Referat Limfadenitis TwewB

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    1/24

    1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Pada tahun 2009, diperkirakan terdapat 9,4 juta kasus insidens dari

    tuberkulosis secara global atau setara dengan 137 kasus per 100.000 populasi

    (WHO, 2010). Indonesia sendiri pada tahun 2009 menempati peringkat kelima

    negara dengan insidensi TB tertinggi di dunia sebanyak 0,35-0,52 juta setelah

    India (1,6-2,4 juta), China (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,40-0,59 juta), dan

    Nigeria (0,37-0,55 juta) (WHO, 2010). Dimana pada tahun 2006 yang lalu

    menurut WHO Indonesia sempat menempati peringkat ketiga di dunia setelah

    India dan China dengan jumlah kasus baru sekitar 539.000 (Depkes, 2007).

    Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ di tubuh. Walaupun

    TB pulmoner adalah kasus paling banyak, TB ekstrapulmoner juga merupakan

    salah satu masalah klinis yang tidak kalah penting. Istilah TB ekstrapulmoner

    digunakan pada tuberkulosis yang terjadi selain pada organ selain paru-paru.

    Berdasarkan epidemiologi TB ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari semua

    kasus TB pada pasien HIV-negatif, dimana limfadenitis TB merupakan bentuk

    terbanyak (35% dari semua TB ekstrapulmoner). Sedangkan pada pasien dengan

    HIV-positif TB ekstrapulmoner adalah lebih dari 50 persen kasus TB, dimana

    limfadenitis tetap yang terbanyak yaitu 35% dari TB ekstrapulmoner (Sharma,

    2004).

    Tuberkulosis kelenjar limfe adalah salah satu penyakit yang sangat unik dan

    telah lama dikenal. Pada tahun 460-377 SM Hippocrates menyebutkan tumor

    skrofula dalam tulisannya. Raja-raja Eropa dari abad pertengahan menyebut

    penyakit ini sebagai kings evil. Istilah lain skrofula diambil dari bahasa latinyang berarti pembengkakan kelenjar (Mohapatra, 2009).

    Di India dan kebanyakan negara berkembang lainnya limfadenitis TB

    menjadi bentuk yang paling sering dari TB ekstrapulmoner sedangkan

    limfadenitis yang disebabkan oleh non-tuberculous mycobacterium sendiri jarang

    didapat (Sharma, 2004).

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    2/24

    2

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    I. DefinisiLimfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah

    bening, sedangkan limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada

    kelenjar limfe atau getah bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis

    (Dorland, 2002). Apabila peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher

    disebut dengan scrofula. Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang

    biasanya paling sering terjadi. Istilah scrofula diambil dari bahasa latin yang

    berarti pembengkakan kelenjar. Infeksi M.tuberculosis pada kulit disebabkan

    oleh perluasan langsung tuberkulosis ke kulit dari struktur dasarnya atau

    terpajan langsung melalui kontak dengan M.tuberkulosis yang disebut dengan

    scrofuloderma. (Kumar, 2004).

    II. EpidemiologiPada beberapa abad tuberkulosis menjadi penyakit yang mengerikan bagi

    umat manusia. Tuberkulosis masih merupakan penyebab kematian tersering

    pada golongan penyakit infeksi. WHO memprediksikan insidensi penyakit

    tuberkulosis ini akan terus meningkat, dimana akan terdapat 12 juta kasus baru

    dan 3 juta kematian akibat penyakit tuberkulosis setiap tahun. Sepertiga dari

    peningkatan jumlah kasus baru disebabkan oleh epidemi HIV, dimana

    tuberkulosis menyebabkan kematian pada satu orang dari tujuh orang yang

    menderita AIDS (Ioachim, 2009).

    Indonesia pada tahun 2009 menempati peringkat kelima negara dengan

    insidensi TB tertinggi di dunia sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India (1,6-2,4juta), Cina (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,40-0,59 juta), dan Nigeria (0,37-

    0,55 juta) (WHO, 2010). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995

    menempatkan TB sebagai penyebab kematian terbesar ketiga setelah penyakit

    kardiovaskular dan penyakit saluran pernapasan, dan merupakan nomor satu

    terbesar dalam kelompok penyakit infeksi (Depkes, 2007).

    Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ tubuh. Meskipun

    TB pulmoner adalah kasus yang paling banyak, TB ekstrapulmoner juga

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    3/24

    3

    merupakan salah satu masalah yang tidak kalah penting. Istilah TB ekstra-

    pulmoner digunakan pada tuberkulosis yang terjadi selain pada paru-paru.

