronchial. Aktivitas ini memblok
asetilkolin, sehingga terjadi pengurangan guanosin monofosfat siklik (cGMP),
yang biasanya mengkonstriksi otot polos bronkial, sehingga menghambat
bronkokonstriksi.
Ipratropium telah menjadi agen antikolinergik yang tersedia untuk PPOK.
Atropin memiliki struktur tersier dan mudah diserap di mukosa pernafasan,
sedangkan ipratropium memiliki struktur kuartener yang diserap buruk.
Kurangnya absorbs sistemik ipratropium menyebabkan berkurangnya efek
samping antikolinergik seperti penglihatan kabur, retensi urin, mual, dan takikardi
yang terkait dengan atropine. Ipratropium bromide tersedia dalam bentuk Metered
Dose Inhaler (MDI) dan efek puncaknya muncul pada 1,5 sampai 2 jam dan
durasinya adalah 4-6 jam. Keluhan dari pasien yang paling sering adalah mulut
kering, mual, dan kadang rasa seperti logam.
Kombinasi Antikolinergik dan Simpatomimetik
Kombinasi regimen dari bronkodilator sering digunakan dalam
pengobatan PPOK, terutama ketika perkembangan penyakit dan gejala semakin
memburuk seiring waktu. Mengkombinasikan bronkodilator dengan mekanisme
yang berbeda membuat dosis efektif terendah dapat digunakan dan mengurangi
dampak negatif dari masing-masing agen. Kombinasi kedua agonis β2 aksi
pendek dan aksi panjang dengan ipratropium telah terbukti menunjukkan
pertambahan peredaan gejala dan peningkatan fungsi paru. Kombinasi albuterol
dan ipratropium tersedia dalam MDI digunakan untuk terapi pemeliharaan PPOK
kronis.
Metilxantin
Metilxantin, termasuk teofilin dan aminofilin telah lama digunakan pada
pengobatan PPOK sebagai lini pertama. Namun dengan munculnya aksi panjang
inhalasi agonis β2 dan inhalasi antikolinergik, mereka tidak lagi dianggap terapi
lini pertama. Teofilin umumnya digunakan pada pasien yang intoleran atau tidak
dapat menggunakan inhalasi bronkodilator. metilxantin dapat menghasilkan
bronkodilatasi melalui berbagai mekanisme, termasuk (1) menghambat
fosfodiesterase sehingga meningkatkan kadar cAMP, (2) menghambat masuknya
ion kalsium ke otot polos, (3) antagonis prostaglandin, (4) rangsangan
katekolamin endogen, (5) antagonis reseptor adenosine, dan (6) penghambatan
pelepasan mediator dari sel mast dan leukosit.
Penggunaan kronik teofilin pada pasien PPOK menunjukkan perbaikan
dalam fungsi paru, termasuk kapasitas vital dan FEV1. Secara subjektif teofilin
mengurangi dispnea, meningkatkan toleransi latihan, dan memperbaiki kendali
respirasi. Sediaan teofilin lepas lambat meningkatkan kepatuhan pasien dan
mencapai konsentrasi serum lebih konsisten dibandingkan sediaan teofilin lepas
cepat dan aminofilin. Peran teofilin dalam PPOK adalah sebagai terapi
pemeliharaan pada pasien sakit bukan akut. Terapi dapat dimulai pada dosis 200
mg dua kali sehari dan ditingkatkan bertahap setiap 3-5 hari sampai dosis target.
Kebanyakan pasien memerlukan dosis harian 400-900 mg. Penyesuaian dosis
umumnya dibuat berdasarkan hasil serum. Secara tradisional, kisaran teraupetik
teofilin antara 8-15 mcg/mL. Efek samping teofilin yang paling umum yaitu
dyspepsia, mual, muntah, diare, sakit kepala, pusing dan takikardi. Aritmia dan
seizure dapat muncul, terutama pada konsentrasi toksik.
Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid pada PPOK masih menimbulkan perdebatan
yang mempertanyakan manfaatnya. Mekanisme antiinflamasi dimana
kortikosteroid memberikan efek yang menguntungkan pada PPOK meliputi (1)
penurunan permeabilitas kapiler untuk mengurangi mukus, (2) penghambatan
pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan (3) penghambatan prostaglandin.
