5
PNEUMOTHORAX Epidemiologi Insiden pneumothoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak diketahui, pria lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 5:1 (Hisyam dan Budiono, 2009). Pneumothoraks spontan primer (PSP) memiliki insidensi 7.4 – 18 kasus per 100.000 penduduk setiap tahun pada laki-laki, dan 1,2 – 6 kasus per 100.000 penduduk setiap tahun pada perempuan (Noppen, 2010). Berbagai macam penyakit atau kelainan pada sistem respirasi dapat menjadi penyebab pneumothoraks spontan sekunder (PSS). Berdasarkan berbagai macam penyakit yang mendasari tersebut, puncak insidensi dari PSS adalah pasien berusia 60-65 tahun, dengan penyebab yang paling sering adalah penyakit paru obstruktif kronis (Noppen, 2010; Daley et al., 2015). Selain itu Seaton dkk dalam Hisyam dan Budiono (2009) melaporkan bahwa pasien tuberkulosis aktif mengalami komplikasi pneumothoraks sekitar 1,4% dan jika terjadi kavitas komplikasi pneumothoraks meningkat lebih dari 90%. Pneumothoraks traumatik dan pneumothoraks tension lebih sering terjadi daripada pneumothoraks spontan. Di Amerika, insidensi semakin meningkat seiring dengan modalitas pelayanan ICU menjadi yang bergantung pada ventilasi tekanan positif, pemasangan central venous catheter, dan lain-lain yang berpotensi menginduksi pneumothoraks iatrogenik. Insidensi pneumothoraks iatrogenik adalah 5-7 per 10.000 kasus, dengan mengeksklusi pasien yang melakukan operasi thoraks karena pneumothoraks

PNEUMOTHORAX - epidemiologi, manifestasi klinis, dd klinis.docx

Embed Size (px)

Citation preview

PNEUMOTHORAX

EpidemiologiInsiden pneumothoraks sulit diketahui karena episodenya banyak yang tidak diketahui, pria lebih banyak dari wanita dengan perbandingan 5:1 (Hisyam dan Budiono, 2009). Pneumothoraks spontan primer (PSP) memiliki insidensi 7.4 18 kasus per 100.000 penduduk setiap tahun pada laki-laki, dan 1,2 6 kasus per 100.000 penduduk setiap tahun pada perempuan (Noppen, 2010). Berbagai macam penyakit atau kelainan pada sistem respirasi dapat menjadi penyebab pneumothoraks spontan sekunder (PSS). Berdasarkan berbagai macam penyakit yang mendasari tersebut, puncak insidensi dari PSS adalah pasien berusia 60-65 tahun, dengan penyebab yang paling sering adalah penyakit paru obstruktif kronis (Noppen, 2010; Daley et al., 2015). Selain itu Seaton dkk dalam Hisyam dan Budiono (2009) melaporkan bahwa pasien tuberkulosis aktif mengalami komplikasi pneumothoraks sekitar 1,4% dan jika terjadi kavitas komplikasi pneumothoraks meningkat lebih dari 90%. Pneumothoraks traumatik dan pneumothoraks tension lebih sering terjadi daripada pneumothoraks spontan. Di Amerika, insidensi semakin meningkat seiring dengan modalitas pelayanan ICU menjadi yang bergantung pada ventilasi tekanan positif, pemasangan central venous catheter, dan lain-lain yang berpotensi menginduksi pneumothoraks iatrogenik. Insidensi pneumothoraks iatrogenik adalah 5-7 per 10.000 kasus, dengan mengeksklusi pasien yang melakukan operasi thoraks karena pneumothoraks kemungkinan merupakan typical outcome dari operasi tersebut (Daley et al., 2015).

Daftar Pustaka: Hisyam B, Budiono E (2009). Pneumothoraks Spontan. dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi V. Jakarta: Interna Peblishing.

Noppen M (2010). Spontaneous pneumothorax: epidemiology, pathophysiology and cause. European Respiratory Review, 19(117): 217-219.

Manifestasi KlinisBerdasarkan anamnesis, gejala-gejala yang sering muncul adalah:1. Sesak napas, yang didapatkan pada 80-100% pasien2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien4. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat sekitar 5-10% dan biasanya pada PSP.

