Upload
hilwy-al-hanin
View
225
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
sirhep
Citation preview
PRESENTASI KASUS
“SIROSIS HEPATIS”
PEMBIMBING
dr. Arnold Harahap, SpPD, KGEH
Disusun oleh :
Akbar Sepadan
Ani Oktavia
Heidi Angelika A.
Hilwy Al Hanin
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM
RSUP FATMAWATI
OKTOBER 2015
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayahNya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam senantiasa kami
junjungkan ke hadirat Nabi Muhammad SAW, semoga rahmat dan hidayahnya selalu
tercurah kepada kita selaku umatnya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada seluruh pengajar di SMF Ilmu Penyakit Dalam khususnya kepada dr. Arnold Harahap, SpPD, KGEH atas bimbingannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.
Sebagai manusia kami menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami yang sedang menempuh pendidikan dan bagi kelompok-kelompok selanjutnya.
Jakarta, 5 Oktober 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan Sirosis adalah suatu keadaan patologi yang menggambarkan stadium akhir fibrosis
hepatik yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari arsitektur hepar dan
pembentukan nodulus regeneratif. Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) adalah
perdarahan saluran makanan proksimal dari ligamentum Treitz. Salah satu menifestasi
hipertensi porta adalah varises esophagus. Dua puluh sampai 40% pasien sirosis dengan
varises esophagus pecah yang menimbulkan perdarahan hingga kematian. 1-5
Lebih dari 40% pasien sirosis asimtomatis. Keseluruhan insidensi sirosis di Amerika
diperkirakan 360 per 100.000 penduduk. Penyebabnya sebagian besar akibat penyakit hati
alkoholik maupun infeksi virus kronik. Hasil penelitian lain menyebutkan perlemakan hati
akan mengakibatkan steatohepatitis nonalkoholik (NASH, prevalensi 4%) dan berakhir
dengan sirosis hati dengan prevalensi 0,3%. Prevalensi sirosis hati akibat steatohepatitis
alkoholik dilaporkan 0,3% juga. Di Indonesia data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya
laporan – laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta jumlah
pasien sirosis hati berkitar 4,1% dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam
kurun waktu 1 tahun (2004). Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis
hati sebanyak 819 (4%) pasien dari seluruh pasien di Bagian Penyakit Dalam. 1-5
Di Negara barat yang tersering akibat alkoholik sedangkan di Indonesia terutama
akibat infeksi virus hepatitis B maupun C. Gejala awal sirosis (kompensata) meliputi
perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual,
berat badan menurun, pada laki – laki dapat timbul impotensi, testis mengecil, buah dada
membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala –
gejala lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta,
meliputi hilangnya rambut badan, gangguan tidur, dan demam tak begitu tinggi. Manifestasi
klinik perdarahan saluran cerna bagian atas bisa beragam tergantung lama, kecepatan, banyak
sedikitnya darah yang hilang, dan apakah perdarahan berlangsung terus menerus atau tidak.1-5
BAB II
ILUSTRASI KASUS
1.1 Identitas Pasien
No. Rekam Medik : 01387430
Nama : Tn. S
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat / Tanggal Lahir : Jakarta, 13 Maret 1963
Usia : 52 tahun 7 bulan
Agama : Islam
Alamat : Kp. Palsi Gunung Tugu, Cimanggis, Depok
Pendidikan terakhir : SMA
Pekerjaan : Supir Bus
Status Pernikahan : Menikah
Masuk IGD RSF : 16 Oktober 2015 pukul 20.10
Masuk Rawat Inap RSF : 18 Oktober 2015 pukul 21.00
1.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis pada tanggal 18 Oktober 2015 pukul 21:00.
Keluhan Utama
Bab hitam sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 6 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien merasa perut membesar diikuti kaki
bengkak. Pasien memang mempunyai riwayat BAB hitam. Sesak napas disangkal,
ortopnoe disangkal. Pasien berobat ke RS Tugu dan dikatakan Hb rendah dan
pengerutan hati kemudian dilakukan transfusi dan ligasi 1x. Pasien juga dikatakan
menderita penyakit hepatitis C. Sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit, pasien
mengeluh BAB hitam selama 4 hari, BAB sebanyak +- 400cc/ hari, tanpa mual
muntah, nyeri ulu hati disangkal. Pasien juga merasa badan semakin kuning, BAK
seperti air teh, BAB dempul disangkal. Pasien berobat ke RS Tugu dan di rujuk ke
RSUP Fatmawati untuk pemeriksaan lebih lengkap. Saat ini pasien merasa lemas,
capai, pusing dan mual. Demam dan gangguan tidur disangkal. Pasien memiliki
riwayat hipertensi sejak 6 bulan yang lalu, namun hanya satu kali kontrol dan
diberikan obat. Pasien meminum sampai habis obat yang diberikan dan tidak pernah
kontrol lagi setelah obatnya habis.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat DM, sakit jantung disangkal. Riwayat hipertensi sejak 6 bulan yang
lalu. Sakit dada disangkal, lemah separuh badan disangkal.
Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga tidak ada yang mengalami keluhan serupa dengan pasien. Riwayat DM,
hipertensi, penyakit jantung pada keluarga disangkal.
Riwayat Kebiasaan Pasien seorang supir bus malam, tinggal di lingkungan padat penduduk. Pasien
memiliki riwayat kebiasaan merokok selama 20 tahun, satu hari menghabiskan kurang
lebih setengah bungkus. Pasien juga jarang berolahraga. Riwayat transfusi darah,
meminum alkohol, obat-obatan jangka panjang disangkal. Pasien juga mengaku
memiliki tato di punggung atas sebelah kiri.
1.3 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 18 Oktober 2015, di bangsal IRNA Teratai, ruang 502E, RSUP Fatmawati.
A. Keadaan Umum Keadaan Umum : tampak sakit sedangKesadaran : compos mentisBB : 55 kgTB : 153 cmBMI : 24,38Keadaan gizi : normoweight
B. Tanda Vital
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi : 92 kali/menit, reguler, isi cukup
Pernapasan : 18 kali/menit, regular, kedalaman cukup
Suhu : 36,8 ºC
C. Kepala dan Leher
Bentuk kepala : Normocephali.
Rambut : Hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Wajah : Simetris
Mata
Tidak ada oedem palpebra dextra dan sinistra
konjungtiva anemis +/+
Sklera tidak ikterik
Pupil isokor, 3 mm
Reflek cahaya langsung +/+
Refleks cahaya tidak langsung +/+ Telinga
Tidak ditemukan kelainan pada preaurikula dextra dan sinistra
Bentuk aurikula dextra dan sinistra normal, tidak ditemukan kelainan kulit, tidak hiperemis
Tidak ditemukan kelainan pada retroaurikula dextra dan sinistra
Nyeri tekan tragus -/-
Nyeri tekan aurikula -/-
Nyeri tarik aurikula -/-
Nyeri tekan retroaurikula -/-
Hidung
Deviasi septum nasi -, tidak ada napas cuping hidung, nyeri tekan -
Nares anterior: sekret -/-, darah -/-, hiperemis -/-
Tidak ditemukan deviasi septum
Mulut
Bentuk mulut normal saat bicara dan diam, bicara tidak ada gangguan bicara, sudut bibir kanan dan kiri tampak simetris saat bicara dan tersenyum.
Tidak ada gusi berdarah
Uvula terletak ditengah, tidak ada udem
Tonsil T1-T1 tenang
Leher
Inspeksi : massa, keloid, scar tidak ada, tidak tampak deviasi trakea, tidak tampak pembesaran kelenjar tiroid, tidak tampak pembesaran KGB,.
Palpasi : Tidak teraba pembesaran kelenjar tiroid, trakea teraba di tengah, JVP 5-2 cmH2O.
