Upload
nguyenthu
View
217
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB IPENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masalah yang selalu dianggap menarik dalam pembelajaran IPS selama ini,
adalah temuan dari beberapa penelitian (Hasan 2002), dan tulisan (Al Mukhtar 2004,
Aziz 2002, Supriatna 2002) mengisyaratkan bahwa pembelajaran IPS di sekolah selalu
disajikan dalam bentuk faktual, konsep yang kering, guru hanya mengejar target
pencapaian kurikulum, tidak mementingkan proses, karena itu pembelajaran IPS selalu
menjenuhkan dan membosankan, dan oleh peserta didik dianggap sebagai pelajaran kelas
dua (Somantri 2001).
Pembelajaran IPS di sekolah juga belum berupaya melaksanakan dan
membiasakan pengalaman nilai-nilai kehidupan demokratis, sosial kemasyarakatan
dengan melibatkan siswa dan komunitas sekolah dalam berbagai aktifitas kelas dan
sekolah. Selain itu dalam pembelajaran IPS lebih menekankan pada aspek pengetahuan,
fakta dan konsep yang bersifat hafalan belaka. Inilah yang dituding sebagai kelemahan
yang menyebab “kegagalan” pembelajaran IPS di sekolah-sekolah di Indonesia.
Jika pembelajaran IPS selama ini tetap diteruskan, (terutama hanya menekankan
pada informasi, fakta dan hafalan, lebih mementingkan isi dari pada proses, kurang
diarahkan pada proses berpikir (tingkat tinggi), dan kurang diarahkan pada pembelajaran
yang bermakna dan berfungsi bagi kehidupannya), maka pembelajaran IPStidak mampu
membantu peserta didik untuk dapat hidup secara efektif dan produktif dalam kehidupan
masa datang. Oleh karena itu semestinyalah pembelajaran IPS masa kini dan ke depan
mengikuti berbagai perkembangan yang terjadi di dunia secara global.
1
Upaya meningkatkan mutu pendidikan di sekolah-sekolah dibutuhkan inovasi
dan kreatifitas yang tinggi dari guru dalam menghadapi segala hambatan dan kesulitan
yang ada demi berlangsungnya proses pembelajaran yang berkualitas. SMA N Jatinangor
memotivasi gurunya untuk meningkatkan proses belajar mengajar dengan menerapkan
metoda CTL (Contextual Teaching and learning).
Penerapan CTL tersebut membutuhkan kreativitas guru menggunakan variasi
metoda pembelajaran yang disesuaikan dengan tujuan pembelajaran. Penguasaan konsep
siswa SMA N Jatinangor terhadap bidang studi IPS masih rendah. Salah satu konsep
yang belum tercapai ketuntasan belajar setiap tatap muka adalah pada konsep inflasi.
Hasil belajar materi inflasi pada siswa tahun pelajaran 2006-2007 yang mencapai skor
ketuntasan baru 42% dan untuk tahun 2007-2008 yang mencapai skor hanya 45%. Hal
ini menunjukan penguasaan konsep oleh siswa masih rendah. Penyebabnya antara lain
karena proses belajar mengajar menerapkan metode ceramah, sehingga keterlibatan
siswa rendah dan proses belajar membosankan dan pada gilirannya siswa tidak
memperhatikan materi pelajaran.
Pada tahun pelajaran saat ini (2008-2009) materi inflasi diberikan pada kelas X.
diantara kelas X (X1 sd. X7) yang paling rendah daya serap pengusaan konsep bidang
studi IPS adalah kelas X3, untuk itu penelitian dilaksanakan pada kelas X3 dengan
anggapan jika kelas X3 berhasil ditingkatkan penguasaan konsep siswa, maka pada kelas
X lainnya akan sama meningkat. Melalui penerapan metoda diskusi ini diharapkan
penguasaan konsep siswa pada materi inflasi dapat meningkat.
2
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan masalah dalam
penelitian ini adalah apakah penerapan metode diskusi dapat meningkatkan penguasaan
konsep inflasi siswa kelas X3 SMA N Jatinangor ? Masalah tersebut kemudian
diuraikan menjadi pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimana peningkatan penguasaan konsep Inflasi siswa kelas X3 SMA N
Jatinangor dengan menerapkan metode diskusi ?
2. Bagaimana aktivitas siswa dalam penerapan metode diskusi pada saat
pembelajaran inflasi ?
3. Bagaimana aktivitas guru dalam penerapan metode diskusi pada saat
pembelajaran inflasi ?
C. Tujuan Penelitian.
Tujuan penelitian ini adalah ingin :
1. Mengetahui peningkatan penguasaan konsep Inflasi siswa kelas X3 SMA N
Jatinangor dengan menerapkan metode diskusi.
2. Mengetahui aktivitas siswa dalam penerapan metode diskusi pada saat
pembelajaran inflasi.
3. Mengetahui aktivitas guru dalam penerapan metode diskusi pada saat
pembelajaran inflasi.
3
F. Manfaat
Bagi siswa :
1. Siswa lebih bertanggung jawab secara individu dan terlibat dalam belajar.
2. Siswa bekerja sama dengan temannya sehingga tercipta suasana belajar yang
menyenangkan.
3. Siswa terdorong untuk belajar dengan keberanian bertanya, menyatakan
pendapat, mengatakan persetujuan, menyatakan permasalahan.
Bagi guru :
1. Guru berpeluang memperhatikan siswa dalam proses belajar baik secara
individual, kelompok dan klasikal.
2. Guru mudah mengetahui kelemahan dan keunggulan siswa pada pemahaman
materi pelajaran.
3. Guru mudah memberikan kesimpulan materi pelajaran atas dasar temuan diskusi
siswa.
4
BAB IIKAJIAN TEORITIS
A. Pengertian dan Model Pembelajaran
Pembelajaran adalah sesuatu yang dilakukan oleh siswa, bukan dibuat untuk
siswa (Learning is something students do, not something that is done to student)
(Johnson & Johnson, 1994:4). Sedangkan menurut Sudjana (2000:6) pembelajaran
adalah upaya pendidik untuk membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.
Tujuan pembelajaran adalah terwujudnya efisiensi dan efektivitas kegiatan belajar yang
dilakukan peserta didik. Pihak-pihak yang terlibat dalam pembelajaran adalah pendidik
(perorangan dan/atau kelompok) serta peserta didik (perorangan, kelompok, dan/atau
komunitas) yang berinteraksi edukatif antara satu dengan lainnya. Isi kegiatan adalah
bahan (materi) belajar yang bersumber dari kurikulum suatu program pendidikan. Proses
kegiatan adalah langkah-langkah atau tahapan yang dilalui pendidik dan perserta didik
dalam pembelajaran. Sumber pendukung kegiatan pembelajaran mencakup fasilitas dan
alat-alat bantu pembelajaran.
Piaget dalam Dimyati dan Mulyana (2002:13) berpendapat bahwa
pembelajaran merupakan interaksi terus menerus yang dilakukan oleh individu dengan
lingkungan, dimana lingkungan tersebut mengalami perubahan. Dengan adanya interaksi
dengan lingkungan maka fungsi intelek semakin berkembang. Dari beberapa definisi di
atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan kegiatan yang dilakukan oleh
guru untuk membelajarkan siswa secara aktif yang menekankan pada penyediaan sumber
belajar. Hamalik (2001), mendefinisikan pembelajaran sebagai suatu kombinasi yang
tersusun meliputi unsur-unsur manusia, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur
5
yang saling mempengaruhi guna mencapai tujuan pembelajaran. Manusia yang terlibat
dalam pembelajaran terdiri dari siswa, guru dan tenaga lainnya. Material meliputi buku-
buku, papan tulis, kapur, fotografi, slide, film, audio dan video tape. Fasilitas dan
perlengkapan terdiri dari ruangan kelas, perlengkapan audio visual, juga komputer.
Prosedur, meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi (termasuk model
pembelajaran), praktik, belajar, ujian dan seterusnya.
Model pembelajaran perlu dipahami guru agar dapat melaksanakan
pembelajaran secara efektif dalam meningkatkan hasil pembelajaran. Dalam
penerapannya, model pembelajaran harus dilakukan sesuai dengan kebutuhan siswa
karena masing-masing model pembelajaran memiliki tujuan, prinsip dan tekanan utama
yang berbeda-beda. Walaupun demikian dalam prakteknya menurut Hasan (1996:43)
model pembelajaran seperti apapun bisa dilakukan asalkan memenuhi prinsip-prinsip
sebagai berikut:
1. Pembelajaran akan semakin baik jika upaya yang
dilakukan guru semakin kecil dan aktivitas belajar siswa semakin besar.
