Upload
vuongcong
View
237
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
27
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
III.1. Pengertian Komunikasi
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat terlepas dari suatu proses
interaksi yang dinamakan dengan proses komunikasi. Komunikasi merupakan
sebuah ilmu yang mempelajari usaha manusia dalam menyampaikan isi
pernyataanya kepada manusia lainnya (Soehoet 2003). Lebih lanjut, menurut
Soehoet dalam bukunya yang berjudul Dasar-Dasar Jurnalistik menyatakan
bahwa berdasarkan penggunaanya Ilmu Komunikasi dibagi menjadi dua, yaitu
Ilmu Komunikasi Teorika dan Ilmu Komunikasi Praktika. Ilmu Komunikasi
Teoritika mempelajari mengenai pengertian-pengertian (teori) komunikasi itu
sendiri sedangkan Ilmu Komunikasi Praktika merupakan penerapan dari ilmu
komunikasi teoritika tersebut.
Definisi komunikasi itu sendiri terbilang cukup beragam namun memiliki
pokok inti yang sama yaitu proses penyampaian pesan. West dan Turner dalam
buku “Introducing Communication Theory” (2010, 5) mengatakan:
Communication is a social process in which individuals employ symbols to
establish and interpret meaning in their environment.
Lebih lanjut mereka menguraikan tujuh konteks yang dapat terjadi dalam
lingkup komunikasi itu sendiri, yakni Intrapersonal communication (komunikasi
individu dengan dirinya sendiri), Interpersonal communication (komunikasi
28
antara 2 orang atau lebih dan biasanya dilakukan secara tatap muka), Small group
communication (komunikasi dengan jumlah minimum 3 orang), Organizational
communication (komunikasi yang terjadi dalam struktur suatu organisasi tertentu
dan dalam lingkup yang besar), Public/ Rhetorical communication (komunikasi
yang berasal dari satu sumber kepada audiens dalam jumlah besar), Mass
communication (komunikasi yang terjadi dengan menggunakan media massa
dimana isi pernyataan ditujukan kepada khalayak luas), dan Cultural
communication (komunikasi yang melibatkan dua atau lebih individu dengan latar
belakang budaya yang berbeda).
Sedangkan menurut Ouwersloot dan Duncan (2008, 70) komunikasi
adalah:
Communication is a fairly simple process; someone – a person or an organization
creates and sends a message to an individual or organization.
Pengertian, proses, dan elemen komunikasi menurut West dan Duncan
memiliki sedikit perbedaan dimana pengertian mengenai ilmu terkait menurut
West dan Turner lebih berfokus pada individu, sedangkan Duncan menambahkan
elemen perusahaan atau brand tertentu juga terhitung sebagai sumber pesan.
Duncan menyatakan bahwa proses komunikasi dapat digunakan sebagai suatu
usaha persuasif, baik dari individu atau perusahaan dalam menciptakan brand
messages dengan tujuan-tujuan tertentu; dari sekedar pemberitahuan hingga
sarana dalam membujuk konsumen untuk membeli produk tertentu. Jenis dan
proses komunikasi yang Duncan utarakan merupakan jenis komunikasi massa,
dimana pesan ditujukan kepada khalayak luas. Sesuai dengan topik pembahasan
29
penelitian yaitu mengenai branding, Peneliti akan lebih mengacu pada definisi
komunikasi menurut Duncan.
Skema 3.1 How Brand Communication Works
Sumber: Ouwersloot & Duncan 2008, 70
Menurut Brand Communication Model tersebut, ada 6 elemen penting
yang terlibat dalam proses komunikasi, diantaranya adalah (Duncan 2008):
1) Source (Encoding)
Source sering disebut juga sebagai initiatior of a message; dapat
berupa individu atau perusahaan tetapi dalam kasus ini Duncan
memperkecil lingkup pembahasan menjadi perusahaan yang
memiliki brand tertentu. Perusahaan tersebut memiliki produk
atau jasa yang ingin dijual, maka dari itu terkadang perusahaan
membutuhkan agency dalam proses pengemasan pesan hingga
brand messages yang sampai pada receiver sesuai dengan
1. SOURCE (ENCODING) Company owns Brand
Agency
2. MESSAGE Brand Messages: Ads, Press Release, Coupons, Customer Service
3. COMMUNICATION CHANNEL Media:
TV, Radio, Newspaper, Magazine, Internet
5.RECEIVER (DECODING) Customers, Prospects& Other Stakeholders
4. NOISE Physical & Psychological Distraction
6. FEEDBACK-INTERACTIVITY • Immediate Response
• Delayed Response
• No Response
30
maksud dan tujuan perusahaan terkait. Proses pengemasan
pesan oleh source disebut sebagai encoding.
2) Message
Message disini dapat berupa ide atau informasi yang dituangkan
mealui simbol, gambar, tulisan maupun pengalaman (tindakan,
misalnya saja sebuah acara) mengenai brand tertentu yang dapat
menimbulkan dampak pada customer atau pihak-pihak yang
berkepentingan lainnya (stakeholder). Isi pesan yang
disampaikan dapat mempengaruhi pandangan pihak-pihak
terkait terhadap brand tersebut. Bentuk pesan itu sendiri dapat
berupa iklan, press release, kupon, customer service, dan
lainnya.
3) Communication channel
Communication channel atau yang biasa disebut dengan media
merupakan medium (vehicle) yang menampung isi pesan.
Media dapat digunakan untuk menghubungkan perusahaan
dengan customer mereka. Bentuk media itu sendiri bermacam-
macam seperti televisi, surat kabar, majalah, radio, internet, dan
lainnya. Perusahaan harus berhati-hati dalam memilih media
karena setiap media memiliki positioning dan segmentasi
sendiri sehingga perusahaan harus bijak dalam memilih media
mana yang dirasa paling sesuai dengan image dan target market
perusahaan. Hal ini krusial karena customer dapat secara tidak
31
langsung mengasosiasikan medium yang digunakan perusahaan
tersebut dengan image dari perusahaan itu sendiri. Sebagai
contoh, Cloth Inc, brand yang bergerak dalam bidang fashion
yang menargetkan perempuan berusia muda dapat beriklan di
majalah Gogirl! karena segmentasi dan target market antara
majalah tersebut dengan Cloth Inc dapat dibilang sesuai.
4) Noise
Noise merupakan gangguan-gangguan yang bersifat eksternal
maupun internal yang dapat menghambat proses penyampaian
pesan. Noise terbagi menjadi 2 jenis yaitu physical distraction
(contoh: waktu/ momentum pengiriman pesan yang tidak tapat
atau hasil cetak iklan yang kurang jelas tampilan visualnya) dan
psychological distraction (pencampuran bahasa/ makna yang
menimbulkan ambiguitas atau bahkan pesan yang disampaikan
dirasa tidak konsisten dengan apa yang ingin disampaikan
perusahaan).
5) Receiver (Decoding)
Penerima pesan sesuai dengan model komunikasi diatas dapat
merupakan target market atau target audiens perusahaan.
Penerima pesan merupakan pihak yang dirasa mampu berespon
secara positif (potensial) terhadap brand message. Respon yang
diharapkan (feedback) harus melalui proses dimana receiver
memaknai pesan atau yang biasa disebut dengan decoding.
32
6) Feedback
Tujuan perusahaan dalam mengemas pesan begitu rupa supaya
sampai dengan tepat kepada receiver adalah agar perusahaan
dapat menerima respon (feedback) yang positif dari receiver.
Sayangnya, tidak semua receiver berespon secara positif. Ada 3
jenis respon yang dipaparkan oleh Duncan, yaitu immediate
feedback (receiver langsung menanggapi pesan perusahaan,
misalnya dengan melakukan pembelian), delayed feedback
(respon yang diberikan receiver tidak langsung tetapi setelah
jangka waktu tertentu), dan no response (receiver sama sekali
tidak berespon dan apabila hal ini terjadi, perusahaan harus
mengevaluasi dan mencari tahu apa penyebabnya).