Auskultasi : Tidak terdengar bruit
D. Thorax
Anterior
Inspeksi
Bentuk thorax simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernapasan yang tertinggal, pernapasan abdominotorakal
Tidak tampak retraksi sela iga
Tidak terdapat kelainan tulang iga dan sternum
Tidak terlihat spider navy
Tampak ginekomastia
Palpasi
Pada palpasi secara umum tidak terdapat nyeri tekan dan tidak teraba benjolan pada dinding dada
Gerak nafas simetris
Vocal fremitus simetris pada seluruh lapangan paru, friction fremitus (-), thrill -
Iktus cordis tidak teraba Perkusi
Kedua hemithoraks secara umum terdengar sonor
Batas kanan jantung pada ics 4 linea sternalis kanan
Batas kiri jantung pada ics 5 1 jari medial dari linea midcavicularis kiri
Batas pinggang jantung pada ics 3 linea parasternalis kiri
Auskultasi
Suara nafas vesikuler +/+, reguler, ronchi -/-, wheezing-/-
BJ I, BJ II regular, murmur (-), gallop (-)
Posterior
Inspeksi
Bentuk simetris saat dinamis dan saat statis
Tidak terlihat benjolan
Tidak terdapat kelainan Vertebra Palpasi
Gerak nafas simetris
Vocal fremitus simetris
Tidak ada emfisema subkutis
Tidak ditemukan nyeri tekan Perkusi
Tidak terdapat nyeri ketuk
Perkusi secara umum terdengar sonor
Batas bawah paru kanan pada ics 9, batas bawah paru kiri pada ics 10 Auskultasi
Suara nafas vesikuler +/+, ronkhi -/-
E. Abdomen
Inspeksi
Bentuk perut buncit
Umbilikus terletak di garis tengah
Tidak tampak massa
Auskultasi
Bising usus (+) normal
Arterial bruit (-) Palpasi
Tidak ditemukan nyeri tekan diregio abdomen
Hepar teraba 2 jari di bawa arcus costae
Lien teraba di titik Schuffner 2
Ballotement -/-
Undulasi (-) Perkusi
Shifting dullness (-)
F. Ekstremitas
Ektremitas atas
Inspeksi
Tangan kiri dan kanan simetris, tidak terlihat deformitas, tidak ada petechie
Tidak sianosis, tidak ikterik
Tidak tampak ada edema
Palpasi
Eutrofi, normotonus
Kekuatan otot normal
55
55 5555
5555 5555
Tidak terdapat nyeri tekan
Akral hangat
Edema tidak ada
Ekstremitas bawah
Inspeksi
Kaki kiri dan kanan simetris, tidak terlihat deformitas, tidak tampak adanya kelainan
pada kulit
Tidak sianosis
Clubbing finger tidak ditemukan
Kedua extremitas bawah dapat bergerak aktif dan bebas
Tampak edema tungkai bawah
Palpasi
Kekuatan otot normal
5555 5555
5555 5555
Tidak terdapat nyeri tekan
Akral hangat
Terdapat edema pitting pada kedua tungkai bawah
1.3 Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal16/10/15 18/10/15 20/10/15
Hematologi
Hemoglobin 6,0 7,6 7,8 11,7-15,5 g/dl
Hematokrit 19 24 26 33-45 %
Leukosit 2.000 4.000 4.200 5-10 ribu/UL
Trombosit 88.000 84.000 86.000 150-440 ribu/UL
Eritrosit 2,27 3,00 3,20 3,80-5.20 juta/UL
VER 83,4 79,9 80-100 fl
HER 26,6 25,4 26-34 pg
KHER 31,9 31,8 32-36 g/dl
RDW 19,3 19,7 11.5-14.5 %
Hemostasis
APTT 38,2
37,526,3-40,3 detik
Kontrol APTT 30,7
30,7 -
PT 15,5 11,5-14,5 detik
Kontrol PT 13,6 -
INR 1,18 -
Serum Iron 31,0 65,0-175,0 mg/dl
TIBC 375,0 253-435 mg/dl
Fungsi Hati
SGOT 49 0-34 u/l
SGPT 32 0-40 u/l
Protein total 5,90 6,00-8,00 g/dl
Albumin 2,70 3,40-4,80 g/dl
Globulin 3,20 2,50-3,00 g/dl
Bilirubin total 0,50 0,10-1,00 mg/dl
Bilirubin direk 0,30 <0,20 mg/dl
Bilirubin 0,20 <0,60 mg/dl
indirek
Fungsi Ginjal
Ureum darah 17 20-40 mg/dl
Kreatinin Darah 0.6 0.6-1.5 mg/dl
Elektrolit Darah
Natrium(d) 137 135-147 mg/dl
Kalium (darah) 3,47 3,10-5,10 mg/dl
Klorida (darah) 108 95-108 mg/dl
Gol. Darah B / Rh+
Sero-
Imunologi
Hepatitis
HbsAg Non reaktif Non Reaktif
Anti HCV Reaktif Non Reaktif
Feses
Makroskopik
Konsistensi Lunak Lunak
Warna Coklat Kuning-Coklat
Bau Normal Normal
pH 5.0 7,0-8,0
Unsur Lain
Cacing Negatif Negatif
Nanah Negatif Negatif
Lendir Negatif Negatif
Darah Negatif NegatifMikroskopis
Leukosit 0-1 <10/LPB
Eritrosit 0-1 <3/LPB
Lemak Negatif Negatif
E. Coli Negatif Negatif
E. Hystolytica Negatif Negatif
Amilum Negatif Negatif
Jamur Negatif Negatif
Serat Otot Negatif Negatif
Serat Tumbuhan Positif Negatif Telur Cacing Negatif Negatif Kimia Gula Negatif Negatif Darah Samar Negatif Negatif Pemeriksaan Bakteriologi Bakteri batang gram negatif (+) Lain-lain Negatif
1.5 Resume
Tn. S mengalami BAB hitam sejak 2 minggu SMRS. Pasien mengeluh BAB hitam
selama 4 hari, sebanyak +/- 400 cc/hari. Pasien juga merasa badan semakin kuning
dan BAK berwarna seperti air teh.
2 tahun yang lalu pasien mengatakan pernah menderita penyakit Hepatitis C. 6
bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien merasa perut membesar diikuti dengan
kakinya yang juga bengkak. Pasien memiliki riwayat BAB hitam. Pasien berobat
ke RS Tugu dan didiagnosis mengalami pengerutan hati.
Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 6 bulan yang lalu, namun hanya satu kali
kontrol dan diberikan obat. Pasien meminum sampai habis obat yang diberikan
dan tidak pernah kontrol lagi setelah obatnya habis.
Pasien memiliki riwayat kebiasaan merokok selama 20 tahun, satu hari
menghabiskan kurang lebih setengah bungkus.
Pasien juga memiliki tato di punggung atas sebelah kiri.
Pemeriksaan fisik :Pasien tampak sakit sedang, compos mentis, kesan gizi baik.Mata: konjungtiva anemis +/+Thorax: tampak adanya ginekomastiaAbdomen: bentuk perut buncit, pembesaran hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae, pembesaran lien teraba di titik Schuffner 2Pada ekstremitas tampak edema pitting pada kedua tungkai bawah
1.5 Daftar Masalah
1. Anemia berulang
2. Sirosis hepatis dengan riwayat melena post Ligasi-I
3. Hepatitis C Kronik
Setelah didapatkan hasil pemeriksaan, menjadi:
1. Sirosis hepatis Child Pugh Score B et causa hepatitis C Kronis
2. Riwayat melena et causa pecahnya varises esophagus
3. Hepatitis c kronik
4. Pansitopenia et causa splenomegali
1.7 Rencana Pemeriksaan
Laboratorium: DPL, elektrolit (Natrium, Kalium, Chlorida), SGOT/SGPT, PT/APTT, Bilirubin (total, direk, indirek), protein, albumin, globulin, retikulosit, SI, TIBC, Feritin, GDS, HBsAg, anti HCV,
Faeces lengkap.
1.8 Penatalaksanaan IVFD NaCl 0,9% dalam 24 jam
Diet hepar 1900kkal/hari Injeksi omeprazole 1x40 mg Furosemide 1x20 mg per oral Spironolakton 1x100 mg per oral Domperidone 3x10 mg
1.9 Follow up
1) Follow Up Tanggal 19 Oktober 2015
Subjektif BAB sudah tidak berwarna hitam, badan masih terasa lemas.
Objektif TSS. CM.
TD : 120/80 mmHg HR : 68 x/menit RR : 20 x/menit T : 36,7oCMata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
Leher : JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran KGB
Paru : Vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Buncit, Bising usus (+) normal, splenomegali Schuffner hepatomegaly 2 jari bac
Ekstremitas : Akral hangat, edema -/- / -/-, crt <2 dtk
Assessment 1. Sirosis hepatis Child Pugh Score B et causa hepatitis C Kronis
2. Riwayat melena et causa pecahnya varises esophagus
3. Hepatitis C Kronik
4. Pansitopenia et causa Splenomegali
PlanningRdx/ DPL, menunggu hasil HBsAg dan anti HCV, pemeriksaan feses lengkap
Rtx/
IVFD NaCl 0,9% 500cc dalam 24 jam
Diet hati 1900kkal/hari
Omeprazole 1x40 mg IV
Vitamin K 3x10mg IV
Furosemide 1x20 mg PO
Spironolakton 1x100 mg PO
Domperidone 3x10 mgSucralfat 3x15 ccRencana transfusi PRC 500 cc premedikasi Lasix?
