43
MAKALAH DUS (DRUG UTILITY STUDY) PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK) RUMAH SAKIT DAERAH dr. SOEBANDI JEMBER– JAWA TIMUR 10-18 November 2011 Disusun oleh : Elisnawati Margana S.Farm (11811044) Elisabet, S.Farm (1120211643)

Makalah PPOK 2

Embed Size (px)

DESCRIPTION

makalah PPOK

Citation preview

Page 1: Makalah PPOK 2

MAKALAH

DUS (DRUG UTILITY STUDY)

PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK)

RUMAH SAKIT DAERAH dr. SOEBANDI

JEMBER– JAWA TIMUR

10-18 November 2011

Disusun oleh :

Elisnawati Margana S.Farm (11811044)

Elisabet, S.Farm (1120211643)

RUMAH SAKIT DAERAH dr SOEBANDI

INSTALASI FARMASI

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER (PKPA)

November 2011

Page 2: Makalah PPOK 2

LEMBARAN PENGESAHAN

DUS (DRUG UTULITY STUDY)

RUMAH SAKIT DAERAH dr SOEBANDI

JEMBER – JAWA TIMUR

10 November – 18 November 2011

Disetujui Oleh

Jember, November 2011

Mengetahui

Ka IFRSD dr Soebandi Pembimbing

Drs. Prihwanto Budi,Apt.,Sp.FRS Dhani Wijaya S.Farm.,Apt

Page 3: Makalah PPOK 2

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

Defenisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau COPD (Chronic Obstruktive

Pulmonary Disease) merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh keterbatasan

jalan udara biasanya dapat progresif yang tidak sepenuhnya dapat pulih kembali.

Keterbatasan jalan udara biasanya dapat progresif dan terasosiasi dengan respon

inflamasi abnormal paru-paru terhadap partikel asing atau gas. Kondisi paling

umum yang menyebabkan COPD adalah bronkitis dan emfisema.

Bronkitis kronik berhubungan dengan sekresi berlebih mukus kronik atau

berulang kedalam dengan batuk yang terjadi hampir setiap hari selama

paling tidak 3 bulan dalam setahun, dan ini berlangsung paling tidak dalam

2 tahun berturut-turut bila penyebab batuk yang lain telah dikeluarkan.

Emfisema didefenisikan sebagai pembesaran permanen yang abnormal

dari ruang udara pada posisi distal terhadap bronkhiol terminal, disertai

dengan kerusakan dindingnya, tapi tanpa fibrosis yang jelas.

Epidemiologi

Menurut survey nasional menunjukkan bahwa pada kenyataannya

penderita dengan gejala obstruksi aliran udara kronik dapat melebihi 24 juta,

dimana penyakit ini merupakan penyebab utama keempat kematian di Amerika

Serikat. Pada tahun 2000, lebih dari 119.000 kematian di Amerika Serikat dan

2,74 juta kematian di seluruh dunia yang disebabkan oleh PPOK. Hal ini yang

menyebabkan penyebab utama peningkatan jumlah. Secara keseluruhan lebih

banyak terjadi pada laki-laki, namun angka kematian lebih banyak pada penderita

perempuan dimana jumlah kematian perempuan melebihi kematian laki-laki

selama 25 tahun terakhir.

Etiologi

Faktor resiko yang terkait dengan perkembangan PPOK dapat dibagi

menjadi faktor host, faktor lingkungan dan faktor umum, dimana interaksi antar

resiko menunjukkan munculnya penyakit ini.

Page 4: Makalah PPOK 2

Faktor host, seperti kecenderungan genetik tidak dapat dirubah

tetapi merupakan hal penting untuk mengetahui besarnya faktor resiko yang

menyebabkan pasien terkena penyakit ini. Meskipun banyak yang tidak

diidentifikasi namun gen dapat mempengaruhi risiko pengembangan PPOK,

faktor genetik terbaik didokumentasikan dari kekurangan waris α1- antitrypsin

(AAT). AAT emfisema adalah contoh terkait dari kelainan genetik murni

diturunkan dalam pola autosom resesif. Konsekuensi dari defisiensi AAT dibahas

dalam patofisiologi bagian bawah sebagai ketidakseimbangan protease-

antiprotease.

Sedangkan faktor lingkungan seperti asap tembakau, debu pekerjaan dan

bahan kimia merupakan faktor yang dapat dirubah dimana jika dihindari dapat

mengurangi resiko terkena penyakit. Merokok merupakan faktor risiko yang

paling umum di antara Negara industri dan menyumbang 85% sampai 90% dari

kasus merupakan COPD. Asap tembakau mengaktifkan sel-sel inflamasi, yang

memproduksi dan melepaskan mediator inflamasi karakteristik dari COPD.

Patofisiologi

Penyakit pulmonary obstruksi kronik terjadi karena perubahan patologi di

pusat saluran nafas, saluran nafas perifer, jaringan parenkim paru-paru dan

Page 5: Makalah PPOK 2

pembuluh darah paru-paru. Inflamasi kronik yang terjadi diparu-paru

berasal dari paparan berulang dari partikel noxious dan perubahan gas

yang sangat berespon. Adanya ketidakseimbangan antara jumlah

proteinase dengan antiproteinase dalam paru-paru dan stres oksidativ yang

juga berperan penting terhadap patogenesis PPOK. Proses ini

menyebabkan terbentuknya inflamasi berkepanjangan atau dapat timbul

dari lingkungan (ex. oksidan dari asap rokok) atau faktor genetik (ex.

deficienci AAT) dapat dilihat pada gambar12-1. Proses kerusakan ini,

akibat inflamasi kronik dan paparan partikel berbahaya dan gas yang

menggangu atau merusak proteksi normal dan merusak mekanisme

perbaikan.

Inflamasi banyak ditemukan pada paru-paru semua perokok. Belum jelas

mengapa hanya 15-20% perokok berkembang menjadi PPOK, tapi rentan

untuk menjadi respon inflamasi yang semakin buruk. Inflamasi yang

berasal dari PPOK berbedadari inflmasi yang terlihat pada asma. Sehingga

penggunaan terapi anti-inflamasi dan respon terapi berbeda. Pada PPOK

inflmasi sel terutama dimediasi oleh neutrofil, makrofag, dan CD8+

limfosit T. eosinofil dapat meningkat pada beberapa pasien, sebagian lagi

selama kekambuhan. Aktivasi pelepasan media sel inflamasi bervariasi.

