28
Jika Teater Adalah Sebuah KesadaraN Rumah Yang Kehilangan Cerita Eksistensi Tubuh Yang Bersilaturahmi TIK TOK CERPEN

Pralon #1 (Mei 2014)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pralon adalah media pertunjukan yang dikelola oleh Teater Gema IKIP PGRI Semarang. Merupakan media bulanan yang mencatat segala sesuatu mengenai seputar dunia seni pertunjukan (teater, tari, musik, performance art, dll). Redaksi menerima kiriman karya berupa catatan pertunjukan, esai pertunjukan, sastra, seni dan budaya, profil tokoh/ komunitas sekolah/ kampus/ umum, foto pertunjukan seni, gambar, anekdot, naskah drama, puisi, cerpen, cermin, dan cerbung. Dapat dikirim melalui email: [email protected] Alamat Redaksi Pralon: Gedung PKM Universitas PGRI Semarang Lantai 1 Jl. Lontar No. 1 Semarang Contact Person: 085726480846

Citation preview

Page 1: Pralon #1 (Mei 2014)

Jika Teater Adalah

Sebuah KesadaraN

Rumah Ya

ng

Kehilangan

Cerita

EksistensiTubuh YangBersilaturahmi

TIKTOK

CERPEN

Page 2: Pralon #1 (Mei 2014)

Pralon adalah media pertunjukan yang dikelola oleh Teater Gema Universitas PGRI Semarang. Merupakan media bulanan yang mencatat segala sesuatu mengenai seputar du-nia seni pertunjukan (teater, tari, musik, performance art, dll). Redaksi menerima kiriman karya berupa catatan pertunjukan, esai pertunjukan, sastra, seni dan budaya, profil tokoh/ komunitas sekolah/ kampus/ umum, foto pertunjukan seni, gambar, anekdot, naskah drama, puisi, cerpen, cermin, dan cerbung.

Dapat dikirim melalui email: [email protected] Redaksi Pralon:Gedung PKM Universitas PGRI Semarang Lantai 1Jl. Lontar No. 1 SemarangContact Person: 085726668399

2Pemimpin UmumVery Khoirul Mizan

Pemimpin RedaksiMethania Oktafirsty

Redaktur PelaksanaEva Dwi Susanti

Dewan RedaksiJoko PramonoEly AmaliyahAnindya SuryaSiti Aulia YarokaAmelia Jenri FourtinaMeta Mayang Tanti

Koordinator LiputanRudy Maulana PutraReni Nukyasari

FotograferNelam Ruparao SahiliAsih Kartika Sari

KartunAnwar FuadiMuhammad Haris Jamaludin

ReporterOki Dwi ArdiyansahAfprian BaskoroWisnu IndraSri MinartiSepti WijayaniRudiyantoRatna Sariningsih

LayoutWahyu Ponco NugrohoSintya Ningtyas AMarisa Oktaviana Mandarika

Sapa Redaksi Salam budaya, Matahari mulai melengser, sinarnya pun perlahan mulai mer-edup. Disuatu ruang yang sempit, terdapat beberapa orang yang si-buk dengan kegemaran mereka sendiri. Dalam dunia teater, ini bisa juga disebut dengan panggung pementasan. Peminat teater un-tuk generasi muda mulai menurun, hal ini karena adanya kemajuan teknologi yang mulai berkembang di masyarakat. Mereka lebih suka duduk di depan laptop berjam-jam daripada menonton panggung pe-mentasan yang hanya berapa jam saja.Karena itulah Teater Gema ingin mengupas tentang teater dan seni pertunjukan dalam sebuah media yang kami sebut dengan “Pralon Media”. Di edisi perdana ini, kami dari tim redaksi akan ada sekilas tentang pembina teater gema, fes-tival drama, keaktoran, pertunjukan, cerpen, dan puisi. Harapannya ke-tika pertunjukan teater telah sele-sai, dengan adanya media ini akan tersimpan kupasan tentang pertun-jukan tersebut. Ketika majalah ini terbit, pada edisi selanjutnya akan mengupas tentang sejarah Teater Gema dan Pertunjukan lainnya. Maka jangan segan-segan untuk sekedar meny-impan majalah ini diantara buku-buku di rak pembaca. Banyak arsip yang sudah saatnya kami bagikan, redaksi sangat mengapresiasi mi-nat pembaca yang ikut berpartisi-pasi melalui Opini, Galeri, atau ikut menyumbangkan beberapa tulisan untuk diterbitkan.

Page 3: Pralon #1 (Mei 2014)

Seorang mahasiswa berteriak-teriak, melenggak- lenggokkan tubuh, melompat, tertawa, menangis lalu diam tiba-tiba. Di tengah lapangan, dia tidak seperti biasanya. Ada gejolak luar biasa yang melanda jiwanya. Pergolakan batin yang akhirnya mempengaruhi bada-niahnya. Langkahnya, lambaiannya, bongkok tegaknya, terlebih tatapan tajam matanya seperti bernyawa. Ada ruh-ruh tersendiri yang bersemayam di dalam setiap anggota badannya, sehingga ke-tika tangan bergerak bukan hanya sekedar sendi terungkit, bukan sekedar lengan dan jari-jari bergerak. Lebih dari itu, ada sesuatu lain yang tak terlihat namun terasa muncul dari sana. Kesan auratis. Belum lagi berbagai pengucapannya. Marah yang marah, tangis yang, sedih yang menyedih digelontorkannya dengan berbagai penekanan. Intonasinya, aksentuasinya, iraman-ya, nada-nadanya sungguh menggetarkan telinga dan perasaan. Setiap kata yang diucapkannya sarat makna. Kalimat-kalimat yang dikeluarkan sungguh hidup. Sehingga menjadi sebuah dialog “yang dimiliki”.Kata-kata yang dilontarkannya mempunyai historis-nya masing-masing, adasejarahnya, mempunyai deritanya tersendiri. Itulah perpaduan batiniah dan lahiriah seorang aktor teater. Akhirnya dariperpaduan kedua hal tersebut, perasaan dan pikiran, lahir sebuah dunia imaji.Dunia awang-uwung, dunia perasaan pikiran. Demikianlah pengkarakteran dalam dunia teater, perpaduan batiniah dan lahiriah, sehingga seseorang mampu menyemat gelar pemain teater.

Jika

TeaTer adalah

Sebuah

Kesadaran

Oleh Ibrahim Bra

3

Page 4: Pralon #1 (Mei 2014)

Silakan kita menyebut ini gambaran singkat proses kreatifberteater. Ya, memang sederhana, sangat sederhana. Apakahbatiniah dan lahiriah anda siap? Kalau siap, saudara bisa bermainteater! Sepertinya mudah. Sepertinya. Tapi apa yangsebenarnya dilakukan sehingga para pemain mampu mem-visual-audiokan sebuah lakon atau naskah? Ya. Latihan!Pertanyaan apapun dalam teater yang berkenaan dengan proseskreatif terangkum dalam jawaban “latihan”. Itulah proses.Secara global ada dua identifikasi yang mungkin bisa sedikitmembantu dalam proses kreatif pegiat teater. Identifikasiperasaan/batiniah serta identifikasi tubuh/ badaniah. Meski dalamproses kreatif teater, rasanya tidak ada yang definitif, tidak adadetail penjelasan teoritis mengenai apa, bagaimana dan kenapa,terkait suatu proses teater, akan tetapi lebih pada sebuahpenemuan-pencarian pencarian-penemuan yang setiap individu berbeda.Belum tentu apa yang saya temukan dan saya anggap tepat untukmembangun konsentrasi, juga tepat bagi saudara. Orang lain hanyasebagai stimulator sifatnya, karena semua itu tidaklah cukup untuk memberi sebuah penjelasan. Maka muncul-lah metode-metode sebagaipencerahan alam imaji kita. Semisal, yang awalnya tidak mengerti apa, bagaimana dan kenapa dalam setiap proses kita melakukan konsentrasi, akhirnya mendapat sedikit penyegaran batiniah badaniah kita melalui metode-metode. Dan dalam konsentrasi-pun tidak bisa dan tidak mungkin dijabarkan secara teori-tis, yang ada hanya metode. Akhirnya kenapa Rendra ketika melakukan konsentrasi atau meditasi bukan hanya menggunakan satu cara. Ada kalanya dengan dengan berdiri tegap, tiduran sembari meluruskan tangan dan lainnya. Itu konteks batiniah. Secara lahiriah. Teknik muncul. Dalam teknik muncul seorang aktor ke atas panggung sendiri yang ada hanya beberapa metode kunci dan itupun pasti berbeda antara aktor satu dengan yang lain. Ada kalanya dialog didahulukan sebelum masuk panggung, ada yang moving cepat ketika me-masuki panggung dan seterusnya. Kenapa demikian? karena meski kita mengalami kejadiaan sama, tetapi emosi yang dilahirkan setiap aktor pasti selalu berbeda. Jadi metode hanya bersifat secara umum. Tidak bisa mendetailkan, karena emosi setiap aktor sangat berbeda. Kenapa hanya metode? kenapa bisa demikian? Secara mudah, teater itu bukanlah ilmu pasti yang bisa di definisi-kan, di teorikan. Jika teater di teorikan, waah, bukan kesenian namanya. Tapi apakah cukup dengan jawaban demikian? Selain nanti akan muncul penyalah-benaran, teater lebih merujuk pada hasil pengamatan serta cita rasa. Sedang kita tahu, pengamatan setiap individu sangat berbeda, terlebih cita rasa. Maka, para tokoh teater ketika menyusun sebuah referensi teater lebih bersifat pada metode, bukan teori. Akan tetapi apa yang dilakukan orang teater harus bisa ditilik secara ilmiah dan itu harus, karena semua dalam teater sifatnya ber-historis. Maka Bisa dipertanggung jawabkan.Sebagai pertanggung jawaban kita, kita ini sebenarnya pemain teater-kah? Penikmat-kah? Kriti-kus-kah? Pegiat-kah? Atau “apakah”? setelah tahu kita berposisi sebagai apa, maka akan tahu pula apa yang harus kita perbuat untuk, dengan dan atau demi teater. Nah, setelah kita tahu ada sepir-ing nasi, mau kita apakan? Makan? Biarkan? Dikasihkan? Atau kita buang? Terserah saudara!***

Ibrahim Bra, seorang pria bulat terlahir 25 tahun yang lalu dari desa terpencil di Mranggen. Kini bekerja sebagai kuli tinta di Harian Rakyat Jateng, setelah sebelumnya sangat aktif di Teater Gema, serta sempat menjabat sebagai ketua selama dua periode. 4

Page 5: Pralon #1 (Mei 2014)

Rumah yang

KEhilangan

Ceritadari Festival Drama Pelajar Nasional Teater Gema 2012

Oleh Afrizal Malna

Sebuah pertunjukan teater, setelah layar ditutup dan penonton pulang, akhirnya tidak perduli: apakah pertunjukan itu dimainkan seorang pelajar, pengangguran, atau aktor yang sudah tua. Penonton hanya meminta sebuah pertunjukan yang dilakukan sungguh-sungguh. Tidak perlu minta maaf, karena persiapan yang kurang, pintu yang dipaku tidak rapi, atau tetek-bengek lainnya yang tidak tertangani; tidak dapat izin dari sekolah atau dari orang tua. Teater lahir, hanya karena kamu bisa berdiri, melihat, berbicara, bergerak dan diam; bisa bercermin, membuat bayangan, imajinasi dan ilusi. Dan penonton akan membawa ilusi itu ke dunia mereka masing-masing. Menyimpannya sebagai kisah yang mungkin akan diceritakannya kembali kepada sahabat-sahabat mereka, ketika pertunjukan itu berhasil tinggal lebih lama lagi dalam ke-nangan mereka. Teater membuat seseorang mulai berkenalan dari bagaimana cara menggergaji, memaku se-bilah papan, menjahit, memerankan seseorang, menyampaikan dialog, mengundang penonton, men-cari dana untuk membiayai pertunjukan, mengatur berbagai agenda, mencatat pengeluaran, mulai membicarakan gagasan-gagasan, mengatasi konflik yang terjadi, hingga pertunjukan berakhir. Un-tuk pertama kalinya, di atas panggung, ia disorot oleh sekian banyak lampu, menjadi pusat tontonan dari sekian banyak mata penonton yang menatapnya.

