Upload
arriv-wijaksono
View
39
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara Indonesia adalah Negara Hukum yang menjunjung tinggi harkat
dan martabat manusia, sehingga sudah seharusnya setiap manusia baik dewasa
maupun anak-anak dilindungi dari upaya-upaya mempekerjakannya pada
pekerjaan yang merendahkan harkat dan martabat manusia atau pekerjaan yang
eksploitatif karena bersifat tidak manusiawi.
Upaya perlindungan tenaga kerja yang dapat menjangkau seluruh tenaga
kerja baik dewasa maupun tenaga kerja anak, terlebih mengenai tenaga kerja
anak akhir-akhir ini banyak disorot dan telah menjadi isu nasional bahkan
internasional yang harus mendapat perhatian serius dari pemerintah dan
masyarakat, karena mempunyai dampak negatif bagi generasi penerus bangsa.
Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak asasi atau hak dasar
sejak dilahirkan, yaitu jaminan untuk tumbuh kembang secara utuh baik fisik,
mental maupun sosial, dan berakhlak mulia, perlu dilakukan upaya perlindungan
serta mewujudkan kesejahteraannya dengan memberikan jaminan terhadap
pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan terhadap diskriminasi, sehingga
tidak ada manusia atau pihak lain yang dapat merampas hak tersebut.
Menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002, Pasal 1 Ayat 2
menjelaskan bahwa perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang
1
dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Bekerja bagi anak mempunyai dampak positif tetapi juga mempunyai
dampak negatif. Sebenarnya dengan bekerja mereka akan kehilangan
kesempatan masa kanak-kanak mereka untuk bermain dan menuntut ilmu.
Dampak positif bagi anak yang bekerja berarti mereka sejak kecil sudah terlatih
untuk bertanggungjawab melakukan pekerjaan dan bagi keluarga dapat
membantu mencukupi kebutuhan hidup atau bahkan mereka bekerja agar dapat
melanjutkan sekolahnya.
Semakin tinggi jumlah penduduk semakin sulitnya perekonomian,
maupun berdampak pada peningkatan pada ada jumlah anak yang mencari
pekerjaan di pabrik-pabrik dan dunia usaha lainnya sulitnya kondisi
perekonomian membuat banyak rumah tangga pekerja semakin kesulitan
memenuhi kebutuhan keluarganya. Keadaan ini telah memaksa anak-anak harus
membantu mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga mereka, atau setidak-
tidaknya untuk mencukupi kebutuhan diri mereka sendiri.(Manning, C. dan
Diermen, 2000:204)
Pada hakekatnya anak seharusnya tidak boleh bekerja karena waktu
mereka selayaknya dimanfaatkan untuk belajar, bermain, bergembira, berada
dalam suasana damai, mendapatkan kesempatan dan fasilitas untuk mencapai
cita-citanya sesuai dengan perkembangan fisik, psikologik, intelektual dan
sosialnya. Namun pada kenyataannya banyak anak dibawah usia 18 tahun yang
telah terlibat aktif dalam kegiatan ekonomi, menjadi pekerja anak antara lain di
2
sektor industri dengan alasan tekanan ekonomi yang dialami orang tuanya
ataupun faktor lainnya. (Syamsuddin, 1997:1)
Salah satu masalah anak yang harus memperoleh perhatian khusus,
adalah isu pekerja anak (child labor). Isu ini telah mengglobal karena begitu
banyak anak-anak di seluruh dunia yang masuk bekerja pada usia sekolah. Pada
kenyataannya isu pekerja anak bukan sekedar isu anak-anak menjalankan
pekerjaan dengan memperoleh upah, akan tetapi lekat sekali dengan eksploitasi,
pekerjaan berbahaya, terhambatnya akses pendidikan dan menghambat
perkembangan fisik, psikis dan sosial anak. Bahkan dalam kasus dan bentuk
tertentu pekerja anak telah masuk sebagai kualifikasi anak-anak yang bekerja
pada situasi yang paling tidak bisa ditolelir (the intolerable form of child labor).
(Muhammad Joni dan Zulechaina, 1999:8)
Pada umumnya pekerja anak kurang mendapatkan perlindungan yang
memadai baik dari segi hukum maupun sosialnya. Hal ini disebabkan kondisi
anak yang terpaksa bekerja terkadang hanya sebagai tambahan tenaga pada
proses produksi (eksploitasi ekonomi) yang pada umumnya mereka tidak terikat
pada kesepakatan kerja, karena syarat-syarat formal (kecakapan) yang harus
dipenuhi dalam rangka pelindungan tidak dimiliki oleh anak yang bekerja.
Disamping itu anak juga dianggap belum cukup umur untuk melakukan
kesepakatan (perjanjian) kerja.
Keterlibatan anak yang bekerja tidak lepas dari pengaruh prinsip
ekonomi, yaitu bahwa suatu perusahaan akan bersemboyan mengeluarkan modal
yang sekecil-kecilnya tetapi menghasilkan keuntungan yang sebesar-besarnya.
3
Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah mereka akan berusaha
mendapatkan tenaga kerja yang murah yang salah satunya dengan
mempekerjakan anak, karena tenaga kerja anak dipandang lebih murah dan tidak
akan berbuat aneh-aneh dalam arti lebih mudah dikendalikan.
Pengusaha lebih menempatkan pekerja anak sebagai salah satu factor
ekonomi, bukan sisi kemanusiaan dan atau sosialnya dan pada gilirannya mereka
diperlakukan sebagaimana pekerja dewasa tetapi mendapatkan upah yang jauh
lebih rendah. Dengan demikian, pengusaha yang mempekerjakan anak tidak
melihat aspek produktivitas, tetapi lebih cenderung menekankan pada aspek
economical output-nya (upah rendah, kepatuhan dan tidak banyak menuntut).
Dari sinilah dapat diketahui cermin atas kejahatan kemanusiaan yang tidak ada
taranya, karena terdapat pengingkaran terhadap hak anak dan pengingkaran
terhadap perlindungan anak, hal ini pada dasarnya adalah pengahancuran
generasi penerus suatu bangsa.