2) Follow Up Tanggal 20 Oktober 2015
SubjektifBAB normal tidak ada keluhan, lemas berkurang, akan menjalani endoskopi (ligasi)
Objektif TSS. CM.
TD : 120/70 mmHg FN : 80 x/menit RR : 22 x/menit T : 36,6oCMata : Konjungtiva anemis +/+, sklera tidak ikterik
Leher : JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran KGB
Paru : Vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Buncit, Bising usus (+) normal, splenomegali Schuffner hepatomegaly 2 jari bac
Ekstremitas : Akral hangat, edema -/- / -/-, crt <2 dtk
Assessment 1. Sirosis Hepatis Child Pugh Score B et causa hepatitis C Kronis
2. Riwayat melena et causa pecahnya varises esophagus
3. Hepatitis C Kronik
4. Pansitopenia et causa Splenomegali
Planning Rdx/ menunggu hasil HbsAg, anti HCV, dan pemeriksaan feses lengkap
Rtx/
IVFD NaCl 0,9% 500cc dalam 24 jam
Diet hati 1900kkal/hari
Omeprazole 1x40 mg IV
Vitamin K 3x10mg IV
Furosemide 1x20 mg PO
Spironolakton 1x100 mg PO
Domperidone 3x10 mgSucralfat 3x15 ccRencana endoskopi (ligasi)
3) Follow Up Tanggal 21 Oktober 2015
Subjektif Tidak ada keluhan
Objektif TSS. CM.
TD : 110/80 mmHg FN : 78 x/menit RR : 20 x/menit T : 36,4 oCMata : Konjungtiva anemis +/+, sklera tidak ikterik
Leher : JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran KGB
Paru : Vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Buncit, Bising usus (+) normal, splenomegali Schuffner 2 hepatomegali 2 jari bac
Ekstremitas : Akral hangat, edema -/- / -/-, crt <2 dtk
Assessment 1. Sirosis Hepatis Child Pugh Score B et causa hepatitis C Kronis
2. Riwayat melena et causa pecahnya varises esophagus
3. Hepatitis C Kronik
4. Riwayat pansitopenia et causa Splenomegali
Planning Rdx/ -
Rtx/
NaCl 0,9% 500cc dalam 24 jam
Diet hati 1900kkal/hari
Omeprazole 1x40 mg IV
Vitamin K 3x10mg IV
Furosemide 1x20 mg PO
Spironolakton 1x100 mg PO
Domperidone 3x10 mg
Sucralfat 3x15 cc
4) Follow Up Tanggal 22 Oktober 2015
Subjektif Tidak ada keluhan, rencana rawat jalan
Objektif TSS. CM.
TD : 120/70 mmHg FN : 84 x/menit RR : 22 x/menit T : 36,5 oCMata : Konjungtiva anemis +/+, sklera tidak ikterik
Leher : JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran KGB
Paru : Vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung : BJ I/II reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Buncit, Bising usus (+) normal, splenomegali Schuffner 2, hepatomegali 2 jari bac
Ekstremitas : Akral hangat, edema -/- / -/-, crt <2 dtk
Assessment 1. Sirosis Hepatis Child Pugh Score B et causa hepatitis C Kronis
2. Riwayat melena et causa pecahnya varises esophagus
3. Hepatitis C Kronik
4. Riwayat pansitopenia et causa Splenomegali
Planning Rdx/ -
Rtx/
NaCl 0,9% 500cc dalam 24 jam
Diet hati 1900kkal/hari
Omeprazole 1x40 mg IV
Vitamin K 3x10mg IV
Furosemide 1x20 mg PO
Spironolakton 1x100 mg PO
Domperidone 3x10 mg
Sucralfat 3x15 cc
BAB III
LANDASAN TEORI
3.1 Sirosis Hepatis
Sirosis merupakan konsekuensi dari penyakit hati kronis yang ditandai
dengan penggantian jaringan hati oleh fibrosis, jaringan parut dan nodul regeneratif
(benjolan yang terjadi sebagai hasil dari sebuah proses regenerasi jaringan yang
rusak) akibat nekrosis hepatoseluler, yang mengakibatkan penurunan hingga hilangnya
fungsi hati.1,2,3
3.1.1 EPIDEMIOLOGI
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketiga
pada pas i en ya ng be rus i a 45 – 46 t a hun ( se t e l a h penyak i t ka rd iova sku l e r
dan kanke r ) . D i seluruh dunia, sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian.
Sekitar 25.000 orangmeninggal setiap tahun akibat penyakit ini.4
Leb i h da r i 40% pa s i en s i ro s i s a s i mtom a t i s . K es e lu ruha n in s idens i
s i r o s i s d i Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk. Penyebabnya
sebagian besar akibatpenyakit ahti alkoholik maupun infeksi virus kronik. Di Indonesia,
data prevalensi sirosishati belum ada, hanya laoporan dari beberapa pusat
pendidikan saja. Di RS Dr.SardjitoYogyakarta jumlah pasien sirosis hati berkisar
4,1 % dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun
(2004). Di Medan dalam kurun waktu 4 tahun d i jum pa i pa s i en s i ro s i s ha t i
s e banyak 819 (4%) pas i e n da r i s e l u ruh pas i en d i Ba g ian Penyakit Dalam.2
Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika dibandingkan
dengan kaum wanita sekitar 1,6 : 1, dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan
umur 30 – 59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 – 49 tahun.
3.1.2 KLASIFIKASI
Klasifikasi sirosis dikelompokkan berdasarkan morfologi, secara
fungsional danetiologinya. Berdasarkan morfologi, Sherlock membagi sirosis hati atas 3
jenis, yaitu :
1 . Mi k ronodu la r d itandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, di dalam
septa parenkim hati mengandung nodul halus dan kecil merata di seluruh
lobus. Pada sirosis mikronodular, besar nodulnya tidak melebihi 3 mm. Tipe ini
biasanya disebabkan alkohol atau penyakit saluran empedu.2,4,5
2 . Ma kronodu la r Ditandai dengan terbentuknya septa dengan ketebalan
bervariasi, mengandungnodul yang besarnya juga bervariasi ada nodul
besar didalamnya, ada daerah luasdengan pa renk i m ya ng m as i h ba ik
a t a u t e r j ad i r ege ne ra s i pa r e nk im. T ipe i n i biasanya tampak pada
perkembangan hepatitis seperti infeksi virus hepatitis B.2,4,5
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular).2,4,5
S edangkan s eca ra fungs iona l , s i r o s i s hepa t i s d iba g i me n jad i
kompens a t a dan dekompensata.
1. Sirosis hati kompensata
Sering disebut dengan sirosis hati laten atau dini. Pada stadium
kompensata ini belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini
ditemukan pada saat pemeriksaan skrining.2,4,5
2. Sirosis hati dekompensata
Dikenal dengan sirosis hati aktif, dan stadium ini biasanya gejala-
gejala sudah jelas, misalnya ascites, edema dan ikterus.2,4,5
3.2.3 ETIOLOGI
1. Alcoholic liver disease
Sirosis alkoholik terjadi pada sekitar 10-20% peminum alkohol berat.
Alkohol tampaknya melukai hati dengan menghalangi metabolisme normal protein,
lemak,dan karbohidrat.2,3
2. Hepatitis C kronis
Infeksi virus hepatitis C menyebabkan peradangan dan kerusakan hati yang selama
beberapa dekade dapat mengakibatkan sirosis. Dapat didiagnosis
dengan tesserologi yang mendeteksi antibodi hepatitis C atau RNA virus.2,3
3. Hepatitis B kronis
Vi ru s he pa t i t i s B me nyebabkan pe radangan da n ke rusa kan ha t i
yang s e l a ma beberapa dekade dapat mengakibatkan sirosis. Hepatitis D
tergantung pada kehadiran hepatitis B, tetapi mempercepat sirosis melalui
ko-infeksi. Hepatitis Bkronis dapat didiagnosis dengan deteksi HBsAg> 6
bulan setelah infeksi awal. HBeAg dan HBV DNA bermanfaat untuk menilai apakah
pasien perlu terapi antiviral.2,3
4. Non-alcoholic steatohepatitis (NASH)
Pada NASH, terjadi penumpukan lemak dan akhirnya menjadi penyebab
jaringanparut di hati. Hepatitis jenis ini dihubungkan dengan diabetes,
kekurangan gizi protein, obesitas, penyakit arteri koroner, dan pengobatan
dengan obat kortikosteroid. Penyakit ini mirip dengan penyakit hati alkoholik tetapi
pasien tidak memiliki riwayat alkohol. Biopsi diperlukan untuk diagnosis.6
5. Sirosis bilier primer
Mungkin tanpa gejala atau hanya mengeluh kelelahan, pruritus, dan
nonikterik hiperpigmentasi dengan hepatomegali. Umumya disertai elevasi
alkali fosfatase serta peningkatan kolesterol dan bilirubin. Hal ini lebih umum pada
perempuan.2,3
6. Kolangitis sklerosis primer
P SC ada l ah ga ngguan ko l e s t a s i s p rog re s i f denga n ge j a l a p ru r i t u s ,
s t e a t o r rhea , kekurangan vitamin larut lemak, dan penyakit tulang metabolik.2,3
7. Autoimmune hepatitis
Penyakit ini disebabkan oleh gangguan imunologis pada hati yang
menyebabkan inflamasi dan akhirnya jaringan parut dan sirosis. Temuan yang
umum didapatkan yaitu peningkatan globulin dalam serum, terutama globulin gamma.