5

Page 6: Pralon #1 (Mei 2014)

Untuk pertama kalinya melalui teater, seseorang mulai belajar membaca dirinya sendiri dengan cara memerankan orang lain. Bahwa aku tidak pernah ada tanpa orang lain. Memerankan orang lain yang menghasilkan 2 dinding sekaligus: dinding untuk membaca diri sendiri dan dinding untuk mengerti orang lain. Seorang aktor yang egois, yang tidak memiliki toleransi akan keberadaan orang lain, hanya akan membuat semua kostum yang dimasukinya sama seperti memasuki kepom-pong nasisme yang memalukan. Semua mata rantai itu mengikat ses-eorang dalam teater. Mata rantai yang tidak bisa dipotong-potong menjadi lebih pendek, atau ditutup-tutupi untuk menyembunyikan kekurangannya. Mata rantai itu akan muncul dengan sendirinya ketika pertunjukan ber-langsung. Seorang pemain, yang tidak pernah latihan menatap, misalnya, akan terlihat pada permainan fokus melalui matanya yang goyah. Melalui teater juga, seseorang mulai melihat lapisan dinding-dinding yang harus dilaluinya setiap hari, sejak dari dinding rumah, dind-ing sekolah atau dinding pekerjaan, hingga dinding kekuasaan yang hidup di sekitarnya (baik yang dibawa oleh agama, negara maupun pasar).

Permainan 4 Dinding Untuk Teater Pelajar Hubungan antara sekolah dan teater, sama pentingnya dengan hubungan antara ma-nusia dan pengetahuan. Sekolah mengantar manusia untuk memasuki ilmu pengetahuan. Dan teater mengantar seseorang untuk ber-temu dan menatap tubuh dan dirinya sendiri. Hubungan antara teater dan ilmu pengeta-huan, dalam hal ini, sama dengan membawa ilmu pengetahuan untuk dialami melalui tu-buh, melakukan semacam internalisasi terha-dap pengetahuan dan diri sendiri. Hubungan yang pada gilirannya, akan membuka dinding-dinding yang mengitari seseorang. Teater terbuka untuk pelajar mengal-ami fisika, kimia, biologi, matematika, bahasa maupun mata pelajaran lain untuk dialami tu-buh mereka sebagai pertunjukan.

Progres hubungan antara sekolah dan teater ter-letak justru dalam jarak hubungan langsung antara teater dan sekolah. Progres yang membuat teater menghasilkan dinding baru di tangan pelajar, kare-na mereka menggunakan tema yang paling dekat dengan dunia mereka sendiri.Sekolah, tubuh-remaja, drama dan teater, meru-pakan empat dinding yang saling bertemu dalam Festival Drama Pelajar 2012, berlangsung di IKIP PGRI Semarang (21-28 Mei 2012). Festival ini di-hadiri pelajar-pelajar dari berbagai SMA maupun SMAK di berbagai kota: Menado, Semarang, Den-pasar, Palu, Jepara, Kudus, Kendal, Banyumas, Pur-warejo, Pontianak, Gresik dan Singaraja. Dua dinding utama, antara sekolah dan tu-buh-remaja, merupakan realitas pertama yang mereka hadapi sehari-hari. Sekolah merupakan dinding di mana para pelajar tidak hanya mendapat-kan pengetahuan melalui mata pelajaran yang mer-eka terima. Di balik mata pelajaran ini ada disiplin, peraturan, berbagai bentuk hubungan dengan gu-ru-guru, dan pada gilirannya juga membawa pelajar berkenalan dengan bahasa kekuasaan dan berbagai streotip nilai yang terkandung pada masing-masing mata pelajaran. Sementara tubuh pelajar, meru-pakan dinding yang goyah: dinding dari tubuh yang bukan anak-anak lagi, tetapi juga belum bisa diang-gap dewasa. Dinding yang gelisah mencari pegangan di tengah berbagai nilai maupun tawaran yang men-gagresi mereka. Tubuh yang di sekolah cenderung ditaklukkan sebagai objek peraturan, harus meng-gunakan seragam, dan bentuk-bentuk lain terhadap pengekangan tubuh maupun inisatif. Di antara kedua dinding utama ini, pelajar juga didorong memasuki pertarungan terbuka un-tuk menjadi siapa yang lebih pintar, lebih pandai, dan bentuk-bentuk persaingan lainnya. Pertarungan yang mempersepsi mereka untuk memahami bahwa dunia di sekitar mereka merupakan pasar bebas untuk bertarung pada satu sisi. Pada sisi lainnya adalah pengekangan untuk tidak melanggar hal-hal yang dianggap utama. Setiap pelanggaran akan mendapat sanksi sekolah atau sanksi agama. Dual-isme ini cenderung membuat tubuh-remaja tidak mendapatkan ruangnya untuk tumbuh. Tubuh itu hanya boleh tumbuh dengan cara mengikuti pola-pola prilaku yang tersedia atau sudah diformalkan.

6

Page 7: Pralon #1 (Mei 2014)

Dua dinding berikutnya, drama (dind-ing ke 3) dan teater (dinding ke 4), berada di luar dinding utama. Dinding drama menawar-kan kepada pelajar kisah-kisah dan tokoh-to-koh yang bisa mereka perankan. Dalam kisah-kisah itu ada romantika, idealisme, harapan, impian, konflik, penderitaan, kesepian, kese-dihan, perjuangan atau kematian. Kisah yang membuat seseorang membuat jembatan an-tara dirinya dengan orang lain, antara dunia di sana dengan dunia di sini, antara peristiwa yang telah berlalu dengan peristiwa yang se-dang dialami. Mata rantai yang berisi berb-agai pola-pola pikiran dan emosi. Sementara teater merupakan dinding ke 4, dimana mereka mulai memainkan ilusi-ilusi dalam medan pertunjukan. Teater mem-buat bangunan, ruang, gerak, visualitas dan suara untuk mengubah dinding ke 3 menjadi ilusi. Teater sebagai dinding ke 4, merupakan lorong ventilasi tempat bermetamorfosisnya pertunjukan menjadi ilusi. Ilusi inilah yang kemudian dibawa penonton pulang, menjadi jendela baru untuk melihat kenyataan yang setiap hari dihadapinya. Ilusi yang pada gili-rannya membuat penonton kembali merindu-kan untuk menyaksikan sebuah pertunjukan teater.

Dinding Rumah yang Patah Apakah yang bisa dilihat dari ke empat dind-ing tersebut dalam Festival Drama Pelajar yang baru saja berlangsung di Semarang, yang dikoordinasi Teater Gema IKIP PGRI Semarang? Sebagian besar kelompok teater pela-jar yang mengikuti festival ini, mengangkat cerita di sekitar kehidupan rumah tangga. Cerita rumah tangga dengan latar jaman yang tidak terlalu pasti. Penggunaan setting ru-ang tamu maupun kostum untuk peran-peran streotip yang sama, membuat identitas waktu sebagai latar cerita tidak cukup untuk dike-nali. Latar belakang lebih banyak ditentukan melalui kostum (Jawa, Bali atau Manado) dan dialek. Dari sebagian besar yang mengangkat kisah rumah tangga tersebut, hampir selu-ruhnya mengisahkan hubungan rumah tangga yang patah: ayah pemabuk, ayah yang tidak

pernah pulang, anak yang hamil di luar nikah kemu-dian diusir, suami pengangguran kemudian menjadi dukun palsu, kakek-nenek yang kesepian, istri yang menjual diri karena suami sakit, hingga keluarga yang berduka karena anjingnya mati. Pada sisi lain, kehidupan keluarga dijerat lintah darat hingga ke pasar. Sebagian dari kisah rumah tangga ini datang dari kalangan miskin.Cerita yang dipentaskan itu hampir seluruhnya mengisahkan tentang dinding rumah yang patah. Kenyataan ini cukup mengherankan, kenapa kelom-pok drama pelajar justru lebih banyak mengangkat kisah rumah tangga, dan kisah itu hampir seluruh-nya menyampaikan sisi muram kehidupan rumah tangga?Dinding utama mereka, yaitu dinding sekolah dan dinding tubuh-remaja sebagai realitas pertama yang dihadapi setiap hari oleh pelajar, sama sekali tidak terwakili melalui kisah-kisah keluarga yang mereka pentaskan ini.

Tubuh-Biasa dan Tubuh-Teater Ada 2 strategi yang mungkin ditempuh dari bagaimana tubuh-remaja memerankan tubuh-de-wasa melalui kisah-kisah rumah tangga itu. Strate-gi yang banyak ditempuh adalah dengan memaksa tubuh-remaja mereka menjadi tubuh-dewasa me-lalui kostum, karakter, cosmetika dan gestur. Un-tuk tampak dewasa, mereka menggunakan berbagai cara. Salah satu di antaranya mengenakan kaca mata polos. Strategi ini ditempuh untuk memaksa mengubah tubuh-remaja mereka menjadi tubuh-teater. Tubuh yang belum pernah mengalami hidup sebagai orang dewasa, dipaksa untuk bisa memer-ankannya. Hampir rata-rata tubuh-teater itu tidak terjadi. Karena untuk menjadi tubuh-teater sep-erti yang diharapkan, memang memerlukan waktu latihan yang lebih intensif. Sementara para pelajar rata-rata memiliki waktu yang tidak banyak untuk berlatih, di tengah-tengah tugas sekolah yang leb-ih banyak menyita waktu mereka. Strategi ini kemudian lebih banyak meng-hasilkan tubuh yang tegang, kehilangan gestur, ke-sulitan untuk menyembunyikan tangan, atau berdiri yang kehilangan ruang. Moblitas bloking juga cen-derung statik dan kaku. Anggota rumah tangga seperti asing berada di ruang tamunya sendiri. Sutradara biasanya memecahkan kesulitan ini den-gan memberikan properti kepada aktor, agar ak-tor terus kelihatan sibuk dengan properti yang

7

Page 8: Pralon #1 (Mei 2014)