Fenomena anak-anak yang telah ikut serta dalam kegiatan ekonomi, baik
yang diupah maupun tidak sekarang sudah banyak ditemui terutama di kota-kota
besar, diperkirakan anak-anak berumur 8 tahun telah ikut dalam usaha mencari
nafkah untuk keluarga. Kegiatan pembangunan sekarang ini berdampak pada
meningkatnya arus anak-anak yang bekerja, mereka tidak hanya terbatas dalam
melakukan kegiatan di sekitar pekerjaan yang biasa dilakukan oleh anak-anak
seperti memasak, membantu berjualan atau membantu di sawah, tetapi mereka
telah memasuki pekerjaan di luar rumah tangga, seperti pelayan toko, buruh
4
industri. Bahkan ada yang menjadi pekerja malam di sebuah diskotik dan
tempat-tempat hiburan malam.( Bapermas Kota Semarang, 2012)
Pekerja anak di daerah pedesaan lebih banyak melakukan pekerjaan
bidang pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan maupun kegiatan
ekonomi di lingkungan keluarga. Pekerja anak di daerah perkotaan dapat
ditemukan di perusahaan, rumah tangga (sebagai pembantu rumah tangga atau
pekerja industri rumahan atau industri keluarga) maupun di jalanan seperti
penjual koran, penyemir sepatu atau pemulung. Beberapa diantara pekerjaan
yang dilakukan anak tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk-bentuk
pekerjaan terburuk untuk anak yang dapat membahayakan kesehatan dan
keselamatan nyawa mereka.(Ahmad Sofian, 2012:12). Maka dalam penelitian ini
peneliti tertarik mengambil judul“ IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
PEKERJA ANAK DAN PENANGGULANGANNYA DI KOTA
SEMARANG ”
1.2 Perumusan Masalah
Perumusan masalah dimaksudkan untuk mengungkapkan pokok pikiran
secara jelas dan sistematis mengenai hakekat suatu masalah, sehingga lebih
mudah dipahami. Masalah menurut Ndraha (1997:31) adalah : " Masalah dapat
diartikan sebagai hal, sesuatu yang tidak dikehendaki atau yang negatif, dan
suatu informasi yang mengandung ketidakjelasan atau ketidakpastian ". Dari
definisi tersebut maka masalah dapat disimpulkan sebagai suatu perasaan yang
tidak menyenangkan seseorang dan merupakan penyimpangan dari keadaan
yang seharusnya.
5
Berdasarkan definisi ini dan bertolak dari latar belakang masalah tersebut
maka perumusan masalahnya sebagai berikut :
1.Bagaimanakah implementasi kebijakan tentang penanggulangan
pekerja anak di Kota Semarang?
2.Apakah faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi
kebijakan terhadap pekerja anak di Kota Semarang?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan implementasi kebijakan penanggulangan
pekerja anak di Kota Semarang.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang melatar belakangi anak untuk
bekerja di Kota Semarang.
1.4 Kegunaan Penelitian
1. Memberi masukan bagi pemerintah Kota Semarang agar lebih
memperhatikan permasalahan pekerja anak dan membuat kebijakan
yang baik dalam menangani permasalahan tersebut.
2. Sebagai sumbangan pengembangan ilmu pengetahuan khususnya
ilmu pengembangan Sumber Daya Manusia dan dapat menjadi
referensi bagi penelitian selanjutnya.
3. Bagi penulis bermanfaat untuk menambah wawasan dan
pengetahuan terutama berkaitan dengan ilmu yang dipelajari.
1.5 Kebijakan Publik
Kebijakan publik menurut Dye (1981 : 1) adalah apapun pilihan
pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (public policy is whatever
6
governments choose to do or not to do). Konsep tersebut sangat luas karena
kebijakan publik mencakup sesuatu yang tidak dilakukan pemerintah disamping
yang dilakukan oleh pemerintah ketika pemerintah menghadapi suatu masalah
publik. Definisi kebijakan publik dari Thomas Dye tersebut mengandung makna
bahwa kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah bukan organisasi
swasta dan kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak
dilakukan oleh pemerintah.
Anderson (Subarsono; 2005 : 2) mendefinisikan kebijakan publik sebagai
“ kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat
pemerintah”. Sedangkan Carl Friedrich dalam (Abdul Wahab; 2004:3)
menyatakan bahwa kebijakan publik adalah “ suatu tindakan yang mengarah pada
tujuan yang diusulkan seseorang, kelompok, atau pemerintah dalam lingkungan
tertentu sehubungan dengan adanya hambatan tertentu seraya mencari peluang
untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan ”. Definisi Carl
Friedrich ini menyangkut dimensi yang luas karena kebijakan tidak hanya
dipahami sebagai tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, tetapi juga oleh
kelompok maupun individu.
Pandangan lain dari kebijakan publik yaitu melihat kebijakan publik
sebagai keputusan yang mempunyai tujuan dan maksud tertentu, berupa
serangkaian instruksi dan pembuatan keputusan kepada pelaksana kebijakan
yang menjelaskan tujuan dan cara mencapai tujuan. Dengan mengikuti paham
bahwa kebijakan negara itu adalah serangkaian tindakan yang ditetapkan dan
dilaksanakan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan atau berorientasi pada
7
tujuan tertentu demi kepentingan seluruh rakyat, maka M. Irfan Islamy
menguraikan beberapa elemen penting dalam kebijakan publik (lrfan Islamy,
1997), yaitu:
a) Bahwa kebijakan publik itu dalam bentuk perdanya berupa penetapan
tindakan-tindakan pemerintah;
b) Bahwa kebijakan publik itu tidak cukup hanya dinyatakan tetapi
dilaksanakan dalam bentuk yang nyata;
c) Bahwa kebijakan publik, baik untuk melakukan sesuatu ataupun tidak
melakukan sesuatu itu, mempunyai dan dilandasi maksud dan tujuan
tertentu; dan
d) Bahwa kebijakan publik itu harus senantiasa ditujukan bagi kepentingan
seluruh anggota masyarakat.
Dalam hal ini teori kebijkan publik yang peniliti gunakan adalah teori
kebijakan publik menurut Thomas R. Dye yang menyatakan bahwa kebijkan
publik adalah apa yang dilakukan oleh pemerintah dan apa yang tidak dilakukan
oleh pemerintah.
1.5.1 Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah
kebijakan dapat mencapai tujuannya. Didalam Winarno (2002:101-102)
Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan alat
administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur, dan teknik
yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak
8
atau tujuan yang diinginkan. Meter dan Horn (1975) dalam Winarno (2002: 102)
membatasi implementasi kebijakan sebagai :
“Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-individu atau
(kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang diarahkan untuk
mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan kebijakan
sebelumnya”.
Menurut Jenkins (1978) dalam buku “Public Policy: Pengantar Teori dan
Praktik Analisis Kebijakan (Parson, 2005:203)”. Studi implementasi adalah
“Studi perubahan : bagaimana perubahan terjadi, bagaimana kemungkinan perubahan bisa dimunculkan. Ia juga merupakan studi tentang mikrostruktur dari kehidupan politik; bagaimana organisasi di luar dan didalam sistem politik menjalankan urusan mereka dan berinteraksi satu sama lain; apa motivasi-motivasi mereka bertindak seperti itu, dan apa motivasi lain yang mungkin membuat mereka bertindak secara berbeda”.
George C. Edward III (dalam Winarno, 2002: 125) menyatakan bahwa
implementasi adalah tahap pembuatan kebijakan antara pembentukan kebijakan
dan konsekuensi-konsekuensi kebijakan bagi masyarakat yang dipengaruhinya.
Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang
merupakan sasarn dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami
kegagalan sekaipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik.
Sementara itu, suatu kebijakan yang cemerlang mungkin juga akan mengalami
kegagalan jika kebijakan tersebut kurang diimplementasikan dengan baik oleh
para pelaksana kebijakan.
