19
Tugas Ekonomi Perencanaan Kota Afriyadi, 1106111666 Review Jurnal Judul : Sprawl and Blight Penulis : Jan K. Brueckner, Robert W. Hesley Penerbit : Journal of Urban Economics Vol. 69 Halaman : 8 lembar (hal. 205-213) Tahun : 2011. I. Ringkasan Jurnal ini membahas mengenai fenomena urban sprawl dan urban blight yang terjadi pada suatu kota, serta dampaknya pada persaingan properti (perumahan) di suburban dan pusat kota tua. Penulis menetapkan urban sprawl sebagai perluasan kota yang diakibatkan oleh investasi berlebih pada suburban baru dan menyebabkan wilayah perkotaan meluas, sementara urban blight ditetapkan sebagai penurunan investasi kembali pada properti yang berada di pusat kota tua. Untuk mengetahui apakah fenomena urban sprawl dan urban blight didasari oleh proses ekonomi yang sama, sebuah model dikembangkan untuk mengukur kompetisi antara properti yang ada di suburban baru dan pusat kota tua dalam mendapatkan penduduk/peminat. Penulis berasumsi bahwa kegagalan pasar yang menyebabkan turunnya biaya dalam mendapatkan lokasi suburban menyebabkan terjadinya pembangunan berlebih pada suburban, menurunkan harga rumah di pusat 1

Review Jurnal

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Review Jurnal

Tugas Ekonomi Perencanaan Kota

Afriyadi, 1106111666

Review Jurnal

Judul : Sprawl and Blight

Penulis : Jan K. Brueckner, Robert W. Hesley

Penerbit : Journal of Urban Economics Vol. 69

Halaman : 8 lembar (hal. 205-213)

Tahun : 2011.

I. Ringkasan

Jurnal ini membahas mengenai fenomena urban sprawl dan urban blight

yang terjadi pada suatu kota, serta dampaknya pada persaingan properti

(perumahan) di suburban dan pusat kota tua. Penulis menetapkan urban sprawl

sebagai perluasan kota yang diakibatkan oleh investasi berlebih pada suburban baru

dan menyebabkan wilayah perkotaan meluas, sementara urban blight ditetapkan

sebagai penurunan investasi kembali pada properti yang berada di pusat kota tua.

Untuk mengetahui apakah fenomena urban sprawl dan urban blight didasari oleh

proses ekonomi yang sama, sebuah model dikembangkan untuk mengukur

kompetisi antara properti yang ada di suburban baru dan pusat kota tua dalam

mendapatkan penduduk/peminat. Penulis berasumsi bahwa kegagalan pasar yang

menyebabkan turunnya biaya dalam mendapatkan lokasi suburban menyebabkan

terjadinya pembangunan berlebih pada suburban, menurunkan harga rumah di pusat

dan menurunkan biaya insentif yang diperlukan dalam pemeliharaan pusat kota tua

sehingga menyebabkan tingkat reinvestasi pusat kota tua yang tidak efisien.

Kegagalan pasar yang dimaksud penulis diidentifikasi dari tiga aspek, yakni

dari kemacetan lalu lintas yang tidak terukur (unpriced traffic congestion),

kegagalan dalam penyediaan fasilitas ruang terbuka dan penyediaan infrastruktur

berbasis biaya marginal. Dengan terjadinya kemacetan, biaya sosial yang

ditanggung seseorang dalam menempuh perjalanan dalam kota melebihi biaya

privat, yang diakibatkan oleh waktu perjalanan yang terlalu panjang karena kota

yang terlalu meluas. Sementara ketika fasilitas ruang terbuka tersedia atau ketika

1

Page 2: Review Jurnal

infrastruktur di pusat kota tua dibawah standar, biaya sosial dari pengembangan

lahan suburban melebihi biaya privat yang dihadapi pengembang sehingga

menyebabkan ekspansi perkotaan yang tidak efisien. Dengan terjadinya kegagalan

pasar, fenomena sprawl dan blight muncul akibat sifat alami dari pasar lahan, di

mana biaya hidup di suburban yang rendah, mendorong penduduk untuk pindah

menjauhi pusat kota. Perpindahan penduduk ini menyebabkan turunnya harga

rumah di pusat kota dan menurunkan insentif untuk reinvestasi dalam struktur kota

yang telah terbangun.

