30
MAKALAH KONSEP DASAR PAJAK INTERNASIONAL Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan Dosen : Dr. Diana Sari, S.E., M.Si., Ak., QIA Disusun oleh : Kelompok 2 Jaka Subakti (15131P003) Fajar Nurdin (15131P018) Pandu Persada P. (15131P019) Kelas B

Konsep Dasar Pajak Internasional

Embed Size (px)

DESCRIPTION

tugas matkul perpajakan ppak utama

Citation preview

Page 1: Konsep Dasar Pajak Internasional

MAKALAH

KONSEP DASAR PAJAK INTERNASIONAL

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Perpajakan

Dosen : Dr. Diana Sari, S.E., M.Si., Ak., QIA

Disusun oleh :

Kelompok 2

Jaka Subakti (15131P003)

Fajar Nurdin (15131P018)

Pandu Persada P. (15131P019)

Kelas B

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI AKUNTANSI

UNIVERSITAS WIDYATAMA

BANDUNG

2013

Page 2: Konsep Dasar Pajak Internasional

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah

berkenan memberi petunjuk dan kekuatan kepada penulis sehingga makalah,

“Konsep Dasar Pajak Internasional” ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Makalah ini disusun dan dibuat berdasarkan materi – materi yang ada.

Materi – materi bertujuan agar dapat menambah pengetahuan dan wawasan

mahasiswa dalam memahami mata kuliah Perpajakan khususnya mengenai pajak

internasional.

Penulis berharap dengan mempelajari makalah ini, para mahasiswa akan

mampu menghadapi masalah-masalah atau kesulitan-kesulitan yang timbul dalam

mempelajari Perpajakan.

Bandung,Agustus 2013

Kelompok 2

Page 3: Konsep Dasar Pajak Internasional

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ........................................................................................i

DAFTAR ISI ...................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

BAB II LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Perpajakan Internasional ..........................................3

2.1.1 Pajak Internasional..................................................................3

2.1.2 Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional...........................4

2.1.3 Prinsip-Prinsip yang Harus Dipahami dalam Perpajakan

Internasional...........................................................................4

2.2 Pemajakan Lintas Negara.................................................................5

2.3 Konsep Juridical Versus Economic Double Taxation.....................6

2.4 Sumber Hukum Perpajakan Internasional........................................7

2.5 Prinsip Non-Diskriminasi.................................................................11

2.6 Konsep Anti Tax Avoidance............................................................14

BAB III KASUS....................................................................................................17

Page 4: Konsep Dasar Pajak Internasional

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia sebagai Negara berdaulat memiliki hak untuk membuat

ketentuan tentang perpajakan. Fungsi dari pajak yang ditarik oleh pemerintah ini

utamanya adalah untuk membiayai kegiatan pemerintahan dalam rangka

menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan oleh seluruh rakyat

Indonesia. Di samping itu, pajak juga berfungsi untuk mengatur perilaku Warga

Negara untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Indonesia juga bagian dari dunia internasional yang sudah pasti dalam

menjalankan roda pemerintahannya melakukan hubungan internasional.

Hubungan internasional dapat berupa kerjasama di bidang keamanan pertahanan,

kerjasama di bidang sosial, ekonomi, budaya dan lainnya, namun pembahasan ini

terbatas pada kegiatan ekspor maupun impor (Transaksi Perdagangan

Internasional) yang terkait dengan pajak internasional. Setiap kerjasama yang

dilakukan oleh setiap negara tentunya harus disepakati terlebih dahulu oleh para

pihak guna mencapai komitmen bersama yang termuat dalam suatu perjanjian

internasional, tidak terkecuali perjanjian dalam bidang perpajakan.

Transaksi perdagangan antara dua negara atau beberapa negara berpotensi

menimbulkan aspek perpajakan, hal ini tentunya harus diatur oleh kedua negara

atau dunia internasional secara umum guna meningkatkan perekonomian dan

perdagangan negara-negara yang melakukan kerjasama tersebut. Ini menjadi

penting agar tidak menghambat aliran dana investasi akibat pengenaan pajak yang

memberatkan Wajib Pajak yang bekedudukan di kedua negara yang melakukan

transaksi tersebut. Untuk itu perlu adanya kebijakan perpajakan internasional

dalam hal mengatur hak pengenaan pajak yang berlaku disuatu negara, dengan

asumsi bahwa disetiap negara dapat dipastikan sudah mengatur ketentuan pajak

dalam wilayah yang menjadi kedaulatannya. Namun setiap negara tidak bebas

mengatur pengenaan pajak terhadap badan atau warga negara asing, pajak

internasional merupakan salah satu bentuk hukum internasional, dimana setiap

Page 5: Konsep Dasar Pajak Internasional

negara harus tunduk pada kesepakatan dunia internasional yang dikenal dengan

istilah Konvensi Wina.

Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai,

begitu juga dengan kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan

yang ingin dicapai yaitu memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju

investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan

pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah upaya untuk

meminimalkan beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan pajak

berganda internasional.

Page 6: Konsep Dasar Pajak Internasional

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Perpajakan International

2.1.1 Pajak International

Definisi Pajak Internasional dalam Undang-undang Pajak Penghasilan

sampai detik ini belum ada. Penulis bersama dengan Bapak Sriadi Kepala Seksi

Perjanjian Perpajakan Eropa, Kantor Pusat Direktorat Jendral Pajak,

memberanikan diri untuk mendefinisikan tentang pengertian Pajak Internasional

berdasarkan uraian sebelumnya.

“Pajak Internasional adalah kesepakatan perpajakan yang berlaku di antara

negara yang mempunyai Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) dan

pelaksanaanya dilakukan dengan niat baik sesuai dengan Konvensi Wina (Pacta

Sunservanda).

Dengan demikian peraturan perpajakan yang berlaku di Negara Indonesia

terhadap badan atau orang asing menjadi tidak berlaku bilamana terdapat

perjanjian bilateral (dua negara) tentang Persetujuan Penghindaran Pajak

Berganda dengan negara asal atau penduduk asing tersebut.

Secara umum, ketentuan pajak internasional suatu negara meliputi 2 (dua)

dimensi luas yaitu:

1.    Pemajakan terhadap wajib pajak dalam negeri (WPDN) atas

penghasilan dari luar negeri, dan

2.    Pemajakan terhadap wajib pajak luar negri (WPLN) atas penghasilan

dari dalam negeri (domestik).

Dimensi pertama merujuk pada permajakan atas penghasilan luar negeri

atau transaksi (ke) luar batas negara (outward, outbound transaction) karena

umumnya melibatkan eksportasi modal ke manca negara sedangkan dimensi

kedua menunjuk pada pemajakan ataspenghasilan domestik atau transaksi (ke)

dalam batas negara (inward, inbound transaction) karena umumnya melibatkan

importasi modal dari manca negara. Dalam aplikasinya pemajakan penghasilan

Page 7: Konsep Dasar Pajak Internasional

luar negeri dilakukan oleh negara domisili (residence country), sedangkan

pemajakan penghasilan domestik dilakukan oleh negara sumber (source country).

2.1.2 Tujuan Kebijakan Perpajakan Internasional

Setiap kebijakan tentu mempunyai tujuan khusus yang ingin dicapai,

begitu juga dengan kebijakan perpajakan internasional juga mempunyai tujuan

yang ingin dicapai yaitu memajukan perdagangan antar negara, mendorong laju

investasi di masing-masing negara, pemerintah berusaha untuk meminimalkan

pajak yang menghambat perdagangan dan investasi tersebut. Salah upaya untuk

meminimalkan beban tersebut adalah dengan melakukan penghindaraan pajak

berganda internasional.

2.1.3 Prinsip-Prinsip yang Harus Dipahami dalam Perpajakan

Internasional

Doernberg (1989) menyebut 3 unsur netralitas yang harus dipenuhi dalam

kebijakan pemajakan internasional:

1. Capital Export Neutrality (Netralitas Pasar Domestik): Kemanapun kita

berinvestasi, beban pajak yang dibayar haruslah sama. Sehingga tidak ada

bedanya bila kita berinvestasi di dalam atau luar negeri. Maka jangan sampai

bila berinvestasi di luar negeri, beban pajaknya lebih besar karena

menanggung pajak dari dua negara. Hal ini akan melandasi UU PPh Psl 24

yang mengatur kredit pajak luar negeri.