9
Implementasi kebijakan yang efektif dapat dilihat dari:
a. Ketepatan kebijakan. Dinilai dari sejauh mana kebijakan yang ada telah
bermuatan hal-hal yang memang memecahkan masalah yang hendak
dipecahkan.
b. Ketepatan pelaksanaan. Aktor implementasi kebijakan tidaklah hanya
pemerintah. Ada tiga lembaga yang dapat menjadi pelaksana, yaitu
pemerintah, kerjasama anatara pemerintah-masyarakat/swasta, atau
implementasi kebijakan yang diswastakan.
c. Ketepatan target. Ketepatan berkenaan dengan tiga hal. Pertama, apakah
target yang diintervensi sesuai dengan yang direncanakan, tidak tumpang
tindih dengan intervensi lain atau tidak bertentangan dengan intervensi
kebijakan lain. Kedua, apakah targetnya dalam kondisi siap untuk
disintervensi, atau tidak. Kesiapan bukan saja dalam arti secara alami,
namun juga apakah kondisi target ada dalam konflik atau harmoni, dan
apakah kondisi target dan kondisi mendukung atau menolak. Ketiga,
apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau
memperbaharui implementasi kebijakan sebelumnya.
d. Ketepatan lingkungan. Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu
lingkungan kebijakan, yaitu interaksi diantara lembaga perumus kebijakan
dan pelaksana kebijakan dengan lembaga lain yang terkait.
Keberhasilan implementasi kebijakan ditentukan oleh banyak faktor, dan tiap
faktor tersebut saling berhubungan satu sama lain. Faktor tersebut antara lain :
10
1.5.1.a Teori Van Meter dan Van Horn (1975)
Teori Van Meter dan Van Horn (1975) dalam Subarsono (2005:99-101),
menjelaskan bahwa model pendekatan top-down yang dirumuskan oleh Donald
Van Metier dan Carl Van Horn disebut dengan A Model of The Policy
Implementation (Leo Agustino, 2008:144). Proses implementasi ini merupakan
sebuah abstraksi atau performansi suatu implementasi kebijakan yang pada
dasarnya secara sengaja dilakukan untuk meraih kinerja implementasi kebijakan
publik yang tinggi yang berlangsung dalam hubungan berbagai variabel. Model
ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linier dari
keputusan politik yang tersedia, pelaksana, dan kinerja kebijakan publik.
Implementasi kebijakan merupakan suatu kegiatan atau proses
pelaksanaan kebijakan oleh aparatur pelaksana birokrasi untuk mewujudkan apa
yang hendak dicapai meliputi; ketepatan sasaran kebijakan, tersedianya aktor
pelaksana yang memadai, manfaat dari adanya implementasi
Ada enam variabel, menurut Van Metter dan Van Horn (Leo Agustino,
2008:144), yang mempengaruhi kinerja kebijakan publik tersebut, adalah:
1. Ukuran dan Tujuan Kebijakan.
Kinerja implementasi kebijakan dapat diukur tingkat keberhasilannya
jika-dan-hanya-jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistic
dengan sosio-kultur yang mengada di level pelaksana kebijakan. Ketika
ukuran kebijakan atau tujuan kebijakan terlalu ideal untuk dilaksanakan di
level warga, maka agak sulit memang merealisasikan kebijakan publik hingga
titik yang dapat dikatakan berhasil.
11
2. Sumber daya.
Keberhasilan proses implementasi kebijakan sangat tergantung dan
kemampuan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia. Manusia merupakan
sumberdaya yang terpenting dalam menentukan suatu keberhasilan proses
implementasi. Tahap-tahap tertentu dari keseluruhan proses implementasi
menuntut adanya sumberdaya manusia yang berkualitas sesuai dengan
pekerjaan yang diisyaratkan oleh kebijakan yang telah ditetapkan secara
politik. Tetapi ketika kompetensi dan kapabilitas dan sumber-sumber daya itu
nihil maka kinerja kebijakan publik sangat sulit untuk diharapkan.
Akan tetapi diluar sumberdaya manusia, sumberdaya - sumberdaya lain
yang perlu diperhitungkan juga, ialah : sumberdaya financial dan sumberdaya
waktu. Karena, mau tidak mau, ketika sumberdaya manusia yang kompeten
dan kapabel telah tersedia sedangkan kucuran dana melalui anggaran tidak
tersedia, maka memang menjadi persoalan pelik untuk merealisasikan apa
yang hendak dituju oleh tujuan kebijakan publik. Demikian pula halnya
dengan sumberdaya waktu. Saat sumberdaya manusia giat bekerja dan
kucuran dana berjalan dengan baik, tetapi terbentur dengan persoalan waktu
yang terlalu ketat, maka hal ini pun dapat menjadi penyebagian
ketidakberhasilan implementasi kebijakan. Karena itu sumberdaya yang
diminta dan dimaksud oleh Van Metter dan Van Horn (Leo Agustino,
2008:144), adalah ketiga bentuk sumberdaya tersebut.
12
3. Karakteristik Agen Pelaksana.
Pusat perhatian pada agen pelaksana meliputi organisasi formal dan
organisasi informal yang akan terlibat pengimplementasian kebijakan publik.
Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan (publik) akan
sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para
agen pelaksanaannya. Misalnya, implementasi kebijakan publik yang
berusaha untuk merubah perilaku atau tindaklaku manusia secara radikal,
maka agen pelaksana projek itu haruslah berkarakteristik keras dan ketat pada
aturan serta sanksi hukum. Apabila bila kebijakan publik itu tidak terlalu
merubah perilaku dasar manusia, maka dapat-dapat saja agen pelaksana yang
diturunkan tidak sekeras dan tidak setegas pada gambaran yang pertama.
Selain itu, cakupan atau luas wilayah implementasi kebijakan perlu juga
diperhitungkan manakala hendak menentukan agen pelaksana. Semakin luas
cakupan implementasi kebijakan, maka seharusnya semakin besar pula agen
yang dilibatkan.
4. Sikap/Kecenderungan (Disposition) para Pelaksana.
Sikap penerimaan atau penolakan dari (agen) pelaksana akan sangat
banyak mempengaruhi keberhasilan atau tidaknya kinerja implementasi
kebijakan publik. Hal ini sangat mungkin terjadi oleh karena kebijakan yang
dilaksanakan bukanlah hasil formulasi warga setempat yang mengenal betel
persoalan dan permasalahan yang mereka rasakan. Tetapi kebijakan yang
akan implementor pelaksanaan adalah kebijakan "dari atas" (top down) yang
sangat mungkin para pengambil keputusannya tidak pernah mengetahui
13
(bahkan tidak mampu menyentuh) kebutuhan, keinginan, atau permasalahan
yang warga ingin selesaikan.
Disposisi implementor mencakup tiga hal penting, yaitu :
a) respons implementor terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi
kemauannya untuk melaksanakan kebijakan;
b) kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan;
c) Intensitas disposisi implementor yakni preferensi nilai yang dimiliki
oleh implementor.
5. Komunikasi Antarorganisasi dan Aktivitas Pelaksana.
Koordinasi merupakan mekanisme yang ampuh dalam implementasi
kebijakan publik. Semakin baik koordinasi komunikasi diantara, pihak-pihak
yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka asumsinya kesalahan-
kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi. Dan, begitu pula sebaliknya.
