22
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sindrom ovarium polikistik atau polycistic ovarian syndrome (PCOS) merupakan salah satu penyebab ketidaksuburan (infertilitas) karena kegagalan terjadinya proses ovulasi, keluarnya sel telur (ovum) dari indung telur (ovarium). Sindrom ovarium polikistik didefinisikan sebagai kumpulan gejala yang ditandai dengan adanya proses anovulasi (tidak keluarnya ovum) kronis disertai perubahan endokrin (seperti hiperinsulinemia dan hiperandrogenemia). Beberapa komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi pada pengidap sindrom ovarium polikistik meliputi peningkatan risiko diabetes melitus tipe 2, gangguan toleransi glukosa (resistensi insulin), kadar lipid dalam darah abnormal (dislipidemia), penyakit kardiovaskular, penebalan dinding rahim, dan infertilitas (Lord et al., 2008). Di Amerika sindrom ovarium polikistik biasanya terjadi pada usia reproduktif (antara 15 sampai 40 tahun) dan angka kejadiannya sekitar 5-10%. Meskipun angka kejadian PCOS dijumpai cukup tinggi pada wanita usia reproduktif, penyebab pastinya hingga kini belum banyak diketahui (Baziad, 2012). Sindrom ovarium polikistik pertama sekali ditemukan oleh Stein dan Leventhal pada sekitar 1

PCOS

Embed Size (px)

DESCRIPTION

PCOS

Citation preview

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sindrom ovarium polikistik atau polycistic ovarian syndrome (PCOS)

merupakan salah satu penyebab ketidaksuburan (infertilitas) karena kegagalan

terjadinya proses ovulasi, keluarnya sel telur (ovum) dari indung telur

(ovarium). Sindrom ovarium polikistik didefinisikan sebagai kumpulan gejala

yang ditandai dengan adanya proses anovulasi (tidak keluarnya ovum) kronis

disertai perubahan endokrin (seperti hiperinsulinemia dan

hiperandrogenemia). Beberapa komplikasi jangka panjang yang dapat terjadi

pada pengidap sindrom ovarium polikistik meliputi peningkatan risiko

diabetes melitus tipe 2, gangguan toleransi glukosa (resistensi insulin), kadar

lipid dalam darah abnormal (dislipidemia), penyakit kardiovaskular,

penebalan dinding rahim, dan infertilitas (Lord et al., 2008).

Di Amerika sindrom ovarium polikistik biasanya terjadi pada usia

reproduktif (antara 15 sampai 40 tahun) dan angka kejadiannya sekitar 5-

10%. Meskipun angka kejadian PCOS dijumpai cukup tinggi pada wanita

usia reproduktif, penyebab pastinya hingga kini belum banyak diketahui

(Baziad, 2012).

Sindrom ovarium polikistik pertama sekali ditemukan oleh Stein dan

Leventhal pada sekitar tahun 1935.Kelainan atau sindrom ini bukanlah

sebuah penyakit, melainkan kelompok gejala. Gambaran klinis yang dijumpai

pada umumnya berupa amenorea (tidak ada menstruasi/haid), oligomenorea

(haid yang sedikit), infertilitas (ketidaksuburan), hirsutisme (tumbuhnya

rambut berlebihan), adipositas (kegemukan), dan pembesaran kedua ovarium

(DeCherney et al., 2007).

Meskipun penyebab pasti penyakit ini belum diketahui, namun

terdapat kemajuan dalam bidang endokrinologi, biokimia, dan farmakologi

untuk memberikan pengobatan yang menggembirakan, termasuk terapi yang

bersifat farmakologi maupun operatif. Mengingat tindakan operatif

memberikan angka keberhasilan yang cukup tinggi maka diperlukan suatu

1

pembahasan yang dapat menambah wawasan mengenai Sindroma Ovarium

Polikistik.

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi dan etiologi pada Sindroma Ovarium

Polikistik.

2. Untuk mengetahui tanda gejala dan penegakan diagnosis pada Sindroma

Ovarium Polikistik.

3. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada Sindroma Ovarium Polikistik.

4. Untuk mengetahui komplikasi dan prognosis pada Sindroma Ovarium

Polikistik.

