Upload
stacia-cia
View
45
Download
1
Embed Size (px)
DESCRIPTION
BPH
1
Pembesaran Prostat Jinak pada Laki-laki Tua
Stacia Cicilia
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510
Kelompok E6/102012132
Pendahuluan
Latar Belakang
Kelenjar prostat merupakan organ pada laki-laki yang paling sering terkena
neoplasma jinak maupun ganas. Salah satu penyakit yang menyerang prostat adalah Benign
Prostat Hyperplasia. Benign Prostat Hyperplasia (BPH) adalah terjadinya pembesaran pada
organ prostat yang sifatnya jinak, bukan suatu keganasan (kanker) atau kelanjutan dari
kanker. Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan yang menjengkelkan
dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari pembesaran kelenjar prostat
atau benign prostate enlargement (BPE) yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada leher
buli-buli dan uretra atau dikenal sebagai bladder outlet obstruction (BOO). Obstruksi yang
khusus disebabkan oleh pembesaran kelenjar prostat disebut sebagai benign prostate
obstruction (BPO). Obstruksi ini lama kelamaan dapat menimbulkan perubahan struktur buli-
buli maupun ginjal sehingga menyebabkan komplikasi pada saluran kemih atas maupun
bawah.
Keluhan yang disampaikan oleh pasien BPH seringkali berupa LUTS (lower urinary
tract symptoms) yang terdiri atas gejala obstruksi (voiding symptoms) maupun iritasi (storage
symptoms) yang meliputi: frekuensi miksi meningkat, urgensi, nokturia, pancaran miksi
lemah dan sering terputus-putus (intermitensi), dan merasa tidak puas sehabis miksi, dan
tahap selanjutnya terjadi retensi urine. Hubungan antara BPH dengan LUTS sangat
kompleks. Tidak semua pasien BPH mengeluhkan gangguan miksi dan sebaliknya tidak
semua keluhan miksi disebabkan oleh BPH.1
2
Tujuan
Tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memberikan informasi kepada para
pembaca mengenai etiologi, epidemiologi, working diagnosis, differential diagnosis,
manifestasi klinik, patofisiologi, penatalaksanaan, prognosis dan edukasi mengenai Benign
Prostat Hyperplasia (BPH).
Skenario 9
Seorang laki-laki berusia 60 tahun datang ke poliklinik dengan keluhan sering BAK, terutama
pada malam hari. Setiap setelah BAK, pasien selalu merasa tidak lampias dan pancaran
urinnya lemah. Keluhan ini sudah dirasakan selama 6 bulan terakhir dan dirasa semakin
memberat.
Anamnesis
Anamnesa merupakan suatu bentuk wawancara antara dokter dan pasien dengan
memperhatikan petunjuk-petunjuk verbal dan non verbal mengenai riwayat penyakit pasien.
Anamnesis bisa dilakukan pada pasien itu sendiri yang disebut Auto Anamnesa apabila pasien
dalam kondisi sadar dan baik, bisa juga melalui keluarga terdekat atau orang yang bersama
pasien selama ia sakit apabila pasien dalam kondisi tidak sadar atau kesulitan berbicara
disebut dengan Allo Anamnesa.2
Dengan dilakukanya anamnesis maka 70% diagnosis dapat ditegakkan. Sedangkan
30%nya lagi didapatkan dari pemeriksaan fisik, lab, dan radiologi (kalau diperlukan). Hal
yang perlu ditanyakan dokter pada saat anamnesis antara lain:2
Keluhan utama yakni gangguan atau keluhan yang terpenting yang dirasakan
penderita sehingga mendorong ia untuk datang berobat dan memerlukan
pertolongan serta menjelaskan tentang lamanya keluhan tersebut. Hal ini
merupakan dasar untuk memulai evaluasi pasien.
Riwayat pribadi merupakan segala hal yang menyangkut pribadi pasien seperti
data diri pasien seperti nama, tanggal lahir, umur, alamat, suku, agama, dan
pendidikan.
Riwayat sosial mencakup keterangan mengenai pekerjaan, aktivitas, perkawinan,
lingkungan tempat tinggal, dan lain-lain.
3
Riwayat penyakit dahulu merupakan riwayat penyakit yang pernah di derita pasien
pada masa lampau yang mungkin berhubungan dengan penyakit yang dialami
sekarang.
Riwayat keluarga meliputi segala hal yang berhubungan dengan peranan herediter
dan kontak antara anggota keluarga mengenai penyakit yang dialami.
Pada riwayat penyakit sekarang dapat menanyakan mengenai:
sejak kapan muncul gangguan atau gejala-gejala tersebut
frekuensi serangan atau kualitas penyakit
sifat serangan atau kuantitas penyakit
lamanya penyakit tersebut diderita
perjalanan penyakitnya, riwayat pengobatan sebelumnya
lokasi sakitnya
akibat yang timbul
gejala-gejala yang berhubungan
Anamnesis dilakukan untuk menggali keluhan utama serta gejala BPH. Di samping
itu ditanya juga riwayat kesehatan pada umumnya seperti riwayat pembedahan, riwayat
penyakit saraf, penyakit metabolik seperti diabetes melitus, dan riwayat pemakaian obat-
obatan. Untuk menilai gejala obstruktif dan iritatif dapat diperoleh melalui kuesioner,
dimana yang umumnya dipakai saat ini adalah International Prostate Symptom Score
(IPSS). Pada kasus BPH, hal-hal yang perlu ditanyakan antara lain :2,3
Bagaimana perasaan setelah buang air kecil? Lampias atau tidak lampias? (vesika
urinaria tidak kosong setelah miksi)
Seberapa sering dalam sehari buang air kecil? Sering / tidaknya miksi
Bagaimana pancuran air kemih waktu berkemih? Terdapat arus kemih yang berhenti
saat miksi / tidak?