Strategi kedua, yaitu membiarkan aktor dengan tubuh-biasanya sebagai tubuh-remaja, bisa dikatakan tidak ada yang menempuhnya. Tubuh-biasa seakan-akan pantang masuk ke dalam panggung. Seluruh tubuh-aktor seakan-akan memang harus hadir di panggung pertun-jukan sebagai tubuh yang telah dipermak, di-manipulasi dari aslinya.Beberapa kelompok memang memiliki tubuh pemain yang cukup matang, seperti terjadi pada SMA Eben Haezar Manado yang memen-taskan Babel, SMA 1 Denpasar yang memen-taskan Aut, SMAK 2 Semarang yang memen-taskan Lintah Darat, SMA 3 Pontianak yang mementaskan Ayahku Pulang, SMA Muham-madiyah Gresik yang mementaskan King Lier, SMA 1 Palu yang mementaskan Merpati Tua, SMA Duta Karya Kudus yang mementaskan Pagi Bening, SMA Kendal yang mementaskan Petang di Taman atau SMA 15 Semarang yang mementaskan Gubrak. Kelompok teater dari SMAK 2 Sema-rang yang mementaskan Lintah Darat, memilih memainkan tubuh-komikal dimana tubuh-biasa mereka sebagai tubuh remaja, tetap terek-spresikan di balik peran mereka sebagai orang dewasa yang berjualan di pasar. Hal ini juga terjadi pada pertunjukan SMA 15 Semarang yang mementaskan Gubrak. Mereka seperti tetap berusaha berada pada garis bahwa yang mereka lakukan semacam permainan dalam “drama-dramaan”. Pilihan yang membuat en-erji mereka sebagai tubuh-remaja ikut me-nentukan mobilitas akting maupun mobilitas blocking yang mereka mainkan. Tubuh remaja mereka, yang campur aduk antara tubuh yang masih polos dengan tubuh yang membawa ikon-ikon urban dan tradisi, serta peran yang harus mereka jalani, serentak semuanya hadir seb-agai tubuh-kreol yang unik.Sementara sebagian lain di antara mereka, tenggelam dalam peran yang terlalu berat yang harus mereka mainkan. Misalkan ketika memerankan penderitaan yang terlalu dalam, atau peran kekuasaan seorang raja.

Desain dan Streotip Pemeranan Pemeranan hampir rata-rata memang menempuh jalan pendek. Yaitu memerankan tokoh-tokoh yang diturunkan dari sisi streo-

-tipnya ayah dengan karakter kaku penuh kekuasaan, ibu dengan karakter lemah yang banyak menangis dan melolong. Pembantu yang membawa serbet atau ke-moceng. Peran nenek atau kakek-kakek dengan tubuh terbungkuk-bungkuk , berjalan tertatih-tatih dan suara yang dibuat bergetar. Streotip ini berlanjut pada bagaimana ruang tamu didesain: bingkai pintu untuk keluar masuk, bing-kai jendela dan satu set ruang tamu. Pertunjukan SMK 2 Nusaputra Semarang yang mementaskan Babrah, beru-saha menempuh set yang lebih detil dengan menghad-irkan pipa air yang bisa mengeluarkan air, dan kompor dengan nyala api untuk memasak. Tetapi detil ini tidak ikut mengatasi suasana serba kaku ketika adegan ber-langsung di ruang tamu, beserta dengan kue-kue dalam toples yang hampir tidak tersentuh oleh aktor. Detil yang tidak mendapatkan sentuhan aktor, pada akhirnya sep-erti tidak mendapatkan kehadirannya, ketika aktor tidak menyentuhnya. Begitu pula pertunjukan yang menggunakan latar masyarakat miskin yang ditempuh dengan cara streotip. Kemiskinan selalu digambarkan melalui gubuk reot, kaos oblong kumuh untuk suami, dan daster dekil untuk sang istri. Streotip pemeranan pada akhirnya memang leb-ih banyak ditempuh, daripada membuat sebuah desain tersendiri dari peran yang harus mereka mainkan. Cara-cara streotip yang ditempuh dalam pemeranan, juga beresiko dimana pertunjukan cenderung berlangsung dengan latar belakang yang tidak terlalu bisa dikenali. Nenek-nenek dan kakek-kakek jaman sekarang, misal-nya, tidak selalu berjalan terbungkuk-bungkuk. Pem-bantu rumah tangga, juga tidak selalu membawa serbet atau kemoceng, mereka bahkan sama dengan majikan-nya yang masing-masing sibuk dengan ponsel mereka. Pada kasus pertunjukan SMA 1 Denpasar yang mementaskan Aut karya Putu Wijaya, justru menjadi masalah tersendiri. Karena naskah ab-surd Putu Wijaya ini, dimana seorang ibu melapor telah kehilangan anaknya, sementara anaknya itu sebenarnya masih ada dalam kandungannya (be-lum lahir), ditempatkan dengan latar Bali dengan para petugas mengenakan kostum pecalang. Latar belakang sosail-budaya yang terlalu kuat ini (Bali urban), membuat pesan-pesan absurd dari naskah Putu Wijaya ini menjadi tidak bunyi. Ia justru terlihat menjadi konyol.

8

Page 9: Pralon #1 (Mei 2014)

Pada pertunjukan SMA Eben Haezar Manado yang mementaskan Babel, naskah yang mencampur-adukkan antara tema-tema teologis dengan kekuasaan, akting mereka yang kuat cenderung bergeser menjadi ton-tonan semata. Orientasi untuk membuat ton-tonan ini, bertambah kuat ketika pertunju-kan mulai memainkan unsur api. Di antaranya membakar kain yang memang berbahaya. Pertunjukan yang tidak mengetahui bahwa memang dilarang menggunakan unsur api di atas panggung. Tubuh-remaja yang telah ditinggalkan pada sebagian besar pertunjukan mereka, pal-ing ekstrim berlangsung dalam pertunjukan SMA Kebomas Gresik. Pertunjukan berkisah dari seorang putri yang hamil di luar nikah. Ia dihina oleh keluarga kemudian diusir ke luar rumah. Di jalan, sang putri menghadapi berb-agai penderitaan. Anak di luar pernikahannya hilang. Sepanjang hari ia melolong mencari anaknya. Ia kemudian berkali-kali mengha-dapi penipuan hingga mata dan anggota tubuh yang lainnya hilang. Ia seperti harus hidup tanpa tubuh. Di tengah-tengah penderitaan yang panjang dan massif ini, tiba-tiba alur cerita berubah, bahwa semua itu mimpi. Pem-balikkan alur yang terlambat, ketika mimpi menempati durasi pertunjukan yang lebih panjang dari kenyataan yang sebenarnya.

Ilusi dan IlustratifDesain ruang dan pemeranan yang streotip, kian tebal hadir di panggung pertunjukan, ketika musik juga diperlakukan lebih sebagai musik ilustratif. Bahkan beberapa pertunju-kan, peristiwa yang berlangsung di atas pang-gung dibantu dengan unsur suara. Pertunju-kan yang dilihat kemudian beralih menjadi pertunjukan yang didengar. Ketika pertunjukan menjadi kian il-ustratif, kehilangan hubungan organiknya sendiri antara dinding-dinding terdekat yang harus mereka perankan, maka teater ilustra-tif ini kian jauh untuk bisa menghasilkan ilusi yang bisa dibawa penonton pulang. Festival Drama Pelajar seperti yang berlangsung di Semarang ini, perannya kini bertambah penting, ketika dunia pendidikan semakin goyah untuk menyiapkan murid-

Afrizal Malna, Lahir di Jakarta, 1957.Adalah penyair yang banyak memberi perha-tian pada fenomena tubuh dan bahasa dalam kesenian terutama teater, tari, sastra, dankemudian juga seni rupa. Buku-bukunya yang sudah terbit meliputi puisi, prosa, teater,sastra, dan seni rupa.

murid mereka menghadapi perubahan jaman. Pada sisi lain peran rumah yang semakin berkurang, di bawah perkembangan media komunikasi dan mata rantai konsumsi yang kian membawa anggota kelu-arga untuk memenuhi mata rantai konsumsi di luar rumah. Rumah semakin kehilangan cerita. Banyaknya kelompok teater yang mementas-kan cerita-cerita rumah tangga dalam festival ini, dan hampir seluruh cerita merupakan kisah yang muram di sekitar kehidupan keluarga, bisa dibaca sebagai cermin kehidupan rumah tangga urban yang memang kian kehilangan cerita. Keluarga-keluarga urban kian tidak mampu berbagi cerita di dalam rumah mereka sendiri. Teater dalam dunia pendidikan, menjadi leb-ih signifikan kehadirannya, ketika teater digunakan sebagai tempat pertemuan dari berbagai dinding yang dihadapi pelajar: dinding sekolah, dinding rumah dan dinding kehidupan mereka bersama dengan tubuh-remaja yang mereka hadapi sehari-hari.***

9

Page 10: Pralon #1 (Mei 2014)

Jarak Dekat Art

Melakukan Aktivitas Kesenian

di Kota Kendal

Jarak Dekat, lahir pada 20 September 2013.Berawal dari perbincangan sederhana antara Akhmad Sofyan Hadi dan Setia Naka Andrian, keduanya meru-pakan anggota teater Gema ketika masih mengenyam studi keguruan di IKIP PGRI Semarang. Akhmad Sofyan Hadi, yang akrab dipanggil Ian dan Naka, memiliki kegelisahan yang sama untuk menggairahkan kesenian di kota kelahirannya di Kendal. Mereka berdua punya tekad kuat untuk, setidaknya berbagi napas proses kreatif, dengan mengelenggarakan berbagai program yang dirancang khusus untuk anak muda di Kendal. Program tersebut di antaranya, Barang Bukti Theater Parade, Barang Bukti Bangun Kreativitas dan Barang Bukti Open Discussion. “Ya itu, niatan kami, setidaknya sedikit berbagi napas proses kreatif, karena barangkali, di Kendal telah cukup ramai untuk aktivitas keseniannya. Jika kita lihat, teater Semut sudah berkibar dan berproses kreatif sejak lama. Lalu untu bidang sastra, juga juga bergelora beberapa komunitas seperti Lestra, Lerengmedini, dan sebagainya. Maka niatan kami ya mencoba hadir untuk berbagi napas, setidaknya kami mampu memberikan warna yang baru, dan semoga kesederhaan serta kesegaran niatan kami dapat disambut hangat oleh masyarakat, khususnya anak muda kreatif di Kendal,” ungkap Akhmad Sofyan Hadi, salah seorang motor penggerak jarak Dekat. Menurutnya, Jarak Dekat sampai saat ini belum memperlihatkan jenis kelaminnya. Jarak Dekat juga bisadibilang masih bergerak di bawah tanah. “Kami belum memperlihatkan jenis kelamin kami, maksudnya,

10

Page 11: Pralon #1 (Mei 2014)

dalam hal ini peran kami ya untuk kesenian begitu saja. Kami nggak akan berpikir panjang, kami ini sebagai event organizer atau sebagai apa. Terserah orang akan melihat kami seperti apa begitu saja. Kalau kami dibilang EO ya oke, mau dibilang kreator juga tak masalah. Yang pasti kami juga

beraktivitas menyelenggarakan event dan kami juga berproses kreatif, misalnya saya juga masih berteater,dan Naka juga masih bersastra dengan beragam tulisannya,” Menurut Ian, ia sangat kaget ketika penyelenggaraan pertunjukan teater yang kali pertama digelar Jarak Dekat, yakni Barang Bukti Theater