Paling banyak di dominasi leukotrien B4, interleukin 8 dan faktor nekrosis

tumor (TNF). Macam-macam proteinase adalah elastase, cathepsin G dan

proteinase-3 disekresikan oleh aktivasi neutrofil. Mediator ini dan

proteinase mampu meneyebabkan inflmasi dan kerusakan struktur paru-

paru.

Proteinase dan antiproteinase adalah bagian dari protektiv normal dan

perbaikan mekanisme pada paru-paru. Ketidakseimbangan antara aktivitas

proteinase-antiproteinase pada PPOK menghasilkan peningkatan keduanya

peningkatan produksi atau aktivitas perusakan proteinase atau inaktivasi

atau penurunan produksi proteksi antiproteinase. AAT (antiproteinase)

menghambat tripsin, elastase dan beberapa enzim proteolitik lain.

Defisiensi AAT menyebabkan perlawanan aktivitas proteinase, perusakan

Page 6: Makalah PPOK 2

promotor dinding alveolar dan parenkim paru-paru menyebebkan

emfisema.

Pembentuk stress oksidativ (ex peroksid hidrogen, nitrit oksid, dan

isoprostan F2(-III) yang ditemukan pada cairan epitelia, nafas dan urin

pada perokok dan pasien dengan PPOK. Peningkatan strees oksidativ

berkontribusi terhadap PPOK pada jalur yang bermacam-macam. Oksidan

(ex. reaktiv oksigen, superoksid, dan tirtit oksid) dapat berekasi dengan

dan kerusakan berbagai macam molukel menghasilkan disfungsi sel dan

kerusakan matriks ekstraseluler paru-paru. Promoror inflamasi strees

oksidatif dan kontribusi ketidak seimbangan proteinase-antiproteinase oleh

penurunan antivitas antiprotein. Sehingga oksidan menyebabkan kontriksi

otot halus di jalur nafas dan berkontribusi terhadap penyempitan yang

reversibel pada penyempitan jalur nafas.

Di pusat jalur nafas (trakea, bronki dan perbesaran bronkiol 2-4 mm

diameter internal), inflamasi sel dan stimulasi mediator pelepasan mukus

di kelenjar hiperplasia dan hipersekresi mukus. Hipersekresi mukus dan

sisfungsi silia menyebabkan batuk kronik dan prduksi sputum. Sisi utama

obstruksi saluran udara adalah jalur udara perifer (bronki yang kecil dan

bronkiolus dengan diameter internal kurang dari 2mm). tiga mekanisme

yang termasuk dalam penyempitan jalur nafas yang kecil; jalur nafas dapat

diblokade oleh inflamasi eksudatif dan hipersekresi mukus. Kehilangan

elastisitas dan kerusakan alveolar menyebabkan kehilangan support dan

pengakhiran jalur nafas yang kecil selama ekspirasi. Infiltasi sel yang

inflamasi, peningkatan jaringan otot halus, dan fibrosis akibat penebalan

dinding jalur nafas. Pada mekanisme ini perubahan struktur di dinding

jalur nafas paling penting karena memperbaiki obstruksi aliran udara.

Perburukan obstruksi aliran udara, kecepatan pengosongan paru-paru yang

lambat dan interval anatara inspirasi tidak mengikuti ekspirasi terhadap

relakasasi volume paru-paru. Ahal ini menyebabkan hiperinflasi

pulmonari, yang bermula hanya terjadi selama olatihan, tapi selanjutnya

juga terlihat pada saat istirahat. Hiperinflasi bekontribusi terhadap

Page 7: Makalah PPOK 2

ketidaknyamanan yang bergabung dengan obstruksi aliran udara terjadi

hanya selama latihan, tapi berikutnya oleh perataan diagfragma dan

penempatan hiperinflasi pada ketidakuntungan mekanisme.

Pada perkembangan PPOK, obstruksi saluran udara, kerusakan bronkiolus

dan alveoli dan abnormalitas pembuluh pulmonari menyebakan ketidak

seimbangan pertukaran gas. Hasilnya adalah hipoksemia dan rerkadang

hiperkapnia. Hipoksemia diawali hanya selama latihan atau dapat terjadi

lagi pada saat istirahat sepertihalnya perburukan penyakit. Perbandingan

pada rasio ventilasi/perfusi (VAQ) adalah mekanisme utama selain

hipksemia pada PPOK.

Hipertensi pulmonari selanjutnya berkembang pada PPOK, kadang-

kadang berkembang pada beberapa hiposesemia. Hal ini sangat

berpengaruh pada komplikasi kardioavaskuar pada PPOK dan

menyebabkan cor pulmonale, gagal jantung sebelah kanan. Hipoksemia

berperan utamanya pada perkembangan hipertensi yang disebabkan

vasokonstriksi pada arteri pulmonari dan oleh promotor remodeling

dinding pembuluh. Desktruksi pada kapiler paru oleh emfisema lebih jauh

berkontribusi terhadap peningkatan tekanan yang berkaitan dengan perfusi

pada pembuluh pulmonari. Cor pulmonale adalah gabungan antara venous

yang statis dan trombosis yang dapat menghasilkan embolism paru-paru.

Penting yang lain yaitu efek sistemik dengan hilangya massa otot skelet

yang berkontribusi terhadap pembatasan latihan dan status kesehatan.

Pemeriksaan

Umum

Pasien dengan PPOK menunjukan gejala awal yang tidak jelas. Penyakit

biasanya tidak didiagnosa sampai fungsi paru menunjukan gejala yang

signifikan dan cepat pasien untuk dilakukan pengobatan.

Gejala

Onset gejala bervariasi tapi sering tidak terjadi sampai volume ekspirasi

paksa pada FEV1 satu kedua diprediksi kira-kira 50% . Gejala awal

termasuk batuk kronik (durasi lebih besar 3 bulan) yang dapat menjadi

Page 8: Makalah PPOK 2

intermitan pada pertama kali; produksi spuum kronik dan dispenia pada

eksersi. Progres PPOK, dyspnea berkembang saat istirahat dan

kemampuan untuk menampilkan aktiitas harian hidup.

Tanda

Observasi pada pasien dapat menyatakan menggunakan asesori otot

respirasi (manifestasi perubahan paradksikal dada dan perut), bernafas

pada bibir, dan hiperinflasi pada dada dengan peningkatan diameter

anterior-posterior. Pada auskultasi paru pasien dapat jauh suara nafas,

distensi jugular venous (JVD), edema secara ekstrim lebih rendah dan

hepatomegali.

Tes laboratorium

Hematokrit dapat di evaluasi dan dapat berjumlah 50% (polisitemia).