Salah satu faktor yang mendorong terjadinya urban blight di pusat kota

adalah sifat eksternal dari properti perumahan, atau dapat disebut sebagai efek

lingkungan (neighborhood effect) yang dapat mempengaruhi keputusan seorang

individu dalam menanam investasi atau melakukan pemeliharaan pada suatu

properti perumahan. Jika suatu unit rumah rusak berat atau ditinggalkan dan

terlantar dalam waktu yang lama, dapat menurunkan minat seorang individu untuk

tinggal atau menanam investasi dalam lingkungan perumahan tersebut. Menurunnya

tingkat permintaan properti menimbulkan turunnya kemampuan pengembang dalam

mengupayakan perbaikan fasilitas dalam perumahan tersebut. Dengan kata lain,

blight dapat timbul dari interaksi lingkungan yang bersifat eksternal dan dipacu oleh

sebuah kejadian yang menyebabkan menurunnya tingkat pemeliharaan dan investasi

kembali suatu properti.

Sementara terdapat dua hal lain yang mendasari terjadinya perkembangan

suburban dan terjadinya blight. Pertama, adanya ketidakcocokan spasial (spatial

mismatch), dimana suburbanisasi pekerjaan ditambah dengan diskriminasi tenaga

kerja, perumahan, dan pasar hipotek di suburban telah berkontribusi pada terjadinya

konsentrasi dan resistensi kemiskinan di pusat kota. Kedua, terjadinya flight from

blight dimana terjadi desentralisasi permukiman dari pusat kota yang didorong oleh

keinginan penduduk dalam ‘melarikan diri’ dari kriminalitas pusat kota, kemiskinan,

kemacetan, polusi, dan hal tidak menyenangkan lainnya yang terdapat di pusat kota.

Model dan Analisis

Lebih lanjut, Brueckner dan Hasley mengembangkan sebuah model dinamis

untuk mengukur tingkat persaingan properti di suburban dan pusat kota sebagai

2

Page 3: Review Jurnal

dampak dari urban sprawl dan blight. Dalam model ini, penulis menyederhanakan

elemen struktur kota menjadi hanya terdiri dari zona pusat (central zone) dan zona

suburban (suburban zone), yang terhubung oleh sebuah jembatan. Zona pusat

disederhanakan menjadi seragam, di mana terdiri dari CBD pada ujung sebelah kiri

(lihat Gambar 1.). serta biaya angkutan (transportasi) dari CBD ke setiap lokasi

pusat kota diasumsikan menjadi nol. Sementara zona suburban terdiri dari lahan

terbangun dan lahan terbuka yang berpotensi untuk dikembangkan, dan terhubung

oleh sebuah jembatan congestible. Karena biaya angkutan dalam zona pusat

diasumsikan sama dengan nol, biaya angkutan dari zona suburban ke zona pusat

setara dengan diasumsikan setara dengan biaya yang diperlukan untuk

menyeberangi jembatan.

Perhitungan dan analisis dalam model ini dilakukan penulis secara bertahap,

agar dapat mencakup seluruh preposisi yang dapat terjadi. Tahap pertama dalam

model ini belum memperhitungkan kegagalan pasar untuk mendapatkan gambaran

normal dari kondisi suburban dan pusat kota. Perhitungan dalam Tahap 1 dibagi

menjadi ke dalam dua periode, yakni periode 1 dimana diasumsikan terjadinya

perkembangan seluruh pusat kota dan belum terdapat limpahan (spillover)

penduduk ke suburban. Model pada periode 1 lebih menekankan pada perhitungan

preferensi konsumen dalam memilih perumahan yang dipengaruhi oleh kualitas dan

kuantitas perumahan, potensi lahan terbangun di suburba dan juga biaya konstruksi

untuk revitalisasi perumahan di pusat kota serta utilitas.

