20
BAB I PENDAHULUAN Manusia dalam kehidupannya tidak akan luput dari paparan berbagai penyakit. Agen-agen infeksi dan hal- hal yang dapat membahayakan kehidupan, banyak sekali tersebar dalam lingkungan hidup manusia. Dalam sejarah, sejak berabad-abad yang lalu, manusia telah berusaha menimbulkan kekebalan tubuhnya terhadap penyakit atau ancaman dari luar. Upaya yang lebih ilmiah dimulai oleh Edward Jenner, dengan mengembangkan vaksin cacar pada tahun 1877. Jenner mengembangkan vaksin cacar atau smallpox dari bahan cacar sapi atau cowpox berdasar penelitiannya. 1 Tubuh manusia sebenarnya telah mempunyai sistem kekebalan sebagai mekanisme pertahanan dalam mencegah masuk dan menyebarnya agen infeksi. Mekanisme pertahanan ini terdiri dari dua kelompok fungsional, yaitu pertahanan non spesifik dan spesifik yang saling bekerja sama. Pertahanan non spesifik diantaranya adalah kulit dan membran mukosa, sel- sel fagosit, komplemen, lisozim, interferon, dan berbagai faktor humoral lain. Pertahanan non spesifik berperan sebagai garis pertahanan pertama. Semua pertahanan ini merupakan bawaan (innate) artinya pertahanan tersebut secara alamiah ada dan tidak adanya dipengaruhi secara instriksik oleh kontak dengan agen infeksi

refrat KIPI.docx

  • Upload
    ibundr

  • View
    19

  • Download
    3

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: refrat KIPI.docx

BAB I

PENDAHULUAN

Manusia dalam kehidupannya tidak akan luput dari paparan berbagai

penyakit. Agen-agen infeksi dan hal-hal yang dapat membahayakan kehidupan,

banyak sekali tersebar dalam lingkungan hidup manusia. Dalam sejarah, sejak

berabad-abad yang lalu, manusia telah berusaha menimbulkan kekebalan

tubuhnya terhadap penyakit atau ancaman dari luar. Upaya yang lebih ilmiah

dimulai oleh Edward Jenner, dengan mengembangkan vaksin cacar pada tahun

1877. Jenner mengembangkan vaksin cacar atau smallpox dari bahan cacar sapi

atau cowpox berdasar penelitiannya. 1

Tubuh manusia sebenarnya telah mempunyai sistem kekebalan sebagai

mekanisme pertahanan dalam mencegah masuk dan menyebarnya agen infeksi.

Mekanisme pertahanan ini terdiri dari dua kelompok fungsional, yaitu

pertahanan non spesifik dan spesifik yang saling bekerja sama. Pertahanan non

spesifik diantaranya adalah kulit dan membran mukosa, sel- sel fagosit,

komplemen, lisozim, interferon, dan berbagai faktor humoral lain. Pertahanan

non spesifik berperan sebagai garis pertahanan pertama. Semua pertahanan ini

merupakan bawaan (innate) artinya pertahanan tersebut secara alamiah ada dan

tidak adanya dipengaruhi secara instriksik oleh kontak dengan agen infeksi

sebelumnya. Mekanisme pertahanan spesifik meliputi sistem produksi antibodi

oleh sel B dan sistem imunitas seluler oleh sel T. Sistem pertahanan ini bersifat

adaptif dan didapat, yaitu menghasilkan reaksi spesifik pada setiap agen infeksi

yang dikenali karena telah terjadi pemaparan terhadap mikroba atau determinan

antigenik tersebut sebelumnya. Sistem pertahanan ini sangat efektif dalam

memberantas infeksi serta mengingat agen infeksi tertentu sehingga dapat

mencegah terjadinya penyakit di kemudian hari. Hal inilah yang menjadi dasar

imunisasi. 1

Bila ada antigen masuk tubuh, maka tubuh akan berusaha menolaknya

dengan membuat zat anti. Reaksi tubuh pertama kali terhadap antigen,

berlangsung lambat dan lemah, sehingga tidak cukup banyak antibodi terbentuk.

