29
BELAJAR TEATER REALIS MASIH DIANGGAP KUNO WAWANCARA DENGAN MAX ARIFIN: Akhir-akhir ini teater gaya realis kembali dimunculkan. Menurut Max Arifin, generasi baru teater sedang kehilangan referensi. Dia sering menyebut teater sebagai study. Sebab itu ia menduga, dengan kembalinya teater gaya realis, ada usaha untuk mengembalikan pada tradisi berpikir. Dalam tahun ini tiga festival teater realis digelar. Pekan Seni Mahasiswa tangkai teater pada bulan Agustus 2004 lalu, para peserta diharapkan menggarap teater bergaya realis. Begitu juga pada bulan September, Festival Teater Remaja [FTR] Jatim yang diselenggarakan Taman Budaya Jatim[TBJT], memberikan naskah-naskah ke peserta, banyak condong ke realis. Sementara dalam bulan ini, Dewan Kesenian Jakarta [DKJ], menggelar Panggung Realis Teater Indonesia. ‘Kembalinya’ teater gaya realis ini banyak yang mempertanyakan. Komunitas teater di Jember misalnya, pernah memprotes atas pilihan gaya teater realis yang disodorkan panitia kepada kelompok teater kampus. Mereka menganggap, teater realis bisa menjadi ‘alat’ pembunuhan teater. Bahkan dengan keras mereka menanyakan, apakah teater harus saling membunuh? Begitu juga saat digelar FTR di TBJT, ada yang memprotes, hadirnya teater realis bisa menjadi kendala perkembangan teater di Surabaya, terutama soal pemahaman terhadap bentuk teater. Bahkan, ada yang melontarkan statemen , ada usaha memaksakan politik credo, dengan mengusung dramaturgi sebagai alat pembenaran teater. Di samping peredabatan itu, sebenarnya sejauh mana para aktivis teater kita paham tentang teater realis? Dalam pertemuan technical meeting dengan peserta pekan seni mahasiswa di Jember, bisa disimpulkan, rata-rata peeserta kurang banyak referensi tentang teater realis. Menurut Max Arifin, generasi muda teater Indonesia telah kehilangan referensinya untuk membuat sebuah peristiwa teater. “Jadi ada benarnya kalau sekarang kembali pada gagasan realisme, agar mereka tahu proses sebuah teater yang baik,” kata Max Arifin. Max Arifin adalah salah satu tokoh perteateran di Indonesia yang sangat intens mengamati, menulis kritik, menerjemahkan

Tulisan Tentang Drama Realisme

Embed Size (px)

DESCRIPTION

materi tentang teater realis.

Citation preview

Page 1: Tulisan Tentang Drama Realisme

BELAJAR TEATER REALIS MASIH DIANGGAP KUNO

WAWANCARA DENGAN MAX ARIFIN:

Akhir-akhir ini teater gaya realis kembali dimunculkan. Menurut Max Arifin, generasi baru teater sedang kehilangan referensi. Dia sering menyebut teater sebagai study. Sebab itu ia menduga, dengan kembalinya teater gaya realis, ada usaha untuk mengembalikan pada tradisi berpikir.Dalam tahun ini tiga festival teater realis digelar. Pekan Seni Mahasiswa tangkai teater pada bulan Agustus 2004 lalu, para peserta diharapkan menggarap teater bergaya realis. Begitu juga pada bulan September, Festival Teater Remaja [FTR] Jatim yang diselenggarakan Taman Budaya Jatim[TBJT], memberikan naskah-naskah ke peserta, banyak condong ke realis. Sementara dalam bulan ini, Dewan Kesenian Jakarta [DKJ], menggelar Panggung Realis Teater Indonesia.‘Kembalinya’ teater gaya realis ini banyak yang mempertanyakan. Komunitas teater di Jember misalnya, pernah memprotes atas pilihan gaya teater realis yang disodorkan panitia kepada kelompok teater kampus. Mereka menganggap, teater realis bisa menjadi ‘alat’ pembunuhan teater. Bahkan dengan keras mereka menanyakan, apakah teater harus saling membunuh?Begitu juga saat digelar FTR di TBJT, ada yang memprotes, hadirnya teater realis bisa menjadi kendala perkembangan teater di Surabaya, terutama soal pemahaman terhadap bentuk teater. Bahkan, ada yang melontarkan statemen , ada usaha memaksakan politik credo, dengan mengusung dramaturgi sebagai alat pembenaran teater.Di samping peredabatan itu, sebenarnya sejauh mana para aktivis teater kita paham tentang teater realis? Dalam pertemuan technical meeting dengan peserta pekan seni mahasiswa di Jember, bisa disimpulkan, rata-rata peeserta kurang banyak referensi tentang teater realis. Menurut Max Arifin, generasi muda teater Indonesia telah kehilangan referensinya untuk membuat sebuah peristiwa teater.“Jadi ada benarnya kalau sekarang kembali pada gagasan realisme, agar mereka tahu proses sebuah teater yang baik,” kata Max Arifin.Max Arifin adalah salah satu tokoh perteateran di Indonesia yang sangat intens mengamati, menulis kritik, menerjemahkan buku, menjadi pembicara, juri, kurator teater, bahkan menulis buku teater, sudah dilakoninya sejak tahun 70-an. Di tempat tinggalnya, Griya Japan Raya, Jl.Bola Volley Blok E33, Sooko, Mojokerto, kepada wartawan harian Suara Indonesia, R.Giryadi, Max Arifin menguraikan sejauh mana teater realis berkembang di Indonesia yang mendapatkan referensinya dari perkembangan teater realis di Barat? Berikut petikan wawancaranya.

Sejak kapan teater realis berkembang di Indonesia?Teater realis di barat berkembang pada akhir abad 19. Di Indonesia sendiri mengenal teater realis setelah masa perang berakhir bahkan mulai dipelajari secara baik setelah berdiri perguruan tinggi teater seperti ATNI[ Akademi Teater Nasional Indonesia], Asdrafi [Akademi Seni Drama dan Film], dan perguruan tinggi yang lain. Kemudian beberapa kelompok teater ada yang sangat serius mendalami teater realis, seperti teater Populer nya Teguh Karya.

Di barat sendiri teater realisnya seperti apa?Jadi teater realis itu muncul ketika dunia teater barat memasuki abad modern. Tokoh teater realis mencoba membuang apa yang disebut the theatre of histrionics dalam bidang acting dan ekses yang terlalu dibuat-buat. Seperti well-made play ala Victorian.

Page 2: Tulisan Tentang Drama Realisme

Salah satu tokoh gerakan ini adalah Henrik Ibsen yang karya-karyanya terus menjadi inspirasi bagi pemikir sesudahnya, seperti Bernard Shaw [Inggris], George Jean Nathan [AS].

Tetapi paham ini didasari oleh apa?Paham modernisme awal abad 19 adalah awal kebudayaan berpikir yang dipengaruhi oleh berkembangbiaknya budaya buku. Dengan berpikir kesadaran diaktifkan, pernyataan dan wacana dapat dikaji ulang secara kritis, rinci dan meyakinkan.

Artinya teater sebagai ilmu pengetahuan?Semangat ilmu pengetahuan memang benar-benar mengubah gaya teater romantisme yang berkembang dalam abad sebelumnya. Dalam hal ini, penulis lakon harus menjadi pengamat yang subyektif. Mereka menciptakan apa yang disebut the illusion of reality di atas pentas. Bingkai proscenium of reality diubah menjadi semacam pictute window. Lewat jendela itu kita bisa melihat peristiwa yang kini, di sini dan sekarang terjadi.

Max Arifin atau nama lengkapnya Mohammad Arifin, lahir di Sumbawa Besar tahun 1936. Ketika di Mataram Lombok, dia mengajar teknik penyutradaraan pada Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram. Selain itu dia juga sibuk menjadi pegawai di Dikbud NTB bekerja pada seksi sastra dan drama [modern dan tradisional].Sejak tahun 1970-an sering mengikuti pertemuan-pertemuan teater. Pada tahun 1977 ikut menyusun materi keterampilan seni teater di Ambarawa. Tahun 1978, mengikuti seminar teater di Bandung. Selain sibuk mengikuti pertemuan teater Max Arifin juga menerjemahkan buku-buku tentang teater, novel dan cerpen.