III.2. Marketing
Menurut McDaniel, Lamb, dan Hair dalam buku mereka yang berjudul
Introduction to Marketing (2011, 3), marketing adalah:
Marketing is the activity, set of institutions, and processes for creating, communicating, delivering, and exchanging offerings that have value for customers, clients, partners, and society at large.
Sedangkan menurut American Marketing Association (Belch & Belch 2012,
7), sebuah organisasi yang merepresentasikan dirinya sebagai marketing
professionals di Amerika Serikat dan Canada mendefinisikan marketing:
Marketing is the process of planning, and executing the conception, pricing, promotion, and distribution of ideas, goods, and services to create exchanges that satisfy individual and organizational objectives.
33
Berdasarkan kedua definisi diatas, dapat diterjemahkan bahwa marketing
(pemasaran) adalah sebuah proses yang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan
tertentu dari merencanakan hingga mendistribusikan ide, barang atau jasa yang
memiliki nilai di mata calon konsumen atau konsumen, sehingga tujuan organisasi
atau perusahaan tersebut dapat tercapai. Realitanya, sampai pada hari ini masih
banyak orang yang menyamakan antara pemasaran dan advertising (iklan).
Padahal iklan hanya bagian kecil (promotional tools) dalam pemasaran.
Di dalam pemasaran itu sendiri ada pemahaman dasar yang disebut dengan
marketing mix; product, place, price, dan promotion (McDaniel et al. 2011).
Skema 3.2 Review Learning Outcome Sumber: McDaniel, Lamb, & Hair 2011, 4
Pertama-tama perusahaan akan menentukan produk yang dapat berupa
barang atau jasa (product). Produk menurut Keller (2008, 3):
Product is anything we can offer to a market for attention, acquisition, use, or
consumption that might satisfy a need or want.
34
Lebih lanjut Keller menguraikan bahwa produk dapat terdiri dari barang
(physical goods), jasa, manusia (contohnya: atlit), organisasi, gedung, atau bahkan
sebuah ide. Sedangkan menurut McDaniel, Lamb, dan Hair (2011, 337):
Product may be defined as everything, both favorable and unfavorable, that a person receives in exchange. A product may be a tangible good such as a pair of shoes, a service such as a haircut, and idea such as “don’t litter”, or any combination of these three.
Kemudian mereka membagi produk menjadi dua yakni consumer product
dan business product (industrial product). Consumer product dibeli untuk
memuaskan kebutuhan individu, sedangkan business product digunakan untuk
membuat barang atau jasa lainnya, yang kemudian digunakan untuk memfasilitasi
kebutuhan sebuah organisasi atau untuk dijual kembali ke customer.
Setelah menentukan produk, perusahaan biasanya akan menentukan harga
yang sesuai dengan kualitas produk (price) dan kemudian mendisribusikan produk
tersebut (place) di tempat-tempat yang dapat dijangkau oleh target market
mereka. Supaya barang dan jasa perusahaan dapat terjual, mereka
memformulasikan strategi promosi yang dapat berupa advertising, direct
marketing, sales promotion, interactive/ internet marketing, publicity/ public
relations, dan personal selling (Belch & Belch 2012). Strategi promosi ini biasa
dikenal dengan istilah promotional mix. Dalam praktiknya, tidak selalu semua
strategi promosi tersebut digunakan di sebuah perusahaan. Jadi elemen dalam
marketing mix (product, place, price, dan promotion) merupakan elemen yang
tidak terpisahkan dan dapat mendukung tujuan pemasaran yang adalah drives
customer to action, namely to buy.
35
III.2.1. Promotional Mix
Menurut Belch dan Belch dalam buku mereka yang berjudul Advertising
and Promotion (2012), promosi dapat didefinisikan sebagai berikut:
Promotion has been defined as the coordination of all seller-initiated efforts to set up channels of information and persuasion in order to sell goods and services or promote an idea.
Pada awalnya, promotional mix hanya terdiri dari advertising, sales
promotion, publicity/ public relations, dan personal selling. Namun seiring
dengan kemajuan teknologi, Belch dan Belch menambahkan dua tools lain yaitu
direct marketing dan interactive/ internet marketing.
Skema 3.3 Elements of the Promotional Mix Sumber: Belch & Belch 2012, 18
1. Advertising adalah sebuah media massa berbayar dengan tujuan
mempersuasi. Iklan merupakan salah satu tools yang paling umum
dan sering digunakan bahkan sering disebut-sebut sebagai the
blood of marketing, yang tanpanya tujuan dari marketing tidak
akan terwujud. Namun, tentunya setiap komponen dan tools yang
ada tetap memegang peranan penting dalam pencapaian tujuan.
Iklan dapat hadir dalam berbagai wujud (iklan tertulis/lisan) dan
media (televisi, radio, majalah, dll). Iklan dibagi menjadi dua yaitu
THE PROMOTIONAL MIX
Advertising
Direct Marketing
Sales Promotion
Interactive/ Internet
Marketing
Publicity/ Public
Relations Personal Selling
36
above the line (menggunakan media massa seperti televisi, radio,
majalah/ billboard) dan below the line (media massa yang lebih
spesifik target marketnya seperti brosur, pamflet, catalog).
2. Direct Marketing merupakan sarana yang digunakan oleh
perusahaan atau organisasi untuk berkomunikasi secara langsung
dengan target customer untuk meingkatkan munculnya respon atau
transaksi. Media yang digunakan tidak hanya berupa email atau
mail-order catalog tetapi juga kegiatan-kegiatan lain seperti
database management, direct selling, telemarketing, direct
response ads melalui direct mail, dan media lainnya yang dirasa
meningkatkan munculnya respon langsung dari customer.
3. Sales Promotion adalah benefit atau insetif yang diberikan kepada
konsumen. Sales Promotion dibagi menjadi dua yaitu trade
promotion (bagaimana manufacturer menawarkan dan
mengirimkan barang kepada retailer dengan meyusun strategi-
strategi tertentu sehingga barang sampai kepada konsumen dan
semua pihak diuntungkan. Misalnya push strategy dimana
manufacturer mendorong retailer untuk menyetok barang mereka
dengan memberikan diskon) dan consumer promotion (strategi
promosi untuk menarik konsumen seperti misalnya dengan
menyediakan diskon, refund, sweepstake, refund, sampling, dan
lainnya).
37
4. Internet/ Interactive Marketing muncul karena adanya kemajuan
teknologi. Kemajuan tersebut memungkinkan pengiklan
menempatkan iklan tidak hanya di media tradisional seperti print-
ad atau televisi tetapi juga di media modern seperti personal
computer dan mobile devices. Seiring dengan hal tersebut internet/
interactive marketing akhirnya terhitung sebagai salah satu elemen
dari bauran promosi. Peneliti akan memberikan pemahaman lebih
dalam mengenai elemen ini dalam poin berikutnya (III.3).
5. Publicity/ Public Relations merupakan bagian dari bauran promosi
yang terbagi menjadi dua yaitu MPR Proactive (PR diharapkan
berperan aktif dalam memperkenalkan produk dengan membuat
publisitas. Publisitas adalah suatu strategi untuk menarik atau
memungkinkan wartawan meliput informasi ataupun berita yang
produsen sediakan tanpa biaya, tetapi realitanya hampir tidak ada
publisitas yang murni, uang selalu terlibat. Publisitas dibagi
menjadi tiga: product releaser, executive statement releaser, dan
feature articles. Walaupun ketinga berbeda jenis tetapi bentuknya
dan tujuannya hampir sama yaitu news release yang berisikan
spesifikasi produk yang bertujuan untuk memperkenalkan produk
tersebut) dan MPR Reactive (peran PR ketika perusahaan sedang
mengalami krisis).
6. Personal Selling adalah bagian dari bauran promosi dimana
produsen menekankan penawaran one by one yang didasarkan pada
38
interpersonal communication. Dalam pelaksanaannya, strategi ini
membutuhkan communication skill yang baik supaya dapat
mendorong konsumen melakukan purchasing, Produk-produk
yang ditawarkan strategi ini biasanya merupakan produk yang
sensitive dan kurang disadari kebutuhannya oleh konsumen,
padahal produk-produknya memiliki nilai guna di aspek kehidupan
setiap kosumen. Produk-produk yang ditawarkan seperti asuransi
dan barang-barang atau jasa yang menyangkut pemakaman
(contoh: peti mati, atau cemetery seperti San Diego Hills).
