Upload
jaka-subakti
View
525
Download
9
Embed Size (px)
DESCRIPTION
tugas matkul perpajakan ppak utama
Citation preview
MAKALAH
KONSEP DASAR PAJAK INTERNASIONAL
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan
Dosen : Dr. Diana Sari, S.E., M.Si., Ak., QIA
Disusun oleh :
Kelompok 2
Jaka Subakti (15131P003)
Fajar Nurdin (15131P018)
Pandu Persada P. (15131P019)
Kelas B
PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI
UNIVERSITAS WIDYATAMA
BANDUNG
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
berkenan memberi petunjuk dan kekuatan kepada penulis sehingga makalah,
“Konsep Dasar Pajak Internasional” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini disusun dan dibuat berdasarkan materi – materi yang ada.
Materi – materi bertujuan agar dapat menambah pengetahuan dan wawasan
mahasiswa dalam memahami mata kuliah Perpajakan khususnya mengenai pajak
internasional.
Penulis berharap dengan mempelajari makalah ini, para mahasiswa akan
mampu menghadapi masalah-masalah atau kesulitan-kesulitan yang timbul dalam
mempelajari Perpajakan.
Bandung,Agustus 2013
Kelompok 2
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................................i
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Dasar Perpajakan Internasional ..........................................3
2.1.1 Pajak Internasional..................................................................3
2.1.2 Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional...........................4
2.1.3 Prinsip-Prinsip yang Harus Dipahami dalam Perpajakan
Internasional...........................................................................4
2.2 Pemajakan Lintas Negara.................................................................5
2.3 Konsep Juridical Versus Economic Double Taxation.....................6
2.4 Sumber Hukum Perpajakan Internasional........................................7
2.5 Prinsip Non-Diskriminasi.................................................................11
2.6 Konsep Anti Tax Avoidance............................................................14
BAB III KASUS....................................................................................................17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat
ketentuan tentang perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh pemerintah ini
utamanya adalah untuk membiayai kegiatan pemerintahan dalam rangka
menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan oleh seluruh rakyat
Indonesia. Di samping itu, pajak juga berfungsi untuk mengatur perilaku Warga
Negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
Indonesia juga bagian dari dunia internasional yang sudah pasti dalam
menjalankan roda pemerintahannya melakukan hubungan internasional.
Hubungan internasional dapat berupa kerjasama di bidang keamanan pertahanan,
kerjasama di bidang sosial, ekonomi, budaya dan lainnya, namun pembahasan ini
terbatas pada kegiatan ekspor maupun impor (Transaksi Perdagangan
Internasional) yang terkait dengan pajak internasional. Setiap kerjasama yang
dilakukan oleh setiap negara tentunya harus disepakati terlebih dahulu oleh para
pihak guna mencapai komitmen bersama yang termuat dalam suatu perjanjian
internasional, tidak terkecuali perjanjian dalam bidang perpajakan.
Transaksi perdagangan antara dua negara atau beberapa negara berpotensi
menimbulkan aspek perpajakan, hal ini tentunya harus diatur oleh kedua negara
atau dunia internasional secara umum guna meningkatkan perekonomian dan
perdagangan negara-negara yang melakukan kerjasama tersebut. Ini menjadi
penting agar tidak menghambat aliran dana investasi akibat pengenaan pajak yang
memberatkan Wajib Pajak yang bekedudukan di kedua negara yang melakukan
transaksi tersebut. Untuk itu perlu adanya kebijakan perpajakan internasional
dalam hal mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku disuatu negara, dengan
asumsi bahwa disetiap negara dapat dipastikan sudah mengatur ketentuan pajak
dalam wilayah yang menjadi kedaulatannya. Namun setiap negara tidak bebas
mengatur pengenaan pajak terhadap badan atau warga negara asing, pajak
internasional merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana setiap
negara harus tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang dikenal dengan
istilah Konvensi Wina.
Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai,
begitu juga dengan kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan
yang ingin dicapai yaitu memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju
investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan
pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah upaya untuk
meminimalkan beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan pajak
berganda internasional.
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Konsep Dasar Perpajakan International
2.1.1 Pajak International
Definisi Pajak Internasional dalam Undang-undang Pajak Penghasilan
sampai detik ini belum ada. Penulis bersama dengan Bapak Sriadi Kepala Seksi
Perjanjian Perpajakan Eropa, Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak,
memberanikan diri untuk mendefinisikan tentang pengertian Pajak Internasional
berdasarkan uraian sebelumnya.
“Pajak Internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara
negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan
pelaksanaanya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta
Sunservanda).
Dengan demikian peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Indonesia
terhadap badan atau orang asing menjadi tidak berlaku bilamana terdapat
perjanjian bilateral (dua negara) tentang Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda dengan negara asal atau penduduk asing tersebut.
Secara umum, ketentuan pajak internasional suatu negara meliputi 2 (dua)
dimensi luas yaitu:
1. Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas
penghasilan dari luar negeri, dan
2. Pemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas penghasilan
dari dalam negeri (domestik).
Dimensi pertama merujuk pada permajakan atas penghasilan luar negeri
atau transaksi (ke) luar batas negara (outward, outbound transaction) karena
umumnya melibatkan eksportasi modal ke manca negara sedangkan dimensi
kedua menunjuk pada pemajakan ataspenghasilan domestik atau transaksi (ke)
dalam batas negara (inward, inbound transaction) karena umumnya melibatkan
importasi modal dari manca negara. Dalam aplikasinya pemajakan penghasilan
luar negeri dilakukan oleh negara domisili (residence country), sedangkan
pemajakan penghasilan domestik dilakukan oleh negara sumber (source country).
2.1.2 Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional
Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai,
begitu juga dengan kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan
yang ingin dicapai yaitu memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju
investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan
pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah upaya untuk
meminimalkan beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan pajak
berganda internasional.
2.1.3 Prinsip-Prinsip yang Harus Dipahami dalam Perpajakan
Internasional
Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi dalam
kebijakan pemajakan internasional:
1. Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita
berinvestasi, beban pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada
bedanya bila kita berinvestasi di dalam atau luar negeri. Maka jangan sampai
bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih besar karena
menanggung pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24
yang mengatur kredit pajak luar negeri.
2. Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional): Darimanapun
investasi berasal, dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari
dalam negeri atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama bila
berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak pemajakan yang sama
dengan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent
establishment (PE) atau Badan Usaha Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang
perusahaan ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan yang
berlaku.
3. National Neutrality: Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan
yang sama. Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan
boleh dikurangkan sebagai biaya pengurang laba.
2.2 Pemajakan Lintas Negara
Pemajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim pemajakan. Hal
ini karena adanya prinsip pemajakan global untuk wajib pajak dalam negeri
(global principle) dimana penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri
dikenakan pajak oleh negara residen (negara domisili wajib pajak). Selain itu,
terdapat pemajakan teritorial (source principle) bagi wajib pajak luar negeri
(WPLN) oleh negara sumber penghasilan dimana penghasilan yang bersumber
dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara sumber. Hal ini membuat suatu
penghasilan dikenakan pajak dua kali, pertama oleh negara residen lalu oleh
negara sumber Misalnya: PT A punya cabang di Jepang. Penghasilan cabang di
jepang dikenakan pajak oleh fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu
digabung dengan penghasilan dalam negeri lalu dikalikan tarif pajak UU domestik
Indonesia.
Bentokran klaim lebih diperparah bila terjadi dual residen, dimana terdapat
dua negara sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam
negerinya yang menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali. Misalnya:
Mr. A bekerja di Indonesia lebih dari 183 hari namun setiap sabtu dan minggu ia
pulang ke rumahnya di Singapura. Mr. A dianggap WPDN oleh Indonesia dan
juga Singapura sehingga untuk wajib melapor dan membayar pajak untuk
penghasilan globalnya pada Indonesia maupun Singapura.
