29
CASE REPORT Seorang pria berusia 22 tahun dating ke RSGMP UNSOED dengan keluhan gusi bawah belakang sakit dan sedang bengkak. Sakit sudah dirasakan sudah lama dan sering kambuhan, seminggu terakhir mengeluh sakit kembali. Pemeriksaan objektif gusi belakang bengkak, terlihat mahkota klinis gigi 38 sebagian terpendam miring kea rah mesial. Pemeriksaan radiografi terlihat gambaran gigi 38 kearah mesio oklusal dan tidak mengalami kelainan periapikal. Diagnosa gigi 38 impaksi klas IA. Rencana Perawatan odontektomi dengan teknik separasi tanpa pembukaan flap. Gambar 1. Gambaran radiografi gigi 38 1

TITIP PRINT BUNGA.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: TITIP PRINT BUNGA.docx

CASE REPORT

Seorang pria berusia 22 tahun dating ke RSGMP UNSOED dengan keluhan gusi

bawah belakang sakit dan sedang bengkak. Sakit sudah dirasakan sudah lama dan sering

kambuhan, seminggu terakhir mengeluh sakit kembali. Pemeriksaan objektif gusi belakang

bengkak, terlihat mahkota klinis gigi 38 sebagian terpendam miring kea rah mesial.

Pemeriksaan radiografi terlihat gambaran gigi 38 kearah mesio oklusal dan tidak mengalami

kelainan periapikal. Diagnosa gigi 38 impaksi klas IA. Rencana Perawatan odontektomi

dengan teknik separasi tanpa pembukaan flap.

Gambar 1. Gambaran radiografi gigi 38

1

Page 2: TITIP PRINT BUNGA.docx

PEMBAHASAN

A. IMPAKSI

1. Definisi

Gigi impaksi adalah gagalnya erupsi gigi pada posisi fungsional normal,

berhubungan dengan kekurangan ruang (pada arkus dental), obstruksi oleh gigi lain

atau berkembang dalam posisi yang abnormal. Gigi impaksi dapat berupa impaksi

seluruhnya yaitu ketika gigi seluruhnya ditutupi oleh haringan lunak dan sebagian

atau sepenuhnya ditutupi oleh tulang alveolus, atau impaksi sebagian, ketika gigi

gagal untuk erupsi ke pisisi fungsional normalnya. Gigi impaksi paling banyak terjadi

pada gigi bungsu atau molar ketiga (Rahayu, 2014).

2. Proses Pembentukan Gigi Bungsu

Proses pembentukan gigi bungsu diawali sebelum usia 12 tahun dan

pertumbuhannya berakhir pada usia sekitar 25 tahun. Pada usia tersebut gigi bungsu

akan terbentuk sempurna. Secara garis besar pertumbuhan gigi bungsu berlangsung

pada usia 12 tahun sebagian mahkita benih gigi bungsu mulai terbentuk, lalu pada

usia 14 tahun mahkita gigi sudah terbentuk lengkap, selanjutnya pada usia 17 tahun

mahkota gigi dan akar gigi mulai terbentuk sebagian hingga usia 25 tahun mahkota

dan akar gigi terbentuk sempurna. Dalam proses pertumbuhan gigi ke dalam rongga

mulut, benih gigi akan menembus tulang alveolar dan mukosa gingiva diatas benih

gigi. Hal itu terjadi akibat dorongan kea rah permukaan karena pertumbuhan/

pertambahan panjang akar disertai retraks operculum atau gingiva yang semula

menutupinya (Rahayu, 2012).

2

Page 3: TITIP PRINT BUNGA.docx

3. Etiologi

a. Penyebab lokal:

1) Posisi yang tidak teratur dari gigi-geligi dalam lengkung rahang.

2) Densitas (kepadatan) tulang di atas dan sekitarnya.

3) Keradangan yang menahun dan terus menerus sehingga dapat menyebabkan

bertambahnya jaringan mukosa di sekitarnya.

4) Tanggalnya gigi sulung yang terlalu cepat, ini mengakibatkan hilang atau

berkurangnya tempat untuk gigi permanen penggantinya

b. Penyebab sistemik :

1) Herediter : Dimana rahangnya sempit sedangkan gigi geliginya besar.

2) Miscegenation (percampuran ras) : Misalnya, perkawinan campuran dari satu

ras yang mempunyai gen dominan, gigi besar dan ras lainnya dominan pada

rahang yang kecil atau sempit.

