18
PROBLEMATIKA PENEGAKAN KEADILAN SUBSTANTIF A. PENDAHULUAN Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu : pertama tidak merugikan seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil. Pada praktiknya, pemaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa hukum ternyata masih debatable. Banyak pihak merasakan dan menilai bahwa lembaga pengadilan kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak lepas dari cara pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan konkretisasi hukum. Sedangkan seyogyianya hakim mampu menjadi living interpretator yang mampu menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang- undangan, karena hakim bukan lagi sekedar la bouche de la loi (corong undang-undang). Artinya, hakim dituntut untuk memiliki

Problematika Penegakan Keadilan Substantif

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Problematika Penegakan Keadilan Substantif

PROBLEMATIKA PENEGAKAN KEADILAN SUBSTANTIF

A. PENDAHULUAN

Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil. Sementara

adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan

menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu : pertama tidak merugikan

seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika

kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil.

Pada praktiknya, pemaknaan keadilan dalam penanganan sengketa-sengketa hukum

ternyata masih debatable. Banyak pihak merasakan dan menilai bahwa lembaga pengadilan

kurang adil karena terlalu syarat dengan prosedur, formalistis, kaku, dan lamban dalam

memberikan putusan terhadap suatu sengketa. Agaknya faktor tersebut tidak lepas dari cara

pandang hakim terhadap hukum yang amat kaku dan normatif-prosedural dalam melakukan

konkretisasi hukum. Sedangkan seyogyianya hakim mampu menjadi living interpretator

yang mampu menangkap semangat keadilan dalam masyarakat dan tidak terbelenggu oleh

kekakuan normatif-prosedural yang ada dalam suatu peraturan perundang-undangan, karena

hakim bukan lagi sekedar la bouche de la loi (corong undang-undang). Artinya, hakim

dituntut untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan

normatif undang-undang, sehingga keadilan substansial selalu saja sulit diwujudkan melalui

putusan hakim pengadilan, karena hakim dan lembaga pengadilan hanya akan memberikan

keadilan formal.

B. KEADILAN SUBSTANTIF DAN KEADILAN PROSEDURAL

Permasalahan sebagaimana tergambar pada bagian pendahuluan di atas agaknya tidak

dapat dilepaskan dari dikotomi antara keadilan substantif dan keadilan procedural. Keadilan

substantif di dalam Black’s Law Dictionary 7th Edition dimaknai sebagai : Justice Fairly

Page 2: Problematika Penegakan Keadilan Substantif

Administered According to Rules of Substantive Law, Regardless of Any Procedural Errors

Not Affecting The Litigant’s substantive Rights. (Black’s Law Dictionary, 7th Edition, p. 869)

[“Keadilan yang diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa

melihat kesalahan-kesalahan procedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif

Penggugat”]. Ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan

secara materiil dan substansinya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara

formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materiil dan substansinya sudah cukup adil

(hakim dapat menoleransi pelanggaran procedural asalkan tidak melanggar substansi

keadilan). Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim harus selalu

mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan substantif berarti hakim

bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap

berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan

sekaligus menjamin kepastian hukum.

Sebaliknya, merujuk pada definisi yang diberikan oleh Wikipedia, procedural justice

atau keadilan prosedural adalah : “Refers to the idea of fairness in the processes that

resolve disputes and allocate resources. One aspect of procedural justice is related to

discussions of the administration of justice and legal proceedings. This sense of procedural

justice is connected to due process (US), fundamental justice (Canada), procedural fairness

(Australia) and natural justice (other common law jurisdictions), but the idea of procedural

justice can also be applied to nonlegal contexts in which some process is employed to resolve

or divide benefits or burdens. Procedural justice concern the fairness and the transparency

of the processes by which decisions are made, and may be contrasted with distributive justice

(fairness in the distribution of rights or resources),and retributive justice (fairness in the

rectification of wrongs). Hearing all parties before a decision is made is one step which

would be considered appropriate to be taken in order that a process may then be

characterised as procedurally fair. Some theories of procedural justice hol that fair

procedural leads to equitable outcomes, even if the requirements of distributive or corrective

justice are not met”.