Sayangnya, manfaat terapi kortikosteroid sistemik pada pengelolaan PPOK kronik
seringkali tidak jelas, dan ada resiko toksik. Situasi yang sesuai untuk
mempertimbangkan kortikosteroid pada PPOK meliputi (1) penggunaan sistemik
jangka pendek untuk eksaserbasi akut dan (2) terapi inhalasi untuk PPOK kronik
stabil. Sebuah studi menyimpulkan bahwa hanya sebagian kecil (10%) pasien
PPOK yang dirawat dengan steroid menunjukkan perbaikan klinis dibandingkan
dengan yang dirawat dengan plasebo. sementara sejumlah kecil pasien PPOK
dianggap berespon untuk steroid ternyata juga menderita asma yang ditunjukkan
dengan adanya eosinofil pada sputumnya sehingga dapat menjelaskan manfaat
klinis steroid.
Efek samping jangka panjang yang terkait dengan terapi sistemik
kortikosteroid meliputi osteoporosis,atrofi otot, penipisan kulit, perkembangan
katarak, dan suspresi adrenal.
Terapi Kombinasi : Bronkodilator dan Inhalasi Kortikosteroid
Dalam berbagai studi, terapi kombinasi dengan salmeterol ditambah
flutikason atau budenosid ditambah formoterol dikaitkan dengan lebih besar
perbaikan hasil klinis seperti FEV1, status kesehatan, dan frekuensi eksaserbasi
dibandingkan dengan inhalasi kortikosteroid atau bronkodilator aksi panjang
sendiri. Ketersediaan kombinasi inhaler membuat pasien lebih nyaman.
α1-Antitripsin Terapi Penggantian
Pada pasien dengan keturunan defisiensi AAT terkait emfisema, terapi
berfokus pada pengurangan faktor resiko seperti merokok, gejala diterapi dengan
bronkodilator, dan terapi augmentasi dengan penggantian AAT. Terapi
augmentasi terdiri dari infus mingguan dari AAT manusia dikumpulkan untuk
menjaga tingkat AAT plasma atas 10 mikromolar. Regimen dosis yang
direkomendasikan untuk penggantian AAT adalah 60 mg/kg diberikan intravena
seminggu sekali pada tingkat 0,08 mL/kg per menit, disesuaikan dengan toleransi
pasien.
2. Terapi Nonfarmakologi dan Farmakologi Eksaserbasi PPOK
Tujuan terapi untuk pasien yang mengalami eksaserbasi PPOK adalah (1)
pencegahan atau pengurangan rawat inao di rumah sakit, (2) pencegahan
kegagalan pernafasan akut dan kematian, dan (3) resolusi gejala memburuknya
dan kembali ke status klinis awal.
Terapi Nonfarmakologi
Terapi Kontrol Oksigen
Terapi oksigen harus dipertimbangkan untuk setiap pasien dengan hipoksemia
selama eksaserbasi. Terapi oksigen harus digunakan untuk mencapai PaO2 > 60
mmHg atau saturai oksigen > 90%.
Mekanik Noninvansiv Ventilasi
Noninvansiv ventilasi tekanan positif (NPPV) memberikan dukungan ventilasi
dengan oksigen dan aliran udara bertekanan menggunakan masker muka atau
hidung dengan segel ketat tapi tanpa intubasi endotrakeal. Manfaat NPPV
umumnya dikaitkan dengan pengurangan komplikasi yang sering muncul dengan
mekanik invasive ventilasi. Pasien dengan asidosis berat (PH <7,25),
penangkapan pernafasan, atau ketidakstabilan kardiovaskular seharusnya
dipertimbangkan untuk tidak menggunakan NPPV.
Terapi Farmakologi
Bronkodilator
Selama eksaserbasi, intensifikasi rejimen bronkodilator umum digunakan.
Dosis dan frekuensi bronkodilator ditingkatkan untuk mengurangi gejala. β2-
agonis aksi pendek lebih disukai karena onsetnya cepat. Antikolinergik dapat
ditambahkan jika gejala menetap. Bronkodilator dapat diberikan melalui MDI
atau nebulasi dengan khasiat sama.