2

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) adalah suatu kelainan

heterogen berupa anovulasi kronik dan hiperandrogenik yang tidak dapat

dijelaskan penyebabnya, di mana semua penyebab sekunder (neoplasma yang

mensekresi androgen) telah disingkirkan (William et al., 2007). PCOS

bukanlah suatu penyakit namun merupakan suatu kumpulan gejala (POGI,

2006) dengan karakteristik berupa adanya anovulasi persisten dan manifestasi

klinis berupa kista multipel pada ovarium, amenore sekunder atau

oligomenore dan infertilitas (Norwitzt et al., 2006).

B. Etiologi

Etiologi PCOS masih belum diketahui, dan tidak ada gen atau

substansi lingkungan spesifik yang terbukti mengakibatkan terjadinya PCOS

(Norwitz et al., 2006), meskipun beberapa penelitian mencoba

menghubungkan kejadian PCOS dengan pengaruh genetik melalui aktifitas

5α-reduktase (William et al., 2007).

Menurut POGI (2006) penyebab terbanyak PCOS adalah akibat

adanya gangguan hormonal. Gangguan hormonal berupa resistensi insulin,

adanya deposit lemak sentral (obesitas) dan Diabetes Mellitus tipe 2 sering

dianggap berhubungan dengan kejadian PCOS pada wanita usia subur

(William et al., 2007).

C. Epidemiologi

Penelitian tentang prevalensi PCOS masih terbatas. Di Amerika

Serikat prevalensinya berkisar 4-6%. Menurut Leventhal sindroma ini terjadi

1% - 3 % dari semua wanita steril, 3%-7% wanita yang mempunyai

pengalaman ovarium polikistik serta 15-25% wanita usia reproduksi akan

mengalami siklus yang tidak berovulasi. Sebanyak 75% dari siklus yang tidak

3

berovulasi itu berkembang menjadi anovulasi kronis dalam bentuk Ovarium

polikistik (OPK). Telah ditemukan bahwa 80% dari kelainan ovarium

polikistik ini secara klinis tampil sebagai Penyakit Ovarium Polikistik

(POPK). Pada 5-10% wanita usia reproduksi, Penyakit Ovarium polikistik ini

akan bergejala lengkap sebagai Sindroma Ovarium polikistik (SOPK)

(Fauser, 2012).

D. Faktor resiko

Faktor Resiko PCOS yaitu (Pernoll, 2011) :

1. Riwayat PCOS dalam keluarga

Bila dalam satu keluarga terdapat penderita PCOS maka

kemungkinan terjadinya PCOS adalah 50%. PCOS dapat diturunkan dari

pihak bapak atau ibu kepada anaknya.

2. Riwayat keluarga dengan diabetes diperkirakan juga akan meningkatkan

resiko terjadinya PCOS oleh karena ada hubungan yang sangat kuat

antara kejadian diabetes dan PCOS.

3. Resistensi insulin

Resistensi insulin menyebabkan kenaikan kadar gula darah dan

diabetes. Lebih dari 40% penderita SOPK menunjukkan adanya resistensi

insulin, dan lebih dari 10% diantaranya akan menderita diabetes melitus

tipe 2 saat berusia sekitar 40 tahun. Kadar insulinyang tinggi seperti ini

dapat meningkatkan kadar hormon pria sehingga keluhan SOPK menjadi

semakin parah. Gangguan akibat dari resistensi insulin mengacu pada

metabolisme glukosa. Kompensasi akibat adanya hiperinsulinemia adalah

peningkatan kerja insulin dan menyebabkan efek-efek yang berlebihan

pada organ lain termasuk stimulasi sekresiandrogen ovarium oleh sel-sel

adrenal. Insulin juga dapat menurunkan produksi sexhormone-binding

globulin (SHBG) di liver.

4. Obesitas

Pada wanita pasca menopause, kebanyakan estrogen berasal dari

perubahan androstenedion menjadi estron pada jaringan lemak.

Kecepatan perubahan ini 15-20 kali lebih besar pada wanita gemuk. Oleh

4

karena itu, estrogen dalam darah wanitagemuk diketahui lebih tinggi.

Kadar estrogen yang tinggi diyakini dapat meningkatkan resiko polikistik

ovarium.

5. Menstruasi terlalu dini (Menarche)

Wanita yang mulai menstruasi pada usia di bawah usia 12 tahun

memiliki resiko yanglebih tinggi karena adanya peningkatan waktu

paparan dinding rahim terhadapestrogen.

