68
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan bagian dari proses fisiologi reproduksi manusia, yang dalam perjalanannya dapat menjadi patologis. Salah satu keadaan patologis dalam kehamilan adalah preeklamsi. Preeklamsi ini memiliki pengaruh atau akibat yang serius, hingga dapat menimbulkan kematian bagi ibu maupun janinnya. Penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuri ini merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas maternal maupun neonatal. Di seluruh dunia, preeklamsi diperkirakan mengenai sekitar 5 - 10% dari seluruh kehamilan (WHO, 2002; Habli dan Sibai, 2008; Gupta dkk, 2009) dan dilaporkan terdapat sekitar 50.000 sampai 76.000 kematian setiap tahun akibat preeklamsi (WHO, 2002). Juga merupakan penyumbang sekitar 16% dari seluruh kematian ibu di negara maju (Habli dan Sibai, 2008). Di Indonesia, angka kejadian preeklamsi berkisar antara 2,1-8,5% dan kelainan ini masih merupakan penyebab kematian ibu nomor dua tertinggi (24%), setelah pendarahan (Depkes RI, 2001). Untuk angka kejadian di RSUP Sanglah Denpasar, periode 2002-2003 dilaporkan kejadian preeklamsi sebesar 5,83% (Oka dan Surya, 2004), pada periode 2004-2005 sebesar 6,06% (Sudarmayasa dan Surya, 2006), sementara pada periode 2009-2010, dilaporkan sebesar 7,31% (Lidapraja dan Surya, 2011). Pada bidang perinatologi, sekitar 15% kelahiran preterm merupakan prematuritas iatrogenik akibat sekunder dari kelahiran pada penderita preeklamsi.

high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

  • Upload
    vominh

  • View
    221

  • Download
    1

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kehamilan merupakan bagian dari proses fisiologi reproduksi manusia,

yang dalam perjalanannya dapat menjadi patologis. Salah satu keadaan patologis

dalam kehamilan adalah preeklamsi. Preeklamsi ini memiliki pengaruh atau akibat

yang serius, hingga dapat menimbulkan kematian bagi ibu maupun janinnya.

Penyakit yang ditandai dengan peningkatan tekanan darah dan proteinuri

ini merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas maternal maupun

neonatal. Di seluruh dunia, preeklamsi diperkirakan mengenai sekitar 5 - 10% dari

seluruh kehamilan (WHO, 2002; Habli dan Sibai, 2008; Gupta dkk, 2009) dan

dilaporkan terdapat sekitar 50.000 sampai 76.000 kematian setiap tahun akibat

preeklamsi (WHO, 2002). Juga merupakan penyumbang sekitar 16% dari seluruh

kematian ibu di negara maju (Habli dan Sibai, 2008). Di Indonesia, angka

kejadian preeklamsi berkisar antara 2,1-8,5% dan kelainan ini masih merupakan

penyebab kematian ibu nomor dua tertinggi (24%), setelah pendarahan (Depkes

RI, 2001). Untuk angka kejadian di RSUP Sanglah Denpasar, periode 2002-2003

dilaporkan kejadian preeklamsi sebesar 5,83% (Oka dan Surya, 2004), pada

periode 2004-2005 sebesar 6,06% (Sudarmayasa dan Surya, 2006), sementara

pada periode 2009-2010, dilaporkan sebesar 7,31% (Lidapraja dan Surya, 2011).

Pada bidang perinatologi, sekitar 15% kelahiran preterm merupakan

prematuritas iatrogenik akibat sekunder dari kelahiran pada penderita preeklamsi.

Page 2: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

2

Diperkirakan 1/3 bayi yang lahir dari penderita preeklamsi mengalami PJT (Auer

dkk, 2010). Preeklamsi juga meningkatkan kematian perinatal di negara-negara

maju hingga 5 kali lipat (Roberts, 2003).

Telah banyak penelitian mengenai faktor risiko, etiologi maupun

intervensi pada preeklamsi yang dilakukan, tetapi konsensus yang ada masih

dianggap kurang (Gupta dkk, 2009). Hingga saat ini teori etiologi dan patogenesis

preeklamsi masih belum ada yang dapat dibuktikan kebenarannya, sehingga

preeklamsi masih digambarkan sebagai sebuah “disease of theories” (Reynolds,

2003; Habli dan Sibai, 2008). Teori-teori tersebut di antaranya adalah: (1) teori

iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel; (2) teori intoleransi

imunologik antara ibu dan janin; (3) teori kelainan pada vaskularisasi plasenta; (4)

teori adaptasi kardiovaskular; (5) teori inflamasi; (6) teori defisiensi gizi; dan (7)

teori genetik (Angsar, 2008).

Salah satu teori etiologi preeklamsi yang dianut saat ini mengatakan

adanya ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan sistem pertahanan

antioksidan yang menyebabkan timbulnya stress oksidatif (Toescu dkk, 2002;

Roberts dan Hubel, 2004). Telah diketahui bahwa pada saat kehamilan normal

terdapat peningkatan produksi radikal bebas dibandingkan dengan saat tidak

hamil, dan pada preeklamsi diduga produksinya lebih banyak lagi. Stress oksidatif

yang terjadi pada preeklamsi akan meningkatkan produk hasil lipid peroksidasi.

Lipid peroksidasi tersebut diduga kuat berperan penting menyebabkan gangguan

fungsi endotel dan timbulnya gejala klinis preeklamsi (Hung dan Bruton, 2006;

Borekci dkk, 2009; Gupta dkk, 2009). Peningkatan lipid peroksidasi tersebut

Page 3: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

3

dapat diukur dengan pelbagai metode pengukuran lipid peroksidasi dalam darah,

salah satunya menggunakan marker F2-Isoprostan (F2- IsoPs) (Patrignani dan

Tacconelli, 2005; Dalle-Donne dkk, 2006).

Saat ini F2-IsoPs merupakan marker stress oksidatif atau lipid peroksidasi

in vivo yang tergolong baru, paling baik, sangat stabil, dan secara signifikan lebih

akurat daripada marker lainnya (Patrignani dan Tacconelli, 2005; Dalle-Donne

dkk, 2006). F2-IsoPs telah ditemukan hampir di seluruh cairan biologis, namun

darah (plasma ataupun serum) dan urin merupakan sampel penelitian yang paling

umum digunakan karena paling mudah didapatkan, paling tidak invasif, dan

memberikan hasil yang sama akurat dan presisi dari indeks stress oksidatif.

Isomer 8-isoprostan dari F2-IsoPs merupakan isomer F2-IsoPs yang paling

banyak dihasilkan dan paling sering diteliti (Dalle-Donne, 2006; Janicka dkk,

2010). Dan penelitian menunjukkan bahwa kadar total F2-IsoPs (bebas dan yang

terikat dengan fosfolipid) dapat menggambarkan keadaan stress oksidatif yang

sebenarnya (Barden dkk, 2001; Hung dan Bruton, 2006).

Walaupun pelbagai penelitian terhadap hubungan lipid peroksidasi dengan

preeklamsi menggunakan pelbagai marker telah banyak dilakukan, namun masih

terdapat pertentangan mengenai hasilnya. Sementara itu penelitian yang

menggunakan marker F2-IsoPs sebagai marker lipid peroksidasi terpilih saat ini

pada preeklamsi masih kurang (Henriksen, 2000; Gupta dkk, 2005; Kaur dkk,

2008). Sebagian besar penelitian lipid peroksidasi pada preeklamsi, seperti yang

juga dilakukan oleh Barden dkk (2001), Harsem dkk (2007), dan Tanto (2008),

mendapatkan kadar plasma maupun serum F2-IsoPs lebih tinggi secara signifikan

Page 4: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

4

pada penderita preeklamsi dibandingkan dengan kehamilan normal. Tetapi hasil

penelitian tersebut tidak sepenuhnya didukung secara universal (Henriksen, 2000;

Gupta dkk, 2009). Misalnya pada penelitian Ishihara dkk (2004), mereka

menyimpulkan tidak terbukti adanya stress oksidatif dengan tidak didapatkannya

perbedaan kadar plasma dan urin F2-IsoPs pada penderita preeklamsi

dibandingkan dengan kehamilan normal.

Pengukuran marker dari stress oksidatif yang dapat menyebabkan

disfungsi vaskular ini masih merupakan penelitian yang menarik karena

berhubungan dengan prediksi, risiko, etiologi, dan intervensi dari preeklamsi.

Walaupun F2-IsoPs saat ini telah diakui sebagai marker lipid peroksidasi yang

paling baik (Janicka dkk, 2010), namun peran F2-IsoPs dalam kehamilan belum

banyak diketahui. Penelitian pada preeklamsi yang mengunakan kadar total serum

F2-IsoPs sebagai marker lipid peroksidasi pun masih terbilang baru dan sedikit

dibandingkan marker lainnya. Padahal pada beberapa bidang kedokteran lain, F2-

IsoPs telah mulai digunakan sebagai marker klinis dan alat ukur keberhasilan

intervensi. Penelitian ini perlu dilakukan dengan harapan dapat menjawab hasil

penelitian yang selama ini masih kontradiktif.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang tersebut dapat dirumuskan masalah penelitian

sebagai berikut : Apakah risiko terjadinya preeklamsi pada kadar serum F2-

IsoPs yang tinggi lebih besar dibandingkan kadar serum F2-IsoPs yang

rendah?

Page 5: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

5

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum :

Mengetahui peranan lipid peroksidasi melalui deteksi kadar serum F2-IsoPs pada

preeklamsi.

1.3.2 Tujuan khusus :

Mengetahui risiko terjadinya preeklamsi pada kadar serum F2-IsoPs yang tinggi.

1.4 Manfaat Penelitian :

1.4.1 Manfaat akademik

Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai peranan stress

oksidatif terutama lipid peroksidasi pada preeklamsi, dan dapat digunakan sebagai

data dasar penelitian lebih lanjut.

1.4.2 Manfaat praktis

Diharapkan hasil penelitian ini dapat mendukung upaya-upaya yang

sedang dilakukan untuk pencegahan preeklamsi.

Page 6: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

6

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Preeklamsi

2.1.1 Definisi Preeklamsi

Preeklamsi adalah suatu sindrom yang berhubungan dengan kehamilan

berupa penurunan perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel.

(Cunningham et al, 2001). Penyakit ini ditandai dengan peningkatan tekanan

darah dan protein urin. Preeklamsi sendiri masih merupakan penyebab utama

morbiditas dan mortalitas maternal maupun neonatal di seluruh dunia (Roberts,

2003; Gupta dkk, 2009). Sementara di Indonesia kelainan ini masih merupakan

penyebab kematian ibu nomor dua tertinggi (24%), setelah pendarahan (Depkes

RI, 2001).

Pengaruh preeklamsi pada ibu hamil bervariasi dari hipertensi ringan,

hipertensi berat, krisis hipertensi, eklamsi hingga sindrom HELLP, sedangkan

dampak kelainan ini pada janin juga bervariasi dari kelahiran prematur, PJT

(pertumbuhan janin terhambat) hingga kematian janin (Jaya Kusuma, 2006).

Diseluruh dunia sekitar 15% kelahiran preterm merupakan prematuritas iatrogenik

akibat sekunder dari kelahiran pada penderita preeklamsi. Dan di negara-negara

barat diperkirakan 1/3 bayi yang lahir dari penderita preeklamsi mengalami PJT

(Auer dkk, 2010). Preeklamsi juga meningkatkan kematian perinatal di negara-

negara maju hingga 5 kali lipat (Roberts, 2003).

6

Page 7: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

7

2.1.2 Insidensi dan Prevalensi Preeklamsi

Preeklamsi merupakan salah satu komplikasi medis yang paling sering

dalam kehamilan, diperkirakan mengenai sekitar 5 - 10% dari seluruh kehamilan

di dunia (WHO, 2002; Habli dan Sibai, 2008) dan dilaporkan terdapat sekitar

50.000 sampai 76.000 kematian setiap tahun akibat preeklamsi (WHO, 2002).

Kelainan ini merupakan penyebab dari sekitar 16% kematian ibu di negara maju

(Habli dan Sibai, 2008). Di Amerika Serikat dilaporkan angka kejadian

preeklamsi sekitar 5% hingga 8% dari seluruh kehamilan (Hauth, 2000).

Angka kejadian preeklamsi di Indonesia bervariasi antara 2,1-8,5%. Untuk

angka kejadian di RSUP Sanglah Denpasar, periode 2002-2003 dilaporkan

kejadian preeklamsi sebesar 5,83% (Oka dan Surya, 2004), pada periode 2004-

2005 sebesar 6,06% (Sudarmayasa dan Surya, 2006), sementara pada periode

2009-2010, dilaporkan sebesar 7,31% (Lidapraja dan Surya, 2011).

2.1.3 Faktor Risiko

Terdapat banyak faktor risiko untuk terjadinya preeklamsi, yang dapat

dikelompokkan dalam faktor risiko sebagai berikut: (1) Primigravida,

primipaternitas, (2) Hiperplasentosis, seperti mola hidatidosa, kehamilan multipel,

diabetes mellitus, hidrops fetalis, bayi besar, (3) Umur kurang dari 20 tahun atau

lebih dari 35 tahun, (4) Riwayat keluarga pernah preeklamsi/eklamsi, (5) Penyakit

ginjal dan hipertensi yang sudah ada sebelum kehamilan, dan (6) Obesitas

(Angsar, 2008).

Angka kejadian preeklamsi pada nulipara lebih tinggi daripada multipara

(Cunningham, 2010). Pada penelitian yang lain disebutkan bahwa wanita

Page 8: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

8

nullipada berisiko lima hingga sepuluh kali lipat lebih tinggi untuk menderita

preeklamsi dibandingkan dengan wanita multipara (Lockwood dkk, 2000).

Pada kehamilan multi fetus juga didapatkan peningkatan risiko preeklamsi

sebesar empat hingga lima kali lipat lebih tinggi dari pada kehamilan normal.

Pada kehamilan kembar dibandingkan dengan kehamilan tunggal, insidensi

hipertensi gestasional adalah 13% berbanding 6%, dan insidensi preeklamsi

adalah 13% berbanding 5%. Juga dikatakan bahwa risiko preeklamsi meningkat

lebih tinggi pada wanita dengan kehamilan triplet, walaupun tidak berhubungan

dengan zigositasnya (Cunningham, 2010).