Parade #1 dengan menyuguhkan teater Nol dari Batang. Saat itu, gedung Balai Kesenian Remaja (BKR) Kendal penuh dipadati pengunjung. “Saya sangat heran, pengunjung membludak, padahal hanya dengan publikasi yang

sederhana, hanya menyebar info di jejaring sosial semacam facebook, twitter dan blogger serta menyebar undan-gan untuk komunitas-komunitas serta sekolah-sekolah. Itu tidak ada paksaan, sepertinya pengunjung memang

menanti kehadiran pertunjukan semacam yang kami selenggarakan tersebut,” imbuhnya. “Setelah itu, kami menyelenggarakan pelatihan menulis puisi dengan tajuk Barang Bukti Bangun Kreati-vitas #1 (Pelatihan Menulis Puisi, Aku dan Puisi yang Kesepian) juga disambut hangat dengan peserta mencapai 30 orang, dan kebanyakan semua berasal dari siswa SMP dan SMA. Itu semua merupakan bukti, bahwa aktivitas kreatif di kota kecil semacam kota Kendal juga sangat digemari anak-anak muda,” ujar Ian. Jarak Dekat juga berupaya untuk menyelenggarakan pertunjukan atau kegiatan apa pun pada siang hari, karena biasanya, event kesenian yang terselenggara umumnya malam hari. Menurut Ian, jika malam hari akan menjadi kendala besar bagi pelajar, karena biasanya sangat sulit mendapat izin dari orangtuanya.Untuk saat ini, Jarak Dekat hanya digawangi oleh Akhmad Sofyan Hadi dan Setia Naka Andrian. Keduanya sepakat untuk mengelola berdua dulu, namun mereka kerap kali mendapat bantuan dari beberapa rekan, kerabat dan saudara, yang statusnya sebagai anggota Jarak Dekat, namun mereka berada di bawah binaan Ian dan Naka. Beberapa yang berproses bersama Jarak Dekat di antaranya Eli Hidayati, Taufiq Hidayat, Ahmad Fauzi dan be-berapa rekan dari teater Gema. Jarak Dekat berupaya untuk menyelenggarakan kegiatan setiap bulan, entah itu pertunjukan teater, pelati-han-pelatihan, atau diskusi yang membahas kesenian dan budaya. Agenda selanjutnya yang hendak terseleng-gara yakni Barang Bukti Bangun Kreativitas #3 (Workshop Teater, Aku, Aktor dan Panggung) yang akan terse-lenggara pada 5 Januari 2013, dengan pengisi Akhmad Sofyan Hadi, salah seorang motor penggerak Jarak Dekat yang sempat menjadi juara 2 aktor monolog nasional ketika masih berproses bersama teater Gema.“Untuk yang awal-awal, kami akan lebih memberdayakan pengisisi pelatihan dari dalam dulu, pertama kali dulu pelatihan menulis puisi diisi oleh Naka, lalu untuk yang pelatihan keaktoran ini saya sendiri yang mengisi. Lalu selanjutnya harapan kami kelak akan ada pelatihan yang diisi oleh seniman dari Kendal terlebih dahulu, baru diisi oleh seniman yang dari luar kota atau seniman-seniman yang lebih berkompeten. Karena bagi kami, hal semacam ini akan membentuk jaringan yang kuat dari dalam, karena potensi-potensi itu sebenarnya ada, barangkali semua aktivitas ini kami lakukan juga dengan niatan berbagi, kami tidak mencari keuntungan dari kegiatan ini. Bayangkan saja, kami menyelenggarakan pelatihan hanya dengan biaya 10 ribu rupiah, itu mereka nanti akan mendapatkan sertifikat, dan juga digunakan untuk menyewa tempat serta untuk kebutuhan konsumsi dan lain-lain. Yah, intinya, ini aktivitas berbagi. Setelah pelatihan biasanya juga kami selenggarakan panggung apresisi, seperti pelatiha menulis puisi kemarin, setelah belajar menulis puisi, maka selanjutnya kami giring untuk menuju panggung apresiasi dan diskusi karya. Sama halnya dengan workshop keaktoran yang akan terse-lenggara ini, selanjutnya pun akan kami selenggarakan panggung apresiasi, dengan tanpa dipungut biaya lagi,” ungkap Ian. (Red.)

Jarak Dekat ArtSekretariat:Perumahan Griya Kangkung Indah 1 Blok A No. 3, Kec. Kangkung,Kab. Kendal, Jawa Tengah, IndonesiaContact Person: 085290066710/ 085740217458 | PIN 31441FABfacebook: https://www.facebook.com/jarakdekat.art twitter: @Jarak_Dekat blog: http://www.panggungjarakdekat.blogspot.com11

Page 12: Pralon #1 (Mei 2014)

Mimpi-mimpi Blado Ramaikan Kendal

Teater Nol SMP N 2 Blado Kab. Batang

Bayangkan jika seandainya seorang anak dituntut ibunya untuk menjadi sesuatu yang tidak diinginkan, hingga dalam mimpi pun anak dituntut oleh ibunya untuk menjadi sesuatu tersebut. Keegoisan orang tua terhadap seorang anaknya yang dipaksa untuk memenuhi keinginannya. Rik selalu dipaksa mamanya untuk selalu tidur, meskipun matanya telah untuk dipejamkan. Dan ketika bangun dari tidur, mamanya selalu menanyakan tentang mimpinya. Namun Rik setiap kali tidur selalu bermimpi tentang bintang. Mamanya pun marah ketika mendengar Rik bermimpi jadi bintang-bintang, karena mamanya berharap agar Rik bermimpi menjadi astronot. Menurut mamanya, astronot adalah yang akan menyelamatkan jutaan jiwa dimuka bumi ini, namun Rik selalu menolak.Suguhan cerita Mimpi-mimpi karya TB Kamaludin dengan sutradara Muhamad Thoyibin (Otoy Gema), yang disuguhkan oleh teater Nol SMP N 2 Blado Kab. Batang. Terselenggara atas kerja sama dengan Jarak Dekat Art yang bergerak menjalankan aktivitas seni dan budaya di kota kecil Kendal. Suguhan pertunjukan teater, pelatihan diskusi seni budaya dan beragam aktivitas seni lainnya. Walau bisa dibilang baru saja berdiri, namun Jarak Dekat telah menunjukkan eksisten-sinya dengan upaya menyelenggarakan kegiatan setiap bulan. Bahkan untuk bulan pertama ini saja, ada dua kegiatan yang diagendakan, yakni pertunjukan teater dan pelatihan menulis.

12

Page 13: Pralon #1 (Mei 2014)

Menurutnya, dengan terselenggaranya pentas teater, yang nantinya akan terselenggara setiap bulan, Ken-dal akan semakin menggeliat teaternya. Jarak Dekat juga sangat memimpikan dan menaruh harapan besar kepada teater pelajar dan mahasiswa yang ada di kota Kendal, karena melalui mereka aktivitas berkesenian akan berlanjut dan tumbuh subur. Mengingat mereka dinilai sebagai barang bukti nyata yang dapat berkembang menebarkan beragam aktivitas positif, salah satunya melalui kegiatan kesenian. Pada kesempatan tersebut, penampilkan Teater Nol melaksanakan pentas dua kali dalam satu hari, yakni Pentas I (Pagi), Pukul 10.00 WIB Pentas II (Siang), Pukul 13.00 WIB. Pementasan dilakukan dua kali mengingat gedung pertunjukan hanya dapat menampung kapasitas 100 penonton saja, itu pun sangat panas, karena keterba-tasan gedung pertunjukan yang belum memadahi. “Saya sangat antusias ketika mendapat penawaran dari Jarak Dekat Art, karena ini merupakan pengalaman pertama bagi teater Nol untuk melakukan pementasan teater di luar kota. Mengingat teater kami adalah teater ekstrakurikuler SMP, jadi ada kebanggaan tersendiri bagi saya dan sekolah, yang dapat menggiring anak didik un-tuk melakukan pementasan di luar kota,” ungkap Otoy, pengajar ekstra teater SMP N 2 Blado, yang saat itu berlaku pula sebagai sutradara. Teater Nol, merupakan kelompok teater yang lahir di lingkungan pendidikan, berada di desa kambangan, kecamatan Blado, kabupaten Batang. Teater “Nol” lahir pada tanggal 11-11-2011, tumbuh dan berkembang di lingkungan yang kental dengan budaya Jawa abangan atau pedesaan. Namun kami berupaya keras membentuk ke-senian seutuhnya, walau berasal dari desa. Nama kami, teater Nol muncul karena tanpa adanya nol tak ada angka berikutnya misalnya 1, 2, 3 dan seterusnya. Nol mengibaratakan awal dari yang terawal, kalau pada agama islam awal untuk mengawali tindakan adalah bacaan basmalah. “Keluarga teater Nol dalam sambung nafas proses kreatif lebih banyak bertumpu pada pola bebrayan/ kebersamaan. Pada awalnya teater Nol hanya memiliki anggota 10 siswa, seiring dengan waktu kini berkembang menjadi 25 siswa, yang terdiri siswa kelas VII, VIII, IX,” ungkap Otoy. Menurutnya, pertunjukan yang dipentaskan, yakni Mimpi-mimpi karya TB Kamaludin merupakan sebuat cerita yang dirasa sangat perlu disebarkan, karena dalam cerita itu mengajarkan banyak pelajaran yang barangkali jarang ditemukan dalam mata pelajaran di sekolah. Mengajak siswa dan orang tua menjadi paham bahwa seorang anak memang patut untuk dimerdekakan dalam hal menentukan mimpi, cita-cita dan masa depannya yang sesuai dengan yang diinginkan. “Selain pementasan teater yang terselenggara ini, Jarak Dekat Art dalam mengawali aktivitas kreatif juga akan menyelenggarakan pelatihan menulis yang terbuka untuk umum, dengan nama Barang Bukti Bangun Kreati-vitas #1. Suguhan Pelatihan Menulis Puisi, “Aku dan Puisi yang Kesepian” yang akan dilaksanakan pada Minggu 24 November 2013, pukul 12.30 -14.30 di Gedung BKR (Balai Kesenian Remaja)/ Belakang GOR Bahurekso Ken-dal. Segala informasi mengenai aktivitas Jarak Dekat Art dapat dilihat di blog: http://www.panggungjarakdekat.blogspot.com Facebook: Jarak Dekat, Twitter: @Jarak_Dekat,” pungkas Ahmad Sofyan Hadi. (Red.)

13

Page 14: Pralon #1 (Mei 2014)

Produksi pementasan Teater Nol:1. Padang Bulan (2011) diacara class meeting ulangan akhir semester gasal.2. Guru Semar (2012) diacara perpisahan kelas IX.3. Guru Semar di kecamatan Blado dalam acara hardiknas, 2 mei 2012.4. Pohon Cita-cita (2012) diacara pramuka penggalang.5. Dramatisasi Puisi dengan judul BukanCoretan (2012) diacara pramuka penggalang.6. Mimpi-mimpi (2013) dipentaskan acara perpisahan kelas IX SMP N 2 Blado.7. Karya saduran “Padang Bulan” (2013) di desa kembang langit dalam acara peringatan HUT kemerdekaan Indonesia.