6. Lingkungan Ekonomi, Sosial, dan Politik.
Hal terakhir yang perlu juga diperhatikan guna menilai kinerja
implementasi publik dalam perspektif yang ditawarkan oleh Van Metier dan Van
Horn (Leo Agustino, 2008:144) adalah, sejauh mana lingkungan eksternal turul
mendorong keberhasilan kebijakan publik yang lelah ditetapkan. Lingkungan
sosial ekonomi, dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi biang keladi dari
kegagalan kinerja implementasi kebijakan. Oleh karena itu, upaya untuk
mengimplemenlasikan kebijakan harus pula memperhalikan kekondusifan
kondisi lingkungan eksternal.
14
Gambar 1.1
Model Pendekatan The Policy Implementation Process
(Donald Van Metter dan Carl Van Horn)
Sumber : Leo Agustino ( 2008:144 )
Ada beberapa variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni:
(1) standart dan sasaran kebijakan;
(2) sumberdaya;
(3) hubungan antar organisasi;
(4) karakteristik agen pelaksana;
(5) kondisi sosial, ekonomi dan politik;
(6) disposisi implementor
15
komunikasi antar organisasi dan kegiatan pelaksanaan
ukuran dan tujuan kebijakan
ciri badan pelaksana
sikap para
pelaksana
prestasi kerja
sumber - sumber kebijaksanaan
Lingkungan : Ekonomi, Sosial dan
Politik
1.5.1.b Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983)
Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983) dalam Subarsono (2005:94-99),
ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi,
yakni:
1. Karakteristik Masalah
a. Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan.
b. Tingkat kemajemukan dari kelompok sasaran.
c. Proporsi kelompok sasaran terhadap hasil populasi.
d. Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan. Sebuah program yang
bertujuan memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan relatif
mudah diimplementasikan daripada program yang bertujuan untuk
mengubah sikap dan perilaku masyarakat.
2. Karakteristik Kebijakan
a. Kejelasan isi kebijakan.
b. Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis.
Kebijakan yang memiliki dasar teoritis memiliki sifat lebih mantap
karena sudah teruji, walaupun untuk beberapa lingkungan sosial
tertentu perlu ada modifikasi.
c. Besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan tersebut.
d. Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai
institusi pelaksana.
e. Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana.
f. Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan.
16
g. Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi
dalam implementasi kebijakan.
3. Lingkungan Kebijakan
a. Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi.
b. Dukungan publik terhadap sebuah kebijakan.
c. Sikap dari kelompok pemilih: (1) Melakukan intervensi terhadap
keputusan yang dibuat badan pelaksana melalui berbagai komentar
untuk mengubah keputusan; (2) Mempengaruhi badan-badan
pelaksana secara tidak langsung melalui kritik yang dipublikasikan
terhadap kinerja badan-badan pelaksana, dan membuat pernyataan
yang ditujukan kepada badan legislatif.
d. Tingkat komitmen dan ketrampilan dari aparat dan implementor.
Model implementasi kebijakan publik yang lain ditawarkan oleh Daniel
Mazmanian dan Paul Sabader. Model implementasi yang ditawarkan mereka
disebut dengan A Framework for Policy Implementation Analysis.( Leo
Agustino,2008:144). Kedua ahli kebijakan ini berpendapat bahwa peran penting
dari implementasi kebijakan publik adalah kemampuannya dalam
mengidentifikasikan variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya tujuan-
tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi. Dan, variabel-variabel
yang dimaksud dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori besar, yaitu:.
1. Mudah atau Tidaknya Masalah yang akan Digarap, meliputi:
a. Kesukaran-kesukaran Teknis.
17
Tercapai atau tidaknya tujuan suatu kebijakan akan tergantung pada
sejumlah persyaratan teknis, termasuk diantaranya: kemampuan untuk
mengembangkan indikator-indikator pengukur prestasi kerja yang tidak
terlalu mahal serta pemahaman mengenai prinsip-prinsip hubungan kausal
yang mempengaruhi masalah. Disamping itu tingkat keberhasilan suatu
kebijakan dipengaruhi juga oleh tersedianya atau telah dikembangkannva
teknik-teknik tertentu.
b. Keberagaman Perilaku yang Diatur.
Semakin beragam perilaku yang diatur, maka asumsinya semakin beragam
pelayanan yang diberikan, sehingga semakin sulit untuk membuat peraturan
yang tegas dan jelas. Dengan demikian semakin besar kebebasan bertindak
yang harus dikontrol oleh para pejabat pada pelaksana (administrator atau
birokrat) di lapangan.
c. Persentase Totalitas Penduduk yang Tercakup dalam Kelompok Sasaran.
Semakin kecil dan semakin jelas kelompok sasaran yang perilakunya akan
diubah (melalui implementasi kebijakan), maka semakin besar peluang untuk
memobilisasikan dukungan politik terhadap sebuah kebijakan dan dengannya
akan lebih terbuka peluang bagi pencapaian tujuan kebijakan.
d. Tingkat dan Ruang Lingkup Perubahan Perilaku yang Dikehendaki.
Semakin besar jumlah perubahan perilaku van; dikehendaki oleh
kebijakan, maka semakin sukar / sulit para pelaksana memperoleh
implementasi yang berhasil. Artinya ada sejumlah masalah yang jauh lebih
dapat kita kendalikan bila tingkat dan ruang lingkup Perubahan yang
dikehendaki tidaklah terlalu besar.
18
2. Kemampuan Kebijakan Menstruktur Proses Implementasi Secara Tepat, Para
pembuat kebijakan mendayagunakan wewenang yang dimilikinya untuk
menstruktur proses implemental secara tepat melalui beberapa cara:
a. Kecermatan dan kejelasan penjenjangan tujuan-tujuan resmi yang akan
dicapai.
Semakin mampu suatu peraturan memberikan petunjuk-petunjuk yang
cermat dan disusun secara jelas skala prioritas/urutan kepentingan bagi
Para pejabat pelaksana dan aktor lainnya, maka semakin besar pula
kemungkinan bahwa output kebijakan dari badan-badan pelaksana akan
sejalan dengan petunjuk tersebut.
b. Keterandalan teori kausalitas yang, diperlukan.
Memuat suatu teori kausalitas yang menjelaskan bagaimana kira-kira
tujuan usaha pembaharuan yang akan dicapai melalui implementasi
kebijakan.
c. Ketetapan alokasi sumberdana.
Tersedianya dana pada tingkat batas ambang tertentu sangat diperlukan
agar terbuka peluang untuk mencapai tujuan-tujuan formal.
d. Keterpaduan hirarki di dalam lingkungan dan diantara lembaga-lembaga
atau instansi-instansi pelaksana.
Salah satu ciri penting yang perlu dimiliki oleh setiap peraturan
perundangan yang baik ialah kemampuannya untuk memadukan hirarki
badan-badan pelaksana. Ketika kemampuan untuk menyatupadukan dings,
19
badan, dan lembaga alga dilaksanakan, maka koordinasi antar instansi
yang bertujuan mempermudah jalannya implementasi kebijakan justru
akan membuyarkan tujuan Mari kebijakan yang telah ditetapkan.
e. Aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badan pelaksana.