Bagaimana arus buang air kecil lancar, setetes-setetes? (lemah saat miksi / tidak)
Dapatkah menahan buang air kecil? Tidak dapat menahan miksi / dapat
Apakah terjadi kesulitan saat memulai buang air kecil / tidak?
Apakah sering buang air kecil pada waktu malam hari atau terbangun pada malam
hari (Nokturia)?
4
Hasil anamnesis berdasarkan dari skenario antara lain : Seorang laki-laki berusia 60
tahun datang ke poliklinik dengan keluhan sering BAK, terutama pada malam hari. Setiap
setelah BAK, pasien selalu merasa tidak lampias dan pancaran urinnya lemah. Keluhan ini
sudah dirasakan selama 6 bulan terakhir dan dirasa semakin memberat.
Pemeriksaan Fisik
Meliputi 3 bagian yaitu :
1. Pemeriksaan Umum
Menilai keadaan umum pasien: baik/buruk, yang perlu diperiksa dan dicatat adalah tanda-
tanda vital, yaitu:
Kesadaran penderita
Kompos mentis (sadar sepenuhnya), Apatis (pasien tampak segan, acuh tak acuh
terhadap lingkunganya), Delirium (penurunan kesadaran disertai kekacauan
motorik, dan siklus tidur bangun yang terganggu),Somnolen (keadaan mengantuk
yang masih dapat pulih penuh bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti,
pasien akan tertidur lagi), Sopor/stupor (keadaan mengantuk yang dalam, pasien
masih dapat dibangunkan tetapi dengan rangsangan yang kuat, rangsang nyeri,
tetapi pasien tidak terbangun sempurna dan tidak dapat memberikan jawaban
verbal yang baik).
Kesakitan yang dialami pasien, dapat dilihat dari raut wajah pasien dan keluhan
pasien ketika datang.
Tanda vital seperti : tekanan darah, nadi, pernapasan, dan suhu pasien sangat
penting.4
2. Pemeriksaan Lokal
Inspeksi
Palpasi
Perkusi
5
3. Pemeriksaan Fisik Tambahan
Rectal Toucher merupakan pemeriksaan yang wajib dilakukan. Pemeriksaan colok
dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus spingter ani, reflek bulbo
cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti benjolan pada di dalam rektum dan
tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus diperhatikan :3
Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya
kenyal)
Adakah asimetris
Adakah nodul pada prostate (merupakan tanda dari adanya
keganasan)
Apakah batas atas dapat diraba
Sulcus medianus prostate
Adakah krepitasi
Pembesaran kelenjar prostat lobus lateral pada pemeriksaan colok dubur, simetris dan
keseluruhannya elastis. Lobus median berbatasan dengan vesica urinaria dan tidak teraba
membesar pada pemeriksaan ini. Pada pemeriksaan ini, prostat harus dipalpasi dengan teliti
terhadap kemungkinan adanya nodul atau pengerasan yang mengindikasikan pada adanya
suatu karsinoma.1,4
Gambar 1. Pemeriksaan Rectal ToucherSumber : diunduh dari
http://www.docvadis.fr/michel.horgue/page/mon_guide_medical/la_prostate_et_le_cancer/toucher_rectal.html pada tanggal 26 Oktober 2014 pukul 19.00 WIB
6
Secara umum, pemeriksaan colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan
konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan
tidak didapatkan nodul. Sedangkan pada carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau
teraba nodul dan diantara lobus prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan
teraba krepitasi. Pada penderita retensi urin akut, benjolan yang teraba di atas rongga pelvis
akan terasa sangat nyeri pada waktu palpasi. Pada karsinoma prostat, prostat teraba keras atau
teraba benjolan yang konsistensinya lebih keras dari sekitarnya. Dengan colok dubur dapat
pula teraba batu prostat apabila teraba krepitasi. 1,4
Pemeriksaan Penunjang1,5,6
1. Urinalisis
Bertujuan untuk menyingkirkan adanya infeksi atau hematuria dan pengukuran kadar
serum ureum kreatinin untuk menilai fungsi ginjal dari pasien. Insufisiensi ginjal dapat
ditemukan pada 10% pasien dengan prostatism dan memerlukan pemeriksaan radiologi
saluran kemih bagian atas. Pasien dengan insufisiensi ginjal mempunyai risiko yang tinggi
mengalami komplikasi post-operasi setelah pembedahan BPH.
2. PSA
Disintesis oleh sel epitel prostat dan bersifat organ spesifik tetapi bukan kanker
spesifik. Serum PSA dapat dipakai untuk mengetahui perjalanan penyakit dari BPH. Kadar
PSA serum biasanya dapat dilakukan, namun sebagian besar ahli memasukkan pemeriksaan
PSA ke dalam pemeriksaan awal, dibandingkan dengan pemeriksaan RT saja. Apabila kadar
PSA tinggi berarti :
(a) Pertumbuhan volume prostat lebih cepat,
(b) Keluhan akibat BPH atau laju pancaran urin lebih buruk,
(c) Lebih mudah terjadinya retensi urine akut.
Pertumbuhan volume kelenjar prostat dapat diprediksikan berdasarkan kadar PSA,
makin tinggi kadar PSA makin cepat laju pertumbuhan prostat. Laju pertumbuhan volume
prostat rata-rata setiap tahun pada kadar PSA 0,2-1,3 ng/dl laju adalah 0,7 mL/tahun,
sedangkan pada kadar PSA 1,4-3,2 ng/dl sebesar 2,1 mL/tahun, dan kadar PSA 3,3-9,9 ng/dl
adalah 3,3 mL/tahun. Kadar PSA di dalam serum dapat mengalami peningkatan pada
7
keradangan, setelah manipulasi pada prostat (biopsi prostat atau TURP), pada retensi urine
akut, kateterisasi, keganasan prostat, dan usia yang makin tua. Rentang kadar PSA yang
dianggap normal berdasarkan usia adalah:
40-49 tahun :0-2,5 ng/ml
50-59 tahun :0-3,5 ng/ml
60-69 tahun :0-4,5 ng/ml
70-79 tahun :0-6,5 ng/ml
3. Uroflometri
Uroflometri adalah pencatatan tentang pancaran urine selama proses miksi secara
elektronik. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mendeteksi gejala obstruksi saluran kemih
bagian bawah yang tidak invasif. Dari uroflometri dapat diperoleh informasi mengenai
volume miksi, pancaran maksimum (Qmax), pancaran rata-rata (Qave), waktu yang
dibutuhkan untuk mencapai pancaran maksimum, dan lama pancaran.