2. Semakin sedikit waktu yang diperlukan oleh guru dalam
mengaktifkan siswa untuk belajar maka pembelajaran akan semakin baik.
3. Sesuai dengan cara belajar yang dilakukan oleh siswa.
4. Dapat dilaksanakan dengan baik oleh guru.
5. Sebenarnya tidak ada satupun metode yang sempurna yang
paling sesuai dengan tujuan, jenis materi dan proses belajar yang ada.
6
B. Pengertian dan Karakteristik Pembelajaran Model Diskusi.
Diskusi dan diskursus merupakan komunikasi seseorang berbicara satu dengan
yang lain, saling berbagi gagasan dan pendapat. Kamus bahasa mendefinisikan diskursus
dan diskusi hampir identik yaitu melibatkan saling tukar pendapat secara lisan, teratur,
dan untuk mengekspresikan pikiran tentang pokok pembicaraan tertentu. (Arends, 1997).
Sedang menurut Suryosubroto (1997:179), diskusi adalah suatu percakapan
ilmiah oleh beberapa orang yang tergabung dalam satu kelompok, untuk saling bertukar
pendapat tentang suatu masalah atau bersama-sama mencari pemecahan mendapatkan
jawaban dari kebenaran atas suatu masalah.
Dalam pembelajaran diskusi mempunyai arti suatu situasi di mana guru dengan
siswa atau siswa dengan siswa yang saling bertukar pendapat secara lisan, saling berbagi
gagasan dan pendapat. Pertanyaan yang ditujukan untuk membangkitkan diskusi berada
pada tingkat kognitif lebih tinggi (Arends, 1997).
Menurut Suryobroto (1997:181), bahwa diskusi oleh guru digunakan apabila
hendak :
1. memanfaatkan berbagai kemampuan yang ada (dimiliki) oleh siswa.
2. memberikan kesempatan kepada para siswa untuk menyalurkan kemampuannya
masing-masing.
3. memperoleh umpan balik dari siswa tentang apakah tujuan yang telah
dirumuskan telah tercapai.
4. membantu para siswa belajar berpikir teoritis dan praktis lewat berbagai mata
pelajaran dan kegiatan sekolah.
5. membantu para siswa menilai kemampuan dan peranan diri sendiri maupun
teman-temannya (orang lain).
7
6. membantu para siswa menyadari dan mampu merumuskan berbagai masalah
yang di “lihat” baik dari pengalaman sendiri maupun dari pelajaran sekolah.
7. mengembangkan motivasi untuk belajar lebih lanjut.
Berdasarkan pengertian tersebut, pemanfaatan diskusi oleh guru mempunyai arti
untuk memahami apa yang ada di dalam pemikiran siswa dan bagaimana memproses
gagasan dan informasi yang diajarkan melalui komunikasi yang terjadi selama
pembelajaran berlangsung baik antar siswa maupun komunikasi guru dengan siswa.
Sehingga diskusi menyediakan tatanan sosial dimana guru dapat membantu siswa
menganalisis proses berpikir mereka.
Salah satu aspek diskusi adalah kemampuan untuk mengembangkan
pertumbuhan kognitif, aspek yang lain adalah kemampuan untuk menghubungkan dan
menyatukan aspek kognitif dan aspek social pembelajaran. Sesungguhnya, sistem diskusi
merupakan sentral untuk menciptakan lingkungan belajar positif. Diskusi membantu
menetapkan pola partisipasi dan secara konsekuen, memiliki dampak besar terhadap
manajemen kelas. Pembicaraan antara guru dan para siswanya menjadikan banyak ikatan
sosial sehingga kelas menjadi hidup bersama (Arends, 1997 yang disadur
Tjokrodihardjo, 2003).
8
Table 1Langkah-Langkah Menyelenggarakan Diskusi
Tahapan Kegiatan GuruTahap 1
Menyampaikan tujuan dan mengatur (setting)
Guru menyampaikan tujuan pembelajaran khusus dan menyiapkan siswa untuk berpartisipasi.
Tahap 2Mengarahkan diskusi
Guru mengarahkan fokus diskusi dengan menguraikan aturan-aturan dasar, mengajukan pertanyaan-pertanyaan awal, menyajikan situasi yang tidak segera dijelaskan atau menyampaikan isu diskusi.
Tahap 3Menyelenggarakan diskusi
Guru memonitor antar aksi, mengajukan pertanyaan, mendengarkan gagasan siswa, menanggapi gagasan, melaksanakan aturan dasar, membuat catatan diskusi, menyampaikan gagasan sendiri.
Tahap 4Mengakhiri diskusi
Guru menutup diskusi dengan merangkum atau mengungkapkan makna diskusi yang telah diselenggarakan kepada siswa.
Tahap 5Melakukan tanya jawab singkat
tentang proses diskusi itu.
Guru menyuruh para siswa untuk memeriksa proses diskusi dan berpikir siswa
Sumber : Tjokrodihardjo (2003)
Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan belajar telah dicapai, diadakan tes
secara individual atau quiz, mengenai materi yang telah dipelajari dengan menggunakan
pertanyaan-pertanyaan open-ended tasks. Pada penelitian ini tes individu dilakukan pada
akhir setiap pertemuan. Tujuannya agar siswa dapat menunjukkan pemahaman dari apa
yang telah dipelajari sebelumnya. Skor yang diperoleh siswa per individu ini didata dan
diarsipkan sebagai bahan untuk perhitungan skor kelompok. Berikut contoh lembar skor.
9
Tabel 2Lembar Skor Tes Untuk Diskusi
Nama Siswa
Hari/tgl Hari/tgl
Materi Tes Materi Tes
Skor Dasar
Skor Tes
Skor Peningkatan
Skor Dasar
Skor Tes
Skor Peningkatan
(Ibrahim, et al.,2000)
Nilai perkembangan inividu dihitung berdasarkan selisih perolehan skor tes awal
dan tes berikutnya, sehingga setiap anggota memiliki kesempatan yang sama untuk
memberikan sumbangan skor maksimal bagi kelompoknya. Kriteria sumbangan
individu terhadap kelompok dapat dilihat dalam tabel 3 di bawah ini:
Tabel 3Nilai Perkembangan individu
No Skor tes Nilai Perkembangan
12345
Lebih dari 10 poin dibawah skor dasar10 poin hingga 1 dibawah skor dasarSkor dasar sampai 10 poin di atasnyaLebih dari 10 poin di atas skor dasarNilai sempurna (tidak berdasarkan skor awal)
510203040
(Slavin, 1995:80)
Skor kelompok dihitung berdasarkan rata-rata nilai perkembangan yang
disumbangkan setiap kelompok. Berdasarkan rata-rata nilai perkembangan yang
ditetapkan penghargaan kelompok, yaitu:
Kelompok dengan rata-rata skor 15, kelompok
cukup baik.
10
Kelompok dengan rata-rata skor 20, sebagai
kelompok baik.
Kelompok dengan rata-rata skor 30, sebagai
kelompok sangat baik.
Rata-rata nilai perkembangan yang ditetapkan untuk penghargaan kelompok,
menggunakan tabel berikut ini:
Tabel 4Lembaran penghargaan kelompok
Nama kelompok:Anggota Kelompok Total
Total Nilai KelompokRata-rata kelompokPenghargaan kelompok
(Slavin, 1995:178). Rata-rata kelompok = Total Nilai kelompok : Jumlah anggota kelompok
11
BAB IIIMETODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian Tindakan Kelas
Studi pengembangan model diskusi dalam pembelajaran IPS ini menggunakan
Penelitian Tindakan Kelas (classroom action research) sebagai metode penelitiannya.
( Elliot, 1991; McNiff,1992; Soedarsono, 1997; Kasbollah, 1999; Depdikbud, 1999;
Wardani, et al,2000; Sukidin, et al,2000). PTK mendorong guru untuk selalu
meningkatkan kinerjanya dengan refleksi, dengan selalu mencoba strategi pembelajaran
yang akan mengemansipasikan peserta didiknya dari pembelajaran yang “teacher
centered” dan mendorong siswanya untuk “discovery”, yakni mencari sendiri, sampai
mampu berdiri mandiri dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan di luar otoritas
gurunya (Hopkins dalam Wiriaatmadja, 2002:127). Ada tiga tingkat emansipasi
sebagaimana disebutkan di atas, yaitu :
1. Kemampuan guru untuk keluar sejenak dari otoritasnya di bidang ilmu
pengetahuan dan menemukannya sendiri bagaimana sesungguhnya penguasaan
ilmu pengetahuan tersebut di dalam kenyataannya.