Dalam kaitan pembagian hak pemajakan ini, negara-negara yang
melakukan perjanjian perpajakan dibagi menjadi dua jenis. Pertama adalah negara
sumber (source country) yang merupakan negara di mana penghasilan yang
merupakan objek pajak timbul. Kedua adalah negara domisili (resident country)
yaitu negara tempat subjek pajak bertempat tinggal, berkedudukan atau
berdomisili berdasarkan ketentuan perpajakan.
Baik negara sumber maupun negara domisili biasanya berhak untuk
mengenakan pajak berdasarkan undang-undang domestiknya. Pengenaan pajak
oleh dua yurisdiksi perpajakan terhadap satu jenis penghasilan inilah yang
biasanya menimbulkan pengenaan pajak berganda sehingga perlu diatur dalam
suatu persetujuan antara negara sumber dan negara domisili.
2.3 Konsep Juridical Versus Economic Double Taxation
Dalam komentar atau Pasal 23 A dan 23 B model P3B OECD
membedakan antara pajak berganda yuridis (juridical double taxation) dengan
pajak ganda ekonomis (economic double taxation). Pajak berganda yuridis terjadi
apabila atas penghasilan yang sama yang diterima oleh orang yang sama
dikenakan pajak oleh lebih dari satu negara, sedangkan pajak berganda ekonomis
terjadi apabila dua orang yang berbeda (secara hukum) dikenakan pajak atas suatu
penghasilan yang sama (atau identik).
Atas perbedaan tersebut Arnold dan McIntyre (2002) menyebutkan
sebagai definisi legal atas Pajak Berganda Internasional (sebutan lain dari PBI
yuridis) dan konsep ekonomis yang luas atas PBI. Berdasar definisi legal,
pemajakan badan usaha (atau perusahaan induk) oleh suatu Negara dan
pemajakan atas pemegang saham (atau perusahaan anak) oleh negara lain
bukanlah suatu pajak berganda karena mereka merupakan dua subjek hukum yang
berbeda. Namun demikian, secara ekonomis PBI terjadi dalam kasus badan
dengan pemegang sahamnya karena mereka merupakan satu kesatuan ekonomis.
Pajak bergganda ekonomis dapat terjadi apabila penghasilan dikenakan pajak pada
persekutuan dan kepada sekutu, atau kepada lembaga wali amanat (trust) dan
pemilik manfaat manat (beneficiaries), dan pemajakan penghasilan pada keluarga
dan anggota keluarga.
Dalam komentar atas Pasal 23A dan 23B, model konvensi OECD
menjelaskan tentang PBI yuridis dan ekonomis. Sementara PBI yuridis terjadi
apabila suatu penghasilan (atau modal) yang sama dikenakan pajak di tangan
orang (subjek) yang sama oleh lebih dari satu Negara, PBI ekonomis timbul
apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda dikenakan pajak atas suatu
penghasilan (atau modal maupun objek) yang sama (oleh lebih dari satu negara).
Dalam PBI yuridis tampak bahwa pemajakan oleh lebih dari satu negara tersebut
dilakukan terhadap satu subjek legal yang sama (legal identityof subject). Di pihak
lain, PBI ekonomis meliputi pemajakan atas objek yang sama terhadap legal
subjek yang berbeda, namun secara ekonomis identik atau setidaknya merupakan
para wajib pajak yang terdapat hubungan (economic identity of subject).
