Upload
anna-rumaisyah
View
228
Download
2
Embed Size (px)
DESCRIPTION
jg jhvhvjkv
Citation preview
LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERAN BLOK COMMUNITY HEALTH AND ENVIROMENTAL MEDICINE 2
(CHEM II)
PEMERIKSAAN KARBOKSIHEMOGLOBINMetode Hindsberg-Lang
Oleh :
Kelompok 8
Ayustia Fani F G1A010008Anna Rumaisyah A G1A010021Rinda Puspita A G1A010033Risma Pramudya W G1A010045Rahmat Vanadi N G1A010058Sarah Shafira A.R G1A010072Lilis Indri A G1A010085
Pradane Eva A G1A010097Intan Puspita H G1A010109
Asisten : Fitriana Rahmawati G1A008002
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN UMUM
PURWOKERTO
2011
LEMBAR PENGESAHAN
PEMERIKSAAN KARBOKSIHEMOGLOBIN
Disusun untuk memenuhi persyaratan melakukan ujian praktikum Biokimia
Kedokteran Blok Community Health And Enveromental Medicine 2 pada
Fakultas Kedoktran dan Ilmu-ilmu kesehatan Jurusan Kedokteran
Oleh :
Kelompok 8
Ayustia Fani F G1A010008
Anna Rumaisyah A G1A010021
Rinda Puspita A G1A010033
Risma Pramudya W G1A010045
Rahmat Vanadi N G1A010058
Sarah Shafira A.R G1A010072
Lilis Indri A G1A010085
Pradani Eva A G1A010097
Intan Puspita H G1A010109
Asisten : Fitriana Rahmawati
G1A008002
Diterima dan disahkan
Purwokerto, Juni 2011
Fitriana Rahmawati
G1A008002
BAB I
PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
Pemeriksaan Karboksihemoglobin
B. Hari, tanggal
Selasa, 21 Juni 2011
C. Tujuan Praktikum
1. Mahasiswa akan dapat mengukur kadar hemoglobin dengan metode
Hindsberg-Lang.
2. Mahasiswa akan dapat menyimpulkan hasil pemeriksaan
karboksihemoglobin dalam darah pada saat praktikum setelah
membandingkannya dengan nilai nomal.
3. Mahasiswa akan dapat melakukan pemeriksaan penunjang untuk
membantu menegakkan diagnosa dengan bantuan hasil praktikum
yang dilakukan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Hemoglobin (Hb) adalah kromoprotein yang tersusun atas protein
sederhana yaitu globin dan radikal prostetik yang berwarna yang disebut hem.
Hemoglobin terdapat dalam butir-butir darah merah, dan dapat dipisahkan dari
butir-butir darah merah tersebut dengan cara disentrifugasi atau melakukan
hemolisis dengan eter. Globin memiliki sifat basa karena banyak mengandung
asam amino yang bersifat basa, seperti lisin sebanyak 9%, histidin sebanyak 8%,
dan arginin sebanyak 8%. Globin dibangun oleh empat polipeptida dan mudah
mengalami denaturasi. Globin tidak larut dalam ammonia, tetapi larut dalam
asam/basa (Sumardjo, 2009 ).
Pada proses hidrolisis hemoglobin dengan menggunakan asam klorida,
menyebabkan pemecahan hemoglobin menjadi komponen-komponen
penyusunnya, yaitu globin dan radikal prostetiknya hem dalam bentuk hemin
(ferrihem klorida). Apabila hemoglobin diolah dengan basa, misalnya dengan
natrium hidroksida, hemoglobin tersebut juga akan terurai menjadi globin dan
hem. Adanya oksigen pada proses pengolahan ini akan menyebabkan terjadinya
perubahan ferrohem menjadi ferrihem hidroksida, yang juga dikenal sebagai
hematin (Sumardjo, 2009).
Hemoglobin (Hb) memiliki kemampuan untuk mengikat oksigen sehingga
terbentuk oksihemoglobin (HbO2). Reaksinya adalah reaksi keseimbangan (bolak-
balik). Pengangkutan oksigen dari paru-paru ke jaringan adalah berdasarkan
reaksi di bawah ini. Apabila tekanan O2 tinggi, reaksi bergeser ke kanan dan,
sebaliknya, bila tekanan O2 rendah, reaksi bergeser ke kiri (Sumardjo, 2009).