3) Penyebab postnatal : Semua keadaan-keadaan yang dapat mengganggu

pertumbuhan anak, misalnya penyakit: ricketsia, anemia, syphilis, TBC,

gangguan kelenjar endokrin, malnutrisi.

c. Keadaan yang jarang ditemukan:

1) Cleidoncranial disostosis : Keadaan kongenital yang jarang ditemukan, dimana

terlihat cacat ossifikasi dari tulang tengkorak, hilangnya sebagian atau

seluruhnya tulang clavicula, terlambatnya exfoliasi gigi sulung, gigi permanen

tidak erupsi dan terdapat rudimenter supernumerary teeth.

2) Oxycephali : Suatu keadaan dimana terlihat kepala yang meruncing seperti

kerucut. Pada keadaan ini terdapat gangguan pada tulang-tulang kepala.

3

Page 4: TITIP PRINT BUNGA.docx

3) Progeria : Bentuk tubuh yang kekanak-kanakan ditandai dengan perawakan

kecil, tidak adanya rambut pubis, kulit berkerut, rambut berwarna keabu-abuan

tetapi wajah, sikap serta tingkah lakunya seperti orang tua.

4) Achondoplasia : Herediter, terdapat gangguan kongenital dari skeleton

sehingga menyebabkan dwarfism (kerdil).

5) Cleft palate : Fisura pada langit-langit yang kongenital, disebabkan adanya

defect atau cacat pada pertumbuhan waktu embrio.

4. Klasifikasi

a. Berdasarkan sifat jaringan

Berdasarkan sifat jaringan, impaksi gigi molar ketiga dapat diklasifikasikan

menjadi

1) Impaksi jaringan lunak : adanya jaringan fibrous tebal yang menutupi gigi

terkadang mencegah erupsi gigi secara normal. Hal ini sering terlihat pada

kasus insisivus sentral permanen, di mana kehilangan gigi sulung secara dini

yang disertai trauma mastikasi menyebabkan fibromatosis

2) Impaksi jaringan keras : Ketika gigi gagal untuk erupsi karena obstruksi yang

disebabkan oleh tulang sekitar, hal ini dikategorikan sebagai impaksi jaringan

keras. Di sini, gigi impaksi secara utuh tertanam di dalam tulang, sehingga

ketika flap jaringan lunak direfleksikan, gigi tidak terlihat. Jumlah tulang

secara ekstensif harus diangkat, dan gigi perlu dipotong-potong sebelum

dicabut.

b. Klasifikasi Pell dan Gregory

Klasifikasi Pell dan Gregory menghubungkan kedalaman impaksi terhadap

bidang oklusal dan garis servical gigi molar kedua mandibular dalam sebiah

pendekatan dan diameter esiodistal gigi impaksi terhadap ruang yang tersedia

4

Page 5: TITIP PRINT BUNGA.docx

antara permukaan distal gigi molar kedua dan ramus ascendens mandibular dalam

pendekatan lain.

Gambar 2 : Klaifikasi impaksi molar ketiga rahang bawah menurut Pell dan Gregory

Sumber : Monaco G, 2004

1) Berdasarkan relasi molar ketiga bawah dengan ramus mandibular, klasifikasi

sebagai berikut (Pedersen, 2012):

a) Klas I : Diameter anteroposterior gigi sama atau sebanding dengan ruang

antara batas anterior ramus mandibula dan permukaan distal gigi molar

kedua. Pada klas I ada celah di sebelah distal Molar kedua yang potensial

untuk tempat erupsi Molar ketiga.

b) Klas II: Sejumlah kecil tulang menutupi permukaan distal gigi dan ruang

tidak adekuat untuk erupsi gigi, sebagai contoh diameter mesiodistal gigi

lebih besar daripada ruang yang tersedia. Pada klas II, celah di sebelah

distal M

c) Klas III: Gigi secara utuh terletak di dalam mandibula – akses yang sulit.