Kurangnya kesadaran konsumen terhadap jenis produk ini padahal
mereka dibutuhkan mungkin mendorong produsen menggunakan
stratergi yang satu ini.
III.3. Internet dan Interactive/ Internet Marketing
Teknologi memicu pertumbuhan suatu sistem global yang memungkinkan
lalu lintas informasi dapat terjadi dengan sangat cepat. Sistem global tersebut
dikenal dengan istilah Internet atau International Networking yang merupakan
dua komputer atau lebih yang saling berhubungan membentuk jaringan komputer
hingga meliputi jutaan komputer di dunia. Internet lahir dari sebuah konsep yang
dikenal dengan nama galactic network dan diperkenalkan pertama kali ke
masyarakat luas pada bulan Oktober tahun 1972 (Promosi Efektif dengan Web
2003).
Pertumbuhan Internet membawa dampak positif baik bagi penjual maupun
pembeli. Internet merupakan suatu media baru bagi penjual untuk menjangkau
39
target customer mereka dan memungkinkan penjual memulai bisnis dengan
modal yang minim. Selain itu, Internet juga memungkinkan konsumen
mengagkses informasi apapun dengan mudah, dimanapun dan kapanpun.
Kemunculan Internet rupayanya dimanfaatkan pemasar sebagai sarana
baru dalam menjangkau target customer mereka, salah satunya melalui interactive
media. Menurut Belch & Belch (2012, 22), media interaktif dapat didefinisikan:
Interactive media allow for a back-and-forth flow of information whereby users can participate in and modify the form and content of the information they receive in real time. Unlike tradional forms of marketing communications such as advertising, which are one-way in nature, the new media allow users to perform a variety of functions such as receive and alter information and images, make inquires, respond to questions, and of course make purchases.
Berdasarkan definisi tersebut, dapat diterjemahkan bahwa media interaktif
merupakan media yang memungkinkan interaksi langsung antara penjual dan
pembeli tanpa harus bertatap muka. Internet sebuah media hybrid (campuran),
maksudnya adalah di satu sisi Internet hadir sebagai medium komunikasi
perusahaan yang membantu mereka dalam mencapai tujuan-tujuan tertentu. Di
sisi lain, Internet juga merupakan direct-repsponse medium yang memungkinkan
kedua pihak (penjual dan pembeli) berinteraksi; contohnya dalam proses jual-beli.
Melaui Internet, menurut Belch & Belch (2012) ada beberapa tujuan
komunikasi yang ingin dicapai perusahaan, antara lain:
1. Create Awareness.
Internet dapat melampaui media tradisional dalam meningkatkan
kesadaran publik mengenai brand tertentu. Bahkan, Internet
memungkinkan sebuah bisnis baru menjangkau publik secara global
tidak hanya lokal.
40
2. Generate Interest.
Pebisnis dapat membuat halaman website mereka semenarik dan se-
kreatif mungkin agar pengunjung tertarik dan terus kembali untuk
mengangkses informasi mengenai produk atau jasa yang dijual.
3. Disseminate Information.
Internet memungkinkan penyebaran informasi mengenai perusahaan
tertentu menjadi lebih mudah.
4. Create an Image.
Website didesain sedemikian rupa agar merefleksikan perusahaan itu
sendiri.
5. Create a Strong Brand.
Internet dapat menjadi salah satu alat yang berguna dalam branding;
karena branding merupakan proses yang melibatkan keseluruhan
komponen dan elemen perusahaan terkait.
6. Stimulate Trial.
Internet memungkinkan penggunaan promosi seperti sampling atau
trial, dimana konsumen dapat mencoba sedikit dari keuntungan yang
diberi produk tersebut sebelum membeli (produk tertentu).
7. Create Buzz.
Sifat alamiah Internet yang adalah viral (menyebar dengan cepat)
memungkinkan informasi dari mulut ke mulut (dalam kasus ini disebut
dengan e-wom) dapat tersebar dengan cepat.
41
8. Gain Consideration.
Keberadaan blog atau forum diskusi yang muncul karena adanya
Internet, dirasa efektif dalam menyediakan informasi dan
mengevaluasi sebuah brand tertentu.
Selain itu melalui media interaktif, terutama internet, muncul sebuah
layanan berbasis online yang sering disebut e-commerce. Saat ini, mulai banyak
perusahaan yang menitikberatkan strategi promosinya pada online sales, seperti
Ann Taylor, Macy’s, Nordstrom, Barnes & Noble, dan tidak ketinggalan Cloth
Inc. Salah satu sarana yang digunakan dalam layanan berbasis online tersebut
adalah website.
III.3.1. Website
Menurut Belch & Belch (2012), website dapat didefinisikan sebagai
tempat dimana provider (sumber) memungkinkan seluruh pengguna internet
mengagkses informasi yang disediakan. Menurut buku Promosi Efektif dengan
Web (2003), website (world wide web) memiliki 2 bagian utama yaitu server web
(komputer dan software menyimpan dan mendistribusikan data ke komputer lain
lewat internet yang meminta informasi terkait) dan browser web (software yang
beroperasi di setiap komputer pribadi yang meminta informasi dari server web
dan menampilkannya sehingga data dapat langsung diakses).
Pada awalnya website (1.0) hanya menyediakan lajur informasi satu arah,
namun seiring dengan perkembangan waktu dan teknologi website kemudian
diperbaharui (2.0) sehingga tidak hanya memungkinkan interaksi (lajur
42
komunikasi dua arah) tetapi juga didesain sedemikian rupa sehingga mampu
memenuhi objektif perusahaan tertentu; misalnya meningkatkan brand image dan
positioning-nya, menyediakan informasi produk, dan menawarkan program
promosi, sekaligus memastikan bahwa interaksi antar penjual dan pembeli
mungkin terjadi.
Kemunculan website juga medorong kemunculan media sosial lainnya
yang saat ini sedang hangat di masyarakat. Media sosial seperti Facebook,
Instagram, dan Twitter disebut-sebut sebagai media sosial yang efektif dalam
berpromosi.
III.4. Integrated Marketing Communication
Marketing communication atau yang sering disingkat menjadi marcom
adalah komunikasi yang mendukung pemasaran (Vos & Schoemaker 2005).
Lebih lanjut Duncan mendefinisikan komunikasi pemasaran sebagai (2005, 7):
Marketing communication is a collective term for all the various types of planned messages used to build a brand –advertising, PR, sales promotion, direct marketing, personal selling, packaging, events & sponsprship, and customer service.
Sepanjang tahun 1980-an, banyak perusahaan yang semakin memperluas
perspektif mereka mengenai komunikasi pemasaran. Perkembangan terhadap
bauran promosi itu sendiri (dimana peran dominan iklan mulai dipertanyakan)
mendorong mereka berpikir bahwa integrasi antara bauran promosi yang lebih
tersusun dan strategic sangat dibutuhkan. Sehingga, mereka mulai
memformulasikan sebuah strategi baru yang dinamakan dengan Integrated
Marketing Communication (IMC) yang dalam prosesnya mengintegrasikan
43
beragam sarana dalam bauran promosi dan akitvitas pemasaran lainnya yang
mengkomunikasikan perusahaan tersebut kepada customer-nya (Belch & Belch
2012). Menurut American Association of Advertising Agencies atau yang sering
disebut “The 4As”, mendefinisikan Integrated Marketing Communication sebagai
(Belch & Belch 2012, 9):
A concept of marketing communications planning that recognizes the added value of comprehensive plan that evaluates that strategic roles of a variety of communication disciplines –for example, general advertising, direct response, sales promotion, and public relations –and combines these disciplines to provide clarity, consistency, and maximum communications impact.