8 . S i ro s i s j an tung .
Ka rena gaga l j a n tung k ron i s s i s i ka nan ya ng m enga rah pada
kemacetan hati.2,3
9. Penyakit Keturunan dan metabolik, antara lain:2,3,5
a) Defisiensi alpha1-antitripsin
Merupakan gangguan autosomal resesif. Pasien juga mungkin memiliki PPOK,
terutama jika mereka memiliki riwayat merokok tembakau. Serum AAT selalu
rendah.
b) Hemakhomatosis herediter
Biasanya hadir dengan riwayat keluarga sirosis, hiperpigmentasi kulit, diabetes
mellitus, pseudogout, dan / atau cardiomyopathy, semua karena tanda-
tanda overload besi. Labor akan menunjukkan saturasi transferin
puasa> 60% danferritin >300 ng/mL.
c ) P enyak i t Wi l son
Kelainan autosomal resesif yang ditandai dengan ceruloplasmin serum rendah dan
peningkatan kadar tembaga pada biopsi hati hati.
d) Penyakit simpanan glikogen tipe IV
e) Tirosinemia herediter
f ) Ga lak t o se mia
g) Intoleransi fruktosa herediter
10. Infeksi parasit yang berat seperti skistosomiasis.
3.1.4 PATOGENESIS
Sirosis sering didahului oleh hepatitis dan fatty liver (steatosis), sesuai
etiologinya. Jika etiologinya ditangani pada tahap ini, perubahan tersebut masih
sepenuhnya reversibel.2,3
Ciri patologis dari sirosis adalah pengembangan jaringan parut yang menggantikan
parenkim normal, memblokir aliran darah portal melalui organ dan mengganggu
fungsi normal. Penelitian terbaru menunjukkan peran penting sel stellata, tipe sel
yang biasanya meny i mpan v i t am in A , da l am pengem bangan s i ro s i s .
Ke rusa kan pa da pa renk im ha t i menyebabkan aktivasi sel stellata, yang menjadi
kontraktil (myofibroblast) dan menghalangi aliran darah dalam sirkulasi. Sel ini
mengeluarkan TGF-β1, yang mengarah pada respon fibrosis dan proliferasi jaringan
ikat. Selain itu, juga mengganggu kes e im bangan an t a r a m a t r ik s
me t a l l op ro t e i nase dan inh i b i to r a l ami (T IM P 1 dan 2 ) , menyebabkan
kerusakan matriks.2,3
Pita jaringan ikat (septa) memisahkan nodul-nodul hepatosit, yang pada
akhirnya menggantikan arsitektur seluruh hati yang berujung pada penurunan aliran darah di
seluruh hati. Limpa menjadi terbendung, mengarah ke hypersplenism dan peningkatan
sekuesterasi platelet. Hipertensi portal bertanggung jawab atas sebagian besar komplikasi
parah sirosis.2,3
3.1.5 MANIFESTASI KLINIS
Stadium awal sirosis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada
waktupas i en m e lakuka n peme r ik s aan ru t i n a t a u ka r ena ke l a ina n penyak i t
l a i n . G e ja l a aw a l sirosis (konpensata) meliputi perasaan mudah lelah dan
lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual, berat badan
menurun, pada laki-laki dapat timbulimpotensi, testis mengecil, buah dada membesar,
serta menurunnya dorongan seksualitas.2
Manifestasi klinis dari sirosis hati yang lanjut terjadi akibat dua tipe
gangguanf i s io log i s : kegaga l an pa re nk im ha t i dan h i pe r t e ns i po r t a l .
Ke gaga l an pe renk i m ha t i memperlihatkan gejala klinis berupa :
1 . Ik t e ru s
2 . As i t e s
3. Edema perifer
4. Kecenderungan perdarahan
5. Eritema Palmaris
6. Spider nevi
7. Fetor hepatikum
8. Ensefalopati hepatik 3,7,8
Sedangkan gambaran klinis yang berkaitan dengan hipertensi portal antara lain:
1. Varises oesophagus dan lambung
2. Splenomegali
3. Perubahan sum-sum tulang
4. Caput medusa
5 . As i t e s
6. Collateral veinhemorrhoid
7. Kelainan sel darah tepi (anemia, leukopeni dan trombositopeni)3,7,8
3.1.6 DIAGNOSIS
P ada saa t i n i , penegaka n d i agnos i s s i r o s i s ha t i t e rd i r i a t a s
peme r ik s aan f i s i s , l abo ra t o r ium, dan US G . P ada kas us t e r t en t u
d ipe r l ukan pem er ik s aan b i ops i ha t i a t au peritoneoskopi karena sulit
membedakan hepatitis kronik aktif yang berat dengan sirosis hati dini.2
a) Temuan Klinis pada Pemeriksaan Fisik
Ha t i : p e rk i r a an bes a r ha t i , b i a s a ha t i m embes a r pa da aw a l
s i r o s i s , b i l a ha t i mengecil artinya, prognosis kurang baik. Pada sirosis
hati, konsistensi hati biasanya kenyal/firm, pinggir hati biasanya tumpul
dan ada nyeri tekan pada perabaan hati.
1. Limpa : pembesaran limpa/splenomegali.
2. Perut & ekstra abdomen : pada perut diperhatikan vena kolateral dan
ascites.
3. Manifestasi diluar perut : perhatikan adanya spider navy pada
tubuh bagian atas, bahu, leher, dada, pinggang, caput medussae,
dan tubuh bagian bawah. Perlu diperhatikan adanya eritema palmaris,
ginekomastia, dan atrofi testis pada pria. Bisa juga dijumpai hemoroid.2,5
b) Laboratorium
1. Aminotransferases - AST dan ALT meningkat cukup tinggi,
dengan AST>ALT. Namun, aminotransferase normal tidak
menyingkirkan sirosis.
2. Fosfatase alkali - biasanya sedikit lebih tinggi.
3. GGT - berkorelasi dengan tingkat AP. Biasanya jauh lebih tinggi pada
penyakithati kronis karena alkohol.
4. Bilirubin - dapat meningkat sebagai tanda sirosis sedang berlangsung.
5 . Al bumin - r e ndah a k iba t da r i m enurunnya fungs i s i n t e t i s
o l eh ha t i de ngan sirosis yang semakin memburuk.
6. Waktu prothrombin - meningkat sejak hati mensintesis faktor pembekuan.
7. Globulin - meningkat karena shunting antigen bakteri jauh dari hati ke
jaringan limfoid.
8. Serum natrium - hiponatremia karena ketidakmampuan untuk
mengeluarkan air bebas akibat dari tingginya ADH dan aldosteron.
9. Trombositopenia - karena splenomegaly kongestif dan
menurunnya sintesis thrombopoietin dari hati. Namun, ini jarang
menyebabkan jumlah platelet<50.000 / mL.
10. Leukopenia dan neutropenia - karena splenomegaly dengan marginasi
limpa.
11. Defek koagulasi - hati memproduksi sebagian besar faktor-faktor
koagulasidan dengan demikian koagulopati berkorelasi dengan
memburuknya penyakit hati.3,5
c) Pemeriksaan Penunjang Lainnya
1. Radiologi : dengan barium swallow dapat dilihat adanya varises esofagus
untuk konfirmasi hepertensi portal.
2. Esofagoskopi: dapat dilihat varises esofagus sebagai komplikasi sirosis
hati/hipertensi portal.
