24
BAB I Eskalasi Potensi Konflik Laut Cina Selatan Salah satu persoalan yang paling mendasar dan krusial yang dapat memicu konflik antar negara adalah masalah perbatasan. Termasuk Indonesia yang mempunyai persoalan dengan perbatasan, terutama mengenai garis perbatasan di wilayah perairan laut dengan negara-negara tetangga. Apabila dicermati, banyak negara-negara di Asia Pasifik juga menghadapi masalah yang sama. Anggapan bahwa situasi regional sekitar Indonesia dalam tiga dekade ke depan tetap aman dan damai, mungkin ada benarnya, namun di balik itu sebenarnya bertaburan benih konflik, yang dapat berkembang menjadi persengketaan terbuka. Faktor-faktor yang dapat menyulut persengketaan antar negara dapat berupa ketidaksepahaman mengenai garis perbatasan antar negara yang banyak yang belum terselesaikan melalui mekanisme perundingan, peningkatan persenjataan dan eskalasi kekuatan militer baik oleh negara-negara yang ada di kawasan ini maupun dari luar kawasan, ataupun juga eskalasi aksi terorisme lintas negara dan gerakan separatis bersenjata yang dapat mengundang kesalahpahaman antar negara bertetangga. 1 Dengan melihat berbagai faktor di atas, beberapa pengamat politik menyimpulkan bahwa potensi konflik di kawasan Asia Pasifik sesungguhnya sangat bervariasi, baik 1 http://indronet.files.wordpress.com/2007/09/konflik-perbatasan-asia- pasifikrefisi1.pdf. Diakses pada 7 April 2009 1

Upaya Diplomasi Preventif Indonesia Dalam Sengketa Kepulauan Spratly

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Mengamati bagaimana upaya-upaya Indonesia dalam mengelola potensi konflik dalam isu overlapping claim area di wilayah Kepulauan Spratly, Laut Cina Selatan.Upaya ini dilakukan dalam rangka menjaga stabilitas dan keamanan concentric circle Asia Tenggara sebagai kawasan yang memiliki nilai strategis amat tinggi dalam berbagai hal termasuk jalur perdagangan internasional tersibuk di dunia.

Citation preview

Page 1: Upaya Diplomasi Preventif Indonesia Dalam Sengketa Kepulauan Spratly

BAB I

Eskalasi Potensi Konflik Laut Cina Selatan

Salah satu persoalan yang paling mendasar dan krusial yang dapat memicu

konflik antar negara adalah masalah perbatasan. Termasuk Indonesia yang mempunyai

persoalan dengan perbatasan, terutama mengenai garis perbatasan di wilayah perairan

laut dengan negara-negara tetangga. Apabila dicermati, banyak negara-negara di Asia

Pasifik juga menghadapi masalah yang sama. Anggapan bahwa situasi regional sekitar

Indonesia dalam tiga dekade ke depan tetap aman dan damai, mungkin ada benarnya,

namun di balik itu sebenarnya bertaburan benih konflik, yang dapat berkembang

menjadi persengketaan terbuka. Faktor-faktor yang dapat menyulut persengketaan antar

negara dapat berupa ketidaksepahaman mengenai garis perbatasan antar negara yang

banyak yang belum terselesaikan melalui mekanisme perundingan, peningkatan

persenjataan dan eskalasi kekuatan militer baik oleh negara-negara yang ada di kawasan

ini maupun dari luar kawasan, ataupun juga eskalasi aksi terorisme lintas negara dan

gerakan separatis bersenjata yang dapat mengundang kesalahpahaman antar negara

bertetangga.1

Dengan melihat berbagai faktor di atas, beberapa pengamat politik

menyimpulkan bahwa potensi konflik di kawasan Asia Pasifik sesungguhnya sangat

bervariasi, baik sifat, karakter, maupun intensitasnya. Namun memperhatikan beberapa

konflik terbatas dan berintensitas rendah yang terjadi selama ini, terdapat beberapa hal

yang dapat memicu terjadinya konflik terbuka berintensitas tinggi yang dapat

berkembang menjadi konflik regional bahkan internasional. Faktor-faktor potensial

yang dapat menyulut persengketaan terbuka itu bisa saja berasal dari implikasi dari

internasionalisasi konflik internal di satu negara yang dapat menyeret negara lain ikut

dalam persengketaan, pertarungan antar elite di suatu negara yang karena berbagai

faktor merambat ke luar negeri, ataupun juga meningkatnya persaingan antara negara-

negara maju dalam membangun pengaruh di kawasan ini. Konfliknya bisa berwujud

persengketaan antar sesama negara maju, atau salah satu negara maju dengan salah satu

negara yang ada di kawasan ini. Disamping itu, ada hal lain juga yang dapat menyulut

potensi persengketaan terbuka yaitu eskalasi konflik antar negara berkembang

1 http://indronet.files.wordpress.com/2007/09/konflik-perbatasan-asia-pasifikrefisi1.pdf. Diakses pada 7 April 2009