14

Page 15: Pralon #1 (Mei 2014)

Aktor:

Eksistensi Tubuh yang BersilaturahmiOleh Setia Naka Andrian

Aktor adalah makhluk panggung yang pal-ing berbudi. Tindakan serta segala hal menge-nai tingkah lakunya menjurus pada harkat dan martabat sebagai hamba yang luhur. Mengalir atas kemuliaan daya saing yang tak tertand-ingi oleh mahluk (aktor) ciptaan panggung lain. Sanggup menemukan pelbagai masalah dan memilah solusi atas pengungkapan yang paling bijaksana. Namun ada kalanya aktor belum sang-gup menyelesaikan kecemburuan di antara sesamanya. Seringkali egonya meninggalkan prasangka buruk bagi estetika aktor lain-nya. Tingkah laku dalam pemenuhan kes-ehariannya pun menjadi ujung yang paling agung untuk memilih dan memilah pelbagai perselisihan dalam silaturahmi di panggung pertunjukan.

Idealisme Teater sebagai Jurus Terse-mbunyi Budi murni seseorang tak mungkin men-genal yang di luar pengalaman, karena pen-getahuan budi itu selalu mulai dengan pen-galaman. Metafisika murni tidak mungkin terjadi (Kant dalam Poedjawijatna, 1978).

Hal tersebut memberi sepetak penerangan bahwa teater akan selalu dihadapkan pelbagai tin-dakan menyeluruh. Sebagai dirinya, dari, oleh dan untuk dirinya sendiri pula. Teater mengakui ke-beradaan aktornya, aktor ‘ada’ atas dirinya. Lahir se-bagai pribadinya, dan akan meneruskan hidupnya sendiri yang pendek atau berkepanjangan. Maka ia akan merasa sama sekali tidak mengikat maupun tidak pula ingin diikat oleh sesamanya. Dalam arti benar-benar berdiri sebagai individu yang mampu menaruh persoalan dan memecahkannya-mena-nam penyakit dalam dirinya sekaligus akan mengo-batinya. Segala bentuk pengorbanan pun akan senan-tiasa menjadi persoalan yang pelik bagi sesamanya. Misal hal tersebut kurang disepakati oleh orang lain yang paling terdekat secara biologis maupun psikis, antara ia dengan orangtua, saudara, hingga kepada pasangan (baca: pacar, suami/ istri). Dikarenakan ia ingin menjadi individu yang benar-benar tunggal untuk penemuan dan perenungan tertentu dalam masa depan harkat dan martabatnya sebagai teater seutuhnya. Pertanggungjawabannya dilakukan ke-tika ia harus menentukan pilihan yang tersembunyi atas dasar perilaku yang sering dianggap menyim-pang dan kurang disepakati oleh sesamanya. Na-mun hal itu mutlak sebagai jalan yang wajib ditem-puh seorang aktor.

15

Page 16: Pralon #1 (Mei 2014)

Konservasi Aktor dalam Jagad Teater Kita sering menguping bahwa individu tak dapat terbelah lagi. Ia hadir atas kehendak diri sendiri sebagai manusia perseorangan. Lahir untuk menemukan kontrol sebagai “aku” (aktor) untuk bersaing dengan sesamanya. Pun aktor yang dilepas oleh teater dan telah dibekali nasibnya masing-masing. Entah akan diam saja atau berusaha untuk mengubah agar lebih baik. Individu bukan berarti manusia sebagai suatu keseluruhan yang tak dapat dibagi, melaink-an sebagai kesatuan yang terbatas. Yakni sebagai manusia perseorangan, sebagai diri sendiri untuk melakukan kesehariannya masing-masing agar menemukan kesejatian dirinya masing-masing pula (Lysen, 1967). Dapat kita lihat aktor di sekitar aktor lainnya. Mereka berdiri sendiri dalam pelbagai hal yang sama, namun sesungguhnya berbeda. Aktor dibilang sejenis, tetapi tidak sama, karena para aktor berupaya untuk membeda-bedakan diri. Masing-masing ingin menunjukkan capaian estetika kepada aktor lain agar mendapat pengakuan sebagai hadiah atas kerja cerdas yang dilakukannya, sehingga aktor lain akan merasa bahwa ia mampu memperoleh yang diinginkan. Maka otomatis aktor yang lain itu akan mempelajari pemenuhan capaian tersebut. Para aktor pada puncaknya masing-masing dapat dilihat dari rumahnya (kelompok/ komunitas) jika mereka telah mencapai tingkat peradaban yang lebih tinggi dibandingkan rumah lain. Sedangkan aktor yang “primitif” adalah aktor yang masih sedikit diferensiasinya, maka para aktor/ rumah yang lebih maju tersebut menunjukkan corak dari sifat-sifat dan tabiat yang semakin berkasta dalam jagad estetika. Mereka akan lebih tangguh, dapat melakukan beraneka rupa pekerjaan dapur estetika yang dijalankan dalam perkembangan arus jagad keaktoran yang lebih modern.Lalu bagaimanakah diferensiasi itu terjadi? Aktor yang “primitif” tidak dapat berkembang dalam ber-dikari semata. Ia tidak mungkin mampu mencapai peradaban estetika yang lebih baik jika hanya men-gandalkan pembawaan alam sahaja yang telah dimiliki sejak lahir, karena tanpa pengaruh faktor-faktor tertentu dari luar tubuh aktor, perkembangan tidak akan begitu saja terguyur dari langit. Maka, mari bersilaturahmi.***

Setia Naka Andrian. Sempat berproses bersama di Teater Gema, Komunitas Sastra Lembah Kelelawar Semarang, Rumah Diksi Kendal, Jarak Dekat Kendal, Majalah Gradasi Semarang, Koran Harian Barometer Semarang, Ma-jalah Oasis SMA N 2 Kendal, dan Majalah Ekspresi SMA N 1 Semarang.Ia dapat disapa melalui surel: [email protected]

16

Page 17: Pralon #1 (Mei 2014)

TEATER "SS" Menampung Bakat dan Minat Mahasiswa

Berdiri sekitar tahun 1970-an. Pada awalnya merupakan organisasi seni yang didirikan oleh maha-

siswa fakultas Keguruan Sastra dan Seni IKIP Semarang (kini Universitas Negeri Semarang/ UNNES).

Resmi menjadi Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang ditujukan untuk menampung bakat dan minat

mahasiswa dalam bidang seni pada tahun 1980. Dengan semboyan, “dalam lingkaran aku ada dan tiada”

teater “SS” siap menorehkan warna tersendiri dalam dunia perteateran.

“UKM kami ini diawali dari kegelisahan sekelompok mahasiswa fakultas keguruan seni dan sastra

(FKSS) IKIP Semarang. Mereka berkumpul lalu ingin menciptakan suatu ruang kreativitas bernama

teater mereka merasa perlu memanggil “Suhu” (guru) teater Gembong Lukito untuk memberikan lati-

han,” ungkap Syarifuddin, wakil ketua saat ini.

Kelompok tersebut didirikan Fahrudin (kini rektor Universitas Muhammadiyah Purworejo), Rum

Akip Ayoman (guru, penyair), dan kawan-kawan pun menjadikan UKM ini kian berkembang hingga

sekarang. “Sejarah kemudian mengubah kelompok kecil ini menjadi teater universitas. Mereka memilih

nama Teater “SS”, yang diambil begitu saja dari dari kependekan FKSS sampai sekarang. Teater “SS”,”

tutur Syarifuddin.

SS hingga saat ini merupakan salah satu teater kampus tertua yang masih eksis. Hal itu ditunjang

dengan aktifnya teater “SS” berkegiatan. Diantaranya latihan perdana, latihan alam, buka puisi, pentas

bulan purnama, pentas keliling, perform art, dan masih banyak lagi kegiatan lainnya. (Red.)

17

Page 18: Pralon #1 (Mei 2014)

TEMBOK DAN ARENASOSIAL Spirit ofMuralism Nasionalism

Tanpa pernah kita sadari, sebenarnya tembok yang kita susun menjadi area pembatas antara manusia di dalam dengan manusia di luar. Tembok adalah pembatas antara diri kita dengan orang lain. Tembok untuk menunjukkan identitas siapa diri kita sebagai pemilik dengan mereka yang hanya berposisi sebagai orang luar, orang yang hanya lewat, atau orang yang iseng bertamu di lokasi pertembokan. Tembok yang tinggi dan menjulang menjadi simbol status kaku bagi pemiliknya. Karena alasan phobia yang tidak jelas mereka rela mengurung diri di dalam perangkap tembok yang aneh dan kekar. Namun, tembok yang ukurannya sewajarnya, tentu menjadikan pemiliknya mempunyai rasa ketetanggaan yang sepantasnya. Dari sekian bentuk dan ukuran tembok pasti tak terbersit upaya sang pemilik tembok untuk melukisi, menggambari, atau memberikan warna ungkap sendiri bagi tembok-tembok itu. Alhasil, tembok dibiarkan mangkrak dan berdiam dalam keterasingan, sampai berhari-hari, lalu berganti tahun dan mungkin abad. Seolah menangkap kebisuan sang tembok, beberapa anak yang kreatif, cerdas, dan kritis di beberapa kota besar Indonesia, seperti Jakarta, Medan, Bandung, Yogyakarta, Semarang, dan Surabaya terlibat pada kerja seni yang mengarah pada aspek sosial-politik. Tak hanya itu saja, anak-anak yang tumbuh di kota kecil seperti Kendal pun harus mengangkat kuas dan pena mereka ketika melihat tembok yang bisu di satu sisi dengan isyu-isyu politis yang menghantam ruang sadar mereka. Tembok-tembok menjadi medium ampuh untuk menyuarakan jeritan hati mereka ketika setiap hari televisi dan surat kabar menawarkan berita-berita korupsi. Berita korupsi menjadi konsumsi sehari-hari. Ko-rupsi Al Qur’an yang melibatkan bapak-anak Zulkarnaen Djabar dan Dendy Prasetya, berita perpajakan yang menampilkan selebritis korupsi seperti Gayus Tambunan, Firman, dan Salman, kasus Hambalang yang me-nyeret pembesar partai Demokrat seperti Andi Malaranggeng dan Anas Urbaningrum, kasus Wisma Atlit Jak-abaring yang memunculkan sosok yang tak disangka seperti Muhammad Nazaruddin Syamsudin dan Angelina Sondakh, dan paling mutakhir adalah kasus impor sapi yang melibatkan petinggi PKS seperti Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fathanah. Ribuan hari adalah berita korupsi yang menjejal otak-otak generasi muda tanpa bisa mengelak, meng-hindar, dan berlari. Lalu, apakah anak-anak muda itu hanya berdiam dan harus mengkonsumsi berita-berita yang merisaukan pikir dan hati mereka? Tentu tidak. Pada bulan Desember 2013, tepatnya tanggal 2, anak-anak Kendal Street Art yang beranggotakan Anjar, Dante, Wafi, Abi, Taufik, Aan, dan masih banyak lagi melancarkan aksi nyata dalam bentuk gambar super besar dan super warna di tempat yang strategis dan tak terduga, yaitu tembok sekolah!Anak-anak KSA ini sengaja memilih tembok sekolah karena pencitraan sekolah tersebut yang seolah menara gading yang tak peduli dengan isu-isu politik besar. Seakan tembok menjulang sekolah adalah identitas sekolah yang bersangkutan untuk menarik diri dari pergaulan dan carut-marut dunia politik yang penuh birahi korupsi. Pemilihan tembok sekolah terfavorit di Kabupaten Kendal itu sengaja diwujudkan sebagai ajang pembuktian tentang nalar dan naluri anak muda yang dituntut kesadarannya akan kehidupan berbangsa. Jika mereka peduli politik maka akan muncul partisipasinya dalam wujud melihat dan menontonnya, berguman, berkomentar, dan menyuarakan hal yang sama dalam rentetan wadah yang bisa jadi tidak sama. Sangat kebetulan jika tembok sasaran tembak tersebut terletak di jalur lalu-lintas anak muda. Artinya dari sudut jalan mana saja, banyak anak muda yang bersekolah melewati jalur tembok itu. Sebut saja SMA 1 Kendal, SMK 1 Kendal, SMK 2 Kendal, SMA PGRI Kendal, SMP PGRI Kendal, dan MAN Kendal menyediakan

