Upload
daoes-mbol
View
104
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
PROBLEMATIKA PENEGAKAN KEADILAN SUBSTANTIF
A. PENDAHULUAN
Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil. Sementara
adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan
menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu : pertama tidak merugikan
seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika
kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil.
Pada praktiknya, pemaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa hukum
ternyata masih debatable. Banyak pihak merasakan dan menilai bahwa lembaga pengadilan
kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam
memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak lepas dari cara
pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan
konkretisasi hukum. Sedangkan seyogyianya hakim mampu menjadi living interpretator
yang mampu menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh
kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena
hakim bukan lagi sekedar la bouche de la loi (corong undang-undang). Artinya, hakim
dituntut untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan
normatif undang-undang, sehingga keadilan substansial selalu saja sulit diwujudkan melalui
putusan hakim pengadilan, karena hakim dan lembaga pengadilan hanya akan memberikan
keadilan formal.
B. KEADILAN SUBSTANTIF DAN KEADILAN PROSEDURAL
Permasalahan sebagaimana tergambar pada bagian pendahuluan di atas agaknya tidak
dapat dilepaskan dari dikotomi antara keadilan substantif dan keadilan procedural. Keadilan
substantif di dalam Black’s Law Dictionary 7th Edition dimaknai sebagai : Justice Fairly
Administered According to Rules of Substantive Law, Regardless of Any Procedural Errors
Not Affecting The Litigant’s substantive Rights. (Black’s Law Dictionary, 7th Edition, p. 869)
[“Keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa
melihat kesalahan-kesalahan procedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif
Penggugat”]. Ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan
secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara
formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil
(hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar substansi
keadilan). Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim harus selalu
mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan substantif berarti hakim
bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap
berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan
sekaligus menjamin kepastian hukum.
Sebaliknya, merujuk pada definisi yang diberikan oleh Wikipedia, procedural justice
atau keadilan prosedural adalah : “Refers to the idea of fairness in the processes that
resolve disputes and allocate resources. One aspect of procedural justice is related to
discussions of the administration of justice and legal proceedings. This sense of procedural
justice is connected to due process (US), fundamental justice (Canada), procedural fairness
(Australia) and natural justice (other common law jurisdictions), but the idea of procedural
justice can also be applied to nonlegal contexts in which some process is employed to resolve
or divide benefits or burdens. Procedural justice concern the fairness and the transparency
of the processes by which decisions are made, and may be contrasted with distributive justice
(fairness in the distribution of rights or resources),and retributive justice (fairness in the
rectification of wrongs). Hearing all parties before a decision is made is one step which
would be considered appropriate to be taken in order that a process may then be
characterised as procedurally fair. Some theories of procedural justice hol that fair
procedural leads to equitable outcomes, even if the requirements of distributive or corrective
justice are not met”.
Terjemahan : “Keadilan prosedural menunjuk pada gagasan tentang keadilan dalam
proses-proses penyelesaian sengketa dan pengalokasian sumber daya. Salah satu aspek dari
keadilan prosedural ini berkaitan dengan pembahasan tentang bagaimana memberikan
keadilan dalam proses hukum. Makna keadilan procedural yang seperti ini dapat
dihubungkan dengan proses peradilan yang patut (Amerika Serikat), keadilan fundamental
(Kanada), keadilan prosedural (Australia), dan keadilan alamiah (Negara-negara Comon
Law lainnya), namun gagasan tentang keadilan prosedural ini dapat pula diterapkan
terhadap konteks non hukum di mana beberapa proses digunakan untuk menyelesaikan
konflik atau untuk membagi-bagi keuntungan atau beban. Dengan merujuk pada definisi di
atas, keadilan prosedural terkait erat dengan kepatutan dan transparansi dari proses-proses
pembuatan keputusan, dan konsep keadilan prosedural ini dapat dibedakan dengan konsep
keadilan distributif (keadilan dalam distribusi hak-hak atau sumber daya), dan keadilan
distributir (keadilan dalam membenahi kesalahan-kesalahan). Mendengarkan keterangan
semua pihak sebelum membuat keputusan merupakan salah satu langkah yang dianggap
tepat untuk diambil agar suatu proses dapat dianggap adil secara prosedural. Beberapa
teori tentang keadilan prosedural berpendirian bahwa prosedur yang adil akan membawa
hasil yang adil pula, sekalipun syarat-syarat keadilan distributif atau keadilan korektif tidak
terpenuhi”.