Pada reaksi atau respon kedua, ketiga dan selanjutnya tubuh sudah mengenal

Page 2: refrat KIPI.docx

antigen jenis tersebut. Tubuh sudah pandai membuat zat anti, sehingga dalam waktu

singkat akan dibentuk zat anti yang lebih banyak. Setelah beberapa lama, jumlah zat

anti dalam tubuh akan berkurang. Untuk mempertahankan agar tubuh tetap kebal, perlu

diberikan antigen/ suntikan/ imunisasi ulang sebagai rangsangan tubuh untuk membuat

zat anti kembali. 2

Saat ini banyak penyakit telah dapat dicegah dengan imunisasi. Misalnya

vaksin Baccillus Calmete-Guerin (BCG) untuk mencegah penyakit tuberculosis ,

Toksoid Diphteri untuk mencegah penyakit difteri, Vaksin pertusis untuk mencegah

penyakit pertusis, toksoid tetanus untuk mencegah penyakit tetanus, vaksin

hemophilus influenza untuk mencegah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh

kuman haemophyllus influenza, dll. Bahkan saat ini sedang dikembangkan pembuatan

vaksin demam berdarah, Human immunodeficiency virus/Acquired immune deficiency

syndrome (HIV/AIDS), dan penyakit infeksi lain yang banyak menimbulkan kerugian

baik bagi individu, masyarakat maupun negara. 2

Faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan vaksin

adalah keseimbangan antara imunitas yang akan dicapai dengan reaksi yang tidak

diinginkan yang mungkin timbul. Untuk mencapai imunogenisitas yang tinggi,

vaksin harus berisi antigen yang efektif untuk merangsang respons imun protektif

resipien dengan nilai antibodi di atas ambang pencegahan untuk jangka waktu

yang cukup panjang. Sebaliknya antigen harus diupayakan mempunyai sifat

reaktogenisitas yang rendah sehingga tidak menimbulkan efek samping yang

berat, dan yang jauh lebih ringan apabila dibandingkan dengan komplikasi

penyakit yang bersangkutan secara alami. Pada kenyataannya, tidak ada satu jenis

vaksin pun yang sempurna. Namun dengan kemajuan di bidang bioteknologi saat

ini telah dapat dibuat vaksin yang relatif efektif dan aman. 3

Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi, maka penggunaan vaksin

juga meningkat sehingga reaksi vaksinasi yang tidak diinginkan juga meningkat.

Hal yang penting dalam menghadapi reaksi vaksinasi yang tidak diinginkan ialah

apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang diberikan atau

bersamaan dengan penyakit lain yang telah diderita sebelum pemberian vaksin

(koinsidensi). Seringkali hal ini tidak dapat ditentukan dengan tepat sehingga oleh

WHO digolongkan dalam kelompok Adverse Events Following Immunisation

(AEFI) atau kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). 4

Page 3: refrat KIPI.docx

BAB II

KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI

2.1. Definisi

Reaksi simpang yang dikenal sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi

atau Adverse Events Folloeing Immunization (AEFI) didefinisikan sebagai suatu

kejadian sakit atau kematian yang terjadi setelah menerima imunisasi yang diduga

disebabkan oleh imunisasi yang terjadi dalam masa 1 bulan pasca imunisasi. 2

Untuk mengetahui hubungan antara pemberian imunisasi dengan KIPI

diperlukan pelaporan dan pencatatan semua reaksi yang tidak diinginkan yang

timbul setelah pemberian imunisasi. Surveilans KIPI sangat membantu program

imunisasi, khususnya untuk memperkuat keyakinan masyarakat akan pentingnya

imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling efektif.

2.2. Epidemiologi

Secara epidemiologi, KIPI akan tampak setelah pemberian vaksin dalam

jumlah besar. Penelitian efikasi dan keamanan vaksin dihasilkan melalui clinical

trail atau uji klinis yang terdiri atas empat fase, yaitu: 5

1. Fase 1 uji di laboratorium, merupakan tahap pengujian terhadap

serokonversi, imugenisitas vaksin pada hewan percobaan yang dilakukan

di laboratorium.

2. Fase 2 uji keamanan, penelitian vaksin baru yang meliputi tingkat

keamanan vaksin saja (reaktogenicity).

3. Fase 3 uji serologi dan uji keamanan (reaktogenicity), yaitu uji vaksin baru

yang dilakukan terhadap sekelompok sasaran.

