Referat Edited

Embed Size (px)

Citation preview

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1.ODONTOLOGI FORENSI

2.1.1. Definisi Forensik Odontologi

Ilmu kedokteran gigi forensik memiliki nama lain yaitu forensic dentistry dan odontology forensic. Forensik odontologi adalah suatu cabang ilmu kedokteran gigi yang mempelajari cara penanganan dan pemeriksaan benda bukti gigi serta cara evaluasi dan presentasi temuan gigi tersebut untuk kepentingan peradilan.4 -Sebagai suatu metode identifikasi pemeriksaan gigi memiliki keunggulan sbb:1,4 1. Gigi merupakan jaringan keras yang resisten terhadap pembusukan dan pengaruh lingkungan yang ekstrim. 2. Karakteristik individual yang unik dalam hal susunan gigi geligi dan restorasi gigi menyebabkan identifikasi dengan ketepatan yang tinggi. 3. Kemungkinan tersedianya data antemortem gigi dalam bentuk catatan medis gigi (dental record) dan data radiologis. 4. Gigi geligi merupakan lengkungan anatomis, antropologis, dan morfologis, yang mempunyai letak yang terlindung dari otot-otot bibir dan pipi, sehingga apabila terjadi trauma akan mengenai otot-otot tersebut terlebih dahulu. 5. Bentuk gigi geligi di dunia ini tidak sama, karena berdasarkan penelitian bahwa gigi manusia kemungkinan sama satu banding dua miliar. 6. Gigi geligi tahan panas sampai suhu kira-kira 400C.

7. Gigi geligi tahan terhadap asam keras, terbukti pada peristiwa Haigh yang terbunuh dan direndam dalam asam pekat, jaringan ikatnya hancur, sedangkan giginya masih utuh. Batasan dari forensik odontologi terdiri dari:6,7,8 1. Identifikasi dari mayat yang tidak dikenal melalui gigi, rahang dan kraniofasial. 2. Penentuan umur dari gigi. 3. Pemeriksaan jejas gigit (bite-mark). 4. Penentuan ras dari gigi. 5. Analisis dari trauma oro-fasial yang berhubungan dengan tindakan kekerasan. 6. Dental jurisprudence berupa keterangan saksi ahli. 7. Peranan pemeriksaan DNA dari bahan gigi dalam identifikasi personal. 2.1.2. Kegunaan Identifikasi Forensik Odontologi Dalam Kematian Kematian yang tidak wajar atau tidak terduga, atau dalam kondisi bencana massal, kerusakan fisik yang direncanakan, dan keterlambatan dalam penemuan jenazah, bisa mengganggu identifikasi. Dalam kondisi inilah forensik odontologi diperlukan walaupun tubuh korban sudah tidak dikenali lagi.6 Identifikasi dalam kematian penting dilakukan, karena menyangkut masalah kemanusiaan dan hukum. Masalah kemanusian menyangkut hak bagi yang meninggal, dan adanya kepentingan untuk menentukan pemakaman berdasarkan agama dan permintaan keluarga. Mengenai masalah hukum, seseorang yang tidak teridentifiksi karena hilang, tidak dipersoalkan lagi apabila telah mencapai 7 tahun atau lebih. Dengan demikian surat wasiat, asuransi, masalah pekerjaan dan hukum yang perlu diselesaikan, serta masalah status pernikahan menjadi tidak berlaku lagi. Sebelum sebab kematian ditemukan atau pemeriksa medis berhasil menentukan jenazah yang sulit diidentifikasi, harus diingat bahwa kegagalan menemukan rekaman gigi dapat mengakibatkan hambatan dalam identifikasi dan menghilangkan semua harapan keluarga, sehingga sangat diperlukan rekaman gigi setiap orang sebelum dia meninggal.6