Arteri gas darah (ABGs) diperoleh pada pasien dengan FEV1 diprediksi

kurang dari 40% atau tanda atau gejala pada cor pulmonalne atau

pernafasan jantung, pasien PPOK memiliki karakteristik normal atau

peningkatan tekanan CO2 diarteri. Level Antitrisin-1 terjadi pada pasien

yang lebih muda (kurang dari 45 tahun) dengan tanda dan gejala PPOK

secara khusus dengan sejarah keluarga yang kuat dengan emfisema.

Diagnosis

Diagnosis PPOK berdasarkan pada gejala pasien dan atau sejarah paparan

faktor resiko. Sprirometri adalah alat untuk mendiagnosa. Persen setelah

bronkodilator rasio FEV1/FVC kurang daripada 70% [rasio FEV1

terhadap kapasitas vital paksa (FVC)] pembatasan aliran udara sehingga

tidak penuh secara reversible. Spirometry dapat lebih jauh digunkan untuk

klasifikasi keparahan PPOK (tabel 12-1). Test fungsi pulmonari lengkap

(PFTs) dengan volume paru dan difusi kapasitas dan gas darah arteri tidak

memenuhi kebutuhan dalam membangun diagnosa atau keparahan PPOK.

Perbedaan faktor termasuk umur, sejarah merokok, trigger, sejarah

pekerjaan, dan derajat pengukuran dapat kembali semula pada spirometri

sebelum dan setelah relaksasi bronkus. Managemen pada pasien ini hampir

sama dengan pasien asma. Broncitasis, fibrosis sistic, obliterative

Page 9: Makalah PPOK 2

bronchiolitis, gagal jantung kongesti dan tuberkulosis adalah kemungkinan

lain pada perbedaan diagnosis yang biasanya lebih awal untuk

memnedakan dari PPOK. Chest radiography or high-resolution computed

tomography (CT) dengan presentasi pasien membantu penetapan penyakit

lain pada paru- paru.

Tatalaksana Terapi

      Hasil akhir terapi pada pasien dengan PPOK termasuk penghentian

merokok, peningkatan gejala, penurunana FEV1, pengurangan angka kejadian

memburuk akut, peningkatan kesejahteraan fisik dan psikologis, dan pengurangan

tingkat kematian, perawatan di rumah sakit, dan hari tidak masuk kerja.

1. Terapi Nonfarmakologi dan Farmakologi Pada PPOK Stabil

       Pasien dengan PPOK harus mendapatkan penjelasan mengenai

penyakitnya, rencana pengobatan, dan strategi untuk memperlambat

perkembangan dan mencegah komplikasi.

Terapi Nonfarmakologi

Penghentian Merokok

       Komponen utama manajemen PPOK adalah menghindari atau mengurangi

terpaparnya faktor-faktor resiko. Paparan terhadap asap rokok merupakan faktor

resiko utama, dan berhenti merokok adalah strategi yang paling efektif untuk

mengurangi resiko berkembangnya PPOK dan memperlambat atau menghentikan

perkembangan penyakit. Penghentian merokok menyebabkan penurunan

simtomatologi dan memperlambat laju penurunan paru bahkan kelainan fungsi

yang signifikan dalam tes fungsi paru telah terdeteksi (FEV1/FVC <60%).

Ada bukti kuat yang mendukung penggunaan terapi farmakoterapi untuk

membantu berhenti merokok. Bupropion merupakan agen pertama yang dapat

digunakan. Mempertimbangkan tindakan pencegahan sebelum menggunakan

bupropion termasuk riwayat kejang atau gangguan makan. Terapi pengganti

nikotin yang kontraindikasi pada pasien dengan penyakit  arteri koroner tidak

stabil, ulkus peptic aktif, atau infark miokard atau stroke.

Rehabilitasi Paru

Page 10: Makalah PPOK 2

       Program rehabilitasi paru merupakan komponen integral dalam

manajemen PPOK dan harus mencakup latihan jangka panjang dengan

penghentian merokok, latihan pernafasan, pengobatan yang optimal, dukungan

psikososial dan pendidikan. Penelitian telah menunjukkan bahwa rehabilitasi paru

dengan latihan 3-7 kali seminggu dapat menghasilkan perbaikan jangka panjang

dalam aktivitas hidup sehari-hari, kualitas hidup dan toleransi latihan pada pasien

PPOK sedang sampai parah.

Imunisasi

 Vaksin dapat dianggap sebagai agen farmakologi, namun vaksin

dijelaskan disini berperan dalam mengurangi faktor resiko untuk eksaserbasi

PPOK. Karena influenza adalah komplikasi umum pada PPOK yang dapat

menyebabkan eksaserbasi dan kegagalan pernafasan, sebuah vaksinasi tahunan

dengan vaksin influenza intramuscular inaktif dianjurkan. Imunisasi terhadap

influenza dapat mengurangi penyakit serius dan kematian sebesar 50% pada

pasien PPOK. Agen oral anti influenza (misalnya amantadine, rimantadine, dan

oseltamivir) dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan PPOK selama wabah

bagi pasien yang belum diimunisasi, namun terapi ini kurang efektif dan

menimbulkan efek samping lebih.

       Vaksin pneumokokus polyvalent, diberikan satu kali, secara luas

direkomendasikan untuk orang-orang berusia 2-64 tahun yang memiliki penyakit

paru-paru kronis dan bagi semua orang yang berusia dari 65 tahun. Vaksinasi

berulang dengan produk 23-valent tidak dianjurkan untuk pasien usia 2-64 tahun

dengan penyakit paru-paru kronis, namun vaksinasi ulang direkomendasikan

untuk pasien lebih dari 65 tahun jika vaksinasi pertama lebih dari 5 tahun

sebelumnya dan pasien lebih muda dari usia 65 tahun.

Terapi Oksigen Jangka Panjang

         Penggunaan tambahan terapi oksigen meningkatkan kelangsungan hidup

pada pasien PPOK dengan hipoksemia kronis. Analisis terbaru menunjukkan

bahwa terapi oksigen jangka panjang memberikan manfaat lebih dalam hal

kelangsungan hidup setelah minimal 5 tahun penggunaan dan meningkatkan

Page 11: Makalah PPOK 2

kualitas hidup pasien dengan meningkatkan jarak waktu dan kondisi

neuropsikologi dan mengurangi waktu rawat di rumah sakit.