    Berdasarkan epidemiologi TB ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari semua

    kasus TB pada pasien HIV-negatif, dimana limfadenitis TB merupakan bentuk

    terbanyak (35% dari semua TB ekstrapulmoner). Sedangkan pada pasien

    dengan HIV-positif TB ekstrapulmoner adalah lebih dari 50% kasus TB,

    dimana limfadenitis tetap yang terbanyak yaitu 35% dari TB ekstrapulmoner.

    III. EtiologiLimfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium

    tuberculosis. Mycobacteria tergolong dalam famili Mycobactericeae dan ordo

    Actinomyceales. Spesies patogen yang termasuk dalam Mycobacterium

    kompleks, yang merupakan agen penyebab penyakit yang tersering dan

    terpenting adalah Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong dalam

    Mycobacterium tuberculosae complex adalah : 1.M. tuberculosae, 2.M. bovis,

    3. M. caprae, 4. M. africanum, 5. M. Microti, 6. M. Pinnipedii, 7. M.canettii

    Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan epidemiologi (Brooks, Butel, dan

    Morse, 2004).

    Basil TB adalah bakteri aerobik obligatberbentuk batang tipis lurus

    berukuran sekitar 0,4 x 3 m dan tidak berspora. Pada media buatan berbentuk

    kokoid dan filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke spesies lain.

    Mycobacteria termasukM.tuberculosis tidak dapat diwarnai dengan pewarnaan

    Gram dan hanya dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus yang sangat kuat

    mengikat zat warna tersebut sehingga tidak dapat dilunturkan walaupun

    menggunakan asam alkohol, sehingga dijuluki bakteri tahan asam.

    M.tuberculosis mudah mengikat pewarna Ziehl-Neelsen atau karbol fuksin(Brooks, Butel, dan Morse, 2004).

    Dinding bakteri Mikobakterium kaya akan lipid yang terdiri dari asam

    mikolat, lilin, dan fosfat. Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan

    asam mikolat dapat menyebabkan pembentukan granuloma. Lipid inilah yang

    bertanggung jawab pada sifat tahan asam bakteri Mikobakterium. Penghi-

    langan lipid dengan menggunakan asam yang panas menghancurkan sifat tahan

    asam bakteri ini (Brooks, Butel, dan Morse, 2004).

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    4/24

    4

    IV. PatogenesisSecara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB

    pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan menjadi

    TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). Basil

    tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang disebut

    sebagai TB ekstrapulmoner. Organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh

    basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang,

    meningens, peritoneum, dan perikardium.

    TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap

    basil tuberculosis. Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet.

    Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami

    dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit oleh makrofag.

    Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam

    makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar secara limfogen,

    perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil TB ini

    pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus, dimana

    penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di sepanjang

    saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional (limfadenitis). Pada

    orang yang mempunyai imunitas baik, dalam waktu 3 4 minggu setelah

    infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi

    penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag

    membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon

    bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan

    kompleks Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal penting.

    Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitasseluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu

    lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang

    dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali

    menimbulkan penyakit.

    Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah

    memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya

    imunitas seluler akan membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    5/24

    5

    primer disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti

    pada TB primer, basil TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama

    melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ. Kelenjar limfe

    hilus, mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari

    infeksi TB pada parenkim paru (Mohapatra, 2009).

    Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu

    menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil

    TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan

    difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke

    kelenjar limfe di leher.

    Patogenesis Tuberkulosis Pada Anak

    Pintu masuk M. tuberculosis pada semua pasien anak-anak adalah

    saluran pernapasan. Selain itu, konsumsi susu sapi yang mengandung

    M.Tuberkulosis sapi dapat menyebabkan lesi primer pada saluran

    gastrointestinal. Rute infeksi melalui kulit atau selaput lendir sngat jarang

    terjadi, seperti melalui abrasi, atau gigitan serangga (Starke, 2004).

    Basil tuberkulosis pada awalnya berada dalam alveoli dan saluran

    alveolar. Beberapa basil tersebut tertelan tetapi tidak dihancurkan oleh

    makrofag. Akibatnya organisme tersebut terbawa melalui saluran limfatik ke

    kelenjar getah bening regional. Kelompok utama kelenjar getah bening yang

    terlibat pada anak-anak berada di daerah hilus, meskipun kelenjar paratrakeal

    dan subcarinal juga mungkin terlibat, tergantung pada di mana organisme itu

    berada (Starke, 2004).