Pada umumnya identifikasi seseorang (hidup atau sudah meninggal) dilakukan untuk alasan-alasan berikut : 1. Untuk membuat surat keterangan kematian yang menjelaskan bahwa seseorang sudah bena-benar meninggal yang biasanya diperlukan untuk masalah-masalah legal seperti untuk keperluan asuransi, pembagian warisan, urusan-urusan bisnis dan surat keterangan apabila si istri atau suami yang ditinggalkan ingin menikah kembali. 2. Untuk alasan pribadi atau alasan keluarga, identifikasi dilakukan untuk mengetahui identitas orang hilang atau meninggal secara mendadak yang mungkin saja dapat meredakan ketegangan emosi dar keluargayang bersangkutan. 3. Untuk kasus-kasus kriminal. Bukti dapat saja tergantung pada identifikasi positif dari korban dan penentuan tentang hubungan antara korban dengan pelaku, terutama jika pembunuhan melibatkan anggota keluarga atau kenalan. 2.1.3. Macam cara identifikasi Dalam melakukan identifikasi terhadap mayat yang tidak dikenal, tidak selalu dilakukan dengan cara yang sama antara mayat satu dengan mayat yang lainnya. Hal ini antara lain dpengaruhi oleh ada atau tidaknya data antemortem dari mayat yang ditemukan dan akan diidentifikasi. Pada dasarnya ada dua macam cara dalam melakukan identifikasi dengan gigi, yaitu : 1. Identifikasi dengan cara rekonstruksi (Identification by reconstruction) Adalah mengidentifikasi mayat yang tidak ada sama sekali atau belum ada data antemortem dari koran dan kasus ini lebih sulit. Dalam hal ini seorang dokter dapat sedikit memberi informasi tentang umur, ras, pekerjaan, atau kebiasaan (habits) dari korban. Juga mungkin tentang seks dan pengobatan yang pernah diberikan kepadanya. Dokter juga harus membuat status gigi korban, sehingga dikemudian hari dapat dicocokkan dengan catatan-catatan yang

mungkin diperoleh dokter gigi yang pernah merawat korban. Cara identifikasi seperti ini dengan sendirinya, tidak dapat dianggap sebagai suatu identifikasi yang positif, tetapi paling tidak dapat memberi arah pada penyelidikan yang sedang dilakukan terhadap korban. Ketika tidak ada yang dapat diidentifikasi, gigi dapat membantu untuk membedakan usia seseorang, jenis kelamin,dan ras. Hal ini dapat membantu untuk membatasi korban yang sedang dicari atau untuk membenarkan/memperkuat identitas korban.6a. Penentuan Usia Perkembangan gigi secara regular terjadi sampai usia 15 tahun. Identifikasi melalui pertumbuhan gigi ini memberikan hasil yang yang lebih baik daripada pemeriksaan antropologi lainnya pada masa pertumbuhan. Pertumbuhan gigi desidua diawali pada minggu ke 6 intra uteri. Mineralisasi gigi dimulai saat 12 16 minggu dan berlanjut setelah bayi lahir. Trauma pada bayi dapat merangsang stress metabolik yang mempengaruhi pembentukan sel gigi. Kelainan sel ini akan mengakibatkan garis tipis yang memisahkan enamel dan dentin di sebut sebagai neonatal line. Neonatal line ini akan tetap ada walaupun seluruh enamel dan dentin telah dibentuk. Ketika ditemukan mayat bayi, dan ditemukan garis ini menunjukkan bahwa mayat sudah pernah dilahirkan sebelumnya. Pembentukan enamel dan dentin ini umumnya secara kasar berdasarkan teori dapat digunakan dengan melihat ketebalan dari struktur di atas neonatal line. Pertumbuhan gigi permanen diikuti dengan penyerapan kalsium, dimulai dari gigi molar pertama dan dilanjutkan sampai akar dan gigi molar kedua yang menjadi lengkap pada usia 14 16 tahun. Ini bukan referensi standar yang dapat digunakan untuk menentukan umur, penentuan secara klinis dan radiografi juga dapat digunakan untuk penentuan perkembangan gigi.5 -Penentuan usia antara 15 dan 22 tahun tergantung dari perkembangan gigi molar tiga yang pertumbuhannya bervariasi. Setelah melebihi usia 22 tahun, terjadi degenerasi dan perubahan pada gigi melalui terjadinya proses patologis yang lambat dan hal seperti ini dapat digunakan untuk aplikasi forensik.6-