Sekarang gagasan teater realis kembali ditawarkan, di tengah perkembangan teater modern Indonesia. Bahkan lembaga seperti Dewan Kesenian Jakarta menggelar Panggung Realis Teater Indonesia.Menurut Anda, mengapa gagasan teater realis dimunculkan kembali?Dugaan saya, ini usaha mengembalikan pada proses teater yang baik. Dengan begitu, para generasi muda kita yang getol dengan teater tidak kehilangan referensinya ketika memahami teater. Dugaan saya yang lain, barangkali ini juga usaha mengembalikan wacana berpikir dalam proses berteater. Karena saya melihat perkembangan teater kita carut-marut, seperti tanpa arah.

Bukankah pada tahun 60-an teater kita sudah berkembang dengan baik?Itulah, saat ini menurut dugaan saya, barangkali kita butuh wacana teater realis yang Indonesia. Bukan adopsi dari barat. Kalaupun ada gaya realis Rendra misalnya, itu kan hanya mengambil sebagian barat dan sebaian timur dalam hal ini Jawa.

Di Indonesia sendiri apakah ada teater realis?Di Jepang seperti dalam bukunya David Goodman, diterangkan bahwa ada tiga teater realis gaya Jepang. Dalam buku itu disebutkan shejitsu merupakan refkeksi aktual, shashin merupakan refleksi kebenaran, dan shasei merupakan refkeksi kehidupan. Ini kan menunjukkan ciri-ciri teater realis. Pertanyaannya apakah Indonesia punya ciri-ciri seperti itu?

Kalau begitu yang dimaksud realis dalam kontek kebudayaan Indonesia sendiri seperti apa?Ini sulit sekali menilai. Study Club Teater Bandung [STB] pimpinan Alm.Suyatna Anirun misalnya masih sebatas mengadaptasi naskah barat ke gaya sunda. Begitu juga Bengkel Teater Rendra, juga masih sebatas mengadaptasi, mengaktualisasikan tema-tema barat ke

Page 3: Tulisan Tentang Drama Realisme

Indonesia. Ini sah. Tetapi yang benar-benar digali dari persoalan sendiri masih kurang. Bahkan ironisnya, bila kita belajar teater realis masih dianggap kuno.

Ciri-ciri teater realis sendiri apa?Yang digambarkan dalam lakon-lakon bukanlah pahlawan-pahlawan dan bajingan-bajingan yang eksotik, tetapi masalah-masalah biasa.Bukan mimpi-mimpi dan fantasi-fantasi, tetapi studi ilmiah kehidupan yang aktual. Didasarkan pada observasi yang hati-hati terhadap orang-orang biasa dan tempat-tempat yang riil.Ciri-ciri pemanggungannyasendiri dibagi atas wilayah-wilayah yang mempunyai nilai sendiri-sendiri di setiap wilayahnya. Seperti pentas dibagi ke dalam sembilan wilayah. Dengan pembagian wilayah ini diharapkan para aktor akan segera menganalisis arena permainan mereka.Naskah lakon realis haruslah complete an self-contained ,sebuah alur cerita yang padu, rangkaian peristiwa yang disusun atas dasar sebab akibat.

Selain menerjemahkan naskah-naskah drama barat, Max Arifin juga pernah menulis drama sejak tahun 1988. Naskah drama yang pernah ditulis berjudul Putri Mandalika, Matinya Demung Sandubaya, Badai Sepanjang Malam, Balada Sahdi-Sahdia, Tumbal Kemerdekaan.Selain menerjemahkan naskah drama, Max juga banyak menerjemahkan buku-buku teater yang ditulis oleh Jerzy Grotowski, Bertolth Brecht, Peter Brook, David Goodman,Constantin Stanislavsky.

Tadi dikatakan mempelajari teater realis dianggap kuno. Apakah ini disebabkan oleh kesalahan dalam memahami teater realis?Realisme telah memberikan inspirasi yang tak akan pernah mati-mati. Karya-karya Bertolt Brech disebut sebagai puncak dari realisme. Teater memang berada di antara semua faktor yang saling melawan dan semua itu memberinya kehidupan dan teater sendiri adalah a life giver. Eksistensi teater adalah rawan, suatu perjuangan yang terus berputar.

Jadi sebenarnya semangat teater realis adalah semangat berpikir. Dan berpikir suatu yang bukan kuno?Benar.Realisme mencoba merangsang bangkitnya kesadaran kecendekiawanan perteateran dan itulah sebabnya teater realis disebut the theatre of intelligent. Ini argumen mendasar teater modern baik it kaum naturalis, realis, maupun teatrikalis.

Max Arifin sering mengatakan bahwa teater adalah study. Dalam buku Jagad Teater [Bakdi Sumanto:2001], diterangkan semangat realisme yang sebenarnya merangsang seniman untuk kritis terhadap diri sendiri.Sayang, sikap kritis untuk mengembangkan teaternya sendiri tidak diberi banyak kesempatan untuk tumbuh. Sementara ktitik teater benar-benar macet.Barangkali, ketika semuanya macet, disinilah peranan realisme dibutuhkan dan kita kembali pada hal yang sangat mendasar bagi manusia: Berpikir ![wawancara ini dimuat di harian SuaraIndonesia,Minggu, 28 November 2004].

Alamat kontak Bapak Max Arifin:Jl.Bola Volley Blok E 33,Perum Griya Japan Raya, Sooko, Kabupaten Mojokerto 61361Jawa timur. Telp 0321- 326915. Hp 085 2300 39 807. email: [email protected] karya terjemahan, dapat diakses melalui blog: banyumili. Link:http://majapahitan2.blogspot.com

Page 4: Tulisan Tentang Drama Realisme

MENGHASILKAN SASTRA BERKUALITAS*

Kajian bahasa dan gaya penceritaam sebagai unsur Intrinsik

Oleh:

Lubis Grafura

 

A. Sistem Sastra

            Secara harfiah menurut Kamus Besar Bahasa Indoensia  (KBBI) sistem diartikan sebagai seperangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan, sehingga membentuk sebuah totalitas. Sementara pengertian sastra sendiri oleh Luxemburg didefinisikan sebagai ciptaan/sebuah kreasi yang merupakan luapan emosi dan bersifat otonom. Oleh karena itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa apa yang dimaksud system sastra adalah segala elemen sastra yang secara bersama-sama saling mengisi dan membentuk sebuah keterpaduan.

Sistem sastra meliputi jenis sastra, cabang ilmu, bentuk sastra, teks dan komunikasi ilmu sastra, ilmu teks, genre sastra, dan unsur-unsur yang membentuk karya sastra baik dari dalam maupun yang dari luar. Untuk mempermudah pemahaman dalam makalah ini, sengaja sistem sastra hanya dibedakan menjadi empat bagian saja. Keempat sistem tersebut adalah (1) cabang ilmu sastra, (2) bentuk sastra, (3) jenis sastra, dan (4) unsur sastra.

            Cabang ilmu sastra dapat dibagi lagi menjadi teori sastra, sejarah sastra, dan kritik sastra. Ketiga cabang ilmu ini saling berkaitan erat sebagai perkembangan dan telaah sastra. Ketiganya adalah satu kesatuan yang saling berkaitan.

            Bentuk sastra dalam makalah ini dibedakan menjadi sastra lisan dan sastra tulis. Sastra lisan adalah sastra yang biasanya dituturkan dari mulut ke mulut. Biasanya sastra yang bersifat lisan ini adalah anonim. Artinya, sastra tersebut tidak ada hak milik. Setiap orang bebas menceritakan secara runtutan kronologis maupun menambahi, bahkan mengurangi. Sastra tulis seperti yang kita ketahui sekarang ini telah berkembang menjadi berbagai jenis.

            Jenis sastra sangat bermacam-macam. Dalam makalah ini hanya dibatasi dua, yaitu prosa dan puisi. Hal ini hanya untuk mempermudah penjabaran semata. Sementara menurut KBBI bagian sastra dapat mencangkup prosa, puisi, drama, epik, dan syair.

            Unsur sastra meliputi dua aspek, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Adapun perincian unsur intrinsik adalah unsur yang membangun sebuah karya sastra dari dalam. Begitu pula unsur ekstrinsik yang membangun karya sastra dari luar. Kedua unsur ini selalu ada di dalam sebuah karya sastra. Keberadaannya tidak dapat dipisahkan. Kedua unsur ini pula yang biasanya digunakan untuk menelaah sastra. Unsur-unsur ini pula yang sering menjadi bahan pengajaran di sekolah-sekolah, bahkan untuk soal di Ujian Akhir Nasional (UAN).

Page 5: Tulisan Tentang Drama Realisme

            Unsur intrinsik dapat berupa tema, alur, tokoh, sudut pandang, latar, dsb. Unsur intrinsik ini membangun satu kesatuan sebuah sastra, khususnya prosa. Unsur-unsur tersebut dapat dianalisis baik secara tersirat maupun tersurat tanpa harus melibatkan pihak pengarang.