2. Guru dapat membebaskan dirinya dari tekanan-tekanan pejabat di atasnya
seperti kepala sekolah, pengawas, buku teks, para pengembang kurikulum atau
ujian-ujian negara.
12
3. Emansipasi bukan hanya pada guru melainkan juga pada tingkatan
sekolah di dalam menghadapi birokrasi di dalam pendidikan yang selalu
berorientasi pada pengawasan atau kontrol (Stenhouse dalam Wiriaatmadja,
2002:124).
Penelitian tindakan kelas itu bersifat situasional, yaitu berkaitan dengan
mendiagnosis masalah dalam konteks tertentu, misalnya di kelas dalam sekolah, dan
berusaha menyelesaikannya dalam konteks itu. Masalah yang diangkat dari praktek
pembelajaran sehari-hari yang benar-benar dirasakan oleh guru dan siswanya.
Kemudian diupayakan penyelesaiannya demi peningkatan mutu pendidikan, prestasi
siswa, profesi guru, dan mutu sekolahnya, dengan jalan merefleksi diri, yaitu sebagai
praktisi dalam pelaksanaan penuh keseharian tugas-tugasnya, sekaligus secara sistematik
meneliti praktisnya sendiri (Depdikbud, 1999:8).
Penelitian ini dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran secara mendalam
tentang upaya meningkatkan hasil belajar peserta didik dalam pembelajaran IPS dengan
cara mengkaji dan menganalisis secara reflektif, partisipatif dan kolaboratif terhadap
pelaksanaan pembelajaran IPS melalui model diskusi, terhadap guru, siswa, kondisi
sosial kelas serta kendala dan masalah apa yang dihadapi selama berlangsungnya proses
pembelajaran di kelas.
Depdiknas (1999:9-10) menetapkan tujuan Penelitian Tindakan Kelas sebagai
berikut:
1. Tujuan utama Penelitian Tindakan Kelas demi perbaikan dan peningkatan
layanan profesional guru dalam menangani PBM dapat dicapai dengan
melakukan refleksi untuk mendiagnosis keadaan. Merefleksi adalah melakukan
analisis-sintesis-interpretasi-eksplanasi dan berkesimpulan. Kemudian
13
mencobakan alternatif tindakan dan evaluasi efektifvitasnya. Ini merupakan satu
daur tindakan.
2. Mengembangkan kemampuan keterampilan guru untuk menghadapi
permasalahan aktual pembelajaran di kelasnya dan/atau di sekolahnya sendiri.
3. Tujuan penyerta Penelitian Tindakan Kelas ialah dapat ditumbuhkannya budaya
meneliti di kalangan guru dan pendidik.
PTK dilaksanakan demi perbaikan dan/atau peningkatan praktek pembelajaran
secara berkesinambungan, yang pada dasarnya melekat pada terlaksananya misi
profesional pendidikan yang diemban guru. Oleh karena itu, Penelitian Tindakan Kelas
merupakan salah satu cara strategis dalam memperbaiki dan meningkatkan layanan
pendidikan yang harus diselenggarakan dalam konteks, dan/atau dalam peningkatan
kualitas program sekolah secara keseluruhan, dalam mayarakat yang cepat berubah.
Proses PTK merupakan serangkaian spiral atau siklus tindakan dan penelitian yang
terdiri dari urutan perencanaan (plan), tindakan (act), pengamatan (observe) dan refleksi
(reflect).
B. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian yang dilakukan peneliti yaitu penelitian tindakan yang
berbentuk siklus ( tindakan ). Model Siklus yang digunakan dalam penelitian ini
berbentuk spiral yang dikembangkan oleh Kemmis dan Taggart (Hopkins, 1993:48;
Wiriaatmadja, 2002:127-128; Kasbollah, 1999; Soedarsono, 1997; Wardani, et al, 2000;
Sukidin, et al, 2002:84; Sukardi, 2003:212-213; Depdikbud, 1999:26-27). Penelitian
tindakan dilakukan dengan beberapa langkah siklus, hingga tercapai tujuan yang
diinginkan. Langkah-langkah penelitian terdiri atas empat komponen penelitian tindakan
14
(perencanaan, tindakan, obsevasi, dan refleksi) dalam suatu sistem spiral yang saling
berkait , selanjutnya pada siklus kedua dan seterusnya jenis kegiatan yang dilaksanakan
peneliti bersama guru mitra adalah memperbaiki rencana (revised plan), pelaksanaan
(act), pengamatan (observed) dan refleksi (reflect). Demikian seterusnya, siklus akan
terus berulang hingga pembelajaran dirasakan berhasil.
Tahap-tahap dalam Penelitian Tindakan Kelas yang dikemukakan oleh
Kemmis & McTaggart (Hopkins, 1993:48) dapat dilihat dalam gambar berikut:
Gambar 1Siklus Tindakan Model Kemmis dan Taggart
(Hopkins, 1993:48)
Secara operasional tahap-tahap kegiatan penelitian dalam siklus dapat
dijelaskan sebagai berikut (Model Kemmis dan Taggart dalam Sukardi, 2003):
1. Perencanaan
Kegiatan perencanaan diawali dengan orientasi pendahuluan. Hal ini
dilaksanakan bersama antara peneliti dan guru yang mengajar IPS di kelas X
15
SMA N Jatinangor terhadap proses pembelajaran yang sedang berlangsung dan
wawancara dengan guru. Kegiatan ini merupakan penelitian pendahuluan yang
bertujuan untuk mengidentifikasi masalah dan menemukan fakta di lapangan.
Berdasarkan temuan pada orientasi pendahuluan, peneliti bersama guru IPS
berdiskusi merencanakan langkah-langkah kegiatan tindakan yang akan
ditampilkan guru di kelas dalam proses pembelajaran berikutnya.
2. Pelaksanaan Tindakan
Pada tahap ini, guru melaksanakan kegiatan tindakan sesuai dengan
perencanaan yang telah dirumuskan bersama. Jenis tindakan yang dilaksanakan
merupakan hasil kesepakatan yang dilakukan bersama antara guru dan peneliti,
secara kolaboratif.
3. Observasi
Kegiatan tahap observasi, dilakukan oleh guru bersama peneliti dengan
menggunakan pedoman observasi yang telah disiapkan sebelumnya. Tahap ini
dilaksanakan untuk melihat hasil atau dampak dan siklus (tindakan) yang
dilaksanakan terhadap siswa. Hasil observasi merupakan bahan pertimbangan
untuk melakukan refleksi dan revisi terhadap tindakan yang telah dilakukan dan
untuk menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan selanjutnya.
4. Refleksi
Temuan pada waktu kegiatan siklus yang diperoleh dari pelaksanaan proses
pembelajaran dianalisis dari hasil diskusi antara guru, peneliti, dan pembimbing.
Kesimpulan hasil diskusi dijadikan dasar bagi penyusunan rencana tindakan
dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran berikutnya.
16
Dalam penelitian ini, jumlah siklus yang dilakukan tergantung kepada tingkat
pencapaian tujuan, berdasarkan pada rencana tindakan yang telah disusun sebelumnya.
Penelitian akan diakhiri bila permasalahan yang biasanya timbul di dalam pembelajaran
IPS sudah dapat diatasi dan respon dari siswa sudah sesuai dengan apa yang diharapkan.
C. Situasi Sosial Penelitian
1. Tempat Penelitian
Lokasi penelitian dilaksanakan di SMA N Jatinangor yang beralamat di Jalan
Raya 1 Subang.
2. Subyek Penelitian
Subyek penelitian berfokus pada siswa kelas X 3 dan guru yang mengajar dikelas
tersebut. Ini temasuk juga proses belajar mengajar yang ada di kelas ini selama
berlangsungnya program Penelitian Tindakan Kelas .
D. Instrumen Penelitian
Peningkatan kemampuan siswa di dalam kelas dapat diketahui dengan cara
observasi langsung didukung oleh wawancara dengan guru mitra dan peserta didik dan
melakukan observasi langsung di kelas. Pada dasarnya, dalam melakukan penelitian
tindakan, peneliti sendiri berperan sebagai instrumen utama dalam mengumpulkan
informasi yang diperlukan. Hal ini berdasarkan asumsi dari Nasution (1992:57) bahwa
hanya manusialah yang mampu memahami, memberikan makna terhadap interaksi antar
17
manusia, gerak muka, menyelami perasaan dan nilai yang terkandung dalam ucapan atau
perbuatan yang mereka lakukan (dalam Atmadinata,2005:58-59).