b. Penentuan Jenis Kelamin Ukuran dan bentuk gigi juga digunakan untuk penentuan jenis kelamin. Gigi geligi menunjukkan jenis kelamin berdasarkan kaninus mandibulanya. Anderson mencatat bahwa pada 75% kasus, mesio distal pada wanita berdiameter kurang dari 6,7 mm, sedangkan pada pria lebih dari 7 mm. Saat ini sering dilakukan pemeriksaan DNA dari gigi untuk membedakan jenis kelamin.6 c. Penentuan Ras Gambaran gigi untuk ras mongoloid adalah sebagai berikut:6 1. Insisivus berbentuk sekop. Insisivus pada maksila menunjukkan nyata berbentuk sekop pada 85-99% ras mongoloid. 2 sampai 9 % ras kaukasoid dan 12 % ras negroid memperlihatkan adanya bentuk seperti sekop walaupun tidak terlalu jelas. 2. Dens evaginatus. Aksesoris berbentuk tuberkel pada permukaan oklusal premolar bawah pada 1-4% ras mongoloid. 3. Akar distal tambahan pada molar 1 mandibula ditemukan pada 20% mongoloid. 4. Lengkungan palatum berbentuk elips. 5. Batas bagian bawah mandibula berbentuk lurus. Gambaran gigi untuk Ras kaukasoid adalah sebagai berikut:6 1. Cusp carabelli, yakni berupa tonjolan pada molar 1. 2. Pendataran daerah sisi bucco-lingual pada gigi premolar kedua dari mandibula. 3. Maloklusi pada gigi anterior. 4. Palatum sempit, mengalami elongasi, berbentuk lengkungan parabola. 5. Dagu menonjol. Gambaran gigi untuk ras negroid adalah sebagai berikut:6

1. Pada gigi premolar 1 dari mandibula terdapat dua sampai tiga tonjolan. 2. Sering terdapat open bite. 3. Palatum berbentuk lebar. 4. Protrusi bimaksila.2. Identifikasi dengan cara perbandingan (Identification by comaprison) Adalah membuktikan bahwa mayat yang diperiksa asalah rang yang sama dengan orang yang diperkirakan melalui data mengenai dirinya. Cara ini dilakukan karenasudah diperoleh data antemortem, yang dibuat pada saat korban atau mayat masih hidup untuk dibandingkan dengan data posmortem yang akan diperoleh dari hasil pemeriksaan mulut mayat. Data-data antemortem mengenai korban bisa berupa kartu pengobatan gigi, model gigi, maupun wawancara dengan para keluarga atau kenalan, foto dan juga gambaran foto rontgen yang dibuat semasa hidup. Dari gambaran foto rotngen ini dapat banyak diketahui tentang pengobatan-pengobatan yang telah diberikan, misalnya tambalan, pengisian saluran akar, jembatan, mahkota, dan juga memberi informasi tentang penyakit yang diderita seperti karies, kehilangan tulang periodontal, kelianan-kelainan sekitar apeks gigi dan sebagainya. Juga akan terlihat benda-benda asing didalam tulang rahang atau jaringan lunak akibat suatu tindakan bedah seperi interoseus wiring. Implant, atau tindakantindakan yang sengaja dilakukan untuk tujuan bukan terapi seperti memasukkan suatu susuk kedalam jaringan mulut. 2.2.SIFAT- SIFAT KHUSUS GIGI, DATA ANTE MORTEM, DATA POST MORTEM 2.2.1. Sifat Sifat Khusus Gigi Sifat khusus gigi sehingga dapat dipakai untuk keperluan identifikasi, Cameron sims (1973) mengemukakan bahwa kriteria yang dimiliki gigi sehingga dapat dipakai dalam identifikasi adalah sebagai berikut : 1. Gigi tahan trhadap trauma fisis dan termis dan tahan terhadap dekomposisi 2. Gigi mempunyai bentuk yan jelas dan tertentu 3. Gigi terletak dibagian tubuh yang retif kecil, sehingga sekalipun badan mengalami kehancuran, gigi masih tetap utuh