1

Page 2: Upaya Diplomasi Preventif Indonesia Dalam Sengketa Kepulauan Spratly

melampaui ambang batas toleransi keamanan regional sehingga menyeret pihak ketiga

terlibat di dalamnya. Ini biasanya bermula dari ”dispute territorial” antar negara

terutama mengenai garis batas perbatasan antar negara.2

Dalam makalah ini akan dibahas tentang sengketa konflik Laut Cina Selatan di

Kepulauan Spratly yang mencerminkan adanya konflik dalam konteks klaim antar

wilayah di kawasan Asia Pasifik. Penulis membaginya ke dalam tiga bab, dimana bab

pertama menjabarkan kerangka pemikiran penulisan agar dapat lebih mudah

menganalisis eskalasi konflik yang terjadi. Bab kedua menjelaskan latar belakang

konflik di Kepulauan Spratly dan peran diplomasi preventif Indonesia dalam mencegah

sengketa antar negara. Dan bab ketiga berupa kesimpulan secara keseluruhan dari

penulisan makalah ini.

Berdasarkan uraian diatas, maka research question yang penulis ajukan adalah

“Apa upaya-upaya diplomasi preventif Indonesia dalam kasus sengketa

Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan ?”

Kerangka Pemikiran

Diplomasi adalah salah satu upaya untuk mengatur hubungan-hubungan antar

negara (dalam konteks dunia internasional) dengan cara melakukan negosiasi-negosiasi

yang dilakukan oleh seorang duta besar yang mewakili negaranya masing-masing.3

Salah satu jenis dari diplomasi yaitu diplomasi preventif. Yang dimaksud

dengan diplomasi preventif yaitu suatu tindakan yang ditujukan untuk mencegah

perselisihan antara pihak-pihak yang bertikai, mencegah adanya pertikaian yang lebih

luas dan menjadi konflik dan jika sudah menjadi konflik, harus dibatasi penyebarannya.4

Istilah diplomasi preventif mulai dipakai oleh SekJen PBB Dag Hammerskjold

dalam pidatonya saat sidang umum PBB pada era perang dingin tahun 1960-an. Latar

belakang munculnya pemikiran diplomasi preventif adalah pencegahan konflik yang

dianggap bisa menyebar sehingga bisa menimbulkan perang dunia dalam kerangka

perang dingin. Definisi diplomasi preventif bermacam-macam tergantung pada

organisasi atau lembaga penelitian. Diplomasi preventif lebih dari sekedar

2 Ibid3 http://assets.cambridge.org/97805218/39167/excerpt/9780521839167_excerpt.pdf. Diakses pada 8 April 20094 http://www.skripsi-tesis.com/07/04/peranan-unmik-dalam-memulihkan-keadaan-di-kosovo-pasca-konflik-etnis-pdf-doc.htm. Diakses pada 8 April 2009

2

Page 3: Upaya Diplomasi Preventif Indonesia Dalam Sengketa Kepulauan Spratly

menyelamatkan dunia tetapi untuk mencegah agar tidak terisolasi dari masyarakat

internasional. Diplomasi preventif memiliki tiga tujuan:

(1) mencegah konflik antar negara atau antara pemerintah dengan kelompok

minoritas di dalam negara,

(2) untuk mencegah perselisihan menjadi konflik terbuka,

(3) jika konflik pecah, memastikan penyebarannya sekecil mungkin.5

Syarat-syarat untuk keberhasilan diplomasi preventif ada tiga, yaitu:

1. Diplomasi preventif harus dilaksanakan secepatnya sebelum ketegangan menjadi

buruk bahkan sampai terjadi konflik. Untuk melakukan diplomasi preventif

secepatnya, situasi ketegangan harus diketahui secepatnya.

2. Negara yang menerima diplomasi preventif harus setuju dengan adanya intervensi

3. Negara-negara besar diperlukan untuk mendukung diplomasi preventif yang

dilaksanakan oleh rezim internasional karena diplomasi preventif biasanya

dilaksanakan sesuai dengan sanksi ekonomi atau bantuan ekonomi sebagai alat

untuk menyukseskannya.6

Diplomasi preventif merupakan penggabungan antara elemen-elemen dari

diplomasi publik serta diplomasi diam-diam. Ins Claude Jr, menggambarkan diplomasi

preventif sebagai fungsi penetral untuk dijalankan sejauh mungkin oleh negara-negara

yang sikap tidak memihaknya dan membuat PBB sebagai penyeimbang hubungan

International yang efektif.