Kortikosteroid
Sampai saat ini, literatur yang mendukung penggunaan kortikosteroid dalam
eksaserbasi akut PPOK masih jarang. Namun, hasil uji yang dilakukan oleh
Davies dan kawan menunjukkan bahwa pasien dengan eksaserbasi akut PPOK
harus diberikan kortikosteroid oral atau intravena dalam jangka pendek. Namun,
karena variabilitas besar di rentang dosis, dosis optimal dan lamanya pengobatan
kortikosteroid tidak diketahui. Dampak buruk seperti hiperglikemia, insomnia,
dan halusinasi mungkin terjadi pada dosis yang lebih tinggi.
Terapi Antimikroba
Kebanyakan eksaserbasi akut PPOK diperkirakan disebabkan oleh virus
atau infeksi bakteri. Oleh karena itu antibiotik merupakan salah satu obat yang
dapat digunakan untuk PPOK. Sebuah studi metaanalisis dari Sembilan studi
mengevaluasi efektivitas antibiotik dalam mengobati eksaserbasi PPOK
menunjukkan bahwa pasien yang menerima antibiotik mendapatkan peningkatan
laju aliran puncak ekspirasi lebih besar dibanding yang tidak menerima. Studi
tersebut menyimpulkan bahwa antibiotik bermanfaat dan harus dimulai jika dua
dari tiga gejala berikut tampak : peningkatan dispnea, peningkatan volume
sputum, dan peningkatan kandungan nanah sputum.
Tabel 1. Terapi antibiotik yang direkomendasikan untuk eksaserbasi akut PPOK
Karakteristik pasien Patogen penyebab yangMungkin
Rekomendasi terapi
Eksaserbasi tanpa komplikasi< 4 kali eksaserbasi setahun tidak ada penyakit penyerta FEV1 > 50%
S. pneumonia, H.H. influenzaM. catarrhalisH. parainfluenzae
Umumnya tidak resisten
Makrolid (azitromisin, klaritomisin), sefalosforin generasi 2 atau 3, doksisiklin
Eksaserbasi komplek umur > 65 tahun> 4 kali eksaserbasi
Seperti diatas, ditambah obat yang resisten terhadap pneumococci, ditambah H.
Amoksisilin/klavulanas, fluorokuinolon (levofloksasin,
pertahunFEV1 < 50% tapi > 35%
influenza dan M. catarrhalis penghasil beta laktamase
gatifloksasin, moksifloksasin)
Eksaserbasi kompleks dengan resiko P. aeruginosa> 4 kali eksaserbasi pertahunFEV1 > 35%
Seperti diatas, ditambah P. aeruginosa
Fluorokuinolon (levofloksasin, gatifloksasin, moksifloksasin)
Terapi IV, jika diperlukan : sefalosporin generasi 3 atau 4
Ekspektoran dan Mukolitik
Asupan air yang cukup dapat diterima untuk mempertahankan hidrasi.
diluar itu penggunaan mukilitik atau ekspektoran untuk pasien PPOK tidak
terbukti manfaatnya.
Monitoring dan evaluasi
Untuk mengevaluasi hasil terapi PPOK efektif, pertama-tama harus
menggambarkan antara PPOK stabil kronis dan akut eksaserbasi.
PPOK stabil kronis, tes fungsi paru harus dinilai secara berkala dan
dengan adanya penambahan terapi, perubahan dosis, atau penghapusan
terapi. Parameter hasil lainnya biasanya dievaluasi, termasuk skor
dyspnea, kualitas hidup, dan tingkat eksaserbasi, termasuk kunjungan ke
rumah sakit atau rawat inap.
Pada eksaserbasi akut PPOK, jumlah sel darah putih, tanda-tanda vital,
dada x-ray, dan perubahan frekuensi dispnea, volume dahak, dan purulensi
dahak harus dinilai saat onset dan sepanjang pengobatan eksaserbasi.