Faktor lainnya yang juga mungkin berpengaruh yaitu usia ibu yang ekstrim,

yaitu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun, obesitas, riwayat keluarga

dengan preeklamsi, dan ras kulit hitam. Ibu yang mengalami preeklamsi pada

kehamilan pertama memiliki risiko sebesar 12 kali lebih tinggi daripada ibu

dengan kehamilan pertama yang normal (Cunningham, 2010).

Dalam hubungannya dengan stress oksidatif, banyak penulis menyatakan

bahwa penyakit atau keadaan apapun yang melibatkan peranan stress oksidatif

atau pembentukan lipid peroksida meningkatkan risiko terjadinya preeklamsi

(Henriksen, 2000; Gupta dkk, 2009).

2.1.4 Diagnosis Preeklamsi

Kriteria diagnosis preeklamsi yang digunakan adalah menurut National

High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood

Pressure in Pregnancy (2000), yaitu :

Page 9: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

9

2.1.4.1 Preeklamsi ringan

a. Tekanan darah 140/90 mm Hg setelah umur kehamilan 20 minggu

b. Proteinuri 300 mg/24 jam atau +1 dipstick

2.1.4.2 Preeklamsi berat

a. Tekanan darah 160/110 mm Hg

b. Proteinuri 2,0 gram/24 jam atau + 2 dipstick

c. Kreatinin serum 1,2 mg/dl, kecuali sebelumnya diketahui telah terjadi

peningkatan

d. Trombosit 100.000 / mm3

e. Hemolisis mikroangiopati

f. Peningkatan SGOT atau SGPT

g. Nyeri kepala yang menetap atau gangguan penglihatan

h. Nyeri epigastrium yang menetap

2.1.5 Patogenesis Preeklamsi

Pelbagai penelitian pada preeklamsi telah dilakukan untuk mencari faktor

risiko, etiologi, maupun intervensi yang terbaik untuk preeklamsi, tetapi

konsensus yang ada untuk preeklamsi masih kurang (Gupta, 2005). Sejumlah teori

mengenai mekanisme etiopatofisiologi preeklapmsia telah banyak didiskusikan,

tetapi teori-teori etiologi dan patogenesis tersebut masih belum dapat dibuktikan

secara pasti (Habli dan Sibai, 2008; Borekci dkk, 2009). Karena itulah preeklamsi

masih digambarkan sebagai sebuah “disease of theories” (Reynolds, 2003). Dari

banyak teori yang telah dikemukakan, tidak ada satu pun teori tersebut yang

dianggap mutlak benar. Teori-teori tersebut di antaranya adalah (1) teori iskemia

Page 10: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

10

plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel, (2) teori intoleransi imunologik

antara ibu dan janin, (3) teori kelainan pada vaskularisasi plasenta, (4) teori

adaptasi kardiovaskular, (5) teori inflamasi, (6) teori defisiensi gizi, dan (7) teori

genetik (Angsar, 2008).

Salah satu teori etiologi preeklamsi yang saat ini cukup banyak dianut

adalah yaitu teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel. Teori ini

mengatakan adanya ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan sistem

pertahanan antioksidan akibat iskemik plasenta, sehingga terjadi stress oksidatif

dan peningkatan lipid peroksidasi berperan peranan penting didalamnya.

Pada kehamilan normal, setelah terjadi implantasi maka diikuti oleh proses

invasi tropoblas pada awal perkembangan plasenta. Invasi tropoblas terjadi

melalui dua mekanisme, yaitu invasi sitotropoblas ke dalam endometrium sampai

sepertiga miometrium, dan invasi endovaskular ke dalam arteri spiralis. Sel-sel

ekstravilous tropoblas yang infiltrasi dinding pembuluh darah akan menggantikan

sel-sel endotel dan otot polos dinding arteri, sehingga arteri spiralis akan

kehilangan tonusnya, dilatasi dan lumennya menjadi lebih lebar sehingga aliran

darah ke plasenta dan janin meningkat. Proses invasi gelombang pertama

berlangsung hingga umur kehamilan 10-12 minggu, kemudian disusul dengan

invasi tropoblas gelombang kedua pada umur kehamilan 14-16 minggu hingga

maksimal umur kehamilan 20 minggu. Proses invasi yang baik akan menjamin

aliran darah yang baik menuju plasenta (Toescu dkk, 2002; Roberts dan Hubel,

2004; Gupta dkk, 2005).

Page 11: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

11

Pada preeklamsi terjadi kegagalan invasi tropoblas ekstravilus ke dalam

lumen arteri spiralis, sehingga aliran darah ke plasenta terganggu dan

menyebabkan terjadinya kondisi hipoksia-reoksigenasi tropoblas yang

mengakibatkan produksi radikal bebas berlebihan dan penurunan kadar

antioksidan sehingga menyebabkan suatu keadaan stress oksidatif (Toescu dkk,

2002; Roberts dan Hubel, 2004; Gupta dkk, 2005). Stress oksidatif dianggap

merupakan elemen penting dalam patogenesis preeklamsi yang berujung pada

gangguan fungsi endotel dan pada akhirnya menimbulkan sindroma preeklamsi,

walaupun peranannya belum sepenuhnya dapat diuraikan (Cindrova-Davies,

2009).

Teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel di atas telah

didukung oleh banyak peneliti yang menganggap preeklamsi sebagai salah satu

penyakit dengan ketidak seimbangan antioksidan/oksidan. Bukti-bukti telah

bertambah terus menerus selama lebih dari 20 tahun terakhir. Banyak peneliti

yang menemukan bahwa preeklamsi merupakan keadaan dengan disfungsi endotel

menyeluruh, termasuk perubahan respon vaskular yang kehilangan resistensinya

terhadap agen-agen vasokonstriktor seperti norepinephrine dan angiotensin II,

berkurangnya produksi prostasiklin endothelial, dan peningkatan produksi

fibronektin selular. Semua gambaran preeklamsi di atas dimiliki juga oleh

sejumlah kelainan medis (atherosclerosis, diabetes, sepsis, dan cedera iskemik-

reperfusi) yang bersama-sama diduga penyebab utamanya adalah adanya stress

oksidatif (Gupta dkk, 2009).

Page 12: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

12

Namun teori patogenesis yang menekankan terjadinya stress oksidatif di

atas tidak dengan mudah dibuktikan dan dilakukan intervensi. Beberapa penelitian

klinis telah dilakukan dengan memberikan vitamin C dan E sebagai antioksidan

pada wanita berisiko menderita preeklamsi, gagal mengurangi insidensi

preeklamsi. Bahkan pemberian vitamin C dan E dikatakan dapat memiliki efek

kurang baik pada kehamilan. Beberapa penjelasan untuk hasil penelitian yang

mengecewakan tersebut di antaranya karena pemberiannya terlambat pada usia

kehamilan yang sudah lanjut, dosis yang tidak tepat, dan pemberian antioksidan

ini tidak dapat membalikkan perjalanan patogenesis penyakit yang sudah terjadi

(Cindrova-Davies, 2009).

2.2 Stress Oksidatif

2.2.1 Radikal Bebas dan Stress Oksidatif

Radikal bebas adalah suatu atom atau molekul yang dapat bertahan secara

independen dan memiliki elektron tidak berpasangan, sifatnya sangat reaktif dan

dapat mengakibatkan terjadinya reaksi berantai dalam upaya untuk mencari

pasangan elektronnya. Radikal bebas merupakan produk yang senantiasa selalu

diproduksi dalam tubuh manusia. Dibandingkan dengan keadaan tidak hamil,

pada saat kehamilan terdapat peningkatan produksi radikal bebas, dan pada

preeklamsi dikatakan produksinya lebih banyak lagi. Ketika produksi radikal

bebas meningkat dan melebihi kemampuan sistim pertahanan antioksidan dalam

tubuh, maka terjadilah suatu keadaan yang disebut stress oksidatif (Hung dan

Bruton, 2006; Cindrova-Davies, 2009). Sumber radikal bebas dan stress oksidatif

yang terbesar pada kehamilan dipercaya berasal dari stress oksidatif yang terjadi

Page 13: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

13

di plasenta, terutama mitokondria plasenta (Hung dan Bruton, 2006; Gupta dkk,

2009).

Secara umum radikal bebas dapat berasal dari dua sumber, yaitu sumber

endogen dan eksogen. Radikal bebas yang bersifat eksogen antara lain radikal

bebas yang berasal dari asap rokok, polusi, radiasi, obat, pestisida, limbah

industri, dan ozon. Sebagai sumber endogen yang berasal dari dalam tubuh kita

sendiri antara lain radikal bebas yang berasal dari mitokondria (proses fosforilasi

oksidatif rantai pernapasan), proses fagositosis, inflamasi, iskemia, jalur

arakhidonat, peroksisom, dan xantin oksidase. Radikal bebas endogen terpenting

adalah radikal derivat oksigen atau oksi-radikal, dan sering disebut dengan istilah

reactive oxygen species (ROS). Radikal-radikal tersebut terdapat dalam bentuk

triplet (3O2) atau singlet (1O2), superoksida (O2.-), radikal hidroksil (OH.), nitrik

oksida (NO.), peroksinitrit (ONOO-), asam hidrokloro (HOCl), hidrogen

peroksida (H2O2), radikal alkoksil (LO.) dan radikal peroksil (LOO.). Sebenarnya

hidrogen peroksida (H2O2) dan oksigen singlet (1O2) bukan termasuk radikal

bebas, namun karena sifatnya yang sangat reaktif maka keduanya tetap

dimasukkan dalam kelompok radikal (Cindrova-Davies, 2009).

Pada sel eukaryot seperti halnya manusia, menggunakan oksigen untuk

memproduksi ATP (Adenosin triphosphate) sebagai sumber energi. Pernafasan

aerobik ini berhubungan dengan produksi Radikal bebas. Radikal bebas dibentuk

dari proses sitosolik dan secara prinsip merupakan derivat dari mitokondria,

dimana anion superoksida terbentuk oleh kebocoran elektron dari komplek I dan

III dari rantai transpor elektron (Cindrova-Davies, 2009).

Page 14: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

14

Anion superoksida dibentuk dari reduksi univalen triplet-state molecular

oxygen (3O2). Proses ini kemungkinan diregulasi oleh enzim nicotinamide adenine

dinucleotide phosphate (NAD(P)H) oksidase dan xantin oksidase atau secara non-

enzimatik melalui komponen reaktif redoks (seperti senyawa semi-ubiquinon).

ROS dalam jumlah yang tepat adalah peran sebagai tranduser signal

fisiologis dan dikenal juga sebagai secondary messengers dalam proses signaling

intraselular. ROS secara fisiologis dapat mempengaruhi fungsi selular,

menghentikan pertumbuhan, bahkan memicu kematian sel terprogram (apoptosis)

dari sel yang memang dianggap bermasalah, seperti misalnya sel yang

mengandung mikroorganisme asing. Tetapi pada kadar ROS yang terlalu tinggi

dapat menyebabkan proteksi antioksidan berkurang secara cepat, berkurangnya

jumlah ATP, menyebabkan kerusakan membran sel, hilangnya homeostasis ion,

perubahan pada reaksi oksidasi selular, oksidasi DNA, denaturasi protein, lisis

sel-sel saraf, dan menginisiasi reaksi inflamasi, hingga menyebabkan kematian sel

yang seharusnya tidak terjadi (Hung dan Bruton, 2006; Farooqui dan Horrocks,

2007).

ROS yang dihasilkan dapat segera menginisiasi timbulnya respon

inflamasi pada sel endothelial dengan menyebabkan produksi dari leukotrien dan

platelet activating factor (PAF). ROS juga mempertahankan perlekatan antara

neutrofil dengan sel endothelial yang terjadi beberapa jam kemudian setelah ROS

dibentuk dengan mengaktifkan gen yang mengkode molekul-molekul adhesi

seperti E-selectin (mempertahankan leukosit tetap rolling pada endothelial) dan

intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1; untuk mempertahankan adhesi yang

Page 15: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

15

lebih kuat dan emigrasi leukosit). Setelah itu, infiltrasi neutrofil yang terjadi

dalam mikrovaskuler dapat mengarah cedera jaringan lokal yang lebih lanjut

(Hung dan Bruton, 2006).

ROS telah diusulkan oleh banyak peneliti sebagai promotor terbentuknya

lipid peroksida dan disfungsi sel endotel yang secara umum berhubungan dengan

preeklamsi. Aktivasi leukosit sendiri merupakan sebuah gambaran yang didapat

dari penderita preeklamsi. Leukosit pada preeklamsi mengandung lebih banyak

ROS dibandingkan dengan kehamilan normal, yang menunjukkan bahwa tanda-

tanda stress oksidatif juga terdapat pada kompartemen intraselular penderita

preeklamsi (Henriksen, 2000; Gupta dkk, 2005).

Superoksida akan didetoksifikasi oleh mangan (dalam mitokondria) atau

oleh cooper/zinc (dalam sitosol) enzim superoxide dismutase (MnSOD atau

Cu/ZnSOD). SOD mengubah superoksida menjadi hidrogen peroksida (H202),

yang kemudian dikonversi menjadi air oleh enzim katalase atau glutation

peroksidase. H202 dapat juga dikonversi menjadi bentuk radikal hidroksil yang

sangat reaktif dan bersifat lebih toksik melalui reaksi Fenton dan Haber-Weiss

yang melibatkan ion Fe2+ (Cindrova-Davies, 2009).

Page 16: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

16

Gambar 2.1 Gambaran Umum Reaksi Oksidasi dan Pembersihannya

(Sumber : Cindrova-Davies, 2009)

2.2.2 Stress Oksidatif pada Preeklamsi

Pada preeklamsi, remodeling arteri spiralis sangat minimal dan perubahan

hanya terjadi pada bagian desidual arteri spiralis dan sebagian besar pembuluh

lainnya tetap dalam keadaan vasoreaktif. Bersamaan dengan berkurangnya invasi

tropoblas ke dalam uterus dan arteri spiralis menyebabkan suplai darah ke

plasenta menjadi sangat berkurang. Gangguan plasentasi ini menyebabkan

terjadinya hipoksia plasenta. Darah ibu yang memasuki ruang intervilus memiliki

tekanan dan kecepatan yang tinggi, bersifat sangat pulsatil, menyebabkan vili

plasenta terpapar pada konsentrasi oksigen yang berfluktuasi. Keadaan ini

diperkirakan dapat menyebabkan cedera tipe Hypoxia-Reoxigenation (H/R),

Page 17: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

17

sehingga dihasilkan lebih banyak radikal bebas dan timbulah suatu keadaan stress

oksidatif (Hung dan Bruton, 2006; Cindrova-Davies, 2009). Teori mengenai

cedera H/R ini dibahas lebih lanjut pada subbab “mekanisme terjadinya stress

oksidatif”.