Hb + O2 ↔ HbO2
Hemoglobin maupun oksihemoglobin, dengan gas karbon monoksida
dapat membentuk karbon monoksida hemoglobin yang disebut
karboksihemoglobin (HbCO). Reaksi pembentukan ini adalah reaksi bolak-balik.
Karena afinitas Hb terhadap karbon monoksida (CO) lebih besar daripada
terhadap oksigen O2, apabila kedua gas ini berada di dalam paru-paru, Hb akan
mengikat CO dan bukan O2. Hal ini dapat mengganggu pengangkutan oksigen
dari paru-paru ke jaringan (Sumardjo, 2009).
Hb + O2 ↔ HbO2
HbO2 + CO ↔ HbCO + O2
Gambar 2.1. Karboksihemoglobin (HbCO)
Sumber: http://millicent.blogdetik.com/2010/08/12/waspadai-bahan-kimia-
berbahaya/
Selain mengikat hemoglobin, karbon monoksida juga terdapat dalam darah
dan disebut dengan CO endogen. Kadar CO endogen merupakan kadar CO
normal dalam darah. CO dalam darah berfungsi sebagai neurotransmitter yang
menghantarkan sinaps pada reseptornya (Weaver, 2009).
Afinitas gas CO 200 kali dibandingkan dengan gas oksigen (O2) terhadap
hemoglobin darah. Apabila udara yang telah tercemar diisap, pembentukan
karboksihemoglobin jauh lebih banyak sehingga gas oksigen, dalam bentuk HbO,
mengalami penurunan. Akibatnya, jaringan vital seperti otak dan jantung akan
mengalami kekurangan oksigen. Selain itu, muncul juga gejala gangguan jiwa dan
gangguan kardiovaskuler (Sitepoe, 2008).
Dengan perbandingan 1/500, gas CO dalam udara yang diisap akan
menciptakan reaksi 50% dari hemoglobin menjadi karboksihemoglobin. Selain itu
karboksihemoglobin mengusir O2 keluar dari ikatan antara hemoglobin dan
oksigen berupa oksihemoglobin (HbO) yang dipergunakan darah untuk
mengangkut oksigen bagi keperluan jaringan tubuh. Keracunan gas CO melalui
sistem pernapasan memberikan reaksi sangat kekurangan O2 atau dengan kata lain
darah kekurangan oksigen (hipoksia) (Sitepoe, 2008).
Karbon monoksida merupakan gas hasil pembakaran materi organik. Gas
CO mempunyai berat jenis hampir sama dengan berat jenis udara, sehingga cepat
terdispersi di udara. Gas ini tidak berwarna dan tidak berbau, tetapi sangat toksik.
Pada udara tertutup dengan kadar CO 50 ppm selama 30 menit memberikan hasil
pembentukan karboksihemoglobin sejumlah 3% sehingga setiap kenaikan 1%
kadar HbCO memerlukan 6 ppm kadar CO dalam udara yang dihirup selama 8
jam. Angka ini tidak dapat dikonversikan sebaliknya. Mereka yang merokok 20
batang rokok selama satu hari akan mengalami pembentukan HbCO sejumlah 6%.
Dalam asap rokok yang dihisap oleh perokok berat ditemukan adanya kadar CO
sekitar rata-rata 400 ppm. Merokok satu batang rokok akan mengurangi 8%
kemampuan darah untuk mensuplai oksigen ke jaringan (Sitepoe, 2008).
Keracunan karbon monoksida dapat ringan (<20% HbCO) dengan sedikit
dispnea dan penurunan ketajaman penglihatan serta fungsi otak yang lebih tinggi;
sedang (20-40% HbCO) dengan iritabilitas, mual, penglihatan kabur, gangguan
pengambilan keputusan, dan cepat lelah; atau berat (40-60% HbCO),
menimbulkan kebingungan, halusinasi, ataksia, kolaps, dan koma. (Behrman,
1999).