Terapi Adjuvan

Terapi adjuvant dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari program

rehabilitasi paru yaitu perawatan psychoedukasi dan dukungan gizi. Perawatan

psychoedukasi (seperti relaksasi) telah dikaitkan dengan perbaikan fungsi dan

kesejahteraan pada orang dewasa dengan PPOK. Peran dukungan nutrisis pada

pasien dengan PPOK masih kontroversi. beberapa studi telah menunjukkan

hubungan antara kekurangan gizi, indek massa tubuh rendah (BMI), dan status

gangguan paru antara pasien dengan PPOK. Namun, dalam meta-analisis baru-

baru ini, pengaruh hasil dukungan nutrisi pada PPOK adalah kecil dan tidak

dikaitkan dengan perbaikan ukuran tropometri, fungsi paru-paru, atau kapasitas

latihan fungsional. 

Terapi Farmakologi

       Tujuan utama dari terapi farmakologi adalah untuk mengontrol gejala

pasien dan mengurangi komplikasi, termasuk frekuensi dan tingkat keparahan

eksaserbasi dan memperbaiki keseluruhan toleransi status kesehatan dan

pelaksanaan pasien. 

Bronkodilator

  Bronkodilator yang tersedia untuk perawatan PPOK adalah β2 agonis,

antikolionergik, dan methylxantin. Bronkodilator umumnya bekerja dengan

mengurangi nada saluran napas otot polos, sehingga meninimalkan hambatan

aliran udara. Pada pasien dengan PPOK, manfaat klinis bronkodilator meliputi

peningkatan kapasitas latihan fisik, penurunan terperangkapnya udara, dan

peredaan gejala seperti dispnea. Namun penggunaan bronkodilator mungkin tidak

berhubungan dengan perbaikan signifikan dalam pengukuran fungsi paru seperti

FEV1. Karena pasien PPOK lebih tua dan lebih mungkin memilik kondisi

komosbiditas, resiko efek samping dan interaksi obat lebih tinggi dibandingkan

dengan pasien asma.

Simpathomimetik (β2- agonis).

Page 12: Makalah PPOK 2

Dalam manajemen PPOK agen simpatomimetik dengan β2-selektiv atau β2-

agonis harus digunakan sebagai bronkodilator. β2-agonis menyebabkan

pembesaran bronkus dengan merangsang enzim adenylsiklase untuk

meningkatkan pembentukan monofosfat adenosine siklik (cAMP). cAMP

bertanggung jawab untuk menengahi relaksasi bronchial otot polos, yang

mengarah ke pembesaran bronkus. Meskipun aksi pendek dan kurang selektif β-

agonis masih digunakan secara luas. β2 selektif-agonis seperti albuterol,

levalbuterol, bitolterol, formoterol, pirbuterol,salmeterol, dan terbutaline lebih

disukai untuk terapi. Agen simpatomimetik tersedia dalam bentuk inhalasi, oral,

dan parenteral. Rute yang disukai adalah dengan inhalasi.

Inhalasi β2-agonis aksi panjang menawarkan manfaat durasi yang panjang

tanpa kehilangan efektivitas. Salmeterol dan formoterol dapat diberikan setiap 12

jam dan menghasilkan bronkodilatasi selama interval dosis. Penggunaan agen ini

sebaiknya dipertimbangkan pada pasien yang menunjukkan kebutuhan yang

sering akan agen aksi pendek.

Antikolinergik

         Ketika diberikan secara inhalasi, agen antikolinergik seperti ipratropium

atau atropine menghasilkan bronkodilatasi dengan menghambat reseptor

kolinergik secara kompetitif pada otot polos bronchial. Aktivitas ini memblok

asetilkolin, sehingga terjadi pengurangan guanosin monofosfat siklik (cGMP),

yang biasanya mengkonstriksi otot polos bronkial, sehingga menghambat

bronkokonstriksi.

Ipratropium telah menjadi agen antikolinergik yang tersedia untuk PPOK.

Atropin memiliki struktur tersier dan mudah diserap di mukosa pernafasan,

sedangkan ipratropium memiliki struktur kuartener yang diserap buruk.

Kurangnya absorbs sistemik ipratropium menyebabkan berkurangnya efek

samping antikolinergik seperti penglihatan kabur, retensi urin, mual, dan takikardi

yang terkait dengan atropine. Ipratropium bromide tersedia dalam bentuk Metered

Dose Inhaler (MDI) dan efek puncaknya muncul pada 1,5 sampai 2 jam dan

durasinya adalah 4-6 jam. Keluhan dari pasien yang paling sering adalah mulut

kering, mual, dan kadang rasa seperti logam.

Page 13: Makalah PPOK 2

Kombinasi Antikolinergik dan Simpatomimetik

Kombinasi regimen dari bronkodilator sering digunakan dalam

pengobatan PPOK, terutama ketika perkembangan penyakit dan gejala semakin

memburuk seiring waktu.  Mengkombinasikan bronkodilator dengan mekanisme

yang berbeda membuat dosis efektif terendah dapat digunakan dan mengurangi

dampak negatif dari masing-masing agen. Kombinasi kedua agonis β2 aksi

pendek dan aksi panjang dengan ipratropium telah terbukti menunjukkan

pertambahan peredaan gejala dan peningkatan fungsi paru. Kombinasi albuterol

dan ipratropium tersedia dalam MDI digunakan untuk terapi pemeliharaan PPOK

kronis.

Metilxantin

Metilxantin, termasuk teofilin dan aminofilin telah lama digunakan pada

pengobatan PPOK sebagai lini pertama. Namun dengan munculnya aksi panjang

inhalasi agonis β2 dan inhalasi antikolinergik, mereka tidak lagi dianggap terapi

lini pertama. Teofilin umumnya digunakan pada pasien yang intoleran atau tidak

dapat menggunakan inhalasi bronkodilator. metilxantin dapat menghasilkan

bronkodilatasi melalui berbagai mekanisme, termasuk (1) menghambat

fosfodiesterase sehingga meningkatkan kadar cAMP, (2) menghambat masuknya

ion kalsium ke otot polos, (3) antagonis prostaglandin, (4) rangsangan

katekolamin endogen, (5) antagonis reseptor adenosine, dan (6) penghambatan

pelepasan mediator dari sel mast dan leukosit.

 Penggunaan kronik teofilin pada pasien PPOK menunjukkan perbaikan

dalam fungsi paru, termasuk kapasitas vital dan FEV1. Secara subjektif teofilin

mengurangi dispnea, meningkatkan toleransi latihan, dan memperbaiki kendali

respirasi. Sediaan teofilin lepas lambat meningkatkan kepatuhan pasien dan

mencapai konsentrasi serum lebih konsisten dibandingkan sediaan teofilin lepas

cepat dan aminofilin. Peran teofilin dalam PPOK adalah sebagai terapi

pemeliharaan pada pasien sakit bukan akut. Terapi dapat dimulai pada dosis 200

mg dua kali sehari dan ditingkatkan bertahap setiap 3-5 hari sampai dosis target.