Pada keadaan stress oksidatif, terdapat radikal bebas berlebihan, terutama

ROS, dan penurunan kapasitas anti oksidan. Radikal bebas berlebihan ini

kemudian bereaksi dengan polyunsaturated fatty acids (PUFA) pada membran sel

dan lipoprotein pada plasma yang membentuk lipid peroksida, melalui proses

lipid peroksidasi. Lipid peroksida merupakan komponen yang sangat reaktif dan

dapat menyebabkan aktivasi leukosit, adhesi platelet, vasokonstriksi, kerusakan

pada membran sel endotel, dan dapat merusak seluruh struktur sel endotel.

Kerusakan atau gangguan karena lipid peroksidasi pada keadaan stress oksidatif

ini berperan penting menyebabkan gangguan fungsi endotel (Roberts, 2003;

Borekci dkk, 2009; Gupta dkk, 2009).

Disfungsi endotel yang terjadi pada preeklamsi akibat terpaparnya

membran sel endotel pada lipid peroksida dalam keadaan stress oksidatif akan

mengakibatkan banyak gangguan, seperti : (1) menurunnya produksi prostasiklin

synthase yang menyebabkan penurunan produksi prostasiklin; (2) aktivasi enzyme

cyclooxygenase untuk sintesis tromboksan A2; (2) penurunan dan inaktivasi NO;

(3) peningkatan endothelin; (4) agregasi trombosit pada daerah endotel yang rusak

yang juga menghasilkan tromboksan A2; (5) perubahan khas pada kapilar

glomerulus berupa glomerular endotheliosis; (6) peningkatan permeabilitas

kapiler; (7) peningkatan faktor koagulasi; (8) meningkatkan mitogenisitas dan

Page 18: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

18

apoptosis dari sel vaskular; (9) meningkatkan mitogenisitas dan apoptosis dari sel

vaskular; (10) modifikasi oksidatif pada DNA dan protein; dan (11) meningkatkan

ekspresi dan aktivasi gen yang sensitive terhadap reaksi oksidasi, seperti reseptor

untuk LDL teroksidasi, molekul adhesi, faktor kemotaksis, sitokin peradangan,

regulator siklus sel dan matrix metalloproteinase (Griendling dan FitzGerald

2003, Touyz dan Schiffrin 2004, Angsar, 2008). Keseluruhan dari gangguan

disfungsi endotel di atas secara bersama-sama dianggap bertanggung jawab

menyebabkan timbulnya gejala klinis preeklamsi (Hung dan Bruton, 2006;

Borekci dkk, 2009).

Gambar 2.2 Gangguan Keseimbangan Tromboksan dan

Prostasiklin karena Stress Oksidatif.

(Sumber : Walsh, 2004)

Stress oksidatif yang terjadi pada plasenta preeklamsi diyakini

menyebabkan terjadinya apoptosis sinsitiotropoblas, yang meningkatkan lepasnya

fragmen-fragmen mikrovillus ke dalam sirkulasi maternal dan memicu timbulnya

reaksi inflamasi (Redman dkk, 2000). Stress oksidatif juga diperkirakan dapat

mengaktivasi leukosit pada saat leukosit tersebut berada di plasenta. Lipid

Page 19: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

19

peroksida mengaktivasi leukosit ketika leukosit tersebut bersirkulasi melalui

ruangan intervillous. Kemudian leukosit aktif ini akan menginduksi stress

oksidatif pada sirkulasi maternal pada tempat yang jauh dari plasenta dengan

menempel pada sel endotel dan menyebabkan disfungsi endotel (Walsh, 2004).

Beberapa faktor yang dianggap masuk akal memiliki kontribusi lebih

lanjut pada stress oksidatif adalah adanya debris atau sel apoptotik yang dapat

menyebabkan stimuli proinflamasi terutama pada keadaan plasenta yang

berukuran besar seperti pada kehamilan kembar, atau plasenta yang kecil sebagai

akibat dari degradasi yang meningkat. Leukosit dan makrofag yang diaktivasi

oleh infeksi atau oleh respons imun ibu yang berlebihan juga mungkin

menambahkan stimuli proinflamasi yang pada akhirnya turut mendukung

bertambahnya stress oksidasi (Mohaupt, 2007).

2.2.3 Mekanisme Terjadinya Stress Oksidatif

Penyebab pasti stress oksidatif pada preeklamsi belum diketahui, tetapi

diduga kuat berasal dari tidak sempurnanya perubahan arteri spiralis uterus.

Kegagalan remodeling pembuluh darah ini mengakibatkan terganggunya perfusi

plasenta dan adanya konsentrasi oksigen yang berfluktuasi, sehingga

memungkinkan timbulnya cedera sesuai teori cedera Hypoxia-Reoxigenation

(H/R), yang dikenal juga sebagai cedera iskemik-reperfusi (ischemic-reperfusion

injury). Efek yang menganggu dari proses H/R adalah dihasilkannya radikal

bebas, terutama ROS, dalam jumlah besar. ROS dapat dihasilkan melalui beberapa

tempat, tetapi dua prinsip yang sejauh ini menjadi perhatian H/R adalah kebocoran

elektron dari rantai respirasi pada mitokondria dan sistim xanthine

Page 20: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

20

dehydrogenase/xanthine oxidase (XDH/XO) (Hung dan Bruton, 2006; Cindrova-

Davies, 2009).

Dalam keadaan aerobik normal, elektron ditransportasikan oleh enzim

rantai respirasi pada membran dalam mitokondria sampai elektron tersebut

diteruskan pada molekul oksigen, sehingga membuat gradient proton pada ruang

intermembran, yang menyebabkan pembentukan ATP. Apabila enzim

mitokondria tidak berfungsi dengan baik, maka dapat terjadi kebocoran sejumlah

kecil elektron kepada oksigen sehingga terbentuk radikal superoksida. Selama

periode hipoksia, hanya terdapat sedikit bahkan tidak ada molekuler oksigen yang

tersedia sebagai reseptor akhir, sehingga elektron ditimbun pada rantai respirasi.

Akumulasi elektron ini berpotensi menyebabkan peningkatan produksi

superoksida dengan meningkatnya potensi kebocoran elektron dari membran

mitokondria. Jika kemudian kadar oksigen kembali pada keadaan normal sebelum

fungsi sel menurun terlalu jauh, maka akan terbentuk superoksida secara tiba-tiba

dalam jumlah besar. Dengan kata lain, superoksida terbentuk karena terdapat

oksigen yang banyak untuk menerima elektron yang bocor dari hasil akumulasi

pada rantai pernapasan (Hung dan Bruton, 2006).

Sumber lain, mungkin lebih utama, dari radikal superoksida menurut teori

H/R adalah melalui perubahan XDH menjadi XO. Biasanya enzim ini dibentuk

sebagai holoenzim XDH/XO. XDH merubah purin menjadi asam urat melalui

reduksi nicotinamide adenine dinucleotide (NAD), sementara XO memetabolisme

xantin dan hipoxantin menjadi asam urat, menggunakan oksigen sebagai reseptor

elektron, yang kemudian menghasilkan radikal superoksida. Dalam keadaan

Page 21: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

21

hipoksia dan respon terhadap beberapa sitokin, produksi enzim XDH/XO

meningkat dan konversi enzim menjadi XO juga meningkat. Sementara itu,

selama periode hipoksia, substrat hipoxantin dibentuk sebagai hasil dari

pemecahan ATP. Dengan demikian, akibat dari hipoksia, semakin banyak

hipoxantin yang terbentuk dan diubah menjadi asam urat yang menggunakan

oksigen sebagai reseptor elektron. Sehingga ketika oksigen sebagai reseptor

elektron hadir kembali dalam jumlah yang cukup, maka terjadilah produksi

superoksida secara cepat dan banyak (Hung dan Bruton, 2006).

2.3 Lipid Peroksidasi

Lipid peroksidasi merupakan proses yang terjadi ketika radikal bebas

berinteraksi dengan PUFA pada membran sel dan lipoprotein pada plasma.

Peningkatan produksi ROS menyebabkan peningkatan lipid peroksidasi. Proses ini

dapat berlangsung secara terus-menerus, menyebabkan terbentuknya serangkaian

oksidasi lipid yang merupakan faktor utama perantara terjadinya disfungsi endotel

pada preeklamsi (Hung dan Bruton, 2006; Kaur dkk, 2008; Gupta, 2009).

Lipid peroksidasi menghasilkan produk lipid peroksidasi primer seperti

lipid hidroperoksida, dan produk sekunder seperti Malondialdehyde (MDA) dan

lipid peroksida. Produk lipid peroksidsi ini dibentuk terutama di plasenta lalu

terikat pada lipoprotein untuk kemudian disebarkan melalui aliran darah ke

seluruh tubuh, sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada tempat yang jauh

(Gupta dkk, 2005).

Peningkatan produksi lipid peroksida yang tipikal di inisiasi oleh spesies

radikal bebas yang sangat reaktif, dapat dinilai dengan banyak metoda termasuk

Page 22: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

22

pengukuran baik produk primer maupun sekunder dari hasil peroksidasi tersebut.

Produk primer dari peroksidasi lipid termasuk conjungated dienes dan lipid

hidroperoksida, sementara produk sekundernya ialah MDA, thiobarbituric acid

reactive substances (TBARS), gaseous alkanes dan kelompok prostaglandin F2-

like product yang disebut F2-Isoprostan (Montuschi dkk, 2004; Janicka dkk,

2010).

Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata didapatkan bahwa beberapa

biomarker yang pada umumnya telah banyak digunakan untuk menilai kadar

radikal bebas dan tingkat stress oksidatif, seperti MDA dan TBARS, terbukti tidak

dapat dipercaya dan memiliki banyak kekurangan. MDA memiliki sensitivitas

yang rendah sebagai marker stress oksidatif dan kadarnya dapat dipengaruhi oleh

jumlah lemak dalam diet. MDA bukan merupakan produk khusus lipid

peroksidasi, tetapi juga merupakan produk sampingan dari aktivitas

cyclooxygenase pada platelet, yang menghasikan tromboksan. Seperti telah

diketahui, tromboksan ini meningkat pada preeklamsi, sehingga akan

menghasilkan MDA lebih banyak juga. Dengan kata lain, peningkatan MDA pada

preeklamsi dapat saja disebabkan oleh peningkatan produksi tromboksan dan

bukan karena lipid peroksidasi. Selain itu, analisis komparatif yang dilakukan

pada pemeriksaan mass spectrometry untuk mengukur kadar MDA ternyata

terbukti tidak akurat (Block, 2002; Montuschi dkk, 2004). Sementara marker lain

yang juga sering digunakan, yaitu TBARS, juga memiliki sensitivitas dan

spesifitas yang rendah untuk memonitor stress oksidatif. TBARS memiliki kualitas

Page 23: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

23

yang jauh dibawah F2-IsoPs untuk pengukuran indeks lipid peroksidasi (Milne

dkk, 2005; Patrignani dan Tacconelli, 2005).

2.4 F2 Isoprostan

Produk isoprostan dalam tubuh manusia pertama kali ditemukan dalam

bentuk senyawa menyerupai prostaglandin, yang pada akhirnya dinamakan F2-

isoprostanes. F2-IsoPs merupakan suatu metabolit hasil peroksidasi asam

arakhidonat oleh radikal bebas, melalui mekanisme yang di katalisir langsung

oleh radikal bebas (free radical-calatyzed mechanism), tidak bergantung pada

peranan enzim cyclooxygenase. F2-IsoPs memiliki struktur kimia yang stabil,

dibentuk in situ pada tempat serangan dari radikal bebas, kemudian segera

meninggalkan membran plasma, bersirkulasi dalam darah dan diekskresikan

melalui urin (Montuschi dkk, 2004; Cracowski, 2004; Janicka dkk, 2010).

Gambar 2.2 Produk akibat dari aktivitas Reactive Oxygen Species.

Terlihat isoprostan (8-iso-prostaglandin F22α) dibentuk dari hasil

oksidasi asam arahidonat. (Sumber : Janicka dkk, 2010)

Page 24: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

24

Gambar 2.3 Struktur kimia F2-IsoPs

(Sumber : Dalle-Donne dkk, 2006)

Dalam perkembangan selanjutnya terdapat 3 bentuk alternatif struktur

cincin isoprostan, yaitu bentuk D2, E2, dan F2-isoprostan. Bentuk F2-isoprostan

merupakan yang paling banyak terdapat dalam plasma daripada bentuk lainnya

(Ginger dkk, 2005; Farooqui dan Horrocks, 2007). Kemudian untuk F2-IsoPs

sendiri terdapat empat isomer, yaitu seri 5, 8, 12, dan 15. Seri 8 atau yang sering

disebut 8-isoprostan ini merupakan isomer F2-IsoPs yang paling banyak

dihasilkan dibandingkan isomer lainnya, dan merupakan F2-IsoPs yang paling

banyak diteliti. Karena belum terdapatnya kesepakatan sistim penamaan universal

untuk isoprostan, maka 8-isoprostan dikenal juga dengan nama 8-iso-

Prostaglandin F2α (8-iso-PGF2α), atau iPF2α-III, dan juga 15F2α-IsoP. Perbedaan

penggunaan sistim penamaan dari kelompok isoprostan terutama klasifikasi dari

nama famili prostanoid telah sering menyebabkan kebingungan. Sehingga masih

diperlukan suatu sistim penamaan yang lebih baik untuk isoprostan dan berbeda

dengan yang pada umumnya digunakan saat ini, misalnya dengan menggunakan

sistim penamaan IUPAC (Dalle-Donne, 2006; Mueller, 2010; Janicka dkk, 2010).