Pemeriksaan ini sangat mudah, non invasif, dan sering dipakai untuk mengevaluasi
gejala obstruksi infravesika baik sebelum maupun setelah mendapatkan terapi. Hasil
uroflometri tidak spesifik menunjukkan penyebab terjadinya kelainan pancaran urine, sebab
pancaran urine yang lemah dapat disebabkan karena BOO atau kelemahan otot detrusor.
Demikian pula Qmax (pancaran) yang normal belum tentu tidak ada BOO. Namun demikian
sebagai patokan, pada IC-BPH 2000, terdapat korelasi antara nilai Qmax dengan derajat BOO
sebagai berikut:
Qmax < 10 ml/detik 90% BOO
Qmax 10-14 ml/detik 67% BOO
Qmax >15 ml/detik 30% BOO
Harga Qmax dapat dipakai untuk meramalkan hasil pembedahan. Pasien tua yang
mengeluh LUTS dengan Qmax normal biasanya bukan disebabkan karena BPH dan keluhan
tersebut tidak berubah setelah pembedahan. Sedangkan pasien dengan Qmax <10 mL/detik
biasanya disebabkan karena obstruksi dan akan memberikan respons yang baik. Penilaian ada
tidaknya BOO sebaiknya tidak hanya dari hasil Qmax saja, tetapi juga digabungkan dengan
pemeriksaan lain. Menurut Steele et al (2000) kombinasi pemeriksaan skor IPSS, volume
prostat, dan Qmax cukup akurat dalam menentukan adanya BOO.
Nilai Qmax dipengaruhi oleh: usia, jumlah urine yang dikemihkan, serta terdapat
variasi induvidual yang cukup besar. Oleh karena itu hasil uroflometri menjadi bermakna jika
volume urine >150 mL dan diperiksa berulangkali pada kesempatan yang berbeda.
8
Spesifisitas dan nilai prediksi positif Qmax untuk menentukan BOO harus diukur beberapa
kali. Reynard et al (1996) dan Jepsen et al (1998) menyebutkan bahwa untuk menilai ada
tidak-nya BOO sebaiknya dilakukan pengukuran pancaran urine 4 kali.
Bila pemeriksaan uroflometri hanya dapat menilai bahwa pasien mempunyai pancaran
urine yang lemah tanpa dapat menerangkan penyebabnya, pemeriksaan urodinamika
(pressure flow study) dapat membedakan pancaran urine yang lemah itu disebabkan karena
obstruksi leher buli-buli dan uretra (BOO) atau kelemahan kontraksi otot detrusor.
Pemeriksaan ini cocok untuk pasien yang hendak menjalani pembedahan. Mungkin saja
LUTS yang dikeluhkan oleh pasien bukan disebabkan oleh obstruksi prostat (BPO)
melainkan disebabkan oleh kelemahan kontraksi otot detrusor sehingga pada keadaan ini
tindakan desobstruksi tidak akan bermanfaat.
Working Diagnosis5,6
Dari pembahasan dan data yang didapatkan working diagnosis adalah Benign
Prostatic Hyperplasia (BPH). Pada banyak pasien dengan usia di atas 50 tahun, kelenjar
prostatnya mengalami pembesaran, memanjang ke arah kandung kemih dan penyumbatan
aliran urin dengan dengan menutup orifisium uretra. Hipertrofi prostat adalah pertumbuhan
dari nodula-nodula fibroadematosa majemuk dalam prostat. Sebenarnya istilah hipertrofi
kurang tepat karena yang terjadi adalah hiperplasia kelenjar periuretra yang mendesak
jaringan prostat yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah.
Gambar 2. Benign Prostatic HyperplasiaSumber: diunduh dari http://es.dreamstime.com/im%C3%A1genes-de-archivo-libres-de-regal
%C3%ADas-hiperplasia-prost%C3%A1tica-benigna-image25197869 pada tanggal 26 Oktober 2014 pada pukul 19.40 WIB
9
Hiperplasia adalah penambahan ukuran suatu jaringan yang disebabkan oleh
penambahan jumlah sel pembentuknya. Hiperplasia prostat adalah pembesanan prostat yang
jinak bervariasi berupa hiperplasia kelenjar atau hiperplasia fibromuskular. Namun orang
sering menyebutnya dengan hipertrofi prostat namun secara histologi yang dominan adalah
hyperplasia. Daerah yang sering terkena adalah lobus lateral bagian tengah dan lobus medial.
Berat prostat bisa mencapai 60-100 gram (normal 20 gram). Pernah juga dilaporkan
pembesaran prostat yang beratnya melebihi 200 gram. Secara mikroskopik gambaran yang
terlihat tergantung pada unsur yang berproliferasi. Bila kelenjar yang banyak berproliferasi
maka akan tampak penambahan jumlah kelenjar dan sering terbentuk kista-kista yang dilapisi
oleh epitel silindris atau kubis dan pada beberapa tempat membentuk papila-papila ke dalam
lumen. Membrana basalis masih utuh.
Differential Diagnosis
A. Ca Prostat7
Karsinoma prostat merupakan suatu keganasan pada prostat yang paling banyak pada
pria. Angka kejadiannya meningkat seiring dengan usia pasien. Sebagian besar etiologinya
belum diketahui pasti, riwayat keluarga, paparan radiasi dan polutan lingkungan mungkin
berperan dalam penyakit ini. Adenokarsinoma merupakan jenis karsinoma yang paling
banyak ditemukan, timbul pada epitel asinar pada daerah perifer kelenjar.