Kebanyakan pasien memerlukan dosis harian 400-900 mg. Penyesuaian dosis

umumnya dibuat berdasarkan hasil serum. Secara tradisional, kisaran teraupetik

Page 14: Makalah PPOK 2

teofilin antara 8-15 mcg/mL.  Efek samping teofilin yang paling umum yaitu

dyspepsia, mual, muntah, diare, sakit kepala, pusing dan takikardi. Aritmia dan

seizure dapat muncul, terutama pada konsentrasi toksik.

Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid pada PPOK masih menimbulkan perdebatan

yang mempertanyakan manfaatnya. Mekanisme antiinflamasi dimana

kortikosteroid memberikan efek yang menguntungkan pada PPOK meliputi (1)

penurunan permeabilitas kapiler untuk mengurangi mukus, (2) penghambatan

pelepasan enzim proteolitik dari leukosit, dan (3) penghambatan prostaglandin.

Sayangnya, manfaat terapi kortikosteroid sistemik pada pengelolaan PPOK kronik

seringkali tidak jelas, dan ada resiko toksik. Situasi yang sesuai untuk

mempertimbangkan kortikosteroid pada PPOK meliputi (1) penggunaan sistemik

jangka pendek untuk eksaserbasi akut dan (2) terapi inhalasi untuk PPOK kronik

stabil. Sebuah studi menyimpulkan bahwa hanya sebagian kecil (10%) pasien

PPOK yang dirawat dengan steroid menunjukkan perbaikan klinis dibandingkan

dengan yang dirawat dengan plasebo. sementara sejumlah kecil pasien PPOK

dianggap berespon untuk steroid ternyata juga menderita asma yang ditunjukkan

dengan adanya eosinofil pada sputumnya sehingga dapat menjelaskan manfaat

klinis steroid.

Efek samping jangka panjang yang terkait dengan terapi sistemik

kortikosteroid meliputi osteoporosis,atrofi otot, penipisan kulit, perkembangan

katarak, dan suspresi adrenal.

Terapi Kombinasi : Bronkodilator dan Inhalasi Kortikosteroid

Dalam berbagai studi, terapi kombinasi dengan salmeterol ditambah

flutikason atau budenosid ditambah formoterol dikaitkan dengan lebih besar

perbaikan hasil klinis seperti FEV1, status kesehatan, dan frekuensi eksaserbasi

dibandingkan dengan inhalasi kortikosteroid atau bronkodilator aksi panjang

sendiri. Ketersediaan kombinasi inhaler membuat pasien lebih nyaman.

α1-Antitripsin Terapi Penggantian

Pada pasien dengan keturunan defisiensi AAT terkait emfisema, terapi

berfokus pada pengurangan faktor resiko seperti merokok, gejala diterapi dengan

Page 15: Makalah PPOK 2

bronkodilator, dan terapi augmentasi dengan penggantian AAT. Terapi

augmentasi terdiri dari infus mingguan dari AAT manusia dikumpulkan untuk

menjaga tingkat AAT plasma atas 10 mikromolar. Regimen dosis yang

direkomendasikan untuk penggantian AAT adalah 60 mg/kg diberikan intravena

seminggu sekali pada tingkat 0,08 mL/kg per menit, disesuaikan dengan toleransi

pasien. 

2. Terapi Nonfarmakologi dan Farmakologi Eksaserbasi PPOK

 Tujuan terapi untuk pasien yang mengalami eksaserbasi PPOK adalah (1)

pencegahan atau pengurangan rawat inao di rumah sakit, (2) pencegahan

kegagalan pernafasan akut dan kematian, dan (3) resolusi gejala memburuknya

dan kembali ke status klinis awal.

Terapi Nonfarmakologi

Terapi Kontrol Oksigen

Terapi oksigen harus dipertimbangkan untuk setiap pasien dengan hipoksemia

selama eksaserbasi. Terapi oksigen harus digunakan untuk mencapai PaO2 > 60

mmHg atau saturai oksigen > 90%.

Mekanik Noninvansiv Ventilasi

Noninvansiv ventilasi tekanan positif (NPPV) memberikan dukungan ventilasi

dengan oksigen dan aliran udara bertekanan menggunakan masker muka atau

hidung dengan segel ketat tapi tanpa intubasi endotrakeal. Manfaat NPPV

umumnya dikaitkan dengan pengurangan komplikasi yang sering muncul dengan

mekanik invasive ventilasi. Pasien dengan asidosis berat (PH <7,25),

penangkapan pernafasan, atau ketidakstabilan kardiovaskular seharusnya

dipertimbangkan untuk tidak menggunakan NPPV.

Terapi Farmakologi

Bronkodilator

Selama eksaserbasi, intensifikasi rejimen bronkodilator umum digunakan.

Dosis dan frekuensi bronkodilator ditingkatkan untuk mengurangi gejala. β2-

agonis aksi pendek lebih disukai karena onsetnya cepat. Antikolinergik dapat

Page 16: Makalah PPOK 2

ditambahkan jika gejala menetap. Bronkodilator dapat diberikan melalui MDI

atau nebulasi dengan khasiat sama.

Kortikosteroid

Sampai saat ini, literatur yang mendukung penggunaan kortikosteroid dalam

eksaserbasi akut PPOK masih jarang. Namun, hasil uji yang dilakukan oleh

Davies dan kawan menunjukkan bahwa pasien dengan eksaserbasi akut PPOK

harus diberikan kortikosteroid oral atau intravena dalam jangka pendek. Namun,

karena variabilitas besar di rentang dosis, dosis optimal dan lamanya pengobatan

kortikosteroid tidak diketahui. Dampak buruk seperti hiperglikemia, insomnia,

dan halusinasi mungkin terjadi pada dosis yang lebih tinggi. 

Terapi Antimikroba

Kebanyakan eksaserbasi akut PPOK diperkirakan disebabkan oleh virus

atau infeksi bakteri. Oleh karena itu antibiotik merupakan salah satu obat yang

dapat digunakan untuk PPOK. Sebuah studi metaanalisis dari Sembilan studi

mengevaluasi efektivitas antibiotik dalam mengobati eksaserbasi PPOK

menunjukkan bahwa pasien yang menerima antibiotik mendapatkan peningkatan

laju aliran puncak ekspirasi lebih besar dibanding yang tidak menerima. Studi

tersebut menyimpulkan bahwa antibiotik bermanfaat dan harus dimulai jika dua

dari tiga gejala berikut tampak : peningkatan dispnea, peningkatan volume

sputum, dan peningkatan kandungan nanah sputum.