Selain dapat memberikan kejelasan dan konsistensi tujuan, memperkecil
jumlah titik-titik veto, dan intensif yang memadai bagi kepatuhan
kelompok sasaran, suatu undang-undang harus pula, dapat mempengaruhi
lebih lanjut proses implementasi kebijakan dengan cara menggariskan
secara formal aturan-aturan pembuat keputusan dari badan-badan
pelaksana.
f. Kesepakatan Para pejabat terhadap tujuan yang termaktub dalam undang-
undangan.
Para pejabat pelaksana memiliki kesepakatan yang diisyaratkan demi
tercapainya tujuan. Hal ini sangat signifikan halnya, oleh karena, top down
policy bukanlah perkara yang mullah untuk diimplankan pada Para pejabat
pelaksana di level lokal.
g. Akses formal pihak-pihak luar.
Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi implementasi kebijakan adalah
sejauhmana peluang - peluang yang terbuka bagi partisipasi Para aktor
diluar badan pelaksana dapat mendukung tujuan resmi. Ini maksudnya
agar kontrol pada. Para pejabat pelaksanaan yang ditunjuk oleh pemerintah
pusat dapat berjalan sebagaimana mestinya.
20
3. Variabel-variabel diluar Undang-undang yang Mempengaruhi Implementasi.
a. Kondisi sosial-ekonomi dan teknologi.
Perbedaan waktu dan perbedaan diantara wilayah - wilayah hukum
pemerintah dalam hal kondisi sosial, ekonomi, dan teknologi sangat
signifikan berpengaruh terhadap upaya pencapaian tujuan yang digariskan
dalam suatu undang-undang. Karena itu, eksternal faktor juga menjadi hal
penting untuk diperhatikan guna keberhasilan suatu upaya
pengejawantahan kebijakan publik.
b. Dukungan publik.
Hakekat perhatian publik yang bersifat sewa menimbulkan kesukaran-
kesukaran tertentu, karena untuk mendorong tingkat keberhasilan suatu
implementasi kebijakan sangat dibutuhkan adanya sentuhan dukungan dari
warga. Karena itu, mekanisme partisipasi publik sangat penting artinya
dalam proms pelaksanaan kebijakan publik di lapangan.
c. Sikap dan sumber-sumber yang dimiliki kelompok masyarakat.
Perubahan-perubahan yang hendak dicapai oleh suatu kebijakan publik
akan sangat berhasil apabila tingkat masyarakat, warga memiliki sumber-
sumber dan sikap-sikap masyarakat yang kondusif terhadap kebijakan
yang ditawarkan pada mereka. Ada semacam local genius (kearifan lokal)
yang dimiliki oleh warga yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau
ketidakberhasilan implementasi kebijakan publik.
d. Kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan para pejabat pelaksana.
21
Kesepakatan para pejabat instansi merupakan fungsi dari kemampuan
undang-undang untuk melembagakan pengaruhnya pada badan-badan
pelaksana melalui penyeleksian institusi-institusi dan pejabat-pejabat
terasnya. Selain itu pula, kemampuan berinteraksi antarlembaga atau
individu di dalam lembaga untuk mensukseskan implementasi kebijakan
menjadi hal indikasi penting keberhasilan kinerja kebijakan publik.
Gambar 1.2
Model Implementasi KebijakanMenurut Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier
Sumber : (Leo Agustino, 2008:149)
22
Mudah-tidaknya masalah dikendalikan
1.dukungan teori dan teknologi
2. keragaman perilaku kelompok sasaran
Kemampuan Kebijakan untuk Menstruktur Proses Implementasi:
1. kejelasan dan konsistensi tujuan
2. dipergunakannya teori kausal
3. ketepatan alokasi sumberdana
4. keterpaduan hirarki antarlembaga pelaksanaan
5. aturan pelaksanaan dari lembaga pelaksanaan
Variabel Diluar Kebijakan yang Mempengaruhi Proses Implementasi :1. konsisi sosio-ekonomi dan teknologi2. dukungan public3. sikap dan sumberdaya dari konstituen4. dukungan pejabat yang lebih tinggi5. komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana
Tahapan dalam Proses Implementasi kebijakanOutput
Kebijakan dari Lembaga Pelaksanaan
Kepatuhan Target utk mematuhi Output Kebijakan
Revisi Undang-undang
Diterimanya Hasil tersebut
Hasil Nyata Output Kebijakan
1.5.1.c Teori Grindle
Model keempat yang berpendekatan top-down dikemukakan oleh Merilee S.
Grindle (1980). Pendekatannya tersebut dikenal dengan Implementation as A
Political and Administrative Process. Menurut Grindle ada dua variabel yang
mempengaruhi implementasi kebijakan publik. Keberhasilan implementasi suatu
kebijakan publik dapat diukur dari proses pencapaian hasil akhir (outcomes),
yaitu tercapai atau tidaknya tujuan yang ingin diraih. Hal ini dikemukakan oleh
Grindle, dimana pengukuran keberhasilan implementasi kebijakan tersebut dapat
dilihat dari dua hal, yaitu:
1. Dilihat dari prosesnya, dengan mempertanyakan apakah pelaksanaan
kebijakan sesuai dengan yang ditentukan (design) dengan merujuk pada aksi
kebijakannya.
2. Apakah tujuan kebijakan tercapai. Dimensi ini diukur dengan melihat dua
faktor, yaitu:
a. Dampak atau efeknya pada masyarakat secara individu dan kelompok.
b. Tingkat perubahan yang terjadi serta penerimaan kelompok sasaran dan
perubahan yang terjadi.
Keberhasilan suatu implementasi kebijakan publik, juga menurut Grindle,
amat ditentukan oleh tingkat implementability kebijakan itu sendiri, yang terdiri
atas Content of Policy dan Context of Policy (1980:5)
23
Gambar 1.3Model Implementasi Menurut Grindle
Sumber : (Leo Agustino, 2008:154)
A. Content of Policy menurut Grindle adalah:
1. Interest Affected (kepentingan-kepentingan yang mempengaruhi)
Interest affected berkaitan dengan berbagai kepentingan yang mempengaruhi
suatu implementasi kebijakan. Indikator ini berargumen bahwa suatu kebijakan
dalam pelaksanaannya pasti melibatkan banyak kepentingan, dan sejauhmana
kepentingan-kepentingan tersebut membawa pengaruh terhadap
implementasinya, hal inilah yang ingin diketahui lebih lanjut.
2. Type of 'Benefits (tipe manfaat)
Pada poin ini content of policy berupaya untuk menunjukkan atau menjelaskan
bahwa dalam suatu kebijakan harus terdapat beberapa jenis manfaat yang
24
Tujuan Kebijakan
Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh:A. Isi kebijakan
Kepentingan kelompok sasaran. Tipe manfaat. Derajad perubahan yang diinginkan. Letak pengambilan keputusan. Pelaksanaan program. Sumber daya yang dilibatkan.