Keadaan sehat kadar HbCO dalam darah bagi yang tidak merokok adalah
1% sedangkan bagi mereka yang merokok adalah sebesar 3%. Dapat dikatakan
bahwa pengaruh gas CO terhadap gangguan kesehatan tergantung pada derajat
polusi udara dan lama terjadinya pencemaran dari udara yang dihisap. Gejala
hipoksia yang ditimbulkan oleh pengaruh CO tergantung kepada individu,
kebutuhan oksigen dari masing-masing jaringan, dan kadar hemoglobin (Sitepoe,
2008).
Pengukuran langsung karboksihemoglobin (HbCO) sangat penting untuk
diagnosis dan prognosis, karena menggambarkan derajat hipoksia jaringan yang
disebabkan oleh penggabungan karbon monoksida dan hemoglobin, serta
perubahan bentuk dan posisi kurva disosiasi oksigen (Behrman, 1999).
BAB III
METODE PRAKTIKUM
a. Alat dan Bahan :
Alat
1. Spuit 3 cc
2. Tourniquet
3. Pipet ukur 5 ml
4. Yellow tip
5. Mikro pipet (10 µl -100µl)
6. Tabung Erlenmeyer 50 ml
7. Spatula
8. Rak tabung reaksi
9. Spektofotometer
10. Kuvet
11. Vacum med
Bahan
1. Sampel darah
2. EDTA
3. Ammonia 01%
4. Sodium dithionit
B. Cara Kerja
1. Persiapan whole blood
a. Diambil darah probandus sebanyak 1 cc dengan menggunakan spuit.
b. Darah kemudian dimasukkan ke dalam vacuum med yang sudah
diberi EDTA
2. Diambil ammonia 0,1% sebanyak 20 ml dan dimasukkan ke dalam
Erlenmeyer.
3. Diambil sampel whole blood sebanyak 10µl dengan menggunakan yellow
tip.
4. Sampel whole blood dimasukkan ke dalam erlenmeyer yang berisi
ammonium salisilat
5. Campuran kemudian dipisah ke dalam 2 tabung masing-masing sebanyak
5 ml:
a. Tabung I : ditambah sodium dithionit sebanyak 1 spatula.
b. Tabung II : tidak ditambah sodium dithionit.
6. Diinkubasi selama 5 menit.
7. Diukur absorbansinya pada spektofotometer dengan panjang gelombang
546 nm dan nilai faktor 6,08.
C. Nilai Normal
CO endogen : 0,07%
HbCO : < 1%
Batas toleransi HbCO : 2%-<5%
5% : mulai timbul gejala / tidak normal /
keracunan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Probandus
Nama : Sarah Shafira
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 18 tahun
5 cc blanko
+
20 cc amonia 10 µl WB
5 cc sampel +
sodium dithionit
sentrifugasi 546 rpm
Larutan Hasil
Blanko
Sampel Tidak diketahui
B. Pembahasan
Pada praktikum pemeriksaan HbCO menggunakan metode Hindsberg-
Lang dimulai dengan mengambil darah probandus untuk dijadikan sampel whole
blood. Setelah itu, darah disimpan di dalam plakon yang sudah ditetesi EDTA
(Etilen Diamine Tetra Acid) sebagai anti coagulan agar darah tidak menggumpal.
Setelah itu, menyiapkan beaker glass yang sudah diisi ammonia 0.1% sebanyak
20 ml, dan sampel whole blood sebanyak 10 µl. Selanjutnya, menyiapkan dua
tabung reaksi untuk membagi masing-masing 5 cc, tabung reaksi I (sampel) sudah
diisi dengan sodium dithionite, dan tabung reaksi II (blanko) tidak ditambahkan
sodium dithionite. Sodium dithionit ini sebagai larutan indikator adanya CO yang
mampu bereaksi dengan molekul Hb sehingga menghasilkan HbCO dalam darah.
Selanjutnya, kedua sampel dipindahkan kedalam dua kuvet dan diinkubasi selama
5 menit dan dilanjutkan dengan membaca absorbansinya menggunakan
spektrofotometer dengan panjang gelombang 546 nm.
