Upload
ibundr
View
19
Download
3
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
Manusia dalam kehidupannya tidak akan luput dari paparan berbagai
penyakit. Agen-agen infeksi dan hal-hal yang dapat membahayakan kehidupan,
banyak sekali tersebar dalam lingkungan hidup manusia. Dalam sejarah, sejak
berabad-abad yang lalu, manusia telah berusaha menimbulkan kekebalan
tubuhnya terhadap penyakit atau ancaman dari luar. Upaya yang lebih ilmiah
dimulai oleh Edward Jenner, dengan mengembangkan vaksin cacar pada tahun
1877. Jenner mengembangkan vaksin cacar atau smallpox dari bahan cacar sapi
atau cowpox berdasar penelitiannya. 1
Tubuh manusia sebenarnya telah mempunyai sistem kekebalan sebagai
mekanisme pertahanan dalam mencegah masuk dan menyebarnya agen infeksi.
Mekanisme pertahanan ini terdiri dari dua kelompok fungsional, yaitu
pertahanan non spesifik dan spesifik yang saling bekerja sama. Pertahanan non
spesifik diantaranya adalah kulit dan membran mukosa, sel- sel fagosit,
komplemen, lisozim, interferon, dan berbagai faktor humoral lain. Pertahanan
non spesifik berperan sebagai garis pertahanan pertama. Semua pertahanan ini
merupakan bawaan (innate) artinya pertahanan tersebut secara alamiah ada dan
tidak adanya dipengaruhi secara instriksik oleh kontak dengan agen infeksi
sebelumnya. Mekanisme pertahanan spesifik meliputi sistem produksi antibodi
oleh sel B dan sistem imunitas seluler oleh sel T. Sistem pertahanan ini bersifat
adaptif dan didapat, yaitu menghasilkan reaksi spesifik pada setiap agen infeksi
yang dikenali karena telah terjadi pemaparan terhadap mikroba atau determinan
antigenik tersebut sebelumnya. Sistem pertahanan ini sangat efektif dalam
memberantas infeksi serta mengingat agen infeksi tertentu sehingga dapat
mencegah terjadinya penyakit di kemudian hari. Hal inilah yang menjadi dasar
imunisasi. 1
Bila ada antigen masuk tubuh, maka tubuh akan berusaha menolaknya
dengan membuat zat anti. Reaksi tubuh pertama kali terhadap antigen,
berlangsung lambat dan lemah, sehingga tidak cukup banyak antibodi terbentuk.
Pada reaksi atau respon kedua, ketiga dan selanjutnya tubuh sudah mengenal
antigen jenis tersebut. Tubuh sudah pandai membuat zat anti, sehingga dalam waktu
singkat akan dibentuk zat anti yang lebih banyak. Setelah beberapa lama, jumlah zat
anti dalam tubuh akan berkurang. Untuk mempertahankan agar tubuh tetap kebal, perlu
diberikan antigen/ suntikan/ imunisasi ulang sebagai rangsangan tubuh untuk membuat
zat anti kembali. 2
Saat ini banyak penyakit telah dapat dicegah dengan imunisasi. Misalnya
vaksin Baccillus Calmete-Guerin (BCG) untuk mencegah penyakit tuberculosis ,
Toksoid Diphteri untuk mencegah penyakit difteri, Vaksin pertusis untuk mencegah
penyakit pertusis, toksoid tetanus untuk mencegah penyakit tetanus, vaksin
hemophilus influenza untuk mencegah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh
kuman haemophyllus influenza, dll. Bahkan saat ini sedang dikembangkan pembuatan
vaksin demam berdarah, Human immunodeficiency virus/Acquired immune deficiency
syndrome (HIV/AIDS), dan penyakit infeksi lain yang banyak menimbulkan kerugian
baik bagi individu, masyarakat maupun negara. 2
Faktor terpenting yang harus dipertimbangkan dalam pembuatan vaksin
adalah keseimbangan antara imunitas yang akan dicapai dengan reaksi yang tidak
diinginkan yang mungkin timbul. Untuk mencapai imunogenisitas yang tinggi,
vaksin harus berisi antigen yang efektif untuk merangsang respons imun protektif
resipien dengan nilai antibodi di atas ambang pencegahan untuk jangka waktu
yang cukup panjang. Sebaliknya antigen harus diupayakan mempunyai sifat
reaktogenisitas yang rendah sehingga tidak menimbulkan efek samping yang
berat, dan yang jauh lebih ringan apabila dibandingkan dengan komplikasi
penyakit yang bersangkutan secara alami. Pada kenyataannya, tidak ada satu jenis
vaksin pun yang sempurna. Namun dengan kemajuan di bidang bioteknologi saat
ini telah dapat dibuat vaksin yang relatif efektif dan aman. 3
Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi, maka penggunaan vaksin
juga meningkat sehingga reaksi vaksinasi yang tidak diinginkan juga meningkat.