E. Pengumpulan Data
Untuk mempermudah pekerjaan peneliti juga menggunakan alat bantu
pengumpulan data yaitu :
1. Observasi, dipergunakan untuk membantu peneliti mengamati proses
pelaksanaan model diskusi.
2. Lembar tes, untuk mengetahui perubahan kemampuan siswa setelah
mengikuti proses pembelajaran dengan menggunakan model diskusi.
F. Analisis Data
Pengolahan data dan analisis data dilakukan secara terus menerus sepanjang
penelitian ini berlangsung dari awal hingga akhir, yaitu mulai dari tahap orientasi sampai
pada tahap berakhirnya seluruh program tindakan sesuai dengan karakteristik pokok
permasalahan dan tujuan penelitian (Hopkins, 1993; McNiff, 1992).
Analisis data digunakan baik untuk data kualitatif dari hasil wawancara
maupun data kuantitatif dari tes hasil belajar. Analisis data merupakan usaha (proses)
memilih, memilah, membuang dan menggolongkan data untuk menjawab dua
permasalah pokok, yaitu (1) tema apa yang dapat ditemukan pada data-data ini dan (2)
seberapa jauh data-data ini dapat menyokong tema tersebut (Sukidin, dkk., 2002).
Analisis data ini dilakukan secara reflektif, partisipatif dan kolaboratif pada setiap tahap
refleksi sehingga dari hasil analisis refleksi ini dapat ditemukan alternatif jalan keluar
untuk menentukan rencana tindakan yang akan dilaksanakan pada tindakan berikutnya.
18
Prosedur pengolahan dan analisis data mengacu pada pola pengolahan data dari
Hopkins (Hopkins, 1993:149) yang dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1. Kategorisasi Data
Data yang telah dikumpulkan melalui berbagai metode pengumpulan data,
akan diberi kode-kode berdasarkan kategori yang telah ditentukan untuk
memudahkan analisis (Miles & Huberman dalam Muhadjir N, 2002:45;
Atmadinata 2005:62). Kategori yang dimaksud adalah;
1) Situasi sekolah secara umum latar belakang
sekolah dan denah sekolah
2) Situasi kelas berupa informasi tentang kondisi fisik
kelas, guru dan siswa.
3) Proses pembelajaran berupa informasi tentang
hubungan sosial antara guru dengan siswa, antar siswa dan perubahan yang
terjadi selama berlangsungnya proses pembelajaran IPS
4) Semua tindakan baik yang dilakukan oleh guru
maupun siswa di dalam kelas.
Semua data dikumpulkan sehingga dapat memberikan penjelasan dan
makna terhadap hasil temuan peneliti.
2. Validasi Data
Suatu instrumen dikatakan valid jika instrumen yang digunakan dapat
mengukur apa yang hendak diukur (Gay, 1983 dalam Sukardi,2003:121).
Validasi data adalah suatu kegiatan pengujian terhadap keobjektifan dan
keabsahan data. Teknik validasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
19
i. Triangulasi, merupakan pengecekan kebenaran data atau informasi tentang
pelaksanaan tindakan dengan cara mengkonfirmasikan kebenaran data
sebagai upaya mendapatkan informasi dari sumber-sumber lain mengenai
kebenaran data penelitian. Sumber lain yang dapat digunakan untuk
konfirmasi hasil penelitian ini adalah guru yang terlibat langsung dalam
penelitian ini, siswa dan guru-guru lain.
ii. Member check, dilakukan untuk mengecek kebenaran dan kesahihan data
temuan penelitian, yakni dengan cara mengkonfirmasikannya dengan
sumber data (Miles & Huberman dalam Rochmadi, 1997: 35; Muhadjir N,
2002:45). Dalam proses ini, data atau informasi yang diperoleh
dikonfirmasikan dengan guru kelas melalui kegiatan diskusi pada setiap
akhir pelaksanaan tindakan.
iii. Audit trail (Nasution,1992), yaitu mencek kebenaran hasil penelitian
sementara, beserta prosedur dan metode pengumpulan datanya, dengan
mengkonfirmasikan pada bukti-bukti temuan yang telah diperiksa dan dicek
kesahihannya pada sumber data tangan pertama (dalam Sunardi, 2003:112).
Diskusi juga dilakukan dengan teman-teman sejawat, pembimbing atau
dengan siapa saja yang dianggap berkompetensi.
iv. Expert Opinion, dilakukan dengan cara mengkonsultasikan hasil temuan
penelitian kepada para ahli, (Nasution dalam Rochmadi, 1997:35). Dalam
kegiatan ini, peneliti mengkonsultasikan hasil temuan penelitian kepada
pembimbing untuk memperoleh arahan dan masukan sehingga validasi
temuan penelitian dapat dipertanggungjawabkan.
3. Interpretasi
20
Pada tahap ini peneliti berusaha menginterpretasikan temuan-temuan
penelitian berdasarkan kerangka teori yang dipilih dengan mengacu pada norma-
norma praktis yang disetujui atau instuisi guru itu sendiri yang menggambarkan
pelajaran yang baik (Hopkins, 1993). Hasil intepretasi ini diharapkan dapat
memberikan makna yang cukup berarti untuk kegiatan tindakan selanjutnya dan
dapat mengembangkan model diskusi pada siswa SMA N Jatinangor.
BAB IVPEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
Pada bagian ini akan dikemukakan temuan hasil penelitian yang telah
dilaksanakan sesuai dengan rangkaian tindakan yang telah dilakukan. Paparan data
temuan ini sebelumnya diawali dengan gambaran awal pembelajaran mata pelajaran IPS
dan diakhiri dengan proses dan hasil pelaksanaan tindakan mengembangkan proses
pembelajaran.
A. Deskripsi Hasil Penelitian
1. Profil Awal Pembelajaran IPS
Orientasi pertama yang peneliti lakukan di SMA N Jatinangor ini pada tanggal 18
Pebruari 2009 dengan melakukan wawancara dengan guru mitra. Setelah guru mitra
menyetujui untuk bekerja sama.
Melakukan refleksi tidak ubahnya seperti berdiri di depan cermin untuk melihat
kembali bayangan kita atau memantulkan kembali kejadian yang perlu kita kaji
(Wardani, dkk, 2000:224). Dengan dibantu dengan hasil analisis data, guru mencoba
21
merenungkan mengapa satu kejadian berlangsung dan mengapa seperti itu terjadinya.
Guru dibantu peneliti mencoba merenungkan mengapa satu usaha perbaikan berhasil dan
mengapa yang lainnya gagal. Melalui refleksi, guru akan dapat menetapkan apa yang
telah dicapai, serta apa yang belum dicapai, serta apa yang perlu diperbaiki lagi dalam
pembelajaran berikutnya.
Pada hari Jumat, 20 Pebruari 2009 peneliti dan guru mitra melakukan refleksi
bersama di ruang guru untuk mendiskusikan beberapa temuan selama berlangsungnya
proses pembelajaran dari tahun ke tahun. Beberapa temuan yang belum dapat
dikategorikan sebagai tindakan belajar yang baik adalah:
1. Selama memberikan penjelasan dengan metode ceramah dan tanya jawab, guru
hanya berada di sekitar papan tulis dan meja guru atau di area depan saja, idealnya
untuk pengelolaan kelas, guru sesekali berjalan-jalan sambil mengecek, sejauh mana
siswa memperhatikan pelajarannya.
2. Guru mendominasi pembelajaran (teacher centered) dengan mendominasi sebagian
besar pembicaraan di kelas. Padahal dengan digabungkannya metode ceramah dan
tanya jawab, bisa menggairahkan siswa dalam berinteraksi selama pembelajaran
berlangsung bukan malah sebaliknya, pembelajaran terasa monoton dan
membosankan
3. Guru belum menggunakan alat peraga sebagai alat bantu selama proses pembelajaran
berlangsung. Penggunaan alat peraga dapat membantu guru dalam memberikan
penjelasan kepada siswa sehingga siswa pun dapat lebih paham dan cepat menangkap
maksud dan arah pembicaraan gurunya.