Setelah sampel dibaca absorbansinya, angka absorbansi nya tidak
diketahui. Ini dikarenakan terjadi kesalahan, misalnya :
1. Dalam pengadukan sampel kurang tercampur dengan sempurna
2. Kurangnya sodium dithionit pada sampel tersebut
3. Adanya kesalahan/kerusakan pada alat spektrofotometernya itu sendiri
Setiap rantai hemoglobin mempunyai sebuah gugus prostetik heme yang
mengandung satu atom besi. Besi tidak hanya penting untuk pembentukan
hemoglobin tetapi juga elemen penting lainnya. Jumlah rata–rata dalam tubuh
sebesar 4–5 gram, dan kira–kira 65 % dijumpai dalam bentuk hemoglobin
(Guyton, 2007).
Hemoglobin diuraikan dari sel–sel darah merah yang sudah tua.
Hemoglobin dilepaskan dari sel sewaktu sel darah merah pecah, dan segera
difagosit oleh sel – sel makrofag di banyak bagian tubuh. Terutama oleh sel–sel
Kupffer hati, makrofag limpa dan makrofag sumsum tulang (Ganong, 2002).
Apabila darah terpajan pada aneka macam obat dan agen–agen
pengoksidasi lain, maka ferro (Fe2+) dalam molekul tersebut dikonversi menjadi
besi ferri (Fe3+), membentuk methemoglobin. Methemoglobin berwarna tua dan
kalau jumlahnya besar dalam sirkulasi menyebabkan perubahan warna kehitaman
pada kulit yang menyerupai sianosis (Ganong, 2002).
C. Aplikasi Klinis
1. Keracunan CO
Pada bulan Desember 1990 tiga orang anak meninggal akibat keracunan
karbon monoksida (CO) karena menghirup gas ini ketika berada dalam
caravan di belakang pick-up orang tuanya. Kematian akibat keracunan CO
sebenarnya dapat dicegah. Pada beberapa tempat pemberhentian, anak-anak
tampak sehat. Setelah 50 mil, mereka juga biasa saja dan tidak mengeluh.
Pada pemberhentian setelah 250 dan 550 mil, mereka tampak tertidur. Ketika
tiba di tempat tujuan, anak-anak tidak dapat dibangunkan. Resusitasi yang
dilakukan tidak berhasil. Penumpang dalam pick-up tidak menunjukkan gejala
apapun. Pemeriksaan otopsi memperlihatkan kadar karboksihemoglobin yang
mematikan. Hasil inspeksi yang dilakukan pada mobil pick-up model tahun
1970 memperlihatkan bahwa saringan diganti, tetapi tidak dipasang dengan
rapat dan beberapa lubang di dinding caravan memungkinkan asap masuk ke
ruang caravan yang tertutup. Tekanan negative memungkinkan terbentuknya
kondisi vakum dan gas CO terisap ke dalam caravan di bagian belakang pick-
up (Timmreck, 2004).
Karbon monoksida menyebabkan anoksia jaringan yang berikatan dengan
hemoglobin membentuk karboksihemoglobin yang tidak mampu lagi sebagai
pembawa oksigen. Afinitas hemoglobin terhadap karbon monoksida adalah
200 kali lebih besar daripada terhadap oksigen. Penjenuhan hemoglobin
dengan sekitar 60% CO menimbulkan kejang, koma, dan ancaman kelemahan
atau kegagalan respirasi (Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK Unsri,
2008).
Pengobatannya terdiri atas pemberian oksigen 100% yang dihubungkan
dengan pernapasan buatan selama 1-2 jam, dan mempertahankan temperature
tubuh dan tekanan darah. Edema serebri yang mungkin terjadi harus diobati
dengan manitol dan prednisone. Kejang dapat dikontrol secara efektif dengan
pemberian diazepam (Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK Unsri,
2008).
Kadar CO dalam udara yang diperbolehkan (aman untuk kesehatan)
adalah 100 ppm. Jika lebih dari itu maka udara sudah berbahaya untuk dihisap
atau dihirup. Kadar CO kurang dari 1% tidak menimbulkan efek, kadar 2-5%
HbCO menyebabkan terganggunya sistem urat syaraf, sedangkan kadar
melebihi 5% menyebabkan terganggunya fungsi tubuh. Gejala-gejala yang
dapat dilihat akibat keracunan gas CO adalah sesak nafas dan timbulnya
peradangan pada selaput lendir. Semakin tinggi kadar yang terhirup, semakin
hebat gejala yang ditimbulkan, bahkan dapat menyebabkan pingsan dan
kematian jika HB dalam tubuh sangat banyak mengikat CO (Salirawati, 2007).