Sementara perhitungan dalam periode 2 diasumsikan telah terjadi

pengembangan suburban, sehingga model menjadi lebih kompleks karena

mengikutsertakan variabel jumlah penduduk (baik suburban dan pusat kota) dan

3

Gambar 1. Struktur Kota

Page 4: Review Jurnal

juga biaya sewa. Adapun dalam periode ini, perhitungan ditekankan untuk

mendapatkan nilai marjinal layanan perumahan di kota tua dan tingkat kompetisi

pengembang dalam suburban dan pusat kota. Pada tahap pertama, baik dalam

periode 1 dan 2, penulis berasumsi bahwa kepemilikan tanah tidak mempengaruhi

tingkat kompetisi perumahan di suburban dan pusat kota. Dalam suatu unit (rumah

sewa) di pusat kota misalnya, dapat saja pemilik tanah tinggal di suburban,

sehingga biaya sewa di pusat kota menjadi mengalir ke suburban, dan model

menjadi tidak relevan.

Dalam tahap kedua, kegagalan pasar yang selanjutnya disebut sebagai

distorsi pemicu sprawl dimasukkan ke dalam analisis. Kemacetan lalu lintas,

kegagalan dalam memperhitungkan nilai kemudahan ruang terbuka dan kegagalan

dalam menetapkan harga infrastruktur berdasarkan nilai marginal, menghasilkan

distorsi urban sprawl, yang dalam konteks ini berarti perkembangan wilayah

pinggiran kota yang berlebihan dengan jumlah penduduk terlalu sedikit di zona

pusat kota. Dalam setiap kasus urban sprawl, sebuah kebijakan korektif yang tepat

dibutuhkan untuk dapat mengurangi efek sprawl dengan mendorong populasi

penduduk kembali ke tengah kota. Meskipun demikian, pergeseran populasi ini

juga cenderung disertai dampak blight yang membuat penduduk enggan untuk

kembali ke pusat kota.

Tujuan dari analisis ini adalah untuk menganalisis dampak blight yang

terjadi serta melihat fenomena sprawl dan blight secara terpisah dari tiga distorsi

yang berbeda (kemacetan, ketersediaan ruang terbuka, dan infrastruktur), dan

kebijakan korektif terkait. Untuk setiap distorsi, kondisi keseimbangan (persamaan)

yang telah diuraikan pada tahap sebelumnya dimodifikasi untuk menggabungkan

distorsi. Kemudian masalah perencanaan dalam ekonomi perkotaan dipecahkan

untuk menemukan kebijakan sosial optimum dan korektif untuk mendukung

pembangunan kota. Adapun analisis dampak sprawl dan bligh sesuai distorsinya

antara lain sebagai berikut:

a. Distorsi 1: Kemacetan

Dengan terjadinya kemacetan, biaya menyeberangi jembatan

penghubung suburban dan pusat kota, yang sebelumnya diasumsikan

konstan menjadi sebuah fungsi dengan adanya jumlah komuter dari

4

Page 5: Review Jurnal

suburban. Penghitungan beban biaya yang ditanggung seseorang setiap

kali terjadi kemacetan, seringkali diacuhkan, sehingga masalah

kemacetan tidak terpecahkan. Sebagai solusi, penulis menganjurkan

diterapkannya pungutan biaya kemacetan (congestion pricing) seperti

biaya jalan tol agar setiap komuter memiliki beban yang sama dan juga

untuk mengurangi jumlah pengguna kendaraan.