Sedangkan menurut Shimp (2010, 10), Integrated Marketing
Communication adalah:
IMC is a communication process that entails the planning, creation, integration, and implementation of diverse forms of marcom (advertisements, sales promotions, publicity releases, events, etc.) that are delivered over time to a brand’s targeted customers and prospects. The goal of IMC is ultimately to influence or directly affect the behavior of targeted audience. IMC considers all touch points, or sources of contact, that a customer/prospect has with the brand as potential delivery channels for messages and makes use of all communications methods that are relevant to customers/prospects. IMC requires that all of brand’s communication media deliver a consistent message. The IMC process further neccesitates that the customer/prospect is the starting point for determining the types of messages and media that will serve best to inform, persuade, and induce action.
Berdasarkan definisi tersebut, ada 5 hal menonjol yang disebut sebagai key
IMC features, 5 kunci tersebut adalah:
1. Start with Customer or Prospect
Maksudnya adalah pebisnis dan pemasar harus mengubah fokus
dari inside-out (company to customer) ke outside-in (berfokus
pada customer) dalam memutuskan medium komunikasi yang
akan digunakan. Hal ini krusial karena customer merupakan
44
active audiens (Levy dan Windahl 1985) yang terlibat secara
aktif memilih baik informasi atau media yang ingin mereka
ketahui dan gunakan.
2. Use Any Form of Relevant Contact or Touch Point
Maksudnya adalah, dalam menyusun strategi penggunaan
media, pemasar sebaiknya memakai media yang relevan dan
sesuai dengan kebutuhan saja karena tidak semua media cocok
untuk semua situasi. Namun, bukan berarti pemasar hanya boleh
menggunakan sedikit media dalam menjangkau customer. IMC
dalam praktiknya mendorong pemasar supaya lebih peka dalam
menggunakan segala bentuk touch point atau contacts (medium
yang dirasa mampu menjangkau customer dan
merepresentasikan brand tertentu) supaya customer dikelilingi
dengan brand messages di setiap kesempatan (360 Degree
Branding).
3. Speak with a Single Voice
Walaupun banyak strategi dan media yang digunakan, pemasar
harus tetap berhati-hati dalam menyampaikan pesan tersebut
(across diverse points of contact) secara konsisten sesuai
dengan apa yang perusahaan atau brand tertentu ingin
persepsikan dalam benak customer mereka.
4. Build Relationship.
45
Apabila ingin berhasil, komunikasi pemasaran membutuhkan
strategi dalam membangun hubungan antara brand dengan
customer-nya. Hubungan disini tidak hanya dibangun tetapi juga
harus dipertahankan.
5. Affect Behavior
Komunikasi pemasaran tidak boleh hanya berhenti pada
menciptakan dan meningkatkan awareness atau meningkatkan
persepsi atau sikap customer terhadap brand tetapi juga harus
drive people to action; yaitu membeli produk atau jasa
perusahaan terkait.
Dalam praktiknya, prosesnya mengintegrasikan beragam sarana dalam
bauran promosi dan akitvitas pemasaran lainnya tidaklah semudah itu; pemasar
banyak menemui kendala terhadap permasalahan terkait. Padahal hal ini terbilang
krusial mengingat tujuan komunikasi pemasaran adalah (Shimp 2010, 21):
The objective of marketing communications is to enhance brand equity as a means of moving customer to favorable action toward the brand –that is, trying it, repeat purchasing it, dan, ideally, becoming loyal toward the brand
Dalam proses meningkatkan brand equity, kesesuaian dan ketepatan dalam
mengkombinasikan dan mengintegrasikan semua sarana dan elemen yang ada
dalam bauran pemasaran dan aktivitas pemasaran lainnya terbilang sangat penting
(Keller 1993).
46
Skema 3.4 Making Brand-Level Marcom Decisions and Acheiving Desired Outcomes Sumber: Shimp 2010, 21 Berdasarkan gambar di atas, dapat diterjemahkan bahwa semua program
komunikasi pemasaran disusun untuk meningkatkan brand equity yang mampu
mempengaruhi sikap customer; dimana harapan atas perubahan sikap tersebut
adalah transaksi jual-beli. Sehingga, penting bagi pemasar untuk mempelajari dan
menerapkan Integrated Marketing Communication dalam perusahaan mereka.
Ada beberapa elemen yang tercantum dalam gambar di atas, berikut adalah
penjelasan singkat mengenai hal terkait:
1. Fundamental Decisions
a. Targetting memampukan pemasar menyalurkan pesan
secara lebih tepat kepada target market yang dirasa
paling potensial dalam menerima dan meresponi pesan.
b. Positioning adalah strategi brand dalam membedakan
diri mereka dari kompetitornya.
47
c. Setting objectives mendorong pemasar merumuskan
tujuan yang ingin dicapai. Tujuan harus memenuhi
kriteria SMART; yakni Specific, Measurable,
Achievable, Realistic, dan Timely.
d. Budgeting setiap perusahaan berbeda-beda, ada yang
mengalokasikan dana secara top-down (dana ditentukan
dari atasan kemudian dialokasikan kebawah) dan ada
yang menganut sistem bottom-up (perencanaan dibuat
terlebih dahulu dari manejemen bawah baru kemudian
diusulkan kepada atasan). Dalam praktiknya, biasanya
kedua sistem tersebut dikombinasikan.
2. Implementation Decisions
a. Mixing Elements merupakan strategi dalam
mengintegrasikan atau mengkombinasikan keseluruhan
elemen dalam bauran promosi atau komunikasi
pemasaran se-efektif dan se-efisien mungkin.
b. Creating Messages adalah strategi dalam mengemas
pesan dalam media seperti iklan, publicity releases,
promosi, dan elemen komunikasi pemasaran lainnya.
c. Selecting Media adalah strategi dalam menggunakan
media, pemasar sebaiknya memakai media yang relevan
dan sesuai dengan kebutuhan saja karena tidak semua
media cocok untuk semua situasi.
48
d. Establishing Momentum merupakan strategi yang tidak
hanya mencakup bagaimana pemasar menciptakan buzz-
generating viral campaign, meluncurkan iklan, atau
membuat publisitas, tetapi lebih dari itu yakni
mempertahankan segala bentuk bauran promosi yang
telah diluncurkan tadi.
3. Marcom Outcomes
a. Enhancing Brand Equity dan Affecting Behavior
merupakan elemen yang saling bergantung. Maksudnya
adalah, apabila pemasar mampu meningkatkan brand
equity maka sikap konsumen dalam bertransaksi akan
lebih mudah diprediksi bahkan dicapai.
4. Program Evaluation
a. Proses evaluasi terhadap program-program yang
sudah disusun, direncanakan, dan dieksekusi adalah
penting bagi masa depan perusahan. Melalui
evaluasi, pemasar dapat melihat keselarasan antar
hasil yang dicapai dan tujuan awalnya; apakah
sesuai? Apabila tidak sesuai, pemasar harus mencari
tahu apa yang salah dan memperbaiki hal tersebut.
49
III.5. Brand
Brand berasal dari bahasa Old Norse (merupakan bahasa Jerman Utara dan
diucapkan oleh orang-orang Skandinavia), “Brandr” yang berarti “to burn”.
Sedangkan kata ‘brand’ dalam bahasa Inggris diprediksi berkembang pada abad
pertengahan (476-1492). Brand menurut American Marketing Association (Keller
2008, 2) adalah:
Brand is a name, term, sign, symbol, or design, or a combination of them, intended to identify the goods and services of one seller or group of sellers and to differentiate them from those of competition.
Pernyataan tersebut didukung oleh Shimp dalam buku Advertising and
Promotion: an Integrated Marketing Communications Perspective (2010, 34):
A brand exists when a marketing entity –i.e., a product, a retail outlet, a service or even a geographical place such as an entire country, region, state, or city receives its own name, term, sign, symbol, design, or any particular combination of these elements as a form of identification.
Sedangkan branding adalah proses dalam menciptakan citra (image) sebuah
brand yang memiliki nilai (positif) di hati dan pikiran customer-nya; merupakan
sebuah proses yang memungkinkan sebuah produk dapat dibedakan dari kategori
produk lainnya yang serupa (Duncan 2005).