4. Gigi terletak dibagian tubuh yang mudah dicapai sehingga tidak memerlukan pesiapan khusus

Harvey (1975) mengatakan bahwa berhasilnya identifikasi gigi didasarkan pada tahannya gigi pada waktu bagian tubuh yang lain sudah rusak dan tidak mungkin lagi untuk digunakan dalam isentifikasi, selain tu gigi merupakan jaringan yang paling keas dan kuat, tahan terhadap pengaruh sekitrnya dan tetap bentuknya, karena gigi mengandung kadar mineral yang sangat tinggi. menurut gustafo (1966) penyelidikan menunjkan kalau gigi dibirkan pada suhu tinggi menjadi lapuk pada suhu 400 F, dan menjadi abu ada suhu 900 F. Tetapi karena terlindungi jaringan unak dan tulang maka terhindar dari kerusakan dan tahan suhu lebih tinggi. kalau terbakar hangus karena ai terbuka, akarnya masih bisa digunakan untuk identifikasi. 13 Selain itu bahan bahan yang dipergunakan dalam kedokteran gigi sebagian besar juga tahan terhadap panas. Scott melaporkan bahwa kekuatan terhadap panas dari bahan bahan tersebut sangat bervariasi. Menurutnya, gigi dapat menjadi abu pada suhu 1000- 1200F. Mahkota dan inlay yang terbuat dari emas biasanya melebur pada suhu 1600- 2000F. Bahan porselen yang biasanya dipakai dalam jembatan, mahkota jaket artifisial pada protesa dapat bertahan pada suhu 2000F. Akrilik merah yang digunakan sebagai landasan gigi akan rusak pada temperature dibawah temperatur yang dibutuhkan menghancurkn gigi asli. Sedangkan restorasi amlagam ketahanannya tergantung pada komposisinya. Restorsi amalgam dapat saja rusak pada suhu rendah atau dapat bertahan dari kerusakan pada suhu 1600F. 12 Selain itu susunan gigi pada umumnya berjumlah 32, memunyai tingkat individualitas tang tinggi seperti: 1. Setiap gigi yang pada umumnya berjumlah 32 mempunyai bentuk masingmasing yang khas dan jelas. 2. Masing- masing dapat ditentukan secara pasti letaknya dlam mulut 3. Dalam hubunan antar gigi dan letaknya dalam mulut terdapat variasi yang tinggi Sifat individualitas gigi ini dipengaruhi oleh faktor- faktor sebagai berikut: 1. Hubungan antar gigi dan letaknya dalam mulut

2. Hubungan antar susunan gigi dirahang atas dan rahang bawah dikenal beberapa

hubungan, antara lain seperti yang diklasifikasikan oleh Dr.Angle 3. Anomali atau kelainan anatomi gigi seperti seperti : konus, mesio dens, carrabeli, fusi dan sebagainya 4. Adanya diastema 5. Adanya torus palatinus dan tonus andibularis Keadaan- keadaan pokok diatas masih dapat diengaruhi oleh berbagai kondisi khusus seperti : 1. Kerusakan gigi mulai dari karies superfisialis sampai profunda, bentuk karies, serta vital dan non vital 2. Atrisi, abrasi, erosi yang terjadi pada gigi 3. Enambalan yang dilakukan baik mengenai bentukna (MO, MOD, DO,tambalan oklusal) maupun variasi yang digunakan 4. Masih dan tidaknya gigi (dicabut, agenesis, impaksi) 5. Penggantian gigi yang dilakukan, baik berupa mahkotanya, jembatan, maupun protesa lepasan6. Pewarnaan pada gigi- gigi baik karena obat- obatnan maupun karena sebab-

sebab lain. Banyaknya kombinasi hal-hal tersebut akan berjumlah tidak terhingga. Furness (1972) menyatakan bahwa menurut perhitungan komputer dua orang yang giginya sama adalah satu perdua milyar. 13 2.2.2. Data atemortem Data- data antemortem : 1. Kartu rekaman gigi. Informasi khusus yang terdapat pada kartu rekaman mencangkup Tanggal perawatan Gigi yang dirawat (pengisian saluran akar)