Oleh Muslichin HN

18

Page 19: Pralon #1 (Mei 2014)

18

19donesia lainnya. Upaya untuk menyamai kota besar dalam mengekspresikan kegetiran hati dan kegusaran politik benar-benar diwujudkan dalam pesan-pesan tembok yang lugas dan strategis.

Tak Kenal LelahSetelah aksi KSA ditembok sekolah, beberapa minggu kemudian, aksi KSA lebih hebat lagi. Tembok-tembok di beberapa ruas stasiun Kaliwungu menjadi sasaran mural anak-anak muda yang gelisah secara sosial ini. Mereka menemukan saluran ekspresi yang selama ini dicari. Mereka menemukan tembok milik etnis China yang mem-bentang tinggi tanpa sebuah warna. Mengapa harus memilih tembok ini? Tentu saja ada pertimbangan-pertimbangan yang menonjol dan unik. Pertama, tembok ini milik orang China yang secara politis mereka adalah kelompok status quo yang men-cintai kemapanan. Tembok yang tinggi milik mereka menjadi bukti bahwa mereka belum memiliki sepenuhnya memenuhi prinsip asimilasi yang telah diberi ruang keutuhan yang maksimal. Meski pun banyak etnis China yang sudah membaur dengan etnis lain terutama Jawa, namun pada kasus-kasus tertentu di tingkat akar rum-put, keberadaan mereka tidak sepenuhnya mampu beradaptasi dengan pergaulan Jawa yang berbeda kulturnya. Tembok yang tinggi seakan menjadi jurang pemisah antara dua kultur yang berbeda. Kedua, posisi tembok yang terletak di tepi stasiun kereta api Kaliwungu Kabupaten Kendal. Oleh karena ban-yaknya kereta api yang pasti melewati stasiun ini, sudah pasti nilai strategisnya menjadi sangat menonjol. Tujuan mural sendiri adalah membuka publik akan sebuah isyu sosial-politik. Gambar tidak lepas dari kata-kata. Jika gambar, warna, dan kata-kata bagus, namun karena posisi sebuah tembok kurang strategis maka menjadi mubazir apa yang sudah tergambar dan tertuliskan itu. Tanpa masyarakat yang menonton dan membacanya, apalah sebuah mural? Mungkin berdasarkan asumsi ini, maka anak muda KSA ini perlu merekam dan mendokumentasikan se-buah isyu dalam wadah tembok-tembok di stasiun kereta api. Jika setiap hari ada 20 kereta api dengan gerbongnya yang berjejer 10 gerbong/kereta api, maka sudah beberapa manusia yang melihat pesan-pesan tembok. Ketiga, agaknya anak muda KSA ingin mengulang cerita kesuksesan seniman realisme sosialis angkatan ’45, yaitu

Manusia yang bermartabat, tokoh terhormat, dan pejabat tinggi menjadi makhluk-makhluk hipokrit yang penuh dengan selubung kepalsuan yang sesat. Dasi, pakaian resmi dan rapi, celana kantoran, dan mobil menjadi tujuan manusia hidup yang tergambarkan melalui ekspresi mural di tembok sekolah itu. Ketakutan para tikus yang terlukis jelas akibat perbuatan mereka yang terdeteksi oleh publik menjadi tabuhan perlawanan yang dita-warkan anak-anak muda KSA ini untuk selalu melawan kebinalan korupsi. Alhasil, banyak anak muda dari tingkat SD, SLTP, dan SLTA mesti menengokkan kepala mereka ketika melewati tembok itu. Mereka terkesan dengan paduan warna, gambar, dan tentu saja membaca pesan-pesan yang ditembakkan oleh anak-anak KSA pimpinan Anja R. Ini. Bahkan tukang becak pun mempunyai hak yang sama untuk merespon pesan-pesan dari sang tembok. Beberapa tukang becak berhenti untuk berpose sebagai bukti bahwa mereka adalah warga negara yang baik dan peduli pada nasib negeri. Mereka juga sebagai warga negara yang sama-sama memiliki impian tentang Indonesia! Aksi-aksi KSA membulatkan tentang opini publik ini memang luar biasa. Anak muda kota kecil Kendal ini ternyata tidak kalah dengan anak muda kota-kota besar In-

sebagian besarnya siswa-siswinya untuk melewati jalan itu untuk berhenti sebentar, menatap, merenung, dan memperoleh inspirasi. Penataan warna yang menarik dan pilihan kata-kata yang akrab dengan kultur masyarakat pesisir yang se-dikit kasar namun lugas dan bertanggung jawab menjadi corak kemenarikan tersendiri. Kata-kata sederhana sep-erti “Lawan Korupsi Setiap Hari” berbalut dengan diksi setempat “Tak Idak Moedar Koe!” sangat berhasil dalam menciptakan efek ketumpangtindihan yang komposisif. Banyolan tokoh Doraemon yang berakrab dengan wujud tikus perlente menjadi simbol dari ketidaknyataan sebuah realitas. Kenyataan penuh dengan kepalsuan, mungkin pesan yang ingin digedor anak muda KSA melalui aksi mural itu.

Page 20: Pralon #1 (Mei 2014)

20

Buyung Saleh ketika membuat grafiti tentang Kemerdekaan Indonesia pada malam hari menjelang 17 Agustus 1945. Artinya, jika Buyung Saleh membuat grafitinya pada gerbong-gerbong kereta apinya, maka Anjar CS mem-buat grafitinya pada tembok-tembok yang pasif. Keduanya sama-sama berintikan perkeretaapian namun subyek dan obyeknya yang beralih tempat. Keempat, jika semula karya-karya KSA berada di pusat Kota Kendal, maka sudah saatnya karya-karya yang lain-nya harus menyebar ke segala penjuru kota kecamatan yang layak dan potensial. Anak-anak KSA berpikir bahwa ruang publik di mana saja tak boleh dibiarkan berdiam tanpa pesan. Sangat kebetulan sekali jika stasiun Kali-wungu berdampingan dengan pemukiman warga. Antusiasme warga yang notabene ibu-ibu, anak-anak, petani, dan pedagang kaki lima sangat terlihat karena mendapat hiburan melihat aktivitas anak-anak KSA. Warga yang berasal dari dukuh-dukuh sekitar seperti Kunduran, Pandean, Sawah Jati, dan Sabetan beramai-ramai menonton gambar-gambar yang tersaji. Seakan tembok-tembok yang tertulis “Lawan Korupsi Setiap Hari” dengan back-ground warna biru menjadi obyek wisata baru. Tanpa tembok dan publik maka perlawanan melalui mural tak berarti apa-apa. Kata-kata dan gambar akan terlena tanpa aksi lebih lanjut. Mereka akan menjadi hiasan semata tanpa roh dan spirit yang menjadikannya hidup dan terbang. Sekali lagi, anak muda yang tergabung dalam KSA bukan manusia yang super dengan ideologi yang tertancap masiv. Mereka adalah manusia biasa yang berbekal kemauan, semangat, keberanian, dan sedikit kenekatan untuk sekedar membuktikan bahwa kebenaran itu ada dan tak pernah pilih kasih. Anjar, Wafi, Acoenk, Abi, Dante, Tau-fik, dan sebagainya adalah manusia yang kebetulan merasa terpanggil untuk menaruhkan secuil kebenaran. Me-lalui tembok-tembok mereka ingin menyapu virus-virus kebinalan dan birahi politik yang bermuara pada korupsi yang akut, melalui bahasa dan gambar-gambar mereka. Itu saja.

Page 21: Pralon #1 (Mei 2014)

20Alat-alat Dapur dan

Barang-barang Bekas,

Menjadi Kreativitas Tanpa Batas

Gema Music Percussion (GMP), group musik perkusi dari teater Gema IKIP PGRI Semarang memper-cayai kalau semua benda/ barang dapat menimbulkan musik. Buktinya hingga sekarang masih eksis melukis iklim kesenian khususnya di Semarang, di Jawa Tengah, hingga taraf nasional. Bahkan sempat mendapat penawaran manggung di Malaysia, namun tidak jadi karena ada kendala kesibukan dan jadwal kuliah yang belum bisa diubah sesuka hati. Berawal dari konsep sederhana saja, konsep awal seperti halnya penggunaan alat-alat musik perkusi, di antaranya kendang dan kentongan. Seiring dengan berjalannya proses kreatif dari GMP, maka terciptalah alat musik yang dahsyat dari barang-barang dapur serta benda-benda bekas.“Sejarah berdirinya GMP dimulai dengan dibentuknya Gema Ableh, berupa group yang mengusung musik-musik Islami, dipadu dengan gaya eksentrik dari anggotanya. Awal terbentuk karena ada lomba ramadan yang diadakan oleh SCTV di Gramedia Semarang. Dengan modal nekat kami sepakat membuat group nasyid plus dengan dikomandoi oleh Heri SGR. Den-gan personil Atut AB, Furry SR, Ari Bubut, Jay Cemong, Khoiri Abdilah, Lilik BP, Mutohar, M. Zaeni Jessy, dan Mamat Garuda (dari TBRS sebagai auditional player).” Ungkap Satriarif Prasetyo, salah seorang pentolan GMP.Selanjutnya dari kolaborasi pesonil tersebut, Gema Ableh membuat gebrakan dengan lagu Islami yang dahyat dibuat rampak yang digawangi oleh Atut AB, Mutohar, Jessy sebagai vocalis. Furry, Bubut, Jay memegang gendang dengan tiga farian ukuran dan suara. Abdilah, Lilik memegang botol yang dipukul dangan sendok dan ditiup. Lalu Mamat menggunakan kacang hijau di tampah yang menimbulkan efek suara hujan dan juga menciptakan keriuhan melalui kentongan. Akhirnya karena keunikan dan harmonisasi yang kompak dan solid, Gema Ableh dinobatkn sebagai juara 2 lomba ramadan yang diadakan oleh SCTV di depan Gramedia Semarang. Setelah menjuarai ajang yang cukup bergengsi di Gramedia tersebut, Gema Ableh semakin mendapatkan banyak job. Akhirnya latihan pun menjadi lebih rutin. Kemudian Gema Ableh mengikuti lomba yang diadakan oleh masjid Baiturrahman dan kembali menyabet juara 2. Kali ini memasuki formasi ke-2 dengan personil Heri SGR, Atut AB, Furry SR, Ari Bubut, Jay Cemong, Khoiri Abdillah, M. Zaeni Jessy, Mutohar, Satriarif Prasetyo dan Matuko. Dua nama terakhir adalah personil baru. Kemudian Gema Ableh mulai mendapat undangan mengisi acara lebih banyak, mulai dari masjid ke masjid, kampung ke kampung, dan ke sekolah-sekolah hingga kampus. Antusias penonton juga sangat bagus, karena Gema Ableh meramu dengan ditambah sedikit humor segar oleh para personilnya.

