15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum tentang Asuransi
1. Pengertian Asuransi
Istilah asuransi berasal dari bahasa Belanda ”Verzekering atau
Assurantie”. Oleh R Sukardono diterjemahkan dengan pertanggungan,
dalam bahasa Inggris disebut ”Insurance”. Istilah asuransi dan
pertanggungan mempunyai persamaan pengertian, istilah pertanggungan
ini umum dipakai dalam literatur hukum dan kurikulum perguruan tinggi
hukum di Indonesia, sedangkan istilah asuransi banyak dipakai dalam
praktik dunia usaha.
Perasuransian adalah istilah hukum (legal term) yang dipakai
dalam perundang- undangan dan perusahaan perasuransian.Istilah
perasuransian berasal dari kata “asuransi” diberi imbuhan per-an, maka
muncullah istilah hukum “perasuransian” yang berarti segala usaha yang
berkenaan dengan asuransi. Usaha yang berkenaan dengan asuransi ada 2
(dua) jenis, yaitu
13 :
a. Asuransi dibidang kegiatan asuransi disebut usaha asuransi
(insurance business). Perusahaan yang menjalankan usaha
asuransi disebut Perusahaan Asuransi (insurance company).
13 Abdulkadir Muhammad, Hukum Asuransi Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,
2006, hlm 5.
16
b. Usaha dibidang kegiatan penunjang usaha asuransi disebut
usaha penunjang usaha asuransi. Perusahaan yang menjalankan
usaha penunjang usaha asuransi disebut Perusahaan Penunjang
Asuransi.
Menurut ketentuan Pasal 246 Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang (KUHD) pertanggungan atau asuransi adalah suatu perjanjian
dengan mana seseorang penanggung mengikatkan diri kepada seorang
tertanggung, dengan menerima suatu premi, untuk memberikan suatu
penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, yang mungkin akan dideritanya
karena suatu peristiwa yang tak tertentu. Menurut Abdulkadir
Muhammad14, berdasarkan definisi tersebut dapat di uraikan unsur-unsur
asuransi atau pertanggungan sebagai berikut:
1) Unsur pihak-pihak Subjek asuransi adalah pihak-pihak dalam
asuransi, yaitu penanggung dan tertanggung yang mengadakan
perjanjian asuransi. Penanggung dan tertanggung memiliki hak dan
kewajiban.Penanggung wajib memikul risiko yang dialihkan
kepadanya dan berhak memperoleh pembayaran premi. Sedangkan
tertanggung wajib membayar premi dan berhak memperoleh
perlindungan dan ganti rugi atas harta miliknya.
2) Unsur status Penanggung harus berstatus sebagai perusahaan badan
hukum, dapat berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perusahaan
14 Abdulkadir Muhammad, Ibid, hlm. 8
17
Perseroan (Persero) atau Koprasi. Tertanggung berstatus sebagai
perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang sebagai pemilik
atau pihak berkepentingan atas harta benda yang diasuransikan.
3) Unsur objek Objek asuransi dapat berupa benda, hak atau
kepentingan yang melekat pada benda dan sejumlah uang yang
disebut sebagai premi.
4) Unsur peristiwa Peristiwa asuransi adalah perbuatan hukum berupa
persetujuan atau kesepakatan bebas antara penanggung dan
tertanggung mengenai objek asuransi, peristiwa tidak pasti
(evenemen) yang mengancam benda asuransi dan syarat-syarat yang
berlaku dalam asuransi.
5) Unsur hubungan asuransi Hubungan asuransi yang terjadi antara
penanggung dan tertanggung adalah keterikatan (legally bound) yang
timbul karena persetujuan atau kesepakatan bebas. Keterikatan
tersebut berupa kesediaan secara sukarela dari penanggung dan
tertanggung untuk memenuhi kewajiban dan hak masing-masing
terhadap satu sama lain, yang artinya sejak tercapainya kesepakatan
asuransi tertanggung terikat dan wajib membayar premi asuransi
kepada penanggung dan sejak itu pula penanggung menerima
pengalihan risiko.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian (UUUP)
“asuransi atau pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak
atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri
18
kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk
memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian,
kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau
tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan
di derita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang
tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang
didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang
dipertanggungkan”.
Dari pengertian di atas, di dalam bukunya Djoko Prakoso dan I
Ketut Murtika,15 Emmy Pangaribuan berpendapat sebagai berikut:
“Pertanggungan adalah suatu perjanjian dimana penanggung
dengan menikmati suatu premi mengikatkan dirinya terhadap
tertanggung untuk membebaskan diri dari kerugian karena
kehilangan, kerugian atau ketiadaan keuntungan yang
diharapkan yang akan dapat diderita olehnya karena suatu
kejadian yang belum pasti”.
Asuransi ialah suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-
kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai pengganti (substitusi)
kerugian-kerugian yang belum pasti.16
Asuransi adalah upaya yang dapat dimanfaatkan untuk
mengatasi kemungkinan timbul kerugian akibat terjadi peristiwa yang
tidak pasti dan tidak diinginkan. Melalui perjanjian asuransi
kemungkinan peristiwa yang menimbulkan kerugian yang mengancam
kepentingan tertanggung itu dialihkan kepada Perusahaan Asuransi
selaku penanggung dan sebagai imbalannya tertanggung bersedia untuk
membayar sejumlah premi yang telah disepakati. Dalam hal ini,
tertanggung yang berkepentingan akan merasa aman dari ancaman
15Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Hukum Asuransi Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta,
1992, hlm. 22 16 H. Abbas Salim, Asuransi dan Managemen Resiko, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,
1998, hlm. 1
19
kerugian, sebab jika kerugian itu betul-betul terjadi penanggunglah yang
akan menggantinya.17
Pengertian asuransi menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2014 Tentang Perasuransian yang berbunyi :
“Asuransi adalah perjanjian antara 2 pihak, yaitu perusahaan
asuransi dan pemegang polis yang menjadi dasar bagi penerimaan
premi oleh perusahaan asuransi sebagai imbalan untuk :
a. Memberikan pergantian kepada tertanggung atau pemegang
polis karena kerugian, kerusakan, biaya yang timbul,
kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada
pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau
pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak
pasti; atau
b. Memberikan pembayaran yang di dasarkan pada
meninggalnya tertanggung atau pembayaran yang
didasarakan pada hidupnya tertanggung dengan manfaat yang
besarnya telah ditetapkan dan/atau di dasarkan pada hasil
pengelolaan dana
Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan NOMOR 23/POJK.05/2015
Tingkat Premi atau Kontribusi dinilai mencukupi, apabila:
1. tidak terlalu rendah sehingga sebanding dengan manfaat yang
diperjanjikan dalam Polis Asuransi yang bersangkutan;
17 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit hlm. 162
20
2. penerapan tingkat Premi atau Kontribusi secara berkelanjutan tidak
akan membahayakan tingkat solvabilitas Perusahaan; dan
3. penerapan tingkat Premi atau Kontribusi secara berkelanjutan tidak
akan merusak iklim kompetisi yang sehat.
Tingkat Premi atau Kontribusi dinilai berlebihan apabila sedemikian
tinggi sehingga sangat tidak sebanding dengan manfaat yang
diperjanjikan dalam Polis Asuransi yang bersangkutan. Penerapan tingkat
Premi atau Kontribusi dinilai bersifat diskriminatif apabila tertanggung
dengan luas penutupan yang sama serta dengan jenis dan tingkat risiko
yang sama dikenakan tingkat Premi atau Kontribusi yang berbeda.18
2. Jenis Asuransi
Asuransi pada umumnya dibagi menjadi dua bagian besar yaitu:
Asuransi Kerugian dan Asuransi Jiwa.
a. Asuransi Kerugian terdiri dari:
1) Asuransi Kebakaran;
2) Asuransi Kehilangan dan Kerusakan;
3) Asuransi laut;
4) Asuransi Pengangkutan;
5) Asuransi Kredit.
b. Asuransi Jiwa terdiri dari
1) Asuransi Kecelakaan;
18Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan NOMOR 23/POJK.05/2015 Tentang
Produk Asuransi dan Pemasaran Produk Asuransi Pasal 3huruf a
21
2) Asuransi Kesehatan;
3) Asuransi Jiwa Kredit.
Pertanggungan jiwa adalah perjanjian timbal balik diantara penutup
(pengambil) asuransi dengan penanggung, dengan mana penutup
(pengambil) asuransi mengikatkan diri selama jalannya pertanggungan
membayar uang premi kepada penanggung, sedangkan penanggung
sebagai akibat langsung meninggalnya orang yang jiwanya
dipertanggungkan atau telah lampau jangka waktu yang diperjanjikan,
mengikatkan diri untuk membayar sejumlah uang tertentu kepada orang
yang ditunjuk oleh penutup (pengambil asuransi sebagai penikmatnya)19.
Risiko kehidupan yang tidak tentu yang akan dialami oleh setiap
manusia sebagai ciptaan Tuhan adalah kematian, “Risiko pribadi berkaitan
dengan kerugian yang menimpa manusia pribadi, misalnya, karena
meninggal dunia, kecelakaan, usia tua, dan sebagainya”20.
Dalam menghindari risiko dari peristiwa terhadap jiwa seseorang,
dapat dilakukan dengan mengalihkan suatu risiko tersebut dengan suatu
pertanggungan pada perusahaan asuransi jiwa, Dessy Danarti mengatakan,
“Perusahaan asuransi jiwa adalah perusahaan yang memberikan jasa dalam
penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya
seseorang yang dipertanggungkan”21.
19 Abdulkadir Muhammad, 2002. Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung,, hlm.
195-196. 20 Man Suparman Sastrawidjaja, 2012. Aspek-Aspek Hukum Asuransi, dan Surat Berharga,
Alumni, Bandung, hlm. 6. 21 Dessy Danarti, 2011. Jurus Pintar Asuransi – Agar Anda Tenang, Aman, dan Nyaman,
Gmedia, Yogyakarta, hlm. 48.
22
Perjanjian asuransi jiwa disamping memberikan media perlindungan
juga menjadi media investasi. Apabila terjadi peristiwa (evenement)
meninggalnya tertanggung, maka penanggung wajib membayarkan uang
santunan berupa dana pertanggungan, namun apabila sampai berakhirnya
jangka waktu asuransi tidak terjadi suatu evenement atau peristiwa
meninggalnya tertanggung, maka penanggung wajib membayarkan
sejumlah uang pengembalian kepada tertanggung22.
Asuransi jiwa berakhir bukan berakhir pada saat tertanggung
meninggal dunia, melainkan setelah penanggung membayarkan uang
santunan kepada penerima manfaat/ahli waris. Pasal 1234 Kitab Undang-
undang Hukum Perdata menentukan, “tiap-tiap perikatan adalah untuk
memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu”. Dalam konteks perjanjian asuransi, subjeknya adalah perjanjian
untuk berbuat sesuatu. “Bagi penanggung yaitu janji penanggung untuk
memberikan penggantian atas kerugian atau kehilangan atau tanggung
jawab yang timbul atau manfaat asuransi yang sah”. Asuransi jiwa
berakhir sejak penanggung melunasi uang santunan sebagai akibat dari
meninggalnya tertanggung. “Dengan kata lain, asuransi jiwa berakhir sejak
terjadinya evenement yang diikuti dengan pelunasan klaim”23.
Pada masa asuransi jiwa berakhir tanpa terjadi evenemen, pemegang
polis atau tertunjuk berhak mendapatkan pengembalian sejumlah uang
tertentu dari penanggung sesuai dengan perjanjian dalam polis. Ketentuan
22 Abdulkadir Muhammad, Op Cit, hlm. 198 23 Abdulkadir Muhammad, Loc.Cit.
23
tersebut diatur dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b UU No. 40 Tahun 2014 yang
menyatakan: “……memberikan pembayaran yang didasarkan pada
hidupnya tertanggung dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan
atau didasarkan atass hasil pengelolaan dana”.
Kewajiban-kewajiban dari pemegang polis atau pengambil asuransi
antara lain24:
1) Kewajiban membayar premi kepada penanggung. Ketentuan
mengenai kewajiban membayar premi bagi pemegang polis
asuransi kepada penanggunng diatur dalam Pasal 246 KUHD
dan Pasal 1 ayat (1) UU Perasuransian. Premi merupakan
kewajiban pemegang polis untuk membayarnya kepada
penanggung sebagai kontra prestasi dari ganti kerugian atau
uang santunan yang akan penanggung berikan padanya, premi
merupakan syarat esensial dalam perjanjian asuransi.
2) Kewajiban untuk memberikan keterangan-keterangan yang
diperlukan oleh penanggung dengan itikad baik. Adanya
ketentuan yang mewajibkan kepada pemegang polis supaya
memberitahukan tentang keadaan objek yang akan
diasuransikannya dengan dilandasi iktikad baik.
24 Man Suparman Sastrawidjaja, Aspek-aspek Hukum Asuransi dan Surat Berharga, Cet. 2,
Alumni, Bandung, 2003, hlm. 32
24
3. Dasar Hukum Asuransi
Adapun dasar hukum asuransi adalah sebagai berikut :
a. Kitab Undang-Undang KUHPerdata diantaranya Pasal 1138, 1320
b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Pasal 246, 255, 256, 257,
258
c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha
Perasuransian
d. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2014 Tentang Perasuransian
e. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan NOMOR 23/POJK.05/2015
Undang-Undang yang mengatur tentang asuransi yang pailit :
Dalam lampiran Undang-Undang No.4 tahun 1998 pasal 1 ayat (1)
mendefinisikan agak berbeda dalam ketentuan yang baru yang artinya
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih debitur dan tidak membayar
sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan
pailit dengan putusan pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud
dalam pasal (2) baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan
seorang atau lebih krediturnya. Pengertian mengenai kepailitan ini banyak
ditafsirkan dari berbagai perspektif namun pengertian itu tidak lepas dari
esensi yang mengartikan bahwa seperti apa yang sudah tercantum dalam
Undang-Undang Kepailitan No 37 tahun 2004 adalah:sita umum atas
semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya
dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas
sebagaimana diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 ayat (1).
25
Sumber hukum kepailitan maupun dasar hukum kepailitan bukan
tentang diaturnya hukum kepailitan, tetapi dasar mengapa dapat dilakukan
penyitaan terhadap harta benda atau harta kekayaan Debitor pailit, Adapun
yang dimaksud dengan dasar atau sumber yang mendasari dari hukum
kepailitan di Indonesia antara lain mengacu pada:
1) Pasal 1131 KUH perdata yang berbunyi: Segala kebendaan si
berutang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang akan ada di kemudian hari, menjadi
tanggungan untuk segala perikatan perseorangan”. Dari ketentuan
tersebut dapat diketahui bahwa debitor bertanggung jawab terhadap
utang-utangnya, tanggung jawab tersebut di jamin dengan harta yang
ada dan yang akan ada di kemudian hari, baik harta ynag bergerak
maupun harta ynag tidak bergerak. Ketentuan ini merupakn tanggung
jawab atas utang debitor. Asas ini untuk melindungi kreditor, supaya
seimbang dengan hak yang sudah diberikan kepada debitor.
2) Pasal 1132 KUH Perdata yang berbunyi
Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-ssama bagi semua
orang yang mengutangkan padanya; pendapatan penjualan benda-
benda itu di bagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar
kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila di antara para
berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk di dahulukan. Pasal di
atas meerupakan alasan untuk menentukan beberapa hal dalam
hubungan dengan utang piutang yaitu:
26
a) Jaminan kebendaan berlaku bagi semua kreditor;
b) Apabila debitor tidak melaksanakan kewajibannya kebendaan
tersebut akan di jual.
c) Hasil penjualan di bagikan kepada kreditor berdasarkan besar
kecilnya piutang (Asas keseimbangan atau pondspondsgewijs);
d) Terdapat kreditor yang didahulukan dalam memperoleh
bagiannya (Kreditor Preferent dan Kreditor separatis)
3) Het Herziene Indonesche Reglement (HIR)
4) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan
penundaan kewajiban pembayaran.
4. Polis Asuransi
Dalam uraian bab terdahulu telah dikemukakan Pasal 255
KUHDagang menyebutkah bahwa suatu perjanjian asuransi harus dibuat
secara tertulis dalam suatu akta yang dinamakan polis. Kesimpulan
minimal dari pasal tersebut adalah bahwa polis merupakan syarat mutlak
pada perjanjian asuransi. Akan tetapi kesimpulan tersebut belum
maksimal setelah dilakukan penafsiran secara sistematis dengan
memperhatikan Pasal 257 dan Pasal 258 KUHDagang, sebagaimana telah
diutarakan pada bab di muka, Berdasarkan kedua pasal dimaksud
diperoleh kesimpulan maksimal bahwa polis dalam perjanjian asuransi
tidak merupakan syarat mutlak, tetapi hanya merupakan alat bukti saja.
Meskipun demikian sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang
27
tersimpul dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata diperkenankan saja
apabila para pihak memperjanjikan bahwa perjanjian asuransi baru
berlangsung setelah polis selesai atau setelah diserahkan kepada
tertanggung. Dalam hal yang demikian berarti polis dijadikan sebagai
syarat mutlak pada perjanjian asuransi yang bersangkutan. 25
a. Fungsi Polis
Memuat kesepakatan, syarat-syarat khusus dan janji-janji
khusus yang menjadi dasar pemenuhan hak dan kewajiban para
pihak (penanggung dan tertanggung) dalam mencapai tujuan
asuransi. Dengan demikian, polis merupakan alat bukti tertulis
tentang telah terjadinya perjanjian asuransi antara tertanggung dan
penanggung.
Mengingat fungsinya sebagai alat bukti tertulis maka para
pihak (khususnya Tertanggung) wajib memperhatikan kejelasan isi
polis dimana sebaiknya tidak mengandung kata-kata atau kalimat
yang memungkinkan perbedaan interpretasi sehingga dapat
menimbulkan perselisihan (dispute).
b. Isi Polis
Menurut ketentuan pasal 256 KUHD, setiap polis kecuali
mengenai asuransi jiwa harus memuat syarat-syarat khusus berikut
ini:
25Dr. Man Suparman Sastrawidjaja, S.H., S.U & Endang S.H, 1997, Hukum Asuransi
Perlindungan Tertanggung Asuransi Deposito Usaha Perasuranisan, Bandung,Penerbit Alumni.,
hlm. 144.
28
1) Hari dan tanggal pembuatan perjanjian asuransi;
2) Nama tertanggung, untuk diri sendiri atau pihak ketiga;
3) Uraian yang jelas mengenai benda yang diasuransikan;
4) Jumlah yang diasuransikan (nilai pertanggungan);
5) Bahaya-bahaya/ evenemen yang ditanggung oleh penanggung;
6) Saat bahaya mulai berjalan dan berakhir yang menjadi
tanggungan penanggung;
7) Premi asuransi;
8) Umumnya semua keadaan yang perlu diketahui oleh
penanggung dan segala janji-janji khusus yang diadakan antara
para pihak, antara lain mencantumkan BANKER’S CLAUSE,
jika terjadi peristiwa (evenemen) yang menimbulkan kerugian
penanggung dapat berhadapan dengan siapa pemilik atau
pemegang hak.
Untuk jenis asuransi kebakaran Pasal 287 KUHD menentukan
bahwa di dalam polisnya harus pula menyebutkan:
1. Letak barang tetap serta batas-batasnya;
2. Pemakaiannya;
3. Sifat dan pemakaian gedung-gedung yang berbatasan, sepanjang
berpengaruh terhadap obyek pertanggungan;
4. Harga barang-barang yang dipertanggungkan;
29
5. Letak dan pembatasan gedung-gedung dan tempat-tempat
dimana barang-barang bergerak yang dipertanggungkan itu
berada.
4. Batalnya Asuransi
Suatu pertanggungan atau asuransi karena pada hakekatnya
adalah merupakan suatu perjanjian maka ia dapat pula diancam dengan
resiko batal atau dapat dibatalkan apabila tidak memenuhi syarat syahnya
perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
Selain itu KUHD mengatur tentang ancaman batal apabila dalam
perjanjian asuransi:
1. Memuat keterangan yang keliru atau tidak benar atau bila
tertanggung tidak memberitahukan hal-hal yang diketahuinya
sehingga apabila hal itu disampaikan kepada penanggung akan
berakibat tidak ditutupnya perjanjian asuransi tersebut (Pasal 251
KUHD);
2. Memuat suatu kerugian yang sudah ada sebelum perjanjian asuransi
ditandatangani (Pasal 269 KUHD);
3. memuat ketentuan bahwa tertanggung dengan pemberitahuan
melalui pengadilan membebaskan si penanggung dari segala
kewajibannya yang akan datang (Pasal 272 KUHD);
4. Terdapat suatu akalan cerdik, penipuan, atau kecurangan si
tertanggung (Pasal 282 KUHD);
30
5. Apabila obyek pertanggungan menurut peraturan perundang-
undangan tidak boleh diperdagangkan dan atas sebuah kapal baik
kapal Indonesia atau kapal asing yang digunakan untuk mengangkut
obyek pertanggungan menurut peraturan perundang-undangan tidak
boleh diperdagangkan (Pasal 599 KUHD).
Terhadap pelanggaran ketentuan yang dilakukan Penanggung dan
Tetanggung dapat dikenakan sanksi berupa: Sanksi Administratif,
(berlaku hanya untuk perusahaan perasuransian, bukan pada
tertanggung); dan Sanksi Pidana.
Setiap Perusahaan Perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan
dalam Peraturan Pemerintah No.73 tahun 1992 tertanggal 30 Oktober
1992 tentang Penyelenggaraan Usaha Perasuransian (“PP No.73/1992”)
serta peraturan pelaksanaannya yang berkenaan dengan:
1. Perizinan usaha;
2. Kesehatan keuangan;
3. Penyelenggaraan usaha;
4. Penyampaian laporan;
5. Pengumuman neraca dan perhitungan laba rugi atau tentang
pemeriksaan langsung;
dikenakan sanksi peringatan, sanksi pembatasan kegiatan usaha dan
sanksi pencabutan izin usaha (Pasal 37 PP No.73/1992).
Tanpa mengurangi ketentuan Pasal 37, maka terhadap:
31
1. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi yang tidak
menyampaikan laporan keuangan tahunan dan laporan operasional
tahunan dan atau tidak mengumumkan neraca dan perhitungan laba
rugi, sesuai dengan jangka waktu yang ditetapkan, dikenakan
denda administratif Rp. 1.000.000 (satu juta Rupiah) untuk setiap
hari keterlambatan;
2. Perusahaan Pialang Asuransi atau Perusahaan Pialang Reasuransi
yang tidak menyampaikan laporan operasional tahunan sesuai
dengan jangka waktu yang ditetapkan dikenakan denda
administratif Rp. 500.000 (lima ratus ribu Rupiah) untuk setiap
hari keterlambatan (Pasal 38 PP No.73/1992).26
B. Tinjauan Umum tentang Kepailitan
1. Pengertian Kepailitan
Pengertian atau definisi kepailitan yang terdapat dalam Pasal 1
angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UU-
KPKPU) adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor pailit yang
pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah
pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini.
26Peraturan Pemerintah No.73 tahun 1992 tertanggal 30 Oktober 1992 tentang
Penyelenggaraan Usaha Perasuransian
32
Kepailitan juga diartikan sebagai suatu proses dimana27:
1. Seorang Debitor yang mempunyai kesulitan keuangan untuk
membayar utangnya dinyatakan pailit oleh pengadilan, dalam hal
ini Pengadilan Niaga dikarenakan Debitor tersebut tidak dapat
membayar utangnya.
2. Harta Debitor dapat dibagikan kepada para Kreditor sesuai dengan
peraturan kepailitan.
Kepailitan adalah suatu kenyataan bahwa kegiatan usaha global
seperti sekarang ini tidak mungkinterisolir dari masalah-masalah lain.
Suatu perusahaan yang dinyatakan pailit pada saat ini akan mempunyai
imbas dan pengaruh buruk bukan hanya perusahaan itu saja melainkan
berakibat global. Sebagai contoh, ketika Dirut Yamaichi Securities pada
tanggal 1 Desember 1995 mengumumkan kebangkrutan perusahaannya
pada suatu konferensi pers di Tokyo, Jepang laksana diguncang bom
atom lagi. Bahkan dampaknya bersifat mengglobal. Dari kasus ini dapat
dilihat banyak yang akan jadi korban bila perusahaan itu dinyatakan
pailit.
Secara terminologi kepailitan bukanlah sesuatu hal yang baru untuk
dunia pelaku usaha, hanya saja yang menjadi problematika sering kali
kepailitan dimaknai secara umum dan tidak tepat yakni bubarnya atau
dilikuidasinya suatu badan usaha oleh kalangan umum. Bambang
Kesowo mengemukakan bahwa ada berbagai pihak salah memahami
27 Rudi A. Lontoh, et al., 2001. Penyelesaian Utang Piutang Melalui Pailit atau Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang, Bandung: Alumni, hlm. 23
33
bahwa kepailitan sama artinya dengan likuidasi dan pembubaran. Bahkan
sebagian dari masyarakat umum beranggapan kepailitan sebagai vonis
yang berbau tindakan kriminal yang merupakan suatu cacat hukum atas
subjek hukumnya28.
Menurut Hartini bahwa kata pailit berasal dari bahasa Perancis
“failite” yang berarti kemacetan pembayaran. dalam bahasa Belanda
dipergunakan istilah dan dalam hukum Anglo America, undang-
undangnya dikenal dengan Bankcruptcy29.
Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk
melakukan pembayaran-pembayaran terhadap utang-utang dari para
kreditor. Keadaan demikian pada dasarnya disebabkan oleh kesulitan
kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang mengalami
kemunduran30.
Kata pailit berasal dari bahasa perancis “failite” yang berarti
kemacetan pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah
“failliet”. Sedang dalam hukum Anglo America, undang-undangnya
dikenal dengan Bancruptcy Act. Dalam pengertian kita, merujuk aturan
lama yaitu pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepailitan atau Faillisement
Verordening S. 1905-217 jo 1906. 348 menyatakan31:
“setiap berutang (debitur) yang ada dalam keadaan berhenti
membayar, baik atas laporan sendiri maupun atas permohonan
28 Dr. M. Hadi Shubhan, 2008. Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma, dan Praktik di
Peradilan), Cet. I, Penerbit Kencana Prenada media Group, Jakart, hlm. 2 29 Rahayu Hartini, 2012, Hukum Kepailitan Cet. Ketiga, Malang; UMM Pers, hlm. 4. 30 Dr. M. Subhan, 2009. Hukum Kepailitan (Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan) Cet.
II, Penerbit Kencana Prenadamedia Group, Jakarta, hlm. 1. 31 Prof. Dr. Rahayu Hartini, 2012. Hukum Kepaitan, UMM Press , hlm 4
34
seseorang atau lebih berpiutang (kreditur), dengan putusan hakim
dinyatakan dalam keadaan pailit”.
Ini agak berbeda pengertiannya dengan ketentuan yang baru yaitu
dalam lampiran UU No. 4 Th. 1998 pasal 1 ayat (1), yang
menyebutkan32:
“Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat
ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan yang
berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik atas
permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih
krediturnya”.
Pengertian Kepailitan menurut UU Kepailitan No. 37 Tahun 2004
adalah: sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan
dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan hakim
Pengawas sebahaimana diatur dalam Undang-Undang ini (Pasal 1 ayat
(1)).
Lembaga kepailitan merupakan salah satu kebutuhan pokok di
dalam aktivitas bisnis karenaadanya status pailit merupakan salah satu
sebab pelaku bisnis keluar dari pasar. Apabila pelaku bisnis sudah tidak
mampu lagi untuk bermain di arena pasar, maka dapat keluar dari pasar.
Di dalam hal seperti inilah kemudian lembaga kepailtan itu berperan.33
Pandangan seperti itu memang secara ekonomis dapat diterima,
bila dikemas di dalam peraturan hukum maka peraturan itu secara tepat
kepentingan yang dilihat dari sudut pandang ekonomis namun hal seperti
32Ibid 33 Sudargo Gautama,1998. Komentar Atas Peraturan Kepailitan Untuk Indonesia,
Bandung:Citra Aditya Bakti,, hlm 205
35
ini jelas tidak sesuai dengan era global seperti sekarang ini. Menurut
Peter, aturan main bentuk perangkat hukum di dalam kegiatan bisnis
meliputi 3 hal yaitu:
1. Aturan hukum yang memberi landasan hukum bagi keberadaan
lembaga-lembaga yang mewadahi bisnis dalam arena pasar
(substantive legal rules).
2. Aturan hukum yang mengatur perilaku (behavior) para pelaku bisnis
dalam melaksanakan setiap transaksi bisnis,
3. Aturan hukum yang memungkinkan pelaku keluar dari pasar. Kata
pailit berasal dari bahasa Perancis “failite” berarti kemacetan
pembayaran. Dalam bahasa Belanda digunakan istilah “failite”.
Sedang dalam hukum Anglo America, undang-undangnya dikenal
dengan Bankcrupty Act. Dalam pengertian kita, merujuk aturan lama
yaitu pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepailitan Faillisement Verordening
S. 1990-217 jo 1905-348 menyatakan : “Setiap berutang (debitor)
yang ada dalam keadaan berhenti membayar, baik atas laporan
sendiri maupun atas permohonan seseorang atau lebih berpiutang
(kreditor), dengan putusan hakim dinyatakan dalam keadaan
pailit”.34
Ketentuan yang baru yaitu dalam lampiran UU No.4 Th.1998
pasal 1 ayat (1), yang menyebutkan : “Debitor yang mempunyai dua
atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah
34 Sri Rejeki Hartono, 2000. Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepaitan Modern,
Jakarta: Majalah Hukum Nasional, hlm 81
36
jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan
pengadilan yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, baik
atas permohonan sendiri, maupun atas permintaan seorang atau lebih
kreditor.35
Pernyataan pailit tersebut harus melalui proses pemeriksaan
dipengadilan setelah memenuhi pesyaratan di dalam pengajuan
permohonan. Keterbatasan pengetahuan perihal ilmu hukum khususnya
hukum kepailitan yang berasal dari hukum asing, juga istilah pailit yang
jarang sekali dikenal oleh masyarakat kalangan bawah maupun
pedesaan yang lebih akrab dengan hukum adatnya, istilah bangkrut
lebih kenal. Masyarakat desa tidak berpikir untuk memohon ke
pengadilan agar dirinya dinyatakan pailit. Para pedagang kecil jika ia
sudah tidak dapat berdagang lagi, karena modalnya habis dan ia tidak
dapat membayar utangutangnya, laluia mengatakan bahwa dirinya
sudah bangkrut. Tidak demikian halnya bagi perusahaan/pedagang
besar, pengertian istilah kebangkrutan maupun pailit telah mereka
ketahui.
Dilihat dari beberapa arti kata atau pengertian kepailitan tersebut
diatas maka esensi kepailitan secara singkat dapat dikatakan sebagai
sita umum atas harta kekayaan debitor baik yang pada waktu
pernyataan pailit maupun yang diperoleh selama kepailitan berlangsung
untuk kepentingan semua kreditor yang pada waktu kreditor dinyatakan
35 Sri Sumantri Hartono, 1981. Pengantar Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran,
Yogyakarta:Liberty,, hlm 42.
37
pailit mempunyai hutang, yang dilakukan dengan pengawasan pihak
yang berwajib.36
Pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia telah ada sejak
berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van
Koophandel) Buku III tentang Ketidakmampuan Pedagang yang hanya
berlaku bagi pedagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Perdata (Reglement op de Rechtsvordering Staatblads 1847-52 jo.
1849-63) Buku III Bab VII tentang Keadaan Nyata-Nyata Tidak
Mampu yang berlaku bagi orang-orang bukan pedagang. Dua aturan
kepailitan tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-
Undang tentang Kepailitan (Faillissements Verordening Staatblads
1905 Nomor 217 jo. Staatblads 1906 Nomor 348) yang berlaku bagi
semua orang, baik pedagang maupun bukan pedagang, baik
perseorangan maupun badan hukum.
2. Sejarah Hukum Kepailitan
Lembaga hukum Kepailitan, bukan merupakan lembaga yang baru
dalam sistem hukum Indonesia. Menurut sejarah berlakunya Peraturan
mengenai Kepailitan di Indonesia, Sri Redjeki Hartono memilahnya
menjadi 3 (tiga) masa yakni masa sebelum Faillisement Verordening
36 Khairandy, 2002. Perlindungan Dalam Undang-Undang Kepailitan, Jakarta:Jurnal
Hukum Bisnis, hlm 94.
38
berlaku, masa berlakunya Faillisements Verordening itu sendiri dan masa
berlakunya UU Kepailitan yang sekarang ini37.
a. Sebelum berlakunya Faillisements Verordening
Sebelum Faillisements Verordening berlaku, dulu Hukum
Kepailitan itu diatur dalam dua tempat yaitu dalam:
1) Wet Book Van Koophandel atau WVK buku ketiga yang
berjudul “Van de Voorzieningen in geval van Onvormogen van
kooplieden” atau peraturan tentang ketidakmampuan pedagang.
Peraturan ini adalah peraturan Kepailitan bagi pedagang.
2) Reglement op de Rechtsvoordering (RV). S. 1847-52 bsd 1849-
63, Buku ketiga bab ketujuh dengan judul “Van den staat Von
Kenneljk Onvermogen atau tentang Keadaan nyata-nyata tidak
mampu.
b. Masa Berlakunya Faillisements Verordening
Mengenai kepailitan diatur dalam Faillisements Verordening
(S.1905-271 bsd S.1906-348). Peraturan Kepailitan ini sebenarnya
hanya berlaku bagi golongan Eropa, golongan Cina dan golongan
Timur Asing (S. 1924-556). Bagi golongan Indonesia asli (pribumi)
dapat saja menggunakan Faillisements Verordening ini dengan cara
melakukan penundukan diri. Dalam masa ini untuk kepailitan
berlaku Faillisementes Verordening 1905-217 yang berlaku bagi
semua orang, baik bagi pedagang maupun bukan pedagang, baik
37 Sri Rejeki Hartono, 2012. Hukum Kepailitan, UMM Press, Malang, hlm. 8
39
perseorangan maupun badan hukum. Sejarah peraturan kepailitan di
Indonesia sejalan dengan apa yang terjadi di Belanda melalui asas
konkordansi (Pasal 131 IS), yakni dimulai dengan berlakunya “Code
de Commerce” (tahun 1811-1838) kemudian pada tahun 1893
diganti dengan Faillisementswet 1893 yang berlaku pada 1
September 1896.
c. Masa Berlakunya Undang- Undang Kepailitan Produk Hukum
Nasional
Setelah berlakunya Fv. S. 1905 No. 217 jo S. 1906 No. 348,
Republik Indonesia mampu membuat sendiri peraturan kepailitan
meskipun masih tambal sulam sifatnya, yakni sudah ada 3 (tiga)
peraturan perundangan yang merupakan produk hukum nasional
dimulai dari terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (PERPU) No. 1 tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-undang tentang Kepailitan yang kemudian ditingkatkan
menjadi Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 dan terakhir pada
tanggal 18 November 2004 disempurnakan lagi dengan Undang-
Undang No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban pembayaran Utang.
3. Dasar Hukum Kepailitan
Pengaturan mengenai kepailitan di Indonesia telah ada sejak
berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van
40
Koophandel) Buku III tentang Ketidakmampuan Pedagang yang hanya
berlaku bagi pedagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata
(Reglement op de Rechtsvordering Staatblads 1847-52 jo. 1849-63) Buku
III Bab VII tentang Keadaan Nyata-Nyata Tidak Mampu yang berlaku
bagi orang-orang bukan pedagang38.
Adapun dasar hukum bagi suatu kepailitan adalah sebagai
berikut39:
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, diantaranya Pasal 1139,
1149, 1134;
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, diantaranya Pasal 396, 397,
399, 400, 520;
c. Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
d. Undang-Undang No 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas;
e. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan;
f. Perundang-Undangan Di Bidang Pasar Modal, Perbankan, BUMN,
dan lain-lain.
4. Tujuan Hukum Kepailitan
Adapun tujuan dari hukum kepailitan itu sendiri adalah sebagai
berikut40:
38 Rahayu Hartini, 2012, Hukum Kepailitan Cet. Ketiga, Malang; UMM Pers, hlm. 8 39 Munir Fuady, 2010. Hukum Kepailitan Dalam Teori Dan Praktek, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, hlm. 10.
41
a. Melindungi para Kreditor konkuren untuk memperoleh hak mereka
sehubungan dengan berlakunya asas jaminan, bahwa semua harta
Debitor baik bergerak maupun tidak bergerak, baik yang telah ada
maupun yang baru akan ada dikemudian hari menjadi jaminan bagi
perikatan Debitor yaitu yang memberikan fasilitas dan prosedur
untuk mereka dapat memenuhi tagihan-tagihannya terhadap Debitor.
Menurut hukum indonesia asas jaminan tersebut di jamin dalam
Pasal 1131 KUH Perdata. Hukum kepailitan menghindarkan saling
rebut di antara Kreditornya terhadap harta Debitor berkenaan dengan
asas jaminan tersebut. tanpa adanya Undang-Undang kepailitan,
akan terjadi Kreditor yang lebih kuat akan mendapat bagian yang
lebih banyak dari Kreditor yang lemah.
b. Menjamin agar pembagian harta kekayaan Debitor di antara para
Kreditornya sesuai dengan asas pari passi membagi secara
proposional harta kekayaan Debitor kepada para Kreditor Konkuren
berdasarkan pertimbangan besarnya tagihan masing-masing Kreditor
tersebut. didalam hukum indonesia asas pari passu di jamin dalam
Pasal 1332 KUH Perdata.
c. Mencegah agar Debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang
dapat merugikan kepentingan para Kreditor. Dengan dinyatakan
seorang Debitor pailit, Debitor menjadi tidak lagi memiliki
kewenangan untuk mengurus dan memindah tangguhkan harta
40 Sutan Remy Sjadeini. 2009. ” Memahami Undang-Undang No.34 Tahun 2004 Tentang
Kepailitan.Cet Ke III. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. hlm. 38.
42
kekayaan yang dengan putusan pailit itu status hukum dari harta
kekayaan Debitor menjadi harta pailit.
5. Syarat-syarat Pernyataan Pailit
Untuk dapat dinyatakan pailit, seseorang debitur harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Debitur mempunyai dua atau lebih kreditur
b. Tidak membayar sedikitnya satu utang jatuh waktu dan dapat ditagih
c. Atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan seorang atau
lebih krediturnya.
Dalam UUK No. 37 Tahun 2004, ketentuan mengenai pihak yang
dapat mengajukan permohonan pailit ada 6 (enam) pihak selain ke lima
pihak yang telah disebut di atas masih ditambah satu pihak lagi yaitu
Menteri Keuangan.
Selengkapnya mengenai pihak-pihak yang dapat mengajukan
permohonan pailit ke pengadilan seperti diatur dalam pasal 2 ayat (1)-(5)
UUKepailitan No. 37 Tahun 2004 berikut ini41:
Ayat (1) : Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak
membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan
dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan
baik atas permohonannya sendiri maupun atas permintaan
seorang atau lebih krediturnya.
41 Rahayu Hartini, Op Cit, hal 31
43
Ayat (2) : Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat juga
diajukan oleh kejaksaan untuk kepentingan umum.
Ayat (3) : Dalam hal debitur adalah baank, permohonan pernyataan
pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.
Ayat (4) : Dalam hal debitur adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek,
Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan
dan Penyelesaian, permohonan pernyataan pailit hanya dapat
diajukan pleh Badan Pengawas Pasar Modal.
Ayat (5) : Dalam hal debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Reasuransi, dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara
yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan
pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri
Keuangan.
Syarat-syarat agar suatu perusahaan dapat dinyatakan pailit adalah
sebagai berikut 42:
a. Adanya hutang;
b. Minimal satu dari hutang sudah jatuh tempo;
c. Minimal satu dari hutang dapat ditagih;
d. Adanya debitur;
e. Adanya kreditur;
f. Kreditur lebih dari satu;
42 Munir Fuady, Op.cit., hlm. 9
44
g. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan khusus yang disebut
dengan Pengadilan Niaga;
h. Permohonan pernyataan pailit diajukan oleh yang berwenang yaitu :
1) Pihak debitur;
2) Satu atau lebih kreditur;
3) Jaksa untuk kepentingan umum;
4) Bank Indonesia, apabila debiturnya bank;
5) Bapepam, apabila debiturnya perusahaan efek.
i. Dan syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam Undang-
Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang.
6. Asuransi dalam Kaitannya dengan Asas Kepailitan
Perasuransian adalah istilah hukum (legal term) yang dipakai dalam
perundang-undangan dan Perusahaan Perasuransian. Istilah perasuransian
berasal dari kata “asuransi” yang berarti pertanggungan atau
perlindungan atas suatu objek dari ancaman bahaya yang menimbulkan
kerugian. Apabila kata “asuransi” diberi imbuhan per-an, maka muncul
istilah hukum “perasuransian”, yang berarti segala usaha yang berkenaan
dengan asuransi43.
Usaha asuransi juga didefinisikan dalam Undang-Undang No. 2
Tahun 1992 Pasal 2 huruf (a) tentang usaha perasuransian yaitu usaha
jasa keuangan yang menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan
43 Abdulkadir Muhammad, 2006. Hukum Asuransi Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,
hlm. 5.
45
premi asuransi memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat
pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena
suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau matinya
seseorang44.
Menurut Hans Kelsen, hukum adalah sebuah sistem norma. Norma
adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das sollen
dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang harus
dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia yang
deliberative. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang bersifat
umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku dalam
bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu maupun
dalam hubungan dengan masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan
bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan terhadap
individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan aturan tersbut menimbulkan
kepastian hukum45.
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga) nilai
identitas, yaitu sebagai berikut:
1. Asas kepastian hukum (rechmatigheid), Asas ini meninjau dari sudut
yuridis.
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit), Asas ini meninjau dari sudut
filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang
di depan pengadilan.
44 Abdulkadir Muhammad, 2011, Hukum Asuransi Indonesia, Bandung, PT. Citra Aditya
Bakti, hlm. 6. 45 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 58
46
3. Asas kemanfaatan hukum (zwechmatigheid) atau doelmatigheid atau
utility.
1. Asas Kepastian Hukum
Menurut Kelsen, hukum adalah sebuah Sistem Norma. Norma
adalah pernyataan yang menekankan aspek “seharusnya” atau das
sollen, dengan menyertakan beberapa peraturan tentang apa yang
harus dilakukan. Norma-norma adalah produk dan aksi manusia
yang deliberatif. Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang
bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah laku
dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan sesama individu
maupun dalam hubungannya dengan masyarakat. Aturan-aturan itu
menjadi batasan bagi masyarakat dalam membebani atau melakukan
tindakan terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan
aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum46.
Menurut Gustav Radbruch, hukum harus mengandung 3 (tiga)
nilai identitas, yaitu sebagai berikut47:
1. Asas kepastian hukum (rechtmatigheid), Asas ini
meninjau dari sudut yuridis.
2. Asas keadilan hukum (gerectigheit), Asas ini meninjau
dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak
untuk semua orang di depan pengadilan.
3. Asas kemanfaatan hukum (zwech matigheid atau
doelmatigheid atau utility)
Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian
hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih
46 Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, 2008, hlm. 158 47 Dwika, “Keadilan Dari Dimensi Sistem Hukum”, http://hukum.kompasiana.com.
(02/04/2011)
47
menekankan pada kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis
Mengutamakan kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat
dikemukakan bahwa “summum ius, summa injuria, summa lex,
summa crux” yang artinya adalah hukum yang keras dapat melukai,
kecuali keadilan yang dapat menolongnya, dengan demikian
kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya
akantetapi tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan48.
2. Asas Keadilan
Sesungguhnya konsep keadilan sangat sulit mencari tolak
ukurnya karena adil bagi satu pihak belum tentu dirasakan oleh
pihak lainnya. Kata keadilan berasal dari kata adil, yang berarti dapat
diterima secara obyektif49.
Menurut L.J Van Apeldoorn mengatakan bahwa,”keadilan tidak
boleh dipandang sama arti dengan persamarataan, keadilan bukan
berarti bahwa tiap-tiap orang memperoleh bagian yang sama50.”
Maksudnya keadilan menuntut tiap-tiap perkara harus ditimbang
tersendiri, artinya adil bagi seseorang belum tentu adil bagi yang
lainnya. Tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara
damai jika ia menuju peraturan yang adil, artinya peraturan dimana
terdapat keseimbangan antara kepentingan-kepentingan yang
48 Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: memahami dan memahami hukum, Laksbang
Pressindo, Yogyakarta, 2010, hal 59 49 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 19. 50 L.J. Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 1993), hlm. 11.
48
dilindungi, dan setiap orang memperoleh sebanyak mungkin yang
menjadi bagiannya.
Keadilan tidak boleh dipandang sama arti dengan
persamarataan. Keadilan bukan berarti bahwa tiap-tiap orang
memperoleh bagian yang sama....Jika hukum semata-mata
menghendaki keadilan, jadi semata-mata mempunyai tujuan
memberi tiap-tiap orang apa yang patut diterimanya, maka ia tak
dapat membentuk peraturan-peraturan umum....Tertib hukum yang
tak mempunyai peraturan umum, bertulis atau tidak bertulis adalah
tidak mungkin. Tak adanya peraturan umum, berarti ketidaktentuan
yang sungguh-sungguh, mengenai apa yang disebut adil atau tidak
adil. Ketidaktentuan itu akan menyebabkan perselisihan. Jadi hukum
harus menentukan peraturan umum, harus menyamaratakan.
Keadilan melarang menyamaratakan; keadilan menuntut supaya tiap-
tiap perkara harus ditimbang tersendiri....makin banyak hukum
memenuhi syarat, peraturan yang tetap, yang sebanyak mungkin
meniadakan ketidakpastian, jadi makin tepat dan tajam peraturan
hukum itu, makin terdesaklah keadilan. Itulah arti summum ius,
summa iniuria, keadilan yang tertinggi adalah ketidakadilan yang
tertinggi51.
Untuk mengukur sebuah keadilan, menurut Fence M. Wantu
mengatakan, “adil pada hakekatnya menempatkan sesuatu pada
51 Ibid
49
tempatnya dan memberikan kepada siapa saja apa yang menjadi
haknya, yang didasarkan pada suatu asas bahwa semua orang sama
kedudukannya di muka hukum (equality before the law)52.” Oleh
karena itu penekanan yang lebih cenderung kepada asas keadilan
dapat berarti harus mempertimbangkan hukum yang hidup di
masyarakat, yang terdiri dari kebiasaan dan ketentuan hukum yang
tidak tertulis. Hakim dalam alasan dan pertimbangan hukumnya
harus mampu mengakomodir segala ketentuan yang hidup dalam
masyarakat berupa kebiasaan dan ketentuan hukum yang tidak
tertulis, manakala memilih asas keadilan sebagai dasar memutus
perkara yang dihadapi.
3. Asas Kemanfaatan
Hukum merupakan urat nadi dalam kehidupan suatu bangsa
untuk mencapai cita-cita masyarakat yang adil dan makmur. Bagi
Hans Kelsen sebagaimana dikutip Mohamad Aunurrohim
mengatakan bahwa, “...hukum itu dikonstruksikan sebagai suatu
keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk
rasional. Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau
penegakan hukum. Hukum itu untuk manusia, maka pelaksanaan
hukum atau penegakkan hukum harus memberi manfaat atau
kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya
52 Fence M. Wantu, “Mewujukan Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam
Putusan Hakim di Peradilan Perdata, Jurnal Dinamika Hukum, (Gorontalo) Vol. 12 Nomor 3,
September 2012, hlm. 484
50
dilaksanakan atau ditegakkan malah akan timbul keresahan di dalam
masyarakat itu sendiri53.
Putusan hakim akan mencerminkan kemanfaatan, manakalah
hakim tidak saja menerapkan hukum secara tekstual belaka dan
hanya mengejar keadilan semata, akan tetapi juga mengarahkan pada
kemanfaatan bagi kepentingan pihak-pihak yang berperkara dan
kepentingan masyarakat pada umumnya. Artinya, hakim dalam
menerapkan hukum, hendaklah mempertimbangkan hasil akhirnya
nanti, apakah putusan hakim tersebut membawa manfaat atau
kegunaan bagi semua pihak54.
Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah kepastian hukum
dan kemanfaatan hukum. Kaum Positivisme lebih menekankan pada
kepastian hukum, sedangkan Kaum Fungsionalis mengutamakan
kemanfaatan hukum, dan sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summon
ius, summa injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah hukum
yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang dapat menolongnya,
dengan demikian kendatipun keadilan bukan merupakan tujuan hukum
satu-satunya akan tetapi tujuan hukum yang substantive adalah
keadilan55.
Dalam menegakkan hukum ada tiga unsur yang harus diperhatikan,
yaitu: kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan. Ketiga unsur tersebut
53 Sudikno Mertokususmo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Liberty,
2005), hlm. 160. 54 Ibid 55 Dosminikus Rato, Filasafat Hukum Mencari dan Memahami Hukum, PT Presindo,
Yogyakarta, 2010, hlm. 59
51
harus ada kompromi, harus mendapat perhatian secara proporsional
seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu mudah mengusahakan
kompromi secara proporsional seimbang antara ketiga unsur tersebut.
Tanpa kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya
dan akhirnya timbul keresahan. Tetapi terlalu menitik beratkan pada
kepastian hukum, terlalu ketat mentaati peraturan hukum akibatnya kaku
dan akan menimbulkan rasa tidak adil.
Adanya kepastian hukum merupakan harapan bagi pencari keadilan
terhadap tindakan sewenang-wenang dari aparat penegak hukum yang
terkadang selalu arogansi dalam menjalankan tugasnya sebagai penegak
hukum. Karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan tahu
kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum. Tanpa ada kepastian
hukum maka orang akan tidak tahu apa yang harus diperbuat, tidak
mengetahui perbuatanya benar atau salah, dilarang atau tidak dilarang
oleh hukum. Kepastian hukum ini dapat diwujudkan melalui penoramaan
yang baik dan jelas dalam suatu Undang-Undang dan akan jelas pula
penerapannya.
7. Akibat Hukum Putusan Kepailitan
Kepailitan mengakibatkan debitur yang dinyatakan pailit
kehilangan segala hak perdata ini diberlakukan oleh Pasal 24 (1)
Undang-Undang Kepailitan dan PKPU terhitung sejak saat keputusan
52
pernyataan pailit diucapkan. Hal ini juga berlaku bagi suami atau isteri
dari debitur pailit yang kawin dalam persatuan harta kekayaan56.
Putusan kepailitan adalah bersifat serta merta dan konstitutif yaitu
meniadakan keadaan dan menciptakan keadaan hukum baru57. Dengan
pailitnya pihak debitur, banyak akibat yuridis yang diberlakukan
kepadanya oleh undang-undang. Akibat-akibat yuridis tersebut berlaku
kepada debitur dengan 2 (dua) model pemberlakuan, yaitu58:
a. Berlaku Demi Hukum
Beberapa akibat yuridis yang berlaku demi hukum (by the operation
of law) segera setelah pernyataan pailit dinyatakan atau setelah
pernyataan pailit mempunyai kekuatan hukum tetap ataupun setelah
berakhirnya kepailitan. Dalam hal ini, pengadilan niaga, hakim
pengawas, kurator, kreditur, dan pihak lain yang terlibat dalam
proses kepailitan tidak dapat memberikan andil secara langsung
untuk terjadinya akibat yuridis tersebut.
b. Berlaku Secara Rule Of Season
Maksud dari pemberlakuan model ini adalah bahwa akibat hukum
tersebut tidak otomatis berlaku, tetapi baru berlaku jika diberlakukan
oleh pihak-pihak tertentu setelah mempunyai alasan yang wajar
untuk diberlakukan
56 Gunawan Widjaja, 2009. Risiko Hukum & Bisnis Perusahaan Pailit, Cetakan pertama,
Penerbit Forum Sahabat, Jakarta, hlm 46. 57 Rahayu Hartini, 2007. Hukum Kepailitan Edisi Revisi, UMM Press, Malang, hlm. 103 58 Munir Fuady, Op.cit., hlm.61
53
Beberapa akibat hukum terhadap perbuatan hukum yang dilakukan
oleh debitur :
a. Akibat kepailitan terhadap debitur pailit dan hartanya
Akibat kepailitan hanyalah terhadap kekayaan debitur, dimana
debitur tidaklah berada dibawah pengampuan. Debitur tidaklah
kehilangan kemampuannya untuk melakukan perbuatan hukum
menyangkut dirinya, kecuali apabila perbuatan hukum tersebut
menyangkut pengurusan dan pengalihan harta bendanya yang telah
ada. Apabila menyangkut harta benda yang akan diperolehnya,
debitur tetap dapat melakukan perbuatan hukum menerima harta
benda yang akan diperolehnya itu kemudian menjadi bagian dari
harta pailitnya59. Sejak tanggal putusan pernyataan pailit itu untuk
diucapkan, debitur demi hukum kehilangan hak untuk menguasai
dan mengurus kekayaannya yang termasuk harta pailit.
b. Akibat hukum terhadap seluruh perikatan yang dibuat oleh debitur
pailit
Semua perikatan debitur yang terbit sesudah putusan pernyataan
pailit, tidak lagi dapat membayar dari harta pailit, kecuali perikatan
tersebut menguntungkan harta pailit (Pasal 25 Undang-Undang
Kepailitan dan PKPU). Tuntutan mengenai hak dan kewajiban yang
menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau kurator. Dalam hal
tuntutan tersebut diajukan atau diteruskan oleh atau terhadap debitur
59 Sultan Remi Syahdeini, Op.Cit., hlm. 257.
54
pailit maka apabila tuntutan tersebut mengakibatkan suatu
penghukuman terhadap debitur pailit, penghukuman tersebut tidak
mempunyai akibat hukum terhadap harta pailit (Pasal 26 Undang-
Undang Kepailitan dan PKPU).
Selama berlangsungnya kepailitan, tuntutan untuk memperoleh
pemenuhan perikatan dari harta pailit yang ditujukan terhadap
debitur pailit, hanya dapat diajukan dengan mendaftarkannya untuk
dicocokkan (Pasal 27 Undang-Undang Kepailitan dan PKPU).
8. Jenis-jenis Kreditur
Pada dasarnya, kedudukan para kreditur sama (paritas
creditorum) dan karenanya mereka mempunyai hak yang sama atas
hasil eksekusi budelnya pailit sesuai dengan besarnya tagihan
mereka masing-masing (pari passu pro rata parte). Namun asas
tersebut dapat dikecualikan yakni untuk golongan kreditur yang
memenang hak anggunan atas kebendaan dan golongan kreditur
yang haknya didahulukan berdasarkan Undang-Undang Kepailitan
dan PKPU dan peraturan perundang-undangan lainnya. Oleh
karenanya, kreditur dapat dikelompokkan sebagai berikut60:
1) Kreditur separatis
Merupakan kreditur pemegang hak jaminan kebendaan, yang
dapat bertindak sendiri yang tidak terkena akibat putusan
pernyataan pailit debitur, sehingga hak-hak eksekusi kreditur
60 Imran Nating, 2005. Peranan dan Tanggung Jawab Kurator dalam Pengurusan dan
Pemberesan Harta Pailit, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 43-52.
55
separatis ini tetap dapatdijalankan seperti tidak ada kepailitan
debitur. Kreditur separatis dapat menjual sendiri barang-barang
yang menjadi jaminan, seolah-olah tidak ada kepailitan. Debitur
mengambil hasil penjualan ini sebesar piutangnya, sedangkan
jika ada sisanya disetorkan ke kas kurator. Jika hasil penjualan
tersebut tidak mencukupi, maka kreditur separatis itu, untuk
tagihan yang belum dibayar dapat memasukkan kekurangannya
sebagai kurator bersaing.
2) Kreditur preferen/istimewa
Merupakan kreditur yang piutangnya mempunyai kedudukan
istimewa dan mendapat hak untuk memperoleh pelunasan
terlebih dahulu dari penjualan harta pailit. Kreditur ini berada di
bawah pemegang hak tanggungan dan gadai. Menurut Pasal
1133 KUHPerdata, hak istimewa adalah suatu hak yang oleh
undang- undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga
tingkatnya, semata-mata berdasarkan sifat piutangnya.
3) Kreditur Konkuren
Kreditur konkuren/bersaing memiliki kedudukan yang sama dan
berhak memperoleh hasil penjualan harta kekayaan debitur, baik
yang telah ada maupun yang akan ada dikemudian hari setelah
sebelumnya dikurangi dengan kewajiban membayar piutang
kepada para kreditur pemegang hak jaminan dan para kreditur
56
dengan hak istimewa secara proporsional menurut perbandingan
besarnya piutang masing-masing kreditur.
Akibat hukum terhadap eksekusi atas harta kekayaan debitur pailit
Menurut Pasal 31 UU Kepailitan dan PKPU, putusan pernyataan
pailit mempunyai akibat bahwa segala putusan hakim menyangkut
setiap bagian harta kekayaan debitur yang telah diadakan sebelum
diputuskannya pernyataan pailit harus segera dihentikan dan sejak
saat yang sama pula tidak satu putusan pun mengenai hukuman
paksaan badan dapat dilaksanakan. Segala putusan mengenai
penyitaan, baik yang sudah maupun yang belum dilaksanakan,
dibatalkan demi hukum, bila dianggap perlu, hakim pengawas dapat
menegaskan hal itu dengan memerintahkan pencoretan.
Jika dilihat, dalam pasal tersebut bahwa setelah ada pernyataan
pailit, semua putusan hakim mengenai suatu bagian kekayaan debitur
apakah penyitaan atau penjualan, menjadi terhenti. Semua sita
jaminan maupun sita eksekutorial menjadi gugur, bahkan sekalipun
pelaksanaan putusan hakim sudah dimulai, maka pelaksanaan itu
harus dihentikan.
Menurut Pasal 33 UU Kepailitan dan PKPU, apabila hari
pelelangan untuk memenuhi putusan hakim sudah ditetapkan,
kurator atas kuasa hakim pengawas dapat melanjutkan pelelangan
barang tersebut dan hasilnya masuk dalam harta pailit.
57
Akibat kepailitan teradap pasangan debitur pailit Debitur pailit
yang pada saat dinyatakan pailit sudah terikat dalam suatu
perkawinan dan adanya persatuan harta, kepailitan juga dapat
memberikan akibat hukum terhadap pasangannya (suami/istrinya).
Dalam hal suami atau istri yang dinyatakan pailit, istri atau suaminya
berhak mengambil kembali semua benda bergerak dan tidak
bergerak yang merupakan harta bawaan dari istri atau suami dan
harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan.
Jika benda milik istri atau suami telah dijual suami/istri dan
harganya belum dibayar atau uang hasil penjualan belum tercampur
dalam harta pailit, maka istri atas suami berhak mengambil kembali
uang hasil penjualan tersebut.
Pada prinsipnya, sebagai konsekuensi dan PKPU, seperti diuraikan
di atas maka setiap dan seluruh perbuatan hukum, termasuk
perikatan antara debitur yang dinyatakan pailit dengan pihak ketiga
yang dilakukan sesudah pernyataan pailit, tidak akan dan tidak dapat
dibayar dari harta pailit, kecuali apabila perikatan-perikatan tersebut
mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu.
9. Pihak yang mengajukan pailit perusahaan asuransi
Otoritas Jasa Keuangan, yang selanjutnya disingkat OJK, adalah
lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain,
yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan,
58
pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan sebagaimana
dimaksud dalam Undang Undang ini.
Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2011 (Pasal 55) :
Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang
pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar
Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan
Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.
Peraturan OJK Nomor 28/ POJK.05/2015 Tentang
pembubaran,likuidasi, dan kepailitan perusahaan asuransi, perusahaan
asuransi syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi
syariah, Dalam Pasal 2 ayat 1 Perusahaan wajib menghentikan kegiatan
usaha serta menyelenggarakan RUPS untuk memutuskan Pembubaran
dan membentuk Tim likuidasi sejak pencabutan izin usaha perusahaan.