View
5.285
Download
6
Category
Preview:
DESCRIPTION
Surveilans Epidemiologi TB Paru di Puskesmas Birobuli, Palu, Sulawesi Tengah
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mycobacteriumtuberculosis menginfeksi satu orang per detik di
dunia. Sepertiga penduduk duniatelah terinfeksi oleh Mycobacterium
Tuberculosis. World Health Organization (WHO) menyatakan
kedaruratan dunia (global emergency) terhadap penyakit tuberkulosis (TB)
paru sejak tahun 1993 danmerekomendasikanpenanggulanganTBdengan
strategi DOTS sejak tahun 1995. Namun sebagian besar negara-negara di
dunia belum mampu mengendalikan penyakit TB paru.
LaporanWHO tahun 2006menyimpulkan ada 22 negara dengan
kategori beban tertinggi terhadap TB paru. Sekitar 80% penderita TB paru
di dunia berada pada 22 negara berkembang dengan angka kematian 3 juta
setiap tahunnya dari 9 juta kasus baru dan secara global angka insidensi
penyakit TB meningkat 1%setiap tahun.
Indonesia adalahnegaraterbesar ketiga di dunia dengan masalah
tuberkulosis setelah India (30%) dan China (15%).2,3 Angka estimasi
tahun 2004 diperkirakan bahwa insidensi TB sekitar 530.000 kasus TB
BTA positif (245/100.000), prevalensi seluruh kasus TB diperkirakan
600.000 dengan angka kematian 101.000 orang.2 Hasil survei insidensi
dan prevalensi tahun 2004menunjukkan perbedaan yang nyata di beberapa
wilayah, di Jawa dan Bali 64/100.000, di Sumatera 160/100.000 dan
Kawasan Timur Indonesia (KTI) 210/100.000, yang terdapat daerah-
daerah yang sulit terakses oleh pelayanan kesehatan, sehingga
diperkirakan banyak penderita TB yang tidak ditemukan dan tidak
dilaporkan.Oleh karena itu, TB masih merupakan masalah utama
kesehatan masyarakat di Indonesia.
Strategi DOTS adalah satu-satunya strategi penanggulangan TBdi
Indonesia yang paling efektif biaya dan Puskesmas merupakan ujung
tombak pelaksanaannya. Fokus utama penanggulangan TB dengan strategi
DOTS adalah penemuan dan penyembuhan penderita TB. Target nasional
1SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
untuk Case Detection Rate (CDR) adalah 70% dengan angka kesembuhan
(cure rate) minimal 85%. Penemuan penderita TB paru dilakukan secara
pasif dengan promosi aktif (passive promotive casefinding).
Angka penemuan penderita (CDR) TB paru (BTA+) di
Indonesiameningkat dari 37%pada tahun2003 menjadi 54% pada tahun
2004, 65% pada tahun 2005 dan 70% pada tahun 2006 sementara angka
kesembuhan penderita (cure rate) TB paru menunjukkan hasil sesuai
target nasional (>85%).Namun penemuan penderita TB paru terendah
terdapat di Sumatera (56%) dan di Kawasan Timur Indonesia (31%).4,7Di
kota Palu angka penemuan penderita (CDR) TB parumenurun bermakna
pada tahun 2006 dan 2007 (34,9%dan 33,8%).
Selain itu, penyakit TB paru diketahui menyerang sebagian besar
(75%) kelompok usia produktif (15- 50 tahun) yang merupakan kelompok
sumber daya manusia yang penting bagi pembangunan bangsa,
sehinggabila penderita TBparu tidak ditemukan dan diobatimaka setelah 5
tahun 50%akanmeninggal dunia, 25%akan sembuh sendiri karena daya
tahan tubuh yang tinggi dan 25% menjadi kasus kronis yang tetap menjadi
sumber penularan TB. Hal ini akan meningkatkan insidensi, prevalensi,
mortalitasTBdanmenurunkan angka harapan hidup.
Tuberkulosis Paru (TB Paru) suatu penyakit kronis yang
dapatmenurunkan daya tahan fisik penderitanya secara serius. Proses
destruksiyang terjadi pula secara simultan dan proses restorasi atau
penyembuhanjaringan paru, sehingga terjadi perubahan struktural yang
bersifat menetapserta bervariasi yang menyebabkan berbagai macam
kelainan faal paru(Supardi, D., 2009).
Tuberkulosis merupakan masalah penting bagi kesehatan
karenaSepertiga penduduk telah terinfeksi oleh Mycobakterium
Tuberkulosis danpenyebab kematian. Data WHO pada bulan Maret tahun
2009 dalamGlobal TB Control Report menunjukkan bahwa, prevalaensi
TB duniapada tahun 2008 sekitar 5-7 juta kasus baik kasus baru maupun
2SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
kasusrilaps. Prevalensi tersebut 2,7 juta diantaranya adalah BTA positif
barudan 2,1 juta kasus BTA negatif baru (WHO, 2009).
Indonesia berada pada posisi ke tiga terbesar didunia dalam
jumlahpenderita Tuberkulosis, setelah india dan cina. Jumlah pasien TB
diIndonesia sekitar 10% dari total jumlah pasien TB
didunia.Menurutlaporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) pada tahun
2007 dalamDepkes RI (2009), menunjukkan bahwa penyakit TB
merupakan penyebabkematian nomor dua setelah penyakit kardiovaskuler
(stroke) pada semuakelompok usia, dan nomor satu dari golongan penyakit
infeksi. Padatahun 2008, angka temuan kasus baru (Case Detection
Rate/CDR)diIndonesia sebesar 72,8% atau didapati 166.376 penderita
baru denganBTA positif. Angka kesembuhannya (Success Rate/SR) 89%.
Hal inimelampaui target global, yaitu CDR 70% dan SR 85% (DepkesRI,
2009).
Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia
menurunke posisi lima dengan jumlah penderita TBC sebesar 429 ribu
orang. Limanegara dengan jumlah kasus terbesar pada tahun 2009 adalah
India, Cina,Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia (sumber WHO Global
TuberculosisControl 2010).
Global Report WHO 2010didapat data jumlah seluruh kasus
TBtahun 2009 sebanyak 294731 kasus, dimana 169213 adalah kasus TB
baruBTA positif, 108616 adalah kasus TB BTA negatif, 11215 adalah
kasusTB Extra Paru, 3709 adalah kasus TB Kambuh, dan 1978 adalah
kasuspengobatan ulang diluar kasus kambuh . Sementara itu, untuk
keberhasilanpengobatan dari tahun 2003 sampai tahun 2008 (dalam %),
tahun 2003(87%), tahun 2004 (90%), tahun 2005 sampai 2008 semuanya
sama (91%) (Rahayu,E., 2010).
3SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
B. Batasan Masalah
Data surveilans ini mengambil data penyakit TB Paru menurut , tempat,
orang dan Waktu.
C. Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
1. Tujuan umum
Adapun tujuan umum dari penyusunan data surveilans ini adalah untuk
mengetahui surveilens epidemiologi penyakit TB Paru yang ada di
Puskesmas Birobuli pada tahun 2011-2012
2. Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus dari penyusunan data surveilans ini adalah sebagai
berikut:
a) Untuk mengetahui surveilans epidemiologi penyakit TB Paru
berdasarkan Tempat di wilayah Puskesmas Birobuli pada tahun 2011-
2012.
b) Untuk mengetahui surveilans epidemiologi penyakit TB Paru
berdasarkan Orang di wilayah Puskesmas Birobuli pada tahun2011-
2012
c) Untuk mengetahui surveilans epidemilogi penyakit TB Paru
berdasarkan Waktu di wilayah Puskesmas Birobuli pada tahun 2011-
2012.
D. Manfaat
Adapun manfaat dari makalah ini terbagi menjadi 3 bagian yaitu:
1. Manfaat Institusi
Adapun manfaat untuk institusi adalah sebagai penambahan arsip dalam
perencanaan program kesehatan tentang penyakit TB paru yang ada
dimasyarakat, kemudian sebagai penyusunan program dalam rangka
pencegahan dan penanggulangan TB paru.
2. Manfaat Praktisi
4SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
Adapun manfaat untuk praktisi yaitu sebagai pengalaman untuk
mahasiswa kesehatan masyarakatdalam melakukan observasi langsungdan
dapat bersosialisasi dengan masyarakat di lapangan, serta dapat
mengetahui secara langsung berbagai masalah kesehatan yang yang
berhubungan dengan penyakit TB paru yang ada di lingkungan
masyarakat.
3. Manfaat Ilmiah
Adapun manfaat ilmiah yaitu sebagai referensi tambahan ilmu khususnya
ilmu kesehatan masyarakat.
5SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambaran Umum Puskesmas
1. Keadaan Umum
Puskesmas Birobuli merupakan salah satu puskesmas yang terletak di
kecamatan Palu Selatan dan berada di ibukota Provinsi Sulawesi
Tengah (Kota Palu). Puskesmas Birobuli mempunyai wilayah kerja
11.05 Km2 dan jumlah KK sebesar 11.507 yang secara administrasi
terdiri dari 3 (Tiga) kelurahan yaitu: Kelurahan Birobuli Utara dengan
luas daerah 7.09 km2, jumlah KK 5.519, dengan RW 11 dan RT 43.
Kelurahan Lolu Utara mempunyai luas daerah sebesar 1.29 km2,
dengan jumlah KK 3.095 dengan RW 9 dan RT 31 dan Kelurahan
Lolu Selatan mempunyai luas daerah 2.67 km2, dengan jumlah KK
2.893 dengan RW 11 dan RT 42.
Puskesmas Birobuli dibangun diatas tanah seluas 990 m2 (45 m x 22
m), dengan luas gedung/bangunan 299 m2 (23 m x 13 m). Adapun luas
rumah dinas Puskesmas masing-masing, untuk Klinik Bersalin Mutiara
masing-masing dengan luas tanah 440 m2 (20 m x 22 m), dengan luas
bangunan 110 m2, Rumah dokter luas tanah 364 m2 (13 m x 28 m),
dengan luas bangunan masing-masing 114 m2 (12 m x 9.5 m). Adapun
2 buah rumah paramedik masing-masing dengan luas tanah yang sama
yakni 286 m2 (22m x 13 m) dan luas bangunan yang sama pula yakni
73,7 m2 (11 m x 6.7 m).