Ca prostat awalnya asimtomatik dan mungkin terdeteksi secara klinis hanya dengan
ditemukan massa yang teraba pada pemeriksaan colok dubur. Tumor biasanya tumbuh di
daerah perifer sehingga menimbulkan gejala obstruksi lebih lambat kecuali sekunder karena
BPH. Banyak pasien yang menderita penyakit ini dan belum terdiagnosis dan timbul gejala
yang berhubungan seperti: gejala konstitutusi (seperti penuranan berat badan dan anemia),
nyeri tulang, limfadenopati atau komplikasi neurologis.
B. Infeksi Saluran Kemih8
Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah infeksi akibat terbentuknya koloni kuman yang
ada di saluran kemih yang terjadi secara asending dan hematogen. ISK terbagi menjadi ISK
atas dan ISK bawah. ISK atas meliputi ginjal sedangkan ISK bawah meliputi kandung kemih.
Biasanya pada ISK atas ditemukan gejala-gejala seperti nyeri pinggang, demam menggigil,
10
mual, muntah dan hematuria. ISK bawah bergejala seperti polakisuria, nyeri suprapubik,
disuria terminal dan frekuensi kemih yang meningkat.
ISK ditandakan dengan hasil bakteriuria 105 bermakna diagnostik pada biakan urin.
Bakteriuria bermakna tanpa disertai dengan gambaran klinis disebut bakteriuria asimtomatik
(covert bacteriuria). Sedangkan bakteriuria bermakna disertai dengan gambaran klinis disebut
bakteriuria simtomatik. Pada beberapa kasus, ditemukan pasien dengan gambaran klinis tanpa
disertai dengan bakteriuria bermakna. Banyak faktor yang dapat mengakibatkan negatif palsu
terhadap pasien ISK yaitu pasien telah mendapatkan terapi antimikroba, terapi diuretik,
minum banyak, waktu pengambilan sample urin tidak tepat serta peranan bakteriofag.
C. Striktur Uretra9
Striktur uretra adalah penyempitan atau pengerutan (konstriksi) lumen uretra. Striktur
uretra kemungkinan kongenital dan didapat. Striktur uretra yang didapat dapat disebabkan
trauma (kecelakaan, instrumentasi), infeksi (terutama gonorea), dan tekanan tumor. Striktur
uretra lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita. Hal ini disebabkan perbedaan anatomis,
uretra pria lebih panjang dibandingkan dengan uretra wanita.
Penyempitan uretra dapat disebabkan oleh infeksi kronik. Inflamasi menyebabkan
hiperplasia lapisan uretra dan menyebabkan lumen menjadi sempit. Tumor juga dapat
menekan ureter. Gejala utama striktur uretra adalah berkurangnya deras urin yang keluar dan
kesulitan mulai berkemih. Gejala dan tanda yang lain berkaitan dengan ISK dan retensi urin.
Epidemiologi5,6
BPH merupakan tumor jinak paling sering pada laki-laki, dan insidensinya
berhubungan dengan bertambahnya usia. Faktor risiko BPH masih belum jelas. Beberapa
penelitian menunjukkan adanya predisposisi genetik, dan beberapa kasus dipengaruhi oleh
ras. Prevalensi BPH secara histologi pada otopsi didapatkan peningkatan dari sekitar 20%
pada pria usia 41-50 tahun, menjadi 50% pada pria usia 51-60 tahun, dan >90% pada pria
usia lebih dari 80 tahun. Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang
ditemukan sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran
yang lambat dari lahir sampai pubertas, dimana pada selang waktu tersebut terjadi
peningkatan cepat dalam ukuran yang berkelanjutan sampai usia akhir 30-an. Pertengahan
dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami perubahan hiperplasia.
11
Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik pada prostat sudah dapat
ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini terus berkembang akan
terjadi perubahan patologi anatomi. Pada pria usia 50 tahun angka kejadiannya sekitar 50%
dan pada usia 80 tahun sekitar 80%. Sekitar 50% dari angka tersebut diatas akan
menyebabkan gejala dan tanda klinik. Dari beberapa autopsi dalam ukuran prostat dan insiden
histologi hiperplasia prostat, mereka melaporkan bahwa prostat tumbuh dengan cepat selama
masa remaja sampai ukuran dewasa dalam tiga dekade dan pertumbuhan melambat sampai
laki-laki mencapai usianya yang ke 40 dan 50 tahun, mulai memasuki pertumbuhan yang
makin lama makin besar. Mereka juga menetapkan insiden hiperplasia prostat makin
meningkat dengan meningkatnya usia dimulai dari dekade ke-3 kehidupan dan menjadi
sangat besar pada waktu usia 80-90 tahun.
Di Indonesia BPH merupakan urutan kedua setelah batu saluran kemih dan
diperkirakan ditemukan pada 50% pria berusia diatas 50 tahun dengan angka harapan hidup
rata-rata di Indonesia yang sudah mencapai 65 tahun dan diperkirakan bahwa lebih kurang
5% pria Indonesia sudah berumur 60 tahun atau lebih. Kalau dihitung dari seluruh penduduk
Indonesia yang berjumlah 200 juta lebih, kira-kira 100 juta terdiri dari pria, dan yang
berumur 60 tahun atau lebih kira-kira 5 juta, sehingga diperkirakan ada 2,5 juta laki-laki
Indonesia yang menderita BPH.
Etiologi5,6
Dengan bertambahnya usia, akan terjadi perubahan keseimbangan testosteron
estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi testosteron menjadi
estrogen pada jaringan adiposa di perifer. Berdasarkan angka autopsi perubahan mikroskopik
pada prostat sudah dapat ditemukan pada usia 30-40 tahun. Bila perubahan mikroskopik ini
terus berkembang akan terjadi perubahan patologik anatomik. Karena proses pembesaran
prostat terjadi secara perlahan, efek perubahan juga terjadi secara perlahan.