4. Guru tidak terlihat membawa buku paket, dan buku pegangan yang dipunyai siswa
hanya LKS saja. Sebenarnya guru bisa membawa beberapa buku paket untuk
22
diperlihatkan kepada siswa sebagai bahan bacaan, daripada hanya mengandalkan
LKS saja.
5. Sebagian besar siswa tidak mempunyai buku pegangan IPS.
6. Guru langsung menjawab pertanyaan siswa, mestinya guru melemparkan terlebih
dahulu pertanyaan tersebut kepada siswa yang lain dan memberikan kesempatan
kepada siswa yang lain untuk memberikan jawabannya. Selain itu pula guru dapat
memberikan pujian (reward) kepada siswa yang bertanya maupun yang menjawab.
7. Masih ada siswa yang tidak memperhatikan pelajaran selama kegiatan pembelajaran
berlangsung, dan tidak ditegur oleh gurunya.
8. Guru tidak membuat kesimpulan pada akhir pembelajaran. Jika guru membuat
kesimpulan bersama dengan siswa maka diharapkan ada materi yang “menempel” di
benak siswa.
9. Guru tidak menegur dan mengingatkan siswa yang mencontek, sehingga memberikan
peluang kepada siswa untuk melakukan hal yang sama (mencontek) pada tes-tes yang
berikutnya. Seharusnya guru menegur dan memberikan sangsi kepada siswa yang
mencontek walaupun guru merasa bahwa kebiasaan mencontek tidak bisa dirubah.
10. Guru perlu merubah metode pembelajaran yang bisa menyenangkan siswa dan
membuat proses belajar mengajar menyenangkan, tidak monoton dan tidak
membosankan.
2. Perencanaan untuk Tindakan Pertama
Pada hari Rabu, 25 Pebruari 2009 setelah refleksi dilakukan, peneliti dan guru
mitra langsung menyusun rencana tindakan untuk siklus pertama, yaitu:
a. Kegiatan PTK dengan model diskusi dimulai dengan pokok bahasan inflasi
b. Guru melanjutkan dengan membuka pembelajaran terlebih dahulu dengan melakukan
entry behaviour, untuk mengetahui kemampuan awal siswa tentang materi inflasi.
23
c. Guru membuat kelompok siswa yang terdiri dari 9 kelompok. Karena jumlah siswa
ada 38 orang, maka disepakati tiap-tiap kelompok beranggotakan 4 - 5 orang.
Sebelumnya kami sepakat untuk menawarkan terlebih dahulu pembuatan kelompok
ini kepada siswa dengan syarat bahwa setiap kelompok harus beranggotakan siswa
yang kemampuan masing-masing siswa berbeda sehingga terbentuklah kelompok
yang heterogen sesuai dengan syarat dari pembelajaran model diskusi.
d. Guru membentuk kelompok, sesuai dengan aturan yang ada dalam model diskusi
yaitu: membuat salinan lembar ringkasan siswa dan mengurutkan siswa mulai dari
peringkat tertinggi sampai peringkat terendah. Kemudian guru menentukan jumlah
anggota kelompok. Idealnya tiap kelompok beranggotakan 4 orang. Bila tidak bisa,
mungkin akan ada sisa kelompok yang beranggotakan ganjil. Setelah menentukan
jumlah anggota kelompok, guru melakukan pembentukan kelompok dimana setiap
kelompok terdiri dari siswa berkemampuan rendah hingga tinggi dan rata-rata
kemampuan tiap siswa di kelas merata. Terakhir guru mengisikan nama-nama
anggota kelompok ke dalam format yang sudah disediakan.
e. Pembelajaran dalam satu siklus disesuaikan dengan urut-urutan pelaksanaan model
diskusi yaitu, pertama guru melakukan presentasi kelas yang mencakup pembukaan,
pengembangan dan petunjuk dalam pelajaran. Setelah dirasakan memadai maka
membiarkan siswa belajar dalam kelompoknya dan yang terakhir melakukan tes
individu untuk mengetahui sejauh mana kemampuan siswa dalam memahami
pelajaran yang diberikan oleh guru. Tahapan dalam satu siklus bisa berbeda setiap
siklusnya tergantung dari kecepatan siswa dalam menyerap materi yang diajarkan
dan kemampuan guru dalam mengelola kelas.
24
f. Tindakan pertama akan dimulai tanggal 27 Pebruari 2009 Pada saat tindakan yang
pertama guru menyiapkan materi, lembar kerja untuk kelompok dan daftar nama-
nama kelompok.
Sambil merencanakan tindakan, guru mitra merasa khawatir tentang hasil
yang akan dicapai, apalagi menurut guru, IPS merupakan pelajaran yang sulit
dipelajari jika guru tidak menerangkan secara langsung. Peneliti menjelaskan bahwa
model diskusi tidak begitu saja membiarkan siswa belajar dengan kelompoknya saja,
tapi ada urut-urutan yang harus dilakukan. Justru menurut penelitian-penelitian
terdahulu, model diskusi ini dapat membangkitkan motivasi dan semangat bersaing
siswa sehingga siswa yang paling tidak bisa pun akan berusaha untuk belajar dan
menjadi bisa.
B. Deskripsi Pelaksanaan Tindakan
1. Pelaksanaan Tindakan Siklus Pertama
1.%2%. Deskripsi Observasi Tindakan Siklus Pertama
Guru memperlihatkan skor dasar yang didapatkan dari rata-rata hasil dua kali tes,
yaitu tes awal dan tes akhir yang dilakukan guru pada tanggal 27 Pebruari 2009. Daftar
nilai tersebut sudah mengurutkan nilai siswa dari mulai nilai siswa yang paling besar
sampai siswa yang paling kecil. Penentuan skor dasar ini untuk menentukan pembagian
kelompok, mulai dari kelompok atas, kelompok tengah, sampai kelompok bawah. Selain
itu juga guru memperlihatkan hasil pembagian kelompok berdasarkan urutan dalam skor
dasar yang sudah dibuat oleh guru. Tabel penentuan skor dasar dan pengelompokan
siswa dapat dilihat dalam lampiran Tabel 5 (dibuat dalam skala penilaian 0 -100):
1.2. Refleksi Tindakan Siklus Pertama
25
Pada hari Selasa, 3 Maret 2009 pukul 10.00 WIB peneliti dan guru mitra
melakukan refleksi bersama di ruang guru untuk mendiskusikan beberapa temuan
selama berlangsungnya proses pembelajaran hari Jumat, 27 Pebruari 2009. Beberapa
temuan yang belum dapat dikategorikan sebagai tindakan belajar yang baik adalah:
1. Guru tidak melakukan entry behaviour pada awal pelajaran melainkan langsung
menyarankan pembentukan kelompok siswa.
2. Guru belum memberikan pertanyaan yang bersifat analisa, pertanyaan yang
diajukan guru cenderung tidak membutuhkan jawaban siswa karena langsung
dijawab oleh siswa dan guru hanya mengekor saja.
3. Pada saat belajar kelompok, partisipasi siswa yang berinteraksi dengan guru
belum melibatkan seluruh kelompok.
4. Guru sudah berkeliling ke seluruh kelas, untuk mengontrol diskusi yang
dilakukan oleh siswa. Terlihat siswa banyak melakukan pertanyaan yang
langsung dijawab oleh guru.
5. Kebiasaan guru langsung menjawab pertanyaan siswa, masih ada dalam
pembelajaran kali ini, mestinya guru melemparkan terlebih dahulu pertanyaan
tersebut kepada siswa yang lain dan memberikan kesempatan kepada siswa yang
lain untuk memberikan jawabannya. Selain itu pula guru dapat memberikan
pujian (reward) kepada siswa yang bertanya maupun yang menjawab.
2. Perencanaan Tindakan Siklus Kedua.
Berdasarkan refleksi terhadap pelaksanaan tindakan pertama, peneliti dan guru
mitra mengadakan diskusi balikan untuk memperbaiki pelaksanaan tindakan pertama dan
merencanakan tindakan siklus kedua. Diskusi ini langsung dilaksanakan setelah refleksi
dengan guru mitra. Dari hasil diskusi ini kami memperoleh kesepakatan sebagai berikut:
26
1. Kelompok belajar sudah berjalan dengan baik dan siswa sudah mampu untuk
berkomunikasi, mencari informasi, berpikir dan menganalisa juga membina kerja
sama kelompok.
2. Sifat teacher centered sudah tidak terlihat lagi, guru sudah memfungsikan diri
sebagai motivator dan fasilitator dalam belajar dengan memberikan kesempatan dan
pelayanan yang sama kepada masing-masing kelompok.