Pada klas III mahkota gigi impaksi seluruhnya terletak di dalam ramus

2) Berdasarkan jumlah tulang yang menutupi gigi impaksi, dapat dikelompokkan

berdasarkan kedalamannya, dalam hubungannya terhadap garis servikal Molar

kedua disebelahnya. Faktor umum dalam klasifikasi impaksi gigi rahang atas

dan rahang bawah :

5

Page 6: TITIP PRINT BUNGA.docx

a) Posisi A: Bidang oklusal gigi impaksi berada pada tingkat yang sama dengan

oklusal gigi molar kedua tetangga (Pedersen, 2012). Mahkota Molar ketiga

yang impaksi berada pada atau di atas garis oklusal (Balaji, 2009).

b) Posisi B: Bidang oklusal gigi impaksi berada pada pertengahan garis servical

dan bidang oklusal gigi molar kedua tetangga (Balaji, 2009). Mahkota Molar

ketiga di bawah garis oklusal tetapi di atas garis servikal Molar kedua

(Pedersen, 2012).

c) Posisis C: Bidang oklusal gigi impaksi berada di bawah tingkat garis servikal

gigi molar kedua. Hal ini juga dapat diaplikasikan untuk gigi maksila (Balaji,

2009). Mahkota gigi yang impaksi terletak di bawah garis servikal (Pedersen,

2012)

Gambar 3 : Klasifikasi impaksi molar ketiga menurut Pell dan Gregory.

Sumber : Fragiskos D, 2007

3) Berdasarkan kedalaman impaksi dan jaraknya ke molar kedua

a) Posisi A : permukaan oklusal gigi impaksi sama tinggi atau sedikit lebih

tinggi dari gigi molar kedua.

b) Posisi B : permukaan oklusal dari gigi impaksi berada pada pertengahan

mahkota gigi molar kedua atau sama tinggi dari garis servikal

c) Posisi C : permukaan oklusal dari gigi impaksi berada di bawah garis

servikal molar kedua.

6

Page 7: TITIP PRINT BUNGA.docx

4) Posisinya berdasarkan jarak antara molar kedua rahang bawah dan batas

anterior ramus mandibular

a) Klas I : jarak antara distal molar dua bawah dengan ramus mandibular

cukup lebar mesiodistal molar tiga bawah

b) Klas II : jarak antara distal molar dua bawah dengan ramus mandibular

lebih kecil dari lebar mesiodistal molar tiga bawah

c) Klas III : gigi molar tiga bawah terletak di dalam ramus mandibular

c. Klasifikasi Winter

Winter mengajukan sebuah klasifikasi impaksi gigi molar ketiga mandibular

berdasarkan hubungan gigi impaksi terhadap panjang aksis gigi molar kedua

mandibula. Beliau juga mengklasifikasikan posisi impaksi yang berbeda seperti

impaksi vertikal, horizontal, inverted, mesioangular, distoangular, bukoangular,

dan linguoangular (Balaji, 2009). Quek et al mengajukan sebuah sistem klasifikasi

menggunakan protractor ortodontik. Dalam penelitian mereka, angulasi

dideterminasikan menggunakan sudut yang dibentuk antara pertemuan panjang

aksis gigi molar kedua dan ketiga. Mereka mengklasifikasikan impaksi gigi molar

ketiga mandibula sebagai berikut (Obimakinde, 2009) :

1) Vertikal (10o sampai dengan -10o)

2) Mesioangular (11o sampai dengan -79o)

3) Horizontal (80o sampai dengan 100o)

4) Distoangular (-11o sampai dengan -79o)

5) Lainnya (-111o sampai dengan -80o)

d. Klasifikasi impaksi gigi berdasarkan archer dan kruger berdasarkan pada inklinasi

impaksi gigi molar ketiga terhadap panjang axis gigi molar kedua

7

Page 8: TITIP PRINT BUNGA.docx

Gambar 4 : Klasifikasi impaksi molar ketiga rahang bawah menurut Archer dan Kruger (1

mesioangular, 2 distoangular, 3 vertical, 4 horizontal, 5 buccoangular, 6

linguoangular, 7 inverted)

Sumber : Fragiskos D, 2007

1) Mesioangular : Gigi impaksi mengalami tilting terhadap molar kedua dalam

arah mesial.

2) Distoangular : Axis panjang molar ketiga mengarah ke distal atau ke

posterior menjauhi molar kedua.