Brand seringkali disamakan dengan produk/ komoditi, padahal brand jauh
lebih kompleks (bahkan melebihi nama, logo, simbol, dan lain lain) karena brand
merepresentasikan kumpulan nilai yang digambarkan oleh stakeholder dan
stockholder perusahaan yang bersangkutan, produk yang ditampilkan dan
bagaimana penyampaian produk tersebut kepada masyarakat (Shimp 2010).
50
Pernyataan ini didukung oleh Keegan dan Green dalam buku Global Marketing
(2013, 313):
Brand is a complex bundle of images and experiences in the customer’s mind.
Lebih lanjut mereka mengatakan bahwa brand memiliki dua fungsi penting.
Pertama, brand merepresentasikan janji-janji dari perusahaan tertentu mengenai
produk mereka. Ini merupakan semacam kualifikasi atau sertifikasi perusahaan
tersebut apakah mereka layak disebut sebagai perusahaan yang kredibel atau
tidak. Kedua, brand memungkinkan konsumen mengorganisasi, memilih dan
memutuskan secara lebih baik produk atau jasa tertentu. Singkatnya, brand
memungkinkan konsumen membedakan produk atau jasa yang ditawarkan oleh
perusahaan tertentu.
Riezeboz, Kit, dan Kootstra dalam buku mereka yang berjudul Brand
Management (2003) mengemukakan bahwa brand strategy disusun berdasarkan
dua parameter yaitu differentiation (diferensiasi) dan added value (nilai tambah).
Strategy by differentiation maksudnya adalah perusahaan berusaha membedakan
produk mereka dari kompetitornya. Melalui diferensiasi, perusahaan dapat
memiliki keunggulan kompetitif dan salah satu penerapannya adalah melalui
brand positioning. Keunggulan kompetitif tersebut harus dipertahankan dalam
jangka waktu yang panjang (Miller & Muir 2004) Sedangkan strategy by added-
value merujuk pada fakta bahwa produk dengan label ‘brand’ terntentu memiliki
nilai lebih dibandingkan dengan yang. Dalam proses menciptakan nilai lebih,
brand tersebut harus memiliki makna tersendiri pada diri konsumenya.
51
Kedua strategi tersebut dapat menciptakan brand yang kuat (strong brand)
dan mampu bersaing. Miller dan Muir dalam bukunya yang berjudul The Business
of Brands (2004) mengemukakan bahwa brand yang kuat dapat menimbulkan
keuntungan-keuntungan seperti:
1. Brand yang kuat dapat menciptakan halangan bagi kompetitor lain
untuk memasuki pasar.
2. Brand yang kuat mempermudah peluncuran brand extension.
3. Brand yang kuat dapat lebih mudah memasuki pasar Negara asing.
4. Brand yang kuat dapat mempermudah proses perekrutan pegawai
baru karena dirasa lebih menarik.
5. Brand yang kuat dapat meningkatkan harga tanpa mengurangi
volume penjualan
6. Brand yang kuat dapat menggunakan strategi harga premium; harga
yang ditetapkan lebih tinggi dan dianggap memiliki kualitas lebih
dibandingkan produk atau jasa lainnya dalam kategori serupa.
7. Brand yang kuat lebih mampu bertahan pada saat krisis terjadi.
8. Brand yang kuat memiliki loyalitas konsumen yang lebih tinggi.
9. Brand yang kuat memiliki trustworthy yang lebih tinggi.
10. Brand yang kuat memiliki kemungkinan dalam menciptakan inovasi
yang lebih tinggi.
52
III.6. Brand Equity
Pada mulanya, brand hanya terhitung sebagai alat dalam mencapai tujuan
pemasaran seperti melebarkan pangsa pasar atau meningkatkan transaksi dan
loyalitas (Miller & Muir 2004). Namun, semenjak tahun 1980-an, muncul konsep
pemasaran yang dirasa paling popular dan potensial disebut dengan brand equity.
Munculnya konsep brand equity memberi kesadaran akan pentingnya brand
dalam strategi pemasaran, sehingga menciptakan fokus dalam pengelolaanya dan
meningkatkan akitvitas penelitian. Brand equity juga mampu menjelaskan
mengapa ada perbedaan hasil dari pemasaran sebuah produk atau jasa dengan
label ‘brand’ tertentu dibandingkan dengan yang tidak. Namun, dalam praktiknya,
konseptualisasi dan pengukuran efektivitas brand equity terbilang cukup beragam
sehingga terkadang membingungkan (Keller 2008). Brand Equity menurut
McDaniel, Lamb, dan Hair (2011, 343) adalah:
Brand equity refers to the value of company and brand names. A brand that has high awareness, perceived quality, and brand loyalty among customers has high brand equity.
Sedangkan Keegan dan Green dalam buku Global Marketing (2013, 313)
menjelaskan konsep tersebut dengan:
Brand equity represents the total value that accures to a product as a result of a company’s cumulative investments in the marketing of the brand. Just as some homeowner’s equity grows as a mortgage is paid off over the years, brand equity grows as a company invests in the brand. Brand equity can also be thought of as an asset representing the value created by relationship between the brand and customers over time.
Berdasarkan pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa brand equity
merupakan hasil dari kegiatan marketing dan merupakan sebuah representasi nilai
53
yang diciptakan dari hubungan antara brand dan customer-nya dari waktu ke
waktu. Konsep brand equity dapat dilihat dari dua perspektif yaitu (Shimp 2010):
1. A Firm-Based Perspective on Brand Equity.
Brand equity berdasarkan sudut pandang ini berpusat pada hasil dari usaha
dalam meningkatkan nilai brand tertentu kepada stakeholders-nya.
Apabila nilai (equity) sebuah brand semakin meningkat, maka
kemungkinan munculnya hasil yang positif akan lebih tinggi. Hasil positif
yang didapat dapat berupa meningkatnya pangsa pasar, meningkatnya
loyalitas, kemampuan dalam menetapkan harga premium di pasaran, dan
mendapatkan pendapatan premium (revenue premium). Revenue premium
adalah perbedaan pendapatan antara barang dengan label ‘brand’ tertertu
(branded items) dan barang dengan label pribadi (private-labeled item).
Contohnya, produk gula buatan Gulaku memiliki penghasilan yang lebih
tinggi dibandingan dengan produk gula buatan Indomaret.
2. A Customer-Based Persective on Brand Equity
Brand equity berdasarkan sudut pandang ini dilihat dari pihak customer.
Peneliti akan menjelaskan mengenai hal terkait secara lebih lengkap di
poin berikutnya (III.7.).
III.7. Customer Based-Brand Equity
Menurut Keller, customer-based brand equity dapat didefinisikan (1993,
2):
Customer based-brand equity is defined as the differential effect of brand knowledge on consumer response to the marketing of the brand. That is, customer based-
54
brand equity involves consumers’ reaction to an element of the marketing mix for the brand in comparison with their reactions to the same marketing mix element attributed fictitiously named or unnamed version of the product or srevices. Customer based-brand equity occurs when the consumer is familiar with the brand and holds some favorable, strong, and unique brand associations in memory.
Berdasarkan sudut pandang ini, dapat disimpulkan bahwa brand terbilang
memiliki nilai (equity) apabila masyarakat familiar dengan brand tersebut dan
memiliki asosiasi yang baik, kuat, dan unik di benak mereka.
Asosiasi menurut Shimp dalam bukunya yang berjudul Advertising and
Promotion (2010, 36-37) adalah:
Associations (or, more technically, mental associations) are the particular thoughts and feelings that consumers have linked in memory with a particular brand, much in the same fashion that we hold in memory thoughts and feelings about other people.
Sebagai contoh, Rolex memiliki asosiasi seperti feeling of success, high
social status, social approval, luxurious, high quality, dan lainnya (Keller 2008).
Selain itu, berdasarkan definisi Keller mengenai customer based-brand equity,
ada 3 konsep penting yang dapat ditarik yaitu differential effect (perbedaan respon
konsumen), brand knowledge (pengetahuan konsumen mengenai brand), dan
consumer response to marketing (persepsi, pilihan, dan sikap konsumen sebagai
hasil dari aktivitas komunikasi pemasaran).