Etiologi dari BPH belum dimengerti sepenuhnya, tetapi kemungkinan multifaktor dan
hormonal. Prostat tersusun oleh bagian stroma dan epitel, dan masing-masing maupun
keduanya, dapat menjadi nodul hiperplastik dan keluhan-keluhan yang berhubungan dengan
BPH. Beberapa penelitian menemukan adanya bukti bahwa BPH diatur oleh sistem endokrin.
Penelitian lanjutan menunjukkan adanya korelasi positif antara kadar testosteron dan estrogen
bebas dengan volume dari BPH. Hubungan antara pertambahan usia dengan BPH mungkin
12
akibat dari peningkatan kadar estrogen yang merangsang reseptor androgen, yang selanjutnya
meningkatkan sensitivitas kelenjar prostat terhadap testosteron bebas.
Ada beberapa teori yang menjelaskan penyebab terjadinya hipertrofi prostat ini, yaitu:
Teori dehidrotestosteron (DHT)
Bahwa aksis hipofisis testis dan reduksi testosteron menjadi dehidrotestosteron dalam
sel prostat menjadi faktor risiko terjadinya penetrasi DHT ke dalam inti sel yang dapat
menyebabkan inkripsi pada RNA sehingga menyebabkan terjadinya sintesis protein.
Proses reduksi ini difasilitasi oleh enzim 5-a-reduktase.
Teori Hormon, estrogen berperan pada inisiasi dan maintenance pada prostat manusia.
Faktor interaksi stroma dan epitel, hal ini banyak dipengaruhi oleh Growth Factor.
Basic Fibroblast Growth Factor (β-FGF) dapat menstimulasi sel stroma dan ditemukan
dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien dengan pembesaran prostat jinak. β-
FGF dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi, ejakulasi atau infeksi.
Teori kebangkitan kembali yaitu reinduksi dari kemampuan mesenkim sinus urogenital
utuk berproliferasi membentuk jaringan prostat.
Patofisiologi6
Biasanya ditemukan gejala dan tanda obstruksi dan iritasi. Gejala dan tanda obstruksi
saluran kemih berarti penderita harus menunggu pada permulaan miksi, miksi terputus,
menetes pada akhir miksi, pancaran miksi menjadi lemah dan rasa belum puas sehabis miksi.
Gejala iritasi disebabkan hipersensitivitas otot detrusor yang berarti bertambahnya frekuensi
miksi, nokturia, miksi sulit ditahan, dan disuria. Gejala obstruksi terjadi karena detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi
terputus-putus. Gejala iritasi terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna pada saat miksi
atau pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih sehingga vesika
sering berkontraksi meskipun belum penuh.
Apabila vesika menjadi dekompensasi, akan terjadi retensi urin sehingga pada akhir
miksi masih ditemukan sisa urin di dalam kandung kemih dan timbul rasa tidak tuntas pada
akhir miksi. Jika keadaan ini berlanjut, pada suatu saat akan terjadi kemacetan total sehingga
13
penderita tidak mampu lagi miksi. Produksi urin yang terus terjadi, pada suatu saat vesika
tidak mampu lagi menampung urin sehingga tekanan intravesika terus meningkat. Apabila
tekanan vesika menjadi lebih tinggi dibanding tekanan sfingter dan obstruksi akan terjadi
inkontinensia paradoks. Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko-ureter, hidroureter,
hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi. Karena
selalu terdapat sisa urin, dapat terbentuk batu endapan di dalam kandung kemih. Batu ini
dapat menambah keluhan iritasi dan menimbulkan hematuria.
Manifestasi klinis1
Hiperplasia prostat hampir mengenai semua orang tua tetapi tidak semuanya disertai
dengan gejala-gejala klinik. Gejala klinis yang menonjol dan hiperplasia prostat adalah
sumbatan saluran kencing bagian bawah. Terjadinya gejala tersebut dapat disebabkan oleh
dua komponen, pertama adanya penekanan yang bersifat menetap pada uretra (komponen
statik) dimana terjadi peningkatan volume prostat yang pada akhirnya akan menekan uretra
pars prostatika dan mengakibatkan terjadinya hambatan aliran kencing. Kedua disebabkan
oleh peningkatan tonus kelenjar prostat yang diatur oleh sistem saraf otonom (komponen
dinamik) yang akhimya dapat meninggikan tekanan dan resistensi uretra, hal tersebut
selanjutnya menyebabkan terjadinya sumbatan aliran kencing.
Tanda dan gejala hiperplasia prostat antara lain sering buang air kecil, nocturia,
pancaran urin lemah, urin yang keluar menetes-netes pada bagian akhir masa buang air kecil.
Gejala hiperplasia prostat biasanya memperlihatkan dua tipe yang saling berhubungan,
obstruksi dan iritasi.
Berikut keluhan yang dapat muncul:
Keluhan obstruktif meliputi : hesitansi, penurunan kekuatan pancaran, dan kaliber
aliran urin, sensasi inkomplit dari pengosongan kandung kemih, intermiten, kencing
mengedan dan kencing menetes. Gejala obstruksi terjadi karena otot detrusor gagal
berkontraksi dengan cukup kuat atau gagal berkontraksi cukup lama sehingga kontraksi
terputus-putus.
Keluhan iritatif meliputi urgensi, frekuensi dan nokturia. Anamnesis yang lengkap
mengenai keluhan traktus urinaria juga bertujuan untuk menyingkirkan etiologi selain
prostat, seperti infeksi saluran kemih, neurogenik bladder, striktur uretra, atau kanker
prostat.