6. Tingkat kesuburan.

7. Hipotoroid atau hormon yang tidak seimbang.

8. Terapi tamosifen pada kanker mammae.

E. Tanda dan gejala

Tanda dan gejala pada penderita PCOS (Ibanez et al., 2014):

1. Hirsutisme (tumbuhnya rambut tubuh yang berlebihan), contohnya :

kumis

2. Akne / jerawat

3. Obesitas/kegemukan

4. Oligomenore (menstruasi yang jarang)

5. Amenore (tidak menstruasi)

6. Infertilitas.

F. Penegakan diagnosis

1. Anamnesis

Anamnesis harus difokuskan pada pola menstruasi, kehamilan

sebelumnya (jika ada), obat-obatan yang sedang dikonsumsi, konsumsi

merokok, konsumsi alkohol, pola makan, dan riwayat anggota keluarga

dengan diabetes atau penyakit kardiovaskular. Ketidakteraturan

menstruasi (80%) terjadi segera setelah menarke, termasuk amenore

sekunder dan atau oligomenore (Norwitz et al.,2006).

Pada 75% penderita PCOS mengalami infertilitas akibat

anovulasi kronik, dan beberapa ditemukan memiliki gejala sisa pada

jangka panjang. Gejala sisa pada penderita PCOS dapat berupa penyakit

5

kardiovaskular dan dislipidemia; intoleransi glukosa atau diabetes

mellitus yang tidak tergantung insulin (DM tipe 2); hiperplasia

endometrium atau adenokarsinoma akibat pajanan estrogen kronik pada

uterus (Norwitz et al., 2006).

2. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada penderita PCOS harus ditujukan pada

tanda-tanda hirsutisme (William et al., 2007) yaitu kebotakan, jerawat

(akne), klitoromegali (pembesaran klitoris), distribusi rambut pada tubuh

(muka, di atas bibir, dada, linea alba) [POGI, 2006], pengecilan

payudara, dan tanda-tanda resistensi insulin (obesitas, distribusi lemak

sentripetal, akantosis nigrikans). Sedangkan pada pemeriksaan bimanual

dapat juga ditemukan ovarium yang membesar (Norwitz et al., 2006).

Hirsutisme (70%) adalah suatu keadaan dimana ditemukan pola

pertumbuhan rambut pria (diatas bibir, dagu, dada, punggung) pada

seorang wanita. Sedangkan akantosis nigrikans adalah penanda

dermatologis akibat resistensi insulin dan hiperinsulinemia yang ditandai

dengan perubahan warna kulit menjadi abu-abu kecoklatan, halus,

kadang-kadang seperti veruka pada leher, selangkangan dan aksila. Oleh

sebab itu, efek-efek ekstrem dari anovulasi kronik hiperandrogenik dari

PCOS disebut sebagai Sindrom HAIR-AN (hiperandrogenisme,

resistensi insulin, dan akantosis nigrikans) (Norwitz et al., 2006).

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium seperti testosterone (T) atau

dehidroepiandrosteron sulfat (DHEAS) bermanfaat untuk menunjukkan

hiperandrogenisme ovarium. Tumor yang mensekresi androgen pada

ovarium atau kelenjar adrenal juga selalu disertai dengan kadar androgen

dalam sirkulasi yang meningkat, tetapi tidak terdapat kadar absolut yang

bersifat patognomonik untuk suatu tumor atau kadar minimum yang

dapat menyingkirkan kemungkinan adanya tumor (Norwitz et al., 2006).

6

Kadar T yang tinggi selalu berasal dari ovarium (> 1,5 ng/ml),

sedangkan kadar DHEAS yang tinggi selalu berasal dari suprarenal (> 5-

7ng/ml) [POGI, 2006].

Indikasi pemeriksaan T maupun DHEAS dapat di lihat dari ringan

beratnya pertumbuhan rambut. Bila pertumbuhan rambut yang terlihat

hanya sedikit saja (ringan), maka kemungkinan besar penyebab tingginya

androgen serum adalah akibat gangguan pada ovarium yaitu berupa

anovulasi kronik, sedangkan bila terlihat pertumbuhan rambut yang

mencolok, maka peningkatan androgen kemungkinan besar berasal dari

kelenjar supra renal yang dapat berupa hiperplasia, atau tumor (POGI,

2006).