4. Fase 4, merupakan tahap Post Marketing Surveillance (PMS), yaitu

pengamatan di lapangan setelah vaksin dipakai dalam jumlah atau

jutaan dosis. Pada jumlah dosis yang terbatas mungkin KIPI belum tampak,

Page 4: refrat KIPI.docx

maka untuk menilai jumlah KIPI diperlukan penelitian uji klinis dalam jumlah

sampel (orang, dosis vaksin) yang besar

KIPI yang paling serius terjadi pada anak adalah reaksi anafilaksis. Angka

kejadian reaksi anafilaktoid diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis DPT, tetapi yang

benar-benar reaksi anafilaksis hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang

lebih besar dan orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau

lambat. Episode hipotonik/hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum

dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi. 5

Bia Gio dkk dalam suatu penelitian di China melaporkan bahwa pelaporan

data keseluruhan KIPI (pada semua vaksin dan segala usia) sesuai dengan

laporan-laporan dari studi internasional di tempat lain, tapi ada perbedaan yang

besar pada kasus pemberian vaksin DPT (sekitar 2,3-37,8 / 100.000 dosis). 6

2.3. Etiologi

Menurut Keputusan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Pemantauan dan

Penanggulangan KIPI (Depkes RI, 2005) tidak semua kejadian KIPI disebabkan

oleh imunisasi karena sebagian besar ternyata tidak ada hubungannya dengan

imunisasi. Oleh karena itu, untuk menentukan KIPI diperlukan keterangan

mengenai: 7

1. Besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu

2. Sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik

3. Derajat sakit resipien, apakah memerlukan perawatan, menderita cacat,

atau menyebabkan kematian

4. Apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti

5. Apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin,

kesalahan produksi, atau kesalahan prosedur

Page 5: refrat KIPI.docx

Berdasarkan Kepmenkes diatas KOMNAS PP KIPI membagi penyebab

KIPI menjadi klasifikasi lapangan dan kausalitas. Sementara gejala klinis KIPI

dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi gejala lokal,

sistemik, reaksi susunan syaraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya, makin

cepat KIPI terjadi, gejala makin berat. 7

2.4. Patofisiologi

Tujuan pemberian vaksin adalah menghasilkan kekebalan aktif terhadap

suatu antigen. KIPI adalah gejala yang tidak diinginkan yang terjadi setelah

imunisasi. KIPI dapat juga dikaitkan dengan efek samping imunisasi atau secara

kebetulan disebabkan oleh sebab lain dan diperlukan suatu penelitian dan analisa

komprehensif untuk membedakan keduanya. Reaksi ikutan pasca imunisasi

disebabkan alergen yang terdapat pada vaksin dapat melalui IgE (IgE mediated)

atau tidak melalui IgE (Non IgE mediated). 2

2.5. Manifestasi Klinis

Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat

dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi

lainnya. Pada umumnya makin cepat KIPI terjadi makin cepat gejalanya. 8

Reaksi lokal paling sering terjadi pada pemberian vaksin inaktif,

khususnya yang mengandung ajuvan, seperti vaksin DTP. Reaksi lokal biasanya

terjadi beberapa jam setelah suntikan dan biasanya ringan serta dapat sembuh

sendiri. Pada beberapa kasus, reaksi lokal dapat menjadi lebih parah. Ini

dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas meskipun bukan alergi. Reaksi ini

disebut reaksi arthus dan sering terjadi pada pemberian tetanus toksoid dan difteri.

Reaksi arthus disebabkan oleh titer antibodi yang terlalu tinggi yang biasanya

disebabkan oleh terlalu banyaknya dosis toksoid. 8

Reaksi sistemik berupa reaksi alergi dapat disebabkan oleh antigen vaksin

sendiri, komponen vaksin seperti materi sel kultur, stabilisator, preservative, atau

antibiotik yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Reaksi alergi

yang parah dapat membahayakan jiwa, tetapi hal ini jarang terjadi. Berdasarkan

Page 6: refrat KIPI.docx

estimasi dapat terjadi satu kasus dari setengah juta dosis. Reaksi alergi dapat

diperkecil dengan melakukan skrining terlebih dahulu dengan wawancara sebelum

dilakukan imunisasi. 8

Tabel 1. Reaksi dan Gejala KIPI 9

Tabel 2. Gejala Klinis KIPI Sesuai Vaksin 9

Jenis Vaksin Gejala Klinis KIPI

Saat timbul KIPI

Toksoid Syok anafilaksisNeuritis brakhialKomplikasi 4 jam2-18

Reaksi KIPI Gejala KIPI

Lokal

Abses pada tempat suntikan Limfadenitis Reaksi lokal lain yang berat, misalnya selulitis,

