Upload
kardana-putra
View
49
Download
15
Embed Size (px)
DESCRIPTION
asdddsa
Citation preview
LAPORAN PENDAHULUAN PADA KLIEN DENGAN RISIKO
PERILAKU KEKERASAN
I. KONSEP DASAR RISIKO PERILAKU KEKERASAN
A. Pengertian
Menurut Berkowitz (1993) perilaku kekerasan adalah perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis, sedangkan
menurut Citrome dan Volavka (2002, dalam Mohr, 2006) perilaku kekerasan
adalah respon dan perilaku manusia untuk merusak dan berkonotasi sebagai
agresif fisik yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dan atau
sesuatu.
Stuart dan Laraia (2005) menyatakan bahwa perilaku kekerasan
adalah hasil dari marah yang ekstrim (kemarahan) atau ketakutan (panik)
sebagai respon terhadap perasaan terancam, baik berupa ancaman serangan
fisik atau konsep diri. Perasaan terancam ini dapat berasal dari stresor
eksternal (penyerangan fisik, kehilangan orang berarti dan kritikan dari orang
lain) dan internal (perasaan gagal di tempat kerja, perasaan tidak
mendapatkan kasih sayang dan ketakutan penyakit fisik).
Menurut Keliat, dkk, perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku
yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis
(Keliat dkk, 2002).
Risiko perilaku kekerasan merupakan perilaku yang memperlihatkan
individu tersebut dapat mengancam secara fisik, emosional dan atau seksual
kepada orang lain (Herdman, 2012).
Sehingga dapat dikatakan bahwa perilaku kekerasan merupakan:
a) Respons emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap kecemasan yang
meningkat dan dirasakan sebagai ancaman (diejek/dihina).
b) Ungkapan perasaan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan
(kecewa, keinginan tidak tercapai, tidak puas).
c) Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Respon Adaptif adalah respon individu dalam penyesuaian masalah
yang dapat diterima oleh norma – norma sosial dan kebudayaan, sedangkan
respon maladaptive yaitu respon individu dalam penyelesaian masalah yang
menyimpang dari norma – norma sosial dan budaya lingkungannya.
B. Rentang Respon
Rentang kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif sampai
maladaptif. Rentang respon kemarahan (Keliat, 2003) dapat digambarkan
sebagai berikut :
Respon adaptif Respon Maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Ngamuk(kekerasan)
a. Asertif adalah mengungkapkan marah tanpa menyakiti, melukai perasaan
orang lain, atau tanpa merendahkan harga diri orang lain.
b. Frustasi adalah respon yang timbul akibat gagal mencapi tujuan atau
keinginan. Frustasi dapat dialami sebagai suatu ancaman dan kecemasan.
Akibat dari ancaman tersebut dapat menimbulkan kemarahan.
c. Pasif adalah respon dimana individu tidak mampu mengungkapkan
perasaan yang dialami.
d. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah namun masih dapat
dikontrol oleh individu. Orang agresif biasanya tidak mau mengetahui hak
orang lain. Dia berpendapat bahwa setiap orang harus bertarung untuk
mendapatkan kepentingan sendiri dan mengharapkan perlakuan yang sama
dari orang lain.
e. Mengamuk adalah rasa marah dan bermusuhan yang kuat disertai
kehilangan kontrol diri. Pada keadaan ini individu dapat merusak dirinya
sendiri maupun terhadap orang lain.
C. Faktor Penyebab Terjadinya Perilaku Kekerasan
Proses terjadinya perilaku kekerasan pada pasien akan dijelaskan dengan
menggunakan konsep stress adaptasi Stuart yang meliputi stressor dari faktor
predisposisi dan presipitasi.
a. Faktor Predisposisi
Hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan, meliputi
:
1) Faktor Biologis
Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya faktor herediter
mengalami gangguan jiwa, riwayat penyakit atau trauma kepala, dan
riwayat penggunaan NAPZA.
2) Faktor Psikologis
Pengalaman marah adalah akibat dari respon psikologis terhadap
stimulus eksternal, internal maupun lingkungan.Perilaku kekerasan
terjadi sebagai hasil dari akumulasi frustrasi. Frustrasi terjadi apabila
keinginan individu untuk mencapai sesuatu menemui kegagalan atau
terhambat, seperti kesehatan fisik yang terganggu, hubungan social
yang terganggu. Salah satu kebutuhan manusia adalah “berperilaku”,
apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi melalui berperilaku
konstruktif, maka yang akan muncul adalah individu tersebut
berperilaku destruktif.