Brand knowledge terdiri dari dua dimensi yaitu brand awareness dan brand
image. Berikut adalah kerangka mengenai konsep tersebut yang akan Peneliti
jelaskan secara lebih lengkap di poin berikutnya (III.7.1-III.7.2.).
55
Skema 3.5 Adaptation of Keller’ Customer-Based Brand Equity Framework Sumber: Shimp 2010, 37
III.7.1. Brand Awareness
Brand awareness menurut Rossiter dan Percy (1987):
It is related to the strength of the brand node or trace in memory, as reflected by
cosumers’ ability to identify the brand under different conditions.
Sedangkan brand awareness menurut Shimp (2010, 37) adalah:
Brand awarenes is an issue of whether a brand name comes to mind when consumers think about a particular product category and the ease with which the name is evoked.
Brand awareness merupakan dimensi dasar dari brand equity dimana
apabila konsumen tidak sadar atau mengetahui brand tersebut, maka brand
tersebut tidak memiliki nilai (equity). Brand awareness terdiri dari brand
recognition dan brand recall (skema 3.5). Brand recognition adalah kemampuan
BRAND KNOWLEDGE
Brand Recognition
Brand Recall
Types of Brand Associations
Favorability, Strength, and Uniqueness of
Brand Associations
Attributes
Benefits
BRAND AWARENESS
BRAND IMAGE
Overall Evaluation (Attitude)
Experential
Non-Product Related (e.g: Price, Packaging,
User, and User Imagery)
Product Related (e.g: Color, Size, Design
Features)
Functional
Symbolic
56
konsumen dalam membedakan sebuah brand tertentu (yang sudah pernah
didengar atau dilihat sebelumnya) secara benar. Brand recognition merupakan
level kesadaran yang lebih dangkal dibandingkan dengan brand recall (Shimp
2010).
Konsumen biasanya mampu mengidentifikasi sebuah brand apabila ada
ciri-ciri atau tanda khusus yang merujuk pada brand tersebut, tetapi sedikit dari
mereka yang mampu mengingat dan mengidentifikasi sebuah brand tanpa adanya
petunjuk. Kemampuan konsumen mengingat tanpa petunjuk apapun merupakan
indikasi kesadaran yang lebih dalam dan dinamakan sebagai brand recall. Melalui
usaha komunikasi pemasaran yang efektif dan konsisten brand recall dapat
tercapai. Tujuannya adalah mendorong perubahan tahap kesadaran dari unaware
of brand (konsumen tidak mengetahui), brand recognition (konsumen sudah
mengenali dan mulai mampu mengidentifikasi), brand recall (konsumen mampu
mengidentifikasi tanpa adanya petunjuk), sampai kepada top of mind atau TOMA
(brand tersebut menjadi yang pilihan pertama konsumen diantara kompetitornya).
Gambar 3.1 The Brand Awareness Pyramid Sumber: Shimp 2010, 38
!
Top of Mind
(TOMA)
Brand Recall
Brand Recognition
Unaware of Brand
57
III.7.2. Brand Image
Keegan dan Green dalam buku mereka yang berjudul Global Marketing
mendifinisikan brand image sebagai (2013, 313):
Brand image defined as perception about a brand as reflected by brand
associations that consumers hold in their memories.
Sedangkan menurut Riezebos, Kit, dan Kootstra (2003, 63) dalam buku
mereka yang berjudul Brand Management, brand image dapat didefinisikan:
A brand image is a subjective mental picture of a brand shared by a group of
consumers.
Brand Image merupakan bentuk kedua dalam brand knowledge yang
merepresentasikan asosiasi yang muncul di benak orang-orang (baik konsumen
atau bukan) ketika mereka berpikir mengenai brand tertentu (Shimp 2010).
Asosiasi dapat dikonseptualisasi dengan istilah type, favorability, strength, dan
uniqueness of brand asociations (lihat skema 3.5). Berikut ini merupakan
penjelasan mengenai ketiga dimensi tersebut (Keller 1993):
1. Tyes of Brand Association
Asosiasi brand muncul dengan berbagai bentuk. Salah satu cara
membedakannya adalah dari level abstraksinya; yakni melalui
seberapa banyak informasi yang dirangkum atau dimasukkan ke dalam
asosiasi tersebut. Asosiasi brand dibagi menjadi tiga kategori utama
yaitu attributtes, benefits, dan attitudes. Asosiasi brand merupakan
bagian dari konsep yang lebih besar yakni brand positioning sehingga
58
penjelasan mengenai ketiga kategori ini akan Peneliti cantumkan di
poin berikutnya (III.7.2.3).
2. Favorability of Brand Association
Asosiasi antar brand berbeda berdasarkan seberapa menguntungkan
mereka untuk konsumennya. Sehingga, Riezebos, Kit, dan Kootstra
(2003) menyimpulkan, asosiasi tertentu dapat bernilai negatif atau
positif. Asosiasi dapat dikatakan positif apabila konsumen merasa dan
percaya bahwa atribut dan keuntungan yang dibawa oleh brand
tersebut dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka.
3. Strength of Brand Association
Asosiasi sebuah brand dapat dikatakan kuat apabila informasi yang
masuk ke dalam benak konsumen (encoding) dapat dipertahankan dan
disimpan di benak mereka sehingga menjadi bagian dari brand image
dari brand tersebut (storage). Kualitas dan kuantitas selama proses
penerimaan informasi tersebut mempengaruhi kekuatan sebuah brand.
4. Uniqueness of Brand Association
Salah satu strategi dalam memformulasikan sebuah brand agar
memiliki keunggulan kompeititf adalah melalui positioning; yaitu
bagaimana brand memposisikan dirinya di benak konsumen dengan
membangun unique selling proposition (membedakan diri dari
kompetitor) sehingga memberi konsumen alasan untuk membeli
produk atau jasa yang dirawarkan.
59
Walaupun brand’s image terbentuk dari asosiasi yang dikembangkan
konsumen, para peneliti mengidentifikasi 5 dimensi kepribadian yang
menjelaskan sebagian besar brand yang ada (Shimp 2010):
1. Sincerity
Dimensi kepribadian yang mengindikasian kejujuran, keceriaan,
rendah hati, dan bajik. Contoh: Disneyland.
2. Excitement
Dimensi kepribadian yang mengindikasikan keberaranian, imaginatif,
bersemangat, dan up-to-date. Contoh: Nike
3. Competence
Dimensi kepribadian yang mengindikasian dapat dipercaya, cerdas,
dan penuh dengan keberhasilan. Contoh: Apple.
4. Sophistication
Dimensi kepribadian yang mengindikasian kelas sosial yang tinggi dan
menawan. Contoh: Rolex.
5. Ruggedness
Dimensi kepribadian yang mengindikasian kekuatan dan aktivitas di
luar ruangan. Contoh: Harley Davidson.
Lebih lanjut, Riezebos, Kit, dan Kootstra (2003) mengemukakan bahwa
ada dua proses yang dapat mempengaruhi proses pembentukannya (image
forming), yaitu melalui inductive inference (proses konsumen membangun image
melalui perjumapaan langsung dengan brand dan melalui iklan atau aktivitas
pemasaran lainnya) dan deductive inference (proses konsumen membangun image
60
melalui gambaran yang sudah ada, misalnya melalui atribut produk atau jasa yang
ditawarkan atau berdasarkan performa brand tersebut).
III.7.2.3. Brand Positioning
Menurut Ries dan Trout dalam buku mereka yang berjudul Poisitioning:
The Battle for Your Mind (1981), brand positioning dapat didefinisikan (Clifton et
al. 2003, 79):
Positioning means owning a credible and profitable ”position” in the consumer’s mind, either by getting there first, or by adopting a position relative to the competition, or by repositioning the competition.
Sedangkan menurut Shimp (2010, 132):
Positioning is a sort statement –even a word– that represents the message you
wish to imprint in customes’ mind.