BCG-itis

SSP

Kelumpuhan akut Ensefalopati Ensefalitis Meningitis Kejang

Lain-lain

Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema Reaksi anafilaksis Syok anafilaksis Artralgia Demam tinggi >38,5°C Episode hipotensif-hiporesponsif Osteomielitis Menangis menjerit yang terus menerus (3jam) Sindrom syok septik

Page 7: refrat KIPI.docx

Tetanus (DPT, DT, TT) akut termasuk kecacatan dan kematian

haritidak tercatat

Pertusis whole cell (DPwT)

Syok anafilaksisEnsefalopatiKomplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian

4 jam72 jamtidak tercatat

Campak

Syok anafilaksisEnsefalopatiKomplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian

4 jam5-15 haritidak tercatat

TrombositopeniaKlinis campak pada resipien imunokompromaisKomplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian

7-30 hari6 bulantidak tercatat

Polio hidup (OPV)

Polio paralisisPolio paralisis pada resipien imunokompromaisKomplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian

30 hari6 bulan

Hepatitis B

Syok anafilaksisKomplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian

4 jamtidak tercatat

BCG BCG-itis 4-6 minggu

2.6. Alur Diagnosis Kejadian Ikutan Pasca Infeksi

Page 8: refrat KIPI.docx

Gambar 1. Alur Diagnosis KIPI 10

Page 9: refrat KIPI.docx

Gambar 2. Causality Assesment KIPI 10

2.7. Tatalaksana

Tatalaksana KIPI pada dasarnya terdiri dari penemuan kasus, pelacakan

kasus lebih lanjut, analisis kejadian, tindak lanjut kasus, dan evaluasi. Dalam

waktu 24 jam setelah penemuan kasus KIPI yang dilaporkan oleh masyarakat

ataupun petugas kesehatan, maka pelacakan kasus harus segera dikerjakan.

Pelacakan perlu dilakukan untuk konfirmasi apakah informasi yang disampaikan

tersebut benar. Apabila memang kasus yang dilaporkan diduga KIPI, maka dicatat

Page 10: refrat KIPI.docx

identitas kasus, data vaksin (jenis, pabrik, nomor batchlot), petugas yang

melakukan, dan bagaimana sikap masyarakat saat menghadapi masalah tersebut.

Selanjutnya perlu dilacak kemungkinan terdapat kasus lain yang sama, terutama

yang mendapat imunisasi dari tempat yang sama dan jenis lot vaksin yang sama.

Pelacakan dapat dilakukan oleh petugas Puskesmas atau petugas kesehatan lain

yang bersangkutan. Sisa vaksin (apabila masih ada) yang diduga menyebabkan

KIPI harus disimpan sebagaimana kita memperlakukan vaksin pada umumnya

(perhatikan cold chain). 11

Kepala Puskesmas atau Pokja KIPI daerah dapat menganalisis data hasil

pelacakan untuk menilai klasifikasi KIPI dan dicoba untuk mencari penyebab

KIPI tersebut. Dengan adanya data kasus KIPI dokter Puskesmas dapat

memberikan pengobatan segera. Apabila kasus tergolong berat, penderita harus

segera dirawat untuk pemeriksaan lebih lanjut dan diberikan pengobatan segera.