Hingga saat ini, IsoPs telah ditemukan hampir di seluruh cairan biologis,

termasuk pada plasma atau serum, urin, cairan persendian, cairan bronkoalveolar,

Page 25: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

25

cairan empedu, cairan getah bening, cairan mikrodialisis dari pelbagai organ,

cairan amnion, cairan pericardial, cairan seminal, mekonium, dan kondensasi

udara pernapasan (exhaled breath condensate). Dari sekian banyak pilihan

material sampel, plasma dan urin merupakan sampel yang paling umum

digunakan dalam penelitian karena paling mudah didapatkan dan tidak invasif.

Data yang tersedia hingga saat ini juga menunjukkan pengukuran kadar F2-IsoPs

baik dari plasma, serum, maupun urin memberikan hasil yang akurat dan presisi

untuk indeks stress oksidatif (Montuschi dkk, 2004; Dalle-Donne dkk, 2006;

Janicka dkk, 2010).

Gambar 2.4 Kadar Isoprostan pada berbagai sediaan.

(Sumber : Janicka dkk, 2010)

Page 26: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

26

Di dalam darah, F2-IsoPs terdapat dalam 2 bentuk, yaitu bebas dan terikat

pada fosfolipid atau lipoprotein. F2-IsoPs yang terikat pada fosfolipid ini dapat

dilepaskan oleh aktivitas enzim fosfolipase menjadi bentuk bebas dalam plasma.

Dan bentuk F2-IsoPs bebas ini akan diekskresikan melalui urin. Perubahan kadar

F2-IsoPs bebas dalam darah dapat disebabkan oleh peningkatan lipid peroksidasi,

peningkatan aktivitas fosfolipase, atau penurunan renal clearance (Dalle-Donne

dkk, 2006). Ada peneliti yang mengatakan bahwa pengukuran kadar total F2-

IsoPs (bebas dan yang terikat dengan fosfolipid) mungkin lebih menggambarkan

keadaan stress oksidatif yang sebenarnya, daripada hanya menggunakan F2-IsoPs

bebas (Barden dkk, 2001; Hung dan Bruton, 2006).

2.4.1 F2 Isoprostan sebagai Biomarker Lipid Peroksidasi

Sejumlah penelitian dalam waktu sepuluh tahun terakhir ini telah

menunjukkan bahwa F2-IsoPs merupakan marker untuk pengukuran lipid

peroksidasi yang bersifat stabil, sangat akurat, dan telah membantu menjelaskan

peranan stress oksidatif pada sejumlah penyakit. Pengukuran F2-IsoPs telah

membantu menjelaskan peranan stress oksidatif pada tubuh manusia seperti pada

keadaan penyakit kardiovaskular, faktor-faktor risiko penyakit kardiovaskular,

penyakit neurologi, penyakit paru, penyakit ginjal, penyakit hati, dan banyak lagi

kelainan lainnya (Montuschi dkk, 2004; Milne dkk, 2005; Farooqui dan Horrocks,

2007; Janicka 2010). Bahkan pada bidang kardiovaskular dan bagian paru, kadar

F2-IsoPs telah mulai digunakan sebagai alat ukur intervensi medis, terutama

dalam hal penentuan dosis dan keberhasilan pemberian terapi antioksidan atau

lipid peroksidasi inhibitor (Patrignani dan Tacconelli, 2005). Hingga saat ini F2-

Page 27: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

27

IsoPs merupakan marker yang paling banyak diteliti dalam kelasnya, dianggap

sebagai marker lipid peroksidasi in vivo yang paling baik, baik pada manusia

maupun pada binatang, yang secara signifikan lebih akurat dan stabil daripada

senyawa lainnya (Fam dan Morrow 2003; Montuschi dkk, 2004; Dalle-Donne

dkk, 2006). F2-IsoPs juga telah digunakan secara luas sebagai marker klinis lipid

peroksidasi (Cracowski, 2004; Montuschi dkk, 2004; Milne dkk, 2005).

Beberapa metode telah dikembangkan untuk mengukur kadar F2-IsoPs

seperti dengan metode Gas Chromatographic/negative ion chemical ionization

mass spectrometric (GC/NICI-MS), dimana metode ini memiliki sensitivitas dan

spesifisitas yang tinggi, dan dipertimbangkan sebagai “gold standard” untuk

pengukuran F2-IsoPs. Metode yang juga dikembangkan adalah liquid

chromatographic, tetapi sensitivitas dan reliabilitasnya masih belum diketahui.

Metode alternative untuk pengukuran IsoPs menggunakan pendekatan

immunologis (seperti radio immunoassay dan enzym immunoassay (EIA)) juga

telah banyak dikembangkan. Hasil pengukuran secara immunoassay pada plasma

ternyata memiliki korelasi keakuratan yang sangat baik dengan mass

spectrometric. Sehingga walaupun gold standard-nya adalah menggunakan

metode mass spectrometric, namun immunoassay lebih banyak digunakan dalam

pelbagai penelitian karena keakuratan hasil korelasinya yang sangat baik, relative

mudah digunakan dan biayanya yang lebih rendah (Milne dkk, 2005; Dalle-Donne

dkk, 2006).

F2-IsoPs sangat cocok sebagai biomarker untuk lipid peroksidasi karena

beberapa alasan, yaitu : (1) Pembentukan isoproston meningkat sesuai dengan

Page 28: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

28

stress oksidatif, (2) kadarnya dapat diukur secara akurat dengan pelbagai metode

yang telah tersedia, (3) bersifat stabil dalam sampel cairan tubuh yang diisolasi,

(4) pengukurannya tidak dipengaruhi oleh variasi diurnal dan tidak dipengaruhi

oleh kandungan lemak dalam diet, (5) merupakan produk spesifik dari lipid

peroksidasi, (6) terdapat dalam jumlah yang dapat dideteksi pada semua jaringan

tubuh dan cairan biologis, sehingga memungkinkan untuk menentukan referensi

interval, dan (7) merupakan senyawa biokimia yang sensitive dan dianggap

bermanfaat untuk menentukan dosis antioksidan (Montuschi dkk, 2004; Dalle-

Donne dkk, 2006).

Pada penelitian multivarian yang dilakukan oleh Block dkk, mereka

melakukan penelitian untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan

stress oksidatif terhadap kadar marker stress oksidatif, yang salah satunya adalah

F2-IsoPs. Variabel-variabel yang diperiksa dalam penelitian tersebut meliputi

jenis kelamin, usia, ras, berat badan, status merokok, kadar nikotin plasma; kadar

antioksidan plasma seperti carotenoids, α- dan γ-tocopherol, dan asam askorbat;

kadar lemak plasma, meliputi kolestrol serum dan trigliserida; intake nutrisi

makanan dan berbagai jenis makanan; C-reaktif protein dan kadar saturasi

transferring. Dari berbagai variable di atas, didapatkan hanya kadar plasma asam

askorbat yang memiliki hubungan secara konsisten dengan kadar F2-IsoPs, dalam

hal ini hubungan terbalik yang signifikan (Block dkk, 2002).

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa F2-IsoPs tidak menemukan

hubungan antara lipid peroksidasi dan usia seseorang. Hasil temuan ini

menyangkal hasil penelitian-penelitian sebelumnya mengenai hubungan usia

Page 29: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

29

dengan stress oksidatif. Penelitian-penelitian terdahulu yang mendapatkan bahwa

stress oksidatif semakin tinggi sejalan dengan bertambahnya usia seseorang, yang

ditunjukkan dengan meningkatnya kadar MDA secara signifikan, menjadi

diragukan setelah mulai digunakannya F2-IsoPs sebagai marker lipid peroksidasi

yang lebih spesifik. Penelitian-penelitian terdahulu yang menggunakan MDA

tersebut tidak mengontrol pengaruh kadar kolesterol, indeks massa tubuh, dan

faktor-faktor lainnya seperti inflamasi. Seperti diketahui bahwa MDA tidak

spesifik dihasilkan dari lipid peroksidasi saja, namun banyak faktor yang

mempengaruhinya. Tidak berpengaruhnya faktor usia tampaknya konsisten

dengan hipotesis bahwa kerusakan oksidatif pada DNA terakumulasi seiring

pertambahan usia, kerusakan oksidatif terhadap lemak tidak berhubungan dengan

usia, tetapi terhadap tingkah laku kebiasaan dan keadaan fisik yang sejalan dengan

bertambahnya usia – seperti meningkatnya kadar lemak tubuh dan kolestrol,

merokok dan alkohol (bila ada), dan inflamasi (terlihat dengan peningkatan C-

reactive protein) yang meningkat karena adanya arthritis dan kondisi penuaan

lainnya, dan semua faktor yang telah disebutkan di atas mempengaruhi kadar

MDA (Block dkk, 2002).

Banyak penelitian besar menggunakan antioksidan telah dilakukan untuk

interfensi suatu penyakit, namun sayangnya marker yang digunakan sering tidak

sesuai untuk penyakitnya ataupun dosis antioksidan tidak sesuai dan tidak terukur.

Dengan pengertian yang telah cukup mendalam mengenai farmakologi

antioksidan, maka untuk penelitian intervensi lipid peroksidasi harus

menggunakan pengukuran F2-IsoPs sebagai marker stress oksidatif yang paling

Page 30: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

30

baik saat ini. Penemuan F2-IsoPs sangat meningkatkan kemampuan untuk

eksplorasi peranan stress oksidatif pada patogenesis suatu penyakit, dan tentu

akan berdampak pada kedokteran klinis (Montuschi dkk, 2004; Janicka dkk,

2010).

Beberapa penelitian akhir-akhir ini mendapatkan bahwa selain merupakan

marker paling baik untuk mengetahui stress oksidatif in vivo¸ F2-IsoPs juga

diketahui memiliki efek biologis yang cukup kuat dan mungkin berperan sebagai

mediator dalam patofisiologi suatu penyakit. F2-IsoPs diketahui memiliki

pengaruh yang cukup besar terhadap fungsi pembuluh darah. F2-IsoPs diduga

merupakan agen vasokonstriktor yang dapat memberikan stimulant kuat terhadap

sel otot polos pembuluh darah, dan merupakan antagonis terhadap peranan nitrit

oksida, baik in vivo maupun in vitro. F2-IsoPs juga memiliki efek lain terhadap

fungsi sel endotel, yaitu menstimulasi proliferasi sel dan meningkatkan ekspresi

dan pelepasan endothelin-1. F2-IsoPs telah diyakini berperan dalam aktivasi

trombosit, yang tingkatannya dipengaruhi oleh dosis. Saat ini, penelitian untuk

mengembangkan preparat inhibitor terhadap F2-IsoPs pun sedang dilakukan

(Sampson dkk, 2002; Montuschi dkk, 2004; Milne dkk, 2005; Janicka dkk, 2010).

Page 31: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

31

2.4.2 F2 Isoprostan dalam Kehamilan dan Preeklamsi

Walaupun F2-IsoPs ini telah diakui sebagai marker klinis lipid peroksidasi

yang paling baik, namun peranan komponen isoprostan sendiri dalam kehamilan

masih sangat sedikit yang diketahui. Saat ini penelitian F2-IsoPs pada preeklamsi

juga masih kurang. Pelbagai penelitian masih perlu dikembangkan untuk

mengetahui lebih dalam mengenai peran F2-IsoPs dalam kehamilan, termasuk

untuk mengetahui apakah ia juga merupakan suatu faktor yang terlibat dalam

patogenesis terjadinya suatu penyakit dalam kehamilan, misalnya preeklamsi

(Hermenegildo dkk, 2002; Sampson dkk, 2002; Gupta dkk, 2005; Milne dkk,

2005).

Beberapa penelitian menggunakan F2-IsoPs telah dilakukan untuk

meneliti hubungan antara peningkatan peroksidasi lipid dengan preeklamsi, tetapi

hasil penelitian-penelitian tersebut tidak sepenuhnya mendapatkan hasil yang

sepakat secara universal. Dari penelitian lipid peroksidasi pada preeklamsi yang

menggunakan F2-IsoPs, mayoritas didapatkan kadar F2-IsoPs lebih tinggi secara

signifikan pada penderita preeklamsi. Seperti penelitian Barden dkk (2001)

terhadap 21 penderita preeklamsi dan 19 kehamilan normal, mereka mendapatkan

secara signifikan kadar bebas plasma F2-IsoPs lebih tinggi pada penderita

preeklamsi. Harsem dkk (2007) juga mendapatkan kadar plasma 8-isoprostan

lebih tinggi pada kelompok preeklamsi dibandingkan dengan kehamilan normal

(354 + 232 vs. 218 + 149 pg/mL, p=0.02). Kemudian Tanto (2008) memperkuat

temuan peneliti lain dengan mendapatkan kadar serum F2-IsoPs bebas lebih tinggi

Page 32: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

32

pada penderita preeklamsi (0,803 + 0,521 ng/mL) dibandingkan dengan wanita

hamil normal (0,557 + 0,458 ng/mL).

Sementara beberapa hasil penelitian tidak mendapatkan peningkatan

marker stress oksidatif pada pasien preeklamsi (Henriksen, 2000; Gupta, 2009).

Ishihara dkk (2004) melaporkan tidak mendapatkan perbedaan signifikan untuk

kadar plasma dan urin F2-IsoPs dan mereka menyimpulkan tidak terbukti adanya

stress oksidatif pada preeklamsi dibandingkan dengan kehamilan normal. Ishihara

dkk juga tidak menemukan perbedaan kadar plasma F2-IsoPs antara kehamilan 20

dan 40 minggu.

F2-IsoPs juga telah diketahui memiliki efek sebagai mediator

vasokonstriktor yang kuat, dan diduga secara umum berperan dalam patogenesis

terjadinya penyakit yang berhubungan dengan disfungsi endotel. Namun

peranannya atau hubungannya dengan preeklamsi masih belum banyak diketahui

(Sampson dkk, 2002; Montuschi dkk, 2004; Milne dkk, 2005; Janicka dkk, 2010).