USG dan atau laparoskopi merupakan alat utama untuk diagnosis

PCOS. Dengan USG, hampir 95 % diagnosis dapat dibuat. Pada USG

terlihat gambaran seperti roda pedati, atau folikel-folikel kecil

berdiameter 7-10 mm. Baik dengan USG, maupun dengan laparoskopi,

ke dua, atau salah satu ovarium pasti tampak membesar (POGI, 2006).

Wanita dengan PCOS menunjukkan kadar FSH, PRL (prolaktin),

dan E (estrogen) normal, sedangkan LH sedikit meningkat (rasio

LH/FSH>3). LH yang tinggi ini akan meningkatkan sintesis T di

ovarium, dan membuat stroma ovarium menebal (hipertikosis). Kadar T

yang tinggi juga mengakibatkan folikel mengalami atresia (POGI, 2006).

Menurut William et al. (2007), diagnosis PCOS ditegakkan

berdasarkan adanya kritera mayor dan kriteria minor. Diagnosis PCOS

ditegakkan berdasarkan dengan minimal dua kriteria mayor atau satu

kriteria mayor ditambah kriteria minor.

Kriteria mayor meliputi: anovulasi dan hiperandrogenisme baik

secara klinis ataupun laboratorium. Dimana keadaan ini tidak ditemukan

pada penyakit lain yang juga berhubungan dengan hiperandrogenisme

(seperti gangguan adrenal, neoplasma ovarium, dan sindrom cushing) atau

anovulasi (gangguan hipo atau hipergonadotropik, hiperprolaktinemia, dan

penyakit tiroid) (William et al., 2007).

7

Sedangkan kriteria minor meliputi: resistensi insulin, onset saat

permenarke pada hirsutisme dan obesitas, adanya peningkatan rasio LH

dan FSH, dan anovulasi intermiten yang berhubungan dengan

hiperandrogenemia (testosterone bebas, DHEAS) (William et al., 2007).

G. Patogenesis

Patogenesis SOPK kurang jelas diketahui, namun diduga bahwa

defek primer kemungkinan karena adanya resistensi insulin yang

menyebabkan hiperinsulinemia (Hardiman, 2008).

Konsentrasi insulin dan LH didalam sirkulasi secara umum akan

meningkat. Sel theca yang membungkus folikel dan memproduksi androgen

yang nantinya akan dikonversi menjadi estrogen didalam ovarium menjadi

sangat aktif dan responsif terhadap stimulasi LH. Sel theca akan lebih besar

dan akan menghasilkan androgen lebih banyak. Sel-sel theca yang hiperaktif

ini akan terhalang maturasinya sehingga akan menyebabkan sel-sel granulosa

tidak aktifdan aktifitas aromatisasinya menjadi minimal. Akibat

ketidakmatangan folikel-folikel tersebut maka terjadi pembentukan kista-kista

dengan diameter antara 2-6mm dan masa aktif folikel akan memanjang,

sehingga akan terbentuk folikel-folikel baru sebelum folikel yang lain mati.

Folikel-folikel tersebut akan berbentuk seperti kista yang dilapisi oleh sel-sel

theca yang hiperplastik yang mengalami liteinasi sebagai respon peningkatan

kadar LH (Hardiman, 2008).

8

Gambar 2.1 Patomekanisme Sindroma Ovarium Polikistik (David, 2005)

H. Patofisiologi

Sindrom ovarium polikistik (PCOS) merupakan tahap akhir dari suatu

“siklus perusak” akibat peristiwa-peristiwa endokrinologis yang dapat diawali

dari banyak titik yang berbeda. Masih belum jelas apakah patologi primernya

berada di ovarium atau pada hipotalamus, tetapi kerusakan yang mendasar

tampaknya adalah karena pengiriman sinyal yang “tidak seharusnya” ke

hipotalamus dan hipofisis. Kadar LH yang meningkat (tanda khas PCOS)

disebabkan oleh peningkatan produksi estrogen perifer (umpan balik negatif)

9

dan peningkatan sekresi inhibin. Sedangkan kadar FSH yang tertekan

diakibatkan oleh peningkatan produksi estrogen perifer (umpan balik positif)

dan peningkatan sekresi GnRH (Norwitz et a.l, 2006).