Dengan dipungutnya biaya kemacetan, populasi penduduk kota

akan kembali ke pusat, hal ini tentunya akan meningkatkan permintaan

akan properti di pusat kota dan meningkatkan harga rumah secara

keseluruhan, sehingga membuat pengembang dan atau pemerintah dapat

mengeluarkan dana lebih banyak untuk meningkatkan kualitas

perumahan yang tersedia, sehingga menurunkan terjadinya urban blight.

b. Distorsi 2: Ketersediaan Ruang Terbuka

Dengan berasumsi bahwa kemacetan lalu lintas kembali tidak

diperhitungkan seperti pada tahap sebelumnya, ruang terbuka yang

tersedia di suburban menawarkan kemudahan fasilitas bagi setiap

penduduk. Berpindahnya populasi penduduk dari kota ke suburban

menyebabkan biaya marginal dari rumah di suburban menjadi

meningkat, semakin banyak lahan terbangun di suburban dan lahan

terbuka menjadi semakin terbatas. Dalam model analisisnya penulis

mengasumsikan adanya pajak amenitas ruang terbuka untuk meredam

migrasi penduduk dari pusat kota ke suburban, dan mereduksi terjadinya

blight.

c. Distorsi 3: Infrastruktur Berbasis Biaya Marginal

Pada distorsi yang ketiga ini, penulis beranggapan bahwa secara

tradisional, pembangunan infrastruktur dibiayai berdasarkan harga rata-

rata, di mana seorang pengembang akan membayar pajak sesuai

sejumlah unit per luas tertentu kepada pemerintah, dimana harga ini akan

diteruskan pada konsumen dalam bentuk harga rumah. Akan tetapi,

untuk mendesentralisasi sosial optimum, dengan mempertimbangan

kondisi konsumen, pajak berbasis biaya rata-rata ini harus digantikan

dengan pajak berbasis biaya marginal, atau disebut juga dengan biaya

5

Page 6: Review Jurnal

dampak (impact fee). Jika biaya rata-rata tetap diterapkan, dapat

menurunkan keuntungan pengembang dalam pembangunan infrastruktur,

sehingga menurunkan tingkat investasi kembali pada bangunan pusat

kota, dan populasi suburban melebihi optimum sosial. Dengan adanya

biaya dampak, yang merefleksikan biaya marginal, dapat meningkatkan

investasi kembali sehingga menurunkan terjadinya urban blight, dengan

mengembalikan populasi ke pusat kota.

Berdasarkan uraian model dan analisis, penulis menyimpulkan bahwa urban

sprawl dan blight di suatu kota terjadi sebagai suatu hasil dari proses ekonomi yang

sama. Penulis mengusulkan beberapa kebijakan korektif yang dapat dilakukan untuk

mengurang terjadinya blight antara lain dengan memungut biaya kemacetan (congestion

pricing), memungut pajak amenitas pada ruang terbuka, serta menetapkan biaya

marginal sebagai dasar untuk menghitung harga infrastruktur.

II. Tanggapan

Dalam jurnal ini, Brueckner dan Hesley (2011) telah menguraikan suatu

fenomena urban sprawl dan blight yang terjadi pada suatu kota ke dalam suatu model

ekonomi sederhana dengan baik. Tidak hanya itu saja, model tersebut juga bersifat

sistematis, di mana model dijelaskan secara bertahap, mulai dari kondisi pusat kota

sebelum terjadinya urban sprawl dan blight, terjadinya suburbanisasi, serta fenomena

sprawl dan blight itu sendiri, dilihat dari kegagalan pasar (distorsi) yang terjadi. Model

analisis yang disampaikan penulis masih memiliki sejumlah keterbatasan, dimana model

hanya dapat diterapkan pada struktur kota yang monosentris, di mana dalam suatu kota

hanya terdiri dari satu pusat kota dengan CBD, pinggiran kota, dan suburban.

Perhitungan analisis berbasis model kota monosentris, memiliki kelemahan karena

model hanya terfokus pada jarak antara pusat kota dan suburban sebagai biaya angkutan

yang harus ditanggung dalam pemilihan perumahan di suburban. Sementara faktor

spasial dan sifat eksernalistas lingkungan di pusat kota dan suburban ditiadakan.