2.4 Sumber Hukum Perpajakan Internasional
Ottmar Buhler membagi Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit dan
hukum pajak internasional dalam arti luas. Hukum Pajak Internasional dalam arti
sempit adalah (Agus Setiawan, 2006):
“Kaedah-kaedah norma hukum perselisihan yang didasarkan pada hukum
antar bangsa (hukum internasional),”
Sedangkan hukum pajak dalam arti luas ialah:
“Kaedah-kaedah hukum antar bangsa ini ditambah peraturan nasional yang
mempunyai obyek hukum perselisihan, khususnya tentang perpajakan.”
Teicher memberikan kesimpulan bahwa dalam hukum pajak internasional
dalam arti luas termasuk sebagai berikut:
a. Hukum Pajak Internasional dan Nasional
b. Hukum yang mengatur perjanjian pajak untuk mencegah pajak ganda dan lain-
lain perjanjian internasional;
c. Bagian dari hukum antar bangsa, yaitu :
i. Peraturan hukum yang mengandung soal-soal pajak dalam hukum
internasional/antar bangsa yang diakui secara umum;
ii. Keputusan Pengadilan Internasional Den Haag yang memuat soal-
soal perpajakan;
iii. Apa yang telah berkembang sebagai hukum pajak pada masyarakat
internasional (tertentu) seperti supranationales steuerrecht.
Menurut Rosendorff, “Hukum Pajak Internasional sebagai keseluruhan
Hukum Pajak Nasional dari semua negara yang ada di Dunia.”
Menurut PJA Adriani, “Hukum Pajak Internasional ialah keseluruhan
peraturan yang mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur soal penyedotan
daya beli itu di masing-masing negara.”
Pengertian Hukum Pajak Internasional itu merupakan suatu pengertian
yang lebih luas dari pada pengertian Pajak Ganda dan Hukum Pajak Nasional itu
termasuk di dalam Hukum Pajak Internasional. Hukum Pajak Internasional
merupakan suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur
dalam Undang-undang nasional mengenai :
a. Pengenaan pajak terhadap orang-orang luar negeri;
b. Peraturan-peraturan nasional untuk menghindari pajak ganda;
c. Traktat-traktat.
Menurut Negara-negara Anglo Saxon, hukum Pajak Internasional dibagi sebagai
berikut :
1. Hukum Pajak Nasional mengatur Hukum Pajak Luar Negeri (National
External Tax Law);
National External Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak nasional
yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang
mempunyai daya kerja sampai di luar batas-batas negara karena terdapat
unsur-unsur asing, baik mengenai obyeknya (sumber ada di luar negeri)
maupun mengenai subyeknya (subyek ada di Luar Negeri).
2. Hukum Pajak Luar Negeri (Foreign Tax law);
Foreign Tax Law ialah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-
peraturan dari negara-negara yang ada di seluruh dunia.
3. Hukum Pajak Internsional (Internasioanal Tax Law);
Internasional Tax Law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum
Pajak Internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak
yang berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima baik
oleh Negara-negara di Dunia, mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan
antara negara yang saling mempunyai kepentingan.
Sedangkan Hukum Pajak Internasional dalam arti luas adalah keseluruhan
kaedah baik yang berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan prinsip
hukum pajak yang diterima baik oleh negara-negara di Dunia, maupun
kaedah-kaedah nasional yang mempunyai sebagai obyeknya pengenaan pajak
dalam mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing, hal mana mungkin
dapat menimbulkan bentrokan antara dua negara atau lebih.
Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional
Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional terlalu luas jika ingin kita kaji,
sehingga dipersempit hanya terkait dengan Negara Indonesia, sumber-sumber
hukum terebut antara lain :
A. Kaedah Hukum Pajak Nasional/Inilaateral yang mengandung unsur
asing, antara lain:
a. Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh)
tentang “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan
negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan
pengelakan pajak.”;
b. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang : Subjek Pajak
Luar Negeri dan Bentunk Usaha Tetap (BUT);
c. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk
Subyek Pajak;
d. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 5 ayat (2) UU PPh) tentang:
Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak
Termasuk Subyek Pajak Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3
UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subjek Pajak Usaha Tetap;
e. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan
Istimewa, Billamana Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan;
f. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak
Luar Negeri;
g. Peraturan Perpajakan Nasianal (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan
Pajak atas Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
B. Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat:
a. Perjanjian bilateral;
b. Perjanjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran
Pajak Berganda (P3B).
c. Perjanjian multirateral
Perjanjian ini seperti Konvensi Wina.
C. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-
pajak Internasional.
Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang
menyangkut tentang perpajakan Internasional, atau Keputusan Pengadilan
internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan.
Berdasarkan Pasal 32 A Undang-undng Pajak Penghasilan, pemerintah
berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam
rangka penghindaran Pajak Berganda dan pencegahan Pengelakan Pajak. Dalam
penjelasannya, perjanjian ini dimaksudkan dalam rangka peningkatan hubungan
ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum
yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pengenaan pajak dari
masing-masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan
pengenaan pajak berganda serta pengelakan pajak. Adapun bentuk dan meterinya
mengacu pada Konvensi Internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan
perpajakan nasional masing-masing negara. Atas dasar tersebut maka Negara
Indonesia mengakui Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan 1963 (CC), dan tax
treaty berbagai negara.
Menurut Rochmat Soemitro, dalam Hukum Pajak Internasional mencakup
juga perjanjian bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah “Traktat antar
negara utuk mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukan
adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subyeknya maupun mengenai
obyeknya.
Kekuasaan Negara itu tidak hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD
1945, namun kekuasaan ini juga tercemin dalam mana negara mempertahankan
kedaulatan negara dimana tidak ada Hukum Internasional mana atau oleh siapa
yang dapat membatasi wewenang ini.
Apabila negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum internasional,
maka negara kita akan diberikan sanksi secara bersama oleh negara yang
mengikuti konvensi tersebut, dalam hal demikian Indonesia akan dikucilkan
dalam dunia internasional dan berdampak terhadap perekonomian negara
Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau tidak mau Indonesia harus turut serta
menjalankan konvensi tersebut.
2.5 Prinsip Non Diskriminasi
Ketentuan non diskriminasi dimaksudkan untuk memberikan perlindungan
di bidang perpajakan bagi warga negara dari suatu negara treaty partner yang
melakukan kegiatan di negara treaty partner lainnya. perlindungan yang
dimaksud adalah warga negara dari negara treaty partner lainnya dibandingkan
warga negara di negara itu dalam keadaan atau kondisi yang sama (the same
circumstances).
Ketentuan non diskriminasi itu berlaku atas suatu bentuk usaha tetap dari
perusahaan yang adalah penduduk dari suatu negara treaty partner lainnya atau
perusahaan penanaman modal di negara itu yang modalnya sebagian atau
seluruhnya dimiliki atau dikuasai baik langsung maupun tidak langsung oleh
penduduk dari negara yang disebutkan pertama. Namun, ketentuan ini tidak
mewajibkan negara treaty partner lainnya memberikan keringanan (allowances),
potongan (reliefs) ataupun pengurangan (deductions) pengenaan pajak kepada
warga negara atau penduduk dari negara yang disebutkan pertama di atas.
Sebagai perusahaan yang berorientasi laba, sudah tentu suatu perusahaan
domestik maupun perusahaan multinasional berusaha meminimalkan beban pajak
dengan cara memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari suatu negara.
Di banyak negara, skema penghindaran pajak dapat dibedakan menjadi:
1. Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance).
2. Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax
avoidance).
Antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda
pandangannya tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai
acceptable tax avoidance atau unacceptable tax avoidance. Dengan demikian,
bisa saja suatu skema penghindaran pajak tertentu di suatu negara dikatakan
sebagai penghindaran pajak yang tidak diperkenankan, tetapi di negara lain
dikatakan sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan. Istilah lain yang
sering dipergunakan untuk menyatakan penghindaran pajak yang tidak
diperkenankan adalah aggressive tax planning dan istilah untuk penghindaran
pajak yang diperkenankan adalah defensive tax planning.