            Unsur yang untuk mengetahuinya harus melakukan observasi perbandingan dan mempelajari riwayat hidup penulis inilah yang tergolong dalam unsur ekstinsik. Artinya, kalau kita mau menilai sebuah karya sastra, kita juga harus mempertimbangkan konteks penulis atas karya yang dibuatnya. Apa latar belakangnya, bagaimana kehidupan sosialnya, bagaimana lokalitasnya, dsb.

Kedua unsur inilah yang akan dibahas dalam makalah ini. Unsur inipun dibatasi  hanya pada unsur intrinsik yang meliputi bahasa dan gaya penceritaan beserta subunsur yang menyertainya. Hal ini disebabkan unsur dan subunsur sastra itu saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, unsur intrinsik salah satunya. Unsur-unsur inilah yang perlu dikuasai agar seorang penulis tidak hanya pandai berimajinasi saja, melainkan juga menyusun kronologis cerita yang menarik secara teknis.

Secara umum, makalah ini akan membahas bagaimana konotasi bahasa itu berperan dalam sastra dan bagaimana aliran sastra itu menjadi bagian penting untuk diketahui dalam menulis karya sastra. Oleh karena itu, makalah ini mengambil judul “Menghasilkan Sastra Berkualitas: Kajian bahasa dan gaya penceritaam sebagai unsur Intrinsik”

 

B. Konotasi Bahasa

            Apabila kita menyinggung mengenai konotasi bahasa, berarti kita masuk ke dalam dua pokok bahasan. Pertama adalah majas atau gaya bahasa dan yang kedua adalah makna. Makna di sini dapat berarti perluasan, penyempitan, peyorasi, ameliorasi, konotasi, denotasi, atau sinestesia. Kita tidak akan membahas banyak hal tentang istilah-istilah tersebut, melainakan hanya akan mencuplik beberapa bagian dari contoh-contoh yang sudah ada.

            Ketika kita menulis sebuah prosa atau puisi, secara tidak sadar, kita telah mempelajari berbagai macam gaya bahasa. Gaya bahasa atau sering disingkat majas sebenarnya hanya terdiri dari empat. Keempat majas tersebut adalah majas perbandingan, majas sindirian, majas penegasan, dan majas pertentangan.

            Dalam menulis sastra, seorang penulis harus menguasai dan memahami penggunaan majas yang tepat. Menguasai dan memahami dalam hal ini tidak harus menghafalkannya. Hal ini dapat berarti bahwa seorang penulis yang hafal gaya bahasa belum tentu dapat menerapkannya dalam tulisan.

            Menguasai dan memahami gaya bahasa, ada baiknya penulis juga mengembangkan gaya bahasa dari yang sudah ada. Hal ini berarti kita harus melakukan eksplorasi kepada gaya bahasa yang sudah ada. Eksplorasi ini dilakukan agar seorang penulis tidak terjebak pada ke-klise-an penggunaan gaya bahasa.

            Ambilah contoh gaya bahasa personifikasi. Personifikasi adalah majas yang melukiskan suatu benda dengan memberikan sifat-sifat manusia kepada benda-benda mati , sehingga seolah-olah memiliki sifat seperti manusia atau benda hidup (Rustamaji, 2005: 105).

Page 6: Tulisan Tentang Drama Realisme

Gaya bahasa personifikasi merupakan salah satu majas perbandingan yang sering sekali digunakan dalam berbagai tulisan sastra. Memang belum ada survai atau penelitian tentang kuantitas pemakaian majas terbanyak dalam karya sastra, tetapi secara sepintas kita dapat melihat betapa seringnya gaya bahasa personifikasi diaplikasikan ke dalam berbagai karya.

            Berikut adalah contoh penggunaan personifikasi.

               Aku berdiri di pinggir pantai. Aku tak tahu, apakah aku harus sedih atau bahagia saat ini. Aku tak bisa melukiskan perasaanku secara tepat detik ini. Aku hanya dapat memandang ombak yang bergulung-gulung sebelum akhirnya pecah di antara kedua kakiku.

 

            Frase ombak yang bergulung-gulung sebelum akhirnya pecah adalah salah satu penggunaan majas personifikasi. Entah sudah berapa puluh personifikasi yang sama untuk ombak. Ombak selalu diperrsonifikasikan bergulung-gulung atau berlari. Seorang penulis harus berani melakukan eksplorasi dan eksperimen terhadap alat yang dimilikinya, yaitu gaya bahasa.

            Frase yang menyatakan personifikasi tersebut dapat diubah menjadi majas asosiasi. Adapun pengertian asosiasi adalah membandingkan sesuatu dengan keadaan lain karena adanya persamaan sifat. Lantas, paragraf di atas dapat disulap mejadi seperti berikut.

Aku berdiri di pinggir pantai. Aku tak tahu, apakah aku harus sedih atau bahagia saat ini. Aku tak bisa melukiskan perasaanku secara tepat detik ini. Aku hanya dapat memandang ombak yang terlipat seperti ibu menyisir permukaan keju dengan sendok.

            Eksploitasi semacam itulah yang harus bernai dilakukan oleh para penulis.

C. Aliran Sastra  

1. Beberapa aliran dalam puisi

a). Puisi Absurd

            pot apa pot itu kaukah pot aku

            pot pot pot

            yang jawab pot pot pot potkaukah kau itu

            yang jawab pot pot pot potkaukah pot aku

            potapa potitu potkaukah potaku

            pot

“pot” karya Sutardji Calzoum Bachri

Page 7: Tulisan Tentang Drama Realisme

b). Puisi Sufi

Tuhan,

Kita begitu dekat

Sebagai api dengan panas

Aku panas dalam apiMu

Tuhan,

Kita begitu dekat

Seperti kain dengan kapas

Aku kapas dalam kainMu

“Tuhan, Kita Begitu Dekat” karya Abdul Hadi W.M.

c). Puisi Mbeling

            Puisi mbeling muncul pada tahun 1970-an. Kata tersebut digunakan oleh Remy Silado. Puisi ini biasanya menekankan kepada kejenakaan. Sekalipun demikian, puisi tersebut terkadang memberikan makan kepada pembacanya.

2. Beberapa aliran prosa

Seperti halnya dalam seni lukis, seni sastra pun memiliki aliran yang kurang lebih sama, yaitu impresionisme, realisme, naturalisme, romantik, simboloik, dan sebagainya. Seorang pengarang tidak perlu terpengaruh oleh kata-kata tersebut. Hal ini dikarenakan istilah-istilah tersebut masih diperdebatkan. Namun, sebagai dasar dari pengetahuan, tentang bentuk aliran kesusastraan, maka di bawah ini diberikan beberapa perumusan yang lazim dipakai. Disebutkan juga oleh Mochtar Lubis (1997) bahwa sebutan seperti romantik, realisme, impresionisme terkadang dapat dikaburkan batasan-batasannya seperti romantis-realistis, simbolis-naturalis, dan sebagainya.

Impressionisme

            Dalam berbagai cabang kesenian, impressionisme diartikan dalam garis besar sebagai pemberi kesan – kesan panca indera. Mochtar Lubis (1997) merumuskan impressionisme sebagai penjelmaan pikiran, perasaan, dan bentuk-bentuk secara sindirian. Misalnya sebuah cerita pendek (cerpen) yang menulis dengan gaya ini, bisalah disebutkan bahwa cerpen tersebut tidak dengan langsung menjelaskan sepenuhnya isi dan maksud cerita ini, tetapi dari totalitas cerita tersebut orang dapat mengambil kesimpulan apa yang dimaksudkan oleh pengarang. Karangan tersebut dapat berupa kalimat-kalimat yang di dalamnya tidak selesai, dialognya putus-putus, namun secara totalitas, karangan tersebut menunjukkan gambaran yang penuh.

Page 8: Tulisan Tentang Drama Realisme

Romantik

            Ketika kita menyebutkan kata romantik, tentu apa yang sedang terlintas adalah terang bulan, bunyi angina mengelus dedaunan, ombak pecah di karang, cerita gadis dan jejaka yang berakhir bahagia, dan sebagainya. Memang betul juga, Mochtar (1997) pun mengakuinya. Beliau menyebutkan bahwa aliran romatik adalah cara pengarang yang mewujudkan penghidupan dan pengalaman manusia, lantas meletakkan tekanan yang berat terhadap apa yang lebih baik dan lebih indah.