    Seperti pada orang dewasa, masa inkubasi basil tuberkulum yang terhirup

    biasanya antara 3 dan 12 minggu, dan paling sering antara 4 sampai 8 minggu.Beberapa anak mengalami demam yang berlangsung dari 1 sampai 3 minggu

    ketika reaksi hipersensitivitas berkembang. Gejala pada anak-anak bisa saja

    terdapat batuk ringan dan gejala pernafasan lainnya. Kompleks primer TB pada

    anak-anak terdiri dari reaksi lokal di parenkim paru-paru dan reaksi inflamasi

    kelenjar getah bening sekitarnya. Pada kebanyakan kasus, bagian parenkim

    dari kompleks primer dapat sembuh oleh fibrosis dan tidak ditemui gejala

    klinis yang signifikan. Kadang-kadang, lesi parenkim terus memperbesar

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    6/24

    6

    mengakibatkan pneumonitis fokal dan penebalan pleura bagian atas. Fokus

    pada kelenjar getah bening regional mengalami fibrosis tetapi penyembuhan

    biasanya kurang lengkap dibandingkan lesi di parenkim. M. tuberculosis dapat

    bertahan selama beberapa dekade setelah fibrosis atau kalsifikasi pada kelenjar

    getah bening (Starke, 2004).

    Pada kebanyakan kasus infeksi awal TB pada anak hasil tes kulit

    tuberkulin menunjukkan hasil positif, tetapi kelenjar getah bening tetap dalam

    ukuran normal, lesi parenkim paru tidak terlihat pada foto thorak, dan anak

    tidak menunjukkan gejala dan komplikasi. Tahap ini sudah masuk dalam tahap

    infeksi tuberkulosis dan kebanyakan anak memiliki rontgen dada normal.

    Kadang-kadang, beberapa anak menunjukkan gejala fibrosis atau kalsifikasi

    pada parenkim atau kelenjar getah bening. Namun, pada beberapa anak,

    kelenjar getah bening membesar oleh karena reaksi inflamasi. Kelenjar getah

    bening kemudian mengganggu daerah bronkus sehingga dapat terjadi obstruksi

    parsial disebabkan oleh kompresi eksternal yang kemudian dapat menyebabkan

    hiperinflasi di segmen distal paru. Kompresi ini kadang-kadang menyebabkan

    obstruksi lengkap bronkus sehingga mengakibatkan atelektasis dari segmen

    paru. Pada umumnya, nodus caseous yang meradang menempel pada dinding

    bronkus dan mengikis bagian tersebut sehingga menyebabkan tuberkulosis

    endobronkial dan ekstrusi saluran fistulous. Ekstrusi bahan caseous ke dalam

    bronkus mengakibatkan transmis infeksi pada parenkim paru yang

    menyebabkan obstruksi bronkial dan atelectasis tahap selanjutnya. Kombinasi

    lesi pneumonitis dan atelectasis ini, sering disebut sebagai collapse-

    consolidation atau segmental lesion. Jika nodus daerah subcarinal terlibat,

    maka pembesaran dapat menyebabkan invasi struktur yang berdekatan sepertiperikardium atau kerongkongan, sehingga terjadi perikarditis atau fistula trakeo

    (Starke, 2004).

    Selama pengembangan lesi parenkim dan kelenjar getah benin, basil

    tuberkulum mengalami penyebaran kompleks primer melalui aliran darah dan

    limfatik ke berbagai bagian tubuh. Daerah yang paling sering terkena adalah

    parenkim paru-paru, hati, limpa, meninges, peritoneum, kelenjar getah bening,

    pleura, dan tulang (Starke, 2004).

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    7/24

    7

    Penyebaran secara lymphohematogen yang mengarah ke TB miliaria atau

    terjadi pada 0,5-2% dari anak yang terinfeksi. Infeksi kelenjar getah bening

    secara klinis atau tuberkulosis paru biasanya muncul dalam waktu 3 sampai 9

    bulan. Namun, lesi di tulang dan sendi dan ginjal memakan waktu lebih lama

    untuk, sering beberapa tahun setelah infeksi pertama terjadi. Singkatnya,

    sebagian besar kasus TB pada anak terjadi dalam 1 tahun infeksi (Starke,

    2004).

    V. Manifestasi KlinisLimfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB

    ekstrapulmoner. Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal dari

    penyakit sistemik. Pasien biasanya datang dengan keluhan pembesaran kelenjar

    getah bening yang lambat. Pada pasien limfadenitis TB dengan HIV-negatif,

    limfadenopati leher terisolasi adalah manifestasi yang paling sering dijumpai

    yaitu sekitar dua pertiga pasien. Oleh karena itu, infeksi mikobakterium harus

    menjadi salah satu diagnosis banding dari pembengkakan kelenjar getah

    bening, terutama pada daerah yang endemis. Durasi gejala sebelum diagnosis

    berkisar dari beberapa minggu sampai beberapa bulan (Mohapatra, 2009).

    Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening

    servikalis, kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar

    mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar

    inguinalis (Mohapatra, 2009). Menurut Sharma (2004), pada pasien dengan

    HIV-negatif maupun HIV-positif, kelenjar limfe servikalis adalah yang paling

    sering terkena, diikuti oleh kelenjar limfe aksilaris dan inguinalis.

    Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau

    bilateral, tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak nyeridan berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan

    paling sering berlokasi di regio servikalis posterior dan yang lebih jarang di

    regio supraklavikular (Mohapatra, 2009). Keterlibatan multifokal ditemukan

    pada 39% pasien HIV-negatif dan pada 90% pasien HIV-positif. Pada pasien

    HIV-positif, keterlibatan multifokal, limfadenopati intratorakalis dan

    intraabdominal serta TB paru adalah sering ditemukan (Sharma, 2009).

    Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    8/24

    8

    yaitu seperti demam, penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam.

    Lebih dari 57% pasien tidak menunjukkan gejala sistemik (Mohapatra, 2004)..

    Menurut Jones dan Campbell (1962) dalam Mohapatra (2009)

    limfadenopati tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima

    stadium yaitu:

    1. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret.2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan

    sekitar oleh karena adanya periadenitis.

    3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibatpembentukan abses.

    4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.

    Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit.

    Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali (i) terjadi infeksi

    sekunder bakteri, (ii) pembesaran kelenjar yang cepat atau (iii) koinsidensi

    dengan infeksi HIV. Abses kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-

    kadang dapat terjadi sinus yang tidak menyembuh secara kronis dan

    pembentukan ulkus. Pembentukan fistula terjadi pada 10% dari limfadenitis TB

    servikalis (Mohapatra, 2009).

    Skrofuloderma adalah infeksi mikobakterial pada kulit disebabkan oleh

    perluasan langsung infeksi TB ke kulit dari struktur dibawahnya atau oleh

    paparan langsung terhadap basil TB (Mohapatra, 2009).

    Limfadenitis TB mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada

    dewasa limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi yang

    jarang terjadi pada pasien dengan keterlibatan kelenjar limfe mediastinaltermasuk disfagia, fistula oesophagomediastinal, dan fistula tracheo-

    oesophageal. Pembengkakan kelenjar limfe mediastinal dan abdomen atas juga

    dapat menyebabkan obstruksi duktus toraksikus dan chylothorax, chylous

    ascites ataupun chyluria. Pada keadaan tertentu, obstruksi biliaris akibat

    pembesaran kelenjar limfe dapat menyebabkan obstructive jaundice.

    Tamponade jantung juga pernah dilaporkan terjadi akibat limfadenitis

    mediastinal (Mohapatra, 2009).

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    9/24

    9

    Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran 2 cm biasanya

    disebabkan oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm

    biasanya disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup

    kemungkinan pembengkakan tersebut disebabkan olehM.tuberculosis.

    VI. DiagnosisUntuk mendiagnosa limfadenitis TB dilakukan melalui anamnesis dan

    pemeriksaan fisik yang lengkap. Selain itu ditunjang oleh pemeriksaan

    penunjang seperti pemeriksaan mikrobiologi, tes tuberculin, pemeriksaan

    sitologi, dan pemeriksaan radiologis. Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut

    penting untuk membantu dalam membuat diagnosis awal yang dapat digunakan

    sebagai pedoman dalam memberikan pengobatan sebelum diagnosis akhir

    dapat dibuat berdasarkan biopsi dan kultur. Selain itu, juga penting untuk

    membedakan jenis penyebab infeksi apakah karena mikobakterium

    tuberkulosis atau non-tuberkulosis.

    Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa

    limfadenitis TB :

    1. Pemeriksaan mikrobiologiPemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan mikroskopis

    dan kultur. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan Ziehl-

    Neelsen. Spesimen untuk pewarnaan dapat diperoleh dari sinus atau biopsi

    aspirasi. Dengan pemeriksaan ini kita dapat memastikan adanya basil

    mikobakterium pada spesimen, diperlukan minimal 10.000 basil TB agar

    perwarnaan dapat positif (Mohapatra, 2009).

    Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis

    limfadenitis TB. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk membuat hasilkultur positif. Hasil kultur positif hanya pada 10-69% kasus. Berbagai

    media dapat digunakan seperti Petregnani, Trudeau, Middle-brook, dan

    Bactec TB. Diperlukan waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasil

    kultur. Pada adenitis tuberkulosa,M.tuberculosis adalah penyebab tersering,

    diikuti olehM.bovis (Mohapatra, 2009).