Caruso (2007) dalam Rahma (2011) berargumen bahwa sprawl lebih baik

dijelaskan melalui inerteraksi ekonomi diantara agen yang terdisribusi secara spasial,

dan menekankan tingkat kompetisi eksternal. Sprawl dapat dikatakan sebagai hasil dari

apresisasi yang signifikan terhadap ruang terbuka lingkungan (eksternalitas hijau) dan

6

Page 7: Review Jurnal

interaksi sosial (eksternalitas sosial). Lebih lanjut Rahma (2011) menilai bahwa

fenomena urban sprawl pada kota besar yang memiliki struktur kota yang kompleks

seperti Jakarta lebih cocok dinilai dari eksternalitas lingkungannya, dimana faktor

spasial penggunaan tanah dan interaksi ekonomi dapat menjelaskan/memprediksi arah

perkembangan sprawl lebih baik, sehingga kebijakan pembangunan terkait dengan hal

tersebut dapat disusun secara lebih optimal.

Keterbatasan lainnya akibat berlakunya asumsi berbasis model kota konsentris

adalah dalam perhitungan biaya pungutan kemacetan. Dalam model tersebut, biaya

pungutan kemacetan (congestion price) hanya dihitung berdasarkan ongkos yang

dikeluarkan komuter untuk menempuh jarak antara suburban dan pusat kota, sementara

ongkos yang ditempuh dalam pusat kota diasumsikan menjadi nol atau tanpa biaya.

Dengan kata lain, Brueckner mengasumsikan bahwa dalam pusat kota tidak terjadi

kemacetan. Hal ini tentunya menjadi kurang relevan, karena dalam pusat kota pasti

terdapat kemacetan, sebagaimana yang diungkapkan dalam Wassmer (2005) bahwa

salah satu akar pemicu sprawl itu sendiri adalah terjadinya kemacetan pusat kota yang

menyebabkan keinginan penduduk untuk ‘melarikan diri’ dan memilih untuk tinggal

dalam suburban. Dalam kota dengan beban jumlah penduduk yang kecil, mungkin teori

ini masih relevan, karena dengan terjadinya suburbanisasi, jumlah penduduk dapat

diasumsikan bergeser ke suburban sehingga titik kemacetan juga bergeser, akan tetapi

dalam kota besar seperi Jakarta, model ini menjadi kurang relevan untuk diterapkan.

Di Jakarta, terdapat lebih dari 10 juta penduduk (BPS,2011) dan sedikitnya 6,7

juta unit kendaraan bermotor (Dishub, 2010) yang berada di jalan, ditambah dengan

sedikitnya 1,2 juta penduduk dan 600.000 kendaraan dari kota di sekitarnya (Bogor,

Depok, Tangerang, dan Bekasi). Jumlah kendaraan yang lebih banyak di kota bila

dibandingkan dengan kendaraan yang masuk dari luar kota menunjukan kecenderungan

bahwa tingkat kemacetan di ruas jalan di pusat kota Jakarta lebih tinggi dibandingkan

dengan tingkat kemacetan di ruas jalan antara suburban dan pusat kota, sehingga model

menjadi kurang relevan, dan diperlukan adanya pungutan biaya kemacetan di dalam

kota. Unuk mengatasi kemacetan di kota Jakarta, selain upaya untuk mengurangi jumlah

kendaraan dengan menetapkan pungutan biaya untuk tol dalam kota, pemerintah kota

7

Page 8: Review Jurnal

Jakarta sedang mengupayakan metode Electronic Road Pricing yakni suatu metode

pemungutan ongkos jalan secara elektronik pada jam-jam sibuk1.