  Tabel 1. Terapi antibiotik yang direkomendasikan untuk eksaserbasi akut PPOK

Karakteristik pasien Patogen penyebab yangMungkin

Rekomendasi terapi

Eksaserbasi tanpa komplikasi< 4 kali eksaserbasi setahun tidak ada penyakit penyerta FEV1 > 50%

S. pneumonia, H.H. influenzaM. catarrhalisH. parainfluenzae

Umumnya tidak resisten

Makrolid (azitromisin, klaritomisin), sefalosforin generasi 2 atau 3, doksisiklin

Eksaserbasi komplek umur > 65 tahun> 4 kali eksaserbasi

Seperti diatas, ditambah obat yang resisten terhadap pneumococci, ditambah H.

Amoksisilin/klavulanas, fluorokuinolon (levofloksasin,

Page 17: Makalah PPOK 2

pertahunFEV1 < 50% tapi > 35%

influenza dan M. catarrhalis penghasil beta laktamase

gatifloksasin, moksifloksasin)

Eksaserbasi kompleks dengan resiko P. aeruginosa> 4 kali eksaserbasi pertahunFEV1 > 35%

Seperti diatas, ditambah P. aeruginosa

Fluorokuinolon (levofloksasin, gatifloksasin, moksifloksasin)

Terapi IV, jika diperlukan : sefalosporin generasi 3 atau 4

Ekspektoran dan Mukolitik

Asupan air yang cukup dapat diterima untuk mempertahankan hidrasi.

diluar itu penggunaan mukilitik atau ekspektoran untuk pasien PPOK tidak

terbukti manfaatnya.

Monitoring dan evaluasi

Untuk mengevaluasi hasil terapi PPOK efektif, pertama-tama harus

menggambarkan antara PPOK stabil kronis dan akut eksaserbasi.

PPOK stabil kronis, tes fungsi paru harus dinilai secara berkala dan

dengan adanya penambahan terapi, perubahan dosis, atau penghapusan

terapi. Parameter hasil lainnya biasanya dievaluasi, termasuk skor

dyspnea, kualitas hidup, dan tingkat eksaserbasi, termasuk kunjungan ke

rumah sakit atau rawat inap.

Pada eksaserbasi akut PPOK, jumlah sel darah putih, tanda-tanda vital,

dada x-ray, dan perubahan frekuensi dispnea, volume dahak, dan purulensi

dahak harus dinilai saat onset dan sepanjang pengobatan eksaserbasi.

Pada eksaserbasi yang lebih parah, ABGs eksaserbasi dan saturasi oksigen

juga harus dipantau. Selain itu, kepatuhan pasien untuk meminum obat,

efek samping, interaksi obat yang potensial, dan penilaian kualitas hidup

pasien juga harus dievaluasi.

Page 18: Makalah PPOK 2

KASUS

Tuan M umur 70 tahun datang pertama ke Rumah Sakit dengan nafas

ngos-ngosan sejak ± 10 hari yang lalu. Nafas terasa lebih berat ketika

pasien beraktifitas jalan kaki ±50 m. Pasien juga mengatakan bahwa tidur

lebih nyaman dengan bantal tinggi., Pasien sudah mengeluh batuk, tidak

demam, BB tidak menurun, nafsu makan baik, tidak berkeringat dingin,

BAB normal kuning. Kemudian pasien dirawat inap di RSD Sobandi

selama 9 hari. Selama hidupnya Tuan M merokok dan sudah berhenti

sejak 5 tahun yang lalu, sedangkan pekerjaan beliau adalah petani.

RPD : Riwayat TB 1,5 tahun yang lalu, gastritis

RPK : -

Data subjektif

10/11/1

1

11/11/11/ 12/11/11 13/11/11 14/11/11 15/11/11 16/11/11 17/11/11 18/11/11

Nafas

ngos-

ngosan

Sesak,

batuk,pusing

Sesak,

batuk,pusing

Sesak,perut

panas

Sesak tapi

sudah

berkurang,

sakit

kepala di

pelipis,

perut tidak

panas

Sesak,

tidak

batuk,

sakit

kepala

Sesak,

batuk

berdahak

warna

putih,

sakit

kepala

Sesak

berkurang,

batuk

berdahak

warna putih

hanya

sedikit,sakit

kepala

berkurang,

panas di

ulu hati

Masih

sesak tapi

berkurang,

panas ulu

hati, mual

tapi tidak

muntah,

batuk

berdahak

banyak

dan

berwarna

putih.

Page 19: Makalah PPOK 2

Data Objektif

Tanda-tanda vital pasien

Tanggal pemeriksaan

Tek. Darah (mmHg)

Nadi (x/menit)

Respiratory Rate

(x/menit)Suhu (0C)

Kondisi umum

10/11/

11

160/

80

7

2

2

8

36,

5

Seda

ng

11/11/

11

130/

70

8

8

2

8

36,

5

Seda

ng

12/11/

11

130/

75

8

5

2

4

36 Seda

ng

13/11/

11

130/

80

8

8

2

8

37 Seda

ng

14/11/

11

110/

70

8

8

2

2

36,

5

Seda

ng

15/11/

11

140/

70

8

8

3

6

36 Seda

ng

16/11/

11

120/

80

8

4

3

4

36 Seda

ng

17/11/

11

110/

80

7

2

1

6

36 Seda

ng

18/11/

11

140/

80

7

8

2

1

36 Seda

ng

Assesment

Page 20: Makalah PPOK 2

10/11/11

S/d

12/11/11

13/11/11 14/11/11 15/11/11 16/11/11

S/d

17/11/11

15/11/11

Obs dyspnea +Susp TB

Obs dyspnea + PPOK

Obs dyspnea + PPOK

Obs dyspnea + PPOK

Obs dyspnea + PPOK

Obs dyspnea + PPOK

Nama Obat DosisTanggal pemberian obat (November 2011)