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    10/24

    10

    2. Tes TuberkulinPemeriksaan intradermal ini (Mantoux Test) dilakukan untuk menunjukkan

    adanya reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk antigen mikobakterium

    pada seseorang. Reagen yang digunakan adalah protein purified derivative

    (PPD). Pengukuran indurasi dilakukan 2-10 minggu setelah infeksi.

    Dikatakan positif apabila terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediat

    apabila indurasi 5-9 mm, negatif apabila indurasi kurang dari 4 mm

    (Mohapatra, 2009).

    3. Pemeriksaan SitologiSpesimen untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan menggunakan

    biopsi aspirasi kelenjar limfe. Sensitivitas dan spesifitas pemeriksaan

    sitologi dengan biopsi aspirasi untuk menegakkan diagnosis limfadenitis TB

    adalah 78% dan 99%. CT scan dapat digunakan untuk membantu

    pelaksanaan biopsi aspirasi kelenjar limfe intratoraks dan intraabdominal.

    Pada pemeriksaan sitologi akan terlihat Langhans giant cell, granuloma

    epiteloid, nekrosis kaseosa.

    Muncul kesulitan dalam pendiagnosaan apabila gambaran

    konvensional seperti sel epiteloid atauLanghans giant celltidak ditemukan

    pada aspirat. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lubis (2008), bahwa

    gambaran sitologi bercak gelap dengan materi eusinofilik dapat digunakan

    sebagai tambahan karakteristik tuberkulosis selain gambaran epiteloid dan

    Langhans giant cell. Didapati bahwa aspirat dengan gambaran sitologi

    bercak gelap dengan materi eusinofilik, dapat memberikan hasil positif

    tuberkulosis apabila dikultur (Mohapatra, 2009).

    4.Pemeriksaan Radiologis

    Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dilakukan untuk membantu

    diagnosis limfadenitis TB. Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang

    konsisten dengan TB paru pada 14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks

    lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15%

    kasus (Mohapatra, 2009).

    USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik multilokular

    singular atau multipel hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal.

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    11/24

    11

    Pemeriksaan dengan USG juga dapat dilakukan untuk membedakan

    penyebab pembesaran kelenjar (infeksi TB, metastatik, lymphoma, atau

    reaktif hiperplasia). Pada pembesaran kelenjar yang disebabkan oleh infeksi

    TB biasanya ditandai dengan fusion tendency, peripheral halo, dan internal

    echoes (Mohapatra, 2009).

    Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi

    sentral, adanya cincin irregular pada contrast enhancementserta nodularitas

    didalamnya, derajat homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi

    inflamasi pada lapisan dermal dan subkutan mengarahkan pada limfadenitis

    TB (Mohapatra, 2009).

    Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan

    konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer

    dibandingkan sentral, dan hal ini bersama-sama dengan edema jaringan

    lunak membedakannya dengan kelenjar metastatik (Mohapatra, 2009).

    Diagnosis TB Anak

    Diagnosis TB pada anak sulit dilakukan karena sering terjadi

    misdiagnosis, baik overdiagnosis maupun underdiagnosis. Pada anak-anak

    batuk bukan merupakan gejala utama TB dan pengambilan dahak pada anak

    biasanya sulit, maka untuk mendiagnosis TB anak perlu kriteria lain dengan

    menggunakan sistem skor yang telah dibuat oleh IDAI sebagai Pedoman

    Nasional Tuberkulosis Anak. Sistem ini berupa pembobotan terhadap gejala

    atau tanda klinis yang dijumpai. Pedoman tersebut telah secara resmi dapat

    digunakan oleh program nasional pengendalian tuberkulosis untuk

    mendiagnosis TB anak (PDPI, 2011).

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    12/24

    12

    Tabel 2.1. Sistem Skoring Gejala dan Pemeriksaan Penunjang TB Anak

    (Dikutip dari : Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 2011)

    Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kroniklainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.

    Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapatlangsung didiagnosis tuberkulosis.

    Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname). lampirkan tabelberat badan.

    Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak

    Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari setelahpenyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.

    Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14) Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih

    lanjut.

    Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

    pemeriksaan penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor.

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    13/24

    13

    Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (>6), harus

    ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT (obat anti tuberkulosis).

    Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kearah TB kuat maka

    perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan

    lambung, patologi anatomi, pungsi lumbal, pungsi pleura, foto tulang dan

    sendi, funduskopi, CT-Scan, dan lain lainnya. Selain keadaan-keadaan di atas,

    terdapat beberapa kondisi yang memerlukan perhatian khusus (PDPI, 2011),

    seperti :

    1. Tanda bahaya: Kejang, kaku kuduk Penurunan kesadaran Kegawatan lain, misalnya sesak napas

    2. Foto toraks menunjukkan gambaran milier, kavitas, efusi pleura3.Gibbus, koksitis

    Gambar 2.1. Tatalaksana TB Anak (Dikutip dari : Pedoman Nasional

    Penanggulangan Tuberkulosis 2011)

    VII. PenatalaksanaanPenatalaksanaan limfadenitis TB secara umum dibagi menjadi dua

    bagian, yakni secara farmakologis dan non farmakologis. Terapi non

    farmakologis adalah dengan pembedahan, sedangkan terapi farmakologis

    memiliki prinsip dan regimen obatnya yang sama dengan tuberkulosis paru.

    Pembedahan tidaklah merupakan suatu pilihan terapi yang utama (Zulkifli dan

    Azril, 2006; Partridge, 2010). Prosedur pembedahan yang dapat dilakukan

    adalah dengan:

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    14/24

    14

    a. Biopsi eksisional: Limfadenitis yang disebabkan oleh karena atypicalmycobacteria.

    b. Aspirasic. Insisi dan drainase

    Indikasi dilakukan pembedahan pada limfadenitis adalah ketika pusat

    radang tuberkulosis sudah terdiri dari pengejuan dan dikelilingi jaringan

    fibrosa. Seperti halnya infeksi lain, adanya jaringan nekrosis akan menghambat

    penetrasi antibiotik ke daerah radang sehingga pembasmian kuman tidak

    efektif. Oleh karena itu sarang infeksi di berbagai organ misalnya kaverne di

    paru dan debris di tulang harus dibuang. Jadi, tindak bedah menjadi syarat

    mutlak untuk hasil baik terapi medis. Selain itu tindak bedah juga diperlukan

    untuk mengatasi penyulit, misalnya pada tuberkulosis paru yang menyebabkan

    destruksi luas dan empiema, pada tuberkulosis usus yang menimbulkan

    obstruksi atau perforasi, dan osteitis atau artritis tuberkulosa yang

    menimbulkan cacat.

    Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) (2011) mengklasifikasikan

    limfadenitis TB ke dalam TB ekstra paru dan mendapat terapi Obat Anti

    Tuberkulosis (OAT) Kategori I. Regimen obat yang digunakan adalah 2HRZE/

    4H3R3. Obat yang digunakan adalah Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, dan

    Etambutol.

    Berdasarkan Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (2011).

    OAT terbagi menjadi beberapa golongan, golongan tersebut dapat dilihat di

    bawah ini:

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    15/24

    15

    Tabel 2.2. Golongan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) (Dikutip dari :Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 2011)

    Prinsip-prinsip yang digunakan dalam rangka memperoleh efektifitas

    pengobatan TB adalah (PDPI, 2011):

    a. Menghindari penggunaan monoterapi.Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi dari

    beberapa jenis obat, dengan jumlah dan dosis yang tepat sesuai dengan

    kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap

    OAT.

    b. Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatandilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed

    Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

    c. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.Tahap Intensif

    Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perludiawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.

    Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanyapenderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu.

    Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif(konversi) dalam 2 bulan.

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    16/24

    16

    Tahap Lanjutan

    Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namundalam jangka waktu yang lebih lama

    Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister (dormant)sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

    Regimen pengobatan yang digunakan adalah:

    Kategori 1 (2HRZE/4H3R3)Tahap intensif terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, dan

    Etambutol diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan

    dengan tahap lanjutan yang terdiri dari Rifampisin dan Isoniazid

    diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan.

    Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru:

    - Pasien baru TB paru BTA positif.- Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif- Pasien TB ekstra paru

    Tabel 2.3. Dosis Obat OAT Kombinasi Dosis Tetap dan Kombipak

    Kategori 1 (Dikutip dari : Pedoman Nasional Penanggulangan

    Tuberkulosis 2011)

    Kategori 2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)Tahap intensif terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, Pirazinamid, Etambutol,

    dan Streptomisin. Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan dengan

    diikuti pengobatan dengan regimen yang sama, tanpa disertai

    Streptomisin selama satu bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    17/24

    17

    lanjutan terdiri dari Rifampisin, Isoniazid, dan Etambutol selama 5 bulan

    diberikan 3 kali seminggu. Obat ini diberikan untuk:

    - Pasien kambuh- Pasien gagal- Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

    Tabel 2.4. Dosis Obat OAT Kombinasi Dosis Tetap dan Kombipak

    Kategori 2 (Dikutip dari : Pedoman Nasional Penanggulangan

    Tuberkulosis 2011)

    - Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untukstreptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan.

    - Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus.- Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan

    aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg).

    Kategori Anak (2HRZ/4HR) Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket

    berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini

    terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya

    disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu

    paket untuk satu pasien.

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    18/24

    18

    Penatalaksanaan TB Anak

    Pengobatan TB anak dalam jangka waktu 6 bulan pada sebagian besar

    kasus dinilai cukup. Setelah pengobatan selama 6 bulan, dilakukan evaluasi

    secara klinis maupun penunjang. Evaluasi klinis merupakan parameter terbaik

    untuk menilai keberhasilan pengobatan. Apabila gambaran klinis menunjukkan

    perbaikan yang nyata, tetapi gambaran radiologi tidak menunjukkan perubahan

    yang berarti, OAT tetap dihentikan. Prinsip pengobatan TB pada anak adalah

    dengan memberikan minimal tiga macam obat pada dua bulan pertama, yang

    terdiri dari Rifampisin, Isoniazid dan Pirazinamid. Tahap berikutnya diberikan

    dua macam obat dalam jangka waktu empat bulan, yang terdiri dari

    Rifampisin, Isoniazid, untuk memudahkan mengingat regimen maka dibuat

    rumus 2RHZ/4RH, sehingga total lama pengobatan adalah enam bulan. OAT

    tersebut diberikan pada anak setiap hari, baik pada tahap intensif maupun tahap

    lanjutan. Dosis obat sendiri harus disesuaikan dengan berat badan anak (PDPI,

    2006).

    Tabel 2.5. Tabel Dosis OAT Kombipak dan KDT Pada Anak (Dikutip dari

    : Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 2011)

    Selain informasi dari tabel di atas terdapat keterangan-keterangan yang

    menjelaskan kondisi di luar tabel tersebut, yakni

    Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet. Anak dengan BB > 33 kg , dirujuk ke rumah sakit. Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    19/24

    19

    OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerussesaat sebelum diminum.

    Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis

    Tabel 2.6. Efek Samping Ringan OAT (Dikutip dari : Pedoman Nasional

    Penanggulangan Tuberkulosis 2011)

    Tabel 2.7. Efek Samping Berat OAT (Dikutip dari : Pedoman NasionalPenanggulangan Tuberkulosis 2011)

    Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatalsingkirkan dulu kemungkinan penyebab lain.

    Pasien diberikan terlebih dahulu anti-histamin, sambil meneruskan OATdengan pengawasan ketat.

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    20/24

    20

    Apabila gatal-gatal tersebut terjadi pada sebagian pasien hilang, namun padasebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit, hentikan semua

    OAT dan tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang.

    Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujukKontraindikasi Obat Anti Tuberkulosis

    Obat Kontraindikasi

    Rifampisin Hipersensitifitas, Ikterus

    Ethambutol Neuritis Optik, Anak

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    21/24

    21

    Pasien TB dengan riwayat kontak erat pasien TB MDR ODHA dengan gejala TB-HIV

    Pasien suspek resistensi obat antituberkulosis nantinya akan dipastikan

    melalui pemeriksaan biakan dan uji kepekaan M.tuberkulosis. Semua suspek

    TB MDR diperiksa dahaknya dua kali, salah satu diantaranya harus dahak pagi

    hari. Uji kepekaan M.tuberculosis harus dilakukan di laboratorium yang telah

    tersertifikasi untuk uji kepekaan. Sambil menunggu hasil uji kepekaan, maka

    suspek TB MDR akan tetap meneruskan pengobatan sesuai dengan pedoman

    pengendalian TB Nasional. Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB

    resistan obat di Indonesia terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamycin,

    Capreomisin, Levofloksasin, Ethionamide, sikloserin dan PAS, serta OAT lini-

    1, yaitu pirazinamid and etambutol. Secara umum, prinsip pengobatan MDR

    TB adalah sebagai berikut:

    Pengobatan menggunakan minimal 4 macam OAT yang masih efektif. Jangan menggunakan obat yang kemungkinan menimbulkan resistan silang

    (cross-resistance)

    Membatasi pengunaan obat yang tidak aman (PDPI, 2011).Evaluasi Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis

    Pemantauan keberhasilan pengobatan TB pada orang dewasa dilakukan

    dengan cara pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan ini

    dinilai lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam

    memantau kemajuan pengobatan. Untuk memantau keberhasilan pengobatan

    dilakukan pemeriksaan specimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil

    pemeriksaan dinyatakan negatif bila kedua spesimen tersebut negatif. Bila

    salah satu specimen dinyatakan positif atau keduanya positif, maka hasil

    pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif. Untuk tindak lanjutnya

    dapat dilihat pada tabel di bawah.