Realisme

            Realisme adalah apa yang dilihat oleh pengarang, di luar itu tidak termasuk realis. Artinya, penulis hanya menunjukkan manifestasi jasmani (materil) dan yang kelihatan dari luar kehidupannya. Boleh dikatakan bahwa penulis hanya melihat simptom, bukan sebab musabab kehidupan.

            Dalam realisme, manusia dilukiskan sebagai makhluk yang dikuasai oleh alam kebendaan di sekelilingnya dan memberi reaksi-reaksi terhadap alam kebendaan. Bertolak dari ini, dapat disimpulkan bahwa realisme tidak mempedulikan kenyataan-kenyataan alam penghidupan manusia lain.

Naturalisme

            Batas antara realisme dan naturalisme ini sangat kabur. Sama halnya dengan naturalisme pengarang melukiskan dengan cermat apa yang dilihat, dirasa oleh panca indera. Naturalisme meletakkan manusia sebagai makhluk alam, dengan hasrat dan kekurangan-kekurangan manusia.

            Dalam KBBI (1989: 610) disebutkan bahwa naturalisme adalah karya seni rupa yang memiliki sifat kebenaran fisik dari alam. Disebutkan juga bahwa naturalisme adalah ajaran yang tidak mengakui kekuatan lain selain alam, apa adanya.

Ekspressionisme

            Dalam hubungannya ralisme dan naturalisme ini, disebutkan juga istilah ekspressionisme. Karangan ekspressionisme semua apa yang menjadi tekanan batinnya menyembur dari dalam jiwa pengarang sendiri. Di dalam ekspressionisme, alam benda dikalahkan oleh alam jiwa dan manifestasi kejiwaan-kejiwaan.

Simbolisme

            Aliran ini banyak dipakai pada angaktan kesuastraan Jepang. Hal ini dikarenakan pada saat itu, segala bentuk perjuangan (melalui sastra) tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, para pengarang mencoba berjuang dengan menggunakan simbol-simbol.

            Sebuah karangan yang menggunakan simbol, acapkali simbol tersebut diulang-ulang. Disebutkan pengarang, lantas di dorongkan ke tengah-tengah perhatian pembaca. Namun, bisa juga simbol itu sesuatu yang dikandung di dalam keselauruhan cerita.

 

Page 9: Tulisan Tentang Drama Realisme

D. Kesimpulan

            Secara umum, sistem sastra dapat diterjemahkan menjadi segala unsur yang bertalian dengan sastra dan menunjang satu sama lain untuk keutuhan sastra itu sendiri. Untuk menghasilkan sastra yang berkualitas, dalam makalah ini, disimpulkan bahwa seorang penulis tidak perlu mempelajari “teori sastra” terlebih dahulu sebelum dirinya memiliki produk sastra. Kebalikannya, pengarang yang sudah menghasilkan karya, lambat laun, dirinya akan menguasai apakah “ilmu sastra” itu. Lantas, pengarang tersebut akan mengidentifikasikan karya-karyanya dengan teori yang ada. Dari sinilah, tanpa sengaja, pengarang tersebut dapat belajar tentang “teori sastra” dan secara perlahan akan menguasai “bagaimana sistem sastra secara keseluruhan itu”

 

*) makalah ini dibacakan pada Seminar Sastra di Universitas Islam Negeri Malang pada tanggal 3 Maret 2007.

 

DAFTAR RUJUKAN

 

Lubis, Mochtar. 1997. Sastra dan Tekniknya (hal.87-92). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Luxemburg, Jan Van, dkk. 1989. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia.

Pradopo, Joko Rachmat. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama Media.

Pusat Bahasa Depatemen Pendidikan Nasional. 2000. Buku Praktis Bahasa Indonesia: 2. Jakarta: Pusat Bahasa.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1989. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

 

Page 10: Tulisan Tentang Drama Realisme

Ibsen dan Realisme

Empat drama yang diterbitkan Ibsen pada tahun 1877-1882 dengan judul 'Pillars of Society' (Pilar Masyarakat), 'A Doll's House' (Rumah Boneka),' Ghosts' (Hantu-hantu) dan 'An Enemy of the People' (Musuh Masyarakat) dikategorikan sebagai drama kontemporer realistis atau drama problem.

Ada empat aspek naskah cerita yang digunakan untuk pengelompokkan tersebut:

1. Cerita menimbulkan masalah dalam masyarakat sebagai topik perdebatan2. Tidak memiliki perspektif sosio-kritik3. Cerita berlangsung dalam lingkungan kontemporer4. Mewakili masyarakat dan situasi sehari-hari

Masalah yang diperdebatkan Kritikus literatur Denmark, Georg Brandes (1842-1927) merupakan penggagas realisme di negara Nordic. Pada tahun 1871, ia memberikan kuliah di Universitas Copenhagen dengan judul “Main Currents in the Literature of the 19th Century” (Aliran Utama pada Literatur Abad 19) (diterbitkan dalam bentuk buku sebanyak enam volume pada tahun 1872-1890). Dalam karyanya ini, Brandes memperkenalkan gagasan untuk bentuk literatur baru yang menjadi sosio-kritik dan realistik:

“Literatur saat ini hidup dan menunjukkan fakta bahwa literatur menempatkan masalah untuk diperdebatkan. Contoh, George Sand memperdebatkan hubungan antara dua jenis kelamin, Byron dan agama Feuerbach, Proudhon dan property Stuart Mill, serta kondisi Turgenev, Spielhagen dan Emile Augier dalam masyarakat. Literatur yang tidak menempatkan hal apapun untuk diperdebatkan sama dengan permulaan proses literatur tersebut kehilangan artinya.”

Wakil-wakil realisme sosio-kritik di Norway, yaitu Ibsen, Bjørnson, Lie, Garborg, Kielland dan Skram, terinspirasi oleh Brandes. Dalam empat drama yang disebutkan Ibsen di atas, kita menemukan beberapa masalah sosial yang digunakan Brandes sebagai contoh dalam kutipannya. Hubungan antara jender merupakan subyek perdebatan 'A Doll's House' (Rumah Boneka) and 'Ghosts' (Hantu-hantu). Fitur-fitur bermasalah dalam kondisi masyarakat diperdebatkan dalam 'Pillars of Society' (Pilar Masyarakat) dan 'An Enemy of the People' (Musuh masyarakat) (moral sosial, tirani kaum mayoritas, pertimbangan komersial dibandingkan pertimbangan sosial umum, pertimbangan tentang lingkungan, dll).

Perspektif sosio-kritikal Dalam drama realistisnya, Ibsen tidak mengenal ampun dalam pencarian sisi negatif masyarakat, kepura-puraan (hipokrit) dan disimulasi, penggunaan kekerasan dan tindakan manipulatif, dan selalu menuntuk kebenaran dan kebebasan. Kebenaran, emansipasi, realisasi diri dan kebebasan pribadi merupakan istilah-istilah utama.  Dalam 'Pillars of Society' (Pilar Masyarakat), Lona Hessel menyimpulkan bahwa “semangat kebenaran dan semangat kebebasan – itulah pilar masyarakat”. Dalam 'Ghosts' (Hantu-hantu), Ibsen menyoroti pilar yang mendukung masyarakat borjuis, pernikahan dan Kristen, dan ia mengangkat hal-hal yang dianggap tabu, incest (hubungan seksual dengan saudara sedarah),

Page 11: Tulisan Tentang Drama Realisme

penyakit menular seksual dan euthanasia. Hal ini membuat Ibsen dan mereka yang sependapat dengan idenya menjadi figure kontroversial pada masa mereka.

Karya-karya mereka menciptakan kontroversi atau kekacauan. Dengan memperhatikan lebih jauh, seseorang dapat melihat pentingnya peranan karya-karya tersebut terhadap berbagai pergerakan sosial. Hampir tidak ada karya literatur yang sangat berarti untuk mendukung gerakan liberalisme wanita semua budaya di seluruh dunia seperti 'A Doll's House' (Rumah Boneka).

Perspektif kontemporerSemua cerita drama yang ditulis Ibsen, termasuk 'Pillars of Society' (Pilar Masyarakat) mengunakan setting masyarakat kontemporer (dimulainya drama kontemporer). Para wakil literatur realistis mentuntuk bahwa mereka harus kembali ke masa mereka dan membiarkan diri mereka ditandai oleh masa itu. Drama bersejarah dalam gaya nasional-romatis dianggap ketinggalan jaman. Dewa-dewa dan pahlawan, kaisar Roma dan raja-raja digantikan oleh tokoh-tokoh “seperti Anda dan saya“. Akting dalam drama-drama tersebut dimaksudkan untuk mengangkat situasi saat itu.