Hal yang penting dalam menghadapi reaksi vaksinasi yang tidak diinginkan ialah
apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang diberikan atau
bersamaan dengan penyakit lain yang telah diderita sebelum pemberian vaksin
(koinsidensi). Seringkali hal ini tidak dapat ditentukan dengan tepat sehingga oleh
WHO digolongkan dalam kelompok Adverse Events Following Immunisation
(AEFI) atau kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI). 4
BAB II
KEJADIAN IKUTAN PASCA IMUNISASI
2.1. Definisi
Reaksi simpang yang dikenal sebagai Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
atau Adverse Events Folloeing Immunization (AEFI) didefinisikan sebagai suatu
kejadian sakit atau kematian yang terjadi setelah menerima imunisasi yang diduga
disebabkan oleh imunisasi yang terjadi dalam masa 1 bulan pasca imunisasi. 2
Untuk mengetahui hubungan antara pemberian imunisasi dengan KIPI
diperlukan pelaporan dan pencatatan semua reaksi yang tidak diinginkan yang
timbul setelah pemberian imunisasi. Surveilans KIPI sangat membantu program
imunisasi, khususnya untuk memperkuat keyakinan masyarakat akan pentingnya
imunisasi sebagai upaya pencegahan penyakit yang paling efektif.
2.2. Epidemiologi
Secara epidemiologi, KIPI akan tampak setelah pemberian vaksin dalam
jumlah besar. Penelitian efikasi dan keamanan vaksin dihasilkan melalui clinical
trail atau uji klinis yang terdiri atas empat fase, yaitu: 5
1. Fase 1 uji di laboratorium, merupakan tahap pengujian terhadap
serokonversi, imugenisitas vaksin pada hewan percobaan yang dilakukan
di laboratorium.
2. Fase 2 uji keamanan, penelitian vaksin baru yang meliputi tingkat
keamanan vaksin saja (reaktogenicity).
3. Fase 3 uji serologi dan uji keamanan (reaktogenicity), yaitu uji vaksin baru
yang dilakukan terhadap sekelompok sasaran.