14
Gejala iritasi biasanya lebih memberatkan pasien dibandingkan obstruksi. Gejala iritasi
timbul karena pengosongan kandung kemih yang tidak sempurna pada akhir miksi atau
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada kandung kemih, sehingga kandung kemih
sering berkontraksi meskipun belum penuh. Bila terjadi dekompensasi akan terjadi retensi
urin sehingga urin masih berada dalam kandung kemih pada akhir miksi. Retensi urin kronik
menyebabkan refluk vesiko-ureter, hidroureter, hidronefrosis dan gagal ginjal. Proses
kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi.
Gambar 3. Keluhan pada Pasien BPH
Sumber: diunduh dari http://nwaintegrativemedicine.com/2008_05_01_archive.html pada tanggal 27 Oktober 2014 pada pukul 10.00 WIB
15
WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan beratnya gangguan miksi yang
disebut WHO PSS (WHO Prostate Symptoms Score). Skor ini berdasarkan jawaban penderita
atas delapan pertanyaan mengenai miksi satu bulan terakhir lihat tabel di bawah.
Tabel 1. Klasifikasi Berat Gangguan Miksi Berdasarkan WHO PSSSumber: diunduh dari http://www.medscape.com/viewarticle/496416_4 pada tanggal 27 Oktober
2014 pukul 10.30 WIB
Penilaian :
Skor 0-7 : bergejala ringan
Skor 8-19 : bergejala sedang
Skor 20-35 : bergejala berat
16
Penatalaksanaan
Rekomendasi terapi spesifik dapat diberikan pada kelompok pasien tertentu. Pada
pasien dengan keluhan ringan (skor IPSS < 7), disarankan untuk pengamatan lebih lanjut.
Indikasi operasi absolut meliputi retensi urin refrakter, infeksi saluran kemih berulang, gross
hematuria berulang, batu buli, dan insufisiensi ginjal akibat BPH, atau adanya divertikula
kandung kemih yang cukup besar.
I. Watchful waiting (Non Medikamentosa)5,6,10
Artinya pasien tidak mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya
keadaannya tetap diawasi oleh dokter. Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH
dengan skor IPSS < 7, yaitu keluhan ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari.
Beberapa guidelines masih menawarkan watchful waiting pada pasien BPH bergejala dengan
skor sedang (IPSS 8-19). Pasien dengan keluhan sedang hingga berat (skor IPSS > 7),
pancaran urine melemah (Qmax < 12 mL/detik), dan terdapat pembesaran prostat > 30 gram
tentunya tidak banyak memberikan respon terhadap watchful waiting.
Pada watchful waiting ini, pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya diberi
penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misal :
(1) Jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam,
(2) Kurangi konsumsi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi pada buli-buli
(kopi atau cokelat),
(3) Batasi penggunaan obat-obat influenza yang mengandung fenilpropanolamin,
(4) Kurangi makanan pedas dan asin, dan
(5) jangan menahan kencing terlalu lama.
Setiap 6 bulan, pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya dan diperiksa
tentang perubahan keluhan yang dirasakan, IPSS, pemeriksaan laju pancaran urine, maupun
volume residual urine. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin
perlu dipikirkan untuk memilih terapi yang lain.
17
II. Terapi Medikamentosa5,6,10
Penghambat alfa-adrenergik
Pada prostat dan basis vesika urinaria mengandung alfa-1-adrenoreseptor, dan
prostat menunjukkan respon kontraksi pada pemberian agonis alfa adrenergik. Fungsi
kontraksi dari prostat dan leher kandung kemih dimediasi oleh reseptor subtipe alfa-
1a. Penghambat alfa-adrenergik menunjukkan adanya perbaikan keluhan objektif
maupun subjektif pada pasien BPH.
5--reduktase inhibitor
Finasteride merupakan penghambat 5--reduktase yang mencegah perubahan
testosteron menjadi dihidrotestosteron. Obat ini mempengaruhi komponen epitel dari
prostat, yang menyebabkan berkurangnya ukuran kelenjar prostat dan perbaikan
gejala. Terapi selama 6 bulan diperlukan untuk mendapatkan efek maksimal obat
terhadap ukuran prostat (berkurang 20%) dan perbaikan keluhan. Namun, perbaikan
keluhan hanya terlihat pada pasien dengan ukuran prostat > 40 cm3.
Efek samping obat antara lain penurunan libido, penurunan volume ejakulasi,
dan impotensi. Kadar serum PSA berkurang menjadi sekitar 50% pada pasien yang
diterapi dengan finasteride (bervariasi pada masing-masing individu.
Dutasteride berbeda dari finasteride karena menghambat isoenzim dari 5--
reduktase. Mirip dengan finasteride, dutasteride mengurangi kadar serum PSA dan
ukuran prostat. Efek samping utamanya antara lain disfungsi ereksi, penurunan libido,
ginekomastia, dan kelainan ejakulasi.
Tabel 2. Klasifikasi Dosis Penghambat alfa-adrenergik dan 5-alfa-reduktase inhibitorSumber: diunduh dari http://www.uspharmacist.com/content/c/28623/ pada tanggal 27 Oktober pukul
10.45 WIB
18
Fitofarmaka
Beberapa ekstrak tumbuh-tumbuhan tertentu dapat dipakai untuk memperbaiki
gejala akibat obstruksi prostat, tetapi data-data farmakologik tentang kandungan zat
aktif yang mendukung mekanisme kerja obat fitoterapi sampai saat ini belum
diketahui dengan pasti.
Kemungkinan fitoterapi bekerja sebagai: anti-estrogen, antiandrogen,
menurunkan kadar sex hormone binding globulin (SHBG), inhibisi basic fibroblast
growth factor (bFGF) dan epidermal growth factor (EGF), mengacaukan
metabolisme prostaglandin, efek antiinflamasi, menurunkan outflow resistance, dan
memperkecil volume prostat. Di antara fito-terapi yang banyak dipasarkan adalah:
Pygeum africanum, Serenoa repens, Hypoxis rooperi, Radix urtica dan masih banyak
lainnya.