Page 3: Problematika Penegakan Keadilan Substantif

Terjemahan : “Keadilan prosedural menunjuk pada gagasan tentang keadilan dalam

proses-proses penyelesaian sengketa dan pengalokasian sumber daya. Salah satu aspek dari

keadilan prosedural ini berkaitan dengan pembahasan tentang bagaimana memberikan

keadilan dalam proses hukum. Makna keadilan procedural yang seperti ini dapat

dihubungkan dengan proses peradilan yang patut (Amerika Serikat), keadilan fundamental

(Kanada), keadilan prosedural (Australia), dan keadilan alamiah (Negara-negara Comon

Law lainnya), namun gagasan tentang keadilan prosedural ini dapat pula diterapkan

terhadap konteks non hukum di mana beberapa proses digunakan untuk menyelesaikan

konflik atau untuk membagi-bagi keuntungan atau beban. Dengan merujuk pada definisi di

atas, keadilan prosedural terkait erat dengan kepatutan dan transparansi dari proses-proses

pembuatan keputusan, dan konsep keadilan prosedural ini dapat dibedakan dengan konsep

keadilan distributif (keadilan dalam distribusi hak-hak atau sumber daya), dan keadilan

distributir (keadilan dalam membenahi kesalahan-kesalahan). Mendengarkan keterangan

semua pihak sebelum membuat keputusan merupakan salah satu langkah yang dianggap

tepat untuk diambil agar suatu proses dapat dianggap adil secara prosedural. Beberapa

teori tentang keadilan prosedural berpendirian bahwa prosedur yang adil akan membawa

hasil yang adil pula, sekalipun syarat-syarat keadilan distributif atau keadilan korektif tidak

terpenuhi”.

C. POSITIVISTIK ATAU MORALISTIK?

Guna membedah dikotomi antara keadilan substantif dan keadilan prosedural dalam

proses penegakan hukum, kiranya perlu dilakukan review terhadap akar filosofis dari

penegakan hukum itu sendiri. Mencermati pendapat Hans Kelsen, penegakan hukum oleh

hakim itu terikat pada teori positivisme, yaitu bahwa keadilan itu lahir dari hukum positif

yang ditetapkan manusia. Dalam hal ini, Hans Kelsen menekankan bahwa konsep keadilan

itu mencakup pengertian yang jernih dan bebas nilai. Hakim terikat dengan hukum positif

yang sudah ada, berdasarkan paham legisme dalam konsep positivisme, hakim hanya sebagai

corong undang-undang, artinya mau tidak mau hakim harus benar-benar menerapkan suatu

kejadian berdasarkan konsep hukum yang sudah ada.

Page 4: Problematika Penegakan Keadilan Substantif

Dalam praktiknya, konsep positivisme dalam penegakan hukum ini ternyata sangat jauh

dari keadilan, karena sering sekali hukum positif itu ketinggalan dengan perkembangan

masyarakat dan kemajuan teknologi, sehingga dalam penerapan teori positivisme tidak bisa

serta merta dilaksanakan dengan paham legisme. Hakim boleh menerapkan teori ini pada

kasus yang aturan hukumnya jelas, sehingga tinggal menerapkan saja pada peristiwa konkret,

namun dalam hal peristiwa yang tidak ada aturan hukumnya hakim harus menemukan dan

menggunakan analogi untuk penemuan hukum. Hukumnya harus diupayakan dengan cara

menelusuri peraturan yang mengatur peristiwa khusus yang mirip dengan peristiwa yang

hendak dicari hukumnya dengan jalan argumentasi (argumentum a contrario atau

argumentum per analogiam). Kalau peristiwanya tidak diatur sama sekali dalam undang-

undang, maka hakim berdasarkan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004

“….wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang

hidup dalam masyarakat”.

Jadi hakim dalam memberikan keadilan kepada pencari keadilan, harus mempunyai

iktikad baik, yaitu keyakinan hakim dengan alat bukti yang cukup untuk memutuskan suatu

perkara sehingga dapat memberikan suatu keadilan dan kebahagiaan kepada para pihak

dengan mengindahkan kode etik dan prosedural yang benar dalam praktiknya di pengadilan.