2. Capital Import Neutrality (Netralitas Pasar Internasional): Darimanapun

investasi berasal, dikenakan pajak yang sama. Sehingga baik investor dari

dalam negeri atau luar negeri akan dikenakan tarif pajak yang sama bila

berinvestasi di suatu negara. Hal ini melandasi hak pemajakan yang sama

dengan Wajib Pajak Dalam Negeri (WPDN) terhadap permanent

establishment (PE) atau Badan Usaha Tetap (BUT) yang dapat berupa cabang

perusahaan ataupun kegiatan jasa yang melewati time-test dari peraturan yang

berlaku.

Page 8: Konsep Dasar Pajak Internasional

3. National Neutrality: Setiap negara, mempunyai bagian pajak atas penghasilan

yang sama. Sehingga bila ada pajak luar negeri yang tidak bisa dikreditkan

boleh dikurangkan sebagai biaya pengurang laba.

2.2 Pemajakan Lintas Negara

Pemajakan berganda terjadi karena benturan antar klaim pemajakan. Hal

ini karena adanya prinsip pemajakan global untuk wajib pajak dalam negeri

(global principle) dimana penghasilan dari dalam luar negeri dan dalam negeri

dikenakan pajak oleh negara residen (negara domisili wajib pajak). Selain itu,

terdapat pemajakan teritorial (source principle) bagi wajib pajak luar negeri

(WPLN) oleh negara sumber penghasilan dimana penghasilan yang bersumber

dari negara tersebut dikenakan pajak oleh negara sumber. Hal ini membuat suatu

penghasilan dikenakan pajak dua kali, pertama oleh negara residen lalu oleh

negara sumber Misalnya: PT A punya cabang di Jepang. Penghasilan cabang di

jepang dikenakan pajak oleh fiskus Jepang. Lalu di Indonesia penghasilan itu

digabung dengan penghasilan dalam negeri lalu dikalikan tarif pajak UU domestik

Indonesia.

Bentokran klaim lebih diperparah bila terjadi dual residen, dimana terdapat

dua negara sama-sama mengklaim seorang subjek pajak sebagi wajib pajak dalam

negerinya yang menyebabkan ia terkena pemajakan global dua kali. Misalnya:

Mr. A bekerja di Indonesia lebih dari 183 hari namun setiap sabtu dan minggu ia

pulang ke rumahnya di Singapura. Mr. A dianggap WPDN oleh Indonesia dan

juga Singapura sehingga untuk wajib melapor dan membayar pajak untuk

penghasilan globalnya pada Indonesia maupun Singapura.

Dalam kaitan pembagian hak pemajakan ini, negara-negara yang

melakukan perjanjian perpajakan dibagi menjadi dua jenis. Pertama adalah negara

sumber (source country) yang merupakan negara di mana penghasilan yang

merupakan objek pajak timbul. Kedua adalah negara domisili (resident country)

yaitu negara tempat subjek pajak bertempat tinggal, berkedudukan atau

berdomisili berdasarkan ketentuan perpajakan.

Page 9: Konsep Dasar Pajak Internasional

Baik negara sumber maupun negara domisili biasanya berhak untuk

mengenakan pajak berdasarkan undang-undang domestiknya. Pengenaan pajak

oleh dua yurisdiksi perpajakan terhadap satu jenis penghasilan inilah yang

biasanya menimbulkan pengenaan pajak berganda sehingga perlu diatur dalam

suatu persetujuan antara negara sumber dan negara domisili.

2.3 Konsep Juridical Versus Economic Double Taxation

Dalam komentar atau Pasal 23 A dan 23 B model P3B OECD

membedakan antara pajak berganda yuridis (juridical double taxation) dengan

pajak ganda ekonomis (economic double taxation). Pajak berganda yuridis terjadi

apabila atas penghasilan yang sama yang diterima oleh orang yang sama

dikenakan pajak oleh lebih dari satu negara, sedangkan pajak berganda ekonomis

terjadi apabila dua orang yang berbeda (secara hukum) dikenakan pajak atas suatu

penghasilan yang sama (atau identik).