Evaluasi akan dilakukan oleh Pokja KIPI setelah menerima laporan. Pada kasus

ringan tatalaksana dapat diselesaikan oleh Puskesmas dan Pokja KIPI hanya perlu

diberikan laporan. Untuk kasus berat yang masih dirawat, sembuh dengan gejala

sisa, atau kasus meninggal, diperlukan evaluasi ketat dan apabila diperlukan Pokja

KIPI segera dilibatkan. Evaluasi akhir dan kesimpulan disampaikan kepada

Kepala Puskesmas untuk perbaikan program yang akan datang. 11

2.7.1. Penanganan Masalah Paska Imunisasi

Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping,

maka apabila seorang telah mendapatkan imunisasi perlu diobsevasi beberapa

saat, sehingga dipastikan tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi

sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis

imunisasi harus dilakukan observasi selama 15 menit.untuk menghindarkan

kerancuan maka gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka

waktu tertentu timbulnya gejala klinis. 8

Page 11: refrat KIPI.docx

1. Abses pada tempat suntikan. Bengkak tidak perlu diobati dikompres dengan

air hangat atau larutan fisiologis NaCl bila timbul nanah, tetapi bila luka besar

dan bengkak di ketiak anjurkan ke dokter

2. Limfadenitis. Limfadenitis BCG adalah timbulnya pembesaran kelenjar

disekitar tempat suntikan BCG seperti diketiak atau di lipatan paha.

Limfadenitis BCG merupakan efek samping yang sering dijumpai

padavaksinasi BCG meskipun jarang menimbulkan masalah yang serius.

Kejadiannya berkisar 1-2 per1000 vaksinasi. Penanganan limfadenitis BCG

masih diperdebatkan. Di lapangan tidak jarang kelainan ini diberi obat

antituberkulosis (Isoniasid, INH) meskipun hasilnya tidak memuaskan.

Bahkan ada yang melakukan oprasi pengambilan kelenjar yang sebenarnya

tidak perlu dilakukan. Pada tipe lirnfadenitis non-supuratif, tindakan eksisi

tidak dianjurkan, sedangkan pada tipe supuratif,eksisi dapat dianjurkan.

Tindakan eksisi dilakukan apabila dengan aspirasi tidak menunjukkan

hasilyang baik, sudah terjadi bentuk sinus, atau kelenjarnya multipel. Selain

itu tindakan eksisi lebihdiindikasikan pada kosmetik yaitu rnencegah

pecahnya kelenjar secara tidak beraturan. Pemberianobat antituberkulosis

setelah eksisi tidak memberikan hasil yang lebih baik. Kalau eksisi

dianjurkan,maka tindakan insisi pada limfadenitis BCG tidak dianjurkan.

3. BCG-itis. BCG, luka tidak perlu diobati cukup dibersihkan atau dikompres

dengan air hangat atau larutan fisiologis NaCl bila timbul nanah, tetapi bila

luka besar dan bengkak di ketiak anjurkan ke dokter.

4. DPT, bila panas atau rewel diberikan obat penurun panas dan berikan

kompres dingin.

5. Campak, bila timbul panas atau rewel berikan obat panas

6. Shock anafilaksis. Shock anafilaksis adalah suatu syndroma klinis yang

ditandai dengan adanya hipotensi, tacycardia, kulit yang dingin, pucat basah,

hiperventilasi, perubahan status mental, penurunan produksi urine yang

diakibatkan oleh reaksi anafilaksis. Penanganan Shock anafilaksis. 1.

Baringkan penderita dalam posisi shock yakni tidur terlentang dengan tungkai

lebih tinggi dari kepala pada alas yang keras 2. Bebaskan jalan nafas 3.

Tentukan penyebab dan lokasi masuknya bahan alergen 4. Bila masuk

Page 12: refrat KIPI.docx

melalui ekstremitas pasang torniquette 5. Berikan Adrenalin 1 : 1000

sebanyak 0,25 ml sub cutane 6. Monitor pernafasan dan hemodinamika 7.

Berikan suplemen oksigen 8. Untuk kasus yang sedang berikan Adrenalin 1 :

1000 sebanyak 0,25 ml intra muskuler 9. Bila berat berikan Adrenalin 1 :

100- sebanyak 2,5 – 5 ml intra vena 10.Bila vena colaps berikan Adrenalin

sub lingual atau trans tracheal 11.Berikan Aminophillin 5 – 6 mg/ kg BB Iv

bolus diikuti 0,4 – 0,9 mg/kg BB/ menit per drip ini untuk bronchospasme

yang persisten 12.Berikan cairan infus dengan berpedoman pada kadar

hematokrit 13.Monitor hemodinamika dan pernafasan 14.Bila tidak membaik

rujuk ke intitusi yang lebih tinggi

7. Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema dalam keadaan tertentu dapat

diberikan antihistamin, sebaiknya tidak diberikan kortikosteroid. Gejala ini

dalam beberapa saat akan membaik, bila terdapat faktor utama yang lain bisa

berkepanjangan tetapi dalam ekadaan ini imuniasasi hanya dalam keadaan

kebetulan (co-accident).