Penerapan hukum positif oleh hakim harus mengindahkan nilai-nilai dan rasa keadilan yang

hidup di masyarakat dengan sebaik-baiknya sehingga putusan yang dihasilkan oleh hakim

bisa diterima dengan ikhlas oleh para pihak, dan keikhlasan inilah yang menjadi barometer

keadilan dalam penegakan hukum oleh hakim.

Selama ini, banyak pihak menurut hakim agar lebih berpihak pada perwujudan keadilan

substantif daripada keadilan prosedural semata. Namun, tuntutan itu memang bisa diterima

secara teoritis daripada praktis karena membawa problem hukum yang rumit. Keadilan

prosedural diyakini hanya mengacu pada bunyi undang-undang an sich. Sehingga, sepanjang

bunyi undang-undang terwujud, tercapailah keadilan secara formal. Apakah secara materiil

keadilan itu benar-benar dirasakan adil secara moral dan kebijakan (virtue) bagi banyak

pihak? Para penegak keadilan prosedural tidak mempedulikannya. Mereka, para penegak

keadilan prosedural itu, biasanya tergolong kaum yang berorientasi positivistik.

Page 5: Problematika Penegakan Keadilan Substantif

Bagi kaum positivistik, keputusan-keputusan hukum itu dapat dibuat dengan terlebih

dahulu mendeduksikan secara logis peraturan-peraturan yang sudah ada tanpa perlu

menunjuk kepada tujuan-tujuan sosial, kebajikan, serta moralitas. Betapapun tidak adilnya

dan terbatasnya bunyi undang-undang yang ada. Hukum adalah perintah undang-undang, dan

dari situ kepastian hukum bisa ditegakkan.

Pandangan positivistik tersebut ditentang oleh kalangan yang berpandangan bahwa

prinsip kebajikan dan moralitas mesti harus dipertimbangkan pula dalam mengukur validitas

hukum. Penganut hukum moralis itu berprinsip bahwa hukum harus mencerminkan

moralitas. Karena itu, hukum yang meninggalkan prinsip-prinsip moralitas, bahkan

bertentangan dengan moralitas, boleh atau bisa tidak ditaati berdasar suatu hak moral (moral

right).

Indonesia adalah Negara yang menganut civil law system, yang mendasarkan bangunan

sistem hukumnya pada undang-undang. Alhasil, para hakimnya ialah pelaksana undang-

undang, bukan pencipta undang-undang (baca: hukum), sebagaimana yang dilakukan para

hakim di Inggris yang menganut sistem common law. Alhasil, pakem yang masih berlaku di

negeri ini adalah bahwa meskipun para hakim di Indonesia dapat melakukan penemuan

hokum (rechtsvinding) melalui putusannya, mereka tidak boleh menabrak isi dan falsafah

peraturan perundang-undangan yang sudah ada.

D. MAHKAMAH KONSTITUSI DAN KEADILAN SUBSTANTIF

MK dalam berbagai kesempatan telah menegaskan posisinya bahwa lembaga ini akan

menegakkan keadilan substantif, bukan keadilan prosedural semata-mata. Dalam arti, sebagai

lembaga pengawal dan penafsir konstitusi. Mahkamah Konstitusi tidak akan terpaku pada

undang-undang jika undang-undang a quo dinilai keluar dari tujuan hukum sendiri.

Pilihan paradigmatik ini didasari pada keyakinan bahwa dalam posisinya sebagai

pengawal konstitusi, demokrasi, dan hukum, Mahkamah Konstitusi harus mencari keadilan

substansial, sebab, selain hal ini dibenarkan oleh UUD 1945 juga dimuat dalam UU No. 24

Page 6: Problematika Penegakan Keadilan Substantif

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada pasal 45 Ayat (1) yang berbunyi,

“Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasar UUD Republik Indonesia Tahun 1945

sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim”.

Pasal itu menyebutkan, bukti dan keyakinan hakim harus menjadi dasar putusan untuk

menegakkan keadilan substantif, apalagi jika pihak yang berperkara jelas-jelas meminta ex

aequo et bono (putusan adil).