4. Fase 4, merupakan tahap Post Marketing Surveillance (PMS), yaitu
pengamatan di lapangan setelah vaksin dipakai dalam jumlah atau
jutaan dosis. Pada jumlah dosis yang terbatas mungkin KIPI belum tampak,
maka untuk menilai jumlah KIPI diperlukan penelitian uji klinis dalam jumlah
sampel (orang, dosis vaksin) yang besar
KIPI yang paling serius terjadi pada anak adalah reaksi anafilaksis. Angka
kejadian reaksi anafilaktoid diperkirakan 2 dalam 100.000 dosis DPT, tetapi yang
benar-benar reaksi anafilaksis hanya 1-3 kasus diantara 1 juta dosis. Anak yang
lebih besar dan orang dewasa lebih banyak mengalami sinkope, segera atau
lambat. Episode hipotonik/hiporesponsif juga tidak jarang terjadi, secara umum
dapat terjadi 4-24 jam setelah imunisasi. 5
Bia Gio dkk dalam suatu penelitian di China melaporkan bahwa pelaporan
data keseluruhan KIPI (pada semua vaksin dan segala usia) sesuai dengan
laporan-laporan dari studi internasional di tempat lain, tapi ada perbedaan yang
besar pada kasus pemberian vaksin DPT (sekitar 2,3-37,8 / 100.000 dosis). 6
2.3. Etiologi
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan tentang Pedoman Pemantauan dan
Penanggulangan KIPI (Depkes RI, 2005) tidak semua kejadian KIPI disebabkan
oleh imunisasi karena sebagian besar ternyata tidak ada hubungannya dengan
imunisasi. Oleh karena itu, untuk menentukan KIPI diperlukan keterangan
mengenai: 7
1. Besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu
2. Sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik
3. Derajat sakit resipien, apakah memerlukan perawatan, menderita cacat,
atau menyebabkan kematian
4. Apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti
5. Apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin,
kesalahan produksi, atau kesalahan prosedur
Berdasarkan Kepmenkes diatas KOMNAS PP KIPI membagi penyebab
KIPI menjadi klasifikasi lapangan dan kausalitas. Sementara gejala klinis KIPI
dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat dibagi menjadi gejala lokal,
sistemik, reaksi susunan syaraf pusat, serta reaksi lainnya. Pada umumnya, makin
cepat KIPI terjadi, gejala makin berat. 7
2.4. Patofisiologi
Tujuan pemberian vaksin adalah menghasilkan kekebalan aktif terhadap
suatu antigen. KIPI adalah gejala yang tidak diinginkan yang terjadi setelah
imunisasi. KIPI dapat juga dikaitkan dengan efek samping imunisasi atau secara
kebetulan disebabkan oleh sebab lain dan diperlukan suatu penelitian dan analisa
komprehensif untuk membedakan keduanya. Reaksi ikutan pasca imunisasi
disebabkan alergen yang terdapat pada vaksin dapat melalui IgE (IgE mediated)
atau tidak melalui IgE (Non IgE mediated). 2
2.5. Manifestasi Klinis
Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat
dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta reaksi
lainnya. Pada umumnya makin cepat KIPI terjadi makin cepat gejalanya. 8
Reaksi lokal paling sering terjadi pada pemberian vaksin inaktif,
khususnya yang mengandung ajuvan, seperti vaksin DTP. Reaksi lokal biasanya
terjadi beberapa jam setelah suntikan dan biasanya ringan serta dapat sembuh
sendiri. Pada beberapa kasus, reaksi lokal dapat menjadi lebih parah. Ini
dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas meskipun bukan alergi. Reaksi ini
disebut reaksi arthus dan sering terjadi pada pemberian tetanus toksoid dan difteri.
Reaksi arthus disebabkan oleh titer antibodi yang terlalu tinggi yang biasanya
disebabkan oleh terlalu banyaknya dosis toksoid. 8
Reaksi sistemik berupa reaksi alergi dapat disebabkan oleh antigen vaksin
sendiri, komponen vaksin seperti materi sel kultur, stabilisator, preservative, atau
antibiotik yang digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri. Reaksi alergi
yang parah dapat membahayakan jiwa, tetapi hal ini jarang terjadi. Berdasarkan
estimasi dapat terjadi satu kasus dari setengah juta dosis. Reaksi alergi dapat
diperkecil dengan melakukan skrining terlebih dahulu dengan wawancara sebelum
dilakukan imunisasi. 8
Tabel 1. Reaksi dan Gejala KIPI 9
Tabel 2. Gejala Klinis KIPI Sesuai Vaksin 9
Jenis Vaksin Gejala Klinis KIPI
Saat timbul KIPI