3) Horisontal : Axis panjang gigi impaksi horizontal

4) Vertikal : Axis panjang gigi impaksi berada pada arah yang sama

dengan axis panjang gigi molar kedua

5) Bukal atau lingual: Sebagai kombinasi impaksi yang dideskripsikan di atas, gigi

juga dapat mengalami impaksi secara bukal atau secara lingual

6) Transversal : Gigi secara utuh mengalami impaksi pada arah bukolingual

B. ODONTEKTOMI

1. Definisi

Definisi odontektomi menurut Pederson (2012) yaitu pengeluaran satu atau

beberapa gigi secara bedah dengan cara membuka flap mukoperiostal, kemudian

dilakukan pengambilan tulang yang menghalangi dengan tatah atau bur. Odontektomi

adalah pengeluaran gigi yang dalam keadaan tidak dapat bertumbuh atau bertumbuh

8

Page 9: TITIP PRINT BUNGA.docx

sebagian (impaksi) dimana gigi tersebut tidak dapat dikeluarkan dengan cara

pencabutan tang biasa (forceps technique) melainkan diawali dengan pembuatan flap

mukoperiostal, diikuti dengan pengambilan tulang yang meghalangi pengeluaran gigi

tersebut.

2. Indikasi

a. Pencabutan preventif atau profilaktik

Secara umum sebaiknya gigi molar ketiga impaksi dicabut pada usia dibawah

25-26 tahun, ini merupakan tindakan profilaktik atau preventif yaitu pencegahan

terhadap terjadinya patologi yang berasal dari folikel dan infeksi (rasa sakit)

akibat erupsi yang lambat dan sering tidak sempurna. Alasan pencabutan pada

usia tersebut karena, mineralisasi tulang mengakibatkan pencabutan gigi lebih

sulit dan lebih traumatik sesudah usia 25 atau 26 tahun, dan celah ligamentum

periodontium mengecil atau tidak ada.

b. Patologi atau infeksi

Pencegahan patologis yang potensial atau infeksi merupakan indikasi

pencabutan gigi molar ketiga yang impaksi. Patologi folikular meliputi kista

odontogenik atau neoplasma dan kadang-kadang lesi yang maligna. Abnormalitas

erupsi sering mengakibatkan pembentukan operkulum, suatu flap gingival yang

menutupi sebagian mahkota gigi yang erupsi. Poket di bawah operkulum tersebut

sering menjadi daerah yang menjebak sisa makanan dan tempat proliferasi

mikroorganisme. Radang atau pembengkakan yang terjadi dapat mengakibatkan

infeksi akut yaitu perikoronitis.

c. Prostetik atau restoratif

Diperlukan untuk mencapai jalan masuk ke tepi gingiva distal dari molar

kedua di dekatnya.

9

Page 10: TITIP PRINT BUNGA.docx

3. Kontraindikasi

a. Apabila pasien tidak menghendaki giginya dicabut.

b. Sebelum panjang akar mencapai sepertiga atau dua pertiga dan apabila tulang

yang menutupinya terlalu banyak (pencabutan prematur).

c. Jika kemungkinan besar akan terjadi kerusakan pada struktur penting di sekitarnya

atau kerusakan tulang pendukung yang luas misalnya rasio risiko atau manfaat

tidak menguntungkan.

d. Apabila tulang yang menutupinya sangat termineralisasi dan padat, yaitu pasien

yang berusia lebih dari 26 tahun.

e. Apabila kemampuan pasien untuk menghadapi tindakan pembedahan terganggu

oleh kondisi fisik atau mental tertentu.

4. Komplikasi pencabutan gigi

a. Komplikasi Intraoperatif

1) Perdarahan

Perdarahan merupakan ancaman, perdarahan merupakan komplikasi yang paling

ditakuti, karena dokter maupun pasiennya dianggap mengancam kehidupan.

Pasien dengan gangguan pembekuan darah yang tidak terdiagnosis sangatlah

jarang. Pasien yang beresiko mengalami perdarahan adalah seorang alkoholik

yang menderita sirosis, pasien yang menerima terapi antikoagulan atau psien

yang minum aspirin dosis tinggi atau agen anti radang lain yang non-seroid.

Pengetahuan mengenai anatomi merupakan jaminan terbaik untuk menghadapi

kejadian yang tidak diharapkan yaitu perdarahan pada arteri atau vena. Tindakan

untuk mengontrol perdarahan diantaranya:

a) Tekanan meruapak tindakan segera, baik tekanan dengan tangan atau

tekanan tidak langsung dengan kassa.