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    22/24

    22

    Tabel 2.9. Tabel Tindak Lanjut Pemantauan Keberhasilan Pengobatan

    Kategori I (Dikutip dari : Pedoman Nasional Penanggulangan

    Tuberkulosis 2011)

    Tabel 2.10. Tabel Tindak Lanjut Pemantauan Keberhasilan Pengobatan

    Kategori II (Dikutip dari : Pedoman Nasional Penanggulangan

    Tuberkulosis 2011)

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    23/24

    23

    BAB III

    KESIMPULAN

    Limfadenitis adalah suatu peradangan pada kelenjar getah bening regional

    dari lesi primer. Limfadenitis TB disebabkan oleh M.tuberculosis complex, yaitu

    M.tuberculosis (pada manusia), M.bovis (pada sapi), M.africanum, M.canetti dan

    M.caprae. Tuberkulosis ekstraparu telah memberikan kontribusi yang besar dalam

    kejadian TB terutama pada pasien yang menderita imunodefisiensi akibat HIV

    (45-70%) dibandingkan yang tidak menderita HIV AIDS (15%). Kelenjar getah

    benih yang sering terkena cervical lymph nodes, diikuti dengan mediastinal,

    axillary, mesenteric, hepatic portal, perihepatic, dan inguinal lymph nodes

    dengan bentuk massa multiple atau single unilateral yang tumbuh lambat dalam

    beberapa minggu sampai bulan, terutama di region servikal posterior. Cervical

    nodes di regio submandibular terutama sering mengenai anak-anak. Pasien biasa

    datang dengan demam yang tidak terlalu tinggi, penurunan berat badan, fatigue,

    dan beberapa dengan keluhan keringat malam. Batuk tidak menonjol pada

    limfadenitis tuberculosis. Penatalaksanaan limfadenitis TB secara umum dibagi

    menjadi dua bagian, farmakologis dan non farmakologis. Untuk terapi non

    farmakologis dapat dilakukan pembedahan dengan indikasi ketika pusat radang

    tuberkulosis sudah terdiri dari pengejuan dan dikelilingi jaringan fibrosa yang

    dikhawatirkan dapat menghambat penetrasi antibiotik ke daerah radang sehingga

    pembasmian kuman tidak efektif. Oleh karena itu sarang infeksi di berbagai organ

    misalnya kaverne di paru dan debris di tulang harus dibuang. Jadi, tindak bedah

    menjadi syarat mutlak untuk hasil baik terapi medis.

  • 7/28/2019 Referat Limfadenitis TwewB

    24/24

    24

    DAFTAR PUSTAKA

    Brooks, Geo F., Butel, Janet S. dan Morse, Stephen A.. 2004. Mikrobiologi

    Kedokteran Jawetz, Melnick, & Adelberg. Edisi 23. Jakarta : EGC

    Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional

    Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik

    Indonesia

    Dorland, W.A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Edisi 29, Jakarta :

    EGC

    Kumar, Vinay, Cotran, Ramzi S. dan Robbins, Stanley L.. 2006. Buku Ajar

    Patologi Edisi Vol.2. Jakarta : EGC

    Mohapatra, Prasanta Raghab dan Janmeja, Ashok Kumar. 2009. Tuberculous

    Lymphadenitis. India : Journal of The Association of Physicians of India

    Partridge, Elizabeth. 2010. Lymphadenitis Treatment & Management. Didown-

    load dari http://emedicine.medscape.com/article/960858-treatment#a1128.

    Pada tanggal 27 April 2013.

    PDPI. 2011. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 2011. Jakarta :Kementrian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal

    Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.

    Sharma, SK. dan Mohan, A.. 2004. Extrapulmonary Tuberculosis.Indian Journal

    of Medicine Microbiology Res; 120: 316-53

    Starke, Jeffrey R.. 2004. Tuberculosis in Children. Didownload dari

    http://www.medscape.com/viewarticle/484123_2. Pada tanggal 27 April

    2013.

    Zulkifli, Amin dan Asril, Bahar. 2006. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir. Buku

    Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi IV, Jilid II. Jakarta : Pusat Penerbitan

    Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI

    World Health Organization, 2010. Global Tuberculosis Control 2010. Geneva :

    World Health Organization.

    http://emedicine.medscape.com/article/960858-treatment#a1128http://emedicine.medscape.com/article/960858-treatment#a1128http://www.medscape.com/viewarticle/484123_2http://www.medscape.com/viewarticle/484123_2http://www.medscape.com/viewarticle/484123_2http://emedicine.medscape.com/article/960858-treatment#a1128