Rute 10 11 12 13 14 15 16 17 18

O2 I.V lpm 2 lpm 2 lpm 2 lpm 2 lpm 2 lpm 3 lpm 3 lpm 3 lpm

Infus RL I.V 15 tpm 20 tpm 20 tpm 20 tpm 20 tpm 20 tpm 20 tpm 20 tpm 20 tpm

Ranitidin I.V 2x1 √

Cefotaxim I.V 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √

Aminophilin drip

I.V1 amp

(24mg/ml)3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √

Nebulizer: - Combivent 1 amp /PZ 1 cc

Inhalasi1 vial

(2,5ml)3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √

Ambroxol P.O 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √

Amlodipin P.O 1-0-0 √ √ √ √ √ √

Valsartan P.O 0-0-1 √ √ √ √ √ √

Antasid syr P.O 3x1CH √ √ √

Levofloxasin I.V500mg/100ml

1x1 √ √ √

Infus D5 I.V √ √ √

Profil Pengobatan pada saat masuk Rumah Sakit

Hasil Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Hasil Normal

Page 21: Makalah PPOK 2

10/11/11 15/11/2011Hematologi      Hemoglobin 14,6 12,5 13,4-17,7 gr/dlLaju Endap Darah 5/10 73/115 0-15

Lekosit 20,5 8,5 4,3-10,3 x 103/L

Hematokrit 41,7 35,7 38-42%

Trombosit 221 155 150-450x109/lFaal Hati      Bilirubin direk 0,46 - 0,2-0,4 mg/dlBilirubin total 1,09 - < 1,2 mg/dlSGOT 36 86 10-35 v/LSGPT 38 71 9-43 v/LAlbumin 3,0 3,4 3,4-4,8Kadar Gula DarahSewaktu 76 - <200 mg/dl

Analisis Profil Pengobatan pada saat MRS

Obat Indikasi

Infus RL Untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit

pada dehidrasi

Ranitidin Hipersekresi patologis tukak usus 12 jari yang

tidak terkendali. Terapi jangka pendek untuk

pada pasien yang intoleransi terhadap terapi

oral

Cefotaxim Infeksi nosokomial

Aminophilin Untuk meringankan dan mengatasi serangan

asma bronchial

Neb Combivent

1amp, PZ 1 cc

Bronkospasme yang berhubungan dengan

PPOK pada pasien-pasien yang diterapi dengan

Ipratropium Bromida dan Salbutamol

Ambroxol Sebagai sekretolitik pada gangguan saluran

nafas akut dan kronis khususnya pada

eksaserbasi bronchitis kronis dan bronchitis

asmatik dan asma bronchial

Page 22: Makalah PPOK 2

Amlodipin Untuk terapi pada pasien hipertensi

Valsartan Untuk terapi pada pasien hipertensi

Antasid syrup Mengurangi nyeri lambung akibat kelebihan

asam lambung

Levofloxacin Pengobatan eksaserbasi bakteri akut pada

Bronkhitis kronis yang disebabkan oleh

Staphylococcus aureus, S.pneumonia,

H.influenza, H.parainfluenza atau M.catarrhalis

Infus D5 Untuk mengatasi dehidrasi dan menambah

kalori

Drug Related Problem

DRP Terapi Efek Plan Monitoring

Obat dengan

dosis berlebih

(over dose)

Aminophilin

1amp

(24mg/ml)

secara i.v 3x1

sehari

Untuk

meringankan

dan mengatasi

serangan asma

bronchial

Turunkan

terapi

aminophilin

mjd 1 amp

(24mg/ml)

secara i.v 2x1

sehari

Cek fungsi hati

pasien terutama

pasien yang

berusia di atas

55 tahun dan

pria serta pada

pasien

penderita

penyakit paru-

paru kronis

Obat tanpa

indikasi

Penggunaan

antihipertensi

Amlodipin

5mg 1-0-0

Valsartan

80mg 0-0-1

pada hari ke 4

di Rumah

Untuk

menurunkan

tekanan darah

pada pasien

hipertensi.

Hentikan

penggunaan

antihipertensi

pada pasien.

Monitoring

kadar tekanan

darah pada

pasien

Page 23: Makalah PPOK 2

Sakit

Penggunaan obat tidak tepat

Penggunaan

antasid sirup

3x1CH secara

peroral pada

pasien

Untuk

mengurangi

nyeri lambung

akibat kelebihan

asam lambung

Penggantian

obat dari

antacid syr

menjadi obat

golongan

antagonis

resptor H2

histamin.

Contoh :

Simetidin,

ranitidin

Tetapi

penggunaan

obat lambung

tersebut hanya

digunakan

apabila pasien

mengalami

symptom.

Monitoring

symptom yang

dialami pasien

Penggunaan

obat tidak

tepat

Tidak ada

terapi

pengobatan

untuk PPOK

yang

disebabkan

oleh bakteri,

pada saat

pasien telah

didiagnosis

PPOK. Terapi

Pengobatan

eksaserbasi

bakteri akut

pada Bronkhitis

kronis yang

disebabkan oleh

Staphylococcus

aureus,

S.pneumonia,

H.influenza,

H.parainfluenza

Sebaiknya

pasien

dilakukan tes

lab untuk

mencek

sputum

apakah ada

infeksi atau

tidak,

sehingga

Monitoring

keadaan pasien,

seperti tanda-

tanda vital

pasien,

perubahan

frekuensi

dispnea,volume

dahak,purulensi

dahak

Page 24: Makalah PPOK 2

diberikan

setelah pasien

didiagnosis

PPOK selama

4 hari.

atau

M.catarrhalis

dapat

diterapi

PPOK sejak

pasien hari

pertama

didiagnosa.

Interaksi Obat

Interaksi

Levofloksasin

dan infus RL

Adanya

inkompatibilitas

antara infus

Levofloksasin

dengan infus RL

Sebaiknya

infus RL

diganti dengan

infus NaCl

0,9%

Monitoring

efikasi obat

levofloksasin,

Pembahasan

Penatalaksanaan terapi pada Tuan M (70 tahun) ini untuk

pengobatan PPOK. Pasien pertama kali masuk Rumah Sakit dengan

keluhan sesak nafas setelah pasien melakukan aktifitas ringan yaitu jalan

kaki sejauh ±50 m. Riwayat penyakit terdahulu pasien adalah tuberkolosis

dan gastritis. Pasien pertama kali masuk Rumah Sakit didiagnosa

observasi dyspnea dan suspect tuberkolosis. Terapi awal yang diberikan

pada pasien adalah infus RL, injeksi ranitidin, injeksi cefotaxim, injeksi

aminophilin, inhalasi combivent, dan ambroxol p.o.