Toksoid Syok anafilaksisNeuritis brakhialKomplikasi 4 jam2-18
Reaksi KIPI Gejala KIPI
Lokal
Abses pada tempat suntikan Limfadenitis Reaksi lokal lain yang berat, misalnya selulitis,
BCG-itis
SSP
Kelumpuhan akut Ensefalopati Ensefalitis Meningitis Kejang
Lain-lain
Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema Reaksi anafilaksis Syok anafilaksis Artralgia Demam tinggi >38,5°C Episode hipotensif-hiporesponsif Osteomielitis Menangis menjerit yang terus menerus (3jam) Sindrom syok septik
Tetanus (DPT, DT, TT) akut termasuk kecacatan dan kematian
haritidak tercatat
Pertusis whole cell (DPwT)
Syok anafilaksisEnsefalopatiKomplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian
4 jam72 jamtidak tercatat
Campak
Syok anafilaksisEnsefalopatiKomplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian
4 jam5-15 haritidak tercatat
TrombositopeniaKlinis campak pada resipien imunokompromaisKomplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian
7-30 hari6 bulantidak tercatat
Polio hidup (OPV)
Polio paralisisPolio paralisis pada resipien imunokompromaisKomplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian
30 hari6 bulan
Hepatitis B
Syok anafilaksisKomplikasi akut termasuk kecacatan dan kematian
4 jamtidak tercatat
BCG BCG-itis 4-6 minggu
2.6. Alur Diagnosis Kejadian Ikutan Pasca Infeksi
Gambar 1. Alur Diagnosis KIPI 10
Gambar 2. Causality Assesment KIPI 10
2.7. Tatalaksana
Tatalaksana KIPI pada dasarnya terdiri dari penemuan kasus, pelacakan
kasus lebih lanjut, analisis kejadian, tindak lanjut kasus, dan evaluasi. Dalam
waktu 24 jam setelah penemuan kasus KIPI yang dilaporkan oleh masyarakat
ataupun petugas kesehatan, maka pelacakan kasus harus segera dikerjakan.
Pelacakan perlu dilakukan untuk konfirmasi apakah informasi yang disampaikan
tersebut benar. Apabila memang kasus yang dilaporkan diduga KIPI, maka dicatat
identitas kasus, data vaksin (jenis, pabrik, nomor batchlot), petugas yang
melakukan, dan bagaimana sikap masyarakat saat menghadapi masalah tersebut.
Selanjutnya perlu dilacak kemungkinan terdapat kasus lain yang sama, terutama
yang mendapat imunisasi dari tempat yang sama dan jenis lot vaksin yang sama.
Pelacakan dapat dilakukan oleh petugas Puskesmas atau petugas kesehatan lain
yang bersangkutan. Sisa vaksin (apabila masih ada) yang diduga menyebabkan
KIPI harus disimpan sebagaimana kita memperlakukan vaksin pada umumnya
(perhatikan cold chain). 11
Kepala Puskesmas atau Pokja KIPI daerah dapat menganalisis data hasil
pelacakan untuk menilai klasifikasi KIPI dan dicoba untuk mencari penyebab
KIPI tersebut. Dengan adanya data kasus KIPI dokter Puskesmas dapat
memberikan pengobatan segera. Apabila kasus tergolong berat, penderita harus
segera dirawat untuk pemeriksaan lebih lanjut dan diberikan pengobatan segera.
Evaluasi akan dilakukan oleh Pokja KIPI setelah menerima laporan. Pada kasus
ringan tatalaksana dapat diselesaikan oleh Puskesmas dan Pokja KIPI hanya perlu
diberikan laporan. Untuk kasus berat yang masih dirawat, sembuh dengan gejala
sisa, atau kasus meninggal, diperlukan evaluasi ketat dan apabila diperlukan Pokja
KIPI segera dilibatkan. Evaluasi akhir dan kesimpulan disampaikan kepada
Kepala Puskesmas untuk perbaikan program yang akan datang. 11
2.7.1. Penanganan Masalah Paska Imunisasi
Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang aman tanpa efek samping,
maka apabila seorang telah mendapatkan imunisasi perlu diobsevasi beberapa
saat, sehingga dipastikan tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi
sebenarnya sulit ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis
imunisasi harus dilakukan observasi selama 15 menit.untuk menghindarkan
kerancuan maka gejala klinis yang dianggap sebagai KIPI dibatasi dalam jangka
waktu tertentu timbulnya gejala klinis. 8
1. Abses pada tempat suntikan. Bengkak tidak perlu diobati dikompres dengan
air hangat atau larutan fisiologis NaCl bila timbul nanah, tetapi bila luka besar
dan bengkak di ketiak anjurkan ke dokter
2. Limfadenitis. Limfadenitis BCG adalah timbulnya pembesaran kelenjar
disekitar tempat suntikan BCG seperti diketiak atau di lipatan paha.