Page 33: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

33

BAB III

KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS

PENELITIAN

3.1 Kerangka Berpikir

Pada preeklamsi, remodeling arteri spiralis sangat minimal pada saat

tahapan invasi tropoblas. Kegagalan invasi tropoblas ini menyebabkan perubahan

hanya terjadi pada bagian desidual arteri spiralis dan sebagian besar pembuluh

lainnya tetap dalam keadaan vasoreaktif. Kegagalan invasi tropoblas ini

menyebabkan berkurangnya aliran darah ke plasenta sehingga terdapat keadaan

hipoksia yang menyebabkan iskemik plasenta. Keadaan iskemik ini menyebabkan

enzim mitokondria tidak berfungsi dengan baik. Selama periode hipoksia juga

hanya terdapat sedikit bahkan tidak ada molekuler oksigen yang tersedia sebagai

reseptor akhir, sehingga elektron ditimbun pada rantai respirasi. Akumulasi

elektron ini berpotensi menyebabkan kebocoran elektron dari membran

mitokondria. Sementara darah maternal memasuki ruang intervilus plasenta

dengan tekanan dan kecepatan yang tinggi, bersifat pulsatil, menyebabkan vili

plasenta yang telah iskemik sebelumnya terpapar pada konsentrasi oksigen yang

berfluktuasi. Sehingga terbentuklah radikal bebas, terutama ROS, secara tiba-tiba

dalam jumlah besar.

Radikal bebas berlebihan yang dihasilkan ini melebihi kemampuan

antioksidan yang ada, sehingga menimbulkan suatu keadaan stress oksidatif. Pada

keadaan stress oksidatif ini terjadi proses lipid peroksidasi, dimana terjadi

33

Page 34: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

34

peroksidasi asam arakhidonat langsung oleh radikal bebas yang menghasilkan

produk berupa F2-IsoPs, yang kemudian dapat diukur kadarnya. Lipid peroksidasi

tadi berperan dalam proses aktivasi endotel, sehingga terjadilah disfungsi endotel.

Adanya disfungsi endotel tersebut mengakibatkan timbulnya gelaja-gejala klinis

preeklamsi.

Selain merupakan marker spesifik untuk lipid peroksidasi, ternyata

senyawa F2-IsoPs juga diketahui memiliki efek vasokonstriktor yang kuat, dapat

menstimulasi proliferasi sel endotel, meningkatkan ekspresi endothelin-1, dan

berperan dalam aktivasi trombosit. Efek-efek dari F2-IsoPs tersebut secara umum

dapat berperan langsung dalam patogenesis terjadinya disfungsi endotel. Sehingga

F2-IsoPs diduga bukan hanya produk dari hasil lipid peroksidasi, tetapi dapat pula

berperan memperberat keadaan disfungsi endotel yang telah terjadi sebelumnya.

Page 35: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

35

3.2 Konsep Penelitian

Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian

3.3 Hipotesis Penelitian

Risiko terjadinya preeklamsi pada kadar serum F2-IsoPs tinggi lebih besar

dibandingkan kadar serum F2-IsoPs rendah.

Faktor yang berpengaruh : Usia ibu Usia kehamilan Paritas Kehamilan Kembar Diabetes Melitus

F2-isoprostan

Stress Oksidatif

Iskemik Plasenta

Preeklamsi

Lipid peroksidasi

Disfungsi sel endotel

Page 36: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

36

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian yang digunakan adalah kasus-kontrol.

Gambar 4.1. Skema Rancangan Penelitian.

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

4.2.1 Lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Ruang Bersalin IRD Kebidanan dan Poli

Klinik 108 bagian Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah Denpasar. Untuk

pemeriksaan kadar serum F2 IsoPs dilakukan di Laboratorium Klinik Prodia Pusat

Jakarta melalui perantara Laboratorium Klinik Prodia Denpasar.

4.2.2 Waktu penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai 1 Juli 2011 sampai dengan 31 Maret

2012.

36

Kasus

preeklamsi (+)

Kontrol

preeklamsi (-)

Kadar serum F2-IsoPs tinggi

Kadar serum F2-IsoPs rendah

Kadar serum F2-IsoPs tinggi

Kadar serum F2-IsoPs rendah

Page 37: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

37

4.3 Penentuan Sumber Data

4.3.1 Populasi target

Ibu hamil penderita preeklamsi dan ibu hamil tanpa preeklamsi dengan

usia kehamilan lebih dari 20 minggu.

4.3.2 Populasi terjangkau

Ibu hamil penderita preeklamsi dan ibu hamil tanpa preeklamsi dengan

usia kehamilan lebih dari 20 minggu, yang memeriksakan diri di Poli Klinik 108

bagian Kebidanan dan Kandungan atau melahirkan di kamar bersalin IRD

Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah Denpasar pada periode Januari 2011

sampai dengan jumlah sampel tercapai.

4.3.3 Sampel eligibel

Diambil dari populasi terjangkau di atas yang memenuhi kriteria inklusi

dan eksklusi.

4.3.4 Kriteria eligibilitas

Untuk kriteria eligibilitas, terdiri dari kriteria inklusi dan eksklusi.

4.3.4.1 Kriteria inklusi

a. Ibu hamil preeklamsi dan ibu hamil tanpa preeklamsi yang memeriksakan

diri di Poli Klinik 108 bagian Kebidanan dan Kandungan atau melahirkan

di kamar bersalin IRD Kebidanan dan Kandungan RSUP Sanglah

Denpasar, dengan usia kehamilan lebih dari 20 minggu.

b. Ibu hamil dengan preeklamsi sebagai kasus

c. Ibu hamil tanpa preeklamsi sebagai kontrol

d. Bersedia ikut penelitian

Page 38: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

38

4.3.4.2 Kriteria eksklusi

a. Ibu hamil dengan kehamilan kembar

b. Ibu hamil dengan diabetes melitus

4.3.5 Penghitungan besar sampel

Untuk menentukan besar sampel minimal pada studi kasus kontrol tidak

berpasangan (Campbell et al, 1997) :

n1 = n2 = [ Zα 2PQ + Zβ√��.�� + ����]2

(P1-P2)2

Keterangan:

1. Zα : 1,64

2. Zβ : 0,84

3. P1 : Proporsi Angka kejadian preeklamsi di Indonesia 9,17%

(Girsang,2004), OR = 4. P1= 0,0917

4. Q1 : 1-0,0917 = 0,91

5. P2 : Perbedaan proporsi dianggap bermakna 30% = 0,3.

P2 = 0,3 + 0,0917 = 0,39

6. Q2 : 1-0,39 = 0,61

7. P : (P1 + P2 ) /2 = (0,0917 + 0,39)/2 = 0,24

8. Q : 1-P = 0,76

Didapatkan : n = 24,25 ~ 25

Berdasarkan pertimbangan untuk antisipasi gangguan teknis sampel dan data,

kami melakukan penambahan dari jumlah minimal sampel. Diputuskan jumlah

Page 39: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

39

masing-masing sampel tiap kelompok adalah 27 sampel, sehingga total sampel

adalah 54 sampel.

4.3.6 Teknik pengambilan sampel

Dari populasi terjangkau diambil sampel penelitian secara consecutive

sampling, sehingga diperoleh sampel terpilih.

4.4 Variabel Penelitian

4.4.1 Klasifikasi variabel

Variabel bebas : Kadar F2 Isoprostan

Variabel tergantung : Preeklamsi

Variabel terkontrol : Umur kehamilan, umur ibu, paritas, kehamilan kembar,

diabetes mellitus.

4.4.2 Definisi operasional variabel

1. Kehamilan normal adalah kehamilan dengan tekanan darah kurang dari

140/90 mmHg, tidak ada albuminuria, dan tidak ada penyakit sistemik

lainnya yang menyertai.

2. Preeklamsi adalah kehamilan dengan tekanan darah ≥ 140 / 90 mmHg

disertai proteinuria (pemeriksaan kualitaif ≥ + 1) setelah umur kehamilan

20 minggu (NHBPEP Working Group, 2000).

3. Umur Ibu adalah umur ibu hamil yang dihitung dari tanggal lahir yang

tercantum dalam KTP hingga saat pengambilan sampel dilakukan,

dinyatakan dalam satuan tahun.

4. Umur Kehamilan adalah lamanya kehamilan yang dihitung berdasarkan

hasil pemeriksaan USG yang dilakukan sebelum umur kehamilan 20

Page 40: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

40

minggu atau dapat juga dari HPHT (Hari Pertama Hadi Terakhir),

dinyatakan dalam satuan minggu.

5. Paritas adalah jumlah anak yang dilahirkan pada usia kehamilan di atas 20

minggu oleh ibu hamil sebelum kehamilan sekarang.

6. Kehamilan Kembar adalah kehamilan dengan jumlah janin lebih dari satu

yang ditentukan secara klinis melalui pemeriksaan fisik, dan dibuktikan

dari gambaran USG atau setelah persalinan.

7. Diabetes melitus adalah ibu hamil dengan meningkatnya kadar gula darah

acak > 200mg/dl pada saat kehamilan ini (PERKENI, 2005)

8. F2-IsoPs adalah metabolit hasil peroksidasi asam arakhidonat oleh radikal

bebas, melalui mekanisme yang di katalisir secara langsung oleh radikal

bebas (free radical-calatyzed mechanism), dan pengukuran kadarnya

dilakukan dengan metode EIA (Dalle-Donne dkk, 2006). Karena tidak

didapatkan nilai referensi cut of point dari literatur, untuk nilai cut of point

dengan menggunakan kurva ROC.

4.5 Bahan Penelitian

a. Larutan BHT (5mg/100mL)

b. Larutan Indometacin

4.6 Instrumen Penelitian

a. Tensimeter air raksa

b. Stetoskop

c. Spuit 10 cc

d. Kapas alkohol 70%

Page 41: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

41

e. Kuisioner penelitian

f. Label nama dan alat tulis

g. Tabung dan alat sentrifugasi

h. Cup fiser

i. Lemari es (Freezer)

j. Pipet yang disertai skala pengukuran (adjustable) 5 L - 1000 L

k. Pemanas (Baker) dan tabung reaksi

l. Kit enzym immunoassay for isoprostane (8-isoprostane) dari Oxford

Biomedical Research

m. Plate reader untuk pengukuran panjang gelombang 450 nm

4.7 Prosedur Penelitian

Pemilihan sampel penelitian dimulai dengan pemeriksaan seluruh pasien

sesuai dengan Pedoman Terapi Lab / SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD /

RSUP Sanglah Denpasar. Pasien hamil yang kemudian memenuhi kriteria inklusi

dan eksklusi, serta bersedia mengikuti penelitian ini setelah mendapatkan inform

consent, diminta untuk menandatangani formulir pernyataan bersedia mengikuti

penelitian yang telah disediakan. Ibu hamil dengan preeklamsi dijadikan kasus,

dan ibu hamil tanpa preeklamsi dijadikan kontrol. Langkah–langkah yang

dilakukan pada penelitian ini adalah:

1. Anamnesis meliputi nama, umur, paritas, HPHT, berat badan sebelum

hamil, penambahan berat badan selama kehamilan, dan riwayat sebelumnya.

2. Pemeriksaan fisik yang meliputi kesadaran, berat badan dan tinggi badan,

tekanan darah dan pemeriksaan darah lengkap, AST, ALT, serum kreatinin,

Page 42: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

42

gula darah acak, LDH dan urine rutin. Pemeriksaan tekanan darah dilakukan

dengan cara : penderita dalam keadaan santai minimal 5 menit sebelum

pengukuran dimulai dan dalam posisi duduk santai atau berbaring miring

kearah kiri. Tekanan darah diukur pada bagian tengah lengan kiri setinggi

jantung dengan menggunakan tensimeter air raksa. Tekanan darah sistolik

ditentukan dengan terdengarnya suara pertama (Korotkoff I) dan tekanan

diastolik pada saat hilangnya denyut nadi arteri brachialis (Korotkoff fase

V).

3. Pasien yang didiagnosis sebagai preeklamsi dilakukan penatalaksanaan

sesuai Pedoman Terapi yang berlaku di Lab / SMF Obstetri dan Ginekologi

FK UNUD / RSUP Sanglah Denpasar.

4. Kemudian dilakukan pengambilan sampel darah vena kubiti yang telah di

antisepsis sebelumnya dengan alkohol 70% menggunakan plain tube

sebanyak 10 cc. Plain tube diberi label identitas pasien dan nomor urut, dan

darah dibiarkan membeku selama 30 menit. Kemudian dilakukan

sentrifugasi 3000 rpm selama 15 menit. Serum yang telah terbentuk

dipisahkan masing-masing 1,2 cc ke dalam 3 sampel cup fiser yang telah

diisi campuran BHT dan indometacin. Dilakukan penyimpanan sementara

pada suhu -20 oC, kemudian dilanjutkan dengan -70 oC hingga serum di

analisis. Serum yang terkumpul selanjutnya ditentukan kadar total 8-

isoprostan (baik yang terikat maupun bebas dalam serum) dengan

menggunakan metode EIA, kemudian hasilnya dinilai dengan menggunakan

microplate reader. Penyimpanan dan analisis sampel dilakukan di

Page 43: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

43

Laboratorium Klinik Prodia Pusat Jakarta dengan bantuan dari Laboratorium

Klinik Prodia Denpasar.

5. Hasil pemeriksaan kadar total serum F2-IsoPs yang didapat kemudian

dilakukan analisis statistik.

Page 44: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

44

Gambar 4.2 Alur penelitian.

Ibu hamil umur kehamilan > 20

minggu yang datang ke

poliklinik atau IRD RS Sanglah

Denpasar

Anamnesis Pemeriksaan fisik umum Pemeriksaan obstetri Pemeriksaan laboratorium

Kriteria

inklusi

Kriteria

eksklusi

Kadar serum F2-IsoPs

A N A L I S I S D A T A

Preeklamsi (+) KASUS

Preeklamsi (-)

KONTROL

Kadar serum F2-IsoPs

Tinggi Rendah Rendah Tinggi

Page 45: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

45

4.8 Analisis Data

Komparasi karakteristik sampel diuji dengan Chi-square Test

Dilakukan uji normalitas data.

Dilakukan uji homogenitas data.

Dilakukan uji komparasi.

Dilakukan penghitungan rasio odd menggunakan tabel 2x2, dengan cut of

point yang ditentukan dengan menggunakan kurva ROC.