Sementara dalam penerapan konsep Urban Blight dan Sprawl secara

keseluruhan, Brueckner dan Hasley (2011) menyederhanakannya sebagai suatu

hubungan sebab akibat, di mana terjadinya sprawl dapat menyebabkan terjadinya

blight, meskipun pada kenyataannya, dengan adanya kemiskinan di perkotaan dapat

menimbulkan pelapukan kota atau blight terlebih dahulu, yang dapat menurunkan

kualitas permukiman perkotaan sehingga memicu terjadinya sprawl. Dalam kasus yang

terjadi pada kota metropolitan seperi Jakarta, fenomena sprawl dan blight yang terjadi

menjadi lebih kompleks. Sebagai ibukota negara, Jakarta memiliki fungsi vital baik

sebagai pusat pemerintahan, pusat pelayanan, maupun pusat perekonomian, bahkan

kegiatan perekonomian di Jakarta mencapai 60% dari seluruh kegiatan ekonomi di

Indonesia (Rizqihandari, 2011).

Hal ini menyebabkan Jakarta dipandang sebagai daerah yang menjanjikan,

sehingga Jakarta menjadi daerah tujuan migran dengan pertambahan penduduk yang

signifikan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan populasi dan migrasi serta pertumbuhan

ekonomi yang pesat di Jakarta menyebabkan terjadinya suburbanisasi ke kota-kota di

sekitar Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek). Aktivitas

pembangunan pada Bodetabek telah didominasi oleh proyek insentif lahan dengan

kepadatan yang rendah, dan kurang terencana, sehingga mengkonsumsi daerah

pertanian primer, dan mengkonversinya menjadi daerah industri dan aktivitas berbasis

jasa, atau dengan kata lain dapat disebut sebagai sprawl.

Terjadinya sprawl pada dasarnya disebabkan oleh perluasan wilayah

metropolitan sebagai akibat dari limpahan penduduk, atau sebagai hasil dari

pembangunan yang tidak terencana (Burchell, dkk: 1998). Sprawl yang tidak terkontrol

dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam penggunaan lahan, dan juga kesenjangan

sosial ekonomi penduduk di suatu kota. Dalam hal pola spasialnya, bentuk sprawl dapat

bermacam-macam terkait pola pembangunannya, misalnya seperti tersebar, lompatan

katak (leapfrog), dan pita (ribbon). Adapun pola spasial persebaran pusat kegiatan di

Jabodetabek sebagai bentuk akibat dari sprawl dapat terlihat pada Gambar 2.

1 Kewenangan kebijakan perencanaan dan pelaksanaan program ERP dipegang oleh Pemerintah Propinsi Jakarta sesuai UU no 34 Tahun 1997 tentang PemProv DKI, UU No. 38 tahun 2004 tentang Jalan, dan UU no 39 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan anara Pemerintah, Pemda Propinsi, dan Pemda Kota.

8

Page 9: Review Jurnal

Gambar 2. Peta Sebaran Pusat Kegiatan di Jabodetabek

Untuk mengurangi dampak sprawl yang tidak terkontrol, pemerintah telah

melalui kementrian pekerjaan umum telah menyusun Rencana Tata Ruang Kawasan

Kawasan Jabodetabekpunjur (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan

Cianjur), dan membentuk Badan Kerjasama Pembangunan Jabodetabekpunjur sebagai

wadah koordinasi pimpinan pemerintah daerah daam mengelola kawasan tersebut agar

perencanaan pembangunan dapat berjalan sinergis, dan dampak sprawl dapat lebih

terkontrol. Adapun pemanfaatan ruang di kawasan Jabodetabekpunjur berdasarkan

keterkaitan Hulu-Hilir dapat terlihat dalam Gambar 3.