Limfadenitis BCG merupakan efek samping yang sering dijumpai
padavaksinasi BCG meskipun jarang menimbulkan masalah yang serius.
Kejadiannya berkisar 1-2 per1000 vaksinasi. Penanganan limfadenitis BCG
masih diperdebatkan. Di lapangan tidak jarang kelainan ini diberi obat
antituberkulosis (Isoniasid, INH) meskipun hasilnya tidak memuaskan.
Bahkan ada yang melakukan oprasi pengambilan kelenjar yang sebenarnya
tidak perlu dilakukan. Pada tipe lirnfadenitis non-supuratif, tindakan eksisi
tidak dianjurkan, sedangkan pada tipe supuratif,eksisi dapat dianjurkan.
Tindakan eksisi dilakukan apabila dengan aspirasi tidak menunjukkan
hasilyang baik, sudah terjadi bentuk sinus, atau kelenjarnya multipel. Selain
itu tindakan eksisi lebihdiindikasikan pada kosmetik yaitu rnencegah
pecahnya kelenjar secara tidak beraturan. Pemberianobat antituberkulosis
setelah eksisi tidak memberikan hasil yang lebih baik. Kalau eksisi
dianjurkan,maka tindakan insisi pada limfadenitis BCG tidak dianjurkan.
3. BCG-itis. BCG, luka tidak perlu diobati cukup dibersihkan atau dikompres
dengan air hangat atau larutan fisiologis NaCl bila timbul nanah, tetapi bila
luka besar dan bengkak di ketiak anjurkan ke dokter.
4. DPT, bila panas atau rewel diberikan obat penurun panas dan berikan
kompres dingin.
5. Campak, bila timbul panas atau rewel berikan obat panas
6. Shock anafilaksis. Shock anafilaksis adalah suatu syndroma klinis yang
ditandai dengan adanya hipotensi, tacycardia, kulit yang dingin, pucat basah,
hiperventilasi, perubahan status mental, penurunan produksi urine yang
diakibatkan oleh reaksi anafilaksis. Penanganan Shock anafilaksis. 1.
Baringkan penderita dalam posisi shock yakni tidur terlentang dengan tungkai
lebih tinggi dari kepala pada alas yang keras 2. Bebaskan jalan nafas 3.
Tentukan penyebab dan lokasi masuknya bahan alergen 4. Bila masuk
melalui ekstremitas pasang torniquette 5. Berikan Adrenalin 1 : 1000
sebanyak 0,25 ml sub cutane 6. Monitor pernafasan dan hemodinamika 7.
Berikan suplemen oksigen 8. Untuk kasus yang sedang berikan Adrenalin 1 :
1000 sebanyak 0,25 ml intra muskuler 9. Bila berat berikan Adrenalin 1 :
100- sebanyak 2,5 – 5 ml intra vena 10.Bila vena colaps berikan Adrenalin
sub lingual atau trans tracheal 11.Berikan Aminophillin 5 – 6 mg/ kg BB Iv
bolus diikuti 0,4 – 0,9 mg/kg BB/ menit per drip ini untuk bronchospasme
yang persisten 12.Berikan cairan infus dengan berpedoman pada kadar
hematokrit 13.Monitor hemodinamika dan pernafasan 14.Bila tidak membaik
rujuk ke intitusi yang lebih tinggi
7. Reaksi alergi: urtikaria, dermatitis, edema dalam keadaan tertentu dapat
diberikan antihistamin, sebaiknya tidak diberikan kortikosteroid. Gejala ini
dalam beberapa saat akan membaik, bila terdapat faktor utama yang lain bisa
berkepanjangan tetapi dalam ekadaan ini imuniasasi hanya dalam keadaan
kebetulan (co-accident).