Atas perbedaan tersebut Arnold dan McIntyre (2002) menyebutkan

sebagai definisi legal atas Pajak Berganda Internasional (sebutan lain dari PBI

yuridis) dan konsep ekonomis yang luas atas PBI. Berdasar definisi legal,

pemajakan badan usaha (atau perusahaan induk) oleh suatu Negara dan

pemajakan atas pemegang saham (atau perusahaan anak) oleh negara lain

bukanlah suatu pajak berganda karena mereka merupakan dua subjek hukum yang

berbeda. Namun demikian, secara ekonomis PBI terjadi dalam kasus badan

dengan pemegang sahamnya karena mereka merupakan satu kesatuan ekonomis.

Pajak bergganda ekonomis dapat terjadi apabila penghasilan dikenakan pajak pada

persekutuan dan kepada sekutu, atau kepada lembaga wali amanat (trust) dan

pemilik manfaat manat (beneficiaries), dan pemajakan penghasilan pada keluarga

dan anggota keluarga.

Dalam komentar atas Pasal 23A dan 23B, model konvensi OECD

menjelaskan tentang PBI yuridis dan ekonomis. Sementara PBI yuridis terjadi

apabila suatu penghasilan (atau modal) yang sama dikenakan pajak di tangan

orang (subjek) yang sama oleh lebih dari satu Negara, PBI ekonomis timbul

apabila dua orang yang (secara yuridis) berbeda dikenakan pajak atas suatu

Page 10: Konsep Dasar Pajak Internasional

penghasilan (atau modal maupun objek) yang sama (oleh lebih dari satu negara).

Dalam PBI yuridis tampak bahwa pemajakan oleh lebih dari satu negara tersebut

dilakukan terhadap satu subjek legal yang sama (legal identityof subject). Di pihak

lain, PBI ekonomis meliputi pemajakan atas objek yang sama terhadap legal

subjek yang berbeda, namun secara ekonomis identik atau setidaknya merupakan

para wajib pajak yang terdapat hubungan (economic identity of subject).

2.4 Sumber Hukum Perpajakan Internasional

Ottmar Buhler membagi Hukum Pajak Internasional dalam arti sempit dan

hukum pajak internasional dalam arti luas. Hukum Pajak Internasional dalam arti

sempit adalah (Agus Setiawan, 2006):

“Kaedah-kaedah norma hukum perselisihan yang didasarkan pada hukum

antar bangsa (hukum internasional),”

Sedangkan hukum pajak dalam arti luas ialah:

“Kaedah-kaedah hukum antar bangsa ini ditambah peraturan nasional yang

mempunyai obyek hukum perselisihan, khususnya tentang perpajakan.”

Teicher memberikan kesimpulan bahwa dalam hukum pajak internasional

dalam arti luas termasuk sebagai berikut:

a. Hukum Pajak Internasional dan Nasional

b. Hukum yang mengatur perjanjian pajak untuk mencegah pajak ganda dan lain-

lain perjanjian internasional;

c. Bagian dari hukum antar bangsa, yaitu :

i. Peraturan hukum yang mengandung soal-soal pajak dalam hukum

internasional/antar bangsa yang diakui secara umum;

ii. Keputusan Pengadilan Internasional Den Haag yang memuat soal-

soal perpajakan;

iii. Apa yang telah berkembang sebagai hukum pajak pada masyarakat

internasional (tertentu) seperti supranationales steuerrecht.

Menurut Rosendorff, “Hukum Pajak Internasional sebagai keseluruhan

Hukum Pajak Nasional dari semua negara yang ada di Dunia.”

Page 11: Konsep Dasar Pajak Internasional

Menurut PJA Adriani, “Hukum Pajak Internasional ialah keseluruhan

peraturan yang mengatur tata tertib hukum dan yang mengatur soal penyedotan

daya beli itu di masing-masing negara.”

Pengertian Hukum Pajak Internasional itu merupakan suatu pengertian

yang lebih luas dari pada pengertian Pajak Ganda dan Hukum Pajak Nasional itu

termasuk di dalam Hukum Pajak Internasional. Hukum Pajak Internasional

merupakan suatu kesatuan hukum yang mengupas suatu persoalan yang diatur

dalam Undang-undang nasional mengenai :

a. Pengenaan pajak terhadap orang-orang luar negeri;

b. Peraturan-peraturan nasional untuk menghindari pajak ganda;

c. Traktat-traktat.