III. Terapi Pembedahan5,6,10
Indikasi pembedahan yaitu pada BPH yang sudah menimbulkan komplikasi, diantaranya
sebagai berikut :
Retensi urine karena BPO
Infeksi saluran kemih berulang karena obstruksi prostat
Hematuria makroskopik
Batu buli-buli karena obstruksi prostat
Gagal ginjal yang disebabkan obstruksi prostat, dan
Divertikulum buli buli yang cukup besar karena obstruksi
Transurethral resection of the prostate (TURP)
95% prostatektomi sederhana dapat dilakukan secara endoskopi. Sebagian besar
prosedur ini menggunakan teknik anestesi spinal dan memerlukan 1-2 hari perawatan di
rumah sakit. Skor keluhan dan perbaikan laju aliran urine lebih baik dibandingkan terapi lain
yang bersifat minimal invasive. Risiko TURP meliputi ejakulasi retrograd (75%), impotensi
(5-10%), dan inkontinensia (<1%).
TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dibandingkan prosedur bedah terbuka dan
memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat. Secara umum TURP dapat memperbaiki
gejala BPH hingga 90%, meningkatkan laju pancaran urine hingga 100%.
19
Komplikasi operasi antara lain perdarahan, striktur uretra, atau kontraktur pada leher
kandung kemih, perforasi dari kapsul prostat dengan ekstravasasi, dan pada kondisi berat
terjadi sindroma TUR yang disebabkan oleh keadaan hipervolemik dan hipernatremia akibat
absorbsi cairan irigasi yang bersifat hipotonis. Manifestasi klinis sindroma TUR antara lain
nausea, muntah, hipertensi, bradikardi, confusing, dan gangguan penglihatan. Risiko
terjadinya sindroma TUR meningkat pada reseksi yang lebih dari 90 menit. Penatalaksanaan
meliputi diuresis dan pada kondisi berat diberikan larutan hipertonis.
Transurethral Incision of the Prostate (TUIP)
Pria dengan keluhan sedang sampai berat dan ukuran prostat yang kecil sering
didapatkan adanya hyperplasia komisura posterior (terangkatnya leher kandung kemih).
Pasien tersebut biasanya lebih baik dilakukan insisi prostat.
Prosedur TUIP lebih cepat dan morbiditasnya lebih rendah dibandingkan TURP.
Teknik TUIP meliputi insisi dengan pisau Collin pada posisi jam 5 dan 7. Insisi dimulai di
arah distal menuju orifisium ureter dan meluas ke arah verumontanum.
Prostatektomi Terbuka Sederhana
Ketika ukuran prostat terlalu besar untuk direseksi secara endoskopi, enukleasi
terbuka dapat dilakukan. Kelenjar prostat yang lebih dari 100 g biasanya merupakan indikasi
enukleasi terbuka. Prostatektomi terbuka juga dilakukan pada pasien dengan disertai
divertikulum atau batu buli atau jika posisi litotomi tidak mungkin dilakukan.
IV. Terapi Minimal Invasif11
Transurethral needle ablation of the prostate (TUNA)
Termasuk dalam teknik minimal invasif yang biasa digunakan pada pasien yang gagal
dengan pengobatan medikamentosa, pasien yang tidak tertarik pada pengobatan
medikamentosa, atau tidak bersedia untuk tindakan TURP. Teknik ini menggunakan kateter
uretra yang didesain khusus dengan jarum yang menghantarkan gelombang radio yang panas
sampai mencapai 100oC di ujungnya sehingga dapat menyebabkan kematian jaringan prostat.
Pasien dengan gejala sumbatan dan pembesaran prostat kurang dari 60 gram adalah
pasien yang ideal untuk tindakan TUNA ini. Kelebihan teknik TUNA dibanding dengan
TURP antara lain pasien hanya perlu diberi anestesi lokal. Selain itu angka kekambuhan dan
kematian TUNA lebih rendah dari TURP.
Transurethral electrovaporization of the prostate
20
Teknik ini menggunakan rectoskop (seperti teropong yang dimasukkan melalui anus)
standar dan loop konvensional. Arus listrik yang dihantarkan menimbulkan panas yang dapat
menguapkan jaringan sehingga menghasilkan timbulnya rongga di dalam uretra.
Termoterapi
Metode ini menggunakan gelombang mikro yang dipancarkan melalui kateter
transuretral (melalui saluran kemih bagian bawah). Namun terapi ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut untuk mengetahui tingkat keefektivitasannya.
Intraurethral stents
Alat ini dapat bertujuan untuk membuat saluran kemih tetap terbuka. Setelah 4-6
bulan alat ini biasanya akan tertutup sel epitel. Biasanya digunakan pada pasien dengan usia
harapan hidup yang minimum dan pasien yang tidak cocok untuk menjalani operasi
pembedahan maupun anestesi. Saat ini metode ini sudah jarang dipakai.
Transurethral balloon dilation of the prostate
Pada tehnik ini, dilakukan dilatasi (pelebaran) saluran kemih yang berada di prostat
dengan menggunakan balon yang dimasukkan melalui kateter. Teknik ini efektif pada pasien
dengan prostat kecil, kurang dari 40 cm3. Meskipun dapat menghasilkan perbaikan gejala
sumbatan, namun efek ini hanya sementara sehingga cara ini sekarang jarang digunakan.
Diagram 1. Indikasi PenatalaksanaanSumber: diunduh dari http://urology.jhu.edu/prostate/treatment2.php pada tanggal 27 Oktober 2014
pukul 18.30 WIB
Pencegahan12
21
Sekarang ini sudah beredar suplemen makanan yang dapat membantu mengatasi
pembesaran kelenjar prostat. Salah satunya adalah suplemen yang kandungan utamanya saw
palmetto. Berdasarkan hasil penelitian, saw palmetto menghasilkan sejenis minyak, yang
bersama-sama dengan hormon androgen dapat menghambat kerja enzim 5-alpha reduktase,
yang berperan dalam proses pengubahan hormon testosteron menjadi dehidrotestosteron
(penyebab BPH). Hasilnya, kelenjar prostat tidak bertambah besar.