Berdasarkan kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa brand
positioning adalah bagaimana sebuah brand memposisikan diri (berbeda dari
kompetitornya) di benak konsumen. Dalam proses pembentukannya, banyak
peneliti yang merumuskannya dalam beberapa sistem atau prosedur yang berbeda.
Namun, pada dasarnya, proses pembentukan brand positioning membutuhkan
faktor-faktor seperti berikut (Clifton et al. 2003):
61
Skema 3.6 The Brand Positioning Process
Sumber: Clifton et al. 2003, 81
1. Stakeholders
Proses pembentukan brand positioning dimulai dengan
mengidentifikasi beragam stakeholders organisasi tersebut. Menilai
mereka berdasarkan kepentingannya, dengan demikian pemasar dapat
menentukan jenis hubungan yang perlu dibangun sehingga tujuan
organisasi dapat dicapai.
2. Modelling The Opportunity for Positioning
Salah satu strategi dalam membangun brand yang kuat adalah dengan
memposisikan diri mereka secara tepat. Untuk mencapai hal tersebut,
pemasar harus mengenali diri mereka sendiri, keadaan pasar
(research), dan target market mereka sehingga strategi yang tepat
dapat disusun. Ada 4 hal yang harus diperhatikan dalam
mengidentifikasikan ide inti positioning itu sendiri yaitu relevance
(memiliki koneksi dengan customer dengan memenuhi kebutuhan
fungsional, emosial, dan kepausan mereka), differentiation (nilai
tambah yang tidak dimiliki kompetitor), credibility (kemampuan dalam
memenuhi janji), dan stretch (kemampuan berinovasi).
Understanding all stakholder
needs and desires
Opportunity modelling
Brand Platform
Brand Identity
Brand Architecture
Continuous evaluation and development
The Brand Positioning Process
62
3. Taking Up a Position: The Brand Platform
Posisi yang telah diformulasikan juga harus dipertahankan seiring
waktu. Brand yang mampu bertahan dalam jangka waktu panjang perlu
memposisikan diri secara relevan di mata konsumen secara terus
menerus.
4. Reflecting Brand Positioning in The Name and Broader Identity
Nama sebuah brand merupakan salah satu elemen penting. Nama yang
diciptakan harus mampu melebihi batasan geografis dan budaya. Nama
terbilang penting karena merefleksikan identitas dari brand tersebut
dan dapat menimbulkan asosiasi-asosiasi tertentu (Danesi 2006).
5. Brand Architecture: Organising to Deliver Value
Brand architecture menyusun hubungan antara brand tersebut dengan
atribut-atribut yang dimiliki, seperti stakeholder-nya atau jenis
produknya.
6. Long-term development and brand management
Brand positioning yang tepat akan mendorong brand tersebut untuk
dalam jangka waktu yang panjang. Namun tidak berhenti sampai
disitu, brand harus tetapi dievaluasi dan dikembangkan.
Berdasarkan gambar 3.4, brand image terdiri favorability, strength, dan
uniqueness dan types of brand associatons. Brand positioning merupakan bagian
yang turut membangun brand image dan dapat dikomunikasikan melalui
attributes, benefits, dan attitudes (types of brand associatons). Berikut
penjelasannya (Keller 1993):
63
1. Attribute Positioning
Positioning berdasarkan fitur atau atribut yang dimiliki sebuah brand,
yang merepresentasikan keunggulan kompetitifnya; terdiri dari:
a. Product-related
Atribut fisik yang dimiliki sebuah brand (tangible),
seperti bahan atau material yang digunakan, ukuran
produk, desain produk, pilihan warna, dan lainnya.
b. Non-Product Related
Merupakan aspek eksternal dari sebuah produk atau
jasa yang terkait dengan tingkat transaksi atau
konsumsinya, Non-product related attributes terdiri
dari harga, packaging, user imagery, dan usage
imagery (Keller 1993).
2. Benefit Positioning
Positioning berdasarkan keuntungan yang diberikan, terdiri dari:
a. Positioning Based on Functional Needs
Merupakan keuntungan intrinsik suatu produk atau
jasa (Keller 1993) yang memberikan solusi terhadap
masalah konsumen (Fennel 1978; Rossiter & Percy
1987) dan sering dibubungkan dengan kebutuhan
dasar seperti phsyiological dan safety needs (Maslow
1970). Contoh: Rexona memberi solusi terhadap bau
badan.
64
b. Positioning Based on Symbolic Needs
Menekankan kemampuan produk atau jasa dalam
memuaskan sisi emosianal dan menjanjikan konsumen
apabila mereka menggunakan brand tersebut, ada
asosiasi-asosiasi simbolis yang dapat tercapai.
Misalnya, Channel yang dianggap sebagai brand
luxurious dapat memberikan prestige tersendiri bagi
pemakai.
c. Positioning Based on Experiential Needs
Menekankan kemapuan produk atau jasa dalam
memberikan pengalaman yang memiliki nilai sensorik
yang tinggi bagi konsumennya. Contoh: Macau
bungee jump memberikan kepuasan bagi adrenalin
junkie.
3. Overall Evaluation (Attitude)
Brand attitudes merupakan keseluruhan evaluasi konsumen terhadap
sebuah brand. Poin ini perting karena biasanya evaluasi tersebut dapat
menjadi acuan konsumen dalam berperilaku.
III.8. Building Customer-Based Brand Equity
Keller, dalam e-journal yang berujudul “Conceptualizing, Measuring, and
Managing Customer-Based Brand Equity” mengatakan (1993, 9):
65
Building customer-based brand equity requires the creation of a familiar brand
that has favorable, strong, and unique brand associations.
Untuk mencapai hal tersebut, ada 3 strategi yang dapat digunakan:
1. Choosing Brand Identities
Salah satu strategi dalam menciptakan identitas brand adalah melalui
pemilihan nama brand itu sendiri. Nama yang diciptakan harus mampu
melebihi batasan geografis dan budaya. Nama terbilang penting karena
dapat menimbulkan dampak psikologis dan dampak asosiasi-asosiasi
tertentu di benak konsumen (Danesi 2006). Elemen lain seperti logo
atau simbol juga dapat mempengaruhi identitas.
2. Developing Supporting Marketing Programs
Seperti yang dapat dilihat di Gambar 3.4 (measuring brand-level
marcom decisions and achieving desired outcomes), dapat
diterjemahkan bahwa semua program komunikasi pemasaran disusun
untuk meningkatkan brand equity yang mampu mempengaruhi sikap
customer. Pemasar harus berhati-hati dan konsisten dalam
mengkomunikasikan brand melalui aktivitas pemasaran agar tercipta
suatu keselarasan antara identitas brand yang diharapkan dan program
yang dilaksanakan. Salah satu strategi media dan promosi yang sering
digunakan di era digital ini adalah melalui e-branding.
3. Leveraging Secondary Association
Mengaitkan sebuah brand dengan asoasi tertentu yang dirasa dapat
meningkatkan kualitas brand tersebut.
66
Pengaitan asosiasi ini harus disesuaikan dengan identitas brand agar
tidak menciptakan inkonsistensi pesan. Menurut Shimp (2010), ada 4
jenis leveraging yaitu:
a. Leveraging Associations from other Brands
Misalnya melalui aliansi dan partnership, seperti: Intel
Inside dan Leenovo
b. Leveraging Associations from People
Misalnya melalui brand endorser, seperti: Christiano
Ronaldo untuk Nike.
c. Leveraging Associations from Things
Misalnya melalui acara, seperti: Coca-cola
mensponsori World Cup.
d. Leveraging Associations from Places
Memanfaatkan Negara asal tempat dia diciptakan atau
didistribusikan, seperti: Honda-Jepang (dikenal
sebagai Negara yang maju teknologinya).
III.8.1. Successful E-Branding
E-branding menurut Levine dalam bukunya yang berjudul A Branded
World (2003, 165) adalah:
E-Branding is not just the activity of creating a brand on the Internet. It’s not just about making e-commerce sites famous and creating brands that end in .com. In spite of the dot-com debacle, the Internet remains a great place to publicize and sell.