C. POSITIVISTIK ATAU MORALISTIK?
Guna membedah dikotomi antara keadilan substantif dan keadilan prosedural dalam
proses penegakan hukum, kiranya perlu dilakukan review terhadap akar filosofis dari
penegakan hukum itu sendiri. Mencermati pendapat Hans Kelsen, penegakan hukum oleh
hakim itu terikat pada teori positivisme, yaitu bahwa keadilan itu lahir dari hukum positif
yang ditetapkan manusia. Dalam hal ini, Hans Kelsen menekankan bahwa konsep keadilan
itu mencakup pengertian yang jernih dan bebas nilai. Hakim terikat dengan hukum positif
yang sudah ada, berdasarkan paham legisme dalam konsep positivisme, hakim hanya sebagai
corong undang-undang, artinya mau tidak mau hakim harus benar-benar menerapkan suatu
kejadian berdasarkan konsep hukum yang sudah ada.
Dalam praktiknya, konsep positivisme dalam penegakan hukum ini ternyata sangat jauh
dari keadilan, karena sering sekali hukum positif itu ketinggalan dengan perkembangan
masyarakat dan kemajuan teknologi, sehingga dalam penerapan teori positivisme tidak bisa
serta merta dilaksanakan dengan paham legisme. Hakim boleh menerapkan teori ini pada
kasus yang aturan hukumnya jelas, sehingga tinggal menerapkan saja pada peristiwa konkret,
namun dalam hal peristiwa yang tidak ada aturan hukumnya hakim harus menemukan dan
menggunakan analogi untuk penemuan hukum. Hukumnya harus diupayakan dengan cara
menelusuri peraturan yang mengatur peristiwa khusus yang mirip dengan peristiwa yang
hendak dicari hukumnya dengan jalan argumentasi (argumentum a contrario atau
argumentum per analogiam). Kalau peristiwanya tidak diatur sama sekali dalam undang-
undang, maka hakim berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004
“….wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat”.
Jadi hakim dalam memberikan keadilan kepada pencari keadilan, harus mempunyai
iktikad baik, yaitu keyakinan hakim dengan alat bukti yang cukup untuk memutuskan suatu
perkara sehingga dapat memberikan suatu keadilan dan kebahagiaan kepada para pihak
dengan mengindahkan kode etik dan prosedural yang benar dalam praktiknya di pengadilan.
Penerapan hukum positif oleh hakim harus mengindahkan nilai-nilai dan rasa keadilan yang
hidup di masyarakat dengan sebaik-baiknya sehingga putusan yang dihasilkan oleh hakim
bisa diterima dengan ikhlas oleh para pihak, dan keikhlasan inilah yang menjadi barometer
keadilan dalam penegakan hukum oleh hakim.
Selama ini, banyak pihak menurut hakim agar lebih berpihak pada perwujudan keadilan
substantif daripada keadilan prosedural semata. Namun, tuntutan itu memang bisa diterima
secara teoritis daripada praktis karena membawa problem hukum yang rumit. Keadilan
prosedural diyakini hanya mengacu pada bunyi undang-undang an sich. Sehingga, sepanjang
bunyi undang-undang terwujud, tercapailah keadilan secara formal. Apakah secara materiil
keadilan itu benar-benar dirasakan adil secara moral dan kebijakan (virtue) bagi banyak
pihak? Para penegak keadilan prosedural tidak mempedulikannya. Mereka, para penegak
keadilan prosedural itu, biasanya tergolong kaum yang berorientasi positivistik.
Bagi kaum positivistik, keputusan-keputusan hukum itu dapat dibuat dengan terlebih
dahulu mendeduksikan secara logis peraturan-peraturan yang sudah ada tanpa perlu
menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebajikan, serta moralitas. Betapapun tidak adilnya
dan terbatasnya bunyi undang-undang yang ada. Hukum adalah perintah undang-undang, dan
dari situ kepastian hukum bisa ditegakkan.
Pandangan positivistik tersebut ditentang oleh kalangan yang berpandangan bahwa
prinsip kebajikan dan moralitas mesti harus dipertimbangkan pula dalam mengukur validitas
hukum. Penganut hukum moralis itu berprinsip bahwa hukum harus mencerminkan
moralitas. Karena itu, hukum yang meninggalkan prinsip-prinsip moralitas, bahkan
bertentangan dengan moralitas, boleh atau bisa tidak ditaati berdasar suatu hak moral (moral
right).