3) Faktor Sosiokultural
Fungsi dan hubungan sosial yang terganggu disertai lingkungan sosial
yang mengancam kebutuhan individu yang mempengaruhi sikap
individu dalam mengekspresikan marah. Norma budaya dapat
mempengaruhi individu untuk berespon asertif atau agresif. Perilaku
kekerasan dapat dipelajari secara langsung melalui proses sosialisasi
(social learning theory), merupakan proses meniru dari lingkungan
yang menggunakan perilaku kekerasan sebagai cara menyelesaikan
masalah
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi yang dapat menimbulkan perilaku kekerasan
pada setiap individu bersifat unik, berbeda satu orang dengan orang yang
lain. Stresor tersebut dapat merupakan penyebab yang bersifat faktor
eksternal maupun internal dari individu.
Faktor internal meliputi keinginan yang tidak terpenuhi, perasaan
kehilangan dan kegagalan akan kehidupan (pekerjaan, pendidikan, dan
kehilangan orang yang dicintai), kekhawatiran terhadap penyakit fisik.
Faktor eksternal meliputi kegiatan atau kejadian sosial yang
berubah seperti serangan fisik atau tindakan kekerasan, kritikan yang
menghina, lingkungan yang terlalu ribut, atau putusnya hubungan
social/kerja/sekolah.
Perilaku kekerasan dapat dibagi menjadi tiga, yakni :
a. Bersumber dari klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidak
berdayaan, percaya diri kurang.
b. Lingkungan : ribut, padat, krtitikan mengarah penghinaan, kehilangan
orang yang dicintai/pekerjaan dan kekerasan/
c. Interaksi dengan orang lain : provokatif dan konflik.
D. Tanda Dan Gejala
Tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat dinilai dari ungkapan pasien dan
didukung dengan hasil observasi.
a. Data Subjektif:
1) Ungkapan berupa ancaman
2) Ungkapan kata-kata kasar
3) Ungkapan ingin memukul/ melukai
b. Data Objektif:
a. Wajah memerah dan tegang
b. Pandangan tajam
c. Otot tegang
d. Mengatupkan rahang dengan kuat
e. Mengepalkan tangan
f. Bicara kasar
g. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
h. Berdebat
i. Mondar mandir
j. Memaksakan kehendak
k. Memukul jika tidak senang
l. Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan
terhadap penyakit (rambut botak karena terapi)
m. Halusinasi dengar dengan perilaku kekerasan tetapi tidak semua
pasien berada ada resiko tinggi
n. Memperlihatkan permusuhan
o. Melempar atau memukul benda/orang lain.
Keliat (2002) mengemukakan bahwa tanda-tanda marah adalah sebagai
berikut :
d. Emosi : tidak adekuat, tidak aman, rasa terganggu, marah(dendam),
jengkel.
e. Fisik : muka merah, pandangan tajam, napas pendek, keringat, sakit
fisik, penyalahgunaan obat dan tekanan darah.
f. Intelektual : mendominasi, bawel, sarkasme, berdebat, meremehkan.
g. Spiritual : kemahakuasaan, kebajikan/kebenaran diri, keraguan, tidak
bermoral, kebejatan, kreativitas terhambat.
h. Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan
humor.
E. Penatalaksanaan Medis1. Terapi Medis
Psikofarmaka adalah terapi menggunakan obat dengan tujuan untuk
mengurangi atau menghilangkan gejala gangguan jiwa. Menurut Depkes
(2000), jenis obat psikofarmaka adalah :
1) Clorpromazine (CPZ, Largactile)
Indikasi untuk mensupresi gejala-gejala psikosa :agitasi, ansietas,
ketegangan, kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala-
gejala lain yang biasanya terdapat pada penderita skizofrenia, mania
depresif, gangguan personalitas, psikosa involution, psikosa masa
kecil.
2) Haloperidol (Haldol, Serenace)
Indikasinya yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma
gilles de la toureette pada anak-anak dan dewasa maupun pada
gangguan perilaku berat pada anak-anak. Dosis oral untuk dewasa 1-
6 mg sehari yang terbagi 6-15 mg untuk keadaan berat.
Kontraindikasinya depresi sistem saraf pusat atau keadaan koma,
penyakit parkinson, hipersensitif terhadap haloperidol. Efek samping
nya sering mengantuk, kaku, tremor lesu, letih, gelisah.
3) Trihexiphenidyl (THP, Artane, Tremin)
Indikasi untuk penatalaksanan manifestasi psikosa khususnya gejala
skizofrenia.
4) ECT (Electro Convulsive Therapy)
ECT adalah pengobatan untuk menimbulkan kejang granmall secara
artificial dengan melewatkan aliran listrik melalui elektrode yang
dipasang satu atau dua temples. Therapi kejang listrik diberikan pada
skizofrenia yang tidak mempan denga terapi neuroleptika oral atau
injeksi, dosis terapi kejang listrik 4-5 joule/detik.