Tabel 4.1 Tabel 2x2 Perhitungan Rasio Odds

Kadar serum

F2-IsoPs

PREEKLAMSI

Ya(Kasus) Tidak(Kontrol) Jumlah

Tinggi A B A+B

Rendah C D C+D

A+C B+D A+B+C+D

Keterangan : Rumus RO yang digunakan adalah AD / BC

- A = Kasus dengan kadar serum F2-IsoPs tinggi

- B = Kontrol dengan kadar serum F2-IsoPs tinggi

- C = Kasus dengan kadar serum F2-IsoPs rendah

- D = Kontrol dengan kadar serum F2-IsoPs rendah

Page 46: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

46

BAB V

HASIL PENELITIAN

5.1 Karakteristik Sampel Penelitian

Pada penelitian ini terdapat dua kelompok sampel, yaitu kelompok kasus

kehamilan dengan preklamsi dan kelompok kontrol kehamilan tanpa preeklamsi

yang masing-masing terdiri dari 27 sampel. Karakteristik sampel penelitian dapat

dilihat pada tabel 5.1 di bawah.

Tabel 5.1

Distribusi Umur Ibu, Umur Kehamilan, Paritas dan Kadar Serum F2-IsoPs

pada Kelompok Kasus dan Kontrol

Parameter

Kelompok

p Kasus

(n=27)

Rerata + SD

Kontrol

(n=27)

Rerata + SD

Umur Ibu (tahun) 27,22 + 7,54 28,51 + 5,54 0,30

Umur Kehamilan (minggu) 37,22 + 3,49 38,37 + 1,64 0,37

Paritas 0,81 + 1,30 0,59 + 0,88 0,77

kadar F2-IsoPs (pg/mL) 71,0 + 36,20 42,6 + 17,07 0,01

Table 5.1 di atas menunjukkan bahwa rerata umur ibu pada kelompok

kasus adalah 27,2 + 7,54 tahun, dan pada kelompok kontrol adalah 28,5 + 5,54

tahun. Pada distribusi umur kehamilan, diperoleh rerata kelompok kasus adalah

37,22 + 3,49 minggu, dan pada kelompok kontrol adalah 38,37 + 1,64 minggu.

46

Page 47: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

47

Pada distribusi paritas, diperoleh rerata kelompok kasus adalah 0.81 + 1,30 dan

kelompok kontrol adalah 0.59 + 0,88. Untuk rerata kadar serum F2-IsoPs,

diperoleh pada kelompok kasus adalah 71,0 + 36,2 pg/mL dan pada kelompok

kontrol adalah 42,6 + 17,07 pg/mL.

Sebelumnya telah dilakukan uji normalitas dengan menggunakan uji

Shapiro-wilk untuk masing-masing variabel umur ibu, umur kehamilan dan

paritas, dimana terdapat nilai p kurang dari 0,05 untuk setiap variabel, kecuali

pada variabel umur ibu kelompok kontrol. Hal tersebut menunjukkan bahwa data

pada variabel karakteristik subyek adalah tidak normal sehingga dilakukan

analisis statistik dengan uji non-parametrik.

Analisis kemaknaan dengan Mann Whitney Test untuk variabel umur ibu

diperoleh nilai p = 0,30, umur kehamilan diperoleh nilai p = 0,37, dan paritas

diperoleh nilai p = 0,77. Sedangkan pada kadar serum F2-IsoPs menunjukkan

nilai p = 0,01

5.2 Risiko Preeklamsi Berdasarkan Kadar Serum F2-IsoPs

Untuk menentukan risiko terjadinya preeklamsi berdasarkan kadar serum

F2-IsoPs, ditentukan cut-off point terlebih dahulu dari hasil sampel penelitian.

Berdasarkan hasil pada kurva Receiving Operator Curve (ROC) diperoleh nilai

cut-off point pada 46,15 dengan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing

sebesar 80,5% dan 77,8%.

Untuk mengetahui hubungan F2-IsoPs terhadap kejadian preeklamsi

dipakai uji Chi-Square, sedangkan nilai rasio odds digunakan nilai perbandingan

ad/bc, yang dapat dilihat pada Tabel 5.2. Hasil penelitian dikelompokkan dengan

Page 48: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

48

acuan untuk nilai kadar serum F2-IsoPs >46,15 pg/mL dikategorikan tinggi,

sedangkan untuk kadar serum F2-IsoPs <46,15 pg/mL dikategorikan rendah.

Berdasarkan nilai cut-off point sebesar 46,15 pg/mL diperoleh rasio odds sebesar

10,0 (IK 95% = 2,86 - 34,92 ; p = 0,01).

Tabel 5.2

Risiko Preeklamsi pada Kadar Serum F2-IsoPs Tinggi

Parameter

Preeklamsi Tanpa

Preeklamsi

RO IK 95% p

F2-IsoPs

Tinggi 21 7

10,0

2,86-34,92

0,01

Rendah 6 20

Page 49: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

49

BAB VI

PEMBAHASAN

Penyebab awal preeklamsi masih belum diketahui dengan pasti. Stress

oksidatif telah lama dipercaya sebagai mekanisme yang mendasari dan berperan

terhadap terjadinya kerusakan endotel dalam patogenesis preeklamsi, tetapi

hingga saat ini belum ada konsensus secara universal mengenai hal tersebut.

Padahal tingkat stress oksidatif dapat diukur dengan pemeriksaan berbagai marker

oksidatif, misalnya dengan mengukur kadar F2-IsoPs sebagai produk dari hasil

peroksidasi lipid.

Atas dasar pertimbangan dan kontroversi di atas, peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai peranan stress oksidatif pada preeklamsi. Untuk

membuktikan teori stress oksidatif yang dianut saat ini, maka perlu diketahui

kadar rerata kadar total serum F2-IsoPs dari penderita preeklamsi dan hamil

normal, dan perbedaannya. Kemudian perlu diketahui juga risiko terjadinya

preeklamsi pada kadar serum F2-IsoPs yang tinggi. F2-IsoPs dipilih karena

merupakan marker stress oksidatif terbaik saat ini. Penelitian ini belum pernah

dilakukan di Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUP Sanglah/FK UNUD Denpasar

maupun Program Pascasarjana Biologi Medik FK UNUD Denpasar.

6.1 Karakteristik Sampel Penelitian

Penelitian kasus-kontrol ini melibatkan 54 sampel penelitian yang

dikelompokkan menjadi 27 sampel kelompok kasus kehamilan dengan preklamsi

dan 27 sampel kelompok kontrol kehamilan tanpa preeklamsi. Variabel yang

49

Page 50: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

50

dinilai dari karakteristik sampel penelitian ini adalah umur ibu, umur kehamilan,

dan paritas.

Pada penelitian ini tidak disertakan wanita yang menderita diabetes

mellitus dan kehamilan kembar karena dikhawatirkan meningkatkan bias yang

mempengaruhi hasil penelitian. Pada kehamilan kembar dan diabetes mellitus

terdapat keadaan hiperplasentosis (Angsar, 2008). Pada kehamilan kembar

didapatkan peningkatan risiko preeklamsi sebesar empat hingga lima kali lipat

lebih tinggi dari pada kehamilan normal, dan meningkat lebih tinggi lagi pada

wanita dengan kehamilan triplet (Cunningham, 2010). Keadaan hiperglikemia

pada diabetes mellitus menyebabkan gangguan mikrovaskuler yang signifikan dan

meningkatkan keadaan stress oksidatif sehingga kadar F2-IsoPs akan tinggi pada

keadaan ini.

6.1.1 Distribusi Umur Ibu

Faktor usia yang merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya

preeklamsi yaitu usia ibu kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun. Wanita di

atas usia 35 tahun memiliki risiko tiga hingga empat kali lipat lebih tinggi untuk

menderita preeklamsi. Hal ini mungkin saja disebabkan oleh adanya faktor

penyakit degenerasi seperti hipertensi kronis akibat dari proses penuaan pada

pembuluh darah. Sementara sebab terjadinya preeklamsi pada wanita hamil

berusia muda masih kontoversial, apakah preeklamsi ini memang murni terjadi

pada wanita berusia muda atau akibat faktor sosial seperti asuhan antenatal yang

kurang baik, nutrisi yang kurang baik, atau akibat adanya kehamilan yang tidak

diinginkan (Cunningham, 2010).

Page 51: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

51

Pada penelitian ini, distribusi umur ibu dari kelompok kasus kehamilan

dengan preklamsi diperoleh rerata umur ibu adalah 27,22 tahun. Sedangkan pada

kelompok kontrol kehamilan tanpa preklamsi didapatkan rerata umur ibu adalah

28,51 tahun. Analisis kemaknaan pada variabel umur ibu, diperoleh nilai p = 0,30.

Dengan nilai p > 0,05 berarti bahwa variabel tersebut tidak berbeda bermakna

antara kelompok kasus dan kelompok kontrol. Tidak adanya perbedaan distribusi

umur ibu antara kedua kelompok diharapkan dapat mengurangi faktor perancu

yang mempengaruhi tingkat stress oksidatif yang diteliti.

Pada saat ini setelah ditemukannya F2-IsoPs, pengaruh faktor usia ibu

terhadap proses lipid peroksidasi mulai diragukan. Beberapa penelitian

menggunakan F2-IsoPs telah menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara lipid

peroksidasi dan usia seseorang. Hasil temuan ini menyangkal hasil penelitian-

penelitian sebelumnya mengenai hubungan usia dengan stress oksidatif, yang

masih menggunakan MDA sebagai marker. Penelitian-penelitian terdahulu juga

tidak mengontrol pengaruh kadar kolesterol, indeks massa tubuh, dan faktor-

faktor lainnya seperti inflamasi. Seperti diketahui bahwa MDA tidak spesifik

dihasilkan dari lipid peroksidasi saja, namun banyak faktor yang

mempengaruhinya. Faktor tersebut biasanya lebih sering muncul seiring

pertambahan usia, seperti kerusakan oksidatif pada DNA yang terakumulasi

seiring pertambahan usia, kerusakan oksidatif terhadap lemak sesuai tingkah laku

kebiasaan dan keadaan fisik yang sejalan dengan bertambahnya usia – seperti

meningkatnya kadar lemak tubuh dan kolestrol, merokok dan alkohol, dan

inflamasi karena adanya arthritis dan kondisi penuaan lainnya (Block dkk, 2002).

Page 52: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

52

6.1.2 Distribusi Umur Kehamilan

Penelitian pada preeklamsi sesuai kesepakatan sesuai definisi digunakan

batas umur kehamilan 20 minggu. Penentuan umur kehamilan di atas 20 minggu

ini sesuai dengan proses plasentasi atau patogenesis invasi tropoblas yang terdiri

dari dua gelombang. Gelombang pertama yang berlangsung sampai umur

kehamilan 10-12 minggu, kemudian disusul dengan invasi tropoblas gelombang

kedua pada umur kehamilan 14-16 minggu sampai maksimal pada umur

kehamilan 20 minggu (Roberts dan Hubel, 2004; Gupta dkk, 2005). Sehingga

pada usia kehamilan di atas 20 minggu, pembentukan plasenta dianggap telah

selesai dan apabila terdapat kegagalan dalam proses tersebut akan menyebabkan

keadaan hipoksia dan stress oksidatif pada perkembangan kehamilan selanjutnya.

Tingkat stress oksidatif dalam kehamilan diyakini terus meningkat seiring

dengan semakin tuanya umur kehamilan. Dalam keadaan normal pun, semakin tua

suatu kehamilan, maka semakin besar pula anatomis plasenta dan kebutuhan

aliran darah menuju dan dari plasenta, semakin tinggi kemungkinan terjadi

gangguan suplai darah dan iskemik plasenta yang menghasilkan radikal bebas.

Produk radikal bebas berlebihan ini terus meningkat, maka terjadi keadaan stress

oksidatif yang sejalan dengan bertambahnya usia kehamilan. Sehingga risiko

terjadinya preeklamsi semakin besar pada umur kehamilan yang lebih tua.

Pada penelitian ini didapatkan distribusi umur kehamilan dari kelompok

kasus kehamilan dengan preklamsi diperoleh rerata umur kehamilan adalah 37,22

minggu. Sedangkan pada kelompok kontrol kehamilan tanpa preklamsi

didapatkan rerata umur adalah 38,37 minggu. Analisis kemaknaan pada variabel

Page 53: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

53

umur kehamilan diperoleh nilai p = 0,37 yang berarti variabel tersebut tidak

berbeda bermakna antara kelompok kasus dan kelompok kontrol. Sehingga tidak

adanya perbedaan distribusi umur kehamilan antara kedua kelompok pada

penelitian ini, dapat mengurangi bias pada hasil penelitian.

Namun seiring berkembangnya ilmu pengetahuan mengenai stress

oksidatif dan ditemukannya F2-IsoPs, pernyataan di atas mengenai peningkatan

stress oksidatif sesuai umur kehamilan menjadi kontroversial. Tidak semua

penelitian mendukung peningkatan stress oksidatif sesuai umur kehamilan

tersebut. Seperti penelitian Ishihara dkk (2004), walaupun mereka mendapatkan

kadar F2-IsoPs meningkat pada kehamilan dibandingkan dengan wanita tidak

hamil, tetapi tidak didapatkan perbedaan kadar plasma F2-IsoPs pada kehamilan

antara usia kehamilan 20 dan 40 minggu. Tidak adanya perbedaan kadar F2-IsoPs

ini diduga karena plasenta pada kehamilan normal memiliki regulasi aliran darah

yang baik dan mekanisme untuk menghasilkan antioksidan endogen sehingga

dapat menjaga tingkat stress oksidatif dalam tingkat yang dapat ditolerir untuk

kelangsungan kehamilan yang normal (Ishihara, 2004; Hung dan Bruton, 2006).

6.1.3 Distribusi Jumlah Paritas

Angka kejadian preeklamsi pada nulipara lebih tinggi daripada multipara

(Cunningham, 2010). Pada penelitian yang lain disebutkan bahwa wanita

nullipara berisiko lima hingga sepuluh kali lipat lebih tinggi untuk menderita

preeklamsi dibandingkan dengan wanita multipara. Wanita yang pernah hamil dan

berakhir sebelum usia kehamilan 20 minggu pun memiliki risiko lebih rendah

untuk terjadinya preeklamsi pada kehamilan berikutnya. Hal ini diduga

Page 54: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

54

berhubungan dengan sistim pengenalan imun, dimana diduga semakin sering

paparan maka semakin kecil risiko preeklamsi (Lockwood dkk, 2000).