3. Ultrasonografi : pada saat pemeriksaan USG sudah mulai
dilakukan sebagaialat pemeriksaa rutin pada penyakit hati. Yang dilihat
pinggir hati, pembesaran, permukaan, homogenitas, asites, splenomegali,
gambaran vena hepatika, venaporta, pelebaran saluran empedu/HBD,
daerah hipo atau hiperekoik atau adanya SOL (space occupyin lesion).
Sonografi bisa mendukung diagnosis sirosis hati terutama stadium
dekompensata, hepatoma/tumor, ikterus obstruktif batu kandung
empedu dan saluran empedu, dan lain lain.
4. Pemeriksaan penunjang lainnya adalah pemeriksaan cairan asites
denganmelakukan pungsi asites. Bisa dijumpai tanda-tanda infeksi
(peritonitisbakterial spontan), sel tumor, perdarahan dan eksudat,
dilakukan pemeriksaanmikroskopis, kultur cairan dan pemeriksaan kadar
protein, amilase dan lipase.5
3.1.7 KOMPLIKASI
Morbiditas dan mortalitas sirosis sangat tinggi akibat komplikasinya.
Kualitas hidup pasien sirosis diperbaiki dengan pencegahan dan penanganan
komplikasinya.2,3,7
P er i t on i t i s bak t e r i a l s pon tan , ya i t u i n f e ks i c a i r a n a s i t e s o l eh
sa tu j en i s bakteri tanpa ada bukti infeksi sekunder intra abdominal. Biasanya
pasien ini tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri abdomen.2,3,7
Sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa
oligouri,peningkatan ureum damn kreatinin tanpa adanya kelaianan organik
ginjal. Kerusakan hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang
berakibat pada penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG).2,3,7
Varises esofagus. 20-40% pasien sirosis dengan varises esofagus pecah
yang menimbulkan perdarahan. Angka kematiannya sangat tinggi,
sebanyak dua per tiganya akan meninggal dalam waktu 1 tahun walaupun
dilakukan tindakan untuk menanggulangi varises ini dengan beberapa cara.2,3,7
Ensefalopati hepatik, merupakan kelaianan neuropsikiatrik akibat disfungsi hati.
Mula-mula ada gangguan tidur (insomnia dan hipersomnia), selanjutnya dapat
timbul gangguan kesadaran yang berlanjut sampai koma.2,3,7
Sindrom hepatopulmonal, terdapat hidrothoraks dan hipertensi
portopulmonal.2
3.1.8 PENATALAKSANAAN
Etiologi sirosis mempengaruhi penanganan sirosis. Tetapi ditujukan
mengurangiprogresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah
kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatik
diberikan diet yang mengandung protein 1 gr/KgBB dan kalori sebanyak 2000-3000
kkal/hari.2
Tatalaksana pasien sirosis kompensata
Bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasienditujukan
untuk menghilangkan etiologi, diantaranya:
Alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati
dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbalbisa
menghambat kolagenik.
Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif.
Pada hemokromatosis flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi besi
menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.
P ada penya k i t ha t i nona l koho l ik , m enurunkan be ra t bada n akan
menc egah terjadinya sirosis.
Pada hepatitis B, IFN alfa dan lamivudin (analog nukleosida) merupakan terapi
utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara
oral setiap hari selama 1 tahun. Namun pemberian lamivudin setelah 9-
12 bulan menimbulkan mutasi YMDD sehingga terjadi resistensi obat. IFN
Alfa diberikan secara suntikan subkutan 3 MIU, 3 kali seminggu selama 4-6
bulan.
P ada hepa t i t i s C k ron ik , kombi nas i i n t e r f e ron dengan r i ba v i r in
merupa kan terapi standar. Interferon diberikan secara suntikan 5 MIU 3 kali
seminggu dan dikombinasi dengan ribavirin 800-1000 mg/ hari selama 6 bulan.2
Tatalaksana pasien sirosis dekompensata
A s i t e s :
o Tirah baring
o Diet rendah garam, 5,2 gr atau 90 mmol/ hari.
o Diuretik, awalnya dengan pemberian spironolakton dengan
dosis200-200 mg 1x/hari. Respons diuretik bisa dimonitor
dengan penurunanberat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema
kaki atau 1 kh/hari denganadanya edema kaki. Bilamana pemberian
spironolakton tidak adekuat, bisa dikombinasi dengan furosemid dengan
dosis 20-40 mg/hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar.
Pengeluaran asites bisa hingga 4-6 Ldan dilindungi dengan
pemberian albumin.
Ensefalopati hepatik
o Laktulosa membantu pasien untuk mengeluarkan amonia.
o Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil
amonia, diet rendah protein dikurangi sampai 0,5 gr/ kgBB/ hari, terutama
diberikan yang kaya asam amino rantai cabang.
Varises esophagus
o Sebelum berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat penyekat
beta (propranolol).
o Waktu perdarahan akut bisa diberikan preparat somatostatin
atauoktreotid, diteruskan dengan tindakan skleroterapi atau ligasi
endoskopi.
Peritonitis bakterial spontan
o Diberikan antibiotika seperti sefotaksim IV, amoksilin, atau
aminoglikosida.
Sindrom hepatorenal
o Mengatasi perubahan sirkulasi darah di hati,
mengatur keseimbangan garam dan air.
Transplantasi hati; terapi defenitif pada pasien sirosis dekompensata.
Namunsebelum dilakukan transplantasi ada beberapa kriteria yang
harus dipenuhi resipien dahulu.2
3.1.9 PROGNOSIS
Prognosis sirosis sangat bervariasi dipengaruhi sejumlah faktor, meliputi etiologi,
beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit lain yang menyertai.2
Klasifikasi Child-Pugh juga digunakan untuk menilai prognosis pasien sirosis
yangakan menjalani operasi, variabelnya meliputi konsentrasi bilirubin, albumin, ada
tidaknya asites, ensefalopati dan juga status nutrisi. Klasifikasi ini terdiri dari
Chil A, B dan C. KlasifikasiChild-Pugh berkaitan dengan kelangsungan hidup. Angka
kelangsungan hidup selama 1 tahun untuk pasien Child A, B dan C berturut-turut 100, 80,
dan 45%.2
Klasifikasi Child Pasien Sirosis Hati dalam Terminologi Cadangan fungsi hati
Derajat kerusakan Mininal Sedang Berat
Bilirubin serum
(mu.mol/dl)
< 35 35-50 >50
Albumin serum
(gr/dl)
>35 30-35 <30
Asites Nihil Mudah dikontrol Sukar
PSE/ensefalopati Nihil Minimal Berat/koma
Nutrisi Sempurna Baik Kurang/kurus
Di unduh dari: Sudoyo Aru W, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, K Marcellus S, Setiati Siti.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I Edisi IV. Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit
dalam fakultas kedokteran universitas indonesia.2006. hal. 446
3.2 MELENA
3.3 HEPATITIS C10
3.3.1 Pendahuluan
Infeksi VHC merupakan masalah yang besar karena pada sebagian besar kasus
menjadi hepatitis ktonik yang dapat membawa pasien pada sirosis hati dan kanker hati. Di
Negara maju, infeksi VHC merupakan salah satu indikasi utama transplantasi hati.
3.3.2 Epidemiologi
Infeksi VHC didapatkan di seluruh dunia. Dilaporkan lebih kurang 170 juta orang di
seluruh dunia terinfeksi virus VHC. Prevalensinya berbeda-beda di seluruh dunia. Di
Indonesia belum ada data resmi mengenai infeksi VHC tetapi dari laporan pada lembaga
transfuse darah didapatkan lebih kurang 2% positif terinfeksi oleh VHC. Pada studi populasi
umum di Jakarta prevalensi VHC lebih kurang 4%.
Umumnya transmisi terbanyak berhubungan dengan transfusi darah terutama yang
didapatkan sebelum dilakukannya penapisan donor darah untuk VHC oleh PMI. Infeksi dari
ibu ke anak juga dilaporkan namun jarang terjadi, biasanya dihubungkan dengan ibu yang
menderita HIV karena jumlah VHC di kalangan ibu-ibu yang menderita HIV biasanya tinggi.
Prevalensi yang tinggi didapatkan pada beberapa kelompok pasien seperti pengguna
narkotika suntik (>80%) dan pasien hemodialysis (70%). Pada kelompok pengguna narkotika
suntik ini selain infeksi VHC yang tinggi, ko-infeksi dengan HIV juga dilaporkan tinggi
(80%).
3.3.3 Patogenesis
Kerusakan sel hati akibat VHC atau partikel virus secara langsung masih belum jelas.