10

Page 11: TITIP PRINT BUNGA.docx

b) Klem atau pengikatan digunakan untuk mengontrol perdarahan dari

pembuluh darah.

c) Klip hemostatik digunakan untuk mengontrol perdarahan dari pembuluh

darah yang sulit diikat.

d) Elektrokauterisasi untuk perdarahan dari pembuluh darah kecil atau

rembesan.

e) Pemberian bahan-bahan hemostatik (gelfoam, surgicel, thrombostat)

2) Fraktur

Fraktur bisa mengenai akar gigi, gigi tetangga atau gigi antagonis, restorasi,

prossus alveolaris dan mandibula, sehingga tekanan harus terkontrol untuk

menghindari fraktur-fraktur tersebut. Selain itu pemeriksaan radiografi sebelum

pembedahan juga diperlukan untuk mengetahui adanya akar yang mengalami

dilaserasi atau getas.

3) Pergeseran

Seluruh gigi atau fragmen akar bisa masuk ke sinus maksilaris, fossa infra

temporalis, hidung, canalis mandibularis atau ruang sub mandibula. Bagian yang

paling sering adalah sunus maksilaris. Kejadian ini sering terjadi akibat dari usaha

untuk mengambil fragmen atau ujung akar gigi molar atau premolar kedua atas

melalui alveolus dengan tekanan elevator yang berlebihan ke arah superior.

4) Cedera jaringan lunak

Cedera jaeingan lunak yang paling umum adalah lecet atau luka sobek dan luka

bakar atau abrasi. Lecet sering terjadi akibat retraksi berlebihan dari flap yang

kurang besar. Sobeknya mukosa sering terjadi pada tempat yang tak diharapkan

yaitu pada tepi tulang atau pada tempat penyambungan tepi-tepi flap. Komplikasi

ini bisa dihindari dengan mebuat flap yang lebih besar dan menggunakan retrkasi

11

Page 12: TITIP PRINT BUNGA.docx

yang ringan saja. Luka bakar atau abrasi terjadi akibat dari tertekannya bibir yang

dalam keadaan teranastesi oleh pegangan handpiece. Luka bakar labial bisa diatasi

dengan aplikasi salep antibiotik atau steroid.

5) Empisema subkutan

Sering terjadi pada regio maksila dan disebabkan oleh adanya udara yang masuk,

bisa berasal dari udara yang keluar dari handpiece.

6) Cedera saraf

Saraf yang sering cedera selama pencabutan dan pembedahan gigi adalah divisi

ketiga dari nervus trigeminus. Nervus alveolaris inferior sangat dekat dengan regio

apikal gigi molar ketiga dan kadang molar kedua.

5. Komplikasi pasca bedah

a. Perdarahan

Perdarahan ringan dari alveolar normal apabila terjadi pada 12-24 jam pertama

ssudah pemcabutan atau pembedahan gig. Penekanan oklusal dengan

menggunakan kasa merupakan jalan terbaik untuk mengontrol dan dapat

merangsang oembentukan bekuan dara yang stabil.

b. Rasa sakit

Pengontrolan rasa sakit sangat tergantung pada dosis dan cara pemberian obat atau

kerjasama dengan pasien. orang dewasa sebaiknya mulai meminum obat

pengontrol rasa sakit sesudah makan tetapi sebelum timbulnya rasa sakit. Pada

delapan jam pertama setelah pembedahan, dosis dewasa untuk obat analgesik non-

narkotik atau narkotik dapat dilipatgandakan.

12

Page 13: TITIP PRINT BUNGA.docx

c. Edema

Edema meruoakan kelanjutan normal dari setiap pemcabutan dan pembedahan

gigi, serta merupakan rekasi normal dari jaringan terhadap cidera. Usaha-usaha

untuk mengontrol edema mencakup termal (dingin), fifik (penekanan) dan obat-

obatan.

d. Reaksi terhadap obat

Reaksi akibat obat-obatan yang relatif sering terjadi segera setelah operasi adalah

mual muntah karena menelan analgesik narkotik atau non-narkotik. Keadaan ini

dapat mengakibatkan siklus emesis atau perdarahan. Muntah dapat mengungkit

bekuan darah dan perdarahan akan timbul pada saat pasien menelan darah, yang

akan mengakibatkan emesis.