Pada eksaserbasi yang lebih parah, ABGs eksaserbasi dan saturasi oksigen
juga harus dipantau. Selain itu, kepatuhan pasien untuk meminum obat,
efek samping, interaksi obat yang potensial, dan penilaian kualitas hidup
pasien juga harus dievaluasi.
KASUS
Tuan M umur 70 tahun datang pertama ke Rumah Sakit dengan nafas
ngos-ngosan sejak ± 10 hari yang lalu. Nafas terasa lebih berat ketika
pasien beraktifitas jalan kaki ±50 m. Pasien juga mengatakan bahwa tidur
lebih nyaman dengan bantal tinggi., Pasien sudah mengeluh batuk, tidak
demam, BB tidak menurun, nafsu makan baik, tidak berkeringat dingin,
BAB normal kuning. Kemudian pasien dirawat inap di RSD Sobandi
selama 9 hari. Selama hidupnya Tuan M merokok dan sudah berhenti
sejak 5 tahun yang lalu, sedangkan pekerjaan beliau adalah petani.
RPD : Riwayat TB 1,5 tahun yang lalu, gastritis
RPK : -
Data subjektif
10/11/1
1
11/11/11/ 12/11/11 13/11/11 14/11/11 15/11/11 16/11/11 17/11/11 18/11/11
Nafas
ngos-
ngosan
Sesak,
batuk,pusing
Sesak,
batuk,pusing
Sesak,perut
panas
Sesak tapi
sudah
berkurang,
sakit
kepala di
pelipis,
perut tidak
panas
Sesak,
tidak
batuk,
sakit
kepala
Sesak,
batuk
berdahak
warna
putih,
sakit
kepala
Sesak
berkurang,
batuk
berdahak
warna putih
hanya
sedikit,sakit
kepala
berkurang,
panas di
ulu hati
Masih
sesak tapi
berkurang,
panas ulu
hati, mual
tapi tidak
muntah,
batuk
berdahak
banyak
dan
berwarna
putih.
Data Objektif
Tanda-tanda vital pasien
Tanggal pemeriksaan
Tek. Darah (mmHg)
Nadi (x/menit)
Respiratory Rate
(x/menit)Suhu (0C)
Kondisi umum
10/11/
11
160/
80
7
2
2
8
36,
5
Seda
ng
11/11/
11
130/
70
8
8
2
8
36,
5
Seda
ng
12/11/
11
130/
75
8
5
2
4
36 Seda
ng
13/11/
11
130/
80
8
8
2
8
37 Seda
ng
14/11/
11
110/
70
8
8
2
2
36,
5
Seda
ng
15/11/
11
140/
70
8
8
3
6
36 Seda
ng
16/11/
11
120/
80
8
4
3
4
36 Seda
ng
17/11/
11
110/
80
7
2
1
6
36 Seda
ng
18/11/
11
140/
80
7
8
2
1
36 Seda
ng
Assesment
10/11/11
S/d
12/11/11
13/11/11 14/11/11 15/11/11 16/11/11
S/d
17/11/11
15/11/11
Obs dyspnea +Susp TB
Obs dyspnea + PPOK
Obs dyspnea + PPOK
Obs dyspnea + PPOK
Obs dyspnea + PPOK
Obs dyspnea + PPOK
Nama Obat DosisTanggal pemberian obat (November 2011)
Rute 10 11 12 13 14 15 16 17 18
O2 I.V lpm 2 lpm 2 lpm 2 lpm 2 lpm 2 lpm 3 lpm 3 lpm 3 lpm
Infus RL I.V 15 tpm 20 tpm 20 tpm 20 tpm 20 tpm 20 tpm 20 tpm 20 tpm 20 tpm
Ranitidin I.V 2x1 √
Cefotaxim I.V 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √
Aminophilin drip
I.V1 amp
(24mg/ml)3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √
Nebulizer: - Combivent 1 amp /PZ 1 cc
Inhalasi1 vial
(2,5ml)3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √
Ambroxol P.O 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √
Amlodipin P.O 1-0-0 √ √ √ √ √ √
Valsartan P.O 0-0-1 √ √ √ √ √ √
Antasid syr P.O 3x1CH √ √ √
Levofloxasin I.V500mg/100ml
1x1 √ √ √
Infus D5 I.V √ √ √
Profil Pengobatan pada saat masuk Rumah Sakit
Hasil Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil Normal
10/11/11 15/11/2011Hematologi Hemoglobin 14,6 12,5 13,4-17,7 gr/dlLaju Endap Darah 5/10 73/115 0-15