67
Pada tahun 1995, hanya brand-brand mewah yang mampu menggunakan
website, namun kini website merupakan medium promosi yang harus dimiliki.
Selain menciptakan awareness dan interaksi antara penjual dan pembeli, website
yang merupakan media massa juga mampu menciptakan dan meningkatkan
identitas sebuah brand dengan memberikan pengalaman kepada konsumennya
melalui atribut-atribut yang dimilikinya, baik dari segi informasi produk itu
sendiri hingga jenis font dan warna yang digunakan. Melalui website, pemasar
juga dapat menyediakan informasi sesuai dengan yang mereka inginkan tanpa
suntingan dari berbagai pihak seperti reporter, editor, atau produser.
Dalam prosesnya, untuk mencapai e-branding yang berhasil, sebuah brand
website harus memiliki 5 elemen esensial seperti (Levine 2003):
1. Consumer information: merupakan jenis informasi dimana konsumen
menarik kesimpulan sendiri mengenai brand terkait. Informasi yang
dimaksud bukan mengenai barang atau jasa yang ditawarkan namun
mengenai janji yang ditawarkan brand itu sendiri, misi untuk memenuhi
janji tersebut, pilihan bertransaksi, dan lainnya.
2. Corporate information: website harus memiliki informasi mengenai
perusahaan yang memiliki brand tersebut, seperti annual report, kegiatan-
kegiatan yang dilakukan, cabang perusahaan, dan informasi lainnya
mengenai perusahaan yang dirasa akan menarik konsumen dan investor.
3. Contact information: website harus menyediakan nomor, e-mail, atau jenis
kontak lainnya yang memungkinkan konsumen berhubungan dengan
perusahaan.
68
4. Product/ service information: website harus memiliki informasi baik
mengenai produk atau jasa yang ditawarkan maupun program promosi
yang sedang ditawarkan.
5. Brand information: selain informasi mengenai produk atau jasa dan
perusahaan, website harus memiliki informasi mengenai brand terkait;
seperti definition of brand’s identity, assurance of brand integrity, dan
communication of the brand in its entirety.
III.9. Teori Komunikasi
Teori-teori komunikasi berikut merupakan teori yang sesuai dengan topik
penelitian yaitu strategi branding Cloth Inc dalam membangun brand equity di
benak konsumen, yang Peneliti gunakan untuk mendukung penjelasan penelitian
terkait.
III.9.1. Balance Theory
Balance theory adalah sebuah teori yang berangkat dari consistency theory
yang dikembangkan dan diperkenalkan oleh psikologi Austria bernama Fritz
Heider. Teori ini menitikberatkan pada hubungan antara tiga aspek yaitu:
perceiver/ a person (P), another person (O), dan sebuah objek (x).
Teori ini menjelaskan bahwa hubungan antar aspek tersebut bisa
menghasilkan hubungan yang positif atau negatif, bergantung dari persepsi
kognitif dari ketiga aspek tersebut. Menurut Fritz Heider (1958) manusia
69
cenderung memelihara sebuah pola yang konsisten antara apa yang mereka sukai
atau tidak sukai dari orang lain atau sebuah objek (Littlejohn & Foss 2009)
Gambar 3.2 Contoh Balance Theory Sumber: Musante 2000, 28 (Olahan Huang 2014)
Gambar diatas merupakan contoh sebuah hubungan yang seimbang/
positif (balance structure), menggambarkan bahwa apabila Philip menyukai
basket (+) dan Harry juga menyukai basket (+), maka kemungkinan besar
hubungan antara Harry dan Phillip juga menjadi positif (+). Hubungan akan
menjadi negative apabila Philip menyukai basket (+) dan Harry tidak menyukai
basket (-), namun Philip menyukai Harry sebagai teman sekelasnya (-); hubungan
ini mengindikasikan strutur yang tidak seimbang menurut teori ini.
III.9.2. Dramatism Theory
Dramatism adalah sebuah teori yang diperkenalkan oleh Kenneth Burke
(1976), yang mengasosiasikan hidup sebagai sebuah drama; berikut merupakan
konseptualisasinya (West & Turner 2010, 330):
Burke’s theory compares life to a play and states that, as in theatrical piece, life requieres an actor, a scene, an action, some means for the action to take place and a
!
Philip (P) Basket (X)
Harry (O)
+
+
+
70
purpose. The theory allows a rhetorical critic to analyze a speaker’s motive by identifying and examining these elements. Furthermore, Burke believes, guilt is the ultimate motivate for speakers, and Dramatism suggest that rhetors are most successful when they provide their audience with a means for purguing their guilt.
Dramatism yang berada di tradisi komunikasi retorika disebut sebagai a
new rhetoric karena menjelaskan bagaiman proses persuasi dapat terjadi (West &
Turner 2010). Dramatism menjelaskan bahwa setiap manusia memiliki substance
(general nature of something) dan apabila seseorang ingin berhasil mempersuasi
audience-nya, makan orang tersebut harus mengejar kesamaan substance yang
dimiliknya dengan audience-nya (consubstantiation); sehingga substances
tersebut menjadi tumpang tindih dan terjadi sebuah proses yang disebut dengan
identification. Teori ini mengatakan bahwa ketika proses identification terjadi dan
apabila speaker (yang mempersuasi) mampu memberikan alasan kepada
audience-nya (yang dipersuasi) untuk membersikan guilt –sebuah istilah untuk
ketengangan, kecemasan, rasa malu, dan perasaan-perasaan intrinsik merugikan
lainnya (Griffin 2012), maka tingkat persuasi akan lebih mudah diprediksi.
71
III.10. Kerangka Pemikiran
Skema 3.7 Kerangka Pemikiran Sumber: Olahan Peneliti, 2014
Latar Belakang Masalah Meningkatnya e-commerce terutama dalam industri pakaian (fesyen) mengakibatkan kompetisi
bidang terkait semakin meningkat, sehingga strategi branding yang tepat dibutuhkan untuk menciptakan competitive advantage (melalui strategi brand awareness dan brand image)
Peneliti memilih brand Cloth Inc sebagai objek penelitian.
Rumusan Masalah 1. Bagaimana strategi Cloth Inc dalam membangun brand awareness; khususnya
melalui formulasi nama? 2. Bagaimana tingkat brand awareness yang terbentuk di benak konsumennya? 3. Bagaimana strategi Cloth Inc dalam membangun brand image; khususnya
melalui penggunaan model kaukasia? 4. Bagaimana tingkat brand image yang terbentuk di benak konsumennya? 5. Bagaimana tingkat brand equity yang terbentuk di benak konsumennya?
Brand Image: Mengkomunikasikan pesan secara konsisten melalui product dan non-
product related attribute, benefit positioning, & leveraging via
people
Brand Awareness: 1. Integrated
Marketing Communication
2. Formulasi nama
Brand Equity 1. Brand Recall 2. Positive Image 3. Loyal consumer
Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif, jenis penelitian deskriptif dengan menggunakan metode studi kasus
Sumber Data
Sekunder: 1. Studi kepustakaan 2. Dokumentasi
Primer: 1. Wawancara mendalam 2. Observasi
Analisis data menggunakan model interaktif Miles dan Huberman
72
Penjelasan:
Meningkatnya e-commerce terutama dalam industri pakaian
mengakibatkan kompetisi di bidang terkait juga semakin meningkat. Sehingga,
untuk memenangkan pasar strategi branding dibutuhkan dalam membedakan diri
dari kompetitor. Pada penelitian kali ini, Peneliti memilih Cloth Inc sebagai objek
penelitian dengan beberapa rumusan masalah seperti menjelasankan strategi Cloth
Inc dalam membentuk brand equity di benak konsumen. Brand equity terdiri dari
brand awareness dan brand image. Peneliti menggunakan pendekatan kualitatif
deskriptif dengan metode studi kasus dimana sumber data dikumpulkan melalui
wawancara, observasi, studi kepustakaan, dan studi dokumentasi. Data yang
diolah kemudian dianalisis menggunakan model interaktif Miles dan Huberman.