6. Komplikasi beberapa saat setelah pembedahan

a. Alveolitis

Komplikasi yang paling sering adalah dry socket atau alveolitis. Biasanya dimulai

pada hari ke 3-5 sesudah operasi. Keluhan utamanya adalah rasa sakit yang sangat

hebat. Pada pemeriksaan terlihat alveolar yang terbuka , terselimuti kotoran dan

dikelilingi berbagai tingkatan peradangan dari gingiva. Etiologi dari alveolitis ini

adalah hilangnya bekuan darah akibat lisis. Penatalaksanaannya diirigasi dengan

larutan saline yang hangat dan kuretase.

b. Infeksi

Pencegahan infeksi didasarkan atas potensi penyebaran infeksi. Pencabutan suatu

gigi yang melibatkan proses infeksi akut, yaitu perikoronitis atau abses bisa

mengganggu proses pembedahan. Terapi antibiotik yang sesuai (kadar penisilin

terapetik dalam darah dicapai 1 jam sesudah pemberian secara oral) dan apabila

diindikasikan, insisi dan drainase digunakan untuk mengontrol keadaan akut.

13

Page 14: TITIP PRINT BUNGA.docx

Apabila akan segera dilakukan pembedahan, pemberian anastesi lokal diberikan 1

jam setelah pemberian antibiotik untuk mencegah penyebaran infeksi. Pencabutan

gigi tertentu yang mengalami sepsis lokal baik yang sudah dirawat atau belum,

misalnya deposit kalkulus yang banyak dan gingivitis akut atau kronis sebaiknya

dihindari. Profilaksis sebelum pencabutan (skaling) yang dilakukan 2-3 hari

sebelum pencabutan gigi merupakan cara efektif untuk mengurangi kontaminasi

lokal.

7. Pencabutan molar ketiga impaksi

Pada pencabutan molar ketiga impaksi terdapat beberapa hal secara umum yang

harus diperhatikan, yaitu:

a. Sedasi

Persyaratan pertama keberhasilan pembedahan adalah pasien relaks dengan

anestesi yang efektif. Pada kasus dilakukan anestesi blok mandibula, dengan

menganestesi nervus alveolaris inferior, nervus lingualis, dan nervus bukalis longus

menggunakan teknik fisher (Purwanto dan Juwono, 2012). Bahan anestesi yang

digunakan adalah pehacain yang tiap ml berisi lidokain HCL 20 mg dan adrenalin

0,0125 mg (Mims, 2014).

b. Desain flap

Flap yang sering digunakan adalah envelope tanpa insisi tambahan, direflesikan

dari leher m1 dan m2 tetapi dengan perluasan lateral kearah m3. Aspek lingual

perlu dihindari untuk mencegah cedera pada nervus lingualis (Pederson, 2012).

c. Pengambilan tulang

Teknik ini digunakan apabila impaksi gigi m3 terhalang oleh tulang alveolar.

Pengambilan tulang menggunakan bur dan irigasi menggunakan saline. Teknik

yang biasa dilakukan adalah membuat parit sepanjang bukal dan distal untuk

14

Page 15: TITIP PRINT BUNGA.docx

melindung crista obliqua eksterna tetapi tetap memiliki jalan masuk yang cukup

(Pederson, 2012).

d. Pemotongan terencana

Dasar pemikiran dari pemotongan adalah menciptakan ruang yang bisa digunakan

untuk mengungkit dan mengeluarkan segmen mahkota atau sisa akar (Pederson,

2012).

e. Tindakan pasca pencabutan

Kegagalan pembersihan sisa folikel setelah pencabutan dapat mengakibatkan

penyembuhan yang lama atau perkembangan patologis dari sisa epitel

odontogenik. Setelah folikel dibersihkan, alveolus diirigasi dengan saline.

Kemudian diletakan tampon diatas bekas pencabutan dan pasien dianjurkan untuk

tetap mengigit paling tidak 1-1,5 jam (Pederson, 2012).

f. Instruksi pasca bedah

Pasien ditekankan untuk mengkonsumsi analgesi yang diberikan kemudian

diinformasikan bahwa puncak rasa sakit sesudah pembedahan impaksi adalah

selama kembalinya sensasi daerah operasi sedangkan pembengkakan maksimal

terjadi 24 jam pasca pencabutan (Pederson, 2012).