2. Hipoksia
Karbon monoksida menyebabkan hipoksia dengan membentuk
karboksihemoglobin dan menggeser. Afinitas Karbon monoksida yang
untuk hemoglobin lebih dari 200 kali dari oksigen, 14 mengakibatkan
pembentukan dari karboksihemoglobin dengan jumlah bahkan relatif rendah
karbon monoksida terhirup. Karbon monoksida meningkatkan kadar sitosolik
heme, yang menyebabkan stres oksidatif dan mengikat protein heme oksidase
trombosit dan sitokrom c, menyela selular respirasi dan produksi
menyebabkan spesies oksigen reaktif yang pada gilirannya menyebabkan
untuk saraf necrosis dan apoptosis. Gangguan memprovokasi respon stres,
termasuk aktivasi hypoxia-inducible factor sehingga di neurologis dan
jantung protection atau cedera, tergantung pada dosis karbon monoksida,
dengan cara regulasi gen. Paparan Karbon monoksida juga menyebabkan
peradangan melalui beberapa jalur yang independen dari jalur untuk hipoksia,
menyebabkan cedera neurologis dan jantung (Weaver, 2009).
3. Asfiksia
Asfiksia merupakan keadaan dimana individu mengalami kekurangan
pasokan oksigen dalam tubuh karena ketidakmampuan dalam melakukan
pernapasan. Asfiksia sangat erat kaitannya dengan hipoksia, dimana asfiksia
merupakan penyebab dari hipoksia. Asfiksia biasanya paling sering terjadi
pada bayi yang baru lahir (neonatus), dimana bayi tidak dapat bernapas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan ini disertai dengan keadaan
hipoksia, hiperkapnea, dan berakhir dengan asidosis. Hipoksia yang terjadi
sangat berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul pada kehamilan,
persalinan atau segera setelah lahir. Penyebabnya yakni pengembangan paru-
paru neonatus terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan kemudian
disusul dengan pernapasan teratur, bila terjadi gangguan pertukaran gas atau
pengangkutan oksigen dari ibu ke janin akan terjadi asfiksia janin (neonatus)
( Ilyas, 1994).
BAB V
KESIMPULAN
1. Kadar CO endogen dalam darah yaitu sebesar 0.06% (normal).
2. Kadar karboksihemoglobin yang diujikan tidak diketahui nilainya.
3. Faktor yang mempengaruhi kesalahan pada percobaan kali ini ;
a. Dalam pengadukan sampel kurang tercampur dengan sempurna
b. Kurangnya sodium dithionit pada sampel tersebut
c. Sodium dithionite yang sudah mendekati masa kadaluarsa
4. Aplikasi klinis :
a) Keracunan CO
b) Hipoksia
c) Asfiksia
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, Richard, dkk . 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume 1. Jakarta:
EGC. Hal. 342-343.
Ilyas, Jumiarni, dkk. 1994. Asuhan Keperawatan Perinatal. Jakarta: EGC. Hal.
77.
Salirawati, Das, dkk. 2007. Belajar Kimia secara Menarik SMA/MA Kelas X.
Jakarta: Grasindo. Hal. 257.
Sitepoe, Mangku. 2008. Corat-Coret Anak Desa Berprofesi Ganda. Jakarta:
Kepustakaan Populer Gramedia. Hal. 327-329.
Staf Pengajar Departemen Farmakologi FK Unsri. 2008. Kumpulan Kuliah
Farmakologi Edisi 2. Jakarta: EGC. Hal. 741.
Sumardjo, Damin. 2009. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa
Kedokteran dan Program Strata I Fakultas Bioeksakta. Jakarta: EGC.
Hal. 176-177.
Timmreck, Thomas. 2004. Epidemiologi: Suatu Pengantar. Jakarta: EGC. Hal.
379.
Weaver, Lindell K. 2009. Carbon Monoxide Poisoning. US. Available at
http://kpssctoxicology.org/pdf/Review%20Carbon%20Monoxide.pdf