Namun beberapa bukti menunjukkan adanya mekanisme imunologis yang menyebabkan
kerusakan sel-sel hati. Protein core misalnya ditengarai dapat menimbulkan reaksi pelepasan
radikal oksigen pada mitokondria. Selain itu, protein ini diketahui pula mampu beerinteraksi
pada mekanisme signaling dalam inti sel terutama berkaitan dengan penekanan regulasi
imunologik dan apoptosis. Adanya bukti-bukti ini menyebabkan kontroversi apakah VHC
bersifat sitotoksis atau tidak, terus berlangsung.
Reaksi cytotoxic T-cell (CTL) spesifik yang kuat diperlukan untuk terjadinya
eliminasi menyeluruh VHC pada infeksi akut. Pada infeksi kronik, reaksi CTL yang relatif
lemah masih mampu merusak sel-sel hati dan melibatkan respon inflamasi di hati tetapi tidak
bias menghilangkan virus maupun menekan evolusi genetik VHC sehingga kerusakan sel hati
berjalan terus-menerus. Kemampuan CTL tersebut dihubungkan dengan aktivitas limfosit sel
T-helper (Th) spesifik VHC. Adanya pergeseran dominasi aktivitas Th1 menjadi Th2
berakibat pada reaksi toleransi dan melemahnya respons CTL.
Reaksi inflamasi yang dilibatkan melalui sitokin-sitokin pro-inflamasi seperti TNF-α,
TGF-β1, akan menyebabkan rekrutmen sel-sel inflamasi lainnya dan menyebabkan aktivasi
sel-sel stelata di ruang disse hati. Sel-sel yang khas ini sebelumnya dalam keadaan ‘tenang’
(quiescent) kemudian berproliferasi dan menjadi aktif menjadi sel-sel miofibroblas yang
dapat menghasilkan matriks kolagen sehingga terjadi fibrosis dan berperan aktif dalam
menghasilkan sitokin-sitokin pro inflamasi. Mekanisme ini dapat timbul terus-menerus
karena reaksi inflamasi yang terjadi tidak berhenti sehingga fibrosis semakin lama semakin
banyak dan sel-sel hati yang ada semakin sedikit. Proses ini dapat menimbulkan kerusakan
hati lanjut sirosis hati.
Pada gambaran histopatologis pasien hepatitis C kronik dapat ditemukan proses
inflamasi kronik berupa nekrosis gerigit maupun lobular, disertai dengan fibrosis di daerah
portal yang lebih lanjut dapat masuk ke lobulus hati (fibrosis septal) dan kemudian dapat
menyebabkan nekrosis dan fibrosis jembatan (bridging necrosis/fibrosis). Gambaran yang
agak khas untuk infeksi VHC adalah agregat limfosit di lobulus hati, namun tidak didapatkan
pada semua kasus inflamasi akibat VHC.
Gambaran histopatologis pada infeksi kronik VHC sangat berperan dalam
menentukan prognosis dan keberhasilan terapi. Secara histopatologis dapat dilakukan skoring
untuk inflamasi dan fibrosis di hati sehingga memudahkan untuk keputusan terapi, evaluasi
pasien maupun komunikasi antara ahli patologi.
3.3.4 Karakteristik Klinis dan Perjalanan Penyakit
Umumnya infeksi akut VHC tidak memberi gejala atau hanya bergejala minimal.
Hanya 20-30% kasus saja yang menunjukkan tanda hepatitis akut 7-8 minggu (berkisar 2-26
minggu) setelah terjadinya paparan. Walaupun demikian, infeksi akut sangat sukar dikenal
karena pada umunya tidak terdapat gejala sehingga sulit pula menentukan perjalanan
penyakit akibat infeksi VHC. Hepatitis fulminant sangat jarang terjadi. ALT meninggi sampai
berapa kali di atas batas atas nilai normal tetapi umumnya tidak sampai lebih dari 1000 U/L.
Infeksi akan menjadi kronik pada 70-90% kasus dan sering kali tidak menimbulkan
gejala apapun walaupun proses kerusakan hati berjalan terus. Hilangnya VHC setelah
terjadinya hepatitis kronik sangat jarang terjadi. Diperlukan waktu 20-30 tahun untuk
terjadinya sirosis hati yang akan terjadi pada 15-20% pasien hepatitis C kronik.
Kerusakan hati akibat infeksi kronik tidak dapat tergambar pada pemeriksaan fisik
maupun laboratorik kecuali bila sudah terjadi sirosis hati. Pada pasien di mana ALT selalu
normal, 18-20% sudah terdapat kerusakan hati yang bermakna, sedangkan di antara pasien
dengan peningkatan ALT, hampir semuanya sudah mengalami kerusakan hati sedang sampai
berat.
Progresifitas hepatitis kronik menjadi sirosis hati terhantung beberapa faktor risiko
yaitu: asupan alkohol, ko-infeksi dengan virus hepatitis B atau HIV, jenis kelamin laki-laki,
dan usia tua saat terjadinya infeksi. Setelah terjadi sirosis hati, maka dapat timbul kanker hati
dengan frekuensi 1-4% tiap tahunnya.
Ko-infeksi VHC dengan HIV diketahui menjadi masalah karena dapat memperburuk
perjalanan penyakit hati yang kronik, mempercepat terjadinya sirosis hati dan mungkin pula
mempercepat prenurunan sistem kekebalan tubuh. Adanya ko-infeksi VHC dengan HIV juga
menyulitkan terapi dengan obat-obatan anti retrovirus karena memperbesar proporsi pasien
yang menderita gangguan fungsi hati dibandingkan mereka yang tidak terdapat ko-infeksi
VHC-HIV. Di Indonesia, permasalahan ko-infeksi VHC dan HIV banyak ditemukan pada
pengguna narkotika suntik yang menggunakan alat suntik bergantian.
Ko-infeksi VHC dengan virus hepatitis B juga memperburuk perjalanan penyakit
pasien. Dilaporkan kejadian sirosis hati relatif lebih banyak ditemukan pada mereka yang
menderita ko-infeksi VHC-VHB dibandingkan dengan VHC atau VHB saja. Selain itu, risiko
terjadinya kanker hati meningkat menjadi amat tinggi pada mereka yang menderita ko-infeksi
ini dibandingkan hanya terinfeksi salah satu virus tersebut saja.
Selain gejala-gejala gangguan hati, dapat pula timbul manifestasi ekstra hepatik,
antara lain: krioglobulinemia dengan komplikasi-komplikasinya (glomerulopati, kelemahan,
vaskulitis, purpura, atau arthralgia), porphyria cutanea tarda, sicca syndrome, atau lichen
planus. Patofisologi gangguan ekstra hepatik ini belum diketahui pasti, namun dihubungkan
dengan kemampuan VHC untuk menginfeksi sel-sel limfoid sehingga mengganggu respons
sistem imunologis.
3.3.5 Diagnosis
Infeksi oleh VHC dapat diidentifikasi dengan memeriksa antibodi yang dibentuk
tubuh terhadap VHC bila virus ini menginfeksi pasien. Antibodi ini akan bertahan lama
setelah infeksi terjadi dan tidak mempunyai arti protektif. Walaupun pasien dapat
menghilangkan infeksi VHC pada infeksi akut, namun antibody terhadap VHC masih terus
bertahan bertahun-tahun (18-20 tahun).
Deteksi antibody terhadap VHC dilakukan umumnya dengan teknik enzyme immune
assay (EIA). Antibody terhadap VHC dapat dideteksi pada minggu ke 4-10 dengan
sensitivitas mencapai 99% dan spesifisitas lebih dari 90%. Negative palsu dapat terjadi pada
pasien dengan defisiensi sistem kekebalan tubuh seperti pada pasien HIV, gagal ginjal, atau
pada krioglobulinemia.
Deteksi RNA VHC digunakan untuk mengetahui adanya virus ini dalam tubuh pasien
terutama dalam serum sehingga memberikan gambaran infeksi sebenarnya. Jumlah VHC
dalam serum maupun hati relatif sangat kecil sehingga diperlukan teknik amplifikasi agar
dapat terdeteksi. Teknik PCR dimana gen VHC digandakan oleh enzim polymerase
umumnya digunakan untuk menentukan adanya VHC (secara kualitatif) maupun menentukan
jumlah virus dalam serum (kuantitatif).
Selain untuk pemeriksaan pada pasien, penentuan adanya infeksi VHC dilakukan
pada penapisan darah untuk transfusi darah. Umumnya unit-unit transfusi darah
menggunakan deteksi anti-VHC dengan EIA maupun dengan cara imunokromatografi,
namun masih terdapat kasus-kasus pasien yang terinfeksi oleh VHC walaupun deteksi anti-
VHC sudah dinyatakan negatif.