-

Permukaan- permukaan yang direstorasi Bahan- bahan restorasi yang digunakan Catatan mengenai protesa yang digunakan

2. Foto rontgen Foto panoramik Foto periaikal Foto bite wing Foto sefalometrik

3. Model gigi Model gigi untuk pembuatan protesa Model gigi untuk restorasi mahkota Model gii untuk perawatan ortodonsia

4. Perangkat prostetik Jembatan Gigi tiruan

5. Foto Foto profil Foto close up

6. Keterangan dan pernyataan orang terdekat dibawah sumpah, mengenai : Ciri- ciri fisik korban Perawatan gigi yang pernah dilakukan

Data antemortem dapat diperoleh dari sumber- sumebr seperti praktek swasta, lembaga/ pusat pendidikan, ruah sakit, instalasi pelayanan kedokteran

gigi, di ABRI, veteran, dan lembaga permasyarakatan serta dari sanak sudara , dan orang terdekat. 14 2.2.3. Data post mortem Data postmortem diketahui setelah diperoleh kedalam mulut mayat , data- data yang perlu dicatat pada pemerikasaan gigi post mortem secara terperinci adalah: 1. Gigi yang ada dan tidak ada 2. Restorasi gigi dengan klasifikasi kavitas dan bahan yang dipakai 3. Protesa termasuk jumla gigi yang diganti dan bahan yang dipakai 4. Karies gigi 5. Malposisi dan rotasi gigi 6. Kelainan bentuk mahkotanya 7. Oklusi dengan klasifikasi angle 8. Pengobatan saluran akar gigi dengan menggunakan foto rontgen 9. Pola tulang alveolar dilihat dari foto rontgen 10. Keadaan patologis dalam mulut termasuk didalamnya torus, kelainan lidah, keadaan gusi dan kista. 11. Perubahan yang terjadi pada gigi seperti atrisi dan abrasi Pemeriksaan postmortem hendaknya dilakukan seteliti mungkin untuk mendapatkan hasil yang terperinci. Oleh karena itu diperiksa kembali sebelum dianggap selesai. Prosedur pemeriksaan harus diselesaikan keseluruhannya, karenakesempatan untuk pemeriksaan ulang atu tambahan tidak mungkin ada lagi. Setelah data ini diperoleh, maka identifikasi dapat dilakukan pada gigi yang memenuhi syarat. Dalam melakukan suatu pemeriksaan pada mulut mayat, maka kondisi mayat sangat menentukan pemeriksaan postmortem dimana gigi dan rahang jelas terlihat untuk mudah diperiksa. Luntz 1973 menyusun suatu klasifikasi praktis menurut keadaan kepala waktu diperiksa yaitu :

1. Kepala untu dan normal 2. Kepala tinggal kerangga tanpa jaringan lunak 3. Terbakar hangus 4. Rusak dan hancur 5. Mengalami dekomposisi 6. Kombinasi terbakar, hancur dan dokomposisi Bila kepala masih utuh, atas pertimbangan kemanusiaan sedapatnya jangan sampai dirusak. Dalam mengatasi kaku mayat (rigor mortis) apabila pemeriksaan tersebut terlalu sulit, maka diakukan insisi berbentuk tapal kuda mulai dari angulus mandibula lewat dibawah korpus mandibula dan dagu terus samai pada angulus sisi lain. Dengan memotong vestibulum bawah, bagian bibir dan pipi kiri dapat ditarik keatas, sampai menampakan rahang dan gigi. Selesai pemeriksaan, bagian tersebut dapat dikembalikan seperti semula. Kepala yang tinggal kerangka dapat diperiksa secara langsung setelah kerangga tersebut dibersihkan, sedangkan kepala terbakar hangus, jaringan kaku, keras dan berarang akan merupakan rintangan maka sebaiknya rahang dilepas. Rahang yang sudah dilepas mudah diteliti dan dibuat foto rontgen. Luntz menganjurkan disartikulasi atau reseksi dari rahang dengan memotong sejauh mungkin dibelakang daerah molar ketiga dan reseksi rahang atas setinggi mungkin diatas prosesus alneolaris agar ujung akar tidak ikut terpotong. Apabila kepala rusak akibat trauma, luka perlu diselidiki dan dinilai untuk merekonstruksi bagian- bagian tulang maupun fragmen gigi, supaya diketahui tambalan gigi, inlay, mahkota atau jembatan yang lepas dan protesa yang terpental keluar mulut. Dalam keadaan mayat yang membusuk, keadaan kulit sudah berubah, tetapi karena jaringan dalam keadaan lunak dan lemas, mulut mudah dibuka. 13