21

Page 22: Pralon #1 (Mei 2014)

Selanjutnya Gema Ableh bermetamorfosis menjadi Gema Music Percussion (GMP) seperti yang kita den-gar sekarang ini, yang semakin kuat meramu musik dan tetap setia dengan alat-alat yang diciptakan dari barang-barang bekas. Namun alat-alat itu mereka yakini sebagai alat khusus yang disusun tidak sembarangan dan atas proses penemuan yang sangat panjang. Intinya alat itu disusun sedemikian rupa hingga mewakili treble, bass dan suara midle. Misalnya dari galon yang menimbulkan bas dan midle. Lalu drigen akan menimbulkan suara bass yang berat. Dan semua itu membutuhkan ketelitian dan eksperimen yang sungguh-sungguh. Dari mulai teknik memukulnya, cara menyikapi benda itu juga. Misalnya jika galon utuh akan menibulkan suara yang berbeda den-gan galon yang dipotong separuh. Jadi benar-benar wajib untuk selalu kreatif. GMP juga kerap menghadirkan penari kontemporer dalam setiap pertunjukannya. Penari itu adalah Kur-nia Setyo Wulansari, salah seorang anggota teater Gema yang saat ini mukim di kota Batang. Ia sering menjua-rai lomba membaca puisi, aktor dan lomba tari. Dengan perpaduan musik perkusi dan tari kontemporer, GMP semakin menarik dan menegangkan dalam setiap kali melakukan pertunjukan. Karena dengan tubuhnya yang lentur serta sering kali berakrobat melakukan gerakan-gerakan tari kontemporer yang sangat tergarap dan selalu menyatu erat dengan lantunan perkusi yang semangat.Dikatakan oleh Satriarif, bahwa perkusi merupakan musik yang mengandalkan kekompakan atas iramanya. Atas dasar itu, menjadikannya terus menggeluti musik perkusi. Ia meupakan seorang guru/ pengajar yang sempat mengabdikan di lembaga pendidikan di Bogor dan mengelola group perkusi bagi anak-anak SD. Pengalaman yang cukup luar biasa baginya ketika anak didiknya pentas perkusi dihadapan Gilang Ramadan, seorang drum-mer papan atas di negeri ini.Karya-karya dari GMP dapat dilihat di youtube. Atau jika sobat Grader ingin kenal lebih dekat dengan GMP, kalian dapat mampir di group facebooknya. Ya, ada pesan dari GMP buat sobat-sobat Grader, “Jika kamu mem-punyai keinginan, lakukanlah dengan usaha. Maka suatu saat pasti kamu akan meraihnya!” Maka marilah terus berkreativitas. Apa pun itu jika kita sungguh-sungguh pasti akan memperoleh yang terbaik. Dan menciptakan proses kreatif yang unik. Karena bagi GMP, kesenian yang unik akan membawa kreativitas untuk selalu dikenang oleh siapa pun. (Red.)

22

Page 23: Pralon #1 (Mei 2014)

22

Marisa Oktaviana Mandarika

Batang, 23 Oktober 1994

Mahasiswa Universitas PGRI Semarang

Fakultas PBSI

Hobi: menulis

23

Page 24: Pralon #1 (Mei 2014)

8 Juni 2012 Kau

Munculnya bulan memang menerangi malam

Munculnya mentari memang menerangi siang

Munculnya bintang memang menghiasi malam

Munculnya awan pun memang menunjukkan siang

Tapi tidak dengan dirimu

Munculnya dirimu menggelapkan siangku

Terlihatnya parasmu merusak kebahagiaanku

Dan kenapa?

Kau tahu kenapa?

Karena dirimu yang sebenarnya ada

Ada dibalik antara siang dan malam itu

Tanpa dirimu tak akan pernah ada

Ada kisah yang sempurna

19 Juni 2012 Haruskah?

Cinta...

Bukan mengharuskan seseorang yang kita cintai menjadi seperti

apa yang kita inginkan

Itu semua sama saja mencerminkan diri kita sendiri pada orang lain

Tapi cinta..

Adalah membiarkan orang itu menjadi dirinya sendiri dan kita

mengerti bahwa keinginannya adalah yang terbaik untuknya

24

Page 25: Pralon #1 (Mei 2014)

T I K T O K

TIK-TOK adalah group lawak anyaran yang lahir dari Teater Gema, TIK-TOK terdiri dari lima personil yaitu Afprian Baskoro (Baskoro), Wahyu Ponco Nugroho (Pinuk), Rizalul Fikri (Komeng), Oky Dwi Ardiansyah (kicuk), Very Khoirul Mizan (Gopeng), berawal dari pen-tas lawak berjudul ISABELLA yang disutradarai oleh Da-nang Septa Friawan, kami berlima memulai langkah baru sejak saat itu. Setelah pentas selesai kami berlima membuat kes-epakatan untuk menjadi group lawak penerus dari mas-mas kami di Teater Gema, karena kebiasaan kami ketika bingung selalu menggerakkan kepala ke kiri dan ke kanan sambil mengucakan tik tok tik tok, maka kami sepakat nama group kami adalah TIK-TOK. TIK-TOK Teater Gema Universitas PGRI Semarang sendiri sudah sering mengisi acara di beberapa kota yang tersebar di Jawa Tengah, baik acara kesenian maupun aca-ra yang berbau formal, diantaranya, acara yang diseleng-garakan oleh SNN, Acara Perpisahan Sekolah, Acara Pe-mentasan Seni oleh Teater Fotkas di Semarang. TIK-TOK kembali lagi menebar pesona komedinya. Kali ini 31 Januari 2014 TIK-TOK Teater Gema Univer-sitas PGRI Semarang, mengisi acara yang di gelar oleh Majelis Ta’lim Nurul Ulum di Desa Slagi. Acara yang ber-temakan perayaan maulud nabi. Penyambutan dan an-

Generasi baru lawak indonesia Tik Toktusias warga desa Slagi akan kedatangan TIK-TOK Teater Gema Universitas PGRI Semarang, sangatlah ramah dan menyenangkan, itu terbukti dengan pelayanan yang diberi-kan warga setempat. TIK-TOK semakin membentangkan sayapnya dengan kualitas komedinya yang mempunyai ciri khas tersendiri. Kali ini di Desa Slagi Jepara TIK-TOK Teater Gema Universitas PGRI Semarang mengangkat banyolan mengenai agama islam yang di bungkus dengan peristiwa bencana banjir yang akhir-akhir ini dialami oleh Warga jepara. Banyolan semakin menarik dan terasa lengkap ketika TIK-TOK Teater Gema membawakan peristiwa mengenai kelangkaan bensin yang dialami oleh seluruh warga Jepara beberapa hari yang lalu. Kombinasi lawakan antara Agama, bencana dan dampak bencana, semakin menyukseskan penampilan TIK-TOK di atas panggung.

*terimakasih atas artisiasinya, suguhan yang diberikan anak-anak Teater Gema sangat menghibur, tahun depan kami akan mengundang anak-anak Teater Gema Univer-sitas PGRI Semarang untuk mengisi di acara kami lagi* (salah satu pengurus Majelis Ta’lim Nurul Ulum). (MMT & PD)

25

Page 26: Pralon #1 (Mei 2014)

Kelahiran purwokerto, 13 april 1963 adalah ayah dari dua orang anak yang bernama Ditya Trenggana Bagas Pambudi yang sekarang semester 6 di UNDIP dan Il-ham Setya Bagus Pambudi kelas 5 SD dan istrinya yang bernama Annie Suryandari Murdwisiwi ini lulusan SMA pada tahun 1982 di SMA N 1 Purbalingga. Dulu ketika beliau dan teman-teman seperjuangannya harus berjuang ekstra keras untuk bisa masuk di SMA itu, karena SMA itu adalah SMA N satu-satunya di Kab.Purbalingga. jarak sekolah dari rumahnya sekitar 10 km, jadi ketika saya berangkat sekolah harus pagi-pagi agar tidak terlambat. Setelah lulus SMA beliau bercita-cita ingin men-jadi ahli pertanian (IPA) dengan obsesi yang ”bisa men-emukan berbagai tumbuhan yang bisa diambil buahn-ya mengikuti cara yang sudah ada.” seperti semangka tanpa biji. “Tapi saya ingin membuat durian tanpa biji.” Tuturnya. Karena ternyata ahli pertanianpun belum bisa melakukannya, akhirnya saya beralternatif untuk mewujudkan impian itu dengan seni. Dan akhirnya saya memilih pilihan yang ke-2, yaitu masuk di Fakultas Pen-didikan Bahasa dan Seni di IKIP N Semarang, yang du-lunya di Unnes jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menurutnya, dengan seni semua keinginan akan terwujud dengan mengembangkan daya khayal dan imaginasi. Setelah saya lulus dari IKIP pada tahun 1987 lalu saya diterima di IKIP PGRI Semarang men-jadi dosen, waktu itu bertiga dengan Pak Sulis dan (alm) Wenas, yang dulu hanya masih memiliki lima jurusan yaitu Bimbingan Konseling, PPKN, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika dan beliau sudah 25 ta-hun menjadi dosen.