Gejala-gejala tersebut dapat berdiri sendiri maupun kombinasi, bisa mulai dari asimptomatik atau menimbulkan gangguan ringan sampai berat (Knipe dan Gorrochategui, 2015). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan bentuk dada asimetris (pada pneumothoraks tension yang luas), fremitus melemah sampai menghilang, resonansi perkusi dapat normal atau meningkat/hipersonor, suara napas melemah sampai menghilang, dan terkadang dapat ditemukan suara napas tambahan seperti crackle atau wheezing. Pneumothoraks ukuran kecil biasanya hanya menimbulkan takikardia ringan dan gejala yang tidak khas. Pada pneumothoraks ukuran besar biasanya didapatkan suara napas yang melemah bahkan sampai menghilang pada auskultasi, fremitus raba menurun dan perkusi hipersonor. Pneumothoraks tension dicurigai apabila didapatkan adanya takikardia berat, hipotensi dan pergeseran mediastinum dan trakea ke kontralateral (Daley et al., 2015, Hisyam dan Budiono, 2009). Pada pneumothoraks spontan dan iatrogenik, tanda-tandanya sangat bergantung pada penyakit paru yang mendasari dan luas dari pneumothoraks. Takikardia merupakan tanda yang paling umum dijumpai, sedangkan takipnea dan hipoksia mungkin dapat ditemukan (Daley et al., 2015).

Daftar Pustaka: Daley BJ, Bhimji S, Bascom R, Benninghiff MG, Alam S (2015). Pneumothorax. http://emedicine.medscape.com/article/424547-overview - Diakses pada 8 Juni 2015.

Hisyam B, Budiono E (2009). Pneumothoraks Spontan. dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi V. Jakarta: Interna Peblishing.

Knipe H, Gorrochategui M (2015). Pneumothoraks. http://radiopaedia.org/articles/pneumothorax - Diakses pada 8 Juni 2015.

Diagnosis Banding KlinisPneumothoraks dapat memberikan gejala seperti infark miokard, emboli paru, dan pneumonia. Nyeri dada pada infark miokard biasanya khas seperti nyeri tertekan, terbakar, atau nyeri tajam. Nyeri tersebut merupakan nyeri retrosternal dan menjalar ke leher, pundak, lengan atas, atau rahang, dan dicetuskan oleh suatu stres, baik stres fisik maupun emosional. Takipnea dapat timbul karena ada kongesti paru. Batuk dengan dahak yang berbuih bisa terjadi (Zafari et al., 2015) Emboli paru biasanya timbul dari trombus yang berasal dari sistem vena ekstremitas bawah, tapi dapat juga berasal dari pelvis, ekstremitas atas, atau ruang jantung kanan (jarang terjadi). Setelah melalui paru, trombus tersebut dapat menyumbat bifurcatio arteri pulmonal atau cabang lobularnya yang menyebabkan hemodynamic compromise. Selain itu nyeri dada pleuritik dan hipoksia juga dapat ditemukan. Beberapa faktor risiko yang dapat menjadi penyebab emboli paru antara lain statis vena, keadaan hiperkoagulasi, imobilisasi, trauma, kehamilan, dll (Ouellette et al., 2015).Pada pneumonia, pasien juga akan merasa sesak napas. Hipotensi dapat ditemukan pada pneumonia yang parah. Batuknya biasanya mempunyai dahak yang purulen. Dari hasil pemeriksaan fisik, pada pneumonia dapat ditemukan fremitus tektil yang menurun, tetapi suara perkusi akan redup (Cunha et al., 2014)Pada pasien tinggi, muda, pria dan perokok jika setelah difoto diketahui ada pneumothoraks, umumnya diagnosis kita menjurus ke PSP. PSS kadang sulit dibedakan dengan pneumothoraks yang terlokalisasi dari suatu bleb atau bulla subpleura (Hisyam dan Budiono, 2009).

Daftar Pustaka:Cunha BA, Lopez FA, Talavera F, Sanders CV (2014). Community-Acquired Pneumonia. http://emedicine.medscape.com/article/234240-overview#aw2aab6b9 Diakses pada 9 Juni 2015.

Hisyam B, Budiono E (2009). Pneumothoraks Spontan. dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi V. Jakarta: Interna Peblishing.

Ouellette DR, Harrington A, Kamangar N (2015). Pulmonary Embolism. http://emedicine.medscape.com/article/300901-clinical - Diakses pada 8 Juni 2015

Zafari AM, Reddy SV, Jeroudi AM, Garas SM (2015). Myocardial Infarction. http://emedicine.medscape.com/article/155919-overview - Diakses pada 9 Juni 2015.