Transcript

Referat Antibiotic-Associated DiarrheaQueencia Editha Morin406148027

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar BelakangPenyakit Infeksi merupakan masalah yang sering muncul di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Penyakit infeksi disebabkan oleh bakteri atau jamur yang masuk kedalam tubuh melalui udara, air, tanah dan makanan. Penyakit infeksi tersebut sering diobati dengan menggunakan antibiotik.Antibiotik merupakan obat yang paling banyak diresepkan pada pasien anak. Disamping manfaatnya pada pengobatan penyakit infeksi, antibiotik juga memiliki efek samping, diantaranya adalah diare yang disebut dengan antibiotic associated diarrhea (AAD).1Antibiotic Associated Diarrhea (AAD) adalah diare yang terjadi selama atau setelah pemberian antibiotik, penyebab lain tidak bisa ditemukan.2-3 Menurut World Health Organization (WHO), diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja lebih banyak dari biasanya, lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam dengan frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari, dapat atau tanpa disertai dengan lendir dan darah. Penyakit ini paling sering dijumpai pada anak balita, terutama pada 3 tahun pertama kehidupan, dimana seorang anak bisa mengalami 1-3 episode diare berat (Simatupang, 2004). Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, diare diartikan sebagai buang air besar yang tidak normal atau bentuk tinja yang encer dengan frekuensi lebih banyak dari biasanya. Neonatus dinyatakan diare bila frekuensi buang air besar sudah lebih dari 4 kali, sedangkan untuk bayi berumur lebih dari satu bulan dan anak, frekuensinya lebih dari tiga kali (Simatupang, 2004). Sebagai gambaran 17% kematian anak didunia disebabkan oleh diare sedangkan di Indonesia hasil Riskesdas 2007 diperoleh bahwa diare masih merupakan penyebab kematian pada bayi terbanyak yaitu 42% dibanding pneumonia 24%, untuk golongan 1 - 4 tahun penyebab kematian karena diare 25,2 % disbanding pneumonia 15,5% (Ciesla WP, 2013). Dari daftar urutan penyebab kunjungan Puskesmas/ Balai pengobatan, hampir selalu termasuk dalam kelompok tiga penyebab utama ke puskesmas. Angka kesakitannya adalah sekitar 200 - 400 kejadian diare diantara 1000 penduduk setiap tahunnya. Dengan demikian di Indonesia diperkirakan ditemukan penderita sekitar 60 juta kejadian setiap tahunnya, sebagian besar (70%-80%) dari penderita ini adalah anak dibawah umur 5 tahun. Kelompok ini setiap tahunnya mengalami lebih dari satu kejadian diare. Sebagian dari penderita (1%-2%) akan jatuh dalam keadaan dehidrasi dan kalau tidak segera ditolong 50-60% diantaranya dapat meninggal. ( Johnston, 2011)

Dalam beberapa tahun terakhir ini, pembahasan tentang AAD berpusat pada Clostridium difficile-associated diarrhea (CDAD), namun hanya 10%-20% dari semua kasus AAD yang positif mengandung toxin C. difficile (4, 5, 6). Pemahaman tentang berbagai macam mekanisme yang menyebabkan AAD mungkin akan mencegah AAD, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan mengurangi biaya perawatan serta mengurangi lamanya perawatan.

1.2. Tujuan Mengingat bahaya yang dapat terjadi karena diare, maka penting bagi kita sebagai tenaga medis khususnya dokter untuk mengetahui tentang diare, terutama diare terkait antibiotik atau antibiotic-associated diarrhea. Oleh karena itu pemahaman tentang berbagai macam mekanisme yang menyebabkan AAD dan tanda gejala sampai pada penanganannya mungkin akan mencegah AAD, meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan mengurangi lamanya perawatan serta biaya perawatan.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1. DefinisiDiare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair ( setengah padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya, lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam dengan frekuensi, yaitu buang air besar encer tersebut dapat atau tanpa disertai lendir atau darah. (Zein, 2003). Diare terkait antibiotik atau yang dikenal dengan Antibiotic-associated diarrhea (AAD) adalah diare yang terjadi selama atau setelah pemberian antibiotik, penyebab lain tidak bisa ditemukan.2 Terdapat berbagai macam mekanisme yang menyebabkan terjadinya AAD antara lain dengan terganggunya komposisi dan fungsi dari flora normal, pertumbuhan kuman mikroorganisme patogen yang berlebihan, alergi dan efek samping dari antibiotik pada mukosa usus atau efek farmakologi terhadap motilitas usus. Antibiotic-associated diarrhea juga sering disebabkan oleh Clostridium difficile, namun dapat juga disebabkan oleh mikrobiota intestinal lain. Clostridium difficile associated diarrhea (CDAD) biasanya lebih berat dan dapat menyebabkan kematian. AAD yang disebabkan oleh mikrobiota intestinal lain biasanya ringan hingga sedang dan dapat sembuh sendiri. Diare yang disebabkan oleh antibiotik bersifat lembek atau cair setiap harinya, diare dapat terjadi beberapa jam sampai dua bulan setelah mengonsumsi antibiotik.

2.2. Epidemiologi Diare akut merupakan masalah umum yang ditemukan diseluruh dunia. Di Amerika Serikat keluhan diare menempati peringkat ketiga dari daftar keluhan pasien pada ruang praktik dokter, sementara dibeberapa rumah sakit di Indonesia, data menunjukkan diare akut karena infeksi terdapat di peringkat pertama sampai peringkat ke empat pasien dewasa yang datang berobat ke rumah sakit. (Lung, 2003)

Di negara maju diperkirakan insiden sekitar 0,5 episode/orang/tahun sedangkan di negara berkembang lebih dari itu. Di Amerika Serikat dengan penduduk sekitar 200 juta diperkirakan 99 juta episode diare akut pada dewasa terejadi setiap tahunnya. (Issaulauri, 2003). WHO memperkirakan ada sekitar empat miliar kasus diare akut setiap tahun dengan mortilitas 3 4 juta pertahun (Manatsathit, 2002). Bila angka itu diterapkan di Indonesia, setiap tahun sekitar 100 juta episode diare pada orang dewasa per tahun (Nelwan RHH, 2001). Dari laporan surveilan terpadu tahun 1989 jumlah kasus diare didapatkan 13,3 % di Puskesmas, di rumah sakit didapat 0,45% pada penderita rawat inap dan 0,05% pasien rawat jalan. Insiden AAD bervariasi antara 5% - 24%.

2.3. Faktor RisikoSiapapun yang menjalani terapi antibiotik berisiko mengalami diare karena antibiotik. Tetapi yang lebih berisiko adalah :a. Orang lanjut usiab. Penggunaan antibiotik spektrum luas ( khususnya klindamisin, -lactam dan sefalosporin generasi 3)c. Riwayat penggunaan antibiotik yang lamad. Sebelumnya pernah mengalami antibiotic associated diarrheae. Pasien yang dirawat dirumah sakit. 6

2.4. Etiologi Hampir semua antibiotik dapat menyebabkan diare. Penyebab yang paling sering adalah ampisilin, klindamisin, dan sefalosporin seperti sefpodoksim. Kadang kadang eritromisin, quinolon( siprofloksasin, floxin) dan tetrasiklin juga dapat menyebabkan diare karena antibiotik. Diare karena antibiotik tetap dapat terjadi baik penggunaan antibiotik oral atau injeksi (Farmakologi FKUI, 2007).9Etiologinya dibagi menjadi 3 bagian, antara lain :1.Kuman penyebab infeksia. Clostridium difficileb. Clostridium perfringens c. Staphylococcus aureusd. Candida Speciese. Drug-Resistant Salmonella Speciesf. Acute Segmental Hemorrhagic Penicillin-Associated Colitis

2. Gangguan fungsi dari flora normala. Metabolisme Karbohidrat pada kolonib. Penurunan metabolisme dari asam empedu

3. Efek langsung dari antibiotik :a. Eritromisinb. Amoksisilin/Clavulanate 10% - 25c. Neomisin d. Sefiksim 15 - 20 % e. Ampisilin 5 - 10 % f. Golongan sefalosporin, fluoroquinolon, azitromisin, klaritromisin, dan tetrasiklin 2 - 5 %.Berbagai macam mekanisme antibiotik menyebabkan antibiotic associated diarrhea yaitu dengan terganggunya komposisi dan fungsi dari dari flora normal pada saluran pencernaan, pertumbuhan yang berlebihan dari mikroorganisme yang patogen dan efek alergi dan toksin dari antibiotik pada mukosa usus atau efek farmakologi terhadap motilitas usus. Namun dalam beberapa tahun terakhir pembahasan tentang antibiotic associated diarrhea sering berhubungan dengan Clostridium difficile associated diarrhea (CDAD) namun hanya sekitar 10% - 20% kasus yang ditemukan positif terhadap toksin dari Clostridium difficile.

2.5. Patofisiologi Patofisiologinya belum dapat dipahami seluruhnya, namun secara umum mekanisme terjadinya AAD adalah perubahan pada flora normal pada usus. Perubahan komposisi dari flora normal diusus secara substansial mengurangi konsentrasi kuman anaerob dan sebagai akibatnya metabolisme karbohidrat menyebabkan terganggunya pencernaan dan mengakibatkan penurunan dari penyerapan rantai asam lemak pendek yang menghasilkan diare osmotic (Bartlett, 2002; Doron et al., 2008)Selain itu, antibiotik mempunyai banyak peran dalam patogenesis Antibiotic-associated diarrhea, terlepas dari tugas dan fungsinya sebagai antimikroba. Khususnya eritromisin berperan sebagai agonis reseptor motilin yang mempercepat laju motilitas gastrointestinal yang menyebabkan mual dan muntah; klavulanat berperan untuk merangsang motilitas usus kecil. Antibiotik lain juga dapat meningkatkan kontraksi usus, mempercepat laju makanan dalam usus halus sehingga berperan terhadap diare. (Isaulauri, 2003). Untuk dapat mengerti berbagai macam mekanisme yang dapat menyebabkan antibiotic-associated diarrhea maka dibagi menjadi 3 yaitu :

1. Sumber Infeksi dari Antibitoc-associated diarrhea (AAD)a). Clostridium difficilePada usus yang normal pada umumnya flora normal menekan pertumbuhan dari C.difficile. Antimikroba, terutama sefalosporin , amino-penisilin dan klindamisin diduga membuat usus menjadi mudah terinfeksi karena perubahan dari flora normal dan asam amino pada saluran perncernaan. Antibiotik tersebut mengurangi sekresi ion kolonik dan mengurangi fungsi motorik dari otot saluran pencernaan dimana hal ini semakin mendukung pertumbuhan C.difficile yang berlebihan pada saluran pencernaan.Strain difficile yang patogenik memproduksi enterotoksin (toksin A) dan sitotoksin (toksin B) dimana menyebabkan kerusakan pada mukosa dan inflamasi pada kolon. Pada penelitian secara invitro terhadap epitel dari kolon ditemukan toksin B lebih poten dari toksin A. Namun, kedua toksin ini sama sama mempunyai andil dalam menyebabkan Clostridium difficile-associated diarrhea (CDAD). Toksin langsung merusak sel kolon dengan mengubah filamen filamen aktin dari sel kolon dan melepas sitokin dari epitelium, monosit, makrofag dan sel neuroimun dari lamina propiayang juga berperan menghasilkan toksin mediated inflammation dan merusak mukosa kolon.Gejala klinis dari CDAD mulai dari infeksi yang asimptomatik, diare tanpa colitis, non-PCM dengan atau tanpa diare, antibiotic-associated pseudomembranous (PMC) sampai colitis fulminan. C.difficile menyebabkan AAD sekitar 10% 20%. Pada neonatus dan bayi sekitar 2% 65%, namun asimptomatik.

b). Clostridium perfringens Bariello et al. melaporkan sebelas pasien dengan Antibiotic-associated diarrhea oleh Clostridium perfringen dan enterotoksin dapat dideteksi. Sepuluh dari sebelas pasien mendapatkan terapi antibiotik selama tiga minggu sebelum terjadi diare. C.perfringen yang ditemukan pada pasien ini umumnya serotipenya bebebeda dari serotipe yang umumnya ditemukan pada kasus keracunan makanan, tiga pasien dengan C.perfringen menunjukkan gejala seperti diare berdarah dan nyeri perut dan empat diantaranya menjalani pemeriksaan kolonoskopi namun tidak ditemukan tanda tanda dari Psudomembran Colitis (PMC). Kasus ini dapat sembuh sendiri, menurut cara hidupnya C.perfringen banyak tersebar di lingkungan rumah sakit. Nosokomial, infeksi pada saluran cerna yang bukan disebabkan oleh keracunan makanan biasanya terjadi pada pasien yang lanjut usia setelah mendapatkan terapi antibiotik.,namun pasien dengan infeksi nosokomial yang disebabkan oleh C.perfringen tanpa riwayat terapi antibiotik juga pernah dilaporkan.

c). Staphylococcus aureusPada tahun 1950-1960 Staphylococcus aureus diduga sebagai penyebab antibiotic-associated pseudmembranous colitis, beberapa laporan juga menunjukan Staphylococcus aureus dapat menyebabkan AAD. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) ditemukan pada sepuluh feses pasien dengan diare dimana mempunyai riwayat penggunaan antibiotik sebelumnya. Satu pasien meninggal dengan infeksi MRSA pada umumnya dan sembilan pasien mendapatkan terpai antistafilokokus yaitu basitrasin atau vankomisin, delapan pasien didapatkan fesesnya bebas dari infeksi MRSA setelah mendapatkan terapi. Lima pasien sembuh dengan diare sembuh setelah empat hari pengobatan. S.aureus sebagai penyebab enterokolitis masih diperdebatkan namun ada laporan bahwa S.aureus dapat menyebabkan enterokolitis meskipun jarang.

d). Acute Segmental Hemorrhagic Penicillin-Associated ColitisAcute Segmental Hemorrhagic Penicillin-Associated Colitis (ASHPAC) adalah komplikasi yang jarang dari pengobatan antibiotik oral seperti penisilin atau turunan penisilin pada tahun 1978. Gejala yang khas adalah diare berdarah dan nyeri perut yang hebat setelah empat hari terapi penisilin oral. Pada kolonoskopik ditemukan perdarahan pada submukosa, edem diseluruh mukosa dan pada beberapa kasus terdapat erosi atau ulserasi pada kolon namun tidak terdapat pseudomembran. Penisilin harus segera dihentikan.Alergi pada mukosa usus atau hipersensitivitas pada mukosa kolon diduga merupakan penyebab dan masih menjadi hipotesa. Tapi pada penelitian terbaru menunjukkan Klebsiella oxytoca dan sitotoksinnya juga dapat menjadi penyebab. Semua strain K.oxytoca sudah resisten terhadap ampisilin. Pada fase akut ditemukan colitis hemmorhagic, peningkatan jumlah K.oxytoca yang berlebihan (107 cfu/gram feses), peningkatan ini dipicu oleh penisilin. Klebsiela menginduksi akumulasi cairan pada kolon dan akumulasi darah pada ileus pada percobaan dengan kelinci. Pada pemeriksaan histopatologi ditemukan terjadi kerusakan pada mukosa ileus namun tidak merusak flora normal didalam ileus. Kemudian setelah diberikan luminal, K.oxytoca yang terdapat didalam ileus tidak lagi merusak saluran cerna.

e). Drug-Resistant Salmonella Species Holmberg et al. melaporkan delapan belas pasien dengan diare yang disebabkan oleh multidrugs resistant Salmonella Newport (resisten terhadap ampisilin, karbenisilin dan tetrasiklin). Sumber penularan infeksi berasal dari ternak sapi yang diberi makanan dengan dosis terapi klortetrasiklin. Duabelas pasien yang mendapat terapi antibiotik (penisilin atau amoksisilin) 24 - 48 jam sebelum gejala. Pasien pasien tersebut asimptomatik terhadap drug resistant S. Newport sebelum mendapat antibiotik dan antibiotik tersebut menyebabkan drug resistant Salmonella species. Namun kasus drug resistant Salmonella species ini sangat jarang terjadi.

f). Candida SpeciesPertumbuhan yang berlebihan dengan jumlah Candida pada feses 105cfu/ml didemontrasikan pada 7 dari 24 pasien (29%) dengan C difficile negatif. Candida albicans ditemukan pada 6 feses pasien dan 1 feses pasien dengan Candida tropicalis. Setelah pemberhentian terapi antibiotik, jumlah Candida.sp menjadi 3 kali sehari, diare osmotik atau berdarah, nyeri perut, dehidrasi, tinja mengandung leukosit, leukositosis, hipoalbumin dan demam memerlukan penegakan diagnosis kerja yang cepat (figure 2). Tissue culture untuk toksin B dari C. difficile masih menjadi gold standard untuk mendiagnosis Clostridium difficile Associated Diarrhea (CDAD), tissue kultur mempunyai nilai sensitifitas yang tinggi. Pemeriksaan penunjang toksin A dan toksin B pada EIA lebih cepat dibanding dengan tissue culture assay. Sensitifitas dari EIA berbeda ditiap lab namun secara umum baik untuk di pakai. Kultur tinja kurang dapat dipakai untuk menegakkan diagnosis CDAD karena hasilnya kurang memuaskan, kemungkinan untuk positif palsu sangat mungkin terjadi karena kesalahan dari pengambilan sampel sampai pada pemeriksaan dan C. difficile juga dapat menjadi non toksigenik.Tes aglutinasi, dapat mendeteksi toksin A, mendeteksi glutamat dehidrogenase dan reaksi silang dari protein non toksin dari strain C. difficile dan dari Clostridia non patogenik. Dibandingkan dengan EIA, tes aglutinasi tidak spesifik namun sensitif. Hasil positif harus dikonfirmasi dengan tes yang lain karena dari kedua tes itu, ketika diperiksa masing masing mempunyai nilai yang cukup sensitif dan spesifik untuk mendiagnosis Clostridium difficile associated diarrhea. Kombinasi dari kedua tes tersebut perlu dipertimbangkan. Dibeberapa lab biasanya dilakukan rapid test (EIA atau tes latex) ditambah dengan pemeriksaan spesifik yang kedua untuk memperlihatkan toksin atau bakterinya( tissue culture test atau kultur untuk kuman C.difficile). Spesimen tinja harus segera diperiksa atau disimpan dalam tempat penyimpanan yang dingin setelah diambil karena toksin akan inaktif dengan cepat oleh enzim yang berada dalam feses. Pembekuan akan menurunkan titer dari toksin.Umur pasien dengan diare berat dan mempunyai resiko untuk infeksi Candida associated diarrhea, kuantitas yang harus dipenuhi Candida pada tinja untuk mendiagnosa Candida associated diarrhea yaitu 105 cfu/ml dan harus ada sel miselial di tinja tersebut. Bila tidak ditemukan toksin C.difficile dan Candida sp. pada pasien dengan gejala yang berat maka perlu dipertimbangkan kuman yang lain seperti Staphylococcus aureus, Clostridium perfringen, Klebsiela, Salmonella, atau kuman patogen lain pada saluran pencernaan, meskipun hal ini sangat jarang tetapi harus tetap dipikirkan.(figure 2). Kolonoskopi dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan antibiotic associated diarrhea yang bukan karena C.difficile toksin yang sangat berat. Kolonoskopi dapat mendeteksi perubahan tipikal dari pseudomembran kolitis, segmental hemorrhagic colitis. PH tinja < 5,5 pada gangguan metabolisme karbohidrat yang menginduksi diare, supresi yang dilakukan antibiotik pada bakteri yang memetabolisme karbohidrat menyebabkan karbohidrat menyebabkan PH tinja menjadi asam.

2.8 PencegahanAntibiotic associated diarrhea dapat dicegah dengan penggunaan antibiotik secara rasional. Risiko dari diare yang disebabkan karena terganggunya metabolisme karbohidrat dapat dikurangi dengan tidak mengonsumsi karbohidrat yang mempunyai daya serap rendah seperti sorbitol, fruktosa dan tinggi serat seperti pektin dan guar gum. Fruktosa dan sorbitol ada didalam buah dan sering digunakan sebagai pemanis pada minuman soda, permen dan permen karet. Serat tinggi biasanya pada sayuran, wortel dan kembang kol dan kacang polong. Produk susu juga dilarang untuk pasien dengan malabsorbsi laktosa seperti pada ras keturunan Afrika, Asia dan Mediterania. Makanan yang diberikan melalui selang (tube feeding) juga ikut meningkatkan risiko terhadap antibiotic associated diarrhea karena mengandung nilai karbohidrat yang tinggi.Probiotik sudah teruji mencegah antibiotic associated diarrhea dan biayanya murah, contohnya S. Boulardii mengurangi risiko AAD namun tidak mengurangi risiko Clostridium difficile associated diarrhea.

2.9. TatalaksanaMengganti antibiotik yang menyebabkan antibiotic associated diarrhea dengan antibiotik yang lain sesuai dengan indikasi, grup risiko tinggi yang menginduksi antibiotic associated diarrhea seperti kuinolon, sulfonamid, aminoglikosida yang parenteral, kotrimoksasol, metronidazole atau tetrasiklin. Kasus besar pada C.difficile associated diarrhea memerlukan terapi antibiotik oral, vankomisin 125 mg empat kali sehari, metronidazole 250 mg tiga kali sehari, basitrasin 25.000 unit empat kali sehari, teicoplanin 200 mg perhari dosis, fusidic acid 500 mg satu kali sehari dapat digunakan selama tujuh sampai empat belas hari.Vankomisin di indikasikan untuk kasus yang resisten terhadap kuman enterokokus dan stafilokokus, dua puluh kali lebih mahal daripada metronidazole dan biasanya dipakai sebagai pilihan terakhir pada kasus C.difficile associated diarrhea. Metronidazole adalah first line untuk infeksi C.difficile, metronidazole, vankomisin, teicoplanin, fusidic acid dan basitrasin punya keuntungan yang sama dalam terapi. Teicoplanin adalah yang paling sedikit dilaporkan terjadi diare yang berulang namun obat ini sangat mahal untuk dijadikan first line.Pada beberapa penelitian, 7% kambuh dengan penggunaan teicoplanin, 16 % dengan metronidazole, 16 % dengan vankomisin, 28 % dengan fusidic acid. kekambuhan dapat diobati dengan obat yang sama lagi atau diganti dengan antibiotik yang lain. S Boulardii juga efektif untuk terapi tambahan dalam mengatsai kasus yang baru terjadi atau kambuh. Antibiotik juga dapat diikuti dengan pemberian Lactobacillus 1- 2 gram perhari selama empat minggu. Jika diare berhenti setelah pemberian antibiotik maka perlu dicurigai bahwa antibiotik tersebut yang menginduksi terjadinya diare. Pasien Clostridium difficile associated diarrhea harus diisolasi karena tinjanya sangat menular, selama perawatan di rumah sakit, pasien tersebut harus mempunyai satu WC selama dirawat dan petugas yang kontak wajib untuk menggunakan sarung tangan dan mencuci tangan setelahnya.Pertumbuhan Candida sp. yang berlebihan dapat diobati dengan nistatin 250.000 unit 1.000.000 unit oral tiga sampai empat kali sehari dan baru dapat memberi respon setelah tiga sampai tujuh hari kemudian. Pasien dengan diare sedang yang bukan disebabkan oleh C.difficile tidak membutuhkan pengobatan dan penangan yang spesifik. Pada umumnya pada anak atau dewasa hanya perlu penggantian cairan dan elektrolit sesuai dengan yang dibutuhkan saat terjadinya diare. Tidak disarankan untuk mengonsumsi makanan tinggi serat. Pada beberapa penelitian Bifidobacterium longum dapat mengurangi erythromycin induced diarrhea. Lactobacillus juga mengurangi ampicillin induced diarrhea.

2.10. KomplikasiDiare karena antibiotik yang ringan cenderung tidak menimbulkan masalah (Thielman, 2004). Tetapi kolitis pseudomembranosa dapat mengakibatkan komplikasi yang berbahaya, termasuk :a. Perforasi ususHasil dari kerusakan pada lapisan usus besar, risiko terbesar dari perforasi usus adalah bakteri dari usus yang selanjutnya akan menginfeksi rongga perut (peritonitis)b. Toksik MegakolonDalam hal ini usus besar tidak mampu untuk mengeluarkan gas dan tinja, sehingga menjadi sangat membesar atau membuncit (megakolon). Tanda dan gejala toksik megakolon adalah sakit perut hebat dan perut tampak membuncit, demam dan pasien tampak lemah. Jika tidak segera mendapatkan penanganan akan menyebabkan kematian.

c. DehidrasiDiare berat dapat mengakibatkan hilangnya cairan dan elektrolit, dehidrasi berat dapat mengakibatkan syok bahkan kematian. Tanda dan gejala dehidrasi adalah mulut sangat kering, rasa haus yang berlebihan, buang air kecil yang sedikit atau tidak sama sekali dan bisa sampai gelisah dan kesadaran menurun.

2.11. PrognosisDengan meningkatnya kesadaran penggunaan antibiotik secara rasional dapat menurunkan kejadian antibiotic assocated diarrhea. Dengan penggantian cairan yang adekuat dan perawatan yang mendukung juga terapi yang tepat dapat menurunkan tingkat mortilitas (Soewondo, 2002)

BAB III KESIMPULANDiare adalah adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja lebih banyak dari biasanya, lebih dari 200 gram atau 200 ml/24 jam dengan frekuensi, yaitu buang air besar encer lebih dari 3 kali per hari, dapat atau tanpa disertai dengan lendir dan darah. Penyakit ini paling sering dijumpai pada anak balita, terutama pada 3 tahun pertama kehidupan, dimana seorang anak bisa mengalami 1-3 episode diare berat. Antibiotic Associated Diarrhea (AAD) adalah diare yang terjadi selama atau setelah pemberian antibiotik, penyebab lain tidak bisa ditemukan. Dimana antibiotik mengganggu keseimbangan flora normal di dalam saluran pencernaan, sehingga menyebabkan bakteri dapat tumbuh secara berlebihan dan menyebabkan diare. Bakteri penyebab antibiotic associated diarrhea adalah Clostridium difficile akibat perubahan keseimbangan mikroflora usus yang memicu strain bakteri yang resisten.Sehingga pemberian antibiotik jarang diindikasikan pada diare ini, karena dapat sembuh dengan cara mengganti terapi antibiotik yang sedang dijalani atau menghentikan antibiotik yang dicurigai mempunyai risiko tinggi menginduksi diare. Pemberian antibiotik diindikasikan kepada pasien dengan tanda dan gejala seperti diare berdarah, demam, leukosit pada feses. Terapi antibiotik spesifik diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman agar angka kejadian diare berkurang terutama akibat penggunaan antibiotik.

DAFTAR PUSTAKA1. Sari Pediatri Vol.15, No.6, April 2014.2. Barrlet JG. Antibiotic- associated diarrhea.3. http://www.depkes.go.id/download/SK1216-01.pdf6. http://www.bmj.com 7. Clinical Infectious Diseases 1998;27:70210 8. Journal of Pharmacy Practice 26(5) 476-4829. Departemen Farmakologi Dan Teraupetik FKUI, 2007, Farmakologi dan Terapi, Edisi Kelima, FKUI, Jakarta.10. WHO, Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit.

Kepaniteraan Ilmu Kesehatan AnakRumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso18Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara-JakartaPeriode 18 Mei 25 Juli 2015


Recommended