B. Lingkungan kebijakan Kekuasaan, kepentingan, dan strategi aktor
yang terlibat. Karakteristik lembaga dan penguasa. Kepatuhan dan daya tanggap.
Hasil kebijakan:Dampak pada masyarakat,
individu dan kelompok.Perubahan dan penerimaan
masyarakat.
Program yang dilaksanakan sesuai rencana
Tujuan yang dicapai
Program aksi dan proyek individu yang didesain dan didanai
Mengukur keberhasilan.
menunjukkan dampak positif yang dihasilkan oleh pengimplementasian
kebijakan yang hendak dilaksanakan.
3. Extent of Change Envision (derajat perubahan yang ingin dicapai)
Setiap kebijakan mempunyai target yang hendak dan ingin dicapai. Yang ingin
dijelaskan pada poin ini adalah bahwa seberapa besar perubahan yang hendak
atau ingin dicapai melalui suatu implementasi kebijakan harus mempunyai
skala yang jelas.
4. Site of Decision Making (letak pengambilan keputusan)
Pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan memegang peranan penting
dalam pelaksanaan suatu kebijakan, maka pada bagian ini harus dijelaskan
dimana letak pengambilan keputusan dari suatu kebijakan yang akan
diimplementasikan.
5. Program Implementer (pelaksana program)
Dalam menjalankan suatu kebijakan atau program hams didukung dengan
adanya pelaksana kebijakan yang kompeten dan kapabel demi keberhasilan
suatu kebijakan. Dan, ini harus sudah terdata atau terpapar dengan baik pada
bagian ini.
6. Resources Committed (sumber-sumber daya yang digunakan)
Pelaksanaan suatu kebijakan juga harus didukung oleh sumberdaya-
sumberdaya yang mendukung agar pelaksanaannya berjalan dengan baik.
B. Context of Policy menurut Grindle adalah:
1. Power, Interest, and Strategy of Actor Involved (kekuasaan kepentingan-
kepentingan, dan strategi dari aktor yang terlibat)
25
Dalam suatu kebijakan perlu diperhitungkan pula kekuatan atau
kekuasaan, kepentingan, serta strategi yang digunakan oleh para aktor
yang terlibat guna memperlancar jalannya pelaksanaan suatu implemental
kebijakan. Bila hal ini tidak diperhitungkan dengan matang sangat besar
kemungkinan program yang hendak diimplementasikan akan jauh arang
dari api.
2. Institution and Regime Characteristic (karakteristik lembaga dan rezim
yang berkuasa)
Lingkungan dimana suatu kebijakan tersebut dilaksanakan juga
berpengaruh terhadap keberhasilannya, maka pada bagian ini ingin
dijelaskan karakteristik dan suatu lembaga yang akan turut mempengaruhi
suatu kebijakan.
3. Compliance and Responsiveness (tingkat kepatuhan csr adanya respon dari
pelaksana)
Model implementasi menurut Grindle (1980) dalam bukunya Leo
Agustino,2008:154 ditentukan oleh isi kebijakan dan konteks kebijakan.
Penyataan Grindle ini kiranya tidak jauh berbeda dengan penjelasan Meter
dan Horn didepan, setidak-tidaknya melihat implementasi dalam
keterpengaruhannya dengan lingkungan.
Berkaitan dengan topic penelitian yang diambil yaitu implementasi
kebijakan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak di Kota Semarang,
maka penulis akan menggunakan model implementasi yang disampaikan oleh
Meter dan Horn sebagai kerangka analisis implementasi kebijakan.
26
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa terdapat 4 (empat)
aspek yang mempengaruhi hasil atau kinerja suatu kebijakan, antara lain:
(1) standart dan sasaran kebijakan;
(2) sumberdaya;
(3) hubungan antar organisasi;
(4) karakteristik agen pelaksana;
(5) kondisi sosial, ekonomi dan politik;
(6) disposisi implementor
Didalam implementasi juga perlu diperhatikan besarnya dukungan
sumber daya baik itu sumber dana maupun sumber daya manusia. Karena
kinerja kebijakan akan rendah bila dana yang dibutuhkan tidak tersedia
pemerintah secara memadai.
Sementara Grindle menyampaikan hal serupa, bahwa implementasi
kebijakan di pengaruhi oleh konteks kebijakan, yaitu : (1) kekuasaaan,
kepentingan, dan strategi aktor yang terlibat, (2) karakteristik lembaga dan
penguasa, dan (3) kepatuhan serta daya tanggap pelakasana. Intensitas
keterlibatan pelaksana, politisi, pengusaha, kelompok sasaran dan para
pelaksana program akan bercampur mempengaruhi efektivitas implementasi.
Implementasi menurut Meter dan Horn dipengaruhi oleh komunikasi
antar organisasi, karakteristik birokrasi pelaksana dan sikap pelaksana. Hal ini
di perkuat oleh pandangan Grindle yang memasukkan variable pelaksana
program, karakteristik lembaga di dalam variable-variabel yang
memepengaruhi implementasi. Demikian juga Sabatier dan Mazmanian, perlu
27
adanya integrasi organiasi pelaksana, akses formal pelaksana ke organisasi lain
komiten pejabat pelaksana.
Berkaitan dengan model implementasi yang di gunakan dalam penelitian
ini, yaitu model implementasi yang disampaikan oleh Van Meter dan Van
Horn, dengan didukung oleh model implementasi menurut Grindle dan
Sabatier & Mazmanian dapat diketahui bahwa ketiganya memiliki kerangka
berpikr yang tidak jauh berbeda. Mereka melihat implementasi dalam
keterpengaruhan dengan lingkungan. Studi mereka melihat 3 (tiga) dimensi-
analisis dalam suatu organisasi, yakni tujuan, pelaksanaan tugas, dan kaitan
organisasi dengan lingkungan. Dalam prosesnya terdapat factor-faktor yang
menjadi penentu berhasil tidaknya implementasi suatu kebijakan. Hal ini
berlaku juga dalam implementasi kebijakan perlindungan pekerja anak di Kota
Semarang. Di dalam penelitian ini indicator yang digunakan adalah ukuran dan
tujuan kebijakan, sumber kebijakan, komunikasi, karakteristik badan
pelaksana, kondisi ekonomi, sosial dan politik, sikap pelakasana.
2.4.1. Pengertian dan Karakteristik Pekerja Anak2.4.1.1. Pengertian Anak
Anak adalah merupakan harta yang tak ternilai harganya, tidak saja dilihat
dalam perspektif sosial, budaya, ekonomi, politik, hukum, tetapi juga dalam
perspektif keberlanjutan sebuah generasi keluarga, suku, trah, maupun bangsa.
Mengingat pentingnya status dan posisi anak tersebut Sri Purnianti dan Martini
(2002:5)berpendapat bahwa anak dapat bermakna sosial (kehormatan harkat
martabat keluarga tergantung pada sikap dan perilaku anak), budaya (anak
28
merupakan harta dan kekayaan sekaligus merupakan lambang kesuburan sebuah
keluarga), politik(anak adalah penerus trah atau suku masyarakat
tertentu), ekonomi (pada sementara anggapan masyarakat Jawa khususnya ada
adagium ‘banyak anak banyak rejeki, sehingga ‘mengkaryakan’ atau
memperkerjakan anak dapat menambah penghasilan atau rejeki), hukum (anak
mempunyai posisi dan kedudukan strategis didepan hukum).