2.3.PENGGUNAAN FOTO RONTGEN DALAM BIDANG ODONTOLOGI FORENSIK

2.3.1. Aplikasi radiology dalam proses identifikasi Pemeriksaan radiologist untuk tujuan identifikasi dapat dibahagi dalam 3 kelompok 1. Untuk memeriksa sturuktur anotomis dari tulang mayat,apakah mayat yang ditemui itu adalah manusia atau binatang dan selanjutnya perkiraan umur dan kelamin dari mayat tersebut. 2. Untuk perbandingan comparison radiography apabila kita telah mendapatkan set dokumen foto rongen dari korban yang dibuat dahulu untuk kepntingan diagnose. 3. Untuk mengetahui kelainan struktur individual dari mayat misalnya bekas trauma dan kelainan congenital atau suatu proses penyakit. Untuk tujuan comparison radiography bagian kepala dari korban merupakan bagian yang dapat menentukan dalam proses identifikasi karena bagian-bagian tertentu menunjukkan cirri-ciri khas untuk setiap individu seperti gigi geligi,sinus frontalis,beberapa indekas sefalometriks dari kepala dan sebagainya. 15 Karena keakuratanya foto rongen gigi merupakan data antemortem yang paling dapat diharapkan untuk dipakai dalam identifikasi gigi.data yang paling berharga yang mendasari identifikasi gigi tersebut dapat berasal dari perbandingan foto rongen antemortem dan post mortem. 2.3.2. Macam foto rontgen yang dipakai Pada umunya ada empat macam foto rongen yang digunakan dalam bidang odontologi forensic: 1. foto panoramik Foto panoramic digunakan untuk memperoleh gambaran yang lengkap dari rahang atas dan rahang bawah,seluruh gigi berserta struktur-struktur disekitarnya. Foto panoramik lebih mudah dianalisa sehingga lebih sering digunakan. Kerugian dari foto panoramik adalah kenyataan bahwa rahnag atas dan bawah harus dilepas dari mayat saat otopsi sebelum pemotretan dilakukan.

2. foto sefalometrik Foto jenis ininjarang dipakai di bidang forensic karena untuk

menghasilkanya diperlukan pesawat rontgen khusus yang disebut cephalostat dan jenasah sudah harus tinggal kerangka. Untuk menganalisis foto ini lebih baik jika meminta bantuan seorang ortodontis karena analiss film ini agak rumit.foto ini kemudian dibandingkan dgn foto antermortem.

3. Foto periapikal Foto ini merupakan foto rongen standar yang paling sering digunakan dalam bidang kedokteran gigi. Jenis foto ini sering dilakukan pada kasus identifikaso apabila masih terdapat rahang,gigi maupun hanya tinggal fragment gigi. Apabila ditemukan fragment gigi atau bagian gigi seperti pada kasusu kebakarab,fragmen ini mungkin dapat diletakkan pada periapikal film untuk kemudian difoto rontgen secara tersendiri. Dapat terlihat adanya pengisian saluran akar pada fragment tersebut maupun keadaan lain seperti preparasi

kavitas,mahkota yang overhanging atau bentuk anatomi yang abnormal dan yidak dapat segera terlihat dengan pemeriksaan visual.

4. Foto bitewing Foto jenis ini merupakan salah satu alat diagnosa yang paling umum pada banyak praktek dokter gigi,seharusnya dimasukkan sebagai bagian dari pemeriksaan postmortem.pada penyinaran tunggal tiap sisi mulut bitewing menghasilkan sebuah gambaran yang memperlihatkan karies dan restorasirestorasi yang umumnya pada gigi posterior.

