8
PENDAHULUAN R iset Indonesia Corruption Watch (ICW) memperkirakan kerugian negara dari sektor non-pajak kawasan hutan men- capai Rp 169,791 triliun selama tahun 2004-2007. Kerugian akibat korupsi di sek- tor sumber daya alam (SDA) seperti kehutan- an, perkebunan dan pertambangan, menurut Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Ko- rupsi (KPK), jumlahnya bisa mencapai 500 kali lipat dari jumlah nilai yang dikorupsi itu sendiri. KPK bersama kementerian dan lembaga neg- ara telah mendeklarasikan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) melalui penandatanganan piagam deklarasi Penyelamatan Sumber Daya Alam oleh Ketua KPK, Panglima TNI, Kapolri, dan Jaksa Agung pada 9 Juni 2014 di Ternate, Maluku Utara. Deklarasi penyelamatan sumberdaya alam (SDA) tersebut berisi pernyataan tekad secara tegas untuk: (1) Mendukung tata kelola SDA In- donesia yang bebas dari korupsi, kolusi dan nep- otisme; (2) Mendukung penyelamatan kekayaan SDA Indonesia; (3) Melaksanakan penegakan hukum di sektor SDA sesuai dengan kewenan- gan masing masing. GNP-SDA yang meliputi sektor Kelautan/Perikanan, Pertambangan, ser- ta Kehutanan dan Perkebunan tersebut terdiri atas kelompok kerja yang antara lain meliputi Tim Litbang KPK bersama Kementerian/Lem- baga terkait seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), Ke- menterian Keuangan, serta Pemerintah Daerah dan segenap instansi Penegak Hukum lainnya. Di dalam GNP-SDA ini juga mengakomodasi keterlibatan masyarakat sipil secara intensif dan bersama-sama dalam pelaksanaannya, seper- ti akademisi dan organisasi non-pemerintah (Non-Governmental Organisation – NGO). Dalam rangkaian gerakan GNP-SDA ini misal- nya diungkap ribuan perusahaan pertamban- gan tidak memiliki NPWP, beraktivitas tanpa izin, dan melakukan pelanggaran atas ketentu- an perundang-undangan yang berlaku, seperti beraktifitas di hutan konservasi dan hutan lind- ung secara open pit. Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera menilai implementasi GNP-SDA ini berguna untuk kampanye pendidikan budaya anti korupsi, melakukan pengumpulan data dan penertiban administratif serta perbaikan sistem dan mekanisme kebijakan. Namun di sisi lain, GNP-SDA masih lemah dalam melakukan pen- egakan hukum, serta melembagakan keterbu- kaan informasi dan partisipasi publik di dalam sistem tata kelola sektor sumber daya alam, baik di sektor perkebunan, kehutanan, maupun pertambangan.

Korupsi Masih Subur, Hutan Sumatera Semakin Hancur

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Korupsi Masih Subur, Hutan Sumatera Semakin Hancur

PENDAHULUAN

Riset Indonesia Corruption Watch (ICW) memperkirakan kerugian negara dari sektor non-pajak kawasan hutan men-capai Rp 169,791 triliun selama tahun

2004-2007. Kerugian akibat korupsi di sek-tor sumber daya alam (SDA) seperti kehutan-an, perkebunan dan pertambangan, menurut Bidang Pencegahan Komisi Pemberantasan Ko-rupsi (KPK), jumlahnya bisa mencapai 500 kali lipat dari jumlah nilai yang dikorupsi itu sendiri. KPK bersama kementerian dan lembaga neg-ara telah mendeklarasikan Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GNP-SDA) melalui penandatanganan piagam deklarasi Penyelamatan Sumber Daya Alam oleh Ketua KPK, Panglima TNI, Kapolri, dan Jaksa Agung pada 9 Juni 2014 di Ternate, Maluku Utara.

Deklarasi penyelamatan sumberdaya alam (SDA) tersebut berisi pernyataan tekad secara tegas untuk: (1) Mendukung tata kelola SDA In-donesia yang bebas dari korupsi, kolusi dan nep-otisme; (2) Mendukung penyelamatan kekayaan SDA Indonesia; (3) Melaksanakan penegakan hukum di sektor SDA sesuai dengan kewenan-gan masing masing. GNP-SDA yang meliputi sektor Kelautan/Perikanan, Pertambangan, ser-ta Kehutanan dan Perkebunan tersebut terdiri atas kelompok kerja yang antara lain meliputi Tim Litbang KPK bersama Kementerian/Lem-

baga terkait seperti Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK), Ke-menterian Keuangan, serta Pemerintah Daerah dan segenap instansi Penegak Hukum lainnya. Di dalam GNP-SDA ini juga mengakomodasi keterlibatan masyarakat sipil secara intensif dan bersama-sama dalam pelaksanaannya, seper-ti akademisi dan organisasi non-pemerintah (Non-Governmental Organisation – NGO).

Dalam rangkaian gerakan GNP-SDA ini misal-nya diungkap ribuan perusahaan pertamban-gan tidak memiliki NPWP, beraktivitas tanpa izin, dan melakukan pelanggaran atas ketentu-an perundang-undangan yang berlaku, seperti beraktifitas di hutan konservasi dan hutan lind-ung secara open pit. Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera menilai implementasi GNP-SDA ini berguna untuk kampanye pendidikan budaya anti korupsi, melakukan pengumpulan data dan penertiban administratif serta perbaikan sistem dan mekanisme kebijakan. Namun di sisi lain, GNP-SDA masih lemah dalam melakukan pen-egakan hukum, serta melembagakan keterbu-kaan informasi dan partisipasi publik di dalam sistem tata kelola sektor sumber daya alam, baik di sektor perkebunan, kehutanan, maupun pertambangan.

Page 2: Korupsi Masih Subur, Hutan Sumatera Semakin Hancur

Koalisi Masyarakat Sipil Se-Sumatera meny-usun kertas posisi ini untuk disampaikan da-lam Kegiatan Forum Anti Korupsi Indonesia ke-5 (IACF5), guna mengukur kinerja pem-berantasan korupsi di sektor kehutanan dan perkebunan serta capaian dari implementasi GNP-SDA oleh KPK, Kementerian, Lemba-ga Negara, Institusi Hukum serta pemerintah daerah. Kertas posisi ini diarahkan untuk men-jadi rujukan bagi Pemerintah Pusat dan Daer-ah dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi di sektor SDA.

KONDISI HUTAN SUMATERA DAN BURUKNYA PERIZINAN

Luas kawasan hutan Sumatera yang ditetap-kan dengan Surat Keputusan Menteri Ke-hutanan dan Lingkungan Hidup (KLHK) hing-ga saat ini berjumlah 23,2 juta hektar (KLHK, 2014). Sementara berdasarkan penafsiran Citra Satelit Landsat 7 ETM+ 2014, rekapit-ulasi luas penutupan lahan dalam kawasan hutan di Sumatera adalah 25,3 juta hektar dengan persentase areal non-hutan sebesar 48,4 persen (KLHK, 2014). Dari data tersebut terlihat dari keseluruhan luas kawasan hutan yang ditetapkan melalui SK Menteri LHK han-ya 13,06 juta hektar atau 51,6 persen diantara-nya yang benar-benar berhutan.

Selama periode 2009-2013, tutupan hutan di Sumatera mengalami deforestasi seluas 1,5 juta hektar dengan laju deforestasi sebesar 382 ribu hektar per tahunnya. Provinsi Riau adalah provinsi yang mengalami deforestasi terluas sebesar 687 ribu hektar, disusul Jambi seluas 225 ribu hektar dan Sumatera Selatan seluas 164 ribu hektar. Berbeda dengan hasil kajian KLHK, FWI menemukan hingga tahun 2013, hutan alam di Sumatera termasuk di pu-lau-pulau kecil tersisa hanya sekitar 11,3 juta hektar atau sekitar 24 persen dari luas daratan pulau Sumatera (FWI, 2013).

Di Sumatera Selatan misalnya, Surat Keputu-san (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Ke-hutanan No. 866 tahun 2014 menyatakan, luas kawasan hutan di Provinsi Sumatera Selatan sebesar 3.495.374,19 ha. Dari luasan terse-but, yang memiliki fungsi lindung dan konser-vasi sekitar 40 persen. Namun akibat buruknya tata kelola hutan dan lahan, kawasan tersebut terus dibebani izin. Dari sektor perkebunan, terdapat 101.610,2 hektar perkebunan masuk dalam kawasan hutan, 89 persen diantaranya dikuasai komoditi perkebunan kelapa sawit (PKS) dengan 112 izin perusahaan.

Buruknya tata kelola hutan dan lahan juga terjadi di Riau, Jikalahari menemukan bahwa luasan kawasan hutan di Riau yang tertulis di atas kertas dengan fakta di lapangan sering ti-dak sejalan. Banyak areal-areal yang fungsin-ya dinyatakan sebagai hutan lindung ataupun konservasi, namun pada kenyataannya telah berubah menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI) ataupun perkebunan kelapa sawit. Temuan Jikalahari diperkuat dengan temuan Pansus Monitoring dan Evaluasi (Monev) Perizinan DPRD Provinsi Riau. Pansus menyampaikan,

KOTAK I

GAMBAR 1. LAJUDEFORESTASIHUTANDI SUMATERA

Page 3: Korupsi Masih Subur, Hutan Sumatera Semakin Hancur

Izin Usaha Perkebunan (IUP) yang ada di Riau seluas 2.587.257 hektar sedangkan pelepas-an kawasan hutan sesuai data dari Kementri-an Kehutanan hanya 1.705.516 hektar. Artin-ya, ada lebih dari 900 ribu hektar lahan di Riau yang diusahakan sebagai perkebunan namun tidak memiliki SK Izin Pelepasan Kawasan Hutan (IPKH).

Alih fungsi lahan untuk perkebunan sawit ini, berdasarkan data Direktorat Jenderal Perke-bunan untuk periode 2013-2016, mayoritas dikelola masyarakat melalui skema Perkebu-nan Rakyat (Dirjen Perkebunan, 2016).

Gambar 2. Luas Lahan Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatra Menurut Status

Kepengusahaan

Sumber : Direktorat Jenderal Perkebunan, Statistik Perkebunan Indonesia : Kelapa Sawit 2013-2015 dan 2014-2016.

SAWIT DAN ILUSIKESEJAHTERAAN

MASYARAKATSayangnya, luas lahan perkebunan sawit yang dikelola masyarakat tidak berkorelasi positif dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Terbukti, tingkat kemiskinan di Sumatera ta-hun 2015 dan 2016 mengalami peningkatan

dibanding 2014. Di tahun 2016 saja, penduduk miskin di Sumatera berjumlah 6.273.730 jiwa atau 11,22 persen dari keseluruhan penduduk (BPS, 2016). Penyebabnya karena masih berkuasanya sektor swasta, terutama dalam kepemilikan fasilitas pengolahan kelapa sawit. Pekebun seringkali tidak memiliki pilihan lain selain menjual hasil kebunnya kepada perusa-haan. Posisi tawar pekebun dalam hal ini su-dah tentu lebih rendah dibanding perusahaan yang memiliki pengolahan kelapa sawit.

Selain itu, berdasarkan temuan TuK Indone-sia, terjadi pula fenomena landbanking dima-na penguasaan lahan oleh perkebunan swas-ta terkonsentrasi di bawah kendali 25 grup dengan 3 penguasa lahan terbesar terdiri dari Grup Sinar Mas, Grup Salim, dan Grup Jar-dine Matheson (TuK Indonesia, 2013). Dalam hal ini, tujuan sawit rakyat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat belum tercapai.

IZIN PERTAMBANGAN DIKAWASAN HUTAN

Selain oleh pemberian izin perkebunan, keru-sakan hutan dan lahan di Sumatera diperpar-ah oleh Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang berada di kawasan hutan. Berdasarkan data KPK, dari hasil Koordinasi dan Supervisi Ke-menterian/Lembaga KPK per Oktober 2016, dari 34,7 juta hektar luas IUP Tambang yang dikeluarkan secara nasional, 22,9 juta berada di dalam kawasan hutan. Dimana IUP yang berada di kawasan hutan lindung dan hutan konservasi yang seharusnya bebas dari aktivi-tas pertambangan, mencapai 6,3 Juta Hektar.

Berdasarkan data ESDM, di Sumatera Selatan terdapat 169 IUP Tambang yang berada dalam kawasan hutan dengan total luasan mencapai 767.773. Di tahun 2016 terdapat pengurangan (pemberhentian) izin bermasalah mencapai lebih dari 80 izin, dimana 32 masuk dalam ka-wasan hutan dengan luasan 240,502.66 hek-

KOTAK 2TABEL 1. KOMPOSISI KEPEMILIKAN IPKH PERUSAHAAN PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI PROVINSI RIAU

TAHUN 2016

Page 4: Korupsi Masih Subur, Hutan Sumatera Semakin Hancur

tar. Sementara di Bangka Belitung, perusahaan tambang timah baik swasta maupun BUMN beroperasi dalam semua fungsi kawasan hutan, mulai dari Hutan Produksi hingga hutan konser-vasi. Hingga tahun 2014, ditemukan 121 peru-sahaan melakukan aktivitas produksi dalam ka-wasan hutan seluas 158.276,67 hektar. Ribuan hektar lahan pertanian rakyat di Bangka Be-litung telah dikonversi menjadi areal pertamban-gan setiap tahun. Setiap tahunnya terjadi kon-versi lahan (hutan, lahan pertanian, perkebunan rakyat) menjadi pertambangan seluas 5.400 hektar di setiap kabupaten di Bangka Belitung.

Di Sumatera Barat, tumpang tindih antara ka-wasan hutan dan pemberian IUP juga terjadi. Berdasarkan rekapitulasi data IUP yang dilaku-kan Kementerian Energi dan Sumber Daya Min-eral, pada agustus Tahun 2016, terdapat 278 IUP Tambang di Provinsi Sumatera Barat. Dari total IUP tersebut, sebanyak 153 IUP dinyatakan belum memenuhi persyaratan administratif, kewilayahan, teknis, lingkungan dan keuangan oleh Direktur Jenderal Mineral dan Batubara, atau belum berstatus Clear and Clean (CnC). Sementara Direktorat Dirjen Planologi Kemente-rian LHK melalui Surat No. S.704/VII-WKH/2014 tanggal 10 Juli 2014, menyatakan 78 (tujuh pu-luh delapan) IUP di Sumbar arealnya terindikasi berada dalam kawasan hutan yang terdiri dari 11 IUP pada kawasan hutan konservasi seluas 190,16 hektar dan 67 IUP pada kawasan hutan lindung seluas 97.014,06 hektar.

Setelah berlakunya Undang-Undang No. 4 Ta-hun 2009 tentang Pertambangan, terdapat ke-cenderungan penambahan izin yang dikeluar-

kan Pemerintah Daerah. Izin tersebut bahkan diberikan di kawasan konservasi dan lindung. Sebagai contoh, di Bengkulu terdapat 5.960,3 hektar wilayah pertambangan yang masuk hutan konservasi yang terdiri atas 31 izin tambang (1 KK, 30 IUP). Hutan lindung dan konservasi di Bengkulu yang luasnya mencapai 713.715 hek-tar, sebanyak 118.699,72 hektar atau 17 persen telah diterbitkan IUP sebanyak 41 IUP.

Ironinya, tren peningkatan penerbitan izin nyatanya tidak berperan signifikan dalam penerimaan pendapatan negara. Data Pemer-intah Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2015 menyebutkan, dari 38 pemegang IUP mineral logam & batubara hanya 12 perusahaan yang membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sementara 26 perusahaan tidak mau melakukan kewajibannya sehingga negara diperkirakan mengalami kerugian pada tahun 2014 sebesar Rp. 31.771.231.486. Kerugian tersebut diperhitungkan berasal dari tidak di-bayarkannya Iuran Tetap/land rent sebesar Rp.6.805.271.113 dan Royalti/Iuran Produk-si sebesar Rp. 24.965.960.373. Sementara di Sumatera Barat, sejak tahun 2010 – 2013 diperkirakan potensi kerugian penerimaan neg-ara dari land rent mencapai Rp. 4,6 miliar.

KONFLIK TENURIAL DAN BENCANA ALAM

Selain permasalahan pemberian izin di ka-wasan hutan yang tidak sesuai dengan ketentu-an peraturan perundang-undangan, ketidakjela-san penetapan kawasan hutan juga berpotensi menimbulkan konflik tenurial baik antara mas-yarakat versus pemerintah, masyarakat versus perusahaan atau pemerintah versus perusa-haan. Ketimpangan penguasaan dan kepemi-likan lahan memicu terjadinya konflik agraria yang tidak berkesudahan. Berdasarkan data WALHI Sumsel tahun 2013, sekitar 35 konf-lik agraria terjadi antara masyarakat dengan perkebunan, tambang dan kawasan hutan. Se-lama 2012 -2013, sekitar 70 orang yang terdiri dari petani, aktivis dan masyarakat lokal dikrim-inalisasi karena mempertahankan lahan dan lingkungan hidupnya.

Selain rawan konflik, deforestasi hutan di Su-matera ini berdampak terhadap peningkatan kejadian bencana seperti banjir, longsor serta kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, karhutla pada 2015 telah menyebab-kan 24 orang meninggal dunia, lebih dari 600 ribu jiwa menderita ISPA, 2,61 juta hektar hutan dan lahan terbakar, lebih dari 60 juta jiwa terpa-

Page 5: Korupsi Masih Subur, Hutan Sumatera Semakin Hancur

par asap serta kerugian ekonomi Rp 221 triliun. Ini diluar sektor kesehatan dan pendidikan.

Di Riau, kasus karhutla terparah terjadi di ta-hun 2015 yang menyebabkan jatuhnya korban secara masif. Sebanyak 97.239 orang men-derita penyakit pernapasan dan iritasi, serta 6 korban meninggal yang dipicu oleh asap. Salah satu penyebab karhutla menurut BNPB kare-na praktik pembersihan dan perluasan lahan perkebunan terutama sawit dengan cara mem-bakar yang dilakukan dengan sengaja. Hingga 2013, terdapat 370 IUP sawit dengan luas lahan 3,428,136 hektar. Riau adalah provinsi dengan IUP sawit terbanyak, 164 dengan total luas lah-an 2,11 juta hektar (FWI, 2013).

Jika di Riau kebakaran yang terjadi cukup mas-if, lain lagi dengan di Sumatera Barat. Di Kabu-paten Solok Selatan hampir 80 persen izin-iz-in yang muncul berada dalam Hutan Lindung, Hutan Produksi bahkan Hutan Konservasi, beberapa diantaranya telah beroperasi dan melakukan aktivitas eksploitasi tambang terbu-ka, tanpa dilengkapi Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Lemahnya penegakan hukum dalam menindak pelaku tambang ilegal mengakibat-kan daerah ini dilanda bencana banjir dan long-sor terparah sepanjang sejarah pada Februari 2016. Total 4 orang meninggal dunia, 2 orang dinyatakan hilang, dan 175 rumah serta tiga se-kolah terendam banjir akibat meluapnya sungai Batang Pungkur dan Batang Salak.

Selain di Sumatera Barat, bencana banjir akibat buruknya tata kelola hutan juga terjadi di Aceh. Pada periode 2011 – 2015, sebanyak 168 kasus bencana banjir terjadi di Aceh. Sedangkan ta-hun 2016, Walhi Aceh mencatat lebih 30 kasus bencana banjir terjadi yang tersebar di 17 ka-bupaten/kota di Aceh. Bencana banjir tersebut

telah berdampak serius terhadap hilang/rusak infrastruktur pelayanan publik, ekonomi warga, dan korban jiwa.

PENILAIAN KINERJAPENCEGAHAN KORUPSI

Penilaian Kinerja Pencegahan KorupsiStrategi pencegahan oleh pemerintah daer-ah menjadi salah satu hal yang utama dalam GN-PSDA, Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2015 tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2015, dan Instruksi Presiden No. 10 Tahun 2016 Tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi Tahun 2016-2017. Ket-erbukaan informasi merupakan hal utama dalam pencegahan korupsi. Tanpa adanya transparan-si, maka dapat dipastikan akan terjadi korupsi.

Salah satu strategi pencegahan melalui penga-lihan kewenangan perizinan dan non perizinan kepada Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). Di Aceh, sudah terdapat Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BP2T) yang sudah menye-diakan informasi mengenai tata cara perizinan dan layanan perizinan online. Sedikit berbe-da dengan Aceh, BP2T di Riau belum menye-diakan informasi mengenai tata cara perizinan dan layanan perizinan online di website. Namun, pengalihan kewenangan kepada PTSP tersebut harus dicermati lagi, apakah memang berimp-likasi positif untuk lingkungan hidup atau justru hanya mempermudah investasi dan menambah permasalahan baru. Faktanya, sejak Januari hingga Juni 2016 saja PTSP Badan Koordina-si Penanaman Modal (BKPM) sudah menerbit-kan sekitar 300 IUP Tambang. Cepatnya proses perizinan tidak dibarengi dengan pertimbangan teknis yang matang karena terhadap izin yang diajukan hanya dilakukan desk verification. Hal ini tentunya menjadi kontraproduktif dengan tujuan penataan perizinan dan moratorium izin tambang di tahun 2015.

Pengalaman di Sumatera menunjukkan bahwa keterbukaan informasi publik sesuai dengan amanat UU No. 14 tahun 2008 tentang Keter-bukaan Informasi Publik belum cukup baik. Di Riau, keberadaan badan publik yang mem-bentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Doku-mentasi (PPID) sebagai tolak ukur kepatuhan terhadap UU tersebut masih minim. Untuk ke-terbukaan informasi publik di kabupaten/kota daerah Riau, Fitra Riau menemukan bahwa hanya satu daerah yakni Indragiri Hulu yang sudah memiliki sistem pengelolaan informasi yang lebih baik dibandingkan daerah lainnya. Namun secara umum, ketersediaan informasi yang dapat diakses dengan mudah oleh publik

Papan ISPU di Kota Pekanbaru, Riau menunjukkan pencemaran udara yang diakibatkan karhutla sudah berada dalam level berbahaya untuk dihirup.@Jikalahari

Page 6: Korupsi Masih Subur, Hutan Sumatera Semakin Hancur

di website masing-masing dinas terkait masih minim. Untuk pelayanan informasi di Kepoli-sian dan Kejaksaan sudah lebih baik karena sudah disajikan alur permohonan permintaan informasi. Namun untuk Dinas Kehutanan dan Perkebunan belum maksimal karena beberapa website masih dalam proses maintenance dan ada website yang menyediakan kolom informasi data, namun kanal informasi belum terisi oleh data apapun. Sampai saat ini, jika masyarakat ingin memperoleh informasi dan mengalami ke-sulitan dengan lembaga pemerintah umumnya dilakukan melalui sidang sengketa informasi agar informasi yang dibutuhkan dapat diperoleh.

Pengalaman dalam melakukan permohonan informasi yang berakhir di sidang sengketa in-formasi banyak dirasakan oleh MaTA Aceh. Di provinsi Aceh, belum semua Satuan Kerja Pe-merintah Aceh (SKPA) yang mempublikasikan alur permohonan informasi di website mas-ing-masing. Hanya PPID Utama Provinsi Aceh yang sudah memiliki kelengkapan pelayanan in-formasi publik. Dari 3 sengketa informasi men-genai sektor kehutanan yang diajukan MaTA, 2 diantaranya berhasil mendapatkan keseluruhan dokumen yang diajukan.

Berbeda dengan pengalaman MaTA di Aceh, Pemerintah Daerah Sumatera Barat cenderung tertutup akan permintaan informasi seperti do-kumen izin pertambangan. Civil Society Orga-nization (CSO) di Sumatera Barat yang mem-bangun komunikasi dengan Pemerintah untuk mendapatkan dokumen perizinan sejak awal 2016, hingga kini belum berhasil mendapatkan-nya. Pemerintah selalu beralasan terkendala di peralihan kewenangan antara pemerintah daer-ah kabupaten dan provinsi.

PENILAIAN KINERJA PENEGAKAN HUKUM ATAS

KASUS KORUPSIPenyebab kerusakan hutan di Sumatera ada-lah korupsi, baik yang dilakukan dengan peny-alahgunaan kewenangan maupun praktik suap dalam proses perizinan dan alih fungsi lahan. Dari tujuh kasus korupsi sektor kehutanan yang ditangani KPK di Sumatera, sebagian besar ter-jadi di Provinsi Riau. Berdasarkan persidangan tujuh kasus tersebut, terdapat 15 orang penye-lenggara negara dan 3 orang dari sektor swas-ta yang divonis bersalah dengan total kerugian negara mencapai Rp 1,7 triliun dan 209 ribu dolar Singapura (ICW 2016). Selain itu masih ada satu kasus dengan nama terdakwa Edison Marudut Marsadauli yang proses persidangann-

ya masih berjalan di PN Bandung.

Dari sekian banyak kasus korupsi yang ditan-gani KPK di Sumatera, hingga saat ini belum ada korporasi yang dikenakan pertanggung-jawaban pidana walaupun keterlibatannya ter-gambarkan dengan cukup jelas dari keteran-gan-keterangan dalam persidangan. Bahkan, korporasi-korporasi tersebut masih beroperasi hingga saat ini. Hal ini tentunya menimbulkan ketidakadilan, sebab UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sudah memasukkan kor-porasi sebagai salah satu subjek yang dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana, hanya saja masih minim dalam implementasinya.

Praktik korupsi di atas merupakan cerminan bu-ruknya tata kelola hutan dan lahan yang dapat mengakibatkan hutan Sumatera hilang dalam kurun waktu 69 tahun. Apabila tidak dilakukan perbaikan, Riau diproyeksi menjadi provinsi ter-cepat kehilangan luasan hutan yakni hanya da-lam waktu 14 tahun (FWI, 2013).

Salah satu penyebabnya karena pemerin-tah daerah belum melaksanakan tanggung jawabnya dalam pencegahan secara efektif. Temuan Fitra Riau, Jikalahari dan Walhi Riau menunjukkan, Pemerintah Provinsi Riau be-lum melaksanakan mandat UU No. 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, terbukti jumlah badan publik yang membentuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) masih minim. Selain itu, amanat Inpres tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi untuk pelimpahan kewenangan penerbitan izin dan non-izin di daerah serta pengintegrasian layanan perizinan di PTSP juga belum optimal.

Sementara itu, penegakan hukum terhadap du-gaan korupsi yang ditemukan oleh publik baik masyarakat maupun CSO masih lemah. Lapo-

Page 7: Korupsi Masih Subur, Hutan Sumatera Semakin Hancur

ran kasus yang disampaikan publik banyak yang tidak ditindaklanjuti lembaga penegak hukum dengan alasan teknis seperti dokumen pelapo-ran yang alat buktinya belum lengkap ataupun belum matangnya konstruksi perbuatan terse-but dengan pasal-pasal dalam UU Pemberan-tasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam hal ini, beban yang diberikan kepada publik yang mel-apor terlalu berat hingga sampai pada beban pembuktian (burden of proof). Padahal sesuai dengan ketentuan perundang-undangan beban pembuktian tersebut bukan terletak pada publik yang jelas-jelas tidak memiliki kewenangan pro justisia.

Di Aceh, sampai akhir Oktober 2016 ada 6 kasus yang disampaikan Organisasi Masyarakat Sipil ke KPK, namun hingga hari ini belum ada tindak-lanjutnya. Dalam prosesnya, salah satu dugaan suap yang dilaporkan MaTA ditolak dengan ala-san kurangnya alat bukti. Sementara di Riau, pada Agustus lalu Jikalahari melaporkan adan-ya dugaan korupsi yang dilakukan oleh Mantan Bupati Indragiri Hilir, IMA terkait penerbitan izin PT SAL. Pelaporan tersebut didasarkan pada temuan Jikalahari dan hasil Pansus Monev Per-izinan DPRD Riau bahwa PT SAL merupakan salah satu dari perusahaan yang tidak memiliki pelepasan kawasan hutan di Riau namun tetap beroperasi sejak tahun 2012. Laporan Jikala-hari tersebut kemudian ditolak dengan alasan kurangnya alat bukti yang dapat menunjukkan keterlibatan langsung IMA dengan penerbitan izin. Berdasarkan pengalaman di kedua daerah tersebut terlihat bahwa terdapat kesalahan par-adigma aparat penegak hukum mengenai pel-aporan publik atas dugaan korupsi yang men-gakbatkan sistem pelaporannya menjadi rumit dan menghambat proses penegakan hukum.

Permasalahan lainnya adalah, belum tersedi-anya database sistem informasi penanganan kasus secara online yang bisa diakses publik secara luas yang merupakan amanat dari In-pres No. 7 Tahun 2015 dan Inpres No. 10 Tahun 2016. Hal ini memperlemah kontrol publik terh-adap proses penanganan kasus korupsi sektor SDA, sebab akses publik terhadap kasus yang ditangani oleh aparat penegak hukum sangat terbatas. Dalam konteks lain, tidak mengher-ankan jika kemudian terdapat keterlambatan penyikapan CSO atas pemberian SP3 terhadap 15 perusahaan dalam kasus kebakaran hutan dan lahan.

KESIMPULAN DANREKOMENDASI

GNP-SDA serta Inpres No. 7 Tahun 2015 dan Inpres No. 10 Tahun 2016 Tentang Aksi Pence-gahan dan Pemberantasan Korupsi, sudah se-mestinya digunakan sebagai instrumen untuk pemberantasan korupsi di sektor SDA. Namun faktanya, instrumen tersebut belum efektif da-lam mengatasi masalah korupsi sektor SDA yang ada di Sumatera karena sistem pencega-han korupsi yang baik belum terbangun. Selain itu lemahnya penegakan hukum serta kontrol publik atas penanganan kasus juga turut memi-liki andil.

Karena itu Koalisi Masyarakat Sipil Sumatera merekomendasikan :1. Mendorong KLHK untuk segera menyele-

saikan pengukuhan kawasan hutan agar ter-dapat kejelasan mengenai status kawasan;

2. KLHK dan Pemerintah Daerah harus ber-komitmen dalam melakukan evaluasi atas izin yang berada dalam kawasan hutan di masing-masing daerahnya;

3. Pemerintah Pusat harus mengevaluasi efektifitas dan efisiensi sistem perizinan tambang, kebun, dan hutan melalui PTSP;

4. Pemerintah Daerah harus berkomitmen penuh dalam melaksanakan amanat GNP-SDA, Inpres No. 7 Tahun 2015, dan Inpres No. 10 Tahun 2016 bagi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi di sektor SDA, ter-masuk dalam mendorong keterbukaan infor-masi dan partisipasi publik di masing-mas-ing SKPD;

5. Pemerintah Daerah harus membuat ren-cana kerja yang terukur serta melaporkan perkembangan pelaksanaannya ke publik dalam melaksanakan amanat GNP-SDA, Inpres No. 7 Tahun 2015, dan Inpres No. 10 Tahun 2016 bagi Pencegahan dan Pember-antasan Korupsi di sektor SDA, termasuk dalam mendorong keterbukaan informa-si dan partisipasi publik di masing-masing SKPD;

6. Pengembangan kolaborasi strategis dengan berbagai pihak dalam pencegahan dan pen-anganan kasus korupsi sektor SDA, diawali dengan pembuatan sistem pelaporan perk-ara yang sederhana dan tidak rumit untuk memastikan partisipasi publik dapat diopti-malkan; dan

7. Aparat Penegak Hukum harus berkomitmen melaksanakan amanat UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk tidak hanya mengenakan pertanggungjawaban pidana kepada penyelenggara negara ataupun in-dividu swasta melainkan juga korporasi.

Page 8: Korupsi Masih Subur, Hutan Sumatera Semakin Hancur

Sepanjang tahun 2016, seluas 4.097 hektar hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) Provinsi Aceh beru-bah fungsi. Pada Januari 2016, luas

hutan KEL mencapai 1.820.726 hektare, namun luas tersebut berkurang menjadi 1.816.629 hektare pada Juni 2016. Kehilan-gan kawasan hutan (forest loss) akibat alih fungsi menjadi kawasan perkebunan, per-tambangan illegal, dan ancaman terbesar akibat aktivitas ilegal logging. Selain kehil-angan kawasan hutan, periode Januari hing-ga Juni 2016 terpantau 187 titik api, pada umumnya titik api berada dalam area perke-bunan.

Area perkebunan di Aceh sudah mencapai 1.195.528 ha (21,06 persen dari total luas daratan Aceh), perkebunan besar 385.435 ha, perkebunan rakyat 810.093 ha. Dari jum-lah tersebut, sebagian besar perkebunan besar merupakan perkebunan kelapa sawit yang dikelola melalui HGU, setidaknya ada 127 perusahaan perkebunan di Aceh.

Lain halnya dengan sektor pertambangan, melalui Instruksi Gubernur Nomor 11/IN-STR/2014 tentang Moratorium Izin Usaha Pertambangan Mineral Logam dan Batuba-ra, Pemerintah Aceh telah melakukan eval-uasi IUP pertambangan yang ada. Tercatat, 2007 – 2014, jumlah izin usaha pertamban-gan (IUP) di Aceh mencapai 138 izin. Sejak moratorium dan evaluasi tambang diberlaku-kan, pada 2016, jumlah IUP tersisa hanya 46 izin. Sebagian besar izin pertambangan dicabut karena berada di hutan lindung, juga di dalam Kawasan Ekosistem Leuser (KEL).

Hilangnya kawasan hutan telah berdampak serius terhadap keberlangsungan lingkungan hidup dan HAM di Aceh. Terjadinya sejumlah bencana banjir dan tanah longsor tidak terle-

pas dari faktor tersebut. Bencana banjir telah berdampak serius terhadap hilang/rusak in-frastruktur pelayanan publik, ekonomi warga, dan korban jiwa. Terkait bencana ini, pemer-intah mengakui faktor utama terjadinya ban-jir karena kerusakan dan alih fungsi kawasan hutan untuk pertambangan dan perkebunan kelapa sawit di daerah hulu dan hilir. Na-mun, dalam waktu yang sama pemerintah juga mengalokasikan anggaran pengadaan bibit kelapa sawit dalam anggaran daerah. Hasil tracking Walhi Aceh, setidaknya dalam periode 2013 – 2016 anggaran pemerintah untuk pengadaan bibit kelapa sawit sebesar Rp. 104.786.341.059.

Secara regulasi Aceh juga memiliki mas-alah yang cukup serius. Qanun No. 19 Ta-hun 2013 Tentang RTRW Aceh tidak mema-sukkan klausul Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) yang merupakan kawasan strategis nasional. Selain itu, secara tata ruang, Pe-merintah Aceh juga belum mengalokasikan ruang terhadap Mukim (adat). Selain itu, pe-merintah Aceh juga masih kurang keterbu-kaan informasi publik terkait sektor pengelo-laan sumber daya alam. Tidak sedikit kasus sengketa informasi publik masuk ke Komisi Informasi Aceh (KIA) yang didominasi oleh masyarakat sipil.

Ekspansi lahan untuk perkebunan dan per-tambangan di Aceh menjadi ancaman terh-adap wilayah kelola masyarakat. Contoh ka-sus, Bupati Aceh Tamiang menerbitkan izin lingkungan untuk pabrik semen dalam area Hutan Kemasyarakatan. Tumpang tindih kawasan HGU perkebunan dengan perke-bunan rakyat juga merupakan contoh kasus yang mendominasi konflik agraria di Aceh yang sampai hari ini belum mampu disele-saikan oleh Pemerintah Aceh.

Kertas Posisi ini disusun oleh: KOALISI ANTI MAFIA HUTAN. Dipersiapkan untuk pre-event IACF V “Kinerja Pemberantasan Korupsi di Sektor Kehutanan dan Perkebunan”. PADA 22 - 23 November 2016. Nama Lembaga :

1. Walhi Aceh2. Yayasan HAkA3. MaTA4. Walhi Sumut5. Walhi Sumbar6. Walhi Babel

7. Walhi Bengkulu8. YCMM9. Perkumpulan Qbar10. LBH Padang11. Walhi Riau12. Jikalahari

13. Fitra Riau14. LBH Pekanbaru15. Yayasan Mitra Insani16. Walhi Sumsel17. HaKI 18. FWI

19. ICW20. Yayasan Auriga21. PWYP Indonesia22. TuK Indonesia23. Eknas Walhi

KOTAK 3

KAWASAN EKOSISTEM LEUSER YANG KINI TERANCAM