Menurut Negara-negara Anglo Saxon, hukum Pajak Internasional dibagi sebagai

berikut :

1. Hukum Pajak Nasional mengatur Hukum Pajak Luar Negeri (National

External Tax Law);

National External Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak nasional

yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang

mempunyai daya kerja sampai di luar batas-batas negara karena terdapat

unsur-unsur asing, baik mengenai obyeknya (sumber ada di luar negeri)

maupun mengenai subyeknya (subyek ada di Luar Negeri).

2. Hukum Pajak Luar Negeri (Foreign Tax law);

Foreign Tax Law ialah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-

peraturan dari negara-negara yang ada di seluruh dunia.

3. Hukum Pajak Internsional (Internasioanal Tax Law);

Internasional Tax Law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum

Pajak Internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak

yang berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim diterima baik

oleh Negara-negara di Dunia, mempunyai tujuan mengatur soal perpajakan

antara negara yang saling mempunyai kepentingan.

Page 12: Konsep Dasar Pajak Internasional

Sedangkan Hukum Pajak Internasional dalam arti luas adalah keseluruhan

kaedah baik yang berdasarkan traktat-traktat, konvensi-konvensi, dan prinsip

hukum pajak yang diterima baik oleh negara-negara di Dunia, maupun

kaedah-kaedah nasional yang mempunyai sebagai obyeknya pengenaan pajak

dalam mana dapat ditunjukkan adanya unsur-unsur asing, hal mana mungkin

dapat menimbulkan bentrokan antara dua negara atau lebih.

Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional

Sumber-sumber Hukum Pajak Intenasional terlalu luas jika ingin kita kaji,

sehingga dipersempit hanya terkait dengan Negara Indonesia, sumber-sumber

hukum terebut antara lain :

A. Kaedah Hukum Pajak Nasional/Inilaateral yang mengandung unsur

asing, antara lain:

a. Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh)

tentang “Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan

negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan

pengelakan pajak.”;

b. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang : Subjek Pajak

Luar Negeri dan Bentunk Usaha Tetap (BUT);

c. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk

Subyek Pajak;

d. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 5 ayat (2) UU PPh) tentang:

Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak

Termasuk Subyek Pajak Bentuk Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3

UU PPh) tentang: Tidak Termasuk Subjek Pajak Usaha Tetap;

e. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tentang: Hubungan

Istimewa, Billamana Terdapat Ketidakwajaran dalam Perpajakan;

f. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak

Luar Negeri;

Page 13: Konsep Dasar Pajak Internasional

g. Peraturan Perpajakan Nasianal (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan

Pajak atas Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari

Indonesia.

B. Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat:

a. Perjanjian bilateral;

b. Perjanjanjian ini diwujudkan dengan adanya Perjanjian Penghindaran

Pajak Berganda (P3B).

c. Perjanjian multirateral

Perjanjian ini seperti Konvensi Wina.

C. Keputusan Hakim Nasional atau Komisi Internasional tentang pajak-

pajak Internasional.

Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan pajak yang

menyangkut tentang perpajakan Internasional, atau Keputusan Pengadilan

internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan.

Berdasarkan Pasal 32 A Undang-undng Pajak Penghasilan, pemerintah

berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam

rangka penghindaran Pajak Berganda dan pencegahan Pengelakan Pajak. Dalam

penjelasannya, perjanjian ini dimaksudkan dalam rangka peningkatan hubungan

ekonomi dan perdagangan dengan negara lain diperlukan suatu perangkat hukum

yang berlaku khusus (lex-spesialis) yang mengatur hak-hak pengenaan pajak dari

masing-masing negara guna memberikan kepastian hukum dan menghindarkan

pengenaan pajak berganda serta pengelakan pajak. Adapun bentuk dan meterinya

mengacu pada Konvensi Internasional dan ketentuan lainnya serta ketentuan

perpajakan nasional masing-masing negara. Atas dasar tersebut maka Negara

Indonesia mengakui Konvensi Wina tahun 1961 (CD) dan 1963 (CC), dan tax

treaty berbagai negara.

Menurut Rochmat Soemitro, dalam Hukum Pajak Internasional mencakup

juga perjanjian bilateral perpajakan yang disebut dengan istilah “Traktat antar

negara utuk mengatur soal-soal perpajakan dan dalam mana dapat ditunjukan

Page 14: Konsep Dasar Pajak Internasional

adanya unsur-unsur asing, baik mengenai subyeknya maupun mengenai

obyeknya.