Pada tahun 1998 waktu orde baru, beliau melanjutkan studi ke Ja-karta di Universitas Indonesia. Apabila ada yang bertanya mengapa saya memilih melanjutkan ke Universitas Indonesia beliau menjawa karena mempunyai obsesi agar mengenal Jakarta walau tidak secara maksimal. Dan waktu itu masih sering ada demo antar perguruan tinggi, tambahnya. Ternyata belau sekarang masih mahasiswa S3 di UNNES jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Beliau bercerita bahwa ayahnya adalah seorang guru dan juga penggiat teater. Ayahnya pernah menggiatkan orang-orang di de-sanya untuk bermain teater sampai ke tingkat kabupaten. Beliau mengatakan konsep ayahnya sangat sederhana sehingga itu beliau gunakan sampai sekarang, karena konsep tersebut semua orang bisa menggunakannya. Kurang lebih pada tahun 2000 beliau diminta untuk menjadi Pembina di Teater Gema IKIP PGRI Semarang yang sekarang su-dah menjadi Universitas PGRI Semarang. Dulu sebelum menjadi nama Gema berawal dari teater jurusan yang menjadi teater Institut dengan nama Gema. Mahasiswa harus mampu berproses dan me-miliki tujuan agar mengalir dan tidak sampai terbawa arus. Men-galir itu harus jelas arah dan tujuannya agar berhenti pada sebuah muara. Seperti kita hidup di dunia yang akan bermuara di akhirat. Maka komunitas yang kamu bangun ini adalah komunitas yang bisa membawa kalian ke jalan yang benar di dunia dan akhi-rat. Ini adalah pelajaran hidup. Ketika kamu pertama kali datang di komunitas ini tidak membawa apa-apa atau sudah memiliki bekal, maka setelah masuk akan mendapat hasil yang lebih banyak dari apa yang kamu miliki sebelumnya. Kita datang juga harus memiliki tujuan dan target. Di komunitas ini juga bisa berlatih untuk proses pendewasaan misalnya pada saat menjadi ketua, ketika ada sebuah pertanyaan lebih banyak pahitnya atau manisnya menjadi seorang ketua? Pasti akan menjawab pahitnya. Mengapa? Seperti pada slo-gan pahitnya brotowali, walaupun pahit tapi berkhasiat dan menye-hatkan. Tapi lebih baik manisnya madu, manis berkhasiat dan me-nyehatkan namun juga harus jeli, kemungkinan manisnya itu bisa menjadi racun. Seperti kita memaknai kehidupan. Kita akan meli-hat dan merasakan pahit getirnya kehidupan. Didalam teater harus bisa menjaga dan menjadi diri sendiri. Harus bisa menempatkan diri dan menyesuaikan diri dimanapun tempatnya. Dengan perjalanan Gema dulu hingga sekarang yang sudah menemukan banyak variasi dengan kerja keras jangan sampai di ubah, namun harus dijaga dan dipertahankan agar tetap ber-jalan. Yang harus dijaga adalah setiap adegan ketika berproses di dunia ini tidak ada yang tetap, semuanya pasti akan berubah. Dan yang tidak pernah berubah adalah perubahan. Harapan dari beliau untuk Gema adalah Gema harus terus ber-proses! Mencari dan mencari! Mulailah sesuatu dan jangan takut untuk memulai. Dan kamu tidak akan pernah mengakhiri jika tidak pernah memulai.

PROFIL

26

Page 27: Pralon #1 (Mei 2014)

CERPEN PENJAGA

RUMAH

Baru kali ini saya melihat orang mengenakan kain putih di sekuruh tubuhnya, dengan sengaja pula, yang terlihat hanya muka dan sedikit ujung jari. Lalu meng-hadap matahari terbenam. Dan saya tidak tahu apa yang sedang dilakukannya. Majikan saya bernama Aris. Mungkin orang tadi teman majikan saya. tidak mungkin kalau kekasihnya. Sebab saya tahu, majikan saya sudah punya kekasih. Ia sering menceritakan hal itu kepada saya. bahkan kekasihnya juga sering men-jadi objek lukisan yang dipasang di dekat pintu tempat saya selalu tidur di sana. Tetapi akhir-akhir ini saya tidak melihat majikan saya membawa kekasih-nya yang jelita itu ke mari. Memang saya tahu, majikan saya kini lebih sibuk dari sebelumnya. Pagi-pagi bangun membersihkan galeri, lalu mandi, setelah itu pergi entah ke mana. Yang saya lihat, ia menenteng tas samping dan setumpuk buku sambil mengecup saya.“Google, baik-baik di rumah, ya.” Kalau bisa saya balas ucapannya pasti saya sudah berteriak dengan lantang. “Tentu, aku baik-baik di rumah. Tetapi aku merindukanmu! Tetapi aku merindu-kanmu!” Ah. Ia keburu pergi. Suara langkahnya keras. Membuat mata saya berkaca-kaca. Ia meninggalkan saya tanpa memberitahu mau ke mana. Peremuan itu sudah datang. Tepat saat majikan saya sampai di ambang pintu yang menghubungkan rumah dengan galeri. Mereka hanya bertegur sapa biasa. Ala kadarnya. Tersenyum. Tertawa. Tidak ada cium pipi seperti ketika bertemu dengan kekasihnya. Lalu majikan saya sudah tak nampak di pintu. Perempuan itu melangkah ringan. Suara sepetu sandalnya terdengar renyah di galeri yang hanya berisi lukisan bisu dan kursi yang tergeletak sendirian di po-jok kanan bagian depan ruangan. Ia meletakkan tas bahunya di situ. Lalu duduk. Ketika duduk kakinya biasa saja. Tidak menyilang seperti ketika kekasih majikan saya duduk di sana. Ah, mungkin cara duduk tak begitu penting. Sejak melihatnya beberapa hari yang lalu, saya terpesona dengan kain yang menutupi seluruh kepalanya (kecu-ali wajah seperti ketika menutup seluruh tubuhnya dengan kain putih). Memang agak aneh. Apa ia tidak punya rambut? Atau malu rambutnya kelihatan? Tidak mau jika rambutnya disentuh orang seperti ketika majikan saya menyentuh dan mencium rambut kekasihnya? Ah, saya tidak tahu. Sejak lahir saya belum pernah melihat yang seperti itu. Sesungguhnya saya ingin mendekati perempuan itu. Ingin berkenalan. Ingin mencium kulit kaki, tangan atau pipinya. Tetapi sayang, semua ia tutup dengan baju. Semacam kain yang tidak berbelah (yang kemudian saya tahu, itu adalah rok). Tentu bukan hanya itu. Saya kan diikat, jadi tidak mungkin saya mengham-pirinya. Sesungguhnya bukan masalah yang besar ketika saya tidak bisa kemana-mana. Toh, kalau seseorang mau mendekat saja, terpecah sudah kan masalah? Perempuan itu sering menatap ragu. Ragu pada saya. Entah takut atau ada hal lain yang membuatnya berjalan menghindar setiap kali melewati saya. Awalnya saya pikir karena kami belum kenal. Tetapi, memangnya perlu berapa lama untuk saling mengenal? Saya merasa sedih. Perempuan itu sepertinya memang tidak ingin mengenal saya lebih jauh. Kini telah dua bulan ia di sini. Dan tak sekalipun menyentuh atau membelai saya**“Google, jangan nakal. Duduk di situ. Oke? Ayo, jangan nakal!”Hari ini majikan saya tidak pergi. Sejak pagi saya lihat ia hanya mondar mandir sambil sesekali memegang pensil dan menggoreskannya di sketbook yang tidak pernah beranjak dari meja makan, yang juga digunakan sebagai meja santai. Di teras belakang rumah. Seperti riutinitasnya yang dulu. Tetapi wajahnya lebih ku-sut. Saya takut kalau ia tidak menyayangi saya lagi. Pukul 8.00 perempuan dengan penutup kepala itu datang. Ada dua per-asaan ketika ia muncul di depan pintu. Pertama, saya senang karena galeri tidak penuh debu lagi. Ah, lagi-lagi saya membandingkan dengan kekasih majikan saya yang sudah lama tak nampak itu. Ia tak pernah meembersihkan ruangan. Apalagi membereskannya. Berbeda dengan perempuan ini. Jangankan debu, lalat yang mau lewat saja sungkan. Sebab udaranya kental segar pembersih ruangan. Kedua, perasaan yang membuat hati saya perih. Hati saya bisa perih? Tentu. Perempuan itu belum juga sekalipun menyentuh saya. Jangan-jangan ia akan merebut maji-kan saya seperti ia merebutnya dari kekasih majikan saya? Sayang sekali mereka tidak tahu kalau saya bisa menangis.“Google, kamu ada apa? Apanya yang sakit?” Saya sengaja mengerang terus. Tentu supaya mendapat perhatian. Saya lihat wajah perempuan itu pucat. Menatap saya. tetapi masih belum berani menyentuh saya. Tangis saya meledak.“Ambilkan obat.” Pinta majikan saya pada perempuan itu.“Iya, mas.”‘Air”“Iya.”Perempuan itu nampak sekali kebingungan. Berulangkali saya lihat ia menengok kanan-kiri tanpa sebab. Peluhnya membasahi dahi, hidung dan dagunya yang lancip. Untuk kesekian kali saya tidak tahu apa yang dipikirkannya.Setelah beberapa menit akhirnya saya tenang. Tepatnya berhenti akting seper-ti tadi. Ah, apa yang saya lakukan? Apa yang majikan saya lakukan? Apa yang perempuan itu lakukan? Masing-masing kami diam.

Perempuan itu memulai lagi percakapan.”Google sering sakit begitu, ya?” Ia menanyakan saya.”Tidak. Baru sekali.””Atau memang sedang sakit?””Mungkin. Tapi suhu badannya stabil.”Perempuan itu beranjak. Ia membereskan tempat air yang tadi dibawanya. Saya tidak melihat kekhawati-ran di mata ataupun wajahnya. Apakah baginya saya begitu tidak penting? Kami kembali pada pekerjaan masing-masing** Hari berikutnya, pukul 7.30 saya sudah terjaga dan menanti kehadiran perempuan itu. Tetapi sam-pai pukul sembilan, wajahnya yang ringan dan me-nyenangkan belum juga muncul di ambang pintu, melainkan kekasih majikan saya yang jelita. Saya diam. Kekasih majikan saya mencium saya. Menge-lus kulit saya. Saya merindukannya. Tetapi sedikit. Selebihnya biasa saja. Entah. Rasanya seperti biskuit yang bantat. Kemana perempuan itu? Majikan saya sedang melukis. Lalu saya kembali menyaksikan pertemuan sepasang kekasih yang telah lama tidak berjumpa. Seperti biasa. Mereka saling mencium pipi kanan dan kiri. Ditambah lagi pelukan beberapa detik sebagai pelampiasan kerinduan. Sep-ertinya begitu. ”Model rambutmu baru?” Tanya majikan saya sambil membelai rambut kekasihnya yang sebahu dan lurus berkilau-kilau. saya kembali teringat pada perempuan itu. Sehari penuh saya menunggunya. Dan ia tidak datang. Hari berikutnya saya menunggunya lagi. Ia tidak datang lagi. Dan seterusnya sampai saya tahu bahwa perempuan itu mengundurkan diri dari pe-kerjaannya. Rupanya perempuan itu di sini bekerja. Saya tahu itupun dari percakapan antara majikan saya dan kekasihnya.”Jadi dia tidak betah?””Iya.””Kenapa?””Entah.” Kemudian mereka berdua membereskan meja makan yang sering digunakn majikan saya untuk melukis. Di sana saya melihat kain putih yang dulu pernah dipakai perempuan itu. Kekasih majikan saya mengambilnya.”Ini mukenanya.””Mungkin dia takut pada Google. Tepatnya takut menyentuh Google.””Kenapa?” Majikan saya mengangkat bahu. Setelah itu saya jadi tahu, kepergiannya adalah karena saya entah apa alasannya. Yang saya tahu, hati saya masih sakit. Apakah saya berlumur kotoran se-hingga perempuan itu tak mau menyentuh saya?

Semarang, 2010 Fitri (Langit Kecil) 27

Page 28: Pralon #1 (Mei 2014)