Catatan pertama Ibsen tentang A 'Doll's House' (Rumah Boneka) (tertanggal 19 Oktober 1878) memuat judul “Catatan untuk tragedi kontemporer”. Istilah “tragedi kontemporer” adalah sebuah ilustrasi. Tujuan Ibsen dalam cerita ini adalah mengaplikasikan bentuk tragedi klasik ke dalam bahan yang lebih moderen. Dalam tingkat formal, Ibsen tidak terlibat dalam eksperimen ekstrem untuk A 'Doll's House' (Rumah Boneka). Sebagai contoh, tiga unit klasik dipertahankan, kesatuan waktu, tempat dan tindakan. Apa yang baru dalam konflik moderen, tema-tema yang mengambil tempat di panggung.

Situasi dan masyarakat sehari-hari Dalam suratnya kepada seorang pelaku teater Swedia, August Lindberg, yang sedang dalam proses memproduksi 'Ghosts' (Hantu-hantu) pada bulan Agustus 1883 (pementasan perdana digelar di Helsingborg pada 22 Agustus 1883 merupakan pementasan pertama di negara Nordic dan Europa), Ibsen menulis:

“Bahasa harus terdengar natural dan bentuk ekspresi harus disesuaikan dengan masing-masin gindividu dalam cerita; seseorang tentunya tidak mengekspresikan dirinya sama dengan orang lain. Hal ini dapat dilakukan selama latihan; ketika seseorang mendengar hal-hal yang kedengarannya natural dan tidak dipaksakan, dan apa yang harus dirubah dan dirubah lagi sampai dialog mencapai bentuk yang kredibel dan realistis. Dampak cerita tergantung pada perasaan penonton, bahwa mereka duduk dan mendengar sesuaty yang terjadi dalam kehidupan nyata sehari-hari."

Ibsen sangat khawatir bahwa dalam drama kontemporernya, penonton (dan pembaca) harus menyaksikan kejadian-kejadian yang dapat dengan mudah menimpa mereka. Hal ini mengharuskan karakter dalam cerita dramanya berbicara dan berperilaku secara alami dan bahwa situasi menggambarkan kehidupan sehari-hari tentang mereka. Para karakter tidak dapat lagi berdialog dalam bentuk sajak seperti dalam 'Brand' dan 'Peer Gynt'. Monolog dan gaya bicara yang kaku dan formal (seperti dalam 'The Warriors at Helgeland' atau Pejuang di Helgeland) dihilangkan. Drama realistis dimaksudkan memberikan gambaran tentang realita.

Oleh Jens-Morten Hanssen / ibsen.net

Page 12: Tulisan Tentang Drama Realisme

Teater Realis, Sebuah Catatan (2)

NAMUN, bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai suku sudah memiliki berbagai jenis teater etnik, bahkan di antaranya banyak yang sudah sangat canggih. Para seniman teater Indonesia, yang sudah barang tentu memiliki kepekaan estetik terhadap mutu teater etnik itu, sukar untuk menghindar dari godaannya. Maka mulai 60-an itu pula mereka mulai memasukkan unsur-unsur dan bahkan estetika teater etnik itu. Jadi tepatlah apa yang pernah dikemukakan salah seorang pakar teater kita, yaitu A. Kasim Ahmad, yang menyatakan bahwa "Teater Indonesia adalah teater yang pada awalnya merujuk kepada teater Barat namun dalam perkembangannya semakin terpengaruh oleh teater etnik". Maka mudahlah dipahami kalau para seniman teater yang lebih muda, atau masih aktif di tahun 70-an dan 80-an, seperti Suyatna Anirun (alm.), Arifin C. Noer (alm.), Putu Wijaya dan N. Riantiarno, benar-benar memanfaatkan kekuatan teater etnik di dalam karya-karya mereka. Suyatna Anirun menyadur sejumlah drama Barat yang disutradarainya ke dalam teater etnik Sunda, khususnya longser, Arifin C. Noer sangat dekat dengan teater etnik Cirebon, Putu Wijaya mentransformasi "estetika" teater Bali dengan mengisinya dengan lambang-lambang dari kehidupan mutakhir, sementara N.Riantiarno yang sangat piawai di dalam realisme gaya Brecht, juga merujuk kepada berbagai teater etnik, misalnya "bangsawan" dan bahkan Opera Peking.

Mengapa teater Indonesia merujuk kepada teater etnik? Ada beberapa alasan yang mendorong ke arah itu. Pertama, sejak awal teater realis sebenarnya milik kelompok kecil penduduk kota yang "terpelajar". Keterpelajaran ini mula-mula datang dari sekolah-sekolah di zaman Belanda, dan kemudian dari pendidikan di zaman kemerdekaan yang juga merujuk ke Barat. Terutama di kota-kota besar, kelompok terpelajar ini biasanya sudah bersifat multietnik (terdiri dari berbagai suku), dan Bahasa Indonesia menjadi lingua franca mereka. Mudah dipahami, kalau di dalam pilihan teater, mereka tidak memilih teater suku (etnik) tertentu, melainkan teater realis, yang mereka kenal "bersama" lewat keterpelajaran mereka itu. Di samping itu, setelah Indonesia merdeka terjadi pergolakan di berbagai bidang kehidupan, di antaranya mobilitas demografis, baik melalui urbanisasi maupun transmigrasi. Bahkan di Jawa Barat, karena tidak amannya kampung-kampung oleh gangguan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia, 1947-1961), urbanisasi jadi sangat deras. Maka penduduk kota-kota semakin multietnik. Kenyataan ini mendorong tumbuh dan berkembangnya teater realis.

keterbatasan-keterbatasan teater realis. Betapapun "terpelajarnya" orang Indonesia, mereka bukanlah orang Barat. Indonesia tidak pernah mengalami zaman pencerahan yang mengagungkan nalar (rasio) seperti di Barat, sedang rasionalisme adalah salah satu unsur penting dalam teater realis. Di samping itu, daya khayal orang Indonesia sangat lentur, hingga gaya yang tidak realistis, misalnya surrealisme, bukan saja diterima akan tetapi justru menjadi bagian dari kehidupan mental mereka. Dalam hal ini mereka terlatih oleh teater etnik yang umumnya non realis, seperti wayang, bangsawan, berbagai jenis teater Bali, sandiwara Sunda, dsb. Demikian juga, gaya mereka menonton berbeda dengan gaya penonton teater realis Barat, yang berpakaian resmi dan diharapkan taat kepada tatakrama tertentu dalam menonton. Penonton Indonesia lebih santai, akrab dan partisipatif. Kalau kita perhatikan penonton wayang, misalnya, mereka bebas memilih adegan atau babak tertentu, yang lainnya dilewatkan sambil pacaran, makan kacang atau bahkan tertidur, mereka pun merasa dekat dengan

Page 13: Tulisan Tentang Drama Realisme

para pemain dan tidak pernah perduli apakah mereka duduk terlalu dekat dengan mereka. Mereka berpartisipasi dalam pertunjukan dengan terbuka, dengan memberikan komentar-komentar, mengungkapkan rasa senang dan tidak senang secara langsung, dsb. Seperti dikemukakan oleh James Brandon, pakar teater Asia, suatu pertunjukan di Indonesia lebih bersuasana conviviality, bersama-sama mengisi waktu dan bergembira, daripada acara khusus menikmati sajian karya seni. Jelas, bahwa kebebasan berimajinasi dan suasana pertunjukan yang seperti itu memiliki daya-tarik yang kuat bagi sutradara-sutradara teater Indonesia, yang banyak di antaranya masih memiliki kenang-kenangan masa kecil ketika mereka bergaul dengan teater etnik mereka.

Bagaimana tanggapan penonton Indonesia yang multietnik kepada perkembangan teater yang menjauhi realisme itu ? Seperti diduga, mereka umumnya menerima dengan baik. Suku-suku Indonesia umumnya saling mengenal teater etnik masing-masing, bahkan memiliki teater yang sama dengan nama yang berbeda-beda sesuai dengan daerah dan bahasa etnik mereka masing-masing. Mereka pun mengenal teater Barat (baca: realisme), misalnya melalui film-film Hollywood. Maka teater Indonesia yang menggabungkan idiom-idiom Barat dan etnik itu dengan mudah mendapat tempat di hati mereka, dan akhirnya apa yang kita kenal dengan teater Indonesia adalah paduan antara unsur-unsur Barat dan etnik itu.