Pekerja anak diartikan sebagai anak yang harus melakukan pekerjaan yang
menghalangi mereka bersekolah dan membahayakan kesehatan, fisik dan
mentalnya (Manik, 2006). Pekerja anak juga diartikan sebagai anak yang aktif
bekerja, yang membedakannya dengan anak yang pasif bekerja, karena tidak
semua pekerjaan yang dilakukan oleh anak dapat menjadikan anak sebagai
pekerja [bdk. Indaryati dan Lisna (eds), 2005:75].
Konvensi ILO No.138 (disahkan Pemerintah Indonesia melalui UU No.1
tahun 2000) mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja menyatakan
bahwa usia minimum bagi anak untuk diperbolehkan bekerja adalah 15 tahun jika
pekerjaan itu tidak mengganggu kesehatan, keselamatan, pendidikan, dan
pertumbuhannya. Sementara usia minimum untuk diperbolehkan bekerja atau
melakukan pekerjaan yang berbahaya tidak boleh kurang dari 18 tahun. Namun
ternyata masih banyak anak berusia kurang dari 15 tahun yang harus bekerja di
Indonesia.
Pengertian anak menurut Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas)
29
tahun. Pada dasarnya anak mempunyai kebutuhan khusus yang harus dipenuhi
semasa masih anak-anak.
Sangat sukar untuk menetapkan suatu pengertian pekerja anak. Ungkapan
pekerja anak mengesankan suatu kondisi dimana mereka terbelenggu dengan
suatu jenis pekerjaan dalam kondisi yang sangat bervariatif. Pekerjaan itu mereka
lakukan dalam suatu rangkaian panjang. Kegiatan yang berkelanjutan dan tidak
tahu kapan berakhirnya. Mungkin pada salah satu ujungnya pekerjaan itu akan
bermanfaat dapat meningkatkan atau mempercepat perkembangan fisik, jiwa,
emosi, sosial dan moral mereka sebagai anak. Sementara ujung yang lainnya akan
merampas dan merusak kehidupan mereka sebagai anak, istilahnya “destruktif
dan eksploitatif”. Pada kedua kutub inilah beragam bidang pekerjaan dengan
kegiatannya yang luas digeluti oleh pekerja anak. (Depdiknas, 2001:8)
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Tipe Penelitian
Berdasarkan jenis penelitian yang dikemukakaan oleh Machfoedz,
(2007: 7), penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif bersifat
deskriptif analitik. Dengan demikian data yang terkumpul berbentuk kata-kata,
gambar serta angka-angka yang kemudian dianalisis. Angka-angka tersebut
sifatnya hanya sebagai penunjang dalam proses analisis data. Penelitian
deskriptif menggambarkan dan melukiskan keadaan subjek atau obyek
penelitian (lembaga, masyarakat, daerah) pada saat sekarang, yang
mendasarkan faktor-faktor yang nampak atau sebagaimana adanya. Penelitian
30
deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan secara terperinci fenomena sosial
tertentu, misalnya interaksi sosial, sistem kekerabatan dan lain-lain
(Singarimbun, 1995:4).
Dengan demikian berdasarkan dari pernyataan diatas, tipe penelitian ini
menggunakan tipe penelitian deskriptif, karena ini bertujuan untuk
mendeskripsikan apa-apa yang saat ini berlaku. Didalamnya terdapat upaya
mendeskripsikan, mencacat, analisis dan menginterpretasikan kondisi-kondisi
sekarang ini terjadi atau ada.
1.6.2 Operasionalisasi Konsep
1.6.2 Implementasi Kebijakan
Proses implementasi ini merupakan sebuah abstraksi atau performansi
suatu implementasi kebijakan yang pada dasarnya secara sengaja dilakukan untuk
meraih kinerja implementasi kebijakan publik yang tinggi yang berlangsung
dalam hubungan berbagai variabel. Implementasi kebijakan merupakan suatu
kegiatan atau proses pelaksanaan kebijakan oleh aparatur pelaksana birokrasi
untuk mewujudkan apa yang hendak dicapai meliputi; ketepatan sasaran
kebijakan, tersedianya aktor pelaksana yang memadai, manfaat dari adanya
implementasi.
1.6.2 Faktor yang mempengaruhi keberhasilan implementasi
Standar dan sasaran kebijakan, kinerja implementasi kebijakan dapat
diukur tingkat keberhasilannya dari ukuran dan tujuan kebijakan yang bersifat
realistis dengan sosio-kultur yang ada di level pelaksana kebijakan. Untuk
mengukur kinerja implementasi kebijakan tentunya menegaskan standar dan
31
sasaran tertentu yang harus dicapai oleh para pelaksana kebijakan, kinerja
kebijakan pada dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar
dan sasaran tersebut.
Sumber Daya, keberhasilan implementasi kebijakan sangat tergantung dari
kemampuan memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Manusia merupakan
sumber daya yang terpenting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi
kebijakan. Selain sumber daya manusia, sumber daya finansial dan waktu menjadi
perhitungan penting dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Faktor anggaran
atau sumber daya finansial sangat penting guna mendukung keberhasilan
implementasi suatu kebijakan.
Lingkungan sosial, ekonomi dan politik yang perlu diperhatikan guna
menilai kinerja implementasi kebijakan adalah sejauh mana lingkungan eksternal
turut mendorong keberhasilan kebijakan publik. Lingkungan sosial, ekonomi dan
politik yang tidak kondusif dapat menjadi sumber masalah dari kegagalan kinerja
implementasi kebijakan. Karena itu, upaya implementasi kebijakan mensyaratkan
kondisi lingkungan eksternal yang kondusif.
1.6.3 Situs Penelitian
Didalam penelitian ini, peneliti mengambil tempat penelitian di Kota
Semarang, karena kota Semarang menjadi ibu kota provinsi Jawa Tengah dan
menjadi pusat pemerintahan tingkat provinsi. Faktor Kota Semarang sebagai ibu
kota Jawa Tengah menjadikan warga di kota-kota lain di Jawa Tengah
berdatangan untuk mengadu nasib. Kota Semarang juga berkembang menjadi kota
32
industri di kawasan Jawa Tengah serta banyak sekali bermunculan perusahaan
formal dan perusahaan informal.