8. Artralgia Bila mengganggu diberi antipiretik atau analgesik sejenis

paracetamol atau NSID lainnya

9. Demam tinggi >38,5°C. Bila mengganggu diberi antipiretik atau analgesik

10. Episode hipotensif-hiporesponsif

11. Osteomielitis Osteomielitis adalah proses inflamasi atau peradangan tulang.

Infeksi tulang lebih sulit disembuhkan daripada infeksi jaringan lunak karena

terbatasnya asupan darah, respons jaringan terhadap inflamasi, tingginya

tekanan jaringan dan pembentukan involukrum (pembentukan tulang baru di

sekeliling jaringan tulang mati). Osteomielitis dapat menjadi masalah kronis

yang akan mempengaruhi kualitas hidup atau Bila mengganggu diberi

antipiretik atau analgesik sejenis paracetamol atau NSID lainnya. Harus

segera dibawa ke dokter ortopedi

12. Neuritis brakhial. Dapat diberi vitamin neurotropik Bila mengganggu diberi

antipiretik atau analgesik 12

Page 13: refrat KIPI.docx

BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

1. Tubuh manusia sebenarnya telah mempunyai sistem kekebalan sebagai

mekanisme pertahanan dalam mencegah masuk dan menyebarnya agen

infeksi. Mekanisme pertahanan ini terdiri dari dua kelompok fungsional,

yaitu pertahanan non spesifik dan spesifik yang saling bekerja sama

2. Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi, maka penggunaan vaksin

juga meningkat sehingga reaksi vaksinasi yang tidak diinginkan juga

meningkat

3. Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat

dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta

reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat KIPI terjadi makin cepat

gejalanya

4. Tatalaksana KIPI pada dasarnya terdiri dari penemuan kasus, pelacakan

kasus lebih lanjut, analisis kejadian, tindak lanjut kasus, dan evaluasi

3.2. Saran

Diperlukan Perhatian yang khusus terhadap adanya kejadian ikutan pasca

imunisasi mengingat masalah yang ditimbulkan akan mempengaruhi masyarakat

untuk melaksanakan imunisasi

Page 14: refrat KIPI.docx

DAFTAR PUSTAKA

1. Probandari AN, Handayani S, Laksono NJDN, Imunisasi, Fakultas

Kedokteran Sebelas Maret, 2013

2. Dzauji S, Koesnoe S, Putra BA, Konsensus Imunisasi Dewasa, Satuan

Tugas Imunisasi Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Balai

Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008

3. Watson C, penyunting. National Immunisation Program: The Australian

Immunisation Handbook. Edisi ke-6. Commonwealth of Australia:

National Health and Medical Research Council 1997.

4. Chen RT. Safety of vaccines. Dalam: Plotkin SA, Mortimer WA,

penyunting. Vaccines. Edisi ketiga. Philadelphia, Tokyo: WB Saunders,

1999:1144-57.

5. Causality Assessment of an Adverse Event Following Immunization

(AEFI), WHO, 2013

6. Guoa B, Pagea , Wang H, Taylor R, McIntyre P, Systematic review of

reporting rates of adverse events following immunization: An international

comparison of post-marketing surveillance programs with reference to

China, Vaccine 31, 2013

7. Depkes RI, Kepmenkes RI tentang Pedoman Pemantauan dan

Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi, 2005

8. Communicable Disease Control Immunization Program Section IX

Adverse Events Following Immunization, January 2014

9. Causality assessment of an adverse event following immunization

(AEFI)User manual for the revised WHO classificication, 2013

10. World Heath Organization, Adverse Events Following Immunization,

Causality Assesment, 2013

11. Public Heath Agency of Canada, Report of Adverse Event Following

Immunization, 2013

12. Chen RT. Safety of vaccines. Dalam: Plotkin SA, Mortimer WA,

penyunting. Vaccines. Edisi ketiga. Philadelphia, Tokyo: WB Saunders,

1999:1144-57.