8. Artralgia Bila mengganggu diberi antipiretik atau analgesik sejenis
paracetamol atau NSID lainnya
9. Demam tinggi >38,5°C. Bila mengganggu diberi antipiretik atau analgesik
10. Episode hipotensif-hiporesponsif
11. Osteomielitis Osteomielitis adalah proses inflamasi atau peradangan tulang.
Infeksi tulang lebih sulit disembuhkan daripada infeksi jaringan lunak karena
terbatasnya asupan darah, respons jaringan terhadap inflamasi, tingginya
tekanan jaringan dan pembentukan involukrum (pembentukan tulang baru di
sekeliling jaringan tulang mati). Osteomielitis dapat menjadi masalah kronis
yang akan mempengaruhi kualitas hidup atau Bila mengganggu diberi
antipiretik atau analgesik sejenis paracetamol atau NSID lainnya. Harus
segera dibawa ke dokter ortopedi
12. Neuritis brakhial. Dapat diberi vitamin neurotropik Bila mengganggu diberi
antipiretik atau analgesik 12
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
1. Tubuh manusia sebenarnya telah mempunyai sistem kekebalan sebagai
mekanisme pertahanan dalam mencegah masuk dan menyebarnya agen
infeksi. Mekanisme pertahanan ini terdiri dari dua kelompok fungsional,
yaitu pertahanan non spesifik dan spesifik yang saling bekerja sama
2. Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi, maka penggunaan vaksin
juga meningkat sehingga reaksi vaksinasi yang tidak diinginkan juga
meningkat
3. Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat
dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat, serta
reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat KIPI terjadi makin cepat
gejalanya
4. Tatalaksana KIPI pada dasarnya terdiri dari penemuan kasus, pelacakan
kasus lebih lanjut, analisis kejadian, tindak lanjut kasus, dan evaluasi
3.2. Saran
Diperlukan Perhatian yang khusus terhadap adanya kejadian ikutan pasca
imunisasi mengingat masalah yang ditimbulkan akan mempengaruhi masyarakat
untuk melaksanakan imunisasi
DAFTAR PUSTAKA
1. Probandari AN, Handayani S, Laksono NJDN, Imunisasi, Fakultas
Kedokteran Sebelas Maret, 2013
2. Dzauji S, Koesnoe S, Putra BA, Konsensus Imunisasi Dewasa, Satuan
Tugas Imunisasi Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam, Balai
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
3. Watson C, penyunting. National Immunisation Program: The Australian
Immunisation Handbook. Edisi ke-6. Commonwealth of Australia:
National Health and Medical Research Council 1997.
4. Chen RT. Safety of vaccines. Dalam: Plotkin SA, Mortimer WA,
penyunting. Vaccines. Edisi ketiga. Philadelphia, Tokyo: WB Saunders,
1999:1144-57.
5. Causality Assessment of an Adverse Event Following Immunization
(AEFI), WHO, 2013
6. Guoa B, Pagea , Wang H, Taylor R, McIntyre P, Systematic review of
reporting rates of adverse events following immunization: An international
comparison of post-marketing surveillance programs with reference to
China, Vaccine 31, 2013
7. Depkes RI, Kepmenkes RI tentang Pedoman Pemantauan dan
Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi, 2005
8. Communicable Disease Control Immunization Program Section IX
Adverse Events Following Immunization, January 2014
9. Causality assessment of an adverse event following immunization
(AEFI)User manual for the revised WHO classificication, 2013
10. World Heath Organization, Adverse Events Following Immunization,
Causality Assesment, 2013
11. Public Heath Agency of Canada, Report of Adverse Event Following
Immunization, 2013
12. Chen RT. Safety of vaccines. Dalam: Plotkin SA, Mortimer WA,
penyunting. Vaccines. Edisi ketiga. Philadelphia, Tokyo: WB Saunders,
1999:1144-57.