3. Supaya guru tetap bertindak sebagai motivator dan fasilitator selama proses belajar
mengajar berlangsung, dan tetap menjalankan model diskusi sesuai dengan tata cara
yang sudah dilatihkan.
4. Siklus pertama masih difokuskan pada kemampuan siswa dalam berkomunikasi,
mencari informasi, berpikir dan menganalisa juga membina kerja sama kelompok
ditambah dengan kemampuan siswa secara individual dalam mengerjakan tes
berikutnya.
3. Pelaksanaan Tindakan Siklus Kedua
Secara keseluruhan daftar nilai mulai dari tes yang pertama sampai dengan yang
terakhir dapat dilihat pada lampiran Tabel 6, dan rekapitulasi dapat dilihat pada table 7.
serta rekapitulasi penghargaan terhadap kelompok setelah dua kali tes dapat dilihat
dalam lampiran pada table 8.
Dari hasil refleksi ini disepakati:
1. Kinerja guru sudah optimal, guru sudah mampu menjadi fasilitator dan motivator
siswa dalam belajar kelompok.
2. Siswa sudah dapat bekerja kelompok secara maksimal. Siswa sudah
menunjukkan bahwa mereka sudah mampu untuk berkomunikasi, mencari
informasi, berpikir dan menganalisa juga membina kerja sama kelompok. Selain
27
itu juga siswa yang selama ini merasa bisa, dapat membantu temannya yang
belum mampu memahami materi.
3. Peneliti dan guru menyepakati bahwa pada siklus kedua ini merupakan puncak
dari kemampuan guru dalam hal menumbuhkan semangat siswa dalam belajar
kelompok dan peduli kepada teman satu kelompoknya dan siswa pun sudah
menunjukkan bahwa mereka sudah berusaha agar kelompoknya menjadi
kelompok yang terbaik.
C. Analisis Penelitian
Berdasarkan pada pelaksanaan penelitian tindakan ini, sejak siklus pertama
hingga siklus kedua, beberapa analisis yang dilakukan oleh peneliti berdasarkan pada
penerapan model diskusi di kelas X3 SMA N Jatinangor, adalah sebagai berikut:
1. Analisis Tindakan Pertama
Beberapa temuan yang dapat dianalisis dalam tindakan pertama ini adalah: (1)
kemampuan guru dalam membuka pelajaran, (2) pemahaman guru terhadap model
diskusi (3) penggunaan sumber dan alat belajar (4) kemampuan guru dalam mengelola
kelas (5) kemampuan siswa membentuk kelompok belajar (6) kemampuan siswa belajar
dalam kelompoknya, dan (7) kemampuan guru menutup pelajaran.
Sesuai dengan rencana awal yang disusun oleh peneliti dengan guru mitra, pada
awal pembelajaran guru harus membuka pembelajaran terlebih dahulu. Guru membuka
pelajaran dengan mengabsen siswanya terlebih dahulu tetapi tidak dilanjutkan dengan
memberikan entry behaviour . Kemudian guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang
akan dilakukan pada hari ini. Guru meminta siswa untuk membuat kelompok dengan
berdasarkan prinsip heterogenitas (Slavin 1995:4). Guru menjelaskan apa itu prinsip
28
heterogenitas, sehingga siswa lebih paham dalam pembentukan kelompok. Dalam
beberapa menit siswa mencoba untuk membentuk kelompoknya, walaupun pada saat
peneliti bertanya kepada salah seorang siswa (ASy ), mereka tidak terbiasa membentuk
kelompok dengan memperhatikan kemampuan masing-masing. Biasanya mereka
membentuk kelompok dengan cara-cara: membagi kelompok berdasarkan lokasi tempat
duduk atau berdasarkan absen (dilakukan oleh guru) atau siswa memilih sendiri
kelompoknya berdasarkan kedekatan dengan siswa yang lainnya. Setelah berlangsung
beberapa menit, seorang siswa (Dk) mengusulkan agar guru saja yang membentuk
kelompoknya, dan didukung oleh ASy dan Da , yang didasarkan dari nilai yang sudah
ada. Menurut mereka, guru lebih mengetahui kemampuan siswa berdasarkan dua kali tes
yang sudah dilakukan oleh guru.
Dalam hal pembentukan kelompok ini, guru sudah berusaha untuk bersikap
demokratis, walaupun dalam model diskusi pembentukan kelompok siswa mutlak adalah
wewenang guru (Slavin, 1995). Slavin menyebutkan jangan biarkan siswa menentukan
kelompoknya sendiri, karena cenderung mengikuti perasaan suka atau tidak suka.
Sebenarnya guru sudah menyiapkan kelompok-kelompok berdasarkan peringkat siswa,
sehingga pada saat siswa meminta guru yang membentuk kelompoknya, guru sudah siap
dengan susunan kelompok tersebut.
Penggunaan sumber belajar, pada tindakan yang pertama ini, buku yang digunakan
hanya LKS terbitan dari CV Aria Duta Depok, tidak ditunjang oleh buku paket yang
lainnya. Alasan penggunaan LKS ini, karena harganya murah dan banyak latihannya.
Tidak ada usaha dari guru maupun siswa untuk mempunyai sumber belajar yang lain
sehingga siswa hanya terpaku pada apa yang ada dalam LKS tersebut. Keadaan seperti
ini harus diatasi dengan mengganti model pembelajaran yang biasanya konvensional
sehingga diharapkan penerapan model diskusi merupakan upaya yang tepat karena
29
menurut Johnson & Johnson (Lie, 2002:17) dapat menumbuhkan saling ketergantungan
yang positif dan tanggung jawab perseorangan. Alasan ini akan memacu siswa untuk
mencari sumber belajar karena tujuan dari model diskusi adalah memotivasi siswa agar
saling membantu mengerjakan materi yang diberikan oleh guru. Jika kelompoknya ingin
menang maka masing-masing anggota kelompok harus membantu satu sama lain.
Dalam hal kemampuan mengelola kelas, guru mitra sudah berusaha untuk melakukan
aspek pertama dalam model diskusi yaitu presentasi kelas. Hal ini sering dilaksanakan
dengan pengajaran langsung oleh sang guru, . Presentasi kelas yang diberikan harus
difokuskan pada materi yang akan diberikan agar siswa lebih jelas fokusnya dan
memperhatikan presentasi dengan baik. Dalam melakukan presentasi kelas, guru masih
bersifat teacher centered, sifat ini terlihat pada saat ada pertanyaan dari siswa, guru
langsung menjawab tanpa memberi kesempatan kepada siswa yang lain untuk
mengemukakan pendapatnya. Seharusnya guru memberi kesempatan terlebih dahulu
kepada siswa yang lain yang mungkin sudah mengetahui manfaatnya. Pada saat siswa
sudah duduk dalam kelompoknya, guru sudah berjalan berkeliling dan melayani
pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh siswa. Sayangnya kelompok yang tidak
bertanya, tidak diberi perhatian oleh guru, mungkin guru menganggap kelompok tersebut
sudah bisa memahami sendiri. Alangkah lebih baiknya apabila guru singgah ke
kelompok tersebut dan guru berinisiatif untuk bertanya terlebih dahulu. Asumsi bahwa
kelompok yang tidak bertanya pasti sudah bisa, dapat menghambat kelangsungan materi
jika kenyataannya kelompok tersebut tidak mengerti sama sekali.
Kerjasama siswa dalam kelompok sudah berlangsung cukup baik, terlihat dalam
masing-masing kelompok siswa yang ada dalam peringkat atas menugaskan dirinya
sendiri untuk memberikan penerangan kepada teman-temannya yang lain. Sementara
teman yang lainnya ada yang mendengarkan. Beberapa kelompok terlibat diskusi yang
30
diselingi dengan perdebatan-perdebatan kecil. Secara keseluruhan, siswa sudah mampu
berkomunikasi dan bekerja sama dengan kelompoknya secara baik.
Guru sudah mengambil kesimpulan pada saat menutup pembelajaran dengan
mengulas kembali sedikit materi yang sudah dilakukan pada proses belajar mengajar.
Hal ini sepertinya sudah menjadi kebiasaan guru tersebut. Mungkin karena guru memang
sudah memahami bahwa proses belajar harus ditutup dengan membuat kesimpulan.