3.3.6 Penatalaksanaan
Untuk penatalaksanaan infeksi VHC beberapa badan peneliti hati di dunia sudah
mengeluarkan panduan penatalaksanaan. Pasien biasanya diketahui terinfeksi VHC setelah
adanya pemeriksaan anti-HCV yang positif.
Indikasi terapi pada hepatitis C kronik apabila didapatkan peningkatan nilai ALT
lebih dari batas atas nilai normal. Menurut panduan penatalaksanaan, nilai ALT lebih dari 2
kali batas atas nilai normal. Hal ini mungkin tidak berlaku mutlak karena berapapun nilai
ALT di atas batas nilai normal biasanya sudah menunjukkan adanya fibrosis yang nyata bila
dilakukan biopsy hati. Bila nilai ALT normal, harus tetap diketahui terlebih dahulu apakah
nilai normal ini menetap (persisten) atau berfluktuasi dengan memonitor ALT setiap bulan
untuk 4-5 kali pemeriksaan. Nilai ALT yang berfluktuasi merupakan indikasi terapi, namun
pada nilai ALT yang normal perlu dilakukan biopsi untuk mengetahui fibrosis yang sudah
terjadi.
Pada pasien yang tidak terjadi fibrosis hati (F0) atau hanya merupakan fibrosis hati
ringan (F1), mungkin terapi tidak perlu dilakukan karena mereka biasanya tidak berkembang
menjadi sirosis hati setelah 20 tahun menderita infeksi VHC. Nilai fibrosis hati pada tingkat
menengah atau tinggi, sudah merupakan indikasi untuk terapi sedangkan apabila sudah
terdapat sirosis hati, maka pemberian interferon harus berhati-hati karena dapat menimbulkan
penurunan fungsi hati secara bermakna.
Pengobatan hepatitis C kronik adalah dengan menggunakan interferon alfa dan
ribavirin. Umumnya disepakati bila genotype VHC adalah genotype 1 dan 4 maka terapi
perlu diberikan selama 48 minggu dan bila genotype 2 dan 3, terapi cukup diberikan selama
24 minggu.
Kontra indikasi terapi adalah berkaitan dengan penggunaan interferon dan ribavirin
tersebut. Pasien yang berumur lebih dari 60 tahun, Hb <10g/dL, leukosit darah <2500/uL,
trombosit <100.000/uL, adanya gangguan jiwa yang berat, dan adanya hipertiroid tidak
diindikasikan untuk terapi dengan interferon dan ribavirin. Pasien dengan gangguan ginjal
juga tidak diindikasikan menggunakan ribavirin karena dapat memperberat gangguan ginjal
yang terjadi.
Untuk interferon alfa yang konvensional, diberikan setiap 2 hari atau 3 kali seminggu
dengan dosis 3 juta unit subkutan setiap kali pemberian interferon yang telah diikat dengan
poly-ethylen glycol (PEG) atau dikenal dengan Peg-interferon, diberikan setiap minggu
dengan dosis 1,5 ug/kgBB/kali (untuk Peg-Interferon 12 KD) atau 190 ug untuk Peg-
Interferon 40 KD).
Pemberian interferon diikuti dengan pemberian ribavirin dengan dosis pada pasien
dengan berat badan < 50 kg 800 mg setiap hari, 50-70 kg 1000 mg setiap hari, dan >70 kg
1200 mg setiap hari dibagi dalam 2 kali pemberian.
Pada akhir terapi dengan interferon dan ribavirin, perlu dilakukan pemeriksaan RNA
VHC secara kualitatif untuk mengetahui apakah VHC resisten terhadap pengobatan dengan
interferon yang tidak akan bermanfaat untuk memberikan terapi lanjutan dengan interferon
dan tidak memerlukan pemeriksaan RNA VHC 6 bulan kemudian. Keberhasilan terapi dinilai
6 bulan setelah pengobatan dihentikan dengan cara memeriksa RNA VHC kualitatif. Bila
ditemukan positif, maka pasien dianggap kambuh. Mereka yang tergolong kambuh ini dapat
kembali diberikan interferon dan ribavirin nantinya dengan dosis yang lebih besar atau bila
sebelumnya mengguunakan interferon konvensional, Peg-Interferon mungkin akan
bermanfaat.
Efek samping penggunaan interferon adalah demam dan gejala-gejala yang
menyerupai flu (nyeri otot, malaise, tidak nafsu makan, dan sejenisnya), depresi dan
gangguan emosi, kerontokan rambut lebih dari noemal, depresi sumsum tulang,
hiperurisemia, dan kadang-kadang dapat timbul tiroiditis. Ribavirin dapat menyebabkan
penurunan Hb. Untuk mengantisipasi timbulnya efek samping, pemantauan pasien mutlak
perlu dilakukan. Terapi tidak dilanjutkan bila Hb <8g/dL, leukosit <1500/uL atau kadar
netrofil <500/uL, trombosit <50.000/uL, depresi berat yang tidak teratasi dengan pengobatan
anti depresi, atau timbul gejala-gejala tiroiditis yang tidak teratasi.
Keberhasilan terapi dengan interferon dan ribavirin untuk eradikasi VHC lebih kurang
60%. Tingkat keberhasilan terapi tergantung pada beberapa hal. Pada pasien dengan genotype
1hanya 40% pasien yang berhasil dieradikasi, sedangkan pada genotype lain hampir lebih
dari 70%. Peg-Interferon dilaporkan mempunyai tingkat keberhasilan terapi yang lebih baik
daripada interferon konvensional. Hal-hal yang berpengaruh dengan respons terapi interferon
adalah semakin tua umur, semakin lama infeksi terjadi, jenis kelamin laki-laki, berat badan
berlebih (obese), dan tingkat fibrosis hati yang berat.
Pada hepatitis C akut, keberhasilan terapi dengan interferon lebih baik daripada pasien
hepatitis C kronik. Pada kelompok pasien ini interferon dapat digunakan secara monoterapi
tanpa ribavirin dan lama terapi hanya 3 bulan. Namun sulit untuk menemukan infeksi akut
VHC karena tidak ada gejala akibat infeksi virus ini sehingga umumnya tidak diketahui.
Pada ko-infeksi HCV-HIV, terapi interferon dan ribavirin dapat diberikan bila jumlah
CD4 pasien ini >200 sel/mL. bila CD4 kurang dari nilai tersebut, respons terapi sangat tidak
memuaskan.
Untuk pasien ko-infeksi VHC-VHB, dosis pemberian interferon untuk VHC sudah
sekaligus mencukupi untuk terapi VHB, sehingga kedua virus dapat diterapi bersama-sama.
3.4 PANSITOPENIA
BAB IV
ANALISIS KASUS
4.1 DM Tipe 2 dengan Riwayat Hipoglikemia
Dasar diagnosis :
Anamnesis : lemas, penurunan kesadaran sejak 1 hari SMRS dan riwayat DM tipe 2 sejak 4 bulan yang lalu dan mengkonsumsi OHO (metformin dan glibenklamid)
Pemeriksaan Fisik : kesadaran apatis
Pemeriksaan Penunjang : GDS: 38
DM pada pasien ditengarai didapatkan dari keturunan di mana ayah pasien juga menderita
DM dan pola hidup pasien yang tidak sehat. Hipoglikemia pada pasien ditengarai akibat dari
kurangnya asupan makan pasien karena mual dan muntah yang dialami pasien selama 1
minggu SMRS dan pasien tetap mengkonsumsi OHO yang dapat menyebabkan hipoglikemia,
yaitu golongan sulfonilurea (glibenklamid). Glibenklamid meningkatkan sekresi insulin yang
menyebabkan penyerapan gula darah meningkat namun tidak diimbangi dengan asupan
makanan yang adekuat karena mual dan muntah sehingga terjadi penurunan kadar gula darah
dibawah normal dan terjadilah hipoglikemia. Hipoglikemia pada pasien ini teratasi di IGD
dengan pemberian dextrose 40% disertai pemantauan GDS ketat dan penghentian OHO.