Prospek

Kalau teater Indonesia hidup dan berkembang, itu pasti merupakan ungkapan kreativitas seniman-senimannya. Seperti teater realis Barat yang unggul selama seratus lima puluh tahun, hal itu hanya mungkin karena gaya teater itu merupakan jawaban yang tepat terhadap tantangan nyata yang dihadapi masyarakat Barat di zaman itu. Jadi persoalan para seniman teater di Indonesia adalah bagaimana agar dapat mengidentifikasi masalah secara tepat dan memberikan jawaban secara tepat pula kepadanya.

Masalah seniman teater sedikitnya terletak di dua bidang, yaitu dalam hal memilih tema dan memilih gaya. Sebagai seorang seniman, agar karya-karyanya dapat menarik dan berarti bagi masyarakatnya, ia bukan saja harus tahu apa yang menjadi kepedulian masyarakatnya, akan tetapi harus menjadikan kepedulian masyarakatnya itu sebagai kepeduliannya. Hanya dengan demikian dia akan mengungkapkan tema itu secara jujur. Namun itu tidak cukup, ia pun harus memiliki gaya atau bahasa teater yang dapat menjadi perangkat komunikasi antara dia dengan penontonnya atau masyarakatnya itu. Dalam mencari gaya yang tepat itu ia akan mempelajari berbagai idiom teater yang ada, baik Barat maupun etnik, dan juga mempelajari sensibilitas (kepekaan) penontonnya. Dengan kerja keras dalam menganalisis keduanya, mungkin ia berhasil menemukan gaya atau bahasa teater yang cocok untuk masyarakatnya itu.

Karena masyarakat Indonesia sangatlah beragam (plural), dapatlah dibayangkan bahwa akan terdapat berbagai gaya, dan setiap gaya itu akan menjadi perangkat komunikasi dengan kelompok masyarakat tertentu saja. Bagaimana dengan teater realis ? Ia akan menjadi salah satu di antara beragam gaya itu, suatu gaya yang berpengaruh karena mendominasi film-film Hollywood dan dengan demikian paling dikenal oleh masyarakat umum. Sebagai gaya, ia merupakan gaya yang paling mudah menjadi korban komersialisasi, seperti kita lihat pada sinetron-sinetron kita.

Page 14: Tulisan Tentang Drama Realisme

Kendatipun demikian, ia pun akan tetap menjadi unsur penting dalam gaya-gaya lain, karena ia adalah syarat untuk adanya komunikasi rasional antara seniman teater dan masyarakat penontonnya. Dan teater realis, dengan segala keterbatasannya, di tangan seniman jenius seperti Cekhov, dapat mengungkapkan pengalaman yang berlapis-lapis dan membawa penonton kepada kedalaman yang tidak selalu dicapai gaya teater lain. (Tamat).***

Budaya

Aliran realisme Norwegia

Untuk beberapa tahun pada akhir 1870, Munich telah menjadi basis bagi sekelompok artis muda Norwegia yang memberikan kontribusi penting sebagai Realis – termasuk didalamnya adalah Hans Heyerdahl (1857-1913), Kitty L Kielland (1843-1924), Harriet Backer (1845-1932), Erik Werenskiold (1855-1938), Christian Skredsvig (1854-1924), Theodor Kittelsen (1857-1914) dan Gerhard Munthe (1849-1929). Selama tahun 1880, artis-artis ini pindah ke Paris, yang menjadi pusat baru bagi para artis Norwegia. Disana mereka bergabung dengan dua figur penting lainnya, Christian Krohg (1852-1925) dan Fritz Thaulow (1847-1906), keduanya pernah belajar dengan Gude di Karlsruhe pada tahun 1870. Pelukis penting beraliran Realis lainnya adalah Eilif Peterssen (1852-1928), yang tidak belajar di Paris tapi di Italia.

Beberapa artis ini kemudian memilih untuk kembali ke Norwegia, dan pada tahun 1882 mereka menyelenggarakan Høstutstillingen (‘Pameran Musim Gugur), koleksi seni kontemporer Norwegia yang didanai publik mulai dari tahun 1884 dan saat ini menjadi Pameran Seni Nasional. Pada saat yang bersamaan, mereka mendirikan sistem baru dimana para artis tersebut menjual sendiri karya mereka, memutuskan apa yang harus disertakan dalam pameran dan bahkan menyeleksi komisi untuk seni umum. Diantara para kelompok artis yang kembali, ada beberapa pribadi yang secara keras menolak nilai-nilai pendahulu mereka. Walaupun mereka memiliki pandangan yang sama terhadap tradisi, para artis muda ini sangat berbeda dalam hal tingkah laku dan temperamen. Konflik juga terjadi diantara kedua kelompok. Satu kelompok, dipimpin oleh Christian Krohg sangat radikal, individualistis dan internasionalis, sementara kelompok lainnya dipimpin oleh Erik Werenskiold lebih beraliran nasionalis dan liberal dalam arti politik, namun juga bermoral dan berprinsip tinggi.

Werenskiold melukis situasi yang sederhana namun memiliki karakteristik yang ditempatkan di pemandangan alam yang telah dipelajari dengan baik. Sejajar dengan Wrenskiold adalah Theodor Kittlesen, yang walaupun merupakan juru gambar yang lebih baik daripada menjadi pelukis, memberikan kontribusi signifikan terhadap nasionalisme dengan menggambarkan edisi standar Cerita Rakyat Norwegia. Pengikut Werenskiold lainnya adalah Christian Skredsvig, yang menolak untuk menekankan implikasi kesusasteraan dan simbolisme subyek lukisannya, dan Eilif Peterssen, yang ambisinya terhadap lukisan bersejarah secara tidak langsung mengikuti contoh pendahulunya. Kitty L Kielland, salah satu pelukis pemandangan alam yang konsisten dalam periodenya, lebih banyak bekerja en plain air di Jæren di pantai Barat Norwegia. Gerhard Munthe, yang juga merupakan seorang nasionalis memiliki hubungan dekat dengan petualang dan ilmuwan Fridjof Nansen, dan bersama-sama

Page 15: Tulisan Tentang Drama Realisme

membentuk Lysakerkretsen (Masyarakat Lysaker) untuk memajukan nilai-nilai nasionalisme Norwegia.

Masyarakat ini bertemu dengan lawan tangguh yaitu Christian Krohg, pemimpin Bohemian Oslo yang percaya bahwa menulis sama pentingnya dengan melukis dan mengatakan bahwa ‘semua seni nasional buruk dan semua seni yang baik adalah nasional’. Ia beranggapan bahwa fokus artistik harus dikonstrasikan pada kehidupan yang dijalani dan dialami oleh individu. Di lain pihak, Fritz Thaulow menginginkan seni hanya berfokus pada seni, mengatakan bahwa lebih banyak artis harus mengkonsentrasikan energi mereka pada proses melukis yang sesungguhnya, tidak berusaha untuk mengancam permasalahan sosial dan manusia. Sementara Harriet Backer memilih untuk mengasingkan diri dari debat tersebut, lebih berkonsentrasi ke pemandangan interior, walaupun dengan gaya yang sedikit lebih abstrak dibandingkan dengan pelukis nasionalis sebelumnya.

Krogh adalah pendahulu artis yang mungkin paling terkenal di Norwegia, Edvard Munch (1863-1944). Munch tidak pernah mengenyam pendidikan, dan di dalam Krohg ia menemukan sosok seorang guru. Walaupun ia mulai melukis pada tahun 1880 dibawah pengaruh aliran Realisme, namun ia segera meninggalkan metode ini dan memfokuskan diri pada kenyataan yang terjadi. Munch ingin melukis apa yang ia anggap secara dasar sebagai manusia, mengatakan ‘Saya akan melukis orang yang bernafas dan dapat merasakan dan menderita dan mencintai’. Secara radikal Munch mengikuti tren baru dari Eropa, termasuk aliran Impresionisme, Fauvisme, Art noveau dan Jugend, kesemuanya dengan interpretasinya sendiri tentang bentuk, garis dan warna. Ia banyak bepergian keliling Eropa, yang kemudian memberikan inspirasi gaya internasional tentang pemandangan alam yang sederhana dan garis abstrak, teknik pewarnaan yang sederhana dan perbedaan mencolok dalam pencahayaan. Penerus Munch termasuk Arne Kavli (1878-1970) dan Thorvald Erichsen (1868-1939), serta Halfdan Egedius (1877-1899), Harald Sohlberg (1869-1935) dan Nikolai Astrup (1880-1928), yang menyatukan kecenderungan tahun 1890 dengan mengembangkan Realisme menjadi ekspresi yang lebih abstrak.