Cefotaxim yang diberikan digunakan sebagai terapi profilaksis

infeksi nosokomial yang dimungkinkan terjadi pada saat pasien dirawat di

rumah sakit. Injeksi aminophilin yang diberikan kepada pasien untuk

meringankan dan mengatasi serangan asma bronchial. Injeksi combivent

digunakan sebagai bronkospasme yang merupakan kombinasi dari

antikolinergik dan simpatomimetik (β2 agonis). Pada mantan perokok

seperti Tuan M tersebut, pemberian terapi bronkodilatasi dengan inhalasi

Page 25: Makalah PPOK 2

untuk mengurangi obstruksi bronkus lebih efektif menggunakan

kombinasi kedua obat tersebut untuk memperbaiki fungsi paru pasien.

Pasien pada hari kedua dirawat di Rumah Sakit masih menerima

terapi obat yang sama dengan hari pertama pasien dirawat di Rumah Sakit

yaitu infus RL, injeksi cefotaxim, aminophilin,inhalasi combivent, dan

ambroxol. Hanya saja ada pengurangan satu obat, yaitu injeksi ranitidin.

Tekanan darah pasien pada saat masuk Rumah Sakit hari pertama,

pada tanggal 10 November 2011 yaitu 160/80 mm Hg. Pada saat itu tidak

ada terapi untuk hipertensi yang dialami pasien. Pada hari kedua pasien di

Rumah Sakit yaitu pada tanggal 11 November 2011, tekanan darah pasien

menurun menjadi 130/70 mm Hg tanpa adanya terapi anti hipertensi. Hal

ini dapat diasumsikan bahwa tekanan darah pasien meningkat disebabkan

faktor psikologis pasien sendiri. Tetapi pada tanggal 13 November 2011

atau pada hari keempat pasien masuk Rumah Sakit, diberikan terapi anti

hipertensi berupa Amlodipin 5 mg 1xsehari pada pagi hari dan Valsartan

80 mg 1xsehari pada malam hari. Pada tanggal tersebut diketahui dari

tanda-tanda vital pasien bahwa tekanan darah pasien adalah 130/80 mm

Hg yang dirasa tidak perlu mendapat obat anti hipertensi. Penggunaan

terapi antihipertensi pasien sebaiknya dieleminasi karena passion dirasa

tidak perlu mendapat terapi antihipertensi dengan asumsi bahwa pasien

tidak memiliki riwayat hipertensi.

Pada hari keempat pasien masuk Rumah Sakit yaitu pada tanggal

13 November 2011, dokter sudah mendiagnosa pasien PPOK. Tetapi

pasien baru mendapat terapi antibiotik levofloksasin pada hari ke 7 pasien

masuk Rumah Sakit. Hal ini mungkin disebabkan bahwa tes sputum yang

dilakukan tidak dilakukan dari awal pasien masuk Rumah Sakit. Sehingga

ketika pasien baru dites sputum apakah ada tanda infeksi atau tidak, ketika

pasien sudah didiagnosa PPOK oleh dokter. Sehingga terapi pengobatan

PPOK menjadi lebih lama, dan waktu tinggal pasien di Rumah Sakit

(LOS) menjadi lebih tinggi.

Page 26: Makalah PPOK 2

Pemberian infus levofloksasin dengan infus Ringer Laktat

mengalami interaksi obat. Hal ini disebabkan karena adanya

inkompatibilitas antara infus Ringer Laktat dan infus Levofloksasin yang

dapat menurunkan efek dari levofloksasin itu sendiri. Sebaiknya

pemberian infus Ringer Laktat diganti dengan infus NaCl 0,9% yang

kompatibilitasnya dengan larutan infus tersebut sudah terbukti baik.

Penggunaan antasid sirup pada pasien secara per oral terhitung dari

tanggal 16 November 2011 sampai dengan tanggal 18 November 2011

atau pada hari ketujuh sampai dengan hari ke kesembilan pasien masuk

Rumah Sakit. Penggunaan antasid sirup bertujuan untuk mengurangi nyeri

lambung akibat kelebihan asam lambung pada pasien. Menurut riwayat

penyakit dahulu, pasien pernah mengalami gastritis, sehingga sebaiknya

penggunaan antasid sirup diganti dengan golongan obat-obat lambung lain

seperti golongan antagonis reseptor h2 histamin, contohnya: simetidin atau

ranitidin. Pemberian obat-obat lambung sebaiknya pada saat munculnya

symptom pada pasien. Pemeberian obat tersebut pada saat tidak terjadi

symptom pada pasien dirasa kurang tepat, di samping itu sebaiknya rute

pemberian obat-obat tersebut secara inta vena, untuk mempercepat

efikasinya terhadap pasien.

Kesimpulan

Rekomendasi untuk Tuan M :

Aminophilin dosisnya diturunkan untuk meminimalkan efek samping pada

pasien, dimana pasien berusia diatas 55 tahun dan mempunyai riwayat

penyakit paru.

Eliminasi pemberian obat antihipertensi : amlodipin dan valsartan karena

dianggap tidak perlu diberikan. Hal ini dapat dilihat dari tanda-tanda vital

pasien yang berupa TD yang normal dan diasumsikan pasien tidak

memiliki riwayat hipertensi.

Page 27: Makalah PPOK 2

Penggunaan antasid sirup sebaiknya diganti dengan golongan antagonis

reseptor h2 histamin seperti simetidin atau ranitidin dengan riwayat

penyakit dahulu pasien yaitu gastritis.

Pemberian obat antibiotik levofloksasin pada pasien dengan PPOK yang

disebabkan infeksi bakteri sebaiknya dilakukan pada saat hari pertama

pasien didiagnosa PPOK.

Penggantian infus Ringer Laktat menjadi infus NaCl 0,9%, karena adanya

interaksi obat antara Levofloksasin dan infus Ringer Laktat yang dapat

menurunkan efikasi obat.

Monitoring :

Ada tidaknya peningkatan dispnea pada pasien

Volume sputum pada pasien

Purulensi dahak pada pasien

Symptom pada pasien (mual, muntah, nyeri ulu hati )

Terapi non farmakologi :

Menghentikan kebiasaan merokok

Rehabilitasi paru dengan latihan pernapasan

Perbaikan nutrisi untuk menambah energi

Pemberian imunisasi

Daftar Pustaka

Page 28: Makalah PPOK 2

Dypiro, et al, 2008, Pharmacoterapy at Pathophysiologic Approach, edisi

6, The McGraw Hill Companies, United States of America.

Lacy. Charles F et al, 2009, Drug Information Handbook, edisi 18.

American Pharmacist Assosiation. United States of America.

Neal,.M.J. 2005. At a Glance Farmakologi Medis, edisi 5. disadur oleh

Erlangga. Jakarta

Tjay, Tan Hoan Drs dkk, 2007. Obat-obat Penting, edisi 6. PT Elex Media

Komputindo. Jakarta.