2.3.3. Pengambilan Foto Dental post mortem Dalam pengambilan dental foto post mortem, meskipun pesawat rotgen biasa dapat dipakai, masalah yang timbul adalah sulitnya membawa subjek atau mayat ke tempat pemotetran. Karena biasanya dalam ruang penyimpanan mayat atau ruang otopsi tidak terdapat pesawat foto rontgen. Bahkan di rumah sakit sekalipun, dokter gigi kadang masih menemui kesulitan dalam melakukan pemotretan foto rontgen post morte. Pegawai rumah sakit kadangkala enggan untuk bekerja sama disebabkan ha-hal tertentu seperti adanya bau, adanya kemungkinan terkontaminasi dan kesuitan dalam menangani mayat untuk dilakukan foto rontgen.

Masalah-masaah ini dapat diatasi apabila tersedia pesawat foto rontgen portable di tempat dimana pemeriksaan gigi post mortem akan dilakukan. 9 Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum pembuatan foto rontgen postmortem adalah: 1. Apakah identfikasi tersebut bersifat rekonstruksi atau perbandingan 2. Apakah terdapat foto rontgen antemortem, bila ada apakah masih dapat digunakan. 3. Apakah bukti gigi merupakan satu-satunya cara yang dapat dipakai untuk identfikasi pada kasus itu. 4. Apakah mayat dalam keadaan membusuk atau tinggal kerangka 5. Apakah kasus tersebut merupakan kasus kriminal atau non kriminal. 6. Apakah terdapat ciri-ciri khusus yang memenuhi syarat untuk identifikasi. 7. Dapatkah foto rontgen ektra oral digunakan8. Apakah rahang dapat dilepaskan ataukah wajah harus tetap utuh. 10

Jika terdapat foto rontgen antemortem, pemotretan foto rontgen postmortem harus dilakukan semirip mungkin dengan foto rontgen antemortem tersebut, baik dalam sudut pengambilan maupun rehio yang difot. Jika foto rontgen antemortem tidak dapat digunakan atau sama sekali tidak ada, maka pemotretan foto rontgen periapikal dan bite wing sebaiknya dilakukan. Yang perlu diperhatikan adalah adanya perbedaan pada teknik yang dipergunakan dalam pemotretan foto rontgen postmortem dengan teknik yang biasa dipakai pada pemotrean foto rontgen untuk keperluan diagnosa pada pasien hidup. Perbedaan-perbedaan tersebut terdapat pada aspek-aspek berikut : 1. Waktu penyinaran

Untuk melakukan foto rontgen pada orang yang sudah meninggal biasanya waktu penyinaran dikurangi sepertiga sampai setengah dari waktu penyinaran pada

pasien hidup tergantung kondisi rahang mayat tersebut sesuai dengan ketebalan jaringan yang tersisa ada mayat tersebut. Sebelum melakukan foto rontgen yang sebenarnya, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu penyinaran percobaan sebagai pedoman waktu penyinaran. Film tersebut harus segera diproses, dan hasil yang didapat dijadikan sebaai pedoman untuk melakukan penyesuaian dengan menambah atau engurangi waktu penyinaran apabila diperlukan. Pada rahang yang tinggal kerangka yang tidak terdapat lagi sisa-sisa jaringan lunak, waktu penyinaran yang diperlukan untuk pengambilan foto rontgen dental adalah setengah dari waktu penyinaran yang dibutuhkan pada pemotretan foto rontgen pasien hidup. Sedangkan untuk rahang yang kehilangan sebagian jaringan lunaknya, misalnya setelah mengalami pembusukan atau terbakar. Pada keadaan ini waktu penyinaran yang diperluka untuk melakukan foto rontgen post mortem adalah lebih kurang dua pertiga dari waktu penyinaran yang diperlukan untuk mebuat foto rontgen pada pasien hidup. 9 Untuk menghasilkan kontras yang baik antara gigi dengan bahan pengisi saluran akar, harus dilakukan pengurangan pada besarnya miliamperesedangkan penyinaran sedikit diperbesar. 11 2. Posisi kepala, rahang atau gigi Pada pengambilan foto rontgen postmortem, terdapat perbedaan dalam posisi kepala, rahang atau gigi, hal ini disebabkan karena keadaan mayat yang kaku seringkali sulit untuk diletakkan pada posisi yang ideal. Tidak seperti pengambilan foto rontgen pada pasien hidup, kita tidak dapat mengharapkan sifat kooperatif dari mayat atau subyek untuk mendapatkan posisi yang ideal. Untuk meakukan pengamblan foto rotgen postmortem harus dilakukan sehatihati mungkin, sehingga posisi kepala, rahang atau gigi-gigi dapat diletakkan pada posisi yang paling mendekati dengan posisi pada saat antemortem atau pada pasien hidup. Pada rahang yang tinggal kerangka atau rahang yang sudah lepas, angulasi yang digunakan pada pasien hidup dapat digunakan, asalkan rahang dapat diletakkan waktu