Kekuasaan Negara itu tidak hanya menciptakan UU Pasal 23 ayat 2 UUD

1945, namun kekuasaan ini juga tercemin dalam mana negara mempertahankan

kedaulatan negara dimana tidak ada Hukum Internasional mana atau oleh siapa

yang dapat membatasi wewenang ini.

Apabila negara kita tidak tunduk dan patuh terhadap hukum internasional,

maka negara kita akan diberikan sanksi secara bersama oleh negara yang

mengikuti konvensi tersebut, dalam hal demikian Indonesia akan dikucilkan

dalam dunia internasional dan berdampak terhadap perekonomian negara

Indonesia secara keseluruhan, sehingga mau tidak mau Indonesia harus turut serta

menjalankan konvensi tersebut.

2.5 Prinsip Non Diskriminasi

Ketentuan non diskriminasi dimaksudkan untuk memberikan perlindungan

di bidang perpajakan bagi warga negara dari suatu negara treaty partner yang

melakukan kegiatan di negara treaty partner lainnya. perlindungan yang

dimaksud adalah warga negara dari negara treaty partner lainnya dibandingkan

warga negara di negara itu dalam keadaan atau kondisi yang sama (the same

circumstances).

Ketentuan non diskriminasi itu berlaku atas suatu bentuk usaha tetap dari

perusahaan yang adalah penduduk dari suatu negara treaty partner lainnya atau

perusahaan penanaman modal di negara itu yang modalnya sebagian atau

seluruhnya dimiliki atau dikuasai baik langsung maupun tidak langsung oleh

penduduk dari negara yang disebutkan pertama. Namun, ketentuan ini tidak

mewajibkan negara treaty partner lainnya memberikan keringanan (allowances),

potongan (reliefs) ataupun pengurangan (deductions) pengenaan pajak kepada

warga negara atau penduduk dari negara yang disebutkan pertama di atas.

Sebagai perusahaan yang berorientasi laba, sudah tentu suatu perusahaan

domestik maupun perusahaan multinasional berusaha meminimalkan beban pajak

Page 15: Konsep Dasar Pajak Internasional

dengan cara memanfaatkan kelemahan sistem ketentuan pajak dari suatu negara.

Di banyak negara, skema penghindaran pajak dapat dibedakan menjadi:

1. Penghindaran pajak yang diperkenankan (acceptable tax avoidance).

2. Penghindaran pajak yang tidak diperkenankan (unacceptable tax

avoidance).

Antara suatu negara dengan negara lain bisa jadi saling berbeda

pandangannya tentang skema apa saja yang dapat dikategorikan sebagai

acceptable tax avoidance atau unacceptable tax avoidance. Dengan demikian,

bisa saja suatu skema penghindaran pajak tertentu di suatu negara dikatakan

sebagai penghindaran pajak yang tidak diperkenankan, tetapi di negara lain

dikatakan sebagai penghindaran pajak yang diperkenankan. Istilah lain yang

sering dipergunakan untuk menyatakan penghindaran pajak yang tidak

diperkenankan adalah aggressive tax planning dan istilah untuk penghindaran

pajak yang diperkenankan adalah defensive tax planning.

Dalam buku-buku perpajakan, istilah tax avoidance biasanya diartikan

“sebagai suatu skema transaksi yang ditujukan untuk meminimalkan beban pajak

dengan memanfaatkan kelemahan-kelemahan (loophole) ketentuan perpajakan

suatu negara.” Dengan demikian, banyak ahli pajak menyatakan skema tersebut

sah-sah saja (legal) karena tidak melanggar ketentuan perpajakan. Lebih lanjut,

The Asprey Comittee of Australia, seperti yang dikutip oleh Indrayagus Slamet

menyatakan bahwa tax avoidance umumnya menyangkut perbuatan yang masih

dalam koridor hukum tapi tidak berdasarkan ”bonafide dan adequate

consideration”, atau berlawanan dengan maksud dari pembuat undang-undang

(the intention of parliament).

Tax planning adalah “upaya Wajib Pajak untuk meminimalkan pajak yang

terutang melalui skema yang memang telah jelas diatur dalam peraturan

perundang-undangan perpajakan dan sifatnya tidak menimbulkan dispute antara

Wajib Pajak dan otoritas pajak.