2. Kependudukan
a) Pertumbuhan Penduduk.
Jumlah penduduk di wilayah kerja Puskesmas Birobuli tahun 2012
sebesar 43.059 jiwa, mengalami peningkatan sebesar 0,93 % dari
tahun 2011 yang berjumlah 40.170 jiwa.
6SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
b) Distribusi Penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin.
Komposisi penduduk menurut kelompok umur dan jenis kelamin di
wilayah Puskesmas Birobuli tahun 2012, dapat dilihat pada tabel
berikut ini:
Tabel.2.1
Distribusi penduduk menurut kelurahan dan jenis kelamin dalam
wilayah kerja Puskesmas Birobuli tahun 2012.
No Kelurahan Jenis Kelamin Jumlah %
Laki-laki Perempuan
1
2
3
Birobuli
Utara
Lolu Utara
Lolu
Selatan
Jumlah
9.290
5.368
6.938
21.596
9.187
5.401
6.875
21.463
18.477
10.769
13.813
43.059
42, 91
25.01
32.08
100
Sumber: BPS Kota Palu 2012
Dari tabel diatas ,menunjukkan bahwa distribusi penduduk menurut
menurut kelurahan di wilayah kerja puskesmas Birobuli untuk tahun
2012, terlihat bahwa jumlah penduduk terbesar berada dikelurahan
Birobuli Utara yakni 18.477 jiwa, adapun jumlah penduduk laki-laki
pada tahun 2012 yakni sebesar 21.596 jiwa dan penduduk
perempuan sebesar 21.463 jiwa, maka sex rationya sebesar 1.006
hal ini menunjukkan bahwa proporsi penduduk laki-laki lebih
banyak dibandingkan dengan proporsi perempuan.
c) Tenaga kesehatan
Pada tahun 2012, jumlah tenaga kesehatan yang ada diwilayah
kerja Puskesmas Birobuli sebanyak 76 orang dengan rincian yang
berstatus PNS sebanyak 45 orang, PPT 9 orang, dan tenaga
mengabdi sebanyak 22 orang. Dengan rincian PNS dan PTT yakni:
Tenaga dokter umum yang ada berjumlah 4 orang, 2 orang
7SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
berstatus pegawai negeri sipil (seorang diantaranya menempuh
studi dokter spesialis) dan 2 orang dokter PTT sedangkan dokter
gigi berjumlah 2 orang (PNS) sudah termasuk Kepala Puskesmas,
adapun tenaga kesehatan masyarakat sebanyak 4 orang, tenaga
perawat lulusan D3 sebanyak 10 orang, D3 perawat gigi 2 orang,
Bidan lulusan D3 berjumlah 9 orang dan 7 orang Bidan PTT,
lulusan D1 kebidanan 1 orang, tenaga apoteker 1 dan asisten
apoteker 1 orang (sedang dalam pendidikan apoteker), sanitarian
lulusan D3 orang (1 orang titipan kerja di Dinkes Kab. Toli-toli
dan 1 orang menempuh studi), sanitarian D1 2 orang (1 orang
titipan kerja di Dinkes Kab. Toli-toli), Analis lulusan SMAK 1
orang, D3 perekam medic 1 orang, petugas gizi (SPAG) 1 orang,
pekarya 1 orang, SMA 2 orang, 1 orang perawat D3 titipan dari
PKM Balinggi Kab. Parigi Moutong dan 1 orang sanitarian titipan
dari PKM Bulili Kota Palu, ditambah dengan 22 orang tenaga
mengabdi dari berbagai profesi.
d) Sarana kesehatan
Untuk wilayah Kerja Puskesmas Birobuli, sarana kesehatan yang
ada selain puskesmas terdapat tiga Poskes kelurahan dan tidak
terdapat Pustu, oleh sebab itu segala upaya peningkatan derajat
kesehatan masyarakat, pelayanan kesehatannya dilaksanakan oleh
Puskesmas dan Poskes Kelurahan.
B. Tinjauan Tentang TB Paru
1. Etiologi
Penyebab penyakit TB Paru adalah bakteri Mycobacterium
tuberculosis. Kuman tersebut mempunyai ukuran 0,5-4 mikron x 0,3-
0,6 mikron dengan bentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok,
bergranular atau tidak mempunyai selubung, tetapi mempunyai lapisan
luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolat).Bakteri ini
mempunyai sifat istimewa, yaitu dapat bertahan terhadap pencucian
warna dengan asam dan alkohol, sehingga sering disebut basil tahan
8SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
asam (BTA), serta tahan terhadap zat kimia dan fisik. Kuman
tuberkolosis juga tahan dalam keadaan kering dan dingin, bersiat
dorman dan aerob.
Bakteri tuberkolosis ini mati pada pemanasan 100OC selama 5-
10 menit atau pemanasan 60oC selama 30 menit, dan dengan alkohol
70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara
terutama di tempat yang lembab dan gelap (bisa berbulan-bulan),
namun tidak tahan terhadap sinar atau aliran udara. Data pada tahun
1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari
kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam.
2. Epidemiologi
Di negara industri di seluruh dunia, angka kesakitan dan
kematian akibat penyakit TBC menunjukan penurunan. Tetapi sejak
tahun 1980an, grafik menetap dan meningkat di daerah dengan
prevalensi HIV tinggi. Morbiditas tinggi biasanya terdapat pada
kelompok masyarakat dengan sosial ekonomi rendah dan
prevalensinya lebih tinggi pada daerah perkotaan dari pada daerah
pedesaan.
Insidensi TBC di Amerika Serikat adalah 9,4 per seratus
penduduk pada tahun 1994 (lebih dari 24.000 kasus dilaporkan). Anak
yang pernah terinfeksi TBC mempunyai resiko menderita penyakit ini
sepanjang hidupnya sebesar 10%. Epidemi pernah dilaporkan pada
tempat orang-orang berkumpul seperti rumah perawatan,
penampungan tuna wisma, rumah sakit, sekolah, dan penjara. Dari
tahun 1989-1992 terjadi KLB multidrag resistance (MDR) minimal
terhadap INH (Isoniazid) dan rifampisin di daerah tempat penderita
HIV berkumpul. KLB berhubungan dengan tingginya angka kematian
dan tingginya penularan TBC pada petugas kesehatan.
Menurut hasil SKRT (Survei Kesehatan Rumah Tangga) tahun
1986, penyakit tuberkolosis di Indonesia merupakan penyebab
9SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
kematian ke tiga dan menduduki urutan ke 10 penyakit terbanyak di
masyarakat.
SKRT tahun 1992 menunjukkan jumlah penderita penyakit
tuberkulosis semakin meningkat dan menyebabkan kematian terbanyak
yaitu pada urutan ke 2. Prevalensi penyakit pada akhir pelita IV
sebesar 2,5%. Pada tahun 199 di Jawa Tengah, penyakit tuberkulosis
menduduki urutan ke 6 dari 10 penyakit rawat jalan di rumah sakit,
sedangakan menurut SURKESNAS 2001, TBC menempati urutan ke 3
penyebab kematian (9,4%).
WHO memperkirakan kasus TBC sebanyak 9 juta per tahun di
seluruh dunia pada tahun 1999, dengan jumlah kematian sebanyak 3
juta orang per tahun. Dari seluruh kematian tersebut, 25% terjadi di
negara berkembang. Sebanyak 75% dari penderita berusia 15-50 tahun
usia produktif. WHO menduga kasus TBC di Indonesia merupakan
nomor 3 terbesar di dunia setelah China dan India. Prevalensi TBC
secara pasti belum diketahui. Asumsi BTA (+) di Indonesia adalah 130
per 100 penduduk.
WHO menyatakan 22 negara dengan beban TBC tertinggi di
dunia 50%nya berasal dari negara-negara Afrika dan Asia serta
Amerika (Brazil). Hampir semua negara ASEAN masuk dalam
kategori 22 negara tersebut kecuali Singapura dan Malaysia. Dari
seluruh kasus di dunia, India menyumbang 30%, China 15%, dan
Indonesia 10%.
Penyakit ini menyerang semua golongan usia dan jenis
kelamin, serta mulai merambah tidak hanya pada golonga sosial
ekonomi rendah saja. Profil kesehatan Indonesia tahun 2002
menggambarkan persentase penderita TBC terbesar adalah usia 25-34
tahun (23,67%), diikuti 35-44 tahun (20,46%), 15-24 tahun (18,08%),
45-54 tahun (17,48%), 55-64 tahun (12,32%), >65 tahun (6,68%) dan
yang terendah adalah 0-14 tahun (1,31%). Gambaran diseluruh dunia
menunjukan bahwa morbiditas dan mortalitas meningkat sesuai
10SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
dengan bertambahnya usia, dan pada pasien berusia lanjut ditemukan
bahwa penderita laki-laki lebih banyak dari pada wanita. Laporan dari
seluruh provinsi di Indonesia pada tahun 2002 menunjukan bahwa dari
76,230 penderita TBC BTA (+) terdapat 43,294 laki-laki (56,79%) dan
32,936 perempuan (43,21%).
Dari seluruh penderita tersebut, angka kesembuhan hanya
mencapai 70,03% dari 85% yang ditargetkan. Rendahnya angka
kesembuhan disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu penderita
(perilaku, karakteristik, sosial ekonomi), petugas (perilaku,
ketrampilan), ketersediaan obat, lingkungan (geogreafis), PMO
(Pengawas Minum Obat), serta virulensi dan jumlah kuman.
3. Penularan
Penyakit tiberkulosis yang di sebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosisditularkan melalui udara (dropletnuclei) saat seorang
pasien TBC batuk dan percikan ludah yang mengandung bakteri
tersebut terhirup oleh orang lain saat bernafas. Bila penderita batuk,
bersin, atau berbicara saat berhadapan dengan orang lain, basil
tuberculosis tersembur dan terhisap ke dalam paru orang sehat.Masa
inkubasinya selama 3-6 bulan.Gambaran paru yang sehat dan paru
yang rusak karena TBC diilustrasikan pada gambar berikut.