Teks ini ditulis dengan ijin dari Visiting Arts dari Direktori Seni Norwegia (ISBN 19020349164 © 1999).  E-mail: [email protected]

Page 16: Tulisan Tentang Drama Realisme

Reaktualisasi Lakon Realis, Suatu Tawaran

OlehRaudal Tanjung Banua

Posisi naskah drama dalam khazanah teater tanah air sebenarnya relatif unik, seunik keberadaan jagad teater itu sendiri. Kita misalnya, mengenal teater modern dan teater tradisional, yang relatif tidak popular dalam khazanah teater Barat. Salah satu unsur pembeda yang utama terletak pada ada atau tidaknya naskah yang dimainkan. Jamak diketahui bahwa teater tradisional menjumpai publiknya berdasarkan cerita yang berkembang di tengah masyarakat (sastra lisan), kemudian dimainkan dengan tingkat spontanitas dan improvisasi yang tinggi. Sebaliknya, teater modern memiliki “kerangka situasi” berupa naskah drama yang menempatkan kerja artistik dan produksi teater tidak sekadar improvisasi (Goenawan Mohamad, 1981).Hubungan teater dengan “kerangka situasi” ini mendapat padanannya dengan drama yang pengertiannya memang luas. Dalam buku Webster’s New Collegiate Dictionary, dinyatakan bahwa drama merupakan karangan berbentuk prosa atau puisi yang direncanakan bagi pertunjukan teater; suatu lakon (Henry Guntur, 1984). Untuk konteks ini, drama memiliki pengertian sebagai theatre atau performance. Selain itu, ada pula naskah yang ditulis sebagai bahan bacaan, bukan untuk produksi panggung. Drama jenis ini dikenal dengan sebutan textplay atau repertoir atau closet drama. Apapun istilahnya yang jelas, drama memiliki hubungan yang erat dengan teater karena keberadaan naskah, terlebih pada drama sebagai theatre atau performance.

Analisis Naskah LakonNaskah lakon sebenarnya juga memiliki kekayaan tersembunyi untuk dianalisis baik untuk kepentingan panggung (teater), maupun kepentingan sastra. Di sini, kita bisa memakai analisis struktural. Menurut A. Teeuw (1984), analisis struktural bertujuan membongkar dan memaparkan secara cermat, teliti, detail dan mendalam keterkaitan dan keterjalinan semua anasir aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh. Hal ini diperkuat oleh ungkapan M. Mcluhan yang terkenal, “the medium is the message”, dan oleh A. Teeuw dijabarkan bahwa baru dalam keterpaduan struktur yang total keseluruhan makna yang unik dalam teks dapat terwujud. Tugas dan tujuan analisis struktur justrulah mengupas semendetail mungkin keseluruhan makna yang terpadu dalam suatu karya sastra.Sementara itu, dengan mengutip Rene Wellek dan Austin Warren, Suminto A. Sayuti (2000) menyatakan bahwa karya sastra, termasuk naskah lakon, merupakan sebuah struktur yang rumit. Kerumitan ini barangkali dapat diartikan sebagai sesuatu yang kompleks. Sebagai sebuah struktur, karya sastra mengandung gagasan keseluruhan, gagasan transformasional, dan gagasan kaidah yang mandiri. Kita misalnya, dapat menggalinya lewat pendekatan struktural, terutama untuk “sastra realistik”.

Reaktualisasi Realisme

(Raudal Tanjung Banua, alumnus Jurusan Teater ISI Yogyakarta, kini mengelola Komunitas Rumahlebah dan Jurnal Cerpen Indonesia)

Copyright © Sinar Harapan 2003

Seni DramaTerjadi Perubahan Konsep, Teater Realis Tidak Lagi Dominan

Yogyakarta, Kompas - Tumbangnya Orde Lama serta pergeseran penokohan dalam sebuah pentas teater merupakan beberapa penyebab tergesernya teater realis dari panggung. Teater realis kini tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya arena untuk mengukuhkan diri sebagai bangsa modern.

Page 17: Tulisan Tentang Drama Realisme

Demikian salah satu butir pemikiran pengamat teater Indra Tranggono yang disampaikan dalam pembukaan Pameran Jejak Realisme Indonesia, yang diselenggarakan Pustaka Teater Garasi, pekan lalu di Teater Garasi. "Saya menduga lahirnya teater realis memiliki hubungan dengan lahirnya faham humanisme dan eksistensialisme di Barat.

Dua faham itu mengedepankan human dignity atau martabat manusia, dan guna mengimbangi atau melawan materialisme," tutur Indra. Seni akting grup teater pada masa sekitar penjajahan Jepang melihat teater realis sebagai kiblat untuk menjadi modern. Dominasi teater realis sejak tahun 1940-an mulai digantikan dengan munculnya sejumlah ekspresi teater setelah tumbangnya Orde Lama. Beberapa jenis istilah bermunculan, seperti teater non-realis, eksperimental, atau alternatif. Akibatnya, Indra melihat teater realis menjadi sebuah pilihan yang minoritas. Perkembangan dunia teater telah mengubah tokoh dari yang mempunyai darah dan daging menjadi tokoh penyosokan ide.

Perubahan konsep tokoh ini ditemui dalam drama Kapai-kapai, Mega-mega, dan Umang- umang yang dibuat Arifin C Noer atau karya Putu Wijaya seperti Aduh, Lho, dan Los. Keberadaan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) di Jakarta pertengahan tahun 1950-an ikut memperkokoh keberadaan teater realis. ATNI yang dimotori Asrul Sani dan teman-temannya merancang kurikulum pendidikan teater yang mengadopsi pemikiran Barat.

Karya yang menjadi bagian dari kurikulum ATNI merupakan karya saduran dari naskah yang ditulis seniman Barat, seperti William Saroyan, Rupert Brooke, dan Nicolai Gogol. Indra mencatat sejumlah kelompok juga memunculkan teater realis di Yogyakarta, seperti Asdrafi (Akademi Seni Drama dan Film Indonesia) yang dimotori oleh Sri Murtono, Kelompok UGM dengan Umar Kayam sebagai penggeraknya, Teater Indonesia dengan Kirjomulyo dan Iman Soetrisno, serta Teater Muslim-nya Mohammad Diponegoro. Seniman teater yang lahir dari teater realis banyak yang mempunyai nama besar, seperti Teguh Karya, Koesno Soejarwadi, Arifin C Noer, dan Maroeli Sitompoel. (ART)

BAHASA DAN SASTRA SEBAGAI IDENTITI BANGSA DALAM PROSES GLOBALISASI Prof. Dr. Mursal Esten

Pendahuluan

Kita tengah memasuki abad XXI. Abad ini juga merupakan milenium III perhitungan Masehi. Perubahan abad dan perubahan milenium ini diramalkan akan membawa perubahan pula terhadap struktur ekonomi, struktur kekuasaan, dan struktur kebudayaan dunia.

Fenomena paling menonjol yang tengah terjadi pada kurun waktu ini adalah terjadinya proses globalisasi. Proses perubahan inilah yang disebut Alvin Toffler sebagai gelombang ketiga, setelah berlangsung gelombang pertama (agrikultiur) dan gelombang kedua (industri). Perubahan yang demikian menyebabkan terjadinya pula pergeseran kekuasaan dari pusat kekuasaan yang bersumber pada tanah, kemudian kepada kapital atau modal, selanjutnya (dalam gelombang ketiga) kepada penguasaan terhadap informasi (ilmu pengetahuan dan tekhnologi).

Proses globalisasi ini lebih banyak ditakuti daripada dipahami untuk kemudian diantisipasi dengan arif dan cermat. Oleh rasa takut dan cemas yang berlebihan itu, antisipasi yang dilakukan cenderung bersifat defensif membangun benteng-benteng pertahanan dan merasa diri sebagai objek daripada subjek di dalam proses perubahan.

Bagaimana dengan bahasa dan sastra? Apakah yang terjadi dengan bahasa dan sastra Indonesia di dalam proses globalisasi? Apakah yang harus dilakukan dan kebijakan yang

Page 18: Tulisan Tentang Drama Realisme

bagaiman yang harus diambil dalam hubungan sastra Indonesia dalam menghadapi proses globalisasi atau di dalam era pasar bebas?

Mitos Tentang Globalisasi

Mitos yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati diri . Kebudayaan lokal dan etnis akan ditelan oleh kekuatan budaya besar atau kekuatan budaya global.