Sedangkan tax evasion diartikan sebagai suatu skema memperkecil pajak

yang terutang dengan cara melanggar ketentuan perpajakan (illegal) seperti

Page 16: Konsep Dasar Pajak Internasional

dengan cara tidak melaporkan sebagian penjualan atau memperbesar biaya dengan

cara fiktif.

Berkaitan dengan tax avoidance, pertanyaan yang layak kita ajukan adalah

apakah suatu skema transaksi yang tujuannya semata-mata untuk penghindaran

pajak (tidak ada tujuan  bisnisnya) dengan cara memanfaatkan kelemahan

ketentuan perpajakan yang ada dapat dibenarkan? Dalam konteks perpajakan

internasional, ada berbagai skema yang biasa dilakukan oleh PMA untuk

melakukan penghematan pajak yaitu dengan skema seperti (i) transfer pricing, (ii)

thin capitalization, (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign corporation

(CFC).

Pada umumnya dalam melakukan penghematan pajak tersebut, Wajib

Pajak dapat menjalankan dalam bentuk:

1. Substantive tax planning, yang terdiri atas:

a. Memindahkan subjek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang

dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan

pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.

b. Memindahkan objek pajak (transfer of tax subject) ke negara-negara yang

dikategorikan sebagai tax haven atau negara yang memberikan perlakuan

pajak khusus (keringanan pajak) atas suatu jenis penghasilan.

c. Memindahkan subjek pajak dan objek pajak (transfer of tax subject and of

tax object) ke negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven atau

negara yang memberikan perlakuan pajak khusus (keringanan pajak) atas

suatu jenis penghasilan.

2.    Formal tax planning

Melakukan penghindaran pajak dengan cara tetap mempertahankan

substansi ekonomi dari suatu transaksi dengan cara memilih berbagai bentuk

formal jenis transaksi yang memberikan beban pajak yang paling rendah.

Page 17: Konsep Dasar Pajak Internasional

2.6 Konsep Anti Tax Avoidance

Dalam menghadapi skema-skema unacceptable tax avoidance atau

aggressive tax planning seperti tersebut di atas, umumnya suatu negara

menerbitkan ketentuan pencegahan penghindaran pajak yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan perpajakan sebagai berikut ini:

1. Specific Anti Avoidance Rule (SAAR), yaitu ketentuan anti

penghindaran pajak atas transaksi seperti (i) transfer pricing, (ii) thin

capitalization, (iii) treaty shopping, dan (iv) controlled foreign

corporation (CFC).

2. General Anti Avoidance Rule (GAAR), yaitu ketentuan anti

penghindaran pajak untuk mencegah transaksi yang semata-mata

dilakukan oleh Wajib Pajak yang semata-mata untuk tujuan

penghindaran pajak atau transaksi yang tidak mempunyai substansi 

bisnis.

Di banyak negara, seperti di Israel dan Kanada, telah membuat suatu

ketentuan untuk menangkal praktik unacceptable tax avoidance atau aggressive

tax planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak. Hal ini disebabkan karena tax

planning yang dilakukan oleh Wajib Pajak tidak bersifat defensive tax planning

lagi tetapi sudah semakin offensive yaitu dengan membuat suatu transaksi semu

yang pada dasarnya tidak ada tujuan bisnisnya atau membuat suatu entitas usaha

di negara-negara yang dikategorikan sebagai tax haven country. Di Australia,

skema-skema yang dapat dikategorikan sebagai aggressive tax planning oleh

Australian Taxation Office (ATO) adalah sebagai berikut:

1. Transaksi yang dibuat semata-mata untuk tujuan menghindari

pajak. Dengan kata lain transaksi tersebut tidak mempunyai tujuan

bisnis, kalaupun ada tujuan bisnisnya tetapi sangat tidak

signifikan.

2. Berusaha untuk mendapatkan fasiltas pajak yang sebenarnya

fasilitas pajak tersebut tidak ditujukan kepadanya.

Page 18: Konsep Dasar Pajak Internasional

3. Membuat transaksi yang berputar-putar yang akhirnya transaksi

tersebut akan kembali lagi kepadanya (round-robin flow of funds).

4. Penggelelembungan nilai aset untuk mendapatkan biaya

penyusutan yang besar di masa yang akan datang.