2. Analisis Tindakan Kedua.
Kinerja guru pada siklus kedua ini sudah bagus, guru sudah bisa menjadi fasilitator
dan motivator siswa dalam belajar kelompok. Sifat-sifat pembelajar yang teacher
centered sudah tidak terlihat dari mulai siklus pertama. Tidak ada lagi ceramah yang
membosankan, dominasi dan sikap guru yang otoriter, menguasai proses belajar
mengajar. Pembelajaran sudah berpusat pada siswa, dimana guru melakukan
pembelajarannya sesuai dengan kebutuhan siswa. Guru sudah membuka pelajaran dan
mengawali pembelajaran dengan memberikan entry behaviour juga menyampaikan
tujuan pembelajaran. Menyimpulkan pembelajaranpun dilakukan oleh guru diakhir
proses sebagai upaya untuk menutup pembelajaran.
Kemampuan siswa dalam bekerja kelompok pun sudah semakin baik, ini terlihat
dari hasil tes individu yang dilakukan pada siklus kedua ini dimana nilai terkecil yang
dicapai siswa adalah 70 dan banyak yang memperoleh nilai 100 sehingga bisa dikatakan
tujuan pembelajaran model diskusi ini tercapai.
Suasana belajar yang terekam dalam siklus kedua ini adalah kegairahan dan
semangat siswa dalam mengikuti proses belajar mengajar. Siswa tetap bersemangat
sampai akhir, terlihat pada saat guru bersama siswa memeriksa hasil tes bersama-sama,
31
siswa terlihat sangat antusias, apalagi ada peningkatan nilai yang diperoleh oleh masing-
masing individu.
Peneliti dan guru mitra menyepakati bahwa pada siklus kedua ini merupakan
puncak dari kemampuan guru dalam menerapkan pembelajaran model diskusi dan
siswapun telah menunjukkan bahwa siswa merasa nyaman dengan model diskusi dan
telah berhasil memperbaiki nilai yang diperoleh secara individual walaupun belajar
secara berkelompok. Dengan anggapan bahwa pembelajaran sudah stabil dan ada
harapan dari siswa walaupun peneliti sudah tidak meneliti lagi, tapi pembelajaran ingin
tetap dilakukan seperti yang sudah diterapkan oleh guru, maka tindakan kedua
merupakan siklus terakhir.
D. Implikasi Model Diskusi terhadap Pembelajaran IPS.
Upaya mengembangkan suatu model pembelajaran yang mampu meningkatkan
hasil belajar siswa dalam mata pelajaran IPS dengan menggunakan model diskusi
dilakukan dengan maksud agar siswa mampu memahami materi inflasi secara lebih
mendalam dilihat dari sudut pandang dan kebiasaan yang berbeda dari biasanya.
Berbeda disini dalam artian siswa mampu menerapkan, membiasakan dan
membudayakan cara-cara yang diperoleh dalam model diskusi dalam proses
pembelajaran IPS selanjutnya dan pada pembelajaran yang lainnya.
Selain itu pula upaya penerapan model diskusi dalam pembelajaran IPS,
dimaksudkan pula agar siswa dapat belajar konten akademik dan keterampilan-
keterampilan dalam bidang sosial dan beberapa perilaku sosial, sikap dan kemampuan
(Slavin, 1994:3). Belajar dengan menggunakan model diskusi akan menumbuhkan gairah
dalam belajar, karena dengan cara ini akan terjadi kompetisi di antara sesama anggota
32
kelompok dan memungkinkan siswa untuk belajar secara nyata bagaimana terlibat,
bertingkah laku, bekerja sama, kompromi, saling memberikan dukungan antar individu
dalam kelompok, merasakan, bersikap, bernilai dan berpartisipasi dalam kelompok yang
sangat penting artinya bagi kehidupannya di masyarakat dan bangsanya pada masa
mendatang (Badeni, 1998:6; Atmadinata, 2005:9).
Dalam model diskusi guru bukan lagi berperan sebagai satu-satunya nara
sumber dalam pembelajaran, melainkan berperan sebagai motivator, fasilitator dan
manajer pembelajaran. Iklim belajar yang berlangsung dalam suasana keterbukaan dan
demokratis akan memberikan kesempatan yang optimal bagi siswa untuk memperoleh
informasi yang lebih banyak mengenai materi yang dibelajarkan dan sekaligus melatih
sikap, dan keterampilan sosialnya sebagai bekal dalam kehidupannya di masyarakat
(Slavin:1992).
Dalam penerapan model diskusi di kelas dari siklus pertama sampai siklus
kedua, maka siswa memperoleh beberapa hal, yaitu:
1. Siswa memperoleh pengalaman baru tentang model pembelajaran, sehingga siswa
bisa membandingkan antara model pembelajaran yang lama yang hanya
mengandalkan metode ceramah, tanya jawab dan pemberian tugas dengan model
diskusi.
2. Siswa memperoleh pelajaran tentang: bekerja sama, saling memberikan motivasi
antar teman, menjadi pemimpin dalam kelompok, keberanian mengemukakan
pendapat, berkomunikasi, berpikir, bertanggung jawab, memecahkan masalah dan
menganalisa. Siswa juga sudah mengembangkan kemampuan mencari informasi
dengan semakin banyaknya siswa yang membawa sumber belajar yang tidak hanya
dari satu penerbit tetapi bermacam-macam penerbit, sehingga siswa bisa saling
bertukar informasi.
33
3. Siswa mempunyai tanggung jawab individu dengan berusaha mengerjakan tesnya
seorang diri dan menginginkan hasil yang bagus sehingga akan berpengaruh baik
terhadap kelompoknya
4. Siswa menjadi lebih bergairah dan bersemangat dalam belajar dilihat dari ‘denyut’
pembelajaran yang berlangsung sampai siklus kedua terasa hidup, dan tidak terlihat
ada siswa yang merasa bosan.
5. Siswa memperoleh hasil yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan dengan adanya
peningkatan nilai yang baik dari tes yang satu ke tes yang berikutnya.
Dalam dua siklus yang dilakukan, ditemukan beberapa hal yang dapat
dikatakan sebagai implikasi meningkatnya hasil pembelajaran dengan model diskusi
dalam pembelajaran IPS, dalam hubungannya dengan fungsi dan tujuan pembelajaran
IPS di SMA itu sendiri yaitu:
1. Siswa mampu mengembangkan pengetahuan tentang IPS pada materi inflasi.
Dalam mengembangkan pengetahuan ini, siswa berusaha untuk menggali informasi-
informasi IPS tidak hanya dari satu sumber. Hal ini terbukti pada saat observasi
pertama buku yang dipergunakan hanya satu sumber saja berupa LKS (Lembar Kerja
Siswa) tetapi pada akhir siklus kedua sudah banyak siswa yang memiliki bahan ajar
berupa buku paket walaupun tidak sama penerbitnya, jadi tidak sekedar LKS sebagai
pedoman utama. Beragamnya buku paket yang ada di kelas, justru menambah
pengetahuan siswa.
2. Siswa mampu mengembangkan keterampilan IPS.
Keterampilan yang dimaksud dalam materi inflasi adalah menganalisa terjadinya
inflasi. Keterampilan ini digunakan untuk mengkaji informasi yang sampai kepada
siswa guna menentukan kesahihan informasi tersebut. siswa yang bertanya tersebut
bisa memahami, menganalisa ulang dan menyimpulkan pendapat dari temannya.
34
Keterampilan lain yang dimiliki siswa adalah sudah mampu untuk berkomunikasi,
mencari informasi, berpikir dan menganalisa juga membina kerja sama kelompok.
Kemampuan siswa memiliki keterampilan ini menghasilkan peningkatan nilai dari
tes yang pertama ke tes yang berikutnya.
3. Siswa mampu bersikap rasional, teliti, jujur dan bertanggung jawab.
Dalam mengembangan sikap rasional siswa sudah menunjukkan sikap rasional
mereka dalam hal pembentukan kelompok di siklus satu. Siswa menyerahkan
pembentukan kelompok kepada guru karena merasa tidak sanggup untuk
melakukannya sendiri. Siswa beranggapan prinsip heterogenitas yang diinginkan
oleh guru tidak akan tercapai karena masing-masing siswa belum mengetahui
kemampuannya dalamIPS pada materi inflasi. Ketelitian ditunjukkan dengan tidak
begitu saja menerima pendapat dari teman yang lain juga dalam mengerjakan lembar
kerja yang diberikan oleh guru dan ini sudah ditunjukkan sejak siklus satu. Sikap
jujur ditunjukkan oleh siswa pada saat mengerjakan tes yang diberikan oleh guru.