Pada irah-irah tiap putusan juga selalu ditegaskan, putusan dibuat “Demi Keadilan

Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan bukan “Demi Kepastian Hukum Berdasarkan

Undang-Undang”. Ini semua menjadi dasar yang membolehkan hakim membuat putusan

untuk menegakkan keadilan meski-jika terpaksa-melanggar ketentuan formal undang-undang

yang menghambat tegaknya keadilan.

Ada yang mempersoalkan, hal itu sulit dilakukan karena tiadanya kriteria pasti untuk

menentukan keadilan itu. Berbeda dengan bunyi undang-undang yang isinya pasti. Atas

masalah itu perlu ditegaskan, keadilan tidak selalu dapat dipastikan lebih dahulu karena

dalam banyak kasus justru harus disikapi sesuai karakter masing-masing. Keadilan akan

terasa dan terlihat dari konstruksi hukum yang dibangun hakim dengan menilai satu per satu

bukti yang diajukan di persidangan untuk akhirnya sampai pada keyakinan dalam membuat

vonis.

Meski demikian, tidaklah dapat diartikan, hakim boleh seenaknya melanggar atau

menerobos ketentuan undang-undang. Dalam hal undang-undang sudah mengatur secara

pasti dan dirasa adil, maka hakim tetap perlu berpegang pada undang-undang. Dengan kata

lain, para hakim didorong untuk menggali rasa keadilan substantif (substantive justice) di

masyarakat dari pada terbelenggu ketentuan undang-undang (procedural justice).

Yang hendak ditekankan adalah prinsip bahwa berdasarkan sistem hukum dan

konstitusi di Indonesia, hakim diperbolehkan membuat putusan yang keluar dari undang-

undang jika undang-undang itu membelenggunya dari keyakinan untuk menegakkan

keadilan.

Page 7: Problematika Penegakan Keadilan Substantif

Selain itu, pilihan paradigmatik pada keadilan substantif juga dilatarbelakangi derasnya

tuntutan agar Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang memberikan solusi hikum

atas ketidak pastian yang diakibatkan oleh ketentuan yang multitafsir atau pada saat terjadi

kekosongan hokum. Demikian pula halnya dalam perselisihan hasil pemilu, Mahkamah

Konstitusi bergerak menjadi pengadilan yang menegakkan keadilan substantif dan bukan

sekedar pengadilan perselisihan penghitungan atau yang sering disebut sebagai pengadilan

kalkulator.

Pergerakan atau pergeseran tersebut terjadi bukan karena kehendak para hakim

konstitusi untuk memperluas kompetensi yang dimiliki Mahkamah Konstitusi, tetapi semata-

mata untuk menegakkan konstitusi dan memenuhi tuntutan keadilan substantif. Hasil pemilu

adalah manifestasi suara rakyat. Oleh karenanya, untuk menjamin hal itu harus dipastikan

bahwa hasil pemilu harus didapatkan dengan cara yang benar, jujur, dan adil, serta dihitung

dengan benar pula sesuai dengan prinsip one man, one vote, one value.

Oleh Karena itu, perselisihan hasil pemilu tidak dapat dilihat secara sempit sebagai

perselisihan di atas kertas, tetapi harus melihat bagaimana suara itu diperoleh. Suara yang

diperoleh dengan cara melanggar prinsip jujur dan adil tentu tidak dapat dibiarkan karena

sama halnya dengan membiarkan terjadinya ketidakadilan, baik bagi peserta pemilu maupun

bagi pemilih itu sendiri.

Menutup mata terhadap pemilu yang melanggar prinsip jujur dan adil sama halnya

dengan membiarkan terbentuknya pemerintahan yang bukan merupakan manifestasi

kehendak rakyat. Pemilu hanya akan menjadi prosedur memperoleh kekuasaan semata. Jika

terjadi demikian, hal itu akan menjadi awal dari malapetaka dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara. Hal ini sesuai dengan prinsip universal, yaitu nullus/nemo commodum capere

potest de injuria sua propria (tidak boleh seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan

dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh

penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain). Maknanya adalah bahwa

tidak boleh ada pembiaran pelanggaran terstruktur dan masif. Dengan pilihan ini pelanggar

dan orang-orang yang curang tidak justru diuntungkan kembali dan pihak yang dicurangi

merasa dilindungi dan tidak kembali dirugikan dengan pelanggaran dan tanpa perlindungan.