Indonesia adalah Negara yang menganut civil law system, yang mendasarkan bangunan
sistem hukumnya pada undang-undang. Alhasil, para hakimnya ialah pelaksana undang-
undang, bukan pencipta undang-undang (baca: hukum), sebagaimana yang dilakukan para
hakim di Inggris yang menganut sistem common law. Alhasil, pakem yang masih berlaku di
negeri ini adalah bahwa meskipun para hakim di Indonesia dapat melakukan penemuan
hokum (rechtsvinding) melalui putusannya, mereka tidak boleh menabrak isi dan falsafah
peraturan perundang-undangan yang sudah ada.
D. MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KEADILAN SUBSTANTIF
MK dalam berbagai kesempatan telah menegaskan posisinya bahwa lembaga ini akan
menegakkan keadilan substantif, bukan keadilan prosedural semata-mata. Dalam arti, sebagai
lembaga pengawal dan penafsir konstitusi. Mahkamah Konstitusi tidak akan terpaku pada
undang-undang jika undang-undang a quo dinilai keluar dari tujuan hukum sendiri.
Pilihan paradigmatik ini didasari pada keyakinan bahwa dalam posisinya sebagai
pengawal konstitusi, demokrasi, dan hukum, Mahkamah Konstitusi harus mencari keadilan
substansial, sebab, selain hal ini dibenarkan oleh UUD 1945 juga dimuat dalam UU No. 24
Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada pasal 45 Ayat (1) yang berbunyi,
“Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasar UUD Republik Indonesia Tahun 1945
sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim”.
Pasal itu menyebutkan, bukti dan keyakinan hakim harus menjadi dasar putusan untuk
menegakkan keadilan substantif, apalagi jika pihak yang berperkara jelas-jelas meminta ex
aequo et bono (putusan adil).
Pada irah-irah tiap putusan juga selalu ditegaskan, putusan dibuat “Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan bukan “Demi Kepastian Hukum Berdasarkan
Undang-Undang”. Ini semua menjadi dasar yang membolehkan hakim membuat putusan
untuk menegakkan keadilan meski-jika terpaksa-melanggar ketentuan formal undang-undang
yang menghambat tegaknya keadilan.
Ada yang mempersoalkan, hal itu sulit dilakukan karena tiadanya kriteria pasti untuk
menentukan keadilan itu. Berbeda dengan bunyi undang-undang yang isinya pasti. Atas
masalah itu perlu ditegaskan, keadilan tidak selalu dapat dipastikan lebih dahulu karena
dalam banyak kasus justru harus disikapi sesuai karakter masing-masing. Keadilan akan
terasa dan terlihat dari konstruksi hukum yang dibangun hakim dengan menilai satu per satu
bukti yang diajukan di persidangan untuk akhirnya sampai pada keyakinan dalam membuat
vonis.
Meski demikian, tidaklah dapat diartikan, hakim boleh seenaknya melanggar atau
menerobos ketentuan undang-undang. Dalam hal undang-undang sudah mengatur secara
pasti dan dirasa adil, maka hakim tetap perlu berpegang pada undang-undang. Dengan kata
lain, para hakim didorong untuk menggali rasa keadilan substantif (substantive justice) di
masyarakat dari pada terbelenggu ketentuan undang-undang (procedural justice).
Yang hendak ditekankan adalah prinsip bahwa berdasarkan sistem hukum dan
konstitusi di Indonesia, hakim diperbolehkan membuat putusan yang keluar dari undang-
undang jika undang-undang itu membelenggunya dari keyakinan untuk menegakkan
keadilan.
Selain itu, pilihan paradigmatik pada keadilan substantif juga dilatarbelakangi derasnya
tuntutan agar Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang memberikan solusi hikum
atas ketidak pastian yang diakibatkan oleh ketentuan yang multitafsir atau pada saat terjadi
kekosongan hokum. Demikian pula halnya dalam perselisihan hasil pemilu, Mahkamah
Konstitusi bergerak menjadi pengadilan yang menegakkan keadilan substantif dan bukan
sekedar pengadilan perselisihan penghitungan atau yang sering disebut sebagai pengadilan
kalkulator.
Pergerakan atau pergeseran tersebut terjadi bukan karena kehendak para hakim
konstitusi untuk memperluas kompetensi yang dimiliki Mahkamah Konstitusi, tetapi semata-
mata untuk menegakkan konstitusi dan memenuhi tuntutan keadilan substantif. Hasil pemilu
adalah manifestasi suara rakyat. Oleh karenanya, untuk menjamin hal itu harus dipastikan
bahwa hasil pemilu harus didapatkan dengan cara yang benar, jujur, dan adil, serta dihitung
dengan benar pula sesuai dengan prinsip one man, one vote, one value.
Oleh Karena itu, perselisihan hasil pemilu tidak dapat dilihat secara sempit sebagai
perselisihan di atas kertas, tetapi harus melihat bagaimana suara itu diperoleh. Suara yang
diperoleh dengan cara melanggar prinsip jujur dan adil tentu tidak dapat dibiarkan karena
sama halnya dengan membiarkan terjadinya ketidakadilan, baik bagi peserta pemilu maupun
bagi pemilih itu sendiri.
Menutup mata terhadap pemilu yang melanggar prinsip jujur dan adil sama halnya
dengan membiarkan terbentuknya pemerintahan yang bukan merupakan manifestasi
kehendak rakyat. Pemilu hanya akan menjadi prosedur memperoleh kekuasaan semata. Jika
terjadi demikian, hal itu akan menjadi awal dari malapetaka dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Hal ini sesuai dengan prinsip universal, yaitu nullus/nemo commodum capere
potest de injuria sua propria (tidak boleh seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan
dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh
penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain). Maknanya adalah bahwa
tidak boleh ada pembiaran pelanggaran terstruktur dan masif. Dengan pilihan ini pelanggar
dan orang-orang yang curang tidak justru diuntungkan kembali dan pihak yang dicurangi
merasa dilindungi dan tidak kembali dirugikan dengan pelanggaran dan tanpa perlindungan.
Hakim konstitusi adalah penentu terlaksananya wewenang konstitusional yang dimiliki
Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, segenap organisasi Mahkamah Konstitusi
diorientasikan untuk memberikan dukungan terhadap tugas dan tanggung jawab hakim
konstitusi dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Dukungan administrasi umum
dan justisial diberikan untuk mendukung kinerja hakim dalam memeriksa, mengadili dan
memutus perkara sesuai dengan hukum dan keadilan serta menjamin bahwa masyarakat
mendapatkan keadilan dalam proses berperkara. Jika layanan administrasi tidak diberikan
sesuai dengan prinsip-prinsip good governance di lembaga peradilan, dapat dipastikan
masyarakat telah mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan diskriminatif sejak pendaftaran
perkara hingga proses untuk memperoleh putusan pengadilan. Pada saat administrasi
peradilan sudah dijalankan secara diskriminatif dan tidak adil, putusan yang adilpun sulit
dicapai. Bahkan, putusan yang adil pun dapat kehilangan makna apabila diputus dalam waktu
yang lama dan tidak dapat segera diakses oleh masyarakat yang berhak (justice delayed,
justice denied).
Oleh karena itu, untuk dapat memutus sesuai dengan nilai dan rasa keadilan substantif,
dukungan administrasi umum dan justisial diperlukan agar hakim konstitusi dapat dengan
mudah dan cepat memeriksa dan menilai permohonan alat bukti, serta keterangan saksi dan
ahli sebagai bahan pertimbangan hukum putusan majelis hakim. Untuk itu disusun
mekanisme dan prosedur administrasi yang tepat dan cepat, apalagi untuk perkara PHPU
yang harus diputus dengan cepat sesuai dengan batasan yang diberikan oleh undang-undang.
Di samping layanan terhadap hakim konstitusi, administrasi umum dan justisial juga
memberikan layanan kepada masyarakat. Layanan yang diberikan tidak hanya terbatas pada
penerimaan permohonan yang dilakukan secara professional, tetapi juga memberikan
informasi dan data yang diperlukan oleh masyarakat untuk memperoleh keadilan sesuai
dengan wewenang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi. Hal itu diperlukan agar semakin
banyak masyarakat yang memiliki pengetahuan cukup untuk dapat menggunakan hak
berperkara di Mahakamah Konstitusi sehingga mendorong terwujudnya persamaan
dihadapan hukum dan peradilan (equality before the law court). Peran tersebut juga diniatkan
untuk memberikan dan memudahkan masyarakat memperoleh haknya mendapatkan keadilan
(access ti justice) melalui pengadilan konstitusi (access to court).
Mahkamah Konstitusi berpedoman pula pada paradigma keadilan substantif. Dengan
penekanan pada keadilan substantif dimaksudkan bahwa meskipun suatu perbuatan secara
formal-prosedural mengandung kesalahan tetapi tidak melanggar substansi keadilan dan
kesalahan tersebut bersifat tolerable, maka dapat dinyatakan tidak salah. Betapapun jika
suatu ketentuan undang-undang dilanggar dengan sengaja apalagi sampai berkali-kali
tentuklah dapat dikatakan intolerable dan mengandung ketidakadilan. Sikap mahkamah yang
demikian didasarkan pula pada tujuan untuk memberi manfaat kepada Negara dan
masyarakat.
Perlu ditekankan juga bahwa pilihan paradigmatik Mahkamah Konstitusi atas
penegakkan keadilan substantif bukan berarti mahkamah harus selalu mengabaikan bunyi
undang-undang. Dalam mengimplementasikan paradigma ini Mahkamah Konstitusi dapat
keluar atau mengabaikan bunyi undang-undang tetapi tidak harus selalu mengabaikan atau
keluar dari bunyi undang-undang. Selama bunyi undang-undang memberi rasa keadilan,
maka Mahkamah Konstitusi akan menjadikannya sebagai dasar dalam pengambilan putusan;
sebaliknya jika penerapan bunyi undang-undang tidak dapat memberi keadilan, maka
Mahkamah Konstitusi dapat mengabaikannya untuk kemudian membuat putusan sendiri.
Inilah inti hukum progresif atau hukum responsif yang dipahami dan diterima oleh
Mahkamah Konstitusi.
Terkait dengan paradigma tersebut, maka dalam menangani sengketa hasil pemilu
mahkamah tidak hanya menilai kebenaran kuantitatif dalam penetapan hasil pemilu, seperti
menghitung kebenaran penetapan jumlah suara yang diperoleh parpol atau kontestan dalam
pemilu, melainkan sekaligus menilai proses pelaksanaan pemilu untuk mencari kebenaran
secara kualitatif.
Oleh sebab itu, jika dalam proses pemilu terjadi pelanggaran, baik administratif
maupun pidana, yang mempengaruhi hasil pemilu secara signifikan, tanpa harus memastikan
kepastian penetapan jumlah (kualitatif) yang salah dalam penetapannya, maka Mahkamah
Konstitusi dapat menentukan putusan atau sanksi tersendiri demi tegaknya keadilan,
sekaligus untuk pembelajaran dan pendidikan agar pada pemilu-pemilu berikutnya
pelanggaran semacam itu tidak terjadi lagi.
Meskipun begitu, agar dalam menegakkan keadilan tersebut tetap didasarkan pada
rasionalitas dan diterima oleh common sense publik, maka kesalahan kualitatif proses pemilu
yang dapat dijatuhi sanski (condemnatoir) oleh Mahkamah Konstitusi adalah pelanggaran-
pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematif, dan masif.
E. PROBLEMATIKA PENEGAKAN KEADILAN SUBSTANTIF
Meskipun secara konseptual idealisme yang terkandung dalam keadilan substantif
sebagaimana keyakinan paradigmatik Mahkamah Konstitusi itu lebih adiluhung (bahasa
Jawa) atau malebbi (bahasa Bugis) daripada yang terkandung dalam keadilan prosedural,
namun upaya mewujudkan keadilan substantif lazim berbenturan dengan problematika
kepastian hukum (equality).
Contohnya ialah putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Jawa Timur. Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi kewenangan
Mahkamah Konstitusi untuk menyidangkan perkara pelanggaran pemilihan kepada daerah
tidak diatur. Namun, karena Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa mereka menemukan
bukti adanya pelanggaran pilkada, Mahkamah Konstitusi berhak mengambil keputusan
tentang pelanggaran itu sekalipun harus menabrak UU Mahkamah Konstitusi sendiri.
Sebagai justifikasi untuk kesiapan MK menabrak undang-undang, Ketua Mahkamah
Konstitusi Mahfud, M.D. menggunakan argumentasi dengan kalimat, “Karena itu, kita bikin
terobosan. Tidak lagi melaksanakan undang-undang, tetapi melaksanakan UUD 1945, yaitu
menjamin tegaknya demokrasi dan hukum”, (Jawa Pos, 3/12/2008).
Permasalahannya kemudian adalah apakah penafsiran dan keputusan hukum MK itu
legitimate? Ini merupakan pertanyaan yang debatable. Merujuk pada kenyataan hukum
bahwa putusan MK adalah final dan mengikat (final and binding), apapun keputusan
hukumnya akan menjadi legitimate karena tidak ada upaya hukum lagi untuk mengubahnya.
Alahasil, banyak pihak menilai MK sebagai lembaga superbodi, tidak ada lembaga lain yang
bisa mengontrol keputusan-keputusannya. Sekalipun menabrak kepastian hukum.
Kepastian hukum pun makin rancu. Sebab, putusan MK itu bisa menjadi preseden
bahwa pelanggaran pilkada di masa datang bisa langsung dikirimkan ke MK, menjadi bagian
dari materi yang bisa diajukan gugatan (legal action) ke MK. Tak perlu lagi melalui jalur
panwaslu untuk diproses di pengadilan negeri. Lalu, bagaimana dengan kepastian hukum UU
Pemilu? Belum lagi problem sosial ikutan dari keputusan MK itu, misalnya penyediaan
anggaran lagi untuk pilkada susulan, suasana ketegangan sosial yang dimunculkan darinya,
dan kerepotan aparat keamanan untuk terus berada dari kondisi siaga satu ke siaga satu lagi.
Juga, dari pihak yang kalah dan pendukungnya. Upaya hukum apa lagi yang bisa ditempuh?
Karena pintu upaya hukum sudah tertutup, pintu yang terbuka adalah protes sosial yang
berpotensi pada kerusuhan sosial.
“Biaya-biaya” sosial tersebut barangkali memang tak terhitung, ketika hakim
Mahkamah Konstitusi lebih berpihak kepada perwujudan keadilan substantif daripada
keadilan prosedural. Menegakkan keadilan atau memilih kepastian hukum memang persoalan
antinomi yang berlarut-larut dalam menentukan tujuan hukum.
Para pakar hukum memang terbagi antara memilih keadilan atau kepastian hukum.
Banyak di antara mereka memilih kepastian hukum karena lebih menjamin ketertiban hukum
dan social. Pelaksanaan keputusan Mahkamah Konstitusi yang memilih perwujudan keadilan
substantive itu, dalam menyelesaikan perkara Pemilukada, pemilu legislatif, maupun pemilu
presiden dan wakil presiden merupakan batu uji bagi kedigdayaan keyakinan paradigmatik
Mahkamah Konstitusi.
F. KESIMPULAN
Sejatinya, perdebatan tentang tugas hakim sebagai penegak hukum dengan tunduk pada
bunyi undang-undang (keadilan prosedural) dan tugasnya sebagai penegak keadilan meski
harus keluar dari ketentuan undang-undang (keadilan substantif), merupakan isu klasik.
Sebab pada kenyataannya, kini, sudah tidak ada lagi garis antara tradisi civil law yang
menjadikan hakim hanya sebagai corong undang-undang dan tradisi common law yang
menjadi hakim sebagai pembuat keadilan hukum meski harus melanggar undang-undang.
Keduanya dianggap sebagai kebutuhan yang saling melengkapi.
Berdasar UUD 1945 hasil amandemen, di Indonesia kedua hal itu diletakkan pada
posisi sama kuat. Pasal 24 ayat (1) menyebutkan, kekuasaan kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan “hukum” dan
“keadilan”. Pasal 28D ayat (1) juga menegaskan, setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan, dan “kepastian hukum yang adil”. Jadi, tekanannya bukan pada
kepastian hukum saja, tetapi kepastian hukum yang adil.
Saat konstitusi diamandemen, prinsip itu ditekankan dalam UUD 1945 karena di masa
lalu, upaya menegakkan kepastian hukum sering dijadikan alat untuk mengalahkan pencari
keadilan. Atas nama kepastian hukum, pencari keadilan sering dikalahkan dengan dalil yang
ada dalam undang-undang. Padahal saat itu, banyak undang-undang yang berwatak
konservatif, elitis, dan positivistik-instrumentalistik. Atas pertimbangan tersebut, pilihan
paradigmatik untuk lebih mengedepankan keadilan substantif daripada keadilan prosedural-
formal merupakan pilihan yang paling logis dan tepat untuk era dewasa ini.`