Dalam buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance biasanya diartikan
“sebagai suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak
dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan
suatu negara.” Dengan demikian, banyak ahli pajak menyatakan skema tersebut
sah-sah saja (legal) karena tidak melanggar ketentuan perpajakan. Lebih lanjut,
The Asprey Comittee of Australia, seperti yang dikutip oleh Indrayagus Slamet
menyatakan bahwa tax avoidance umumnya menyangkut perbuatan yang masih
dalam koridor hukum tapi tidak berdasarkan ”bonafide dan adequate
consideration”, atau berlawanan dengan maksud dari pembuat undang-undang
(the intention of parliament).
Tax planning adalah “upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang
terutang melalui skema yang memang telah jelas diatur dalam peraturan
perundang-undangan perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan dispute antara
Wajib Pajak dan otoritas pajak.
Sedangkan tax evasion diartikan sebagai suatu skema memperkecil pajak
yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal) seperti
dengan cara tidak melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan
cara fiktif.
Berkaitan dengan tax avoidance, pertanyaan yang layak kita ajukan adalah
apakah suatu skema transaksi yang tujuannya semata-mata untuk penghindaran
pajak (tidak ada tujuan bisnisnya) dengan cara memanfaatkan kelemahan
ketentuan perpajakan yang ada dapat dibenarkan? Dalam konteks perpajakan
internasional, ada berbagai skema yang biasa dilakukan oleh PMA untuk
melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema seperti (i) transfer pricing, (ii)
thin capitalization, (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign corporation
(CFC).
Pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib
Pajak dapat menjalankan dalam bentuk:
1. Substantive tax planning, yang terdiri atas:
a. Memindahkan subjek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang
dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan
pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
b. Memindahkan objek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang
dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan
pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.
c. Memindahkan subjek pajak dan objek pajak (transfer of tax subject and of
tax object) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau
negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas
suatu jenis penghasilan.
2. Formal tax planning
Melakukan penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan
substansi ekonomi dari suatu transaksi dengan cara memilih berbagai bentuk
formal jenis transaksi yang memberikan beban pajak yang paling rendah.
2.6 Konsep Anti Tax Avoidance
Dalam menghadapi skema-skema unacceptable tax avoidance atau
aggressive tax planning seperti tersebut di atas, umumnya suatu negara
menerbitkan ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan sebagai berikut ini:
1. Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu ketentuan anti
penghindaran pajak atas transaksi seperti (i) transfer pricing, (ii) thin
capitalization, (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign
corporation (CFC).
2. General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan anti
penghindaran pajak untuk mencegah transaksi yang semata-mata
dilakukan oleh Wajib Pajak yang semata-mata untuk tujuan
penghindaran pajak atau transaksi yang tidak mempunyai substansi
bisnis.
Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu
ketentuan untuk menangkal praktik unacceptable tax avoidance atau aggressive
tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Hal ini disebabkan karena tax
planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak bersifat defensive tax planning
lagi tetapi sudah semakin offensive yaitu dengan membuat suatu transaksi semu
yang pada dasarnya tidak ada tujuan bisnisnya atau membuat suatu entitas usaha
di negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven country. Di Australia,
skema-skema yang dapat dikategorikan sebagai aggressive tax planning oleh
Australian Taxation Office (ATO) adalah sebagai berikut:
1. Transaksi yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari
pajak. Dengan kata lain transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan
bisnis, kalaupun ada tujuan bisnisnya tetapi sangat tidak
signifikan.
2. Berusaha untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya
fasilitas pajak tersebut tidak ditujukan kepadanya.
3. Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi
tersebut akan kembali lagi kepadanya (round-robin flow of funds).
4. Penggelelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya
penyusutan yang besar di masa yang akan datang.