4.2 Dispepsia Sekunder e.c DILI e.c OAT
Dasar diagnosis :
Anamnesis : Mual muntah (dispepsia) pada pasien disertai mata dan kulit berwarna kuning sejak 1 minggu SMRS dan riwayat minum OAT sejak 1 bulan SMRS. Tidak ada riwayat alkoholik dan sakit kuning
Pemeriksaan Fisik : nyeri tekan epigastrium, sklera ikterik +/+, kulit kuning sekujur tubuh
Pemeriksaan Penunjang : bilirubin total (12,80), direk (10,50) dan indirek (2,30) dan kenaikan SGOT/SGPT (82/43)
DILI menyebabkan perangsangan pada ENS. OT/PT serta mediator inflamasi karena
kerusakan hepar merangsang CTZ di area postrema sehingga merangsang mual dan muntah
pada pasien. Kerusakan pada hepar juga menyebabkan statis pada bile duct di hepar sehingga
terjadi peningkatan bilirubin yang terakumulasi di perifer menyebabkan gejala ikterik pada
pasien. Dari hasil data laboratorium dan pemeriksaan fisik di atas maka dapat disimpulkan
DILI yang terjadi adalah cholestasis karena OT/PT meningkat tidak terlalu tinggi dan terjadi
peningkatan bilirubin yang cukup tinggi serta ikterik yang jelas di mata dan kulit pasien.
DILI pada pasien kemungkinan besar disebabkan oleh OAT (Rifampisin, Isoniazid,
Pirazinamid) yang pasien konsumsi dalam 1 bulan terakhir, karena tidak adanya faktor lain
seperti Hepatitis dan riwayat alkoholik serta konsumsi obat-obatan lain yang dapat
menyebabkan DILI. Oleh akrena itu pemberian OAT sempat dihentikan. Untuk mengatasi
adanya gangguan akibat kerusakan hepar ini diberikan obat hepatoprotektor yaitu curcuma
dan pemberian asam ursodeoksikolik sebagai pengganti asam empedu. Sedangkan untuk
mencegah mual dan muntah pada pasien diberikan ranitidine dan domperidon untuk
menghilangkan rasa tidak nyaman di lambung serta mual.
Selanjutnya setelah DILI membaik, OAT diberikan kembali. OAT yang diberikan sendiri merupakan OAT yang jarang menyebabkan DILI yaitu streptomicin dan ethambutol
4.3 TB Paru on OAT Kategori I
Dasar diagnosis :
Anamnesis : riwayat batuk lama berdarah disertai penurunan berat badan dan diagnosa TB sejak 1 bulan SMRS dan telah diberikan OAT selama 1 bulan
Pemeriksaan Fisik : -
Pemeriksaan Penunjang : -
4.4 Anemia NN e.c ACD
Dasar diagnosis :
Anamnesis : riwayat batuk lama berdarah disertai penurunan berat badan dan diagnosa TB sejak 1 bulan SMRS
Pemeriksaan Fisik : CA +/+
Pemeriksaan Penunjang : Hb 9,6; VER/HER/KHER normal
Anemia NN ec ACD pada pasien ini kemungkinan disebabkan oleh penyakit kronis pasien
serta kerusakan hepar sehingga menghambat pelepasan eritropoietin yang mengakibatkan
pembentukan eritrosit menjadi lebih lambat dan menyebabkan anemia normositik
normokrom.
4.5 Hiponatremia Hipoosmolar Berat ec GI loss, Hipokalemia Sedang ec GI loss
Dasar diagnosis :
Anamnesis : muntah >3x sehari, susah makan selama 1 minggu
Pemeriksaan Fisik : -
Pemeriksaan Penunjang : Na 115 mmol/l, K 2.25 mmol/l, Cl 72 mmol/l
Mual dan muntah pada pasien juga menyebabkan terjadinya hiponatremia hipoosmolar hipovolemik (115) dan hipokalemia (72) sehingga dilakukan koreksi dengan pemberian NS, KCl, KSR dan NaCl 3% secara perlahan untuk melakukan koreksi Na dan K pada pasien.
4.6 Neuropati DM
Dasar diagnosis :
Anamnesis : Tangan sering kesemutan
Pemeriksaan Fisik : -
Pemeriksaan Penunjang : -
Pasien juga mengeluhkan tangan sering kesemutan yang ditengarai adalah akibat dari
neuropati DM. Kenaikan gula darah akan membuat penumpukan sorbitol di neuron perifer
sehingga mengganggu proses penghantaran impuls di neuron perifer sehingga tangan akan
terasa kesemutan. Oleh karena itu pasien diberikan Mecobalamin sebagai neuroprotektor.
4.7 Dislipidemia
Dasar diagnosis :
Anamnesis : riwayat jarang berolahraga dan makan tidak terkontrol
Pemeriksaan Fisik : -
Pemeriksaan Penunjang : TGA245 mg/dl
Kemungkinan dislipidemia pada pasien disebabkan oleh gaya hidup pasien yang jarang
berolahraga dan makan yang tidak diatur sehingga kadar TGA bebas di darah meningkat
seiring dengan meningkatnya asupan lemak pasien dan pembakaran serta pemakaian lemak
yang kurang. Untuk menurunkan kadar TGA pada pasien diberikan simvastatin untuk
menghambat HMG Co-A reduktase sehingga menghambat pembentukan kolestrol.
4.8 Infeksi Saluran Kemih
Dasar diagnosis :
Anamnesis : -
Pemeriksaan Fisik : Nyeri tekan suprapubik
Pemeriksaan Penunjang : Bakteri + pada urin, nitrit + pada urin
ISK kemungkinan terjadi karena hygiene pasien selama dirawat kurang baik sehingga mudah terjadi ISK. Tingginya kadar gula pasien akibat DM juga dapat mempermudah terjadinya ISK. Namun karena keluhan yang minimal serta hasil lab yang menunjukkan bahwa ISK
tidak terlalu masif, sehingga pengobatan tidak dilakukan secara radikal dan dijalankan bersama pengobatan OAT sambungan yaitu Ethambutol dan Streptomycin.
Secara keseluruhan pasien tertangani dengan baik. Namun ada 1 masalah yang kurang
diperhatikan pada kasus ini yaitu alkalosis metabolik e.c GI loss sesuai hasil AGD pada
18/9/15 (pH: 7,527 HCO3: 30,6) yang tidak dimasukkan ke dalam daftar masalah. Namun hal
ini telah ditangani dengan pemberian larutan isotonik NaCl yang ditambahkan KCl.
BAB V
KESIMPULAN
DILI adalah salah satu penyebab kerusakan hepar non-infeksi paling banyak di dunia
Obat-obatan anti tuberkulosis (OAT) adalah salah satu penyebab tersering DILI di Indonesia berhubung tingginya angka tuberkulosis di Indonesia
Tipe patologi hepar yang terjadi pada DILI adalah sitotoksik (hepatitis), kolestasis, dan campuran
Gejala klinis HCC adalah mual, muntah, dan ikterik
Pemeriksaan DILI meliputi enzim transaminase, alkali fosfatase dan bilirubin
Sebelum menegakkan diagnosis DILI, penyebab lain harus terlebih dahulu disingkirkan
Prinsip pengobatan DILI adalah menghentikan obat-obatan pencetus dan terapi suportif sesuai keadaan klinis pasien.
DAFTAR PUSTAKA
1. Anonim. Cirrhosis. 2009; http://www.mayoclinic.com/print/cirrhosis
[d i aks e s 19 J un i 2011].
2. Nurdjanah Siti. Sirosis Hati. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
I. EdisiIV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.
443-4463.
3. Chung Raymond T, Padolsky Daniel K. Cirrhosis and Its Complications.
Dalam:Harrison’s Principle of Internal Medicine. Edisi XVI. 2005.
Newyork: McGraw-Hill Companies. 1844-1855.
4. Sutadi Sri M. Sirosis Hepatis. 2003; http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam
srimaryani5.pdf [ d i aks e s 19 J un i 2011].
5. Anonim Sirosis Hepatis. 2008; http://cintalestari.wordpress.com/2008/11/23/sirosis-
hepatis/ [d i aks e s 19 J un i 2011]
6. Dufour J F. Non alcoholic Steatohepatitis. http://orpha.net/data/patho/GB/uk-
NASH.pdf [d i aks e s 19 J un i 2011].
7 . S c h i a n o T h o m a s D , B o d e n h e i m e r H e n r y C . C o m p l i c a t i o n o f
C h r o n i c L i v e r Disease. Dalam: Current Doagnosis and Treatment
Gastroenterology. Edisi II.USA: McGraw-Hill Companies, 2003. 639-6638.
8. Lindseth Gleda N. Sirosis Hati. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis
Proses-prosesPenyakit Volume I. Edisi VI. Jakarta: EGC, 2005. 493-501.9.
9. Ghany Marc, Hofnagle Jay A. Approach to the Patient With Kiver Disease. Dalam:Harrison’s Principle of Internal Medicine. Edisi XVI. 2005. Newyork: McGraw-Hill Companies. 1813
10. Ipd hepatitis c