BAB I
PENDAHULUAN
MENSTRUASI
Definisi
Menstruasi adalah perdarahan secara periodik dan siklik dari uterus, disertai
pelepasan (deskuamasi) endometrium (Wiknjosastro, 2009).
Menurut Sherwood (2007), menstruasi adalah pengeluaran darah dan debris
endometrium dari rongga uterus melalui vagina akibat dari stimulasi oleh
prostaglandin terhadap ritme kontraksi miometrium uterus.
FISIOLOGI MENSTRUASI
Siklus Ovarium
Selama fase folikel (paruh pertama fase ovarium), folikel ovarium
mengeluarkan estrogen dibawah pengaruh FSH, LH, dan estrogen itu sendiri.
Kadar estrogen yang rendah tetapi terus meningkat tersebut menghambat sekresi
FSH, yang menurun selama bagian terakhir fase folikel, dan secara inkomplit
menekan sekresi LH, yang terus meningkat selama fase folikel. Pada saat
pengeluaran estrogen mencapai puncaknya, kadar estrogen yang tinggi tersebut
memicu lonjakan sekresi LH pada pertengahan siklus. Lonjakan LH ini
menyebabkan ovulasi folikel yang matang. Sekresi estrogen merosot sewaktu
folikel mati pada waktu ovulasi. Sel-sel folikel lama diubah menjadi korpus
luteum, yang mengeluarkan progesteron serta estrogen selama fase luteal (paruh
terakhir fase ovarium). Progesteron sangat menghambat FSH dan LH, yang
menurun selama fase luteal. Korpus luteum berdegenerasi dalam waktu sekitar
dua minggu apabila ovum yang dikeluarkan tidak dibuahi dan tidak tertanam di
uterus. Kadar progesteron dan estrogen menurun secara tajam pada saat korpus
luteum berdegenerasi, sehingga pengaruh inhibitorik pada sekresi FSH dan LH
lenyap. Kadar kedua hormon hipofisis anterior ini kembali meningkat dan
1
merangsang berkembangnya folikel-folikel baru dengan dimulainya fase folikel
(Sherwood, 2007).
Siklus Endometrium dan Menstruasi
Menurut Guyton (2006), siklus endometrium terdiri dari tiga fase, yaitu:
a. Fase Proliferasi (Fase Estrogen)
Pada permulaan setiap siklus menstruasi, sebagian besar endometrium
mengalami deskuamasi oleh proses menstruasi. Setelah menstruasi,
hanya lapisan tipis stroma endometrium tersisa pada basis
endometrium asli, dan satu-satunya sel epitel yang tertinggal terletak
pada bagian dalam sisa-sisa kelenjar dan kriptus endometrium. Di
bawah pengaruh estrogen yang sekresinya ditingkatkan oleh ovarium
selama bagian pertama siklus ovarium, sel-sel stroma dan sel-sel epitel
dengan cepat berproliferasi. Permukaan endometrium mengalami
reepitelisasi dalam tiga sampai tujuh hari setelah permulaan
menstruasi. Selama dua minggu pertama siklus seksual, yaitu sampai
ovulasi, tebal endometrium sangat bertambah karena peningkatan
jumlah sel-sel stroma dan karena pertumbuhan progresif kelenjar-
kelenjar endometrium, semua efek ini ditingkatkan oleh estrogen.
b. Fase Sekresi (Fase Progesteron)
Selama separuh terakhir siklus seksual, progesteron dan estrogen
disekresi dalam jumlah besar oleh korpus luteum. Estrogen
menyebabkan proliferasi sel tambahan dan progesteron menyebabkan
pembengkakan hebat dan pembentukan sekresi endometrium. Kelenjar
tambah berkelok-kelok, zat yang disekresi tertimbun dalam sel epitel
kelenjar, dan kelenjar menyekresi sedikit cairan endometrium.
Sitoplasma sel stroma juga bertambah, lipid dan glikogen banyak
mengendap dalam sel stroma, dan suplai darah ke endometrium
meningkat lebih lanjut sebanding dengan aktivitas sekresi yang sedang
berkembang. Tebal endometrium sekitar dua kali waktu fase sekresi
2
sehingga menjelang akhir siklus haid, endometrium mempunyai
ketebalan 4 – 6 mm.
Tujuan dari seluruh perubahan endometrium ini adalah untuk
menghasilkan endometrium yang banyak menyekresi dan sangat
banyak mengandung cadangan zat gizi yang dapat memberikan
keadaan yang sesuai untuk implantasi ovum yang telah dibuahi selama
separuh terakhir siklus haid.
c. Menstruasi
Sekitar dua hari sebelum sebelum akhir siklus haid, sekresi hormon-
hormon ovarium, estrogen, dan progesteron, turun dengan tajam sampai
rendah dan berlangsunglah menstruasi.
Menstruasi disebabkan oleh pengurangan mendadak progesteron dan
estrogen pada akhir siklus haid ovarium. Efek pertama adalah penurunan
rangsangan sel-sel endometrium oleh kedua hormon tersebut, diikuti dengan
cepat oleh involusi endometrium itu sendiri sampai sekitar 65 persen tebal
sebelumnya. Selama 24 jam sebelum mulai menstruasi, pembuluh darah yang
menuju lapisan mukosa endometrium menjadi vasospastik, mungkin karena
beberapa efek involusi, seperti pengeluaran zat vasokonstriktor. Vasospasme
dan kehilangan rangsang hormonal mulai menimbulkan nekrosis pada
endometrium. Sebagai akibatnya, darah merembes dalam lapisan vaskular
endometrium, area perdarahan mulai terbentuk setelah 24 sampai 36 jam.
Lambat laun, lapisan luar endometrium yang nekrotik terlepas dari uterus
pada tempat perdarahan, pada 48 jam setelah mulainya menstruasi, semua
lapisan superfisial endometrium telah mengalami deskuamasi. Jaringan
deskuamasi dan darah dalam kubah uterus memulai kontraksi uterus yang
mengeluarkan isi uterus.
Selama menstruasi normal, sekitar 35 ml darah dan 35 ml cairan serosa
hilang. Cairan menstruasi ini dalam keadaan normal tidak membeku, karena
fibrinolisin dikeluarkan bersama dengan endometrium yang nekrotik. Dalam
tiga sampai tujuh hari setelah menstruasi mulai, perdarahan berhenti karena
pada saat ini endometrium sudah mengalami epitelisasi penuh.
3
Gambar: Perubahan Hormonal Selama Siklus Menstruasi
Sumber: Fisiologi Manusia Sherwood, 2007
MENOMETRORAGIA
Definisi
Metroragia adalah perdarahan dari vagina yang tidak
berhubungan dengan siklus haid. Perdarahan ovulatoir terjadi
pada pertengahan siklus sebagai suatu spotting dan dapat lebih
diyakinkan dengan pengukuran suhu basal tubuh. Penyebabnya
adalah kelainan organik (polip endometrium, karsinoma
endometrium, karsinoma serviks), kelainan fungsional dan
penggunaan estrogen eksogen. Menoragia adalah perdarahan
siklik yang berlangsung lebih dari 7 hari dengan jumlah darah
4
kadang-kadang cukup banyak. Penyebab dan pengobatan kasus
ini sama dengan hipermenorea. Menometroragia, yaitu
perdarahan yang terjadi dengan interval yang tidak teratur
disertai perdarahan yang banyak dan lama.
Penyebab
Sebab-sebab organik perdarahan dari uterus, tuba dan
ovarium disebabkan oleh kelainan pada:
a. Serviks uteri; seperti polip servisis uteri, erosio porsionis
uteri, ulkus pada portio uteri, karsinoma servisis uteri.
b. Korpus uteri; polip endometrium, abortus imminens,
abortus insipiens, abortus incompletus, mola hidatidosa,
koriokarsinoma, subinvolusio uteri, karsinoma korpus uteri,
sarkoma uteri, mioma uteri.
c. Tuba fallopii; kehamilan ektopik terganggu, radang tuba,
tumor tuba.
d. Ovarium; radang overium, tumor ovarium.
Sebab fungsional perdarahan dari uterus yang tidak ada
hubungannya dengan sebab organik, dinamakan perdarahan
disfungsional. Perdarahan disfungsional dapat terjadi pada setiap
umur antara menarche dan menopause, tetapi kelainan ini lebih
sering dijumpai sewaktu masa permulaan dan masa akhir fungsi
ovarium. Dua pertiga wanita dari wanita-wanita yang dirawat di
rumah sakit untuk perdarahan disfungsional berumur diatas 40
tahun, dan 3% dibawah 20 tahun. Sebetulnya dalam praktek
dijumpai pula perdarahan disfungsional dalam masa
pubertas,akan tetapi karena keadaan ini biasanya dapat sembuh
sendiri, jarang diperlukan perawatan di rumah sakit.
Hingga saat ini penyebab pasti perdarahan rahim disfungsional
belum diketahui secara pasti. Beberapa kondisi yang dikaitkan
5
dengan perdarahan rahim disfungsional, antara lain: kegemukan
(obesitas), faktor kejiwaan, alat kontrasepsi hormonal alat
kontrasepsi dalam rahim (intra uterine devices). Beberapa
penyakit dihubungkan dengan perdarahan rahim, misalnya:
trombositopenia (kekurangan trombosit atau faktor pembekuan
darah), kencing manis (diabetus mellitus), dan lain-lain.
Walaupun jarang, perdarahan rahim dapat terjadi karena: tumor
organ reproduksi, kista ovarium (polycystic ovary disease),
infeksi vagina, dan lain-lain.
Patogenesis
Secara garis besar, kondisi di atas dapat terjadi pada siklus
ovulasi (pengeluaran sel telur/ovum dari indung telur), tanpa
ovulasi maupun keadaan lain, misalnya pada wanita
premenopause (folikel persisten). Sekitar 90% perdarahan uterus
difungsional (perdarahan rahim) terjadi tanpa ovulasi
(anovulation) dan 10% terjadi dalam siklus ovulasi.
Pada siklus ovulasi, perdarahan rahim yang bisa terjadi pada
pertengahan menstruasi maupun bersamaan dengan waktu
menstruasi. Perdarahan ini terjadi karena rendahnya kadar
hormon estrogen, sementara hormon progesteron tetap
terbentuk. Sedangkan pada siklus tanpa ovulasi (anovulation),
perdarahan rahim sering terjadi pada masa pre-menopause dan
masa reproduksi. Hal ini karena tidak terjadi ovulasi, sehingga
kadar hormon estrogen berlebihan sedangkan hormon
progesteron rendah. Akibatnya dinding rahim (endometrium)
mengalami penebalan berlebihan (hiperplasi) tanpa diikuti
penyangga (kaya pembuluh darah dan kelenjar) yang memadai.
Kondisi inilah penyebab terjadinya perdarahan rahim karena
dinding rahim yang rapuh. Di sisi lain, perdarahan tidak terjadi
bersamaan. Permukaan dinding rahim di satu bagian baru
6
sembuh lantas diikuti perdarahan di permukaan lainnya, jadilah
perdarahan rahim berkepanjangan.
Gambaran klinik
Perdarahan rahim dapat terjadi tiap saat dalam siklus
menstruasi. Jumlah perdarahan bisa sedikit-sedikit dan terus
menerus atau banyak dan berulang. Kejadian tersering pada
menarche (atau menarke: masa awal seorang wanita mengalami
menstruasi) atau masa pre-menopause.
a. Perdarahan Ovulatori
Perdarahan ini merupakan kurang lebih 10 % dari
perdarahan disfungsional dengan siklus pendek (polimenore)
atau panjang (oligomenore). Untuk menegakan diagnosis
perdarahan ovulatori perlu dilakukan kerokan pada masa
mendekati haid. Jika karena perdarahan yang lama dan tidak
teratur siklus haid tidak dikenali lagi, maka kadang-kadang
bentuk survei suhu badan basal dapat membantu. Jika sudah
dipastikan bahwa perdarahan berasal dari endometrium tipe
sekresi tanpa adanya sebab organik, maka harus dipikirkan
sebagai etiologinya:
1. Korpus Luteum Persisten
Dalam hal ini dijumpai perdarahan kadang-kadang
bersamaan dengan ovarium yang membesar. Sindrom ini
harus dibedakan dari kelainan ektopik karena riwayat
penyakit dan hasil pemeriksaan panggul sering
menunjukan banyak persamaan antara keduanya. Korpus
luteum persisten dapat menimbulkan pelepasan
endometrium yang tidak teratur (irregular shedding).
Diagnosis ini dibuat dengan melakukan kerokan yang tepat
pada waktunya, yaitu menurut Mc. Lennon pada hari ke-4
7
mulainya perdarahan. Pada waktu ini dijumpai
endometrium dalam tipe sekresi disamping nonsekresi.
2. Insufisiensi Korpus Luteum.
Hal ini dapat menyebabkan premenstrual spotting,
menoragia atau polimenore. Kurangnya produksi
progesteron disebabkan oleh gangguan LH realizing factor.
Diagnosis dibuat, apabila hasil biopsi endometrial dalam
fase luteal tidak cocok dengan gambaran endometrium
yang seharusnya didapat pada hari siklus yang
bersangkutan.
3. Apopleksia Uteri
Pada wanita dengan hipertensi dapat terjadi pecahnya
pembuluh darah dalam uterus.
4. Kelainan Darah
Seperti anemia, purpura trombositopenia, dan gangguan
dalam mekanisme pembekuan darah.
b. Perdarahan Anovulatoir
Stimulasi dengan estrogen menyebabkan tumbuhnya
endometrium. Dengan menurunnya kadar estrogen dibawah
tingkat tertentu, timbul perdarahan yang kadang bersifat siklik,
dan kadang tidak teratur sama sekali. Fluktuasi kadar estrogen
ada sangkut pautnya dengan jumlah folikel yang pada suatu
waktu fungsional aktif. Folikel–folikel ini mengeluarkan estrogen
sebelum mengalami atresia, dan kemudian diganti oleh folikel –
folikel baru. Endometrium dibawah pengaruh estrogen tumbuh
terus dan dari endometrium yang mula-mula proliferasi dapat
terjadi endometrium bersifat hiperplasia kistik. Jika gambaran ini
diperoleh pada kerokan maka dapat disimpulkan adanya
perdarahan anovulatoir.
Perdarahan fungsional dapat terjadi pada setiap waktu akan
tetapi paling sering pada masa permulaan yaitu pubertas dan
8
masa pramenopause. Pada masa pubertas perdarahan tidak
normal disebabkan oleh karena gangguan atau keterlambatan
proses maturasi pada hipotalamus, dengan akibat bahwa
pembuatan realizing faktor tidak sempurna. Pada masa
pramenopause proses terhentinya fungsi ovarium tidak selalu
berjalan lancar. Bila pada masa pubertas kemungkinan
keganasan kecil sekali dan ada harapan lambat laun keadaan
menjadi normal dan siklus haid menjadi ovulatoir, pada seorang
dewasa dan terutama dalam masa pramenopause dengan
perdarahan tidak teratur mutlak diperlukan kerokan untuk
menentukan ada tidaknya tumor ganas. Perdarahan
disfungsional dapat dijumpai pada penderita-penderita dengan
penyakit metabolik, penyakit endokrin, penyakit darah, penyakit
umum yang menahun, tumor-tumor ovarium dan sebagainya.
Akan tetapi disamping itu terdapat banyak wanita dengan
perdarahan disfungsional tanpa adanya penyakit-penyakit
tersebut. Selain itu faktor psikologik juga berpengaruh antara
lain stress kecelakaan, kematian, pemberian obat penenang
terlalu lama dan lain-lain dapat menyebabkan perdarahanan
ovulatoir.
Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan klinis yang lengkap harus
dilakukan dalam pemeriksaan pasien. Jika anamnesis dan
pemeriksaan fisik menunjukkan adanya penyakit sistemik, maka
penyelidikan lebih jauh mungkin diperlukan. Abnormalitas
pada pemeriksaan pelvis harus diperiksa dengan USG dan
laparoskopi jika diperlukan. Perdarahan siklik (reguler) yang
didahului oleh tanda premenstruasi (mastalgia, kenaikan berat
badan karena meningkatnya cairan tubuh, perubahan
mood, atau kram abdomen) lebih cenderung bersifat ovulatori.
9
Sedangkan, perdarahan lama yang terjadi dengan interval tidak
teratur setelah mengalami amenore berbulan – bulan,
kemungkinan bersifat anovulatori. Peningkatan suhu basal tubuh
(0,3 – 0,6 C), peningkatan kadar progesteron serum ( > 3 ng/
ml ) dan atau perubahan sekretorik pada endometrium yang
terlihat pada biopsi yang dilakukan saat onset perdarahan,
semuannya merupakan bukti ovulasi. Diagnosis DUB
(Disfunctional Uterine Bleeding) setelah eksklusi penyakit organik
traktus genitalia, terkadang menimbulkan kesulitan karena
tergantung pada apa yang dianggap sebagai penyakit organik,
dan tergantung pada sejauh mana penyelidikan dilakukan untuk
menyingkirkan penyakit traktus genitalia. Pasien berusia
dibawah 40 tahun memiliki resiko yang sangat rendah
mengalami karsinoma endometrium, jadi pemeriksaan patologi
endometrium tidaklah merupakan keharusan. Pengobatan medis
dapat digunakan sebagai pengobatan lini pertama dimana
penyelidikan secara invasif dilakukan hanya jika simptom
menetap. Resiko karsinoma endometerium pada pasien DUB
perimenopause adalah sekitar 1 persen. Maka dari itu,
pengambilan sampel endometrium penting dilakukan.
Pemeriksaan Penunjang:
1. Pemeriksaan darah : Hemoglobin, uji fungsi thiroid, dan kadar
HCG, FSH, LH, Prolaktin dan androgen serum jika ada indikasi
atau skrining gangguan perdarahan jika ada tampilan yang
mengarah kesana.
2. Deteksi patologi endometrium melalui dilatasi dan kuretase
ataupun histeroskopi. Wanita tua dengan gangguan
menstruasi, wanita muda dengan perdarahan tidak teratur
atau wanita muda ( < 40 tahun ) yang gagal berespon
terhadap pengobatan harus menjalani sejumlah pemeriksaan
10
endometrium. Penyakit organik traktus genitalia mungkin
terlewatkan bahkan saat kuretase. Maka penting untuk
melakukan kuretase ulang dan investigasi lain yang sesuai
pada seluruh kasus perdarahan uterus abnormal berulang
atau berat. Pada wanita yang memerlukan investigasi,
histeroskopi lebih sensitif dibandingkan dilatasi dan kuretase
dalam mendeteksi abnormalitas endometrium.
3. Laparoskopi : Laparoskopi bermanfaat pada wanita yang
tidak berhasil dalam uji coba terapeutik.
Penatalaksanaan
Setelah menegakkan diagnosa dan setelah menyingkirkan
berbagai kemungkinan kelainan organ, teryata tidak ditemukan
penyakit lainnya, maka langkah selanjutnya adalah melakukan
prinsip-prinsip pengobatan sebagai berikut:
1. Menghentikan perdarahan.
2. Mengatur menstruasi agar kembali normal.
3. Transfusi jika kadarhemoglobin (Hb) kurang dari 8 gr%.
Menghentikan Perdarahan
Langkah-langkah upaya menghentikan perdarahan adalah
sebagai berikut:
Kuret (curettage)
Hanya untuk wanita yang sudah menikah. Tidak bagi gadis dan tidak bagi
wanita menikah tapi belum sempat berhubungan intim. Obat (medikamentosa)-
golongan estrogen. Pada umumnya dipakai estrogen alamiah, misalnya: estradiol
11
valerat (nama generik) yang relatif menguntungkan karena tidak membebani
kinerja liver dan tidak menimbulkan gangguan pembekuan darah. Jenis lain,
misalnya: etinil estradiol, tapi obat ini dapat menimbulkan gangguanfungsi liver.
Dosis dan cara pemberian: Estrogen konjugasi (estradiol
valerat): 2,5 mg diminum selama 7-10 hari. Benzoas estradiol: 20
mg disuntikkan intramuskuler (melalui bokong). Jika
perdarahannya banyak, dianjurkan untuk opname, dan diberikan
estrogen konjugasi (estradiol valerat): 25 mg secara intravenus
(suntikan lewat selang infus) perlahan-lahan (10-15 menit), dapat
diulang tiap 3-4 jam. Tidak boleh lebih 4 kali sehari. Estrogen
intravena dosis tinggi (estrogen konjugasi 25 mg setiap 4 jam
sampai perdarahan berhenti) akan mengontrol secara akut
melalui perbaikan proliferatif endometrium dan melalui efek
langsung terhadap koagulasi, termasuk peningkatan fibrinogen
dan agregasi trombosit. Terapi estrogen bermanfaat
menghentikan perdarahan khususnya pada kasus endometrium
atrofik atau inadekuat. Estrogen juga diindikasikan pada kasus
DUB sekunder akibat depot progestogen (Depo Provera).
Kekurangan terapi ini ialah bahwa setelah suntikan
dihentikan,perdarahan timbul lagi.
Obat Kombinasi
Terapi siklik merupakan terapi yang paling banyak
digunakan dan paling efektif. Pengobatan medis ditujukan pada
pasien dengan perdarahan yang banyak atau perdarahan yang
terjadi setelah beberapa bulan amenore. Cara terbaik adalah
memberikan kontrasepsi oral, obat ini dapat dihentikan setelah 3
– 6 bulan dan dilakukan observasi untuk melihat apakah telah
timbul pola menstruasi yang normal. Banyak pasien yang
mengalami anovulasi kronik dan diperlukan pengobatan
berkelanjutan. Paparan estrogen kronik dapat menimbulkan
12
endometrium yang berdarah banyak selama penarikan progestin.
Speroff menganjurkan pengobatan dengan menggunakan
kombinasi kontrasepsi oral denganregimen menurun secara
bertahap.
Dua hingga empat pil diberikan setiap hari setiap enam
hingga duabelas jam, selama 5 sampai 7 hari untuk mengontrol
perdarahan akut. Formula ini biasanya mengontrol perdarahan
akut dalam 24 hingga 48 jam, penghentian obat akan
menimbulkan perdarahan berat. Pada hari ke 5 perdarahan ini,
mulai diberikan kontrasepsi oral siklik dosis rendah dan diulangi
selama 3 siklus agar terjadi regresi teratur endometrium yang
berproliferasi berlebihan. Cara lain, dosis pil kombinasi dapat
diturunkan bertahap ( 4 kali sehari, kemudian 3 kali sehari,
kemudian 2 kali sehari ) selama 3 hingga 6 hari, dan kemudian
dilanjutkan sekali setiap hari. Kombinasi kontrasepsi oral
menginduksi atrofi endometrium, karena paparan estrogen
progestin kronik akan menekan gonadotropin pituitari dan
menghambat steroidogenesis endogen. Kombinasi ini berguna
untuk tatalaksana DUB jangka panjang pada pasien tanpa
kontraindikasi dengan manfaat tambahan yaitu mencegah
kehamilan.Khususnya untuk pasien perimenarche, perdarahan
berat yang lama dapat mengelupaskan endometrium basal,
sehingga tidak responsif terhadap progestin. Kuretase untuk
mengontrol perdarahan dikontraindikasikan karena tingginya
resiko terjadinya sinekia intrauterin (sindrom Asherman) jika
endometrium basal dikuret. OC aman pada wanita hingga usia 40
dan diatasnya yang tidak obese, tidak merokok dan tidak
hipertensi.
Golongan Progesterone
13
Pertimbangan disini ialah bahwa sebagian besar
perdarahan fungsional bersifat anovulatoar, sehingga pemberian
obat progesterone mengimbangi pengaruh estrogen terhadap
endometrium. Obat untuk jenis ini, antara lain:Medroksi
progesteron asetat (MPA) 10-20mg per hari, diminum selama 7-
10 hari. Norethisteron 3×1 tablet, diminum selama 7-10 hari.
Kaproas hidroksi-progesteron 125 mg secara intramuscular.
OAINS
Menorragia dapat dikurangi dengan obat anti inflamasi non
steroid. Fraser dan Shearman membuktikan bahwa OAINS paling
efektif jika diberikan selama 7 hingga 10 hari sebelum onset
menstruasi yang diharapkan pada pasien DUB ovulatori, tetapi
umumnya dimulai pada onset menstruasi dan dilanjutkan selama
espisode perdarahan dan berhasil baik. Obat ini mengurangi
kehilangan darah selama menstruasi (mensturual blood
loss/MBL) dan manfaatnya paling besar pada DUB ovulatori
dimana jumlah pelepasan prostanoid paling tinggi. Mengatur
menstruasi agar kembali normal setelah perdarahan berhenti,
langkah selanjutnya adalah pengobatan untuk mengatur siklus
menstruasi, misalnya dengan pemberian progesteron 2×1 tablet
diminum selama 10 hari. Minum obat dimulai pada hari ke 14-15
menstruasi. Transfusi jika kadar hemoglobin kurang dari 8 gr%.
Terapi yang ini diharuskan pasiennya untuk menginap di Rumah
Sakit atau klinik. Satu kantong darah (250 cc) diperkirakan dapat
menaikkan kadar hemoglobin (Hb) 0,75 gr%. Ini berarti, jika
kadar Hb ingin dinaikkan menjadi 10 gr% maka kira-kira perlu
sekitar 4 kantong darah.
Prognosis
14
Hasil pengobatan bergantung kepada proses perjalanan penyakit
(patofisiologi). Penegakan diagnosa yang tepat dan regulasi
hormonal secara dini dapat memberikan angka kesembuhan
hingga 90 %. Pada wanita muda, yang sebagian besar terjadi
dalam siklus anovulasi, dapat diobati dengan hasil baik.
15
BAB II
LAPORAN KASUS
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. SK
Umur : 49 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Tegalrejo RT 08 RW 03 Bawen Kabupaten
Semarang
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal masuk RSUD : 24 Juni 2013
Tanggal periksa : 25 Juni 2013
No.RM : 020549
B. Anamnesis
Keluhan utama : sudah 3 hari pasien keluar flek darah kemerahan
dari vagina
Keluhan Tambahan:
Nyeri di perut bawah menjalar sampai ke punggung, pusing, pinggang sampai
kaki terasa pegal, kadang mual
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien P4A1 mengaku perdarahan keluar setiap habis berhenti haid (3 hari
berhenti haid, lalu timbul perdarahan). Keluhan ini sudah dirasakan pasien
sejak bulan november tahun 2010. Warna darah haid merah kehitaman,
kadang disertai gumpalan-gumpalan darah. Dalam satu hari ganti pembalut
tiga kali (pembalut ukuran maxi, darahnya agak penuh)
Riwayat Penyakit Dahulu
Pernah memiliki keluhan yang sama, haid tidak berhenti sejak tanggal 9 Mei
2010 sampai Juni 2010, kemudian melakukan pengobatan dan haid berhenti,
16
setelah obat habis haid kembali muncul berkepanjangan (mulai November
2010 hingga sekarang).
Pasien memiliki riwayat kuretase pada tahun 2011 dengan keluhan yang sama
Pasien juga memiliki riwayat kista ovarii pada tahun 1999
Riwayat Penyakit Keluarga
Memiliki riwayat hipertensi, tidak ada riwayat diabetes mellitus, asma
Riwayat Sosial
Pasien tidak merokok dan minum alkohol
Riwayat Operasi
Pernah menjalani operasi kista ovarii pada tahun 1999
Riwayat Haid
Menarche kurang lebih pada usia 13 tahun. Lama haid bisa lebih dari 1 bulan,
siklus tidak teratur
Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku belum mengkonsumsi obat dan tidak sedang menjalani
pengobatan tertentu. Pasien sudah menjalani USG dengan dokter Adi, Sp.OG
dan memiliki rencana kuret.
Riwayat KB
Pasien mengaku tidak menggunakan KB
C. Pemeriksaan Fisik
Dilakukan di bangsal Bougenville kamar kelas II, 25 Juni 2013.
1. Keadaan umum : Baik
2. Kesadaran : Compos Mentis
3. Vital sign
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Respiration Rate : 20 x/menit
Suhu : 36,7 0C
4. Status generalis
a. Pemeriksaan kepala
1) Bentuk kepala
17
Mesocephal, simetris
2) Rambut
Warna rambut hitam, tidak mudah dicabut dan terdistribusi merata
3) Mata
Simetris, konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-)
4) Telinga
Discharge (-), deformitas (-)
5) Hidung
Discharge (-), deformitas (-) dan napas cuping hidung (-)
6) Mulut
Bibir sianosis (-), lidah sianosis (-)
b. Pemeriksaan leher
Pembesaran kelenjar tiroid (-)
c. Pemeriksaan thoraks
Paru : Dinding dada tampak simetris, tidak tampak
ketertinggalan gerak antara hemithoraks kanan dan
kiri, kelainan bentuk dada (-) Perkusi orientasi
selurus lapang paru sonor, suara dasar vesikuler,
ronki (-) , Wheezing (-)
Jantung : S1>S2 reguler; Gallop (-), Murmur (-)
d. Pemeriksaan abdomen
Datar, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-)
Hepar dan Lien : supel, tidak ada perbesaran
e. Pemeriksaan ekstremitas
Edema (-), varises (-), akral dingin, capillary refill < 2 detik
f. Status Lokalis
Nyeri tekan pada daerah suprapubik.
18
Terdapat cairan keluar dari vagina berwarna kemerahan, ada bercak di
celana dalam.
5. Pemeriksaan Penunjang (tanggal 24 Juni 2013)
a. Darah Rutin
Hemoglobin : 9.1 g/dl (L)
Leukosit : 7.7 ribu
Eritrosit : 3.70 juta (L)
Hematokrit : 29.2 % (L)
Trombosit : 347 ribu
MCV : 78.9 mikro m3 (L)
MCH : 24.6 pg (L)
MCHC : 31.2 g/dl (L)
RDW : 13.4 %
MPV : 7.3 mikro m3
Limfosit : 1.7 103/mikroL
Monosit : 0.5 103/mikroL
Granulosit : 5.5 103/mikroL
Limfosit % : 21.7 % (L)
Monosit % : 6.4 % (H)
Granulosit % : 71.9 %
b. USG
Tampak penebalan dinding endometrium.
c. Hasil PA dari Jaringan Kuretase
Terdapat hiperplasia akibat pengobatan sebelumnya.
D. Diagnosis
P4A1 dengan Menometroragia
19
E. Penatalaksanaan
Non Farmakologi:
Bed rest
Dilakukan tindakan Curretase Diagnostik
Farmakologi:
Injeksi Criax (1 x 2 gr intravena)
Maxpro
Maltiron
Asam Traneksamat
20
BAB III
ANALISA KASUS
Identifikasi Masalah (SOAP)
1. Subjektif (S)
Pasien berusia 49 tahun memiliki keluhan utama sudah 3 hari
pasien keluar flek darah kemerahan dari vagina. Perdarahan keluar setiap
habis berhenti haid (3 hari berhenti haid, lalu timbul perdarahan). Keluhan
ini sudah dirasakan pasien sejak bulan november tahun 2010. Warna darah
haid merah kehitaman, kadang disertai gumpalan-gumpalan darah. Dalam
satu hari ganti pembalut tiga kali (pembalut ukuran maxi, darahnya agak
penuh). Kasus ini sesuai dengan menometroragia dimana
definisinya adalah perdarahan yang terjadi dengan interval
yang tidak teratur disertai perdarahan yang banyak dan
lama.
Menometroragia bisa disebabkan oleh kelainan
organik ataupun sebab fungsional perdarahan dari uterus
yang tidak ada hubungannya dengan sebab organic
(perdarahan disfungsional/DUB). Perdarahan disfungsional
sering terjadi pada wanita di usia pre-menopause yaitu
terjadi tanpa ovulasi (anovulatorik), karena tidak terjadi
ovulasi, kadar hormon estrogen berlebihan sedangkan
hormon progesteron rendah. Akibatnya dinding rahim
(endometrium) mengalami penebalan berlebihan
(hiperplasi) tanpa diikuti penyangga (pembuluh darah dan
kelenjar) yang memadai. Kondisi inilah penyebab
terjadinya perdarahan rahim karena dinding rahim yang
rapuh. Di sisi lain, perdarahan tidak terjadi bersamaan.
Permukaan dinding rahim di satu bagian baru sembuh
lantas diikuti perdarahan di permukaan lainnya, jadilah
21
perdarahan rahim berkepanjangan. Hal tersebut yang
kemungkinan terjadi pada pasien Ny. SK ini.
Perdarahan disfungsional bisa dikaitkan dengan
penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim, tetapi pasien
mengaku tidak menggunakan KB, maka kemungkinan ini
dapat disingkirkan. Walaupun jarang, perdarahan rahim
juga dapat terjadi karena adanya kista ovarium (polycystic
ovary disease), pasien ini memiliki riwayat kista ovarium
tetapi sudah dioperasi pada tahun 1999, sehingga
kemungkinan akibatnya bukan karena itu.
2. Objektif (O)
Pemeriksaan fisik ditemukan konjungtiva agak pucat (anemis),
didukung oleh pemeriksaan penunjang darah rutin dimana kadar
hemoglobinnya rendah, yaitu 9,1 g/dl. Hal ini dapat terjadi karena
perdarahan sudah berlangsung lama dan berkepanjangan.
Pada pemeriksaan lokalis terdapat cairan keluar dari vagina
berwarna kemerahan, ada bercak (spotting) di celana dalam, menunjukkan
bahwa perdarahan masih terjadi tetapi dalam jumlah yang sedikit.
Pada pemeriksaan USG terlihat adanya penebalan (hiperplasi) dinding
endometrium tanpa ditemukan adanya kelainan organik.
3. Assessment (A)
Diagnosis : P4A1 dengan Menometroragia
Menometroragia adalah perdarahan yang terjadi dengan
interval yang tidak teratur disertai perdarahan yang
banyak dan lama.
22
4. Planning (P)
Tatalaksana
Non Farmakologik:
Tirah baring (Bed rest)
Dilakukan tindakan Curretase Diagnostik
Pada kasus ini telah dilakukan kuretase sebagai upaya
menghentikan perdarahan sekaligus pengambilan sampel
untuk patologi anantomi. Pada seorang dewasa dan
terutama dalam masa pramenopause dengan perdarahan
tidak teratur mutlak diperlukan kerokan untuk menentukan
ada tidaknya tumor ganas.
Farmakologik
1. Criax (1 x 2 gr intravena)
Komposisi : ceftriaxone Na
Indikasi : infeksi saluran napas, genital, abdomen, ginjal,
tulang dan jaringan lunak. GO, ISK, sepsis,
meningitis, profilaksis pra-op
Kontraindikasi : diketahui hipersensitif terhadap sefalosporin
Perhatian : hipersensitivitas terhadap penisilin, syok
anafilaktik, gagal ginjal dan hati berat
Efek Samping : gangguan GI, enterokolitis, pseudomembran
(jarang), gangguan koagulasi darah, oliguria,
mikosis, demam, peningkatan kreatinin serum
2. Maxpro
Komposisi: Cefixime
Kontraindikasi: hipersensitif terhadap sefalosporin
Efek samping: syok, hipersensitifitas, kelainan hematologi,
gangguan GI
23
3. Maltiron
Merupakan multivitamin dan mineral
Komposisi per tablet: vitamin A 6.000 IU, vitamin B1 3 mg,
vitamin B2 3 mg, vitamin B6 2 mg, vitamin B12 2 mcg, vitamin C
75 mg, vitamin D 400 IU, nicotamide 20 mg, Ca pantothenate 10
mg, biotin 0.02 mg, Fe fumarate 135 mg, Ca carbonate 250 mg,
copper sulphate 3.93 mg, manganese sulphate 4.06 mg, Mg 9.95
mg, Zn 6.6 mg, Na tetraborate 0.882 mg, K 3.35 mg, Na 0.504 mg,
K iodide 0.016 mg
Lebih baik diminum setelah makan untuk absorpsi yang lebih baik
dan menghindari rasa tidak nyaman pada GI-tract.
4. Asam Traneksamat
Merupakan analog asam aminokaproat, yaitu penghambat bersaing
dari aktivator plasminogen dan penghambat plasmin. Plasmin
sendiri berperan menghancurkan fibrinogen, fibrin, dan faktor
pembekuan darah. Oleh karena itu, asam aminokaproat dapat
membantu mengatasi perdarahan berat akibat fibrinolisis yang
berlebihan.
Efek samping: pruritus, eritema, hipotensi, dispepsia, mual, diare.
5. Prognosis
Prognosis baik (ad bonam).
24
DAFTAR PUSTAKA
Sherwood, Lauralee., 2007. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem Edisi 2.
Jakarta: EGC.
Wiknjosastro, H., 2005. Ilmu Kebidanan. Edisi 3. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Wiknjosastro, H., 2010. Ilmu Kandungan. Edisi 4. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
Anonim., 2004. Prosedur Tetap Obstetri dan Ginekologi K Unud/RS
Sanglah. Bagian Obstetri dan Ginekologi FK Unud/RS Sanglah. Denpasar.
B, Achmad., 2003. Ilmu Kesehatan Reproduksi Ginekologi. Bandung :
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.
Brooks, MB., 2006. “Mentrorraghia”. E-medicine from WebMD,
Available: http:/www.emedicine.com.fastsplash.obgyn (Accessed : 30 Juni 2013).
Manuaba Ida Bagus, 2005. Reproduksi Wanita. Jakarta: Arcan.
25
Recommended