9

Page 10: Review Jurnal

Gambar 3. Pemanfaatan Ruang di Kawasan Jabodetabekpunjur Berdasarkan Keterkaitan Hulu-Hilir DAS Ciliwung

Sementara dalam kasus terjadinya urban blight di Jakarta yang ditandai dengan

melapuknya atau menurunnya kualitas perumahan di pusat kota, pemicu utama

bukanlah akibat penurunan investasi pada pusat kota tua, melainkan akibat dari

kemiskinan penduduk perkotaan, di mana keterbatasan eknonomi dan keterbatasan

ruang ibukota memaksa mereka untuk tinggal di daerah marjinal yang terletak dengan

pusat kegiatan seperti di sekitar kereta rel kereta api, pasar, ataupun terminal. Masalah

lain yang dihadapi dalam penyediaan perumahan di Jakarta adalah kebutuhan akan

perumahan yang semakin meningkat sementara lahan yang tersedia semakin terbatas.

Berdasarkan data Susenas tahun (2001) dalam Cahyadi (2009), jumlah backlog atau

kebutuhan akan perumahan di Jakarta mencapai 700.000 unit, sementara lahan yang

tersedia untuk membangun kawasan perumahan sangat terbatas. Untuk memenuhi

kebutuhan perumahan dan Untuk mengatasi blight pemerintah melalui dinas perumahan

telah memberikan solusi dengan diantaranya dengan mengadakan Rumah Susun

(Rusunawa dan Rusunami), dimana orientasi perumahan yang sebelumnya horizontal

menjadi vertikal, untuk menampung lebih banyak penghuni, serta menggalakkan

perbaikan program Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu) dimana pemerintah

10

Page 11: Review Jurnal

memberikan bantuan sejumlah dana melalui Program PNPM di setiap kelurahan untuk

membantu penduduk miskin yang kurang mampu dalam memperbaiki kualitas

rumahnya.

III. Kesimpulan

Model ekonomi yang dikembangkan Brueckner dan Hesley (2011) untuk

mengukur urban sprawl dan blight, di suatu kota, masih kurang rerlevan untuk

diterapkan pada kota besar dan dinamis seperti Jakarta, karena berbasis pada model kota

yang monosentris, dimana faktor spasial dan eksternalitas kota tidak dimasukkan ke

dalam analisis. Kebijakan korektif untuk menanggulangi efek sprawl dan blight di

Jakarta antara lain dapat dilakukan dengan penerapan pungutan biaya kemacetan

Electronic Road Pricing, perencanaan wilayah Jabodetabekpunjur secara sinergis dan

perbaikan Rumah Tidak Layak Huni, serta mendorong investasi perumahan yang

berorientasi vertikal (apartemen dan rusun).

Sumber

Brueckner, Jan dan Robert Hesley. 2011. Sprawl and Blight. Journal of Urban

Economics Vol. 69. Hal 205-2013.

11

Page 12: Review Jurnal

Cahyadi, Rusli dan Gusti Ketut. 2009. Penduduk dan Pembangunan Rumah di

Jabodetabek: Tantangan Pengembangan Megapolitan Jakarta. Jurnal

Pembangunan Vol IV. No. 1.

Fitriani, Rahma dan Michael Harris. 2011. The Extent of Sprawl in The Fringe of

Jakarta Metropolitan Area from the Perspective of Externalities. Sydney:

Univerity of Sydney.

Rizqihandari, Nurrokhmah. 2011. Kemiskinan dan Struktur Ruang Kota di Jakarta.

Universitas Indonesia.

Sutanudjaja, Elisa. 2009. Urban Sprawl di Jakarta: Korelasi antara Ketergantungan

Kendaraan Bermotor dengan Perencananan Desain Perkotaan Jakarta.

Universitas Diponegoro.

Wassmer, Robert. (2005). Urban Sprawl (Decentralization) in United States. California:

Sacramento State University.

Naskah Akademik RTRW Jakarta 2011

Penjelasan Menteri Pekerjaan Umum mengenai Rencana Tata Ruang Kawasan

Jabodetabek-Punjur.

Lampiran

Peta Persebaran Pusat Kegiatan di Jabodetabek sebagai Efek dari sprawl

12

Page 13: Review Jurnal

13