Zat-zat gizi juga penting untuk menjaga kesehatan prostat antara lain :
Vitamin A, E, dan C, antioksidan yang berperan penting dalam mencegah pertumbuhan
sel kanker, karena menurut penelitian, 5-10% kasus BPH dapat berkembang menjadi
kanker prostat.
Vitamin B1, B2, dan B6, yang dibutuhkan dalam proses metabolisme karbohidrat, lemak,
dan protein, sehingga kerja ginjal dan organ tubuh lain tidak terlalu berat.
Copper (gluconate) dan Parsley Leaf, yang dapat membantu melancarkan pengeluaran
air seni dan mendukung fungsi ginjal.
L-Glysine, senyawa asam amino yang membantu sistem penghantaran rangsangan ke
susunan syaraf pusat.
Zinc, mineral ini bermanfaat untuk meningkatkan produksi dan kualitas sperma.
Berikut ini beberapa tips untuk mengurangi risiko masalah prostat, antara lain:
1. Mengurangi makanan kaya lemak hewan
2. Meningkatkan makanan kaya lycopene (dalam tomat), selenium (dalam makanan laut),
vitamin E, isoflavonoid (dalam produk kedelai)
3. Makan sedikitnya 5 porsi buah dan sayuran sehari
4. Berolahraga secara rutin
5. Pertahankan berat badan ideal
Komplikasi12
Komplikasi yang sering terjadi akibat hipertrofi prostat jinak adalah :
1. Perdarahan (Gross hematuria).
2. Pembentukan bekuan
3. Obstruksi kateter
4. Disfungsi seksual tergantung dari jenis pembedahan.
22
5. Batu buli-buli
6. Retensi urin yang dapat menyebabkan refluks vesiko ureter, hidroureter (ureter yang
melebar), hidronefrosis (ginjal yang melebar), hingga penurunan fungsi ginjal sampai
gagal ginjal.
7. Proses kerusakan ginjal dipercepat bila terjadi infeksi saat miksi.
8. Karena adanya residu urin, dapat menyebabkan terbentuknya urin.
9. Insufisiensi ginjal
10. Infeksi saluran kemih berulang
11. Inkontinensia (akibat sumbatan total urin sehingga isi vesika urinaria terlalu penuh.
12. Sistitis
13. Pielonefritis.
14. Kandung kemih calculi
15. Gagal ginjal atau uremia (jarang dalam praktek saat ini)
Pronogsis
Prognosis BPH tidak selalu sama dan tidak dapat diprediksi pada tiap individu walaupun
gejalanya cenderung meningkat. Namun, BPH yang tidak segera ditanggulangi memiliki
prognosis yang buruk karena dapat berkembang menjadi kanker prostat.
Kesimpulan
Pembesaran prostat benig atau lebih dikenal sebagai BPH sering ditemukan pada pria
yang menapak usia lanjut. Meskipun jarang mengancam jiwa, BPH memberikan keluhan
yang menjengkelkan dan mengganggu aktivitas sehari-hari. Keadaan ini akibat dari
pembesaran kelenjar prostat yang menyebabkan terjadinya obstruksi pada saluran miksi,
sehingga menyebabkan gangguan miksi. Keluhan yang khas yang juga sesuai dengan kasus
PBL antara lain frekuensi miksi yang meningkat, sering miksi pada malam hari, pancaran
urin lemah dan terasa tidak lampias sehabis miksi. Kelainan BPH ini harus ditatalaksakan
dengan baik untuk mencegah penurunan quality of life pasien.
Daftar Pustaka
23
1. C. Joseph, J. Christopher. 2008. Neoplasm of the prostate gland in Smith’s General
Urology. McGraw Hill. Chapter 22. 2004. h. 348-69
2. Santoso M. Pemeriksaan fisik. Jakarta: Yayasan Diabetes Indonesia. 2005. h. 56-7
3. Gleadle, Jonathan. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta:Erlangga; 2003.
h. 150-1
4. Santoso Mardi. Pemeriksaan fisik diagnosis. Jakarta: Bidang penerbit yayasan diabetes
Indonesia. 2004. h. 80-1
5. Pierce AG dan Neil RB. At a glance ilmu bedah. Jakarta: Erlangga. 2007. h. 166-9
6. Sabiston, David C. Hipertrofi prostat benigna. Buku Ajar Bedah bagian 2, Jakarta: EGC.
2005. h. 72-8
7. Davey P. At a glance medicine. Rahmalia A, Novianty C, alih bahasa. Safitri A, editor.
Kanker Prostat. Jakarta : Erlangga. 2005. h.342-45
8. Sukandar Enday. Buku ajar ilmu penyakit dalam Jilid II. Infeksi Saluran Kemih pada
dewasa. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009. h.
1008-13
9. Siswandi Y, Dayrit MW, Baradero M. Klien gangguan ginjal. Jakarta: EGC. 2009. h.67
10. Roehborn, Calus G, McConnell, John D. Etiology, pathophysiology, and natural history
of benign prostatic hyperplasia. In : Campbell’s Urology. 8th ed. W.B. Saunders. 2004.
h. 1297-330, 1437-44
11. Weinerth J.L : ‘The Male Genital System’ in ‘Texbook of Surgery. Edition 8. Edited
by: Sabiston DC and Liverly HK. 2004. h. 670-680
12. Lepor H dan Lowe FC. Evaluation and nonsurgical management of benign prostatic
hyperplasia. Dalam: Campbell’s urology, edisi ke 7. editor: Walsh PC, Retik AB,
Vaughan ED, dan Wein AJ. 2004. Philadelphia: WB Saunders Co. h. 1337-1378