Pada kasus pasien dengan impaksi m3 kelas 1 mesioangular dilakukan sesuai

dengan teori pencabutan m3 impaksi hanya saja pada kasus tidak diperlukan

pembuatan flap dan pengambilan tulang dikarenakan pada kasus m3 mengalami

erupsi sebagian tidak selurunya impaksi. Pada kasus dilakukan pemotongan gigi

untuk kasus mesioangular, dengan terencana karena pemotongan tulang lebih sedikit

dan mengakibatkan trauma yang lebih kecil. Pemotongan gigi pada kasus impaksi

mesioangular diawali dengan memotong mahkota bagian distal atau separuh bagian

distal gigi bawah yang impaksi. Bur diletakan pada garis servikal memotong gigi ke

15

Page 16: TITIP PRINT BUNGA.docx

aksial 2/3 atau 3/4 menembus lingual dan bukal. Dilanjukan dengan menggunakan

elevator/bein untuk mematahkan gigi menjadi dua bagian dari daerah bifurkasi. Sisa

gigi impaksi disorong kearah celah yang terbentuk menggunakan tang sisa akar

dengan menggunakan elevator lurus sebelumnya pada bagian mesiobukal (Gambar 4).

Gaya ini akan melepaskan gigi dari lingir distal molar dua (Pederson, 2012).

Gambar 5 Pemotongan terencana pada kasus impaksi mesioangular

8. Medikasi

Kontrol rasa sakit pasca bedah diperlukan beberapa obat, operator diharuskan

meresepkan obat analgesik yang poten untuk setiap pasien (Pederson, 2012).

Analgesik non steroid anti inflamasi dapat diberikan pada pasien sebagai contoh yaitu

asam mefenamat, ibuprofen, asetaminopen,kalium diklofenak, natrium diklofenak,

dll. Analgesik ini dapat diberikan untuk sekitar 3-4 hari dan hanya dikonsumsi bila

nyeri saja. Kontrol pembengkakan pasca pembedahan beberapa operator juga

memberikan 8 mg dexamethasone sebelum pembedahan karena memberikan efek anti

inflamasi yang lama pasca bedah (Rahayu, 2014). Antibiotik diresepkan untuk

mencegah adanya infesi bakteri yang disebabkan karena tindakan pembedahan.

Antibiotik spektrum luas dapat diresepkan pada pasien dalam kasus ini seperti

amoxicilin, eritromisin, dan metronidazol. Antibiotik ini diberikan untuk 3-5 hari

16

Page 17: TITIP PRINT BUNGA.docx

pasca pembedahan dan pasien diinstruksikan untuk menghabiskan antibiotik tersebut

(Priyanto, 2010).

Pada kasus pasien diresepkan obat analgesik dan antibiotik. Analgesik yang

diberikan yaitu asam mefenamat yang hanya dikonsumsi bila nyeri saja untuk 3 hari

dan untuk mendapatkan analgesik yang lebih poten juga dikombinasikan dengan

menggunakan kalium diklofenak untuk konsumsi 3 hari. Asam mefenamat dan kalium

diklofenak ini merupakan obat non-steroid anti inflamasi yang juga selain memiliki

sifat analgesik juga memiliki sifat antiinflamasi dan antipiretik (Priyanto, 2010). Obat

antibiotik yang dipilih merupakan spektrum luas yaitu amoxicilin yang diresepkan

untuk 5 hari dan diinstruksikan kepada pasien untuk menghabiskan konsumsi obat

antibiotik.

17

Page 18: TITIP PRINT BUNGA.docx

Daftar Pustaka

Balaji SM. Oral and maxillofacial surgery. Delhi: Elsevier; 2009,p.233-5

Fragiskos, D., 2007, Oral surgery, Editor: Schroder GM, Heidelberg, Berlin:Springer, p.126

Mims, 2014, Mims Edisi Bahasa Indonesia Vol 15, Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer

Monaco G, Montevecchi M, Bonetti GA, Gatto MRA, Checchi L. Reliability of panoramic

radiographyin evaluating the topographic relationship between the mandibular

canal and impacted third molars. JADA American Dental Association

2004;135:315

Obimakinde OS. Impacted mandibular third molar surgery; an overview. Dentiscope

2009;16:2-3

Pederson, Gordon., 2012, Buku Ajar Praktis Bedah Mulut, Jakarta: EGC

Priyanto, 2010, Farmakologi Dasar. Depok: Leskonfi.

Purwanto dan Juwono, 2012, Petunjuk Praktis Anestesi Lokal, Jakarta:EGC

Rahayu, Sri. 2014. Odontektomi Tatalaksana Gigi Bungsu Impaksi. E-Journal WIDYA

Kesehatan dan Lingkungan. Vol (1) 81-89.

18