Lekosit 20,5 8,5 4,3-10,3 x 103/L
Hematokrit 41,7 35,7 38-42%
Trombosit 221 155 150-450x109/lFaal Hati Bilirubin direk 0,46 - 0,2-0,4 mg/dlBilirubin total 1,09 - < 1,2 mg/dlSGOT 36 86 10-35 v/LSGPT 38 71 9-43 v/LAlbumin 3,0 3,4 3,4-4,8Kadar Gula DarahSewaktu 76 - <200 mg/dl
Analisis Profil Pengobatan pada saat MRS
Obat Indikasi
Infus RL Untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit
pada dehidrasi
Ranitidin Hipersekresi patologis tukak usus 12 jari yang
tidak terkendali. Terapi jangka pendek untuk
pada pasien yang intoleransi terhadap terapi
oral
Cefotaxim Infeksi nosokomial
Aminophilin Untuk meringankan dan mengatasi serangan
asma bronchial
Neb Combivent
1amp, PZ 1 cc
Bronkospasme yang berhubungan dengan
PPOK pada pasien-pasien yang diterapi dengan
Ipratropium Bromida dan Salbutamol
Ambroxol Sebagai sekretolitik pada gangguan saluran
nafas akut dan kronis khususnya pada
eksaserbasi bronchitis kronis dan bronchitis
asmatik dan asma bronchial
Amlodipin Untuk terapi pada pasien hipertensi
Valsartan Untuk terapi pada pasien hipertensi
Antasid syrup Mengurangi nyeri lambung akibat kelebihan
asam lambung
Levofloxacin Pengobatan eksaserbasi bakteri akut pada
Bronkhitis kronis yang disebabkan oleh
Staphylococcus aureus, S.pneumonia,
H.influenza, H.parainfluenza atau M.catarrhalis
Infus D5 Untuk mengatasi dehidrasi dan menambah
kalori
Drug Related Problem
DRP Terapi Efek Plan Monitoring
Obat dengan
dosis berlebih
(over dose)
Aminophilin
1amp
(24mg/ml)
secara i.v 3x1
sehari
Untuk
meringankan
dan mengatasi
serangan asma
bronchial
Turunkan
terapi
aminophilin
mjd 1 amp
(24mg/ml)
secara i.v 2x1
sehari
Cek fungsi hati
pasien terutama
pasien yang
berusia di atas
55 tahun dan
pria serta pada
pasien
penderita
penyakit paru-
paru kronis
Obat tanpa
indikasi
Penggunaan
antihipertensi
Amlodipin
5mg 1-0-0
Valsartan
80mg 0-0-1
pada hari ke 4
di Rumah
Untuk
menurunkan
tekanan darah
pada pasien
hipertensi.
Hentikan
penggunaan
antihipertensi
pada pasien.
Monitoring
kadar tekanan
darah pada
pasien
Sakit
Penggunaan obat tidak tepat
Penggunaan
antasid sirup
3x1CH secara
peroral pada
pasien
Untuk
mengurangi
nyeri lambung
akibat kelebihan
asam lambung
Penggantian
obat dari
antacid syr
menjadi obat
golongan
antagonis
resptor H2
histamin.
Contoh :
Simetidin,
ranitidin
Tetapi
penggunaan
obat lambung
tersebut hanya
digunakan
apabila pasien
mengalami
symptom.
Monitoring
symptom yang
dialami pasien
Penggunaan
obat tidak
tepat
Tidak ada
terapi
pengobatan
untuk PPOK
yang
disebabkan
oleh bakteri,
pada saat
pasien telah
didiagnosis
PPOK. Terapi
Pengobatan
eksaserbasi
bakteri akut
pada Bronkhitis
kronis yang
disebabkan oleh
Staphylococcus
aureus,
S.pneumonia,
H.influenza,
H.parainfluenza
Sebaiknya
pasien
dilakukan tes
lab untuk
mencek
sputum
apakah ada
infeksi atau
tidak,
sehingga
Monitoring
keadaan pasien,
seperti tanda-
tanda vital
pasien,
perubahan
frekuensi
dispnea,volume
dahak,purulensi
dahak
diberikan
setelah pasien
didiagnosis
PPOK selama
4 hari.
atau
M.catarrhalis
dapat
diterapi
PPOK sejak
pasien hari
pertama
didiagnosa.