PCOS ditandai oleh “keadaan menetap” dari LH yang meningkat

secara kronik dan kadar FSH yang tertekan secara kronik, meskipun terdapat

peningkatan dan penurunan yang bersifat siklik yang terlihat dalam siklus

menstruasi normal. LH yang meningkat menstimulasi stroma ovarium dan

sel-sel teka untuk meningkatkan produksi androgen. Androgen dikonversi di

perifer melalui aromatisasi menjadi estrogen yang memperparah anovulasi

kronik. Sedangkan akibat dari FSH yang tertekan, pertumbuhan folikel baru

terus-menerus distimulasi tetapi tidak sampai titik pematangan dan ovulasi

penuh (korpus luteum dan korpus albikan jarang terdeteksi). Androgen yang

meningkat berperan terhadap pencegahan perkembangan folikel normal dan

induksi atresia premature (Norwitz et al., 2006).

Penambahan jaringan adiposa pada pasien yang mengalami obesitas

turut berperan terhadap aromatisasi ekstraglandular androgen menjadi

estrogen. Sedangkan testosterone dalam sirkulasi meningkat (menyebabkan

hirsutisme) karena kadar globulin pengikat hormone seks (sex hormone-

binding globulin, SHBG) menurun pada PCOS. Ovarium merupakan lokasi

utama overproduksi androgen pada PCOS sedangkan kelenjar adrenal hanya

memiliki peran kecil (Norwitz et al., 2006).

10

Gambar 2.2 Patofisiologi PCOS (Norwitz et al., 2006)

I. Gambaran histopatologi

Secara makroskopis, ovarium pada wanita dengan PCOS berukuran 2

hingga 5 kali lipat dari ukuran normal (Wood et al., 2008). Pada potongan

melintang permukaan ovarium tampak adanya penebalan korteks dan

ditemukan kista yang multipel yang secara tipikal dengan diameter kurang

dari 1 cm (DeCherney et al., 2007).

Sedangkan secara mikroskopis, korteks superficial ovarium

mengalami fibrotik dan hiposelluler, dan mungkin mengandung pembuluh

darah prominent (William et al., 2007). Selain itu tampak folikel atretik yang

lebih kecil, dimana dijumpai peningkatan jumlah folikel dengan luteinisasi

teka interna, dan mungkin juga ditemukan luteinisasi pada sel stroma

(DeCherney et al., 2007).

11

Gambar 2.3 Gambaran patologi polikistik ovarium sindrom (sumber :

DeCherney et al., 2007)

J. Penatalaksanaan

1. Terapi Lama

a. Reseksi baji ovarium (ovarian wedge resection)

Dapat dilakukan secara laparatomi atau laparoskopi.

Direkomendasikan oleh Kismer dan Patton terhadap pasien

SPOKyang mengalami ovilasipada pemberian clomifen sitrat namun

tidak terjadi kehamilan. keduanya menganjurkantindakan reseksi baji

dilakukan pada pasien yang tidak mengalami kehamilan setelah

7atau 8 kali siklus pengobatan dengan clomiphene citrat. Pada

reseksi baji ovariumdilakukan insisi 2-3 cm pada korteks ovarium

yang menebal.Insisi dibuat sesuai dengan alur ovarium, dan

dihindari daerah hilus ovarium untukmengjindari terjadinya

perdarahan yang banyak. Melalui lubang insisi bagian

medulladiangkat dan sebanyak mungkin korteks ovarium

dipertahankan (Azziz, 2006).

2. Terapi Baru

Penatalaksanaan pada PCOS diarahkan pada interupsi siklus

anovulatorik kronik hiperandrogenik yang terus berlanjut (Jakubowicz et

al., 2012). Penurunan berat badan dapat mengurangi sekresi androgen

pada wanita obes yang mengalami hirsutisme dengan cara menurunkan

aromatisasi estrogen perifer dan menurunkan hiperinsulinemia (Norwitz

et al., 2006).

12

a. Terapi medikamentosa

1) Kontrasepsi oral merupakan pilihan utama tata laksana PCOS

jangka panjang dengan cara menurunkan sekresi LH dan FSH

serta produksi androgen pada ovarium, meningkatkan produksi

SHBG di hati, menurunkan kadar DHEA, dan mencegah

neoplasia endometrium. Siproteron asetat (standar inggris),

spironolakton, atau eflornitin topikal dapat membantu pasien

yang mengalami hirsutisme berlebihan.

2) Progestin terlihat dapat menekan LH dan FSH hipofisis serta

androgen yang ada dalam sirkulasi, tetapi perdarahan di luar

menstruasi sering terjadi.