Pada awalnya penerapan diplomasi preventif adalah untuk mencegah semakin

meluasnya hegemonitas dua kekuatan raksasa, yaitu Amerika dan Uni Soviet. Namun

seiring dengan perkembangan waktu peran dari Diplomasi preventif ini pun mulai

dijalankan oleh PBB terhadap konflik-konflik yang menimbulkan jatuh korban jiwa

cukup besar di suatu wilayah atau negara agar tidak semakin meluas ke negara-negara

lain diluar negara konflik sehingga tidak semakin menimbulkan jatuh korban yang lebih

banyak lagi. Sarana utama stabilitasi adalah ditetapkannya suatu “kehadiran PBB”

5 Sukawarsini Djelantik. Diplomasi antara Teori dan Praktik. 2008. Graha Ilmu: Yogyakarta, hal 1626 http://assets.cambridge.org/97805218/39167/excerpt/9780521839167_excerpt.pdf. Diakses pada 8 April 2009

3

Page 4: Upaya Diplomasi Preventif Indonesia Dalam Sengketa Kepulauan Spratly

dalam persengketaan peripheral. Bisa dikatakan, PBB menjadi pasukan pemadam

kebakaran di dunia yang sangat mudah terbakar.

Membahas mengenai diplomasi preventif, Sekjen PBB telah memberikan

batasan sebagai tindakan untuk mencegah pertikaian yang muncul di antara para pihak,

dan mencegah adanya pertikaian yang meningkat menjadi konflik dan untuk membatasi

meluasnya konflik tersebut apabila terjadi. Pelaksanaan diplomasi yang bisa diharapkan

efisien adalah untuk meredakan ketegangan sebelum hal ini menjadi konflik. Atau jika

konflik itu pecah, maka tindakan harus dilakukan secara cepat untuk membendungnya

dan menyelesaikan sebab-musababnya yang menjadi dasar konflik.

Diplomasi preventif dapat dilakukan oleh Sekjen PBB pribadi atau melalui

pejabat senior atau badan-badan khusus atau program, oleh Dewan Keamanan maupun

Majelis Umum dan oleh organisasi-organisasi regional bekerjasama dengan PBB.

Diplomasi preventif memerlukan langkah-langkah untuk menciptakan kepercayaan,

membuat satu peringatan dini dengan pengumpulan informasi dan misi pencarian fakta

baik secara resmi maupun tidak resmi, di samping juga harus melibatkan penempatan

pasukan preventif, dan dalam keadaan tertentu menempatkan wilayah bebas militer

4

Page 5: Upaya Diplomasi Preventif Indonesia Dalam Sengketa Kepulauan Spratly

BAB II

Sengketa Teritorial Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan

Pada bulan April tahun 1988 terjadi ketegangan di Kepulauan Spratly antara

Vietnam dengan Cina. Dua puluh kapal perang Cina yang sedang berlayar di Laut Cina

Selatan mencegat Angkatan Laut Vietnam sehingga terjadi bentrokan. Bentrokan antara

Cina dan Vietnam ini terjadi di Karang Johnson Selatan di Kepulauan Spratly pada 14

Maret 1988 yang mengakibatkan hilangnya 74 tentara Vietnam. Peristiwa ini dikenal

sebagai peristiwa 14 Maret 1988.7

Pertikaian di kepulauan tersebut sebenarnya sudah berlangsung lama dan aktor

yang berperan di dalamnya tidak hanya Vietnam dan Cina, tetapi juga melibatkan dua

negara anggota ASEAN, yaitu Malaysia dan Filipina, serta Taiwan. Sebab dasarnya

dapat dilacak kembali ke klaim historik yang beranekaragam, konsiderasi ekonomi,

serta pertimbangan geostrategis negara-negara yang terlibat. Zona Ekonomi Eksklusif

(ZEE) dari hampir semua negara yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan saling

tumpang tindih, sehingga menimbulkan masalah penentuan batas. Pemilikan sejumlah

pulau-pulau kecil di Laut Cina Selatan memperbesar permasalahan ini sehingga

menimbulkan ketegangan tentang hak atas laut teritorial atau Landas Kontinen.

Kepulauan Spratly adalah sebuah gugusan pulau-pulau kecil dan pulau-pulau

karang kira-kira jumlahnya sebanyak 600-an dan 100-an diantaranya kerap tertutup

permukaan air laut jika sedang pasang. Kepulauan Spratly, bila dilihat dalam tata

lautan internasional merupakan kawasan bernilai ekonomis, politis, dan strategis.

Kawasan kepulauan ini menjadi sangat penting karena kondisi potensi geografisnya

maupun potensi sumber daya alam yang dimilikinya, seperti minyak, gas, dan bahan

tambang lainnya. Ini berarti mendapatkan kepulauan tersebut sudah dapat diperkirakan

akan mengurangi ketergantungan minyak dari negara-negara kawasan Teluk. Perkiraan

cadangan minyak di Kepulauan Spratly mencapai sekitar 10 milyar ton, jikakalau Cina

tidak dapat menemukan sumber minyak di daratan, maka Cina harus mengimpor

sekitar 100 juta ton minyak pada tahun 2010.8 Selain itu, kawasan tersebut merupakan

jalur pelayaran, kapal perdagangan internasional, dan komunikasi internasional (jalur

7 http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/01/konflik-kepulauan-separatly.html. Diakses pada 7 April 20098 http://tumoutou.net/702_05123/j_judiono.htm. Diakses pada 7 April 2009

5

Page 6: Upaya Diplomasi Preventif Indonesia Dalam Sengketa Kepulauan Spratly

lintas laut perdagangan internasional), sehingga menjadikan kawasan itu mengandung

potensi konflik sekaligus potensi kerjasama.