Interaksi Obat
Interaksi
Levofloksasin
dan infus RL
Adanya
inkompatibilitas
antara infus
Levofloksasin
dengan infus RL
Sebaiknya
infus RL
diganti dengan
infus NaCl
0,9%
Monitoring
efikasi obat
levofloksasin,
Pembahasan
Penatalaksanaan terapi pada Tuan M (70 tahun) ini untuk
pengobatan PPOK. Pasien pertama kali masuk Rumah Sakit dengan
keluhan sesak nafas setelah pasien melakukan aktifitas ringan yaitu jalan
kaki sejauh ±50 m. Riwayat penyakit terdahulu pasien adalah tuberkolosis
dan gastritis. Pasien pertama kali masuk Rumah Sakit didiagnosa
observasi dyspnea dan suspect tuberkolosis. Terapi awal yang diberikan
pada pasien adalah infus RL, injeksi ranitidin, injeksi cefotaxim, injeksi
aminophilin, inhalasi combivent, dan ambroxol p.o.
Cefotaxim yang diberikan digunakan sebagai terapi profilaksis
infeksi nosokomial yang dimungkinkan terjadi pada saat pasien dirawat di
rumah sakit. Injeksi aminophilin yang diberikan kepada pasien untuk
meringankan dan mengatasi serangan asma bronchial. Injeksi combivent
digunakan sebagai bronkospasme yang merupakan kombinasi dari
antikolinergik dan simpatomimetik (β2 agonis). Pada mantan perokok
seperti Tuan M tersebut, pemberian terapi bronkodilatasi dengan inhalasi
untuk mengurangi obstruksi bronkus lebih efektif menggunakan
kombinasi kedua obat tersebut untuk memperbaiki fungsi paru pasien.
Pasien pada hari kedua dirawat di Rumah Sakit masih menerima
terapi obat yang sama dengan hari pertama pasien dirawat di Rumah Sakit
yaitu infus RL, injeksi cefotaxim, aminophilin,inhalasi combivent, dan
ambroxol. Hanya saja ada pengurangan satu obat, yaitu injeksi ranitidin.
Tekanan darah pasien pada saat masuk Rumah Sakit hari pertama,
pada tanggal 10 November 2011 yaitu 160/80 mm Hg. Pada saat itu tidak
ada terapi untuk hipertensi yang dialami pasien. Pada hari kedua pasien di
Rumah Sakit yaitu pada tanggal 11 November 2011, tekanan darah pasien
menurun menjadi 130/70 mm Hg tanpa adanya terapi anti hipertensi. Hal
ini dapat diasumsikan bahwa tekanan darah pasien meningkat disebabkan
faktor psikologis pasien sendiri. Tetapi pada tanggal 13 November 2011
atau pada hari keempat pasien masuk Rumah Sakit, diberikan terapi anti
hipertensi berupa Amlodipin 5 mg 1xsehari pada pagi hari dan Valsartan
80 mg 1xsehari pada malam hari. Pada tanggal tersebut diketahui dari
tanda-tanda vital pasien bahwa tekanan darah pasien adalah 130/80 mm
Hg yang dirasa tidak perlu mendapat obat anti hipertensi. Penggunaan
terapi antihipertensi pasien sebaiknya dieleminasi karena passion dirasa
tidak perlu mendapat terapi antihipertensi dengan asumsi bahwa pasien
tidak memiliki riwayat hipertensi.