1.6.4 Informan
Informan merupakan orang yang dimanfaatkan untuk memberikan informasi
dan kondisi latar penelitian, dalam penelitian kualitatif informan atau sample tidak
dapat ditetapkan secara mutlak. Tipe penelitian ini adalah kualitatif, maka teknik
pengambilan sampel yang dipilih adalah sistem purposive sample, yakni sampel
yang didasarkan atas tujuan tertentu. Informan adalah orang yang dimanfaatkan
untuk memberikan informasi tentang situasi dan kondisi latar penelitian
(Moleong, 1990 : 90). Dalam penelitian kualitatif ini, penulis menentukan
informan menggunakan teknik snowball. Teknik snowball adalah teknik
pengambilan informan yang awalnya sedikit lama-lama bertambah menjadi
banyak/besar. Hal ini dilakukan karena dari jumlah sumber data yang sedikit itu
belum mampu memberikan data yang memuaskan, sehingga dicari orang lain
sebagai informan.informan lain dalam penelitian ini:
Tabel InformanNo. Informan Jumlah
1. Kepala Dinas Tenaga dan Transmigrasi Kota Semarang 1
2. Bapermas Kota Semarang 1
3. LSM 14. Pekerja Anak 4
1.6.5 Instrumen Penelitian
33
Instrumen utama pengumpulan data pada penelitian kualitatif adalah
peneliti itu sendiri atau apa yang disebut sebagai human instrument. Pengertian
instrumen atau alat penelitian ini karena peneliti menjadi segalanya dari
keseluruhan proses penelitian ini (Moleong, 2007: 168). Instrumen penelitian
disusun dengan maksud mendapatkan data penelitian daengan tingkat
ketercukupan data tertentu sesuai fokus masalah penelitian. Ada beberapa
instrumen penelitian yang kerap dipakai dalam penelitian kualitatif, antara lain:
1. Angket terbuka
2. Wawancara mendalam
3. Observasi partisipan
4. Format-format untuk data lapangan
Sebagai alat bantu yang digunakan oleh peneliti dalam pengumpulan
data, digunakan buku catatan, alat perekam, pedoman wawancara, dan kamera
untuk merekam gambar-gambar selama proses penelitian.
1.6.6 Sumber Data
1. Sumber data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumbernya,
yakni dalam hal ini adalah para pekerja anak melalui wawancara atau
interview dan pihak Disnakertrans dan LSM-LSM yang menangani
masalah Pekerja Anak di Kota Semarang. Sumber data melalui wawancara
dilakukan kepada pekerja anak, pegawai dinas yang bersangkutan
menanggulangi pekerja anak.
2. Sumber data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung
terhadap objek penelitian, diperoleh dan dikumpulkan dari dokumentasi,
34
laporan penelitian, artikel, surat kabar, internet dan studi pustaka yang ada
hubungannya dengan masalah yang diteliti adalah dari data yang diambil
dari penelitian ini dengan pengambilan data di Disnakertran Kota
Semarang yang didukung dengan data-data yang ada di LSM-LSM.
1.6.7 Teknik Pengumpulan Data
Didalam pengumpulan data digunakan beberapa teknik yang dapat
mempermudah pengumpulan data yang meliputi :
1.6.7 a Teknik Pengumpulan Data Sekunder
1. Observasi
Teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan langsung
terhadap objek penelitian yaitu pekerja anak di Kota Semarang, artinya
pengamat atau peneliti berada ditempat terjadinya fenomena yang diamati.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik mengumpulkan data
dengan kamera perekam atau kamera digital. Hal ini dilakukan guna
keabsahan penelitian yang telah dilakukan peneliti.
Pengamatan langsung (observasi) dalam penelitian kualitatif yang
dikemukakan oleh Guba dan Lincoln dalam Moleong (2007:174-175)
antara lain yaitu:
a. Pengamatan secara langsung
b. Teknik pengamatan memungkinkan melihat dan mengamati
sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian yang terjadi pada
keadaan sebenarnya.
35
c. Pengamataan memungkinkan bagi peneliti mencatat peristiwa
dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proporsional
maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data.
d. Teknik pengamatan memungkinkan bagi peneliti untuk memahami
situasi yang rumit.
e. Dalam beberapa kasus tertentu di mana teknik komunikasi lainnya
tidak dimungkinkan, observasi dapat menjadi alat yang sangat
bermanfaat.
2. Wawancara atau interview
Suatu usaha untuk mengumpulkan informasi dengan mengajukan
sejumlah pertanyaan secara lisan untuk dijawab secara lisan pula. Menurut
Sutrisno Hadi (2004: 217) teknik interview sebagai suatu proses jawab
lisan dalam dua orang atau lebih berhadap-hadapan secara fisik yang satu
dapat melihat yang lain. Hal ini didukung dengan menggunakan alat
perekam yang digunakan sebagai bukti. Wawancara tersebut dilakukan
kepada pekerja anak di Kota Semarang dan pihak Disnakertrans yang
mengetahui dan menangani masalah pekerja anak di Kota Semarang.
Didalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik pengumpulan
data dengan menggunakan alat perekam suara dan cacatan kecil dalam
bentuk tulisan tangan.
1.6.7 b Teknik Pengumpulan Data Sekunder
Studi Pustaka, merupakan metode pengumpulan data dengan cara
melihat buku-buku dan catatan yang ada sebagai bahan pertimbangan dan
36
perbandingan sehingga data yang peneliti kemukakan berasal dari data
yang sudah tertulis sesuai dengan kebutuhan. Dan juga dokumen-dokumen
yang dimiliki oleh (Disnakertrans Kota Semarang).
1.6.8 Analisis Data
Analisis data dalam penelitian ini di maksudkan untuk mendapatkan
gambaran yang kongkret tentang implementasi kebijakan UU No. 13
Tahun 2003 (fenomena pekerja anak). Adapun metode analisis data yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Untuk mendapatkan
gambaran kongkrit mengenai impementasi kebijakan tersebut dengan
menggunakan teknik analisis deskriptif. Penelitian deskriptif kualitatif
berusaha menggambarkan suatu gejala sosial. Dengan kata lain penelitian
ini bertujuan untuk menggambarkan sifat sesuatu yang tengah berlangsung
pada saat studi. Metode kualitatif ini memberikan informasi yang lengkap
sehingga bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta lebih
banyak dapat diterapkan pada berbagai masalah. Metode penyelidikan
deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang.
Dalam penelitian ini peneliti menggambarkan tentang permasalahan yang
muncul di Kota Semarang yaitu tentang Implementasi Pekerja Anak dan
penanggulangannya di Kota Semarang.
1.6.9 Teknik Analisis Data
Menerima bila diperlukan, dengan reduksi, maka peneliti
merangkum, mengambil data yang pokok dan penting , membuat
37
kategorisasi dan data yang tidak penting dibuang karena dianggap tidak
penting bagi penelitan.
a. Penyajian data ( data display )
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnmya adalah
mendisplaykan data. Didalam penelitian kualitatif, penyajian data dapat
dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan, dan sejenisnya.
Didalam penelitian kualitatif yang sering digunakan bentuk penyajian
datanya adalah teks yang bersifat naratif. Dengan mendisplay data, maka
akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja
selanjutnya berdasarkan apa yang dipahami tersebut.
b. Menarik kesimpulan / vertifikasi
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif menurut miles dan
huberman adalah penarikan kesimpulan vertifikasi. Kesimpulan awal yang
dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan dapat berubah jika tidak
ditemukan bukt-buktiyang kuat dan mendukung pada tahap pengumpulan
data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap
awal didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan konsisten saat peneliti
kembali kelapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang
dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.
38