Jika diamati, peta yang dikeluarkan masing-masing negara yang terlibat

sengketa kepulauan ini menamainya dengan berbeda-beda. Taiwan misalnya

menamakan Kepulauan Spratly dengan Shinnengunto, Vietnam menyebut dengan Dao

Truong Sa (Beting Panjang), Filipina menyebut Kalayaan (kemerdekaan), Malaysia

menyebut dengan Itu Aba dan Terumbu Layang, sedangkan Cina lebih suka menyebut

Nansha Quadao (kelompok Pulau Selatan). Perbedaan nama dimaksudkan agar

kepulauan tersebut terisyaratkan sebagai milik negara yang memberikan nama. Nama

internasional yang lazim diberikan kepada gugusan kepulauan itu ialah Spratly.9

Kenyataannya terjadi perang klaim dan upaya-upaya penguasaan atas wilayah-

wilayah di Kepulauan Spratly itu. Persoalannya menjadi lebih berat karena klaim-klaim

tersebut saling tumpang tindih karena masing-masing negara mendasarkan klaimnya

pada “kebenaran” versinya sendiri, baik historis maupun legal formal. Yang kemudian

menarik untuk disoroti adalah proses penguasaan dan dasar argumentasi yang

dikemukakan masing-masing negara itu untuk menguasai gugusan pulau yang terdapat

di Spratly.

Tuntutan Cina terhadap Spratly didasarkan pada sejumlah catatan sejarah,

penemuan situs, dokumen-dokumen kuno, peta-peta, dan penggunaan gugus-gugus

pulau oleh nelayannya. Berdasarkan penemuan-penemuan tersebut Cina menyatakan

bahwa Kepulauan Spratly secara historis merupakan wilayah kekuasaan Cina sejak

masa kekaisaran Dinasti Han, yakni 206-220 SM sampai ke masa Dinasti Ming dan

Dinasti Ching yang berkuasa pada tahun 1400-an M. Klaim ini didukung bukti-bukti

arkeologis Cina dari Dinasti Han.10 Vietnam menentang pendapat Cina dengan

menyebutkan bahwa Kaisar Gia Long dari Vietnam pada tahun 1802 telah

mencantumkan Spratly sebagai wilayah kekuasaannya. Nelayan Vietnam pun telah lama

sebelumnya melakukan pelayaran ke dan di wilayah Kepulauan Spratly itu.11

Sedangkan Filipina menduduki kelompok gugus pulau di bagian Timur

kepulauan Spartly yang disebut sebagai Kalayaan. Tahun 1978 menduduki lagi gugus

pulau Panata. Alasan Filipina menduduki kawasan tersebut karena kawasan itu

9 http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/01/konflik-kepulauan-separatly.html. Diakses pada 7 April 200910 http://dewitri.wordpress.com/2009/01/03/dilema-keamanan-asean-dalam-konflik-laut-cina-selatan/. Diakses pada 7 April 200911 http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/01/konflik-kepulauan-separatly.html. Diakses pada 7 April 2009

6

Page 7: Upaya Diplomasi Preventif Indonesia Dalam Sengketa Kepulauan Spratly

merupakan tanah yang tidak sedang dimiliki oleh negara-negara manapun. Filipina juga

menunjuk perjanjian perdamaian San Francisco 1951, yang menyatakan bahwa Jepang

telah melepaskan haknya terhadap Kepulauan Spartly selama PD II dan

meninggalkannya setelah kekalahannya tanpa menyebutkan kepada siapa kepulauan

tersebut akan diserahkan.

Malaysia mengatakan bahwa sebagian dari Kepulauan Spratly merupakan

wilayah negara bagian Sabah yang dinamai Terumbu Layang. Menurut Malaysia,

Langkah itu diambil berdasarkan peta Batas Landas Kontinen Malaysia tahun 1979,

yang mencakup sebagian dari Kepulauan Spartly. Dua kelompok gugus pulau lain, juga

diklaim Malaysia sebagai wilayahnya yaitu Terumbu Laksamana yang diduduki oleh

Filipina dan Amboyna yang diduduki Vietnam. Sementara Brunei Darussalam yang

memperoleh kemerdekaan secara penuh dari Inggris pada 1 Januari 1984 kemudian juga

ikut mengklaim wilayah di Kepulauan Spratly. Namun, Brunei hanya mengklaim

peraian dan bukan gugus pulau. Akhirnya, Taiwan mengklaim Kepulauan Spratly

sebagai bagian dari warisan kekaisaran Cina dengan dalih yang sama dengan dalih

klaim yang diajukan Cina.12

Klaim tumpang tindih tersebut mengakibatkan adanya pendudukan terhadap

seluruh wilayah kepulauan bagian selatan kawasan Laut Cina Selatan. Sampai saat ini,

negara yang aktif menduduki di sekitar kawasan ini adalah Taiwan, Vietnam, Filipina,

dan Malaysia. Sementara Cina sendiri baru menguasai kepulauan tersebut pada tahun

1988, secara agresif membangun konstruksi dan instalansi militer serta menghadirkan

militernya secara rutin di kepulauan tersebut.

Sikap dan tindakan Cina itu merupakan bentuk frontal penolakan terhadap

serentetan protes yang dilakukan Vietnam dan seruan agar diadakan perundingan-

perundingan mengenai Kepulauan Spratly. Hal ini semakin jelas karena Cina berusaha

mengukuhkan kehadirannya di Laut Cina Selatan secara de jure, dengan mengeluarkan

Undang-Undang tentang Laut Teritorial dan Contiguous Zone pada tanggal 25 Februari

1992, dan telah diloloskan parlemen Cina yang memasukkan Kepulauan Spratly sebagai

wilayahnya. Secara de facto, Cina telah memperkuat kehadiran militernya di kawasan

12http://dewitri.wordpress.com/2009/01/03/dilema-keamanan-asean-dalam-konflik-laut-cina-selatan/. Diakses pada 7 April 2009

7

Page 8: Upaya Diplomasi Preventif Indonesia Dalam Sengketa Kepulauan Spratly

tersebut serta melakukan modernisasi kekuatan pertahanan menuju ke arah tercapainya

armada samudra.13

Peta klaim tumpang tindih teritorial Kepulauan Spratly

Peran Diplomasi Preventif Indonesia Dalam Menyelesaikan Kasus Sengketa

Kepulauan Spratly

Kasus sengketa di wilayah Laut Cina Selatan ini akan menjadi sebuah sumber

konflik yang potensial di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara jika tidak ada pihak

yang berinisiatif untuk mencegah terjadinya konflik terbuka di kawasan ini. Indonesia

sebagai salah satu negara yang terletak di sebelah selatan Laut Cina Selatan berupaya

untuk meredam konflik ini. Indonesia berpendapat bahwa instabilitas di kawasan

13 Ibid

8

Page 9: Upaya Diplomasi Preventif Indonesia Dalam Sengketa Kepulauan Spratly

berpeluang menggoncangkan keutuhan internal ASEAN, hal ini terkait dengan adanya

empat negara ASEAN yang mengklaim, yakni Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Brunei

Darussalam. Jika keempat negara tersebut tetap bersikukuh untuk saling mengakui

Kepulauan Spratly, maka keutuhan ASEAN pun akan dipertanyakan oleh dunia luar,

apakah ASEAN sebagai salah satu organisasi regional di kawasan Asia Tenggara masih

eksis atau tidak.

Indonesia ditunjuk sebagai penengah dalam upaya untuk menyelesaikan kasus

sengketa ini karena Indonesia dianggap sebagai negara yang netral. Walaupun Indonesia

secara geografis terletak di sebelah selatan Laut Cina Selatan, namun Indonesia tidak

termasuk dalam salah satu pihak yang bersengketa dalam memperebutkan Kepulauan

Spratly. Hal inilah yang kemudian menjadikan Indonesia sebagai pengambil inisiatif

dalam menyelesaikan sengketa ini. Indonesia dianggap dapat mengetahui keadaan yang

sebenarnya terjadi di kawasan Laut Cina Selatan karena lokasinya yang tidak terlampau

jauh, sehingga Indonesia dapat memberikan pendapat yang sifatnya netral kepada

semua negara yang bersengketa.

Indonesia juga memiliki alasan tersendiri mengapa sengketa di Laut Cina

Selatan ini harus segera diselesaikan. Alasan Indonesia antara lain adalah untuk

mengamankan kepentingan ekonominya. Hal ini dikarenakan jika keamanan dan

ketertiban di Laut Cina Selatan dapat tercapai, maka aktifitas perdagangan dan

eksplorasi alam yang dilakukan oleh Indonesia di kawasan laut yang sangat strategis

bagi pelayaran dan juga kaya akan hasil alam ini akan menjadi lancar.14 Selain itu,

Indonesia juga memiliki kepentingan lainnya, diantaranya adalah keamanan dan

keutuhan nasional, pemberantasan pelanggaran hukum di laut dan perlindungan

terhadap lingkungan.15 Kepentingan Indonesia juga terletak pada penarikan garis

perbatasan di sekitar Laut Natuna –yang kaya akan gas alam-, yang juga masuk dalam

wilayah Laut Cina Selatan. Bila Cina masih bersikeras mengimplementasikan garis

datarnya seperti yang tercantum pada peta tahun 1947, klaim ini menginterupsi wilayah

ZEE dan landas kontinen Indonesia. Selain itu, Indonesia berkepentingan memberantas

14 “The Spratly Islands Dispute in the South China Sea: Problems, Policies, and Prospects for Diplomatic Accommodation”. Diakses dari http://www.southchinasea.org/docs/Joyner,%20Spratly%20Islands%20Dispute.pdf, tanggal 4 April 200915 “PERAN DIPLOMASI PREVENTIF INDONESIA DALAM MENCEGAH SENGKETA ANTAR NEGARA: STUDI KASUS LAUT CINA SELATAN”. Diakses dari http://fitriyaniriduan.blogspot.com/2008/07/peran-diplomasi-preventif-indonesia.html, tanggal 4 April 2009

9

Page 10: Upaya Diplomasi Preventif Indonesia Dalam Sengketa Kepulauan Spratly

pelanggaran hukum yang terjadi. Ancaman kekerasan, navigasi serta ancaman

kedaulatan dan hukum (penangkapan ikan secara ilegal, eksplorasi dan eksploitasi

sumber kekayaan alam secara ilegal) di wilayah ini secara langsung merugikan

kepentingan ekonomi Indonesia. Dan sebagai negara kepulauan yang sebagian

wilayahnya terdiri atas lautan, kerusakan lingkungan di wilayah ini secara tidak

langsung mempengaruhi ekosistem di perairan Indonesia. Ini menyebabkan hancurnya

perkembangbiakan ikan-ikan di perairan Indonesia dan menurunkan hasil tangkapan

ikan di Indonesia.16

Peran Indonesia dalam menyelesaikan sengketa ini ditunjukkan melalui

pembentukan perundingan diantara negara-negara yang bersengketa. Hal ini

diwujudkan dalam South China Sea Informal Meetings, yang diadakan tiap tahun.17

Dalam pertemuan yang digagas pertama kali pada tahun 1990 ini, dihasilkan beberapa

keputusan. Keputusan tersebut diantaranya adalah pembentukan kelompok kerja yang

bertugas untuk mengkaji sumber daya yang terkadung di Kepulauan Spratly,

kesepakatan tentang pelayaran, penagkapan ikan, dan juga komukasi yang legal di

kawasan ini.18 Signifikansi dari kelompok kerja yang disepakati dalam pertemuan

tersebut menghasilkan kesepakatan diantara negara-negara yang bersengketa untuk

mendirikan sebuah wilayah politik untuk bekerja sama dan berhubungan satu sama lain,

walaupun sengketa masih terdapat diantara negara-negara tersebut. Selain itu,

Confidence Building Measures (CBMs) juga menjadi bagan penting dalam agenda

pertemuan tersebut.19

Dialog ini dilakukan sebagai langkah awal menangani masalah kedaulatan yang

sangat sensitif. Semangat diplomasi preventif terefleksi dari semakin tingginya

kesadaran negara-negara sekitar untuk melihat masalah ini dari kacamata positif.

Serangkaian dialog ini kemudian dilanjutkan dengan diskusi masalah yang lebih detail

guna mencari celah-celah kerjasama yang bisa dibangun termasuk isu kedaulatan atas

Kepulauan Spratly, peran negara besar dalam kepentingannya atas wilayah ini dan

Confidence Building Measures (CBMs) untuk me-manage potensi konflik secara damai

dan bijaksana.

16 Ibid17 “The South China Sea Dispute: Prospects for Preventive Diplomacy”. Diakses dari http://www.usip.org/pubs/specialreports/early/snyder/South_China_Sea1.html, tanggal 4 April 200918 Ibid19 Ibid

10

Page 11: Upaya Diplomasi Preventif Indonesia Dalam Sengketa Kepulauan Spratly

Selain South China Sea Informal Meetings, Indonesia juga mengupayakan

perundingan damai lewat Technical Working Groups (TWGs), Groups of Experts (GEs)

dan Study Groups (SGs). Dalam dialog ini, tidak hanya melibatkan pihak pemerintah

dalam kapasitas informalnya, tapi juga ahli-ahli kelautan dan para akademisi. Tim

teknis ini memformulasikan proyek kerjasama program pelatihan monitoring ekosistem

di Laut Cina Selatan (Training Program for Ecosystem Monitoring in the South China

Sea). Indonesia kemudian terpilih menjadi koordinator untuk kelompok studi geologi

yang mengacu pada penelitian potensi hidrokarbon yang terkandung di dalamnya.20

Sayangnya, pembangunan kerjasama, studi dan manajemen sumber daya masih sangat

sensitif sehingga kemajuan progresif sulit dicapai. Kalaupun kesepakatan berhasil

dibuat, implementasi sangat susah dilaksanakan. Beberapa pihak juga meragukan

efektivitas workshop ini untuk meletakkan dasar bagi political will dan negosiasi tingkat

tinggi antar pihak yang mengklaim untuk mencegah sengketa teritorial. Penetrasi

formalisasi workshop untuk menghasilkan keputusan yang mengikat secara hukum jauh

dari ekspektasi banyak pihak.

Upaya yang dilakukan oleh Indonesia lainnya adalah upaya pembentukan

kerjasama. Proyek kerjasama yang berhasil disepakati antara lain adalah proyek

kerjasama dalam bidang penelitian keragaman hayati. Dalam proyek ini, Indonesia tetap

memegang kendali kepemimpinan, mengkomunikasikan hasil-hasil dialog kepada dunia

internasional, organisasi regional dan internasional demi mendapatkan dukungan dan

bantuannya untuk mengimplementasikan proyek kerjasama ini.

Pengaruhnya Terhadap Pencegahan Sengketa

Penggunaan mekanisme diplomasi preventif cukup signifikan pengaruhnya dalam

penyelesaian sengketa-sengketa secara damai. Pihak pemerintah negara-negara yang

mengklaim semakin menyadari efek konfrontasi militer berdampak buruk bagi semua

pihak dan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan konflik tersebut juga terlalu besar.

Kekuatan confidence-building, pertemuan workshop termasuk pembahasan isu ini

dalam forum resmi ASEAN sangat terasa ketika negara yang mengklaim berusaha

menahan diri untuk tidak terlibat lagi dalam aksi saling menduduki daerah (melakukan

20 “PERAN DIPLOMASI PREVENTIF INDONESIA DALAM MENCEGAH SENGKETA ANTAR NEGARA: STUDI KASUS LAUT CINA SELATAN”, Op. Cit.

11

Page 12: Upaya Diplomasi Preventif Indonesia Dalam Sengketa Kepulauan Spratly

okupasi fisik). Pengaruh signifikan diplomasi preventif yang dijalankan Indonesia dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. mencegah negara-negara yang mengklaim untuk tidak meneruskan atau memperluas

klaimnya. Kesadaran ini mencegah terjadinya konflik bersenjata yang saat itu makin

memanas dalam usaha perebutan kepemilikan gugus-gugus kepulauan. Kesepakatan

yang dihasilkan menjadi rekomendasi untuk tidak menyelesaikan masalah dengan

jalan kekerasan.

2. menumbuhkan semangat kerjasama bilateral dan regional resmi dengan

mengesampingkan masalah kedaulatan teritorial. Selain itu, dialog ini berhasil

membangun visi kerjasama di bidang keamanan, politik, navigasi, manajemen

sumber daya alam, perlindungan lingkungan dan riset ilmiah kelautan serta

mekanismenya atau “norms-building”.

3. memperkuat usaha-usaha diplomatik resmi dalam kerangka regional untuk

menciptakan stabilitas di kawasan. Melalui forum ini, Indonesia mengemban peran

terdepan sehingga masalah ini menjadi isu yang dibahas dalam forum yang lebih

besar yaitu ARF (ASEAN Regional Forum) dan ASEAN Post-Ministerial

Conference, yang berhasil mendudukkan 22 negara se-Asia Pasifik untuk mencari

jalan penyelesaian.

4. terciptanya code of conduct antar negara yang bersengketa. Norms-building ini

penting untuk mengatur usaha-usaha kerjasama yang dilakukan.

Ditengah kritik tajam akan efektivitas workshop in dalam mencegah konflik

terbuka, second track diplomacy prakarsa Indonesia ini sangat besar artinya bagi

terciptanya kesadaran dan political will negara-negara yang mengklaim kepemilikan

pulau-pulau di Laut Cina Selatan, untuk duduk bersama –secara resmi- menemukan

jalan keluar yang bisa diterima masing-masing pihak bersengketa. Indonesia diakui

dunia internasional menjadi pihak aktif dalam mencari celah kemungkinan kerjasama

dan menyerukan arti penting kawasan Laut Cina Selatan tidak hanya bagi negara di

sekitarnya, tapi juga bagi negara di kawasan regional dan internasional.

12

Page 13: Upaya Diplomasi Preventif Indonesia Dalam Sengketa Kepulauan Spratly

BAB III

KESIMPULAN

Indonesia berpendapat bahwa instabilitas di kawasan ini berpeluang

menggoncang keutuhan internal dalam tubuh ASEAN, dimana terdapat empat negara

ASEAN yang terlibat dalam kasus sengketa teritori di Laut Cina Selatan, yaitu

Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Brunei Darussalam. Indonesia ditunjuk sebagai

mediator untuk menjadi penengah dalam konflik ini dikarenakan Indonesia dianggap

sebagai pihak yang netral dan mempunyai pengaruh yang cukup kuat di dalam kawasan

Asia Tenggara, dan Indonesia tidak termasuk dalam salah satu pihak yang bersengketa.

Tetapi Indonesia memiliki alasan sendiri agar sengketa ini dapat segera diselesaikan,

alasan itu adalah beberapa kepentingan Indonesia, antara lain:

1. Untuk mengamankan kepentingan ekonominya baik secara perdagangan dan

keamanan sumber daya alam Indonesia di bawah laut.

2. Keamanan dan keutuhan nasional, pemberantasan pelanggaran hukum di laut

dan perlindungan terhadap lingkungan.

3. Melindungi perbatasan sekitar Laut Natuna karena konflik ini akan mengubah

ZEE danlandas kontinen Indonesia.

4. Memberantas pelanggaran hukum yang terjadi,Ancama kekerasan,navigasi dan

ancaman kedaulatan secara ilegal.

5. Melindungi ekosistem di perairan Indonesia yang akan rusak bila terjadi perang.

Wujud diplomasi preventif dan upaya yang dilakukan Indonesia dalam kasus

sengketa Kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan adalah menjaga perdamaian dengan

menjadikan potensi konflik menjadi potensi kerjasama dengan cara (peace making dan

peace building) menyelenggaraan kerjasama antar negara-negara yang terlibat konfik.

Penyelenggaraan dialog mengenai konflik di Laut Cina Selatan sejak tahun 1990

pertama kali hanya melibatkan perwakilan non-resmi negara-negara ASEAN. Namun

sejak tahun 1991, rangkaian lokakarya ini melibatkan negara-negara yang mengklaim

wilayah Kepulauan Spratly. Dialog ini terdiri dari:

13

Page 14: Upaya Diplomasi Preventif Indonesia Dalam Sengketa Kepulauan Spratly

a. Lokakarya tahunan dimana Indonesia sebagai tuan rumah, untuk membahas isu-

isu kerjasama serta melibatkan para pejabat pemerintah dalam kapasitas non

resmi.

b. Pertemuan Technical Working Group yang dilaksanakan di negara-negara yang

berbeda, untuk mengimplementasikan hasil dari sesi pleno workshop dalam

bentuk kerjasama Joint Working Group, yaitu Technical Working Groups

(TWGs), Groups of Experts (GEs), dan Study Groups (SGs).

Masalah-masalah yang menjadi pembahasan antara lain mengenai keamanan

navigasi, pelayaran, dan komunikasi, dan juga proyek kerjasama dalam bidang

Penelitian Keragaman Hayati. Para peserta lokakarya ini inklusif bagi semua pihak yang

berhubungan dengan masalah ini. Ini terbukti dari penyelenggaraan program pelatihan

bagi para navigator dan ahli kelautan yang direkrut dari negara-negara ASEAN dan

negara yang mengklaim. Selain itu, permasalahan legal dan perumusan aturan

berperilaku (code of conduct) diselenggarakan untuk mengatur mekanisme kerjasama.

Upaya diplomasi perventif Indonesia dalam wujud sebagai mediator melalui

usaha-usaha kerjasama dan dialog-dialog telah dilakukan dan dapat dikatakan berhasil

sejauh ini karena membuat negara-negara yang bersengketa untuk dapat duduk bersama

merumuskan suatu aturan berperilaku (code of conduct) bagi semua negara yang

bersengketa di kawasan Laut Cina Selatan. Second track diplomacy yang dilakukan

Indonesia ini sangat besar artinya bagi terciptanya kesadaran dan kemauan politik

(political will) negara-negara yang mengklaim kepemilikan pulau-pulau di Laut Cina

Selatan untuk duduk bersama mencari win-win solution yang tepat dan bisa diterima

oleh masing-masing pihak yang bersengketa sehingga Indonesia dapat mencegah

terjadinya perang terbuka antara enam negara yang berkonflik.

14

Page 15: Upaya Diplomasi Preventif Indonesia Dalam Sengketa Kepulauan Spratly

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Djelantik, Sukawarsini, (2008). Diplomasi antara Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha

Ilmu.

A.R Soetopo, (1991). Hubungan Internasional Kawasan: Indonesia di Kawasan Asia

Pasifik. Jakarta: CSIS.

Website:

http://assets.cambridge.org/97805218/39167/excerpt/9780521839167_excerpt.pdf.

Diakses pada 8 April 2009

http://dewitri.wordpress.com/2009/01/03/dilema-keamanan-asean-dalam-konflik-laut-

cina-selatan/. Diakses pada 7 April 2009

http://fitriyaniriduan.blogspot.com/2008/07/peran-diplomasi-preventif-

indonesia.html tanggal 4 April 2009

http://indronet.files.wordpress.com/2007/09/konflik-perbatasan-asia-pasifikrefisi1.pdf.

Diakses pada 7 April 2009

http://jurnal-politik.blogspot.com/2009/01/konflik-kepulauan-separatly.html. Diakses

pada 7 April 2009

http://tumoutou.net/702_05123/j_judiono.htm. Diakses pada 7 April 2009

http://www.southchinasea.org/docs/Joyner,%20Spratly%20Islands

%20Dispute.pdf tanggal 4 April 2009

http://www.usip.org/pubs/specialreports/early/snyder/South_China_Sea1.html.

Diakses pada 4 April 2009

15