2. Tindakan Keperawatan
Keliat, dkk. (2002) mengemukakan cara khusus yang dapat dilakukan
keluarga dalam mengatasi marah klien yaitu :
1) Latihan secara non verbal /perilaku(memukul)
Arahkan klien untuk memukul barang yang tidak mudah rusak
sseperti bantal, kasur.
2) Latihan cara sosial atau verbal
Bantu klien relaksasi misalnya latihan fisik maupun olahraga. Latihan
pernapasan 2 x/hari, tiap kali 10 kali tarikan dan hembusan napas.
Kemudian Berteriak, menjerit untuk melepaskan perasaan marah. Bisa
juga mengatasi marah dengan dilakukan tiga cara, yaitu:
mengungkapkan, meminta, menolak dengan benar. Bantu melalui
humor. Jaga humor tidak menyakiti orang, observasi ekspresi muka
orang yang menjadi sasaran dan diskusi cara umum yang sesuai.
II. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
A. Pengkajian Risiko Perilaku Kekerasan
1. Pengumpulan data
a. Identitas klien
Meliputi nama klien, umur, jenis kelamin, status perkawinan, agama,
tanggal MRS (masuk rumah sakit), informan, tanggal pengkajian, No
Rumah Sakit dan alamat klien.
b. Keluhan utama
Tanyakan pada keluarga/klien hal yang menyebabkan klien dan
keluarga datang ke rumah sakit. Yang telah dilakukan keluarga untuk
mengatasi masalah, dan perkembangan yang dicapai
c. Faktor predisposisi
Tanyakan pada klien/keluarga, apakah klien pernah mengalami
gangguan jiwa pada masa lalu, pernah melakukan atau mengalami
penganiayaan fisik, seksual, penolakan dari lingkungan, kekerasan
dalam keluarga dan tindakan criminal. Dan pengkajiannya meliputi
psikologis, biologis, dan social budaya.
d. Aspek fisik/biologis
Hasil pengukuran tanda-tanda vital (TD, Nadi, Suhu, Pernafasan, TB,
BB) dan keluhan fisik yang dialami oleh klien.
e. Aspek psikososial
1) Genogram menggambarkan tiga generasi yang dapat
menggambarkan hubungan klien dan keluarga, masalah yang
terkait dengan komunikasi, pengambilan keputusan, dan pola asuh.
2) Konsep diri
a. Citra tubuh: mengenal persepsi klien terhadap tubuhnya, bagian
yang disukai dan tidak disukai.
b. Identitas diri: status dan posisi klien sebelum dirawat, kepuasan
klien terhadap status dan posisinya, dan kepuasan klien sebagai
laki-laki/perempuan.
c. Peran: tugas yang diemban dalam keluarga/kelompok, dan
masyarakat serta kemampuan klien dalam melaksanakan tugas
tersebut.
d. Ideal diri: harapan terhadap tubuh, posisi, status, tugas,
lingkungan, dan penyakitnya.
e. Harga diri: hubungan klien dengan orang lain, penilaian, dan
penghargaan orang lain terhadap dirinya, biasanya terjadi
pengungkapan kekecewaan terhadap dirinya sesuai wujud harga
diri rendah.
3) Hubungan sosial dengan orang lain yang terdekat dalam kehidupan,
kelompok, yang diikuti dalam masyarakat
4) Spiritual, mengenai nilai dan keyakinan dan kegiatan ibadah
f. Status mental
Nilai klien rapi atau tidak, amati pembicaraan klien, aktivitas motorik
klien, afek klien, interaksi selama wawancara, persepsi, proses pikir,
isi pikir, tingkat kesadaran, memori, tingkat konsentrasi, dan
berhitung.
g. Kebutuhan persiapan pulang
1) Kemampuan makan klien dan menyiapkan serta merapikan alat
makan kembali.
2) Kemampuan BAB, BAK, menggunakan dan membersihkan WC
serta membersihkan dan merapikan pakaian.
3) Mandi dan cara berpakaian klien tampak rapi.
4) Istirahat tidur klien, aktivitas didalam dan diluar rumah.
5) Pantau penggunaan obat dan tanyakan reaksinya setelah diminum
h. Mekanisme koping
Terkadang hiperaktif, cenderung lebih sensitive (lebih cepat marah),
emosi terkadang labil.
i. Masalah psikososial dan lingkungan
Masalah berkenaan dengan ekonomi, dukungan kelompok,
lingkungan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, dan pelayanan
kesehatan.
j. Pengetahuan
Didapat dengan wawancara klien dan disimpulkan dalam masalah.
k. Aspek medik
Diagnose medis yang telah dirumuskan dokter, therapy farmakologi,
psikomotor, okopasional, TAK dan rehabilitas.
2. Daftar Masalah
a