Pada penelitian ini didapatkan rerata jumlah paritas kelompok kasus

kehamilan dengan preklamsi adalah 0.81 dan rerata kelompok kontrol kehamilan

tanpa preklamsi adalah 0.59. Analisis kemaknaan pada variabel paritas diperoleh

nilai p = 0,77 yang berarti variabel tersebut tidak berbeda bermakna antara

kelompok kasus dan kelompok kontrol. Tidak terdapatnya adanya perbedaan

distribusi jumlah paritas antara kedua kelompok, dapat mengurangi bias pada

hasil penelitian.

6.2 Kadar Serum F2-IsoPs pada Sampel Penelitian

Untuk kelompok kasus didapatkan kadar rerata serum F2-IsoPs adalah

71,0 pg/mL, dengan kadar paling tinggi adalah 178,2 pg/mL dan kadar paling

rendah adalah 29,7 pg/mL. Melihat pada hasil penelitian pada Bab V di atas,

dengan cut-off point 46,15 pg/mL didapatkan 6 sampel penderita preeklamsi yang

memiliki kadar serum F2-IsoPs yang rendah atau di bawah nilai cut-off point.

Sedangkan untuk kelompok kontrol, kadar rerata serum F2-IsoPs adalah

42,6 pg/mL, dengan kadar paling tinggi adalah 93,9 pg/mL dan paling rendah

adalah 21,9 pg/mL, yang dengan cut-off point 46,15 pg/mL didapatkan 7 sampel

kontrol hamil normal memiliki kadar serum F2-IsoPs di atas nilai cut-off point.

Perbedaan kadar F2-IsoPs untuk masing-masing sampel penelitian ini cukup

lebar, yang menunjukkan adanya faktor yang berpengaruh terhadap variasi

individu tersebut.

Page 55: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

55

Kadar F2-IsoPs pada sampel penelitian yang kami dapatkan cukup

berfluktuasi. Beberapa faktor penyebab berfluktuasinya kadar F2-IsoPs dapat

diduga dengan melihat hasil penelitian-penelitian lain sebelumnya. Seperti pada

penelitian dari Block dkk (2002), mereka melakukan penelitian multivarian

termasuk didalamnya faktor usia seseorang, terhadap status stress oksidatif

dengan menggunakan marker F2-IsoPs. Variabel-variabel yang diperiksa dalam

penelitian Block tersebut meliputi jenis kelamin, usia, ras, berat badan, status

merokok, kadar nikotin plasma; kadar antioksidan plasma seperti carotenoids, α-

dan γ-tocopherol, dan asam askorbat; kadar lemak plasma, meliputi kolestrol

serum dan trigliserida; intake nutrisi makanan dan berbagai jenis makanan; C-

reaktif protein dan kadar saturasi transferrin. Dan ternyata dari hasil penelitian

didapatkan kadar plasma asam askorbat yang memiliki hubungan terbalik secara

konsisten dengan kadar F2-IsoPs (Block dkk, 2002). Semakin tinggi kadar asam

askorbat, maka akan semakin rendah kadar F2-IsoPs. Kadar plasma asam askorbat

dapat mempengaruhi status stress oksidatif yang tentu saja mempengaruhi kadar

F2-IsoPs pada saat pengambilan sampel.

Pada penelitian yang serupa dari Ishihara dkk (2004), walaupun mereka

tidak menemukan perbadaan kadar F2-IsoPs pada penderita preeklamsi

dibandingkan kehamilan normal, namun mereka mendapatkan kadar γ-tocopherol

lebih rendah secara signifikan pada penderita preeklamsi. Hasil penelitian tersebut

menunjukkan penurunan kadar γ-tocopherol mungkin mendahului dan

menentukan terjadinya stress oksidatif pada preeklamsi.

Page 56: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

56

Faktor lainnya adalah menurunnya fungsi ginjal pada preeklamsi. Seperti

diketahui bahwa F2-IsoPs akan diekskresikan melalui urin, maka apabila ada

perubahan renal clearance, akan mempengaruhi kadar F2-IsoPs. Fungsi ginjal

dapat dipengaruhi oleh berbagai keadaan, salah satunya preeklamsi itu sendiri.

Turunnya renal clearance dapat meningkatkan akumulasi senyawa tersebut dalam

sirkulasi darah sampel (Cracowski, 2004; Dalle-Donne dkk, 2006).

Jadi kadar plasma γ-tocopherol dan asam askorbat sebagai antioksidan,

serta fungsi ginjal melalui renal clearance merupakan faktor-faktor yang dapat

mempengaruhi kadar F2-IsoPs dalam darah. Pada penelitian kami ini tidak

dilakukan kontrol terhadap kadar plasma asam askorbat, γ-tocopherol, dan renal

clerance pada saat dilakukan pengambilan sampel F2-IsoPs. Sehingga penelitian

rasional berikutnya yang perlu dilakukan adalah melakukan penelitian dengan

melakukan pengukuran kadar plasma γ-tocopherol, asam askorbat, dan renal

clearance pada saat pengambilan sampel F2-IsoPs.

6.3 Analisis Kemaknaan Kadar Serum F2-IsoPs

Berdasarkan analisis kemaknaan kadar serum F2-IsoPs dari kedua

kelompok tersebut digunakan Mann Whitney Test, didapatkan nilai p = 0,01. Hal

ini berarti bahwa rerata kadar F2-IsoPs pada kedua kelompok kasus dan kontrol

berbeda secara bermakna (p < 0,05).

Hasil penelitian kami ini sejalan dengan mayoritas penelitian sebelumnya,

dimana didapatkan kadar F2-IsoPs lebih tinggi secara signifikan pada penderita

preeklamsi. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Barden dkk (2001) terhadap 21

penderita preeklamsi dan 19 kehamilan normal, mereka mendapatkan secara

Page 57: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

57

signifikan kadar plasma F2-IsoPs lebih tinggi pada penderita preeklamsi. Harsem

dkk (2007) juga mendapatkan kadar plasma F2-IsoPs lebih tinggi pada kelompok

preeklamsi dibandingkan dengan kehamilan normal (354 + 232 vs 218 + 149

pg/mL, p = 0.02). Kemudian Tanto (2008) juga memperkuat temuan peneliti lain

dengan mendapatkan peningkatan kadar serum bebas F2-IsoPs pada penderita

preeklamsi (0,803 + 0,521 ng/mL) dibandingkan dengan wanita hamil normal

(0,557 + 0,458 ng/mL).

Lebih tingginya kadar serum F2-IsoPs secara bermakna pada kelompok

kasus preeklamsi dibandingkan kelompok kontrol pada penelitian kami sesuai

dengan teori iskemia plasenta, radikal bebas, dan disfungsi endotel. Sesuai dengan

teori tersebut, peningkatan kadar serum F2-IsoPs pada preeklamsi diakibatkan

karena adanya ketidakseimbangan antara produksi radikal bebas dan antioksidan

akibat iskemik plasenta, sehingga terjadi stress oksidatif dan peningkatan lipid

peroksidasi (Roberts dan Hubel, 2004; Gupta dkk, 2005).

Pada preeklamsi, remodeling arteri spiralis sangat minimal pada saat

tahapan invasi tropoblas dan perubahan hanya terjadi pada bagian desidual arteri

spiralis dan sebagian besar pembuluh lainnya tetap dalam keadaan vasoreaktif.

Bersamaan dengan berkurangnya invasi tropoblas kedalam uterus dan arteri

spiralis menyebabkan suplai darah ke plasenta menjadi sangat berkurang.

Gangguan plasentasi ini menyebabkan terjadinya hipoksia plasenta. Darah ibu

memasuki ruang intervilus dengan tekanan dan kecepatan yang tinggi, bersifat

sangat pulsatil, menyebabkan vili plasenta yang telah iskemik sebelumnya

terpapar pada konsentrasi oksigen yang berfluktuasi. Apabila enzim mitokondria

Page 58: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

58

tidak berfungsi dengan baik, maka terjadi kebocoran sejumlah kecil elektron

kepada oksigen, sehingga terbentuklah radikal superoksida. Selama periode

hipoksia, hanya terdapat sedikit bahkan tidak ada molekuler oksigen yang tersedia

sebagai reseptor akhir, sehingga elektron ditimbun pada rantai respirasi.

Akumulasi elektron ini berpotensi menyebabkan meningkatnya potensi kebocoran

elektron dari membran mitokondria. Jika kemudian kadar oksigen kembali pada

keadaan normal, maka terbentuklah ROS secara tiba-tiba dalam jumlah besar.

Keadaan ini menyebabkan cedera tipe iskemik-reperfusi (ischemic-reperfusion

injury) (Hung dan Bruton, 2006; Cindrova-Davies, 2009).

Sumber lain, dari radikal superoksida menurut teori H/R adalah melalui

perubahan XDH menjadi XO atau sistim xanthine dehydrogenase/xanthine

oxidase (XDH/XO). XDH merubah purin menjadi asam urat melalui reduksi

nicotinamide adenine dinucleotide (NAD), sementara XO memetabolisme xantin

dan hipoxantin menjadi asam urat, menggunakan oksigen sebagai reseptor

elektron, yang kemudian menghasilkan ROS. Dalam keadaan hipoksia dan respon

terhadap beberapa sitokin, produksi enzim XDH/XO meningkat dan konversi

enzim menjadi XO juga meningkat. Sementara itu, selama periode hipoksia,

substrat hipoxantin dibentuk sebagai hasil dari pemecahan ATP. Dengan

demikian, akibat dari hipoksia, semakin banyak hipoxantin terbentuk dan diubah

menjadi asam urat yang menggunakan oksigen sebagai reseptor elektron. maka

produksi ROS pun akan semakin secara cepat dan banyak (Hung dan Bruton,

2006).

Page 59: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

59

Tingginya kadar ROS akibat proses yang terjadi di atas, menyebabkan

suatu keadaan stress oksidatif. Lipid peroksidasi merupakan proses yang terjadi

ketika radikal bebas berlebihan berinteraksi dengan PUFA pada membran sel dan

lipoprotein pada plasma. Hasil dari peroksidasi asam arakhidonat langsung oleh

radikal bebas (free radical-calatyzed mechanism) akan menghasilkan suatu

metabolit F2-IsoPs. F2-IsoPs tersebut dibentuk in situ pada tempat serangan dari

radikal bebas, kemudian segera bersirkulasi dalam aliran darah secara bebas atau

terikat dengan fosfolipid (Montuschi dkk, 2004; Cracowski, 2004). Kadarnya

dalam darah tersebut yang kami periksakan melalui pemeriksaan kadar total

serum F2-IsoPs.

Hasil penelitian yang kami dapatkan tidak selalu sesuai dengan hasil

peneliti sebelumnya. Penelitian dari Ishihara dkk (2004) tidak mendapatkan

perbedaan signifikan kadar bebas plasma dan urin F2-IsoPs pada penderita

preeklamsi dibandingkan dengan kehamilan normal. Di dalam darah, F2-IsoPs

terdapat dalam 2 bentuk, yaitu bebas dan terikat pada fosfolipid atau lipoprotein.

Hanya bentuk bebas F2-IsoPs yang diekskresikan melalui urin. Perubahan kadar

F2-IsoPs bebas dalam darah dapat disebabkan oleh peningkatan lipid peroksidasi,

peningkatan aktivitas fosfolipase, atau penurunan renal clearance (Dalle-Donne

dkk, 2006). Dalam hal ini, penurunan renal clearance yang dapat terjadi pada

preeklamsi tentu dapat mengurangi ekskresi F2-IsoPs dalam urin, sehingga kadar

F2-IsoPs dalam urin menjadi lebih rendah daripada yang seharusnya dan mungkin

memberikan hasil menyerupai kehamilan normal. Sedangkan untuk kadar bebas

plasma F2-IsoPs sangat dipengaruhi kadarnya oleh jumlah lipoprotein dan kadar

Page 60: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

60

antioksidan dalam darah seperti yang telah dibahas sebelumnya di atas, di mana

Ishihara dkk mendapatkan kadar γ-tocopherol lebih rendah secara signifikan pada

penderita preeklamsi. Pada penelitian yang kami lakukan digunakan kadar total

serum F2-IsoPs, karena pengukuran kadar total F2-IsoPs (bebas dan yang terikat

dengan fosfolipid) dianggap lebih menggambarkan keadaan stress oksidatif yang

sebenarnya, daripada hanya menggunakan F2-IsoPs bebas saja (Barden dkk,

2001; Hung dan Bruton, 2006).

6.3 Analisis Risiko pada Sampel Penelitian

Berdasarkan cut off dari kurva ROC didapatkan nilai batas kadar serum

F2-IsoPs antara kasus (preeklamsi) dan kontrol (hamil normal) adalah 46,15

pg/mL, dengan nilai sentivitas 80,5% dan nilai spesifitas 77,8%. Dari hasil

analisis menggunakan cut of point tersebut, didapatkan rasio odds kadar F2-IsoPs

yang tinggi (> 46,15 pg/mL) adalah 10,0 (RO = 10,0 ; IK 95% = 2,86-34,92 ; p =

0,01). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa adanya kadar serum F2-IsoPs

tinggi pada kehamilan memiliki risiko terjadinya preeklamsi 10 kali lebih tinggi

dibandingkan dengan kehamilan yang memiliki kadar F2-IsoPs rendah.

Seperti diketahui sebelumnya, peningkatan lipid peroksidasi saja pada

kehamilan tidak selalu mengakibatkan preeklamsi. Mungkin saja kadar F2-IsoPs

yang tinggi sebagai produk lipid peroksidasi turut berperan mencetuskan

terjadinya disfungsi endotel, sehingga bersama-sama dengan faktor pencetus

lainnya mempermudah timbulnya sindroma preeklamsi. Beberapa peneliti

menyatakan bahwa F2-IsoPs memiliki pengaruh yang besar terhadap fungsi

pembuluh darah. F2-IsoPs diduga merupakan vasokonstriktor kuat, memiliki efek

Page 61: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

61

stimulasi proliferasi sel endotel dan meningkatkan ekspresi dan pelepasan

endothelin-1. F2-IsoPs juga diyakini berperan dalam aktivasi trombosit, yang

tingkatannya dipengaruhi oleh dosis (Hermenegildo dkk, 2002; Sampson dkk,

2002; Montuschi dkk, 2004; Milne dkk, 2005). Dengan demikian dapat diduga

bahwa tingginya kadar F2-IsoPs pada preeklamsi dapat merupakan faktor

penyebab dan bukan hanya efek dari perjalanan penyakitnya. Permasalahan ini

sepertinya masih merupakan hal yang menarik untuk diteliti lebih lanjut.