5. Memanfaatkan suatu entitas usaha di mana penghasilan yang

diterima oleh entitas usaha tersebut dikecualikan sebagai objek

pajak.

6. Transaksi bisnis yang melibatkan negara-negara yang

dikategorikan sebagai tax haven countries.

Bagaimana dengan Indonesia?

Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan kita yang berlaku saat

ini, belum ada definisi yang jelas mengenai tax plannning, agresive tax planning,

acceptable tax avoidance dan unacceptable tax avoidance. Dengan demikian,

dalam praktiknya sering menimbulkan penafsiran yang berbeda antara Wajib

Pajak dan aparat pajak. Wajib Pajak dan aparat pajak tentu akan memberikan

penafsiran sendiri-sendiri yang menguntungkan mereka, sehingga menimbulkan

ketidakpastian hukum.

 Dari sudut pandang Wajib Pajak, tentu akan berpendapat bahwa

sepanjang skema penghindaran pajak yang mereka lakukan tidak dilarang dalam

peraturan perundang-undangan perpajakan tentu sah-sah saja (legal). Hal ini

dimaksudkan untuk memberi kepastian hukum bagi Wajib Pajak. Akan tetapi, di

sisi lain, pemerintah tentu juga  berkepentingan bahwa jangan sampai suatu

ketentuan perpajakan disalahgunakan oleh Wajib Pajak untuk semata-mata tujuan

penghindaran pajak yang akan merugikan penerimaan negara. Oleh karena itu,

untuk kepastian hukum baik bagi Wajib Pajak maupun bagi pemerintah, ketentuan

tentang tax planning, tax avoidance, dan  anti tax avoidance yang berupa Specific

Anti Avoidance Rule (SAAR) maupun General Anti Avoidance Rule (GAAR)

harus diatur secara jelas dan rinci dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

perpajakan, baik untuk ketentuan formalnya yaitu terkait dengan sanksi, maupun

dalam ketentuan materialnya.

Page 19: Konsep Dasar Pajak Internasional

BAB III

KASUS

 Simulasi Kasus Pajak Internasional

Wajib pajak A yang berkedudukan di Negara P yang mengenakan pajak

penghasilan dengan tarif 25% mendapat penghasilan dari Negara Q sebesar

100.000.000 yang telah dikenakan pajak sebesar 30%, sedangkan penghasilan

domestic adalah 200.000.000, berapakah pajak terutangnya ?

Penghasilan domestik (Negara P) 200.000.000

Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) 100.000.000

Penghasilan global 300.000.000

Pajak terutang (300.000.000 x 25%) 75.000.000

Eksemsi pajak

100.000.000 – 75.000.000 (25.000.000)

Pajak Penghasilan kurang bayar 50.000.000

Jika, misalnya, dari operasi di Negara Q tersebut diperoleh kerugian

sebesar 50, maka penghitungan pajaknya adalah sbb. :

Penghasilan domestik (Negara P) 200.000.000

Rugi Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) (50.000.000)

Penghasilan global 150.000.000

Pajak Penghasilan kurang bayar:

25% x 150.000,00037.500.000

Dengan demikian, apabila kegiatan diluar negeri mendapat kerugian

sebagai konsekuansi dari sistem pemajakan global, kerugian tersebut sepertinya

dapat mengurangi penghasilan kena pajak domestic. Namun secara

berkesinambungan pengurangan tersebt harus dipulihkan/diganti kembali

(recaptured) pada periode berikutnya apabila memperoleh laba. Kalau misalnya,

dalam contoh tersebut, pada tahun berikutnya dari operasi di Negara Q didapat

Page 20: Konsep Dasar Pajak Internasional

laba 150.000,000, di samping laba domestic 250.000.000, maka penghitungan

pajak terutangnya, sbb :

Penghasilan domestik (Negara P) 250.000.000

Penghasilan Luar Negeri (Negara Q) (150.000.000)

Penghasilan global 400.000.000

Pajak terutang (400.000.000 x 25%) 100.000.000

Eksemsi pajak

Penghasilan luar negeri

150.000.000

Perhitungan rugi laba tahun lalu

(50.000.000)

Basis penghitungan eksemsi 100.000.000

Eksemsi pajak 100.000.000 x 25% (25.000.000)

Pajak Penghasilan kurang bayar 75.000.000