5. Memanfaatkan suatu entitas usaha di mana penghasilan yang
diterima oleh entitas usaha tersebut dikecualikan sebagai objek
pajak.
6. Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang
dikategorikan sebagai tax haven countries.
Bagaimana dengan Indonesia?
Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan kita yang berlaku saat
ini, belum ada definisi yang jelas mengenai tax plannning, agresive tax planning,
acceptable tax avoidance dan unacceptable tax avoidance. Dengan demikian,
dalam praktiknya sering menimbulkan penafsiran yang berbeda antara Wajib
Pajak dan aparat pajak. Wajib Pajak dan aparat pajak tentu akan memberikan
penafsiran sendiri-sendiri yang menguntungkan mereka, sehingga menimbulkan
ketidakpastian hukum.
Dari sudut pandang Wajib Pajak, tentu akan berpendapat bahwa
sepanjang skema penghindaran pajak yang mereka lakukan tidak dilarang dalam
peraturan perundang-undangan perpajakan tentu sah-sah saja (legal). Hal ini
dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Akan tetapi, di
sisi lain, pemerintah tentu juga berkepentingan bahwa jangan sampai suatu
ketentuan perpajakan disalahgunakan oleh Wajib Pajak untuk semata-mata tujuan
penghindaran pajak yang akan merugikan penerimaan negara. Oleh karena itu,
untuk kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun bagi pemerintah, ketentuan
tentang tax planning, tax avoidance, dan anti tax avoidance yang berupa Specific
Anti Avoidance Rule (SAAR) maupun General Anti Avoidance Rule (GAAR)
harus diatur secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan, baik untuk ketentuan formalnya yaitu terkait dengan sanksi, maupun
dalam ketentuan materialnya.
BAB III
KASUS
Simulasi Kasus Pajak Internasional
Wajib pajak A yang berkedudukan di Negara P yang mengenakan pajak
penghasilan dengan tarif 25% mendapat penghasilan dari Negara Q sebesar
100.000.000 yang telah dikenakan pajak sebesar 30%, sedangkan penghasilan
domestic adalah 200.000.000, berapakah pajak terutangnya ?
Penghasilan domestik (Negara P) 200.000.000
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) 100.000.000
Penghasilan global 300.000.000
Pajak terutang (300.000.000 x 25%) 75.000.000
Eksemsi pajak
100.000.000 – 75.000.000 (25.000.000)
Pajak Penghasilan kurang bayar 50.000.000
Jika, misalnya, dari operasi di Negara Q tersebut diperoleh kerugian
sebesar 50, maka penghitungan pajaknya adalah sbb. :
Penghasilan domestik (Negara P) 200.000.000
Rugi Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) (50.000.000)
Penghasilan global 150.000.000
Pajak Penghasilan kurang bayar:
25% x 150.000,00037.500.000
Dengan demikian, apabila kegiatan diluar negeri mendapat kerugian
sebagai konsekuansi dari sistem pemajakan global, kerugian tersebut sepertinya
dapat mengurangi penghasilan kena pajak domestic. Namun secara
berkesinambungan pengurangan tersebt harus dipulihkan/diganti kembali
(recaptured) pada periode berikutnya apabila memperoleh laba. Kalau misalnya,
dalam contoh tersebut, pada tahun berikutnya dari operasi di Negara Q didapat
laba 150.000,000, di samping laba domestic 250.000.000, maka penghitungan
pajak terutangnya, sbb :
Penghasilan domestik (Negara P) 250.000.000
Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) (150.000.000)
Penghasilan global 400.000.000
Pajak terutang (400.000.000 x 25%) 100.000.000
Eksemsi pajak
Penghasilan luar negeri
150.000.000
Perhitungan rugi laba tahun lalu
(50.000.000)
Basis penghitungan eksemsi 100.000.000
Eksemsi pajak 100.000.000 x 25% (25.000.000)
Pajak Penghasilan kurang bayar 75.000.000