6.4 Kelemahan Penelitian

Keterbatasan dalam jumlah sampel penelitian dimana hanya melibatkan 54

sampel penelitian, yang terbagi sebesar 27 sampel untuk masing-masing

kelompok, tentunya memiliki keterbatasan di dalam melakukan generalisasi

sampel ke populasi secara umum.

Pada penelitian ini kami tidak melakukan kontrol terhadap kadar

antioksidan eksogen, terutama kadar plasma γ-tocopherol dan asam askorbat, dan

juga pengukuran fungsi ginjal pada saat dilakukan pengambilan sampel F2-IsoPs.

Padahal ketiga faktor tersebut diduga dapat mempengaruhi kadar F2-IsoPs pada

sampel penelitian.

Page 62: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

62

BAB 7

SIMPULAN DAN SARAN

7.1 Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian di atas, diperoleh rerata kadar serum F2-IsoPs

kelompok preeklamsi adalah 71,0 + 36,2 pg/mL dan pada kelompok hamil normal

adalah 42,6 + 17,07 pg/mL. Perbedaan rerata kadar serum F2-IsoPs kedua

kelompok tersebut secara statistik berbeda bermakna (p = 0,01).

Dari hasil peneltian didapatkan risiko terjadinya preeklamsi pada kadar

serum F2-IsoPs tinggi adalah 10 kali (IK 95% = 2,86-34,92 ; p = 0,01) lebih besar

dibandingkan kehamilan dengan kadar serum F2-IsoPs rendah.

7.2 Saran

Berdasarkan simpulan di atas, terdapat beberapa rekomendasi yang

diajukan oleh penulis, yakni:

1. Diperlukan penelitian lanjutan dengan melakukan pengukuran status

antioksidan, terutama γ-tocopherol dan asam askorbat, dalam darah serta

fungsi ginjal pada saat dilakukan pengambilan sampel F2-IsoPs, sehingga

diharapkan pengukuran proses lipid peroksidasi dapat dilakukan dengan

lebih baik lagi.

2. Dengan memanfaatkan hasil penelitian ini, diperlukan penelitian dengan

jumlah sampel lebih besar untuk mendapatkan gambaran pada populasi

secara lebih baik, ataupun dengan metode penelitian yang lain, misalnya

kohort prospektif. Sehingga peran F2-IsoPs dalam kehamilan dan

62

Page 63: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

63

preeklamsi, proses patofisiologi maupun upaya pencegahan preeklamsi

dapat dipahami lebih baik lagi.

Page 64: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

64

DAFTAR PUSTAKA

Angsar, M.D. 2008. Hipertensi dalam Kehamilan. Dalam : Saifuddin, A.B., Rachimhadhi, T., Winknjosastro, G.H., editors. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi ke-4. Jakarta : PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal. 532-535. Auer, J., Camoin, L., Guillonneau, F., Rigourd, V., Chelbi, S.T., Leduc, M., et al. 2010. Serum Profile in Preeclampsia and Intra-uterine Growth Restriction Revealed by iTRAQ Technology. Journal of Proteomics, 73:1004-1017. Barden, A., Ritchie, J., Walters, B., Michael, C., Rivera, J., Mori, T., et al. 2001. Study of Plasma Factors Associated With Neutrophil Activation and Lipid Peroxidation in Preeclampsia. Journal of Hypertension, 38:803-808. Block, G., Dietrich, M., Norkus, E.P., Morrow, J.D., Hudes, M., Bette, C., et al. 2002. Factors Associated with Oxidative Stress in Human Population. American Journal of Epidemiology, 156: 274-85. Borekci, B., Aksoy, H., Ozturk, N., Kadanali, S. 2009. Correlation between Calprotectin and Oxidized LDL in Preeclampsia. Turkey Journal of Medical Sciences, 39(2):191-195 Campbell, M.J., Machine, D., Fayers, P.M., Pinol, A.P.Y. 1997. Sample Size Tabels for Clinical Studies. Ed 2. Blackwell Science. Cindrova-Davies, T. 2009. Gabor Than Award Lecture 2008: Pre-eclampsia – from Placental Oxidative Stress to Maternal Endothelial Dysfunction. Placenta, 23: S55-65. Cracowski, J. 2004. Isoprostanes: An Emerging Role in Vascular Physiology and Disease?. Chemistry and Physics of Lipids, 128:75-83. Cracowski, J.L., Baguet, J.P., Ormezzano, O.,Bessard, J., Stanke-Labesque, F., Bessard, G., dkk. 2003. Lipid Peroxidation is Not Increased in Patients with Untreated Mildto-moderate Hypertension. Journal of Hypertension, 41:286 –288. Cunningham, F.G., Leveno, K.J., Bloom, S.L., Hauth, J.C., Rouse D.J., Spong, C.Y. 2010. Pregnancy hypertention. In : Williams Obstetrics 23rd Edition. New York : Mc Graw Hill. p. 709-710. Dalle-Donne, I., Rossi, R., Colombo, R., Giustarini, D., Milzani, A. 2006. Biomarkers of Oxidative Damage in Human Disease. Clinical Chemistry, 52(4):601-623.

Page 65: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

65

Depkes RI. 2001. Survei Kesehatan Rumah Tangga Tahun 2001. Jakarta: Departement Kesehatan RI. Fam, S.S., Morrow, J.D. 2003. The Isoprostanes: Unique Products of Arachidonic Acid Oxidation : A Review. Current Medicinal Chemistry, 10:1723-1740. Farooqui, A.A., Horrocks, L.A. 2007. Nonenzymic Metabolites of Arachidonate and Docosahexarnoate in Brain. In : Glycerophospholipids in Brain : Phospholipases A2 in Neurological Disorders. Springer science + Bussiness media LCC : New York. Hal 178-182. Griendling, K.K., FitzGerald, G.A. 2003. Oxidative Stress and Cardiovascular Injury: Part II: Animal and Human Studies. Circulation, 108:2034-2040. Grossman, E. 2008. Does Increased Oxidative Stress Cause Hypertension? Diabetes care, 31(Suppl. 2):S185-S189. Gupta, S., Agarwal, A., Sharma, R.K. 2005. The Role of Placenta Oxidative Stress and Lipid Peroxidation in Preecampsia. Obstetrical and Gynecological Survey, 60(12):807-816. Gupta, S., Aziz, N., Sekhon, L., Agarwal, R., Mansour, G., Li, J., Agarwal, A. 2009. Lipid Peroxidation and Antioxidant Status in Preeclampsia, A Systematic Review. Obstetrical and Gynecological Survey, 64(11):750-759. Habli, M., Sibai, B.M. 2008. Hypertensive Disorders of Pregnancy. In: Danforth’s obstetrics and gynecology. 10th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2008: 258-266. Harsem, N.K., Roald, B., Braekke, K., Staff, A.C. 2007. Acute Atherosis in Decidual Tissue: Not Associated with Systemic Oxidative Stress in Preeclampsia. Placenta, 28 : 958-964. Hauth, J.C., Ewell, M.G., Levine, R.J., et al. 2000. Pregnancy Outcomes in Healthy Nulliparas Who Developed Hypertension. Calcium for Preeclampsia Prevention Study Group. Obstetrics and Gynecology, 95:24–28. Henriksen, T. 2000. The Role of Lipid Oxidation and Oxidative Lipid Derivatives in the Development of Preeclampsia. Seminars in Perinatology, 24(1):29-32. Hermenegildo, C., Garcia-Martinez, M.C., Tarin, J.J., Cano, A. 2002. Estradiol Reduces F2α-Isoprostane Production in Cultured Human Endothelial Cells. American Journal Physiological - Heart and Circulation Physiology, 283:H2644-H2649.

Page 66: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

66

Hung, T.H., Bruton, G.J. 2006. Hypoxia and Reoxygenation : A Possible Mechanism for Placental Oxidative Stress in Preeclampsia. Taiwanese Journal of Obstetrics and Gynecology, 43(3):189-200. Ishihara, O., Hayashi, M., Osawa, H., Kobayashi, K., Takeda, S., Vessby, B., et al. 2004. Isoprostanes, Prostaglandins and Tocopherols in Pre-eclampsia, Normal Pregnancy and Non-pregnancy. Free Radical Research, 38(9):913–918. Janicka, M., Kot-Wasik, A., Kot, J., Namieśnik, J. 2010. Isoprostanes-Biomarkers of Lipid Peroxidation: Their Utility in Evaluating Oxidative Stress and Analysis. International Journal of Molecular Sciences, 11: 4631-4659. Jaya-Kusuma, A.A.N. 2006. Manajemem Kegawatan Hipertensi Bidang Obstetri. Dalam : Jurnal Penyakit Dalam Udayana, 7 (1):70-81. Kaur, G., Mishra, S., Sehgai, A., Prasad, R. 2008. Alterations in Lipid Peroxidation and Antioxidant Status in Pregnancy With Preeclampsia. Molecular and Cellular Biochemistry, 313:37-44. Lockwood, C.J., Paidas, M.J. 2000. Preeclampsia and Hypertensive Disorders. In: Complication of Pregnancy fifth ed. Baltimore : Lippincott Wiliams and Wilkins. P. 214-215 Llurba, E., Gratacos, E., Martin-Gallan, P., et al. 2004. A Comprehensive Study of Oxidative Stress and Antioxidant Status in Preeclampsia and Normal Pregnancy. Free Radic Biol Med, 37:557–570. Milne, G.L., Musiek, E.S., Morrow, J.D. 2005. F2-Isoprostanes as markers of oxidative stress in vivo: An overview. Biomarkers, 10 (Suppl. 1):S10-S23. Mohaupt, M. 2007. Molecular Aspects of Preeclampsia. Molecular Aspects of Medicine, 28:169-191. Montuschi, P., Barnes, P.J., Roberts, L.J. 2004. Isoprostanes: markers and mediators of oxidative stress. The FASEB Journal, 18:1792-1800. Mueller, M.J., 2010. Isoprostane Nomenclature : Inherent Problems May Cause Setbacks for The Development of The Isoprostanoid Field. Prostaglandins, Leukotrienes and Essential Fatty Acids, 82(2):71-81. National High Blood Pressure Education Program (NHBPEP). 2000. Symposium for preeclampsia and gestational hypertention. Australian and New Zealand Journal of Obstetrics and Gynaecology, 40:133–8. Oka, A.J., Surya, I.G.P. 2004. Profil Penderita Hipertensi dalam Kehamilan di RSUP Sanglah Denpasar Periode 1 Januari 2002-31 Desember 2003. (Penelitian

Page 67: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

67

Deskriptif) Program Pendidikan Dokter Spesialis I lab/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Denpasar. Denpasar : Universitas Udayana. Patrignani, P., Tacconelli, S. 2005. Isoprostanes and Other Markers of Peroxidation in Atherosclerosis. Biomarkers, 10 (Suppl 1):S24-S29. Redman, C.W., Sacks, G.P., Sargent, I.L. 2000. Preeclampsia: an Excessive Maternal Inflammatory Response to Pregnancy. American Journal of Obstetrics and Gynecology, 180:499–506. Regan, C.L., Levine, R.J., Baird, D.D., Ewell, M.G., Martz, K.L., Sibai, B.M., et al. 2001. No Evidence for Lipid Peroxidation in Severe Preeclampsia. American Journal of Obstetrics and Gynecology, 185(3):572-578. Reynolds, C., Mabie, W.C., Sibai, B.M. 2003. Hipertensive States of Pregnancy. In : Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment, 9th Ed. New Delhi : Mc Graw Hill. p. 338-9. Roberts, J.M., Hubel, C.A. 2004. Oxidative Stress in Preeclampsia. American Journal of Obstetrics and Gynecology, 190:1177– 8. Roberts, J.M., Pearson, G., Cutler, J., Lindheimer, M. 2003. Summary of NHLBI Working Group on Research on Hypertension During Pregnancy. Journal of Hypertension, 41:437-445. Roberts, L.J., Morrow, J.D. 2000. Measurement of F2 Isoprostanes as an Index of Oxidative Stress in Vivo. Free Radical Biology and Medicine, 28: 505-13. Sampson, M.J., Gopaul, N., Davies, I.R., Hughes, D.A., Carrier, M.J. 2002. Plasma F2 Isoprostanes : Direct Evidence of Increased Free Radical Damage During Acute Hyperglycemia in Type 2 Diabetes. Diabetes care, 25(3):537-541. Scholl, T.O., Leskiw, M., Chen, X., Sims, M., Stein, T.P. 2005. Oxidative Stress, Diet, and The Etiology of Preeclampsia. American Journal of Clinical Nutrition, 81:1390-1396. Sudarmayasa, I.M., Surya, I.G.P. 2006. Profil Penderita Hipertensi dalam Kehamilan di RSUP Snaglah Denpasar Periode 1 Januari 2004-31 Desember 2005. (tesis) Program Pendidikan Dokter Spesialis I lab/SMF Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Denpasar. Denpasar : Universitas Udayana. Tanto, S.S. 2008. Pengaruh Konsumsi Ekstrak Buah Mengkudu (Morinda Citrifolia Fructus) pada Penanganan Preeklamsi Ringan secara Konvensional Melalui Penilaian Status Nitrik Oksida, F2-Isoprostan, Tekanan Darah, dan Daya Pencegahan Kejadian Preeklamsi Berat dan Eklamsi. (disertasi). Bandung : Universitas Padjadjaran.

Page 68: high level of f2 isoprostane serum increased the risk of preeclampsia

68

Toescu, V., Nuttall, S.L., Martin, U., Kendall, M.J., Dunne, F. 2002. Oxidative Stress and Normal Pregnancy. Clinical Endocrinology, 57:609 –13. Touyz, R.M., Schiffrin, E.L. 2004. Reactive Oxygen Species in Vascular Biology: Implications in Hypertension. Histochemistry and Cell Biology, 122:339-352. Walsh S.W. 2004. Eicosanoids in Preeclampsia. Prostaglandins, Leukotrienes and Essential Fatty Acids, 70:223-232. World Health Organization. 2002. Global Program to Conquer Preeclampsia/Eclampsia. [Citied 2010 Aug. 2] Available from : http://www.preeclampsia.org/statistics.asp