Anggapan atau jalan pikiran yang demikian tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tidak berguna. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknolgi telah membuat surutnya peranan kekuasaan ideologi dan kekuasaan negara. Akan tetapi, Jhon Naisbitt dalam bukunya Global Paradox memperlihatkan hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Di dalam bidang ekonomi, misalnya, Naisbitt mengatakan "Semakin besar dan semakin terbuka ekonomi dunia, semakin perusahaan-perusahaan kecil dan sedang akan mendominasi". Ia di dalam bukunya itu juga mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks sehubungan dengan masalah ini. "Semakin kita menjadi universal, tindakan kita semakin bersifat kesukuan", "berfikir lokal, bersifat global." Ketika bahasa Inggris menjadi bahasa kedua bagi semua orang, bahasa pertama, bahasa ibu mereka, menjadi lebih penting dan dipertahankan dengan lebih giat.

Dari pernyataan Naisbitt itu, kalau kita mempercayai, proses globalisasi tetap menempatkan masalah lokal ataupun masalah etnis (tribe) sebagai masalah yang penting yang harus dipertimbangkan. Dalam bukunya yang lain Megatrends 2000, Naisbitt juga mengatakan bahwa era yang akan datang adalah era kesenian dan era pariwisata. Orang akan membelanjakan uangnya untuk bepergian dan menikmati karya-karya seni. Peristiwa-peristiwa kesenian yang akan menjadi perhatian utama dibandingkan peristiwa-peristiwa olahraga yang sebelumnya lebih mendapat tempat.

"Berpikir lokal, bertindak global", seperti yang dikemukakan Naisbitt itu, pastilah akan menempatkan masalah bahasa dan sastra, khususnya bahasa dan sastra Indonesia, sebagai sesuatu yang penting di dalam era globalisasi. Proses berpikir tidak akan mungkin dilakukan tanpa bahasa. Bahasa yang akrab untuk masyarakat (lokal) Indonesia adalah bahasa Indonesia. Proses berpikir dan kemudian dilanjutkan proses kreatif, proses ekspresi, akan melahirkan karya-karya sastra, yakni karya sastra Indonesia.

Perkembangan Bahasa dan Sastra Indonesia

Di dalam sejarahnya, bahasa Indonesia telah berkembang cukup menarik. Bahasa Indonesia yang tadinya hanya merupakan bahasa Melayu dengan pendukung yang kecil telah berkembang menjadi bahasa Indonesia yang besar. Bahasa ini telah menjadi bahasa lebih dari 200 juta rakyat di Nusantara Indonesia. Sebagian besar di antaranya juga telah menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama. Bahasa Indonesia yang tadinya berkembang dari bahasa Melayu itu telah "menggusur" sejumlah bahasa lokal (etnis) yang kecil. Bahasa Indonesia yang semulanya berasal dari bahasa Melayu itu bahkan juga menggeser dan menggoyahkan bahasa etnis-etnis yang cukup besar, seperti bahasa Jawa dan bahasa Sunda. Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa dari masyarakat baru yang bernama masyarakat Indonesia. Di dalam persaingannya untuk merebut pasar kerja, bahasa Indonesia telah

Page 19: Tulisan Tentang Drama Realisme

mengalahkan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Bahasa Indonesia juga telah tumbuh dan berkembang menjadi bahasa yang modern pula.

Perkembangan yang demikian akan terus berlanjut. Perkembangan tersebut akan banyak ditentukan oleh tingkat kemajuan masyarakat dan peranan yang strategis dari masyarakat dan kawasan ini di masa depan. Diramalkan bahwa masyarakat kawasan ini, yaitu Indonesia, Malasyia, Thailand, Vietnam, Brunai Darussalam, dan Filipina akan menjadi salah satu global-tribe yang penting di dunia. Jika itu terjadi, bahasa Indonesia (lebih jauh bahasa Melayu) juga akan menjadi bahasa yang lebih bersifat global. Proses globalisasi bahasa Melayu (baru) untuk kawasan Nusantara, dan bahasa-bahasa Melayu untuk kawasan Asia Pasifik (mungkin termasuk Australia) menjadi tak terelakkan. Peranan kawasan ini (termasuk masyarakatnya, tentu saja) sebagai kekuatan ekonomi, industri dan ilmu pengetahuan yang baru di dunia, akan menentukan pula bagaimana perkembangan bahasa Indonesia (dan bahasa Melayu) modern. Bahasa dan sastra Indonesia sudah semenjak lama memiliki tradisi kosmopolitan. Sastra modern Indonesia telah menggeser dan menggusur sastra tradisi yang ada di pelbagai etnis yang ada di Nusantara.

Perubahan yang terjadi itu tidak hanya menyangkut masalah struktur dan bahasa, tetapi lebih jauh mengungkapkan permasalahan manusia baru (atau lebih tepat manusia marginal dan tradisional) yang dialami manusia di dalam sebuah proses perubahan. Lihatlah tokoh-tokoh dalam roman dan novel Indonesia. Lihatlah tokoh Siti Nurbaya di dalam roman Siti Nurbaya, tokoh Zainudin di dalam roman Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, tokoh Hanafi di dalam roman Salah Asuhan, tokoh Tini, dan Tono di dalam novel Belenggu, sampai kepada tokoh Lantip di dalam roman Priyayi. Mereka adalah tokoh-tokoh yang berusaha masuk ke dunia yang baru, dunia yang global, dengan tertatih-tatih.

Dengan demikian, satra Indonesia (dan Melayu) modern pada hakikatnya adalah sastra yang berada pada jalur yang mengglobal itu. Sebagaimana dengan perkembangan bahasa Indonesia, sastra Indonesia tidak ada masalah dalam globalisasi karena ia memang berada di dalamnya. Yang menjadi soal adalah bagaimana menjadikan bahasa dan sastra itu memiliki posisi yang kuat di tengah-tengah masyarakatnya. Atau lebih jauh, bagaimana langkah untuk menjadikan masyarakatnya memiliki posisi kuat di tengah-tengah masyarakat dunia (lainnya).

Kalau merujuk kepada pandangan-pandangan Alvin Toffler atau John Naisbitt, dua peramal masa depan tanpa bola-bola kristal, bahasa Indonesia dan sastra Indonesia akan menjadi bahasa (dan sastra) yang penting di dunia.

Politik Bahasan dan Politik Sastra

Proses globalisasi kebudayaan yang terjadi mengakibatkan berubahnya paradigma tentang "pembinaan" dan "pengembangan" bahasa. Bahasa Indonesia pada masa depan bukan hanya menjadi bahasa negara, melainkan juga menjadi bahasa dari suatu tribe (suku) yang mengglobal. Bahasa tersebut harus mampu mengakomodasikan perubahan-perubahan dan penyesuaian-penyesuaian yang mungkin dihadapi. Mekanisme pembinaan dan pengembangan tidaklah ditentukan oleh suatu lembaga, seperti Pusat Bahasa, tetapi akan amat ditentukan oleh mekanisme "pasar". Pusat Bahasa tidak perlu terlalu rewel dengan "bahasa yang baik dan benar". Politik bahasa yang terlalu bersifat defensif harus ditinggalkan.

Page 20: Tulisan Tentang Drama Realisme

Di dalam kehidupan sastra juga diperlukan suatu politik sastra. Sastra Indonesia harus lebih dimasyarakatkan, tidak saja untuk bangsa Indonesia, tetapi juga untuk masyarakat yang lebih luas. Penerbitan karya-karya sastra harus dilakukan dalam jumlah yang besar. Sekolah-sekolah dan perguruan tinggi semestinya menjadi tempat untuk membaca karya-karya sastra. Pengajaran sastra haruslah menjadikan karya-karya sastra sebagai sumber pengajaran.

Di dalam proses globalisasi, posisi yang harus diambil bukan sebagai objek perubahan, melainkan harus menjadi subyek. Bahasa dan sastra (Indonesia) amat potensial menjadi bahasa dan sastra yang diperhitungkan di dalam dunia global.

Jika dunia Melayu (dan Indonesia) akan hadir sebagai salah satu global-tribe di dunia dan kawasan Asia Pasifik, bahasa dan sastranya harus juga berkembang ke arah itu. Bahasa Melayu (dan Indonesia) harus siap menerima peranan yang demikian. Sastra Indonesia harus tetap menjadi sastra yang unik di tengah-tengah dunia yang global. Bahasa dan sastra Indonesia (Melayu) harus mampu menjadikan kekuatan budaya (global-trible) yang baru itu. Untuk itu, diperlukan suatu politik bahasa ( dan sastra) yang terbuka, bukan bersifat defensif.

Padang, 29 Agustus 2002