sedemikian rupa, sehingga posisinya mendekati keadaan normal pada pasien yang hidup yaitu dataran oklusal sejajar dengan lantai. Untuk membantu menahan rahang pada posisi yang tepat, dapat digunakan tanah liat maupun lilin model yang lunak sebagai penahan atau pengganjal. Pada rahang yang masih terdapat jaringan lunak dan masih terpasang pada tubuh mayat, harus benar-benar diperhatikan posisinya. Pada keadaan ini karena mayat biasanya sukar diletakkan pada posisi tegak atau duduk, penyinaran harus dilakukan pada posisi mayat yang berbarig. Hal ini berarti posisi gigi mayat berlawanan dengan posisi pada pasien hidup. Jika pada pasien hidup dataran oklusal sejajar lantai maka pada posisi mayat berbaring dataran oklusal justru membentuk sudut dengan lantai, untuk itu angulasi tabung sinar rontgen harus disesuaikan dengan pedoman, film harus tegak lurus dengan arah datang sinar. 9 Mungkin juga perlu diperlukan beberapa kali pemotretan dengan angulasi tabung yang berbeda, sehingga dapat diperoleh sudutyang sama dengan yang dipergunakan pada foto rontgen antemortem. 11 3. Penempatan film dan alat pemegangnya Untuk mendapatkan posisi yang paling tepat dalam meletakkan film baik terhadap rahang, gigi-gigi maupun terhadap arah datang sinar dari tabung sinar rontgen, diperlukan ketelitian. Berbeda dengan pasien yang masih hidup pada mayat tidak dapat diarahkan dalam penempatan film dan fiksasinya. Untuk menghindari bahaya radiasi dokter gigi atau operator dilarang memegang film untuk itu diperlukan alat pembantu pemegang film seperti : 1. Snap A ray Film holder 2. Sta-put-bite wing tabs 3. Stabe film holder 4. Premier angulator 5. Tanah liat atau lilin model lunak

2.3.4. Perbandingan foto rontgen antemortem dan postmortem Membandingkan foto rontgen antemortem dan postmortem harus dilakukan seteliti mungkin. Baik foto rontgen ekstra oral maupun intraoral, keduanya harus dibandingkan. Harus diusahakan mencari kemiripan yang sebanyak mungkin dari foto rontgen antemortem dan postmortem seperti gigi yang hilang, pengisian saluran akar, karies, bentuk pulpa dan bentuk akar , bentuk restorasi dan tambalan gigi, kelainan-kelainan periapikal, kelainan periodontal, pola tulang alvelar, perkembangan gigi dan mungkin perbedaan bentuk anatomi seperti letak foramen mentalis, kanalis mandibularis, cedera pada tulang, garis luar sinus serta kelainan tulang rahang mungkin dapat emberikan identifikasi yang positif. Juga hubungan antara gigi rahang atas dan rahang bawah. Pada pokoknya semua hal dan kelainan yang terlihat dapat dibandingkan untuk menghasikan identifikasi yang meyakinkan.