Page 8: Problematika Penegakan Keadilan Substantif

Hakim konstitusi adalah penentu terlaksananya wewenang konstitusional yang dimiliki

Mahkamah Konstitusi. Oleh karena itu, segenap organisasi Mahkamah Konstitusi

diorientasikan untuk memberikan dukungan terhadap tugas dan tanggung jawab hakim

konstitusi dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Dukungan administrasi umum

dan justisial diberikan untuk mendukung kinerja hakim dalam memeriksa, mengadili dan

memutus perkara sesuai dengan hukum dan keadilan serta menjamin bahwa masyarakat

mendapatkan keadilan dalam proses berperkara. Jika layanan administrasi tidak diberikan

sesuai dengan prinsip-prinsip good governance di lembaga peradilan, dapat dipastikan

masyarakat telah mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan diskriminatif sejak pendaftaran

perkara hingga proses untuk memperoleh putusan pengadilan. Pada saat administrasi

peradilan sudah dijalankan secara diskriminatif dan tidak adil, putusan yang adilpun sulit

dicapai. Bahkan, putusan yang adil pun dapat kehilangan makna apabila diputus dalam waktu

yang lama dan tidak dapat segera diakses oleh masyarakat yang berhak (justice delayed,

justice denied).

Oleh karena itu, untuk dapat memutus sesuai dengan nilai dan rasa keadilan substantif,

dukungan administrasi umum dan justisial diperlukan agar hakim konstitusi dapat dengan

mudah dan cepat memeriksa dan menilai permohonan alat bukti, serta keterangan saksi dan

ahli sebagai bahan pertimbangan hukum putusan majelis hakim. Untuk itu disusun

mekanisme dan prosedur administrasi yang tepat dan cepat, apalagi untuk perkara PHPU

yang harus diputus dengan cepat sesuai dengan batasan yang diberikan oleh undang-undang.

Di samping layanan terhadap hakim konstitusi, administrasi umum dan justisial juga

memberikan layanan kepada masyarakat. Layanan yang diberikan tidak hanya terbatas pada

penerimaan permohonan yang dilakukan secara professional, tetapi juga memberikan

informasi dan data yang diperlukan oleh masyarakat untuk memperoleh keadilan sesuai

dengan wewenang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi. Hal itu diperlukan agar semakin

banyak masyarakat yang memiliki pengetahuan cukup untuk dapat menggunakan hak

berperkara di Mahakamah Konstitusi sehingga mendorong terwujudnya persamaan

dihadapan hukum dan peradilan (equality before the law court). Peran tersebut juga diniatkan

untuk memberikan dan memudahkan masyarakat memperoleh haknya mendapatkan keadilan

(access ti justice) melalui pengadilan konstitusi (access to court).

Page 9: Problematika Penegakan Keadilan Substantif

Mahkamah Konstitusi berpedoman pula pada paradigma keadilan substantif. Dengan

penekanan pada keadilan substantif dimaksudkan bahwa meskipun suatu perbuatan secara

formal-prosedural mengandung kesalahan tetapi tidak melanggar substansi keadilan dan

kesalahan tersebut bersifat tolerable, maka dapat dinyatakan tidak salah. Betapapun jika

suatu ketentuan undang-undang dilanggar dengan sengaja apalagi sampai berkali-kali

tentuklah dapat dikatakan intolerable dan mengandung ketidakadilan. Sikap mahkamah yang

demikian didasarkan pula pada tujuan untuk memberi manfaat kepada Negara dan

masyarakat.