Siswa berusaha mengerjakan tesnya seorang diri, walaupun ini dikondisikan oleh
guru dengan memberikan set soal yang berbeda kepada setiap siswa. Sikap
bertanggung jawab ditunjukkan oleh siswa dengan cara membantu teman dalam satu
kelompoknya yang belum memahami materi yang diberikan dan berusaha untuk
mendapatkan nilai yang terbaik bagi kelompoknya. Hal ini sudah ditunjukkan sejak
siklus yang pertama.
Berdasarkan analisis yang dilakukan pada setiap siklus, teori-teori diskusi
terhadap pembelajaran IPS, maka model diskusi dapat diterapkan dalam
pembelajaran IPS di kelas X3 SMA N Jatinangor telah mencapai tujuannya.
35
BAB VKESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan.
1. Penguasaan konsep siswa kelas X3 SMA N Jatinangor dengan menerapkan
metode diskusi tampak jelas meningkat dan dari siklus pertama ketuntasan telah
mencapai 44,47% dan meningkat pada siklus kedua menjadi 79,34%. Maka
dengan demikian jelaslah bahwa dengan penerapan metode diskusi pada kegiatan
belajar mengajar IPS pada materi Inflasi telah terbukti berhasil.
2. Model diskusi merupakan suatu pembelajaran yang mengkondisikan siswa untuk
belajar dalam suatu kelompok kecil dengan tingkat kemampuan yang berbeda.
Dalam menyelesaikan tugas-tugasnya, setiap anggota kelompok bekerja sama
dan saling membantu untuk saling memahami materi yang diberikan, membantu
memberikan informasi kepada teman satu kelompok sehingga dapat
meningkatkan hasil belajar. Kegiatan belajar dinyatakan selesai jika semua
siswa dalam kelompok tersebut memahami dan menguasi materi pembelajaran.
36
Model dapat dipergunakan pada semua tingkatan belajar sehingga
memungkinkan untuk mencapai keberhasilan belajar. Keberhasilan
pembelajaran diskusi tidak hanya ditentukan oleh guru tetapi juga ditentukan oleh
siswa yang tergabung dalam kelompoknya. pelaksanaan diskusi harus diiringi
dengan pembekalan keterampilan dalam melakukan kerja sama seperti berani
berbicara dan mengemukakan pendapat, berani bertanya, menghargai pendapat
teman, memberi semangat kepada teman untuk berbicara, tidak mendominasi
pembicaraan dalam kelompok, mempunyai kemampuan argumentasi dan
keterampilan-keterampilan lainnya yang dapat menunjang suksesnya strategi
diskusi.
3. Peran penting guru sebagai pemegang kebijakan dalam menentukan
pembelajaran di dalam kelas, tidak dapat diabaikan, karena itu guru mutlak harus
memiliki wawasan yang luas dan mengetahui berbagai metode dalam
pembelajaran sehingga dapat meningkatkan aktifitas dan kreatifitas siswa dalam
mengatasi kesulitan-kesulitan belajar pada mata pelajaran IPS. Guru dituntut
harus memahami keinginan siswa dalam belajar tetapi tidak melepas begitu saja.
Guru tetap bertanggung jawab sepenuhnya dalam proses belajar mengajar. Model
diskusi dengan sendirinya menjadikan pembelajaran yang asalnya bersifat
teacher centered menjadi student centered, karena kondisi sosial di dalam kelas
berbeda. Jika biasanya guru yang terus memberikan materi secara klasikal
individual, maka setelah model ini diterapkan, interaksi yang terjadi di dalam
kelas menjadi interaksi antar guru dengan siswa, siswa dengan siswa dalam satu
kelompok, siswa dengan siswa yang berbeda kelompok dan kelompok yang satu
dengan kelompok yang lainnya. Hal ini membuat suasana kelas lebih hidup dan
tidak membosankan bagi siswa. Peranan guru hanya sebagai fasilitator dan
37
motivator dalam upaya membantu dan melatih siswa dalam menerapkan model
diskusi di dalam kelas.
Oleh karena itu, proses pembelajaran IPS sudah seharusnya diarahkan pada
penekanan proses yang dilakukan selama pembelajaran, bukan hanya dilihat dari hasil
akhir sehingga siswa tidak lagi menganggap bahwa IPS merupakan pelajaran yang sulit
dipelajari tetapi justru dalam prosesnya siswa diajak untuk menyenangi pelajaran IPS.
Dengan mementingkan proses siswa dibiasakan dan dilatih untuk melakukan segala hal
yang berkaitan dengan pembelajaran IPS.
B. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, maka dapat dikemukakan
beberapa rekomendasi dalam penerapan model diskusi sebagai berikut:
1. Berdasarkan pada hasil temuan selama penelitian, maka model diskusi dapat
diterapkan dengan baik di dalam kelas dan dapat meningkatkan hasil belajar siswa
dan keterampilan yang dilakukan oleh siswa. Hal ini membuktikan bahwa penting
untuk mempertimbangkan model diskusi sebagai salah satu model pembelajaran
yang dapat dilakukan di dalam kelas. Untuk meningkatkan pemahaman siswa,
sebaiknya siswa banyak berlatih dan melakukan peer teaching sehingga pemahaman
siswa terhadap materi IPS menjadi lebih baik.
2. Model diskusi dapat dilaksanakan dengan baik, maka diperlukan kerja sama yang
baik antara guru dan siswa. Guru harus betul-betul memahami model yang akan
diterapkan di kelas sehingga jika ada siswa yang tidak mengerti model diskusi, guru
dapat menjelaskannya dengan baik. Dalam penerapan model diskusi, guru sebaiknya
dapat menjalankan perannya sebagai perancang, fasilitator, motivator dan pengelola
pembelajaran. Untuk memperoleh kinerja seperti itu, maka guru sebaiknya terus
38
mengembangkan profesionalisme baik melalui pendidikan formal maupun kegiatan-
kegiatan pengembangan professional dalam jabatan seperti MGMP, workshop dan
kegiatan-kegiatan lain yang dapat mengembangkan wawasan.
3. Guru dapat mendorong siswa untuk menambah wawasannya dengan menyarankan
pencarian informasi tentang IPS dari berbagai buku sumber, media baik cetak
maupun elektronik bahkan dari internet. Hal ini dapat memberikan nilai tambah
kepada siswa dan pemahaman yang baru. Guru akan merasa termotivasi untuk
mengembangkan dirinya juga jika siswa dapat melakukan hal-hal yang disarankan
oleh gurunya.
39
DAFTAR PUSTAKA
Al Muchtar, Suwarma. (2004). Pengembangan berpikir dan Nilai dalam Pendidikan IPS, Bandung: Gelar Pustaka Mandiri.
Departemen Pendidikan Nasional. (1999) Bahan Pelatihan Penelitian Tindakan (Action Research), Jakarta: tidak diterbitkan.
Dimyati dan Mulyana. (2002). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta:Rineka Cipta.
Djahiri, Kosasih. (2004). Petikan Internet – 09.04: Cooperative/Collaborative Inquiry Learning Model and Social Learning Model. Bandung:Prodi PU – PPS UPI.
Djajadisastra, Y. (1982). Metode-metode Mengajar, Jilid I dan II, Bandung: Angkasa.
Elliott, John. (1991). Action Research for Educational Change. Great Britain:Rowland Phototypesetting,Ltd
Hamalik, Oemar. (2001). Proses Belajar Mengajar. Bandung: Bumi Aksara.
Hasan, Said Hamid.(1996) Pendidikan Ilmu Sosial, Jakarta, Proyek Pendidikan Tenaga Akademik, Dirjen Dikti, Depdikbud.
Ibrahim, Muslimin, et.al. ( 2000). Pembelajaran Kooperatif. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya, University Press.
Mulyasa, E. (2005). Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung:Rosda.
Nasution, S. (1989) Berbagai Pendekatan Proses Belajar Mengajar, Jakarta,:Bina Aksara.
40
Slavin, Robert. E. (1995). Cooperative Learning: Theory, Research and Practice. Second Edition. Boston-London-Toronto-Sidney-Tokyo-Singapore:Allyn and Bacon
Somatri, M. Numan. (2001), Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS, Bandung: Remaja Rosdakarya
Suryosubroto, (2002). Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Wardani, I Gak, dkk. (2000). Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Universitas Terbuka.
Wiriaatmadja, Rochiati & Wahab, Abdul Azis. (2003) Hand out Penelitian Tindakan Kelas (Classroom Action Research), Lokakarya Program Applied Aproach Bagi dosen Baru. Universitas Pendidikan Indonesia.
41