Pada hari keempat pasien masuk Rumah Sakit yaitu pada tanggal
13 November 2011, dokter sudah mendiagnosa pasien PPOK. Tetapi
pasien baru mendapat terapi antibiotik levofloksasin pada hari ke 7 pasien
masuk Rumah Sakit. Hal ini mungkin disebabkan bahwa tes sputum yang
dilakukan tidak dilakukan dari awal pasien masuk Rumah Sakit. Sehingga
ketika pasien baru dites sputum apakah ada tanda infeksi atau tidak, ketika
pasien sudah didiagnosa PPOK oleh dokter. Sehingga terapi pengobatan
PPOK menjadi lebih lama, dan waktu tinggal pasien di Rumah Sakit
(LOS) menjadi lebih tinggi.
Pemberian infus levofloksasin dengan infus Ringer Laktat
mengalami interaksi obat. Hal ini disebabkan karena adanya
inkompatibilitas antara infus Ringer Laktat dan infus Levofloksasin yang
dapat menurunkan efek dari levofloksasin itu sendiri. Sebaiknya
pemberian infus Ringer Laktat diganti dengan infus NaCl 0,9% yang
kompatibilitasnya dengan larutan infus tersebut sudah terbukti baik.
Penggunaan antasid sirup pada pasien secara per oral terhitung dari
tanggal 16 November 2011 sampai dengan tanggal 18 November 2011
atau pada hari ketujuh sampai dengan hari ke kesembilan pasien masuk
Rumah Sakit. Penggunaan antasid sirup bertujuan untuk mengurangi nyeri
lambung akibat kelebihan asam lambung pada pasien. Menurut riwayat
penyakit dahulu, pasien pernah mengalami gastritis, sehingga sebaiknya
penggunaan antasid sirup diganti dengan golongan obat-obat lambung lain
seperti golongan antagonis reseptor h2 histamin, contohnya: simetidin atau
ranitidin. Pemberian obat-obat lambung sebaiknya pada saat munculnya
symptom pada pasien. Pemeberian obat tersebut pada saat tidak terjadi
symptom pada pasien dirasa kurang tepat, di samping itu sebaiknya rute
pemberian obat-obat tersebut secara inta vena, untuk mempercepat
efikasinya terhadap pasien.
Kesimpulan
Rekomendasi untuk Tuan M :
Aminophilin dosisnya diturunkan untuk meminimalkan efek samping pada
pasien, dimana pasien berusia diatas 55 tahun dan mempunyai riwayat
penyakit paru.
Eliminasi pemberian obat antihipertensi : amlodipin dan valsartan karena
dianggap tidak perlu diberikan. Hal ini dapat dilihat dari tanda-tanda vital
pasien yang berupa TD yang normal dan diasumsikan pasien tidak
memiliki riwayat hipertensi.
Penggunaan antasid sirup sebaiknya diganti dengan golongan antagonis
reseptor h2 histamin seperti simetidin atau ranitidin dengan riwayat
penyakit dahulu pasien yaitu gastritis.
Pemberian obat antibiotik levofloksasin pada pasien dengan PPOK yang
disebabkan infeksi bakteri sebaiknya dilakukan pada saat hari pertama
pasien didiagnosa PPOK.
Penggantian infus Ringer Laktat menjadi infus NaCl 0,9%, karena adanya
interaksi obat antara Levofloksasin dan infus Ringer Laktat yang dapat
menurunkan efikasi obat.
Monitoring :
Ada tidaknya peningkatan dispnea pada pasien
Volume sputum pada pasien
Purulensi dahak pada pasien
Symptom pada pasien (mual, muntah, nyeri ulu hati )
Terapi non farmakologi :
Menghentikan kebiasaan merokok
Rehabilitasi paru dengan latihan pernapasan
Perbaikan nutrisi untuk menambah energi
Pemberian imunisasi
Daftar Pustaka
Dypiro, et al, 2008, Pharmacoterapy at Pathophysiologic Approach, edisi
6, The McGraw Hill Companies, United States of America.
Lacy. Charles F et al, 2009, Drug Information Handbook, edisi 18.
American Pharmacist Assosiation. United States of America.
Neal,.M.J. 2005. At a Glance Farmakologi Medis, edisi 5. disadur oleh
Erlangga. Jakarta
Tjay, Tan Hoan Drs dkk, 2007. Obat-obat Penting, edisi 6. PT Elex Media
Komputindo. Jakarta.