3) Agen yang mesensitisasi insulin (metformin) menurunkan kadar

androgen dalam sirkulasi, memperbaiki kecepatan ovulasi, dan

memperbaiki tolerasi glukosa. Meskipun demikian, obat tersebut

saat ini belum disetujui untuk digunakan dalam PCOS (Ibanez et

al., 2014).

4) Klomifen sitrat secara umum telah menjadi pengobatan lini

pertama untuk wanita yang menginginkan kehamilan.

b. Terapi bedah

1) Ovarian drilling, yaitu tindakan pembedahan dengan

menggunakan laser atau diatermi. Tindakan ini memiliki

beberapa keuntungan dibandingkan dengan terapi

medikamentosa untuk infertilitas, namun tidak terlihat memiliki

manfaat jangka panjang dalam memperbaiki kelainan metabolik.

2) Pengangkatan rambut secara mekanik (vaporasi laser,

elektrolisis (elektrocauter), krim depilatory) seringkali

merupakan lini pertama terapi hirsutisme.

K. Komplikasi

Komplikasi utama yang dikhawatirkan pada penderita PCOS adalah

terjadinya infertilitas (Bulun et al., 2011). Infertilitas merupakan suatu

13

keadaan dimana pasangan suami istri tidak mampu menghasilkan keturunan

meskipun telah melakukan hubungan seksual yang teratur (2-3 kali seminggu)

dan tidak menggunakan kontrasepsi (Norwitz et al., 2006). Dengan adanya

kelainan metabolik pada penderita PCOS yang berupa resistensi insulin akibat

obesitas dapat mengakibatkan terjadinya DM tipe 2, serta penyakit

kardiovaskular seperti penyakit jantung koroner atau aterosklerosis (POGI,

2006), infark miokard (William et al., 2007), dan infertilitas (Bulun et al.,

2011).

L. Prognosis

Dengan adanya pengobatan yang benar PCOS memiliki prognosis

baik dan memungkinkan terjadinya kehamilan. Namun adanya PCOS

meningkatkan resiko penyakit kardiovaskular dan cerebrovaskular dengan

adanya hiperandrogenisme dan peningkatan apolipoprotein. Sebanyak 4%

pasien dengan PCOS memiliki resiko resistensi insulin sehingga

meningkatkan resiko diabetes mellitus tipe 2 dengan konsekuensi komplikasi

kardiovaskular. Penderita PCOS juga beresiko mengalami hiperplasia dan

karsinoma endometrium (Hardiman et al., 2008).

14

III. KESIMPULAN

1. Polycystic Ovarian Syndrome (PCOS) adalah suatu kelainan heterogen

berupa anovulasi kronik dan hiperandrogenik yang tidak dapat dijelaskan

penyebabnya, di mana semua penyebab sekunder (neoplasma yang

mensekresi androgen) telah disingkirkan.

2. Etiologi PCOS masih belum jelas, namun diduga berhubungan dengan

resistensi insulin, obesitas dan DM tipe 2.

3. PCOS merupakan kumpulan gejala, bukan merupakan suatu penyakit.

Diagnosis PCOS ditegakkan berdasarkan dengan minimal dua kriteria mayor

yang meliputi: anovulasi kronik, hiperandrogenemia, tanda-tanda klinis dari

hiperandrogenisme, dan tidak ada penyebab lain (etiologi lain telah

disingkirkan). Atau 1 kriteria mayor ditambah kriteria minor yang meliputi:

resistensi insulin, onset saat permenarke pada hirsutisme dan obesitas, adanya

peningkatan rasio LH dan FSH, dan anovulasi intermiten yang berhubungan

dengan hiperandrogenemia (testosterone bebas, DHEAS).

4. Penanganan PCOS meliputi terapi medikamentosa dan penanganan bedah.

Terapi medikamentosa meliputi kontrasepsi oral, Progestin, Agen yang

mesensitisasi insulin (metformin) dan Klomifen sitrat. Sedangkan

penanganan bedah meliputi ovarian drilling dengan menggunakan laser atau

diatermi, serta dengan pengangkatan rambut secara mekanik [vaporasi laser,

elektrolisis (elektrocauter), krim depilatori].

5. Penderita PCOS beresiko mengalami gangguan kardiovaskular

(aterosklerotik), infertilitas dan gangguan metabolic (DM tipe 2).

15