Perlu ditekankan juga bahwa pilihan paradigmatik Mahkamah Konstitusi atas

penegakkan keadilan substantif bukan berarti mahkamah harus selalu mengabaikan bunyi

undang-undang. Dalam mengimplementasikan paradigma ini Mahkamah Konstitusi dapat

keluar atau mengabaikan bunyi undang-undang tetapi tidak harus selalu mengabaikan atau

keluar dari bunyi undang-undang. Selama bunyi undang-undang memberi rasa keadilan,

maka Mahkamah Konstitusi akan menjadikannya sebagai dasar dalam pengambilan putusan;

sebaliknya jika penerapan bunyi undang-undang tidak dapat memberi keadilan, maka

Mahkamah Konstitusi dapat mengabaikannya untuk kemudian membuat putusan sendiri.

Inilah inti hukum progresif atau hukum responsif yang dipahami dan diterima oleh

Mahkamah Konstitusi.

Terkait dengan paradigma tersebut, maka dalam menangani sengketa hasil pemilu

mahkamah tidak hanya menilai kebenaran kuantitatif dalam penetapan hasil pemilu, seperti

menghitung kebenaran penetapan jumlah suara yang diperoleh parpol atau kontestan dalam

pemilu, melainkan sekaligus menilai proses pelaksanaan pemilu untuk mencari kebenaran

secara kualitatif.

Oleh sebab itu, jika dalam proses pemilu terjadi pelanggaran, baik administratif

maupun pidana, yang mempengaruhi hasil pemilu secara signifikan, tanpa harus memastikan

kepastian penetapan jumlah (kualitatif) yang salah dalam penetapannya, maka Mahkamah

Konstitusi dapat menentukan putusan atau sanksi tersendiri demi tegaknya keadilan,

sekaligus untuk pembelajaran dan pendidikan agar pada pemilu-pemilu berikutnya

pelanggaran semacam itu tidak terjadi lagi.

Page 10: Problematika Penegakan Keadilan Substantif

Meskipun begitu, agar dalam menegakkan keadilan tersebut tetap didasarkan pada

rasionalitas dan diterima oleh common sense publik, maka kesalahan kualitatif proses pemilu

yang dapat dijatuhi sanski (condemnatoir) oleh Mahkamah Konstitusi adalah pelanggaran-

pelanggaran yang bersifat terstruktur, sistematif, dan masif.

E. PROBLEMATIKA PENEGAKAN KEADILAN SUBSTANTIF

Meskipun secara konseptual idealisme yang terkandung dalam keadilan substantif

sebagaimana keyakinan paradigmatik Mahkamah Konstitusi itu lebih adiluhung (bahasa

Jawa) atau malebbi (bahasa Bugis) daripada yang terkandung dalam keadilan prosedural,

namun upaya mewujudkan keadilan substantif lazim berbenturan dengan problematika

kepastian hukum (equality).

Contohnya ialah putusan Mahkamah Konstitusi tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil

Gubernur Jawa Timur. Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi kewenangan

Mahkamah Konstitusi untuk menyidangkan perkara pelanggaran pemilihan kepada daerah

tidak diatur. Namun, karena Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa mereka menemukan

bukti adanya pelanggaran pilkada, Mahkamah Konstitusi berhak mengambil keputusan

tentang pelanggaran itu sekalipun harus menabrak UU Mahkamah Konstitusi sendiri.

Sebagai justifikasi untuk kesiapan MK menabrak undang-undang, Ketua Mahkamah

Konstitusi Mahfud, M.D. menggunakan argumentasi dengan kalimat, “Karena itu, kita bikin

terobosan. Tidak lagi melaksanakan undang-undang, tetapi melaksanakan UUD 1945, yaitu

menjamin tegaknya demokrasi dan hukum”, (Jawa Pos, 3/12/2008).

Permasalahannya kemudian adalah apakah penafsiran dan keputusan hukum MK itu

legitimate? Ini merupakan pertanyaan yang debatable. Merujuk pada kenyataan hukum

bahwa putusan MK adalah final dan mengikat (final and binding), apapun keputusan

hukumnya akan menjadi legitimate karena tidak ada upaya hukum lagi untuk mengubahnya.

Alahasil, banyak pihak menilai MK sebagai lembaga superbodi, tidak ada lembaga lain yang

bisa mengontrol keputusan-keputusannya. Sekalipun menabrak kepastian hukum.

Page 11: Problematika Penegakan Keadilan Substantif

Kepastian hukum pun makin rancu. Sebab, putusan MK itu bisa menjadi preseden

bahwa pelanggaran pilkada di masa datang bisa langsung dikirimkan ke MK, menjadi bagian

dari materi yang bisa diajukan gugatan (legal action) ke MK. Tak perlu lagi melalui jalur

panwaslu untuk diproses di pengadilan negeri. Lalu, bagaimana dengan kepastian hukum UU

Pemilu? Belum lagi problem sosial ikutan dari keputusan MK itu, misalnya penyediaan

anggaran lagi untuk pilkada susulan, suasana ketegangan sosial yang dimunculkan darinya,

dan kerepotan aparat keamanan untuk terus berada dari kondisi siaga satu ke siaga satu lagi.

Juga, dari pihak yang kalah dan pendukungnya. Upaya hukum apa lagi yang bisa ditempuh?

Karena pintu upaya hukum sudah tertutup, pintu yang terbuka adalah protes sosial yang

berpotensi pada kerusuhan sosial.

“Biaya-biaya” sosial tersebut barangkali memang tak terhitung, ketika hakim

Mahkamah Konstitusi lebih berpihak kepada perwujudan keadilan substantif daripada

keadilan prosedural. Menegakkan keadilan atau memilih kepastian hukum memang persoalan

antinomi yang berlarut-larut dalam menentukan tujuan hukum.

Para pakar hukum memang terbagi antara memilih keadilan atau kepastian hukum.

Banyak di antara mereka memilih kepastian hukum karena lebih menjamin ketertiban hukum

dan social. Pelaksanaan keputusan Mahkamah Konstitusi yang memilih perwujudan keadilan

substantive itu, dalam menyelesaikan perkara Pemilukada, pemilu legislatif, maupun pemilu

presiden dan wakil presiden merupakan batu uji bagi kedigdayaan keyakinan paradigmatik

Mahkamah Konstitusi.

F. KESIMPULAN

Sejatinya, perdebatan tentang tugas hakim sebagai penegak hukum dengan tunduk pada

bunyi undang-undang (keadilan prosedural) dan tugasnya sebagai penegak keadilan meski

harus keluar dari ketentuan undang-undang (keadilan substantif), merupakan isu klasik.

Sebab pada kenyataannya, kini, sudah tidak ada lagi garis antara tradisi civil law yang

menjadikan hakim hanya sebagai corong undang-undang dan tradisi common law yang

menjadi hakim sebagai pembuat keadilan hukum meski harus melanggar undang-undang.

Keduanya dianggap sebagai kebutuhan yang saling melengkapi.

Page 12: Problematika Penegakan Keadilan Substantif

Berdasar UUD 1945 hasil amandemen, di Indonesia kedua hal itu diletakkan pada

posisi sama kuat. Pasal 24 ayat (1) menyebutkan, kekuasaan kehakiman merupakan

kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan “hukum” dan

“keadilan”. Pasal 28D ayat (1) juga menegaskan, setiap orang berhak atas pengakuan,

jaminan, perlindungan, dan “kepastian hukum yang adil”. Jadi, tekanannya bukan pada

kepastian hukum saja, tetapi kepastian hukum yang adil.

Saat konstitusi diamandemen, prinsip itu ditekankan dalam UUD 1945 karena di masa

lalu, upaya menegakkan kepastian hukum sering dijadikan alat untuk mengalahkan pencari

keadilan. Atas nama kepastian hukum, pencari keadilan sering dikalahkan dengan dalil yang

ada dalam undang-undang. Padahal saat itu, banyak undang-undang yang berwatak

konservatif, elitis, dan positivistik-instrumentalistik. Atas pertimbangan tersebut, pilihan

paradigmatik untuk lebih mengedepankan keadilan substantif daripada keadilan prosedural-

formal merupakan pilihan yang paling logis dan tepat untuk era dewasa ini.`