Risiko terinfeksi berhubungan dengan lama dan kualitas
paparan dengan sumber infeksi dan tidak berhubungan dengan factor
genetic dan factor pejamu lainnya. Resiko tertinggi berkembangnya
penyakit yaitu pada anak berusia dibawah 3 tahun, resiko rendah pada
masa kanak-kanak dan meningkat lagi pada masa remaja, dewasa
muda, dan lanjut usia. Bakteri masuk ke dalam tubuh manusia melalui
saluran pernapasan dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui
peredaran darah, pembuluh limfe, atau langsung ke organ terdekatnya.
Gambaran masuknya kuman tuberculosis ke dalam tubuh manusia dan
kerusakan yang akan diakbatkannya diilustrasikan pada gambar
berikut.
11SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
Setiap satu BTA (+) akan menularkan kepada 10-15 orang
lainnya sehingga kemungkinan setiap kontak untuk tertular TBC
adalah 17%. Hasil studi lainnya melaporkan bahwa kontak terdekat
(misalnya keluarga serumah) akan 2 kali lebih beresiko dibandingkan
kontak biasa ( tidak serumah). Seorang penderita dengan BTA (+)
yang derajat positifnya tinggi berpotensi menularkan penyakit
ini.Sebaliknya, penderita dengan BTA (-) dianggap tidak
menularkan.Angka risiko penularan infeksi TBC di Amerika Serikat
adalah sekitar 10/100.000 populasi. Di Indonesia angka ini sebesar 1-
3% yang berarti diantara 100 penduduk terdapat 1-3 warga yang akan
terinfeksi TBC. Setengah dari mereka BTAnya akan positif (0,5%).
4. Gejala
Untuk mengetahui penderita Tuberkulosis dengan baik harus
dikenal tanda dan gejalanya.Seseorang ditetapkan sebagai tersangka
penderita tuberculosis paru apabila ditemukan gejala kilnis utama
(cardinal symptom) pada dirinya. Gejala utama pada tersangka TBC
adalah:
1. Batuk berdahak lebih dari 3 minggu
2. Batuk berdarah
3. Sesak nafas
4. Nyeri dada
Gejala lainnya adalah berkeringat pada malam hari, demam
tidak tinggi/ meriang, dan penurunan berat badan.Dengan strategi yang
baru (DOTS, directly observed treatment shortcourse), gejala
utamanya adalah batuk berdahak dan/atau terus menerus selama 3
minggu atau lebih. Berdasarkan keluhan tersebut, seseorang sudah
dapat ditetapkan sebagai tersangka.Gejala lainnya adalah gejala
tambahan.Dahak penderita harus diperiksa dengan pemeriksaan
mikroskopis.
12SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
5. Program dan Pemberantasan
Program penanggulangan TBC secara nasional mengacu pada
strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO, dan terbukti dapat
memutus rantai penularan TBC. Terdapat 5 komponen utama strategis
DOTS:
1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk
dukungan dana
2. Diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskopik BTA
dalam dahak
3. Terjaminnya persediaan obat anti tuberculosis (OAT)
4. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung oleh pengawas minum obat (PMO)
5. Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memantau dan
mengevaluasi program penanggulanan TB
6. Tujuan
Tujuan umum:
Memutus rantai penularan sehingga penyakit tuberculosis diharapkan
bukan lagi menjadi masalah kesehatan.
Tujuan khusus:
a. Cakupan penemuan kasus BTA (+) sebesar 70%
b. Kesembuhan minimal 85%
c. Mencegah multidrug resistance (MDR)
7. Kebijaksanaan dan Strategi
a. Pengobatan untuk semua penderita baru
b. Petugas pengelolah TBC harus mengikuti pelatihan strategi DOTS
c. Monitoring pengobatan:
1. Kategori I : akhir bulan ke 2, 5, 6
2. Kategori II: akhir bulan ke 3, 7, 8
3. Kategori III : akhir bulan ke 2
8. Kegiatan dan Langkah-langkah
13SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
a. Penemuan penderita (case finding) secara lintas program dan lintas
sector; secara aktif (misalnya kontak survey) dan pasif
b. Pengobatan penderita (case holding)
a) Pengawasan minum obat, terutama pada tahap intensif oleh
puskesmas
b) Perencanaan termasuk jadwal minum obat, kunjungan rumah
pencegahan, DO (drop out), dsb.
c) Pengamatan efek samping:
Tubuh melemah
Nafsu makan menurun
Gatal-gatal
Sesak nafas
Mual dan muntah
Berkeringat
Dingin dan menggigil
Ganguan pendengaran dan penglihatan (biru dan merah)
Efek samping obat:
1. INH : Neuropati perifer (dapat dikurangi dengan
memberikan vitamin B6), hepatotoksik/ hepatitis.
2. Rifampisin : Syndrom flu hepatotoksik
3. Pirazinamid : Hiperurisemia, hepatotoksik
4. Etambutol : Neuritis optik, nefrotoksik, ruam kulit
5. Streptomisin : Nefrotoksik, gangguan N. VIII
Rujukan
1. Pemerikasaan uji silang (cross check) semua slide (+) dan 10%
slide (-) ke laboratorium rujukan
2. Pasien dengan efek samping berat
Kriteri Kesembuhan:
1. Pemerikasaan dahak (3 kali dalam seminggu) dengan hasil
negative
14SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
2. Jumlah obat yang diminum minimal 90% dari paket pengobatan.
Masa pengobatan intensif dan intermiten maksimal 9 bulan.
9. Indikator dan monitoring evaluasi
1. Cakupan penemuan kasus baru BTA (+) = (130/100.000) x jumlah
penduduk
2. Cakupan penemuan kasus tersangka TBC diantara pengunjung
puskesmas = 10% penderita baru
3. ANgka konversi > 80%
4. Tingkat kesalahan uji silang < 5%
5. Angka kesembuhan > 85%
10. Pencatatan dan pelaporan
a. Dengan format TBC-1 sampai TBC-14 (WHO)
b. Puskesmas (pusat rujukan mikroskopis dan satelit) mencatat tetapi
tidak melaporkan, dinas kesehatan kota pusat rujukan mikroskopis
mengambil catatan ke puskesmas
c. Yang perlu dicatat minimal:
1. Pusekesmas satelit: TBC-1, 2, 5, 6, 9, 10, 13, 14
2. Pusekesmas rujukan mikroskopis (PRM): TBC-2, 4, 5, 6, 9, 10,
12, 13, 14
3. Kota/kabupaten : TBC-3, 7, 11, 12
11. Patofisiologi Penyakit TB Paru
Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman
dibersinkan atau dibatukkan keluar menjadi droplet nuclei dalam
udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama
1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi
yang buruk dan kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap
kuman dapat tahan selama berhari-hari sampai berbulan-bulan.
Bila partikel infeksi ini terhisap oleh orang sehat akan menempel
pada jalan nafas atau paru-paru. Partikel dapat masuk ke alveolar
bila ukurannya kurang dari 5 mikromilimeter.
15SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
Tuberculosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh
respon imunitas perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag
sedangkan limfosit ( biasanya sel T ) adalah imunoresponsifnya.
Tipe imunitas seperti ini basanya lokal, melibatkan makrofag yang
diaktifkan ditempat infeksi oleh limposit dan limfokinnya. Raspon
ini desebut sebagai reaksi hipersensitifitas (lambat).
Basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya
diinhalasi sebagai unit yang terdiri dari 1-3 basil. Gumpalan basil
yang besar cendrung tertahan dihidung dan cabang bronkus dan
tidak menyebabkan penyakit ( Dannenberg 1981 ). Setelah berada
diruang alveolus biasanya dibagian bawah lobus atas paru-paru
atau dibagian atas lobus bawah, basil tuberkel ini membangkitkan
reaksi peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak didaerah
tersebut dan memfagosit bakteria namun tidak membunuh
organisme ini. Sesudah hari-hari pertama leukosit akan digantikan
oleh makrofag . Alveoli yang terserang akan mengalami
konsolidasi dan timbul geja pneumonia akut. Pneumonia seluler
akan sembuh dengan sendirinya, sehingga tidak ada sisa atau
proses akan berjalan terus dan bakteri akan terus difagosit atau
berkembang biak didalam sel. Basil juga menyebar melalui getah
bening menuju kelenjar getah bening regional. Makrofag yang
mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian bersatu
sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang dikelilingi oleh
limposit. Reaksi ini butuh waktu 10-20 hari.
Nekrosis pada bagian sentral menimbulkan gambangan
seperti keju yang biasa disebut nekrosis kaseosa. Daerah yang
terjadi nekrosis kaseosa dan jaringan granulasi disekitarnya yang
terdiri dari sel epiteloid dan fibroblast menimbulkan respon yang
berbeda.Jaringan granulasi menjadi lebih fibrosa membentuk
jaringan parut yang akhirnya akan membentuk suatu kapsul yang
mengelilingi tuberkel.
16SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
Lesi primer paru dinamakn fokus ghon dan gabungan
terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer
dinamakan kompleks ghon. Respon lain yang dapat terjadi
didaerah nekrosis adalah pencairan dimana bahan cair lepas
kedalam bronkus dan menimbulkan kavitas. Materi tuberkel yang
dilepaskan dari dinding kavitas akan masuk kedalan percabangan
trakeobronkhial. Proses ini dapat terulang lagi kebagian paru lain
atau terbawa kebagian laring, telinga tengah atau usus.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa
pengobatan dan meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila
peradangan mereda lumen brokus dapat menyempit dan tertutup
oleh jaringan parut yang terdapt dekat dengan perbatasan bronkus
rongga. Bahan perkejuan dapat mengental sehingga tidak dapat
mengalir melalui saluran penghubung sehingga kavitas penuh
dengan bahan perkejuan dan lesi mirip dengan lesi kapsul yang
terlepas. Keadaan ini dapat dengan tanpa gejala dalam waktu lama
atau membentuk lagi hubungan dengan brokus sehingge menjadi
peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau
pembuluh darah. Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening
akan mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, kadang dapat
menimbulkan lesi pada oragan lain. Jenis penyeban ini disebut
limfohematogen yang biasabya sembuh sendiri. Penyebaran
hematogen biasanya merupakan fenomena akut yang dapat
menyebabkan tuberkulosis milier.Ini terjadi apabila fokus nekrotik
merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme yang masuk
kedalam sistem vaskuler dan tersebar keorgan-organ lainnya.
12. Faktor Resiko TB
Ada beberapa Faktor resiko yang mempengaruhi adanya TBC,
yaitu:
17SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
1. Faktor Umur.
Beberapa faktor resiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika
yaitu umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi
AIDS. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada
Panti penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan bahwa
kemungkinan mendapat infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara
bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis paru
biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan
75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-
50 tahun.
2. Faktor Jenis Kelamin.
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki.
Pada tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua
kali lipat dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita,
yaitu 42,34% pada laki-laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun
1985-1987 penderita TB paru laki-laki cenderung meningkat
sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada wanita
menurun 0,7%. TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar
mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan
terjangkitnya TB paru.
3. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap
pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang
memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB Paru,
sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan
mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan sehat. Selain
itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap jenis
pekerjaannya.
18SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
4. Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi
setiap individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu
paparan partikel debu di daerah terpapar akan mempengaruhi
terjadinya gangguan pada saluran pernafasan. Paparan kronis udara
yang tercemar dapat meningkatkan morbiditas, terutama terjadinya
gejala penyakit saluran pernafasan dan umumnya TB Paru.
Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan
keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup
sehari-hari diantara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan
selain itu juga akan mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah
(kontruksi rumah). Kepala keluarga yang mempunyai pendapatan
dibawah UMR akan mengkonsumsi makanan dengan kadar gizi
yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap anggota keluarga
sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan
memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru.
Dalam hal jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan
yang kurang maka kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi
syarat kesehatan sehingga akan mempermudah terjadinya
penularan penyakit TB Paru.
5. Kebiasaan Merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan
resiko untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung
koroner, bronchitis kronik dan kanker kandung kemih.Kebiasaan
merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2
kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di Indonesia per orang per
tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan 430
batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di
Ghana dan 760 batang/orang/tahun di Pakistan (Achmadi, 2005).
Prevalensi merokok pada hampir semua Negara berkembang lebih
dari 50% terjadi pada laki-laki dewasa, sedangkan wanita perokok
19SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
kurang dari 5%. Dengan adanya kebiasaan merokok akan
mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.
6. Kepadatan hunian kamar tidur
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di
dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus
disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan
overload. Hal ini tidak sehat, sebab disamping menyebabkan
kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga
terkena penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota
keluarga yang lain.
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya
dinyatakan dalam m2/orang. Luas minimum per orang sangat relatif
tergantung dari kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia.
Untuk rumah sederhana luasnya minimum 10 m2/orang. Untuk
kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3 m2/orang. Untuk
mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi tempat
tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur
sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami
istri dan anak di bawah 2 tahun. Untuk menjamin volume udara
yang cukup, di syaratkan juga langit-langit minimum tingginya
2,75 m.
7. Pencahayaan
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari, diperlukan luas
jendela kaca minimum 20% luas lantai. Jika peletakan jendela
kurang baik atau kurang leluasa maka dapat dipasang genteng
kaca. Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-
bakteri patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu
rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang
cukup. Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali
lilin atau kurang lebih 60 lux., kecuali untuk kamar tidur
diperlukan cahaya yang lebih redup. Semua jenis cahaya dapat
20SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
mematikan kuman hanya berbeda dari segi lamanya proses
mematikan kuman untuk setiap jenisnya..Cahaya yang sama
apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh
kuman dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca
berwama Penularan kuman TB Paru relatif tidak tahan pada sinar
matahari. Bila sinar matahari dapat masuk dalam rumah serta
sirkulasi udara diatur maka resiko penularan antar penghuni akan
sangat berkurang.
8. Ventilasi
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal
ini berarti keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni
rumah tersebut tetap terjaga. Kurangnya ventilasi akan
menyebabkan kurangnya oksigen di dalam rumah, disamping itu
kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara di dalam
ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit
dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik
untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen/ bakteri penyebab
penyakit, misalnya kuman TB. Fungsi kedua dari ventilasi itu
adalah untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri,
terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran udara
yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu
mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan
kamar tidur selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang
optimum. Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas
lubang ventilasi sebesar 10% dari luas lantai. Untuk luas ventilasi
permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil
(dapat dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga
diperlukan untuk menjaga temperatur dan kelembaban udara dalam
ruangan. Umumnya temperatur kamar 22° – 30°C dari kelembaban
udara optimum kurang lebih 60%.
21SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
9. Kondisi rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor resiko penularan
penyakit TBC. Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat
perkembang biakan kuman.Lantai dan dinding yag sulit
dibersihkan akan menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan
dijadikan sebagai media yang baik bagi berkembangbiaknya
kuman Mycrobacterium tuberculosis.
10. Kelembaban udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan,
dimana kelembaban yang optimum berkisar 60% dengan
temperatur kamar 22° – 30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati
bila terkena sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup
selama beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab.
11. Status Gizi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi
kurang mempunyai resiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat
dibandingkan dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih.
Kekurangan gizi pada seseorang akan berpengaruh terhadap
kekuatan daya tahan tubuh dan respon immunologik terhadap
penyakit.
12. Keadaan Sosial Ekonomi
Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan,
keadaan sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan
kesehatan. Penurunan pendapatan dapat menyebabkan kurangnya
kemampuan daya beli dalam memenuhi konsumsi makanan
sehingga akan berpengaruh terhadap status gizi. Apabila status
gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh yang
menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru.
13. Perilaku
Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan.
Pengetahuan penderita TB Paru yang kurang tentang cara
22SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
penularan, bahaya dan cara pengobatan akan berpengaruh
terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit dan akhinya
berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.
13. Riwayat alamiah tb paru
Gejala klinis sangat bervariasi dari tidak ada gejala sama sekali
sampai gejala yang sangat berat seperti gangguan pernapasan dan
gangguan mental.
a) Gejala sistematik
· Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza. Tetapi
kadang-kadang panas badan dapat mencapai 40-41 ºC.
Serangan demam pertama dapat sembuh sebentar, tetapi
kemudian dapat timbul kembali. Begitulah seterusnya
hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga pasien
merasa tidak pernah terbebas dari serangan demam
influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh daya tahan
tubuh pasien dan berat ringannya infeksi kuman
tuberculosis yang masuk.
· Malaise
Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala
malaise sering ditemukan berupa anoreksia tidak ada nafsu
makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit
kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam. Gejala malaise
ini makin lama makin berat dan terjadi hilang timbul secara
tidak teratur .
b) Gejala respiratorik
Batuk/Batuk darah
Gejala ini banyak ditemukan. Batuk terjadi karena adanya
iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk membuang
produk-produk radang keluar. Karena terlibatnya bronkus
pada setiap penyakit tidak sama, mungkin saja batuk baru
23SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
ada setelah penyakit berkembang dalam jaringan paru
yakini setelah berminggu-minggu atau berbulan-bulan pada
peradangan bermula. Sifat batuk dimulai dari batuk kering
(non-produktif) kemudian setelah timbul peradangan
menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan yang
lanjut adalah berupa batuk darah karena terdapat pembuluh
darah yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada
tuberculosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat juga terjadi
pada ulkus dinding bronkus.
Batuk biasnya terjadi lebih dari 3 minggu, kering sampai
produktif dengan sputum yang bersifat mukoid atau
purulen, batuk berdarah dapat terjadi bila ada pembuluh
darah yang robek.
Sesak napas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan
sesak napas. Sesak napas akan ditemukan pada penyakit
yang sudah lanjut, yang infiltrasinya sudah meliputi
setengah bagian paru-paru.
Rasa nyeri pada dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul bila
infiltrasi radang sudah sampai ke pleura sehingga
menimbulkan pleuritis. Terjadi gesekan kedua pleura
sewaktu pasien menarik/melepaskan napasnya.\
14. Surveilans penyakit TB paru
Surveilans adalah pengumpulan, analisis, dan analisis
data secara terus - menerus dan sistematis yang kemudian
didiseminasikan (disebarluaskan) kepada pihak-pihak yang
bertanggungjawab dalam pencegahan penyakit dan masalah
kesehatan lainnya (DCP2, 2008).
24SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
Surveilans memiliki beberapa jenis, yaitu
1. Surveilans Individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi
dan memonitor individu-individu yang mengalami kontak
dengan penyakit serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis,
tifus, demam kuning, sifilis. Surveilans individu
memungkinkan dilakukannya isolasi institusional segera
terhadap kontak, sehingga penyakit yang dicurigai dapat
dikendalikan. Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi
institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-
orang atau binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh
suatu kasus penyakit menular selama periode menular.
Tujuan karantina adalah mencegah transmisi penyakit
selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi (Last,
2001). Isolasi institusional pernah digunakan kembali
ketika timbul AIDS 1980an dan SARS. Dikenal dua jenis
karantina: (1) Karantina total; (2) Karantina parsial.
Karantina total membatasi kebebasan gerak semua orang
yang terpapar penyakit menular selama masa inkubasi,
untuk mencegah kontak dengan orang yang tak terpapar.
Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak
secara selektif, berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan
dan tingkat bahaya transmisi penyakit. Contoh, anak
sekolah diliburkan untuk mencegah penularan penyakit
campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus bekerja.
Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan,
sedang di pos-pos lainnya tetap bekerja. Dewasa ini
karantina diterapkan secara terbatas, sehubungan dengan
masalah legal, politis, etika, moral, dan filosofi tentang
legitimasi, akseptabilitas, dan efektivitas langkah-langkah
25SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
pembatasan tersebut untuk mencapai tujuan kesehatan
masyarakat (Bensimon dan Upshur, 2007).
2. Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan
pengawasan terus-menerus terhadap distribusi dan
kecenderungan insidensi penyakit, melalui pengumpulan
sistematis, konsolidasi, evaluasi terhadap laporan-laporan
penyakit dan kematian, serta data relevan lainnya. Jadi
fokus perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan
individu. Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit
biasanya didukung melalui program vertikal (pusat-
daerah). Contoh, program surveilans tuberkulosis.
Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi
efektif, tetapi tidak sedikit yang tidak terpelihara dengan
baik dan akhirnya kolaps, karena pemerintah kekurangan
biaya. Banyak program surveilans penyakit vertikal yang
berlangsung paralel antara satu penyakit dengan penyakit
lainnya, menggunakan fungsi penunjang masing-masing,
mengeluarkan biaya untuk sumberdaya masing-masing, dan
memberikan informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan
inefisiensi.
C. Tinjauan Tentang Surveilans
Surveilans adalah proses pengamatan secara teratur dan terus
menerus terhadap semua aspek penyakit tertentu, baik keadaan maupun
penyebarannya dalam suatu masyarakat tertentu untuk kepentingan
pencegahan dan penanggulangan.
Menurut WHO Surveilans adalah proses pengumpulan,
pengolahan, analisis dan interprestasi data secara sistematik dan terus
menerus serta penyebaran informasi kepada Unit yang membutuhkan
untuk diambil tindakan. Oleh karena itu perlu dikembangkan suatu
definisi Surveilans epidemiologi yang lebih mengedepankan analisis atau
26SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
kajian epidemiologi serta pemanfaatan informasi epidemiologi, tanpa
melupakan pentingnya kegiatan pengumpulan dan pengolahan data.
Sehingga dalam sistem ini yang dimaksud dengan Surveilans
epidemiologi adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus
terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan dan kondisi yang
mempengaruhi terjadinya peningkatan dan penularan penyakit atau
masalah-masalah kesehatan tersebut, agar dapat melakukan tindakan
penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan
data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada
penyelenggara program kesehatan.
Definisi lain secara lengkap menjelaskan bahwa Surveilans
adalah suatu rangkaian proses yang sistematis dan berkesinambungan
dalam pengumpulan, analisa dan interpretasi data kesehatan dalam upaya
untuk menguraikan dan memantau suatu peristiwa kesehatan.
Surveilans memantau terus-menerus kejadian dan kecenderungan
penyakit, mendeteksi dan memprediksi outbreak pada populasi,
mengamati faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian penyakit, seperti
perubahan-perubahan biologis pada agen, vektor, dan
reservoir.Selanjutnya surveilans menghubungkan informasi tersebut
kepada pembuat keputusan agar dapat dilakukan langkah-langkah
pencegahan dan pengendalian penyakit (Last, 2001).Kadang digunakan
istilah surveilans epidemiologi. Baik surveilans kesehatan masyarakat
maupun surveilans epidemiologi hakikatnya sama saja, sebab
menggunakan metode yang sama, dan tujuan epidemiologi adalah untuk
mengendalikan masalah kesehatan masyarakat, sehingga epidemiologi
dikenal sebagai sains inti kesehatan masyarakat (core science of public
health).
Surveilans memungkinkan pengambil keeputusan untuk
memimpin dan mengelola dengan efektif.Surveilans kesehatan
masyarakat memberikan informasi kewaspadaan dini bagi pengambil
keputusan dan manajer tentang masalah-masalah kesehatan yang perlu
27SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
diperhatikan pada suatu populasi.Surveilans kesehatan masyarakat
merupakan instrumen penting untuk mencegah outbreak penyakit dan
mengembangkan respons segera ketika penyakit mulai
menyebar.Informasi dari surveilans juga penting bagi kementerian
kesehatan, kementerian keuangan, dan donor, untuk memonitor sejauh
mana populasi telah terlayani dengan baik.
Tujuan surveilans (WHO, 2002)
1. Memprediksi dan mendeteksi dini epidemi
2. (outbreak/wabah)
3. Memonitor, mengevaluasi dan memperbaiki program pencegahan dan
pengendalian penyakit.
4. Memasok informasi untuk penentuan prioritas, pengambilan kebijakan,
perencanaan, implementasi dan alokasi sumber daya kesehatan.
5. Monitoring kecenderungan penyakit endemis dan mengestimasi
dampak penyakit di masa mendatang.
6. Mengidentifikasi kebutuhan riset dan investigasi lebih lanjut.
Dikenal ada beberapa jenis surveilans: (1) Surveilans individu; (2)
Surveilans penyakit; (3) Surveilans sindromik; (4) Surveilans Berbasis
Laboratorium; (5) Surveilans terpadu; (6) Surveilans kesehatan
masyarakat global.
1. Surveilans Individu
Surveilans individu (individual surveillance) mendeteksi dan
memonitor individu-individu yang mengalami kontak dengan penyakit
serius, misalnya pes, cacar, tuberkulosis, tifus, demam kuning,
sifilis.Surveilans individu memungkinkan dilakukannya isolasi
institusional segera terhadap kontak, sehingga penyakit yang dicurigai
dapat dikendalikan.Sebagai contoh, karantina merupakan isolasi
institusional yang membatasi gerak dan aktivitas orang-orang atau
binatang yang sehat tetapi telah terpapar oleh suatu kasus penyakit
menular selama periode menular. Tujuan karantina adalah mencegah
28SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
transmisi penyakit selama masa inkubasi seandainya terjadi infeksi
(Last, 2001).Isolasi institusional pernah digunakan kembali ketika
timbul AIDS 1980an dan SARS. Dikenal dua jenis karantina: (1)
Karantina total; (2) Karantina parsial. Karantina total membatasi
kebebasan gerak semua orang yang terpapar penyakit menular selama
masa inkubasi, untuk mencegah kontak dengan orang yang tak terpapar.
Karantina parsial membatasi kebebasan gerak kontak secara selektif,
berdasarkan perbedaan tingkat kerawanan dan tingkat bahaya transmisi
penyakit.Contoh, anak sekolah diliburkan untuk mencegah penularan
penyakit campak, sedang orang dewasa diperkenankan terus
bekerja.Satuan tentara yang ditugaskan pada pos tertentu dicutikan,
sedang di pospos lainnya tetap bekerja.Dewasa ini karantina diterapkan
secara terbatas, sehubungan dengan masalah legal, politis, etika, moral,
dan filosofi tentang legitimasi, akseptabilitas, dan efektivitas langkah-
langkah pembatasan tersebut untuk mencapai tujuan kesehatan
masyarakat.
2. Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit (disease surveillance) melakukan pengawasan
terus-menerus terhadap distribusi dan kecenderungan insidensi
penyakit, melalui pengumpulan sistematis, konsolidasi, evaluasi
terhadap laporan-laporan penyakit dan kematian, serta data relevan
lainnya.Jadi fokus perhatian surveilans penyakit adalah penyakit, bukan
individu.Di banyak negara, pendekatan surveilans penyakit biasanya
didukung melalui program vertikal (pusat-daerah).Contoh, program
surveilans tuberkulosis, program surveilans malaria.
Beberapa dari sistem surveilans vertikal dapat berfungsi efektif, tetapi
tidak sedikit yang tidak terpelihara dengan baik dan akhirnya kolaps,
karena pemerintah kekurangan biaya.Banyak program surveilans
penyakit vertikal yang berlangsung paralel antara satu penyakit dengan
penyakit lainnya, menggunakan fungsi penunjang masing-masing,
29SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
mengeluarkan biaya untuk sumberdaya masingmasing, dan memberikan
informasi duplikatif, sehingga mengakibatkan inefisiensi.
3. Surveilans Sindromik
Syndromic surveillance (multiple disease surveillance) melakukan
pengawasan terus-menerus terhadap sindroma (kumpulan gejala)
penyakit, bukan masing-masing penyakit.Surveilans sindromik
mengandalkan deteksi indikator-indikator kesehatan individual maupun
populasi yang bisa diamati sebelum konfirmasi diagnosis.Surveilans
sindromik mengamati indikator-indikator individu sakit, seperti pola
perilaku, gejala-gejala, tanda, atau temuan laboratorium, yang dapat
ditelusuri dari aneka sumber, sebelum diperoleh konfirmasi
laboratorium tentang suatu penyakit.Surveilans sindromik dapat
dikembangkan pada level lokal, regional, maupun nasional. Sebagai
contoh, Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menerapkan
kegiatan surveilans sindromik berskala nasional terhadap penyakit-
penyakit yang mirip influenza (flu-like illnesses) berdasarkan laporan
berkala praktik dokter di AS.
Dalam surveilans tersebut, para dokter yang berpartisipasi melakukan
skrining pasien berdasarkan definisi kasus sederhana (demam dan batuk
atau sakit tenggorok) dan membuat laporan mingguan tentang jumlah
kasus, jumlah kunjungan menurut kelompok umur dan jenis kelamin,
dan jumlah total kasus yang teramati.
Surveilans tersebut berguna untuk memonitor aneka penyakit yang
menyerupai influenza, termasuk flu burung, dan antraks, sehingga dapat
memberikan peringatan dini dan dapat digunakan sebagai instrumen
untuk memonitor krisis yang tengah berlangsung.Suatu sistem yang
mengandalkan laporan semua kasus penyakit tertentu dari fasilitas
kesehatan, laboratorium, atau anggota komunitas, pada lokasi tertentu,
disebut surveilans sentinel. Pelaporan sampel melalui sistem surveilans
sentinel merupakan cara yang baik untuk memonitor masalah kesehatan
dengan menggunakan sumber daya yang terbatas.
30SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
4. Surveilans Berbasis Laboratorium
Surveilans berbasis laboartorium digunakan untuk mendeteksi dan
menonitor penyakit infeksi.Sebagai contoh, pada penyakit yang
ditularkan melalui makanan seperti salmonellosis, penggunaan sebuah
laboratorium sentral untuk mendeteksi strain bakteri tertentu
memungkinkan deteksi outbreak penyakit dengan lebih segera dan
lengkap daripada sistem yang mengandalkan pelaporan sindroma dari
klinik-klinik.
5. Surveilans Terpadu
Surveilans terpadu (integrated surveillance) menata dan memadukan
semua kegiatan surveilans di suatu wilayah yurisdiksi (negara/ provinsi/
kabupaten/ kota) sebagai sebuah pelayanan publik bersama. Surveilans
terpadu menggunakan struktur, proses, dan personalia yang sama,
melakukan fungsi mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk
tujuan pengendalian penyakit.
Pendekatan surveilans terpadu tetap memperhatikan perbedaan
kebutuhan data khusus penyakitpenyakit tertentu. Karakteristik
pendekatan surveilans terpadu: (1) Memandang surveilans sebagai
pelayanan bersama (common services); (2) Menggunakan pendekatan
solusi majemuk; (3) Menggunakan pendekatan fungsional, bukan
struktural; (4) Melakukan sinergi antara fungsi inti surveilans (yakni,
pengumpulan, pelaporan, analisis data, tanggapan) dan fungsi
pendukung surveilans (yakni, pelatihan dan supervisi, penguatan
laboratorium, komunikasi, manajemen sumber daya); (5) Mendekatkan
fungsi surveilans dengan pengendalian penyakit. Meskipun
menggunakan pendekatan terpadu, surveilans terpadu tetap memandang
penyakit yang berbeda memiliki kebutuhan surveilans yang berbeda.
6. Surveilans Kesehatan Masyarakat Global
31SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
Perdagangan dan perjalanan internasional di abad modern, migrasi
manusia dan binatang serta organisme, memudahkan transmisi penyakit
infeksi lintas negara. Konsekunsinya, masalah-masalah yang dihadapi
negara-negara berkembang dan negara maju di dunia makin serupa dan
bergayut.Timbulnya epidemi global (pandemi) khususnya menuntut
dikembangkannya jejaring yang terpadu di seluruh dunia, yang
manyatukan para praktisi kesehatan, peneliti, pemerintah, dan
organisasi internasional untuk memperhatikan kebutuhan-kebutuhan
surveilans yang melintasi batas-batas negara.Ancaman aneka penyakit
menular merebak pada skala global, baik penyakit-penyakit lama yang
muncul kembali (re-emerging diseases), maupun penyakit-penyakit
yang baru muncul (newemerging diseases), seperti HIV/AIDS, flu
burung, dan SARS.Agenda surveilans global yang komprehensif
melibatkan aktor-aktor baru, termasuk pemangku kepentingan
pertahanan keamanan dan ekonomi.
Penyelenggaraan Surveilans Epidemiologi Kesehatan wajib
dilakukan oleh setiap instansi kesehatan Pemerintah, instansi Kesehatan
Propinsi, instansi kesehatan kabupaten/kota dan lembaga masyarakat dan
swasta baik secara fungsional atau struktural. Mekanisme kegiatan
Surveilans epidemiologi Kesehatan merupakan kegiatan yang
dilaksanakan secara sistematis dan terus menerus dengan mekanisme
sebagai berikut :
a. Identifikasi kasus dan masalah kesehatan serta informasi terkait
lainnya.
b. Perekaman, pelaporan dan pengolahan data
c. Analisis dan intreprestasi data
d. Studi epidemiologi
e. Penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkannya
f. Membuat rekomendasi dan alternatif tindak lanjut.
g. Umpan balik.
32SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
Dalam menjalankan kegiatan surveilans epidemiologi, diperlukan
keterpaduan satu sama lain, untuk itu ditetapkan sebuah atribut / pedoman
dalam pelaksanaannya. Sebuah kegiatan surveilans epidemiologi
hendaknya mengikuti beberapa kriteria seperti sederhana, fleksibel, bisa
diterima (acceptability), sensitif (sesuai dengan laporan kasus, proporsi
dari masalahkesehatan), benar dan tepat waktu.
D. Kerangka Teori Penyakit TB Paru
Adapun kerangka teori penyakit TB Paru adalah sebagai berikut:
Gambar 1. Kerangka Teori TB Paru
33SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
ENVIROMENT
TB ParuAGENT
HOST
Status Gizi
PHBS
Imunitas
Mycobacterium tuberculosis
Physiologis Rumah
BAB III
METODE
A. Jenis Desain
Jenis desain studi yang digunakan dalam laporan surveilans ini
adalah observasional dengan jenis pendekatan deskriptif. Hal itu lakukan
untuk memperoleh gambaran tentang keadaan yang berkaitan dengan
kesehatan masyarakat berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan
dilapangan.
B. Populasi Sampel
Populasi yang digunakan dalam laporan surveilans ini adalah
penderita TB Paru yang ada di Kecamatan Birobuli. Sedangkan sampel
yang digunakan dalam laporan surveilans ini adalah penderita TB paru
yang berobat di Puskesmas Birobuli yang berasal dari 3 wilayah yakni
Birobuli Utara, Lolu Utara dan Lolu Selatan yang berada di Kecamatan
Palu Selatan pada tahun 2011-2012.
C. Pengolahan Data
Proses pengolahan data yang digunakan dalam laporan surveilans
ini adalah sistem komputerisasi. Data yang diolah dianalisis secara
deskriptif yaitu penyajian data dalam bentuk tabel dan grafik.
D. Analisis dan Penyajian Data
Data laporan surveilans ini dianalisis secara univariat dan bivariat.
Sedangkan data disajikan dalam bentuk grafik dan tabel distribusi.
34SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
E. Kerangka konsep
Adapun kerangka konsep dari Laporan ini adalah sebagai berikut:
Gambar 2. Kerangka Konsep TB Paru
F. Alur design
Adapun alur design surveilans epidemiologi TB Paru ini adalah sebagai
berikut:
Gambar3. Alur design Surveilans TB Paru
35SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
TB Paru
WAKTU
TEMPAT
ORANG
MENURUTTAHUN
MENURUTKELURAHAN
MENURUTJENIS
KELAMIN
Pengumpulan data
Pengolahan dan Penyajian
Analisis dan Interpretasi Data
Pembuatan Laporan
Rekomendasi Tindak Lanjut
Tindakan Pencegahan dan Penanggulangan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Pelaksanaan Surveilans TB Paru
Pada Puskesmas Birobuli, pelaksanaan surveilans TB Paru pada
periode 2010 sampai dengan 2012 dapat dikatakan berjalan dengan
baik. Kegiatan surveilans pertama dilakukan dengan cara
mengumpulkan data, pengamatan secara terus menerus, analisis atau
interpretasi data, penanggulangan dalam proses menjelaskan atau
penyebaran, serta memantau peristiwa kejadian penyakit khususnya
penyakit TB Paru yang terjadi di 3 wilayah yakni Birobuli utara, Lolu
Utara dan Lolu Selatan di Kecamatan Birobuli.
2. Univariat
a. Distribusi penyakit TB Paru menurut tempat
Tabel 4.1
Distribusi Penyakit TB Paru Menurut Tempat di Puskesmas Birobuli
Tahun 2011-2012
No Kelurahan
Jumlah Kasus Tahun 2011-2012
Frekuensi Presentase
1 Birobuli Utara 23 48.94
2 Lolu selatan 12 25.53
3 Lolu Utara 12 25.53
Jumlah 47 100
36SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
Birobuli Utara Lolu selatan Lolu Utara0
10
20
30
40
50
60
Frekuensi Presentase
Grafik 4.1. Grafik Distribusi Penyakit TB Paru Menurut Tempat di Puskesmas Birobuli Tahun 2011-2012
Berdasarkan tabel diatas bahwa frekuensi tertinggi yaitu pada wilayah
Birobuli utara sebanyak 23 dengan presentase 48.94% sedangkan pada
wilayah Lolu Utara dan Lolu Selatan mempunyai frekuensi yang sama
yaitu 12 dengan presentase 25.53%
b. Distribusi Penyakit TB Paru Menurut Orang
Tabel 4.2
Distribusi Penyakit TB Paru Menurut Jenis Kelamin di Puskesmas birobuli
Pada tahun 2011-2012
Jenis Kelamin
Jumlah Kasus Tahun 2011-2012
Frekuensi Presentase
Laki-Laki 27 57.5
Perempuan 20 42.5
Jumlah 47 100
37SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
Laki-Laki Perempuan0
10
20
30
40
50
60
70
FrekuensiPresentase
Grafik 4.2. Grafik distribusi penyakit TB Paru menurut jenis kelamin
di Puskesmas Birobuli tahun 2011-2012
Berdasarkan tabel dapat diketahui bahwa angka kejadian TB Paru
tertinggi terjadi pada laki-laki dengan presentase 57.5%. sedangkan
pada perempuan lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki yaitu
42.5%.
c. Distribusi penyakit TB Paru menurut waktu
Tabel 4.3
Distribusi Penyakit TB Paru di Puskesmas Birobuli
Tahun 2011-2012
No Tahun kejadianJumlah Kasus
Presentase
1 2011 25 53.2
2 2012 22 46.8
Jumlah 47 100
38SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
2011 20120
10
20
30
40
50
60
Jumlah KasusPresentase
Grafik 4.3. Grafik distribusi penyakit TB Paru menurut tahun di
Puskesmas Birobuli tahun 2011-2012
Berdasarkan data dari tabel, bahwa angka kejadian TB Paru pada tahun
2011 lebih tinggi dibandingkan angka kejadian tahun 2012. Jumlah
kasus pada tahun 2011 yaitu 25 jiwa dengan presentase 53.2%,
sedangkan pada tahun 2012 yaitu 22 jiwa dengan presentase 46.8%.
3. Bivariat
a. Distribusi penyakit TB Paru menurut tempat
Tabel 4.4
Distribusi Penyakit TB Paru Menurut Tempat di Puskesmas Birobuli
Tahun 2011-2012
No Wilayah Jumlah Kasus Tahun 2011-1012
Jumlah2011 2012
Frekuensi Presentase Frekuensi Presentase1 Birobuli Utara 11 44 12 54.5 232 Lolu Utara 8 32 4 18.2 123 Lolu Selatan 6 24 6 27.3 12
Jumlah 25 100 22 100 47
39SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
Frekuensi Presentase Frekuensi Presentase2011 2012
0
10
20
30
40
50
60
Birobuli UtaraLolu UtaraLolu Selatan
Grafik 4.4. Grafik distribusi penyakit TB Paru menurut tempat di
Puskesmas Birobuli tahun 2011-2012
Berdasarkan data dari tabel diperoleh hasil bahwa angka kejadian TB
Paru yang tertinggi adalah pada wilayah birobuli utara pada tahun
2011 maupun 2012. Pada tahun 2011 wilayah birobuli utara terdapat
11 kasus dengan presentase 44% dan pada tahun 2012 wilayah birobuli
utara terdapat 12 kasus dengan presentase 54.5%. Pada Wilayah Lolu
Utara, pada tahun 2011 terdapat 8 kasus dengan presentase 32% dan
pada tahun 2012 terdapat 4 kasus dengan presentase 18.2%. Dan pada
Wilayah Lolu Selatan, pada tahun 2011 terdapat 6 kasus dengan
presentase 24% dan pada tahun 2012 terdapat 6 kasus dengan
presentase 27.3%.
40SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
b. Distribusi Penyakit TB Paru Menurut Orang
Tabel 4.5.
Distribusi Penyakit TB Paru Menurut Jenis Kelamin di Puskesmas
Birobuli
Tahun 2011-2012
Jenis Kelamin
Jumlah Kasus per TahunJumlah
2011 Presentase 2012 Presentase
Laki-Laki 13 52 14 63.6 27
Perempuan 12 48 8 36.4 20
Jumlah 25 100 22 100 47
Laki-Laki Perempuan280
290
300
310
320
330
340
350
360
370
20112012
Grafik 4.5. Grafik distribusi penyakit TB Paru menurut Jenis Kelamin
di Puskesmas Birobuli tahun 2011-2012
41SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
Berdasarkan data dari tabel, diperoleh hasil bahwa angka kejadian TB
Paru tertinggi pada tahun 2011 terjadi pada laki-laki dengan presentase
52% dibandingkan dengan angka kejadian TB Paru yang terjadi pada
perempuan dengan presentase 48%. Begitupun pada tahun 2012, kejadian
TB Paru tertinggi yaitu pada laki-laki dengan presentase 63.6%
dibandingkan dengan angka kejadian TB Paru yang terjadi pada
perempuan dengan presentase 36.4%.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan Puskesmas Birobuli mempunyaki tiga
wilayah kerja yaitu Birobuli Selatan, Lolu Selatan dan Lolu Utara.
Pelaksanaan kegiatan surveilans TB paru di Puskesmas ini tiap tahunnya
berjalan dengan baik, yaitu dimulai dari kegiatan pengumpulan data,
pengamatan secara terus menerus, analisis atau interpretasi data,
penanggulanagn dalam proses menjelaskan atau penyebaran, kegiatan
pemantauan peristiwa kejadian TB paru.
1. Distribusi penyakit TB Paru menurut tempat
Penyebaran penyakit TB Paru di wilayah kecamatan Lolu Selatan pada
tahun 2011-2012 yaitu 12 kasus untuk wilayah Lolu Selatan dan Lolu Utara
dan jumlah kasus paling tinggi adalah untuk wilayah Birobuli Utara yaitu
sebanyak 23 kasus. Hal ini dipengaruhi oleh kepadatan penduduk di tiap-
tiap wilayah, di wilayah Lolu Selatan dan Lolu Utara jumlah penduduknya
11.648 jiwa dan 10.435, dan untuk wilayah Birobuli Utara jumlah
penduduknya sebanyak 18.087. Kepadatan penduduk mempengaruhi
penularan penyakit ini karena proses penularan penyakit TB paru adalah
melalui udara dan agent penyebab penyakit ini, Mycobacterium
tuberculosis, dapat bertahan hidup sampai berbulan-bulan dalam keadaan
gelap dan lembab serta tahan terhadap zat kimia maupun fisik. Data pada
tahun 1993 melaporkan bahwa untuk mendapatkan 90% udara bersih dari
kontaminasi bakteri memerlukan 40 kali pertukaran udara per jam. Wilayah
Birobuli Utara memberikan sumbangsih terbanyak untuk kasus TB paru
karena dari antara ketiga wilayah, Birobuli Utara mempunyai penduduk
42SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
yang lebih banyak. Hal lain yang juga mempengaruhi jumlah kasus TB paru
untuk wilayah Birobuli utara adalah letaknya yang berdekatan dengan
Bandar udara atau menjadi akses utama untuk kedatangan orang berasal dari
luar kota Palu yang kemungkinan besar membawa bakteri Mycobacterium
tuberculosis.
2. Distribusi penyakit TB Paru menurut orang
Berdasarkan data sekunder yang didapatkan dari Puskesmas Birobuli
penyakit TB paru di tinjau menurut orang, jumlah kasus TB paru pada
perempuan sejumlah 20 kasus atau sekitar 42,5% dan jumlah kasus yang
lebih banyak pada laki-laki yaitu sebanyak 27 kasus atau sekitar 57,5%. TB
paru bisa menyerang siapa saja di semua kalangan, baik anak-anak, orang
dewasa maupun lansia serta laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi
jumlah kasus TB Paru dominan di derita oleh laki-laki karena menurut hasil
penelitian laki-laki lebih berisiko terjangkit TB paru dari lada perempuan
karena sebagian besar laki-laki adalah perokok aktif. Orang yang merokok
mendapatkan resiko dua kali lebih besar terjangkit TB paru dari orang yang
tidak merokok.
3. Distribusi penyakit TB paru menurut waktu
Jumlah kasus penyakit TB paru di Kecamatan Birobuli Utara dari tahun
2011-2012 mengalami penurunan yaitu dari 25 kasus menjadi 22 kasus.
Penurunan angka kejadian penyakit TB diakibatkan karena penanggulangan
penyakit TB yang dilakukan oleh petugas kesehatan sudah cukup baik,
walaupun penurunan angka kejadian penyakit TB ini tidak begitu signifikan
tiap tahunnya. Penurunan kasus TB paru juga dipengaruhi oleh kesadaran
masyarakat tentang menjaga kebersihan dan meningkatkan system imun.
Bila daya tahan tubuh sedang rendah,kuman TB Mudah masuk ke dalam
tubuh.kuman ini akan berkumpul dalam paru-paru kemudian berkembang
biak,Tapi orang yang terinfeksi Kuman TB Paru belum tentu menderita TB
paru,Tergantung daya tahan tubuh.bila daya tahan tubuh kuat maka kuman
akan terus tertidur di dalam tubuh (dormant)dan tidak berkembang menjadi
penyakt namun apabila daya tahan tubuh lemah makan kuman TB akan
43SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
berkembang menjadi penyakit.penyakit TB Lebih dominan terjadi pada
masyarakat yang status gizi rendah karna system imun yang lemah sehingga
memudahkan kuman TB Masuk dan berkembang biak.
44SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tuberkulosis, MTB, atau TB (singkatan dari bacillus berbentuk
tuberkel) merupakan penyakit menular yang umum, dan dalam banyak kasus
bersifat mematikan. Penyakit ini disebabkan oleh berbagai strain mikobakteria,
umumnya Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis biasanya menyerang
paru-paru, namun juga bisa berdampak pada bagian tubuh lainnya.
Tuberkulosis menyebar melalui udara ketika seseorang dengan infeksi TB aktif
batuk, bersin, atau menyebarkan butiran ludah mereka melalui udara.
Penyebaran penyakit TB Paru di wilayah kecamatan Lolu Selatan pada
tahun 2011-2012 yaitu 12 kasus untuk wilayah Lolu Selatan dan Lolu Utara
dan jumlah kasus paling tinggi adalah untuk wilayah Birobuli Utara yaitu
sebanyak 23 kasus. Hal ini dipengaruhi oleh kepadatan penduduk di tiap-tiap
wilayah, di wilayah Lolu Selatan dan Lolu Utara jumlah penduduknya 11.648
jiwa dan 10.435, dan untuk wilayah Birobuli Utara jumlah penduduknya
sebanyak 18.087.
Berdasarkan data dari tabel diperoleh hasil bahwa angka kejadian TB
Paru yang tertinggi adalah pada wilayah birobuli utara pada tahun 2011
maupun 2012. Pada tahun 2011 wilayah birobuli utara terdapat 11 kasus
dengan presentase 44% dan pada tahun 2012 wilayah birobuli utara terdapat 12
kasus dengan presentase 54.5%. Pada Wilayah Lolu Utara, pada tahun 2011
terdapat 8 kasus dengan presentase 32% dan pada tahun 2012 terdapat 4 kasus
dengan presentase 18.2%. Dan pada Wilayah Lolu Selatan, pada tahun 2011
terdapat 6 kasus dengan presentase 24% dan pada tahun 2012 terdapat 6 kasus
dengan presentase 27.3%.
B. Saran
1. Untuk Pemerintah
Peningkatan sarana kesehatan sangat di perlukan sebagai upaya
dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Dalam upaya meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat, maka pemerintah sebaiknya melakukan
45SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
pemberdayaan masyarakat dimana sasaran utamanya dalam promosi
kesehatan yang bertujuan untuk memendirikan masyarakat agar mampu
memelihara dan meningkatkan status kesehatan menjadi lebih baik dengan
menggunakan prinsip pemberdayaan dimana petugas kesehatan berperan
untuk memfasilitasi masyarakat dalam meningkatkan pengetahuan,
kemauan dan kemampuannya untuk memilihara dan meningkatkan derajat
kesehatan. Serta pemerintah juga mampu memberikan pelayanan kesehatan
secara mudah, merata dan murah. Salah satu upaya pemerintah dalam
rangka memeratakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat adalah
dengan menyediakan fasilitas kesehatan, terutama puskesmas dan
puskesmas pembantu karena kedua fasilitas tersebut dapat menjangkau
segala lapisan masyarakat hingga ke daerah terpencil.
2. Untuk PUSKESMAS
Sarana kesehatan adalah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas),
Puskesmas merupakan unit pelayanan kesehatan yang memiliki strategi
pengorganisasian masyarakat dan mempunyai misi untuk mengoptimalkan
fungsi dan kinerja Puskesmas. Untuk perluasan jangkauan pelayanan
kesehatan maka puskesmas perlu ditunjang dengan unit pelayanan
kesehatan yang lebih sederhana yaitu Puskesmas Pembantu dan Puskesmas
Keliling. Pelayanan kesehatan yang diberikan di Puskesmas adalah
pelayanan kesehatan yang meliputi pelayanan pengobatan (kuratif), upaya
pencegahan (preventif), peningkatan kesehatan (promotif) dan pemullihan
kesehatan (rehabilitatif) yang ditujukan kepada semua penduduk dan tidak
dibedakan jenis kelamin dan golongn umur, sejak pembuahan dalam
kandungan sampai tutup usia.
3. Untuk Petugas Kesehatan Masyarakat
Petugas kesehatan dapat membina masyarakat untuk mengatur pola
kebiasaan makan. Pola hidup sehat dan bagaimana mengatur perilaku
masyarakat dengan adanya fasilitas puskesmas. Dapat mengetahui
berbagai macam problema dalam masyarakat serta memiliki kepekaan
terhadap kondisi-kondisi dalam masyarakat baik yang menyenangkan serta
46SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
mampu mengambil inisiatif terhadap pemecahan permasalahan yang
muncul dalam lingkungan masyarakatnya misalnya masalah kesehatan
yang diderita masyarakatvsetempat dapat kita berbagi cerita dan
melakukan pemecahan masalah.
4. Untuk Masyarakat
Pada dasarnya jika kita melakukan hidup bersih dan sehat serta
menjaga lingkungan disekitar kita, maka itu sudah baik untuk
menghindarkan diri dari penyakit dan Meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang optimal melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan
negara Indonesia yang ditandai penduduk yang hidup dengan perilaku dan
dalam lingkungan sehat. Namun apabila menemukan gejala-gejala awal
malaria segeralah ke puskesmas atau rumah sakit terdekat untuk
penanganan dan pengobatan lanjutan.
47SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
DAFTAR PUSTAKA
Asril Bahar, Tuberculosis Paru, dalam ilmu penyakit dalam, balai penerbit
FKUI, Jakarta 1987
Dinkes Prop. Jateng, Leaflet PERANGI TBC , semarang 2005
Puskesmas Birobuli. 2011. Profil Puskesmas Birobuli Tahun 2011. Puskesmas
Birobuli: Palu.
Puskesmas Birobuli. 2012. Profil Puskesmas Birobuli Tahun 2011. Puskesmas
Birobuli: Palu.
48SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
BIOGRAFI
49SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
Penulis bernama Febrina Dwitami, dilahirkan di kota Palu, provinsi
Sulawesi Tengah pada tanggal 24Februari 1994.
Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara,
dari pasangan Bapak Djamaluddin Dg Sikki dan Ibu
Zaitun Alisan. Pendidikan dimulai dari Taman
Kanak-kanak di TK Raudhatul Athfal selama satu
tahun, lalu tahun 1999 masuk Sekolah Dasar yang
ditempuh di SDN Inpres Perumnas Tinggede dan
tamat pada tahun 2005, kemudian melanjutkan
pendidikan di SMP Negeri 5 Palu dan tamat pada tahun 2008. Pendidikan
berikutnya ditempuh di SMA Negeri 2 Palu dan tamat pada tahun 2011.
Pada tahun 2011, melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi
Negeri (SNMPTN), penulis melanjutkan studi di perguruan tinggi dan terdaftar
sebagai mahasiswa di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat (PSIKM),
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Tadulako sampai
sekarang.
BIOGRAFI
50SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
Galuh Widiyastuti, lahir di Palu pada tanggal 19
November 1993. Biasa disapa Galuh, merupakan
anak pertama dari 3 bersaudara. Ayah bernama
Sumarno dan ibu bernama Tri Ifgayani .
Memulai pendidikan di TK Alkhairat Ampana
selanjutnya Masuk Sekolah Dasar Negeri 1 Ampana
selama 6 tahun hingga lulus.
Kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) yaitu, SMP Negeri
2 Ampana, dan melanjutkan Sekolah Menengah Atas (SMA) yaitu, SMA Negeri 1
Ampana. Setelah lulus langsung melanjutkan pendidikan ke Perguruan Tinggi
Negeri Universitas Tadulako Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan dengan
mengambil jurusan Kesehatan Masyarakat.
BIOGRAFI
51SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
Penulis bernama lengkap Riri Dwi Anggraeni dilahirkan di palolo pada tanggal 29 Januari 1994. Dengan nama panggilan riri, pada tahun 1999 menamatkan Taman Kanak-kanak di TK Kartika Palu, melanjutkan sekolah dasar di SD Negeri 1 Tatura Palu, kemudian pada tahun 2001 pindah ke SD Kristen Bala Keselamatan Bandung dan menamatkan sekolah dasar di SD Negeri Inpres 3 Papua pada tahun 2005. Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Kristen Bala Keselmatan Semarang dan tamat pada tahun 2008. Setelah lulus SMP kemudian melanjutkan pendidikan di SMA YSKI Semarang dan menamatkan pendidikan di
SMAN 3 Palu pada tahun 2011. Sampai saat ini penulis sedang menjalani perkuliahan di Universitas Tadulako (UNTAD) jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat (KESMAS).
BIOGRAFI
52SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
Penulis bernama lengkap Andi Humaerah dilahirkan di Palu pada tanggal 04 Oktober 1993. Dengan nama panggilan Irha, Sekolah dasar di SD Negeri Boyaoge Palu, Penulis melanjutkan pendidikan di SMP Mts. Alkhairaat Pusat Palu dan tamat pada tahun 2008. Setelah lulus SMP kemudian melanjutkan pendidikan di SMA MA Alkhairaat Pusat Palu dan menamatkan pendidikan di MA Alkhairaat Pusat Palu pada tahun 2011. Sampai saat ini penulis sedang menjalani perkuliahan di Universitas Tadulako (UNTAD) jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat (KESMAS).
BIOGRAFI
Penulis bernama lengkap Meyliani Alifyunita lahir
di Toaya pada tanggal 30 Mei 1993, anak
53SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
pertama dari Bapak Ramli A. Pakila dan Ibu Miransatri. Penulis memulai
jenjang pendidikan pertamanya di TK Pertiwi Toaya pada tahun 1998,
dan melanjutkan ke Sekolah Dasar SDN 1 Toaya pada tahun 2000 ,
pada tahun 2006 melanjutkan ke Tingkat Sekolah Menengah Pertama
di SMPN 1 Sindue, dan kemudian pada tahun 2009 melanjutkan ke
Tingkat Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Sindue. Pada tahun
2011 memasuki Perguruan Tinggi di Universitas Tadulako Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan jurusan Kesehatan Masyarakat.
BIOGRAFI
Nindy Gustianti lahir di Donggala, Sulawesi Tengah pada
tanggal 5 Agustus 1993. Biasa di sapa dengan Nindy. Ia
54SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara, dan anak dari bapak Hardi Hi.
Semauna dan Hj.Masrida. Awalnya menempuh pendidikan di SDN 1 Boya yang
kemudian dilanjutkan dengan bersekolah di SMPN 2 Banawa, SMAN Negeri 1
Banawa dan sekarang tengah duduk di bangku kuliah jurusan Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Tadulako. Ia
mempunyai hobby menyanyi. Ia menyadari bahwa masih terdapat adanya
kesalahan dalam laporan kelompok 5 Mata Kulia Surveilans Epidemiologi ini
diharapkan saran serta kritik yang membangun, sekian dan terimah kasih.
BIOGRAFI
Penulis bernama Diana Liesta Saleh, anak dari bapak Iswan Saleh dan ibu Lini yani. Penulis merupakan anak pertama dari satu bersaudara. Penulis mempunyai adik yang bernama Sita Fadila Saleh. Riwayat pendidikan yang pernah dilalui yaitu
55SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
SD di SDN INPRES BOBOLON, di banggai, Kab.Banggai Kepulauan. Sekolah SMP di SLTP Negeri 1 Tinangkung disalakan, Kab.Banggai Kepulauan, kemudian sekolah SMA di SLTA Negeri 1 Tinangkung disalakan Kab.Banggai Kepulauan. Sekarang penulis melanjutkan sekolah keperguruan tinggi negeri di Universitas Tadulako, mengambil jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat S1 dengan melalui jalur tes lokal.
BIOGRAFI
Penulis bernama lengkap Andi Prasetyo lahir di
Palu pada tanggal 20 Januari 1994, anak
pertama dari tiga bersaudara dari pasangan
Sumani,SE dan Sitti Junaeni. Penulis memulai
jenjang pendidikan pertamanya di TK Aisyah
Palu pada tahun 1998, dan melanjutkan ke
Sekolah Dasar SDN 2 Tatura pada tahun 2000 ,
pada tahun 2006 melanjutkan ke Tingkat
56SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
Sekolah Menengah Pertama di SMPN 9 Palu, dan kemudian pada tahun
2009 melanjutkan ke Tingkat Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 2
Palu. Pada tahun 2011 memasuki Perguruan Tinggi di Universitas
Tadulako Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan jurusan Kesehatan
Masyarakat.
DOKUMENTASI
57SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
Gambar Pengambilan data
Gambar pengambilan Data
58SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
Gambar Bersama Kepala Tata Usaha Puskesmas Birobuli
Gambar Bersama Kepala Tata Usaha Puskesmas Birobuli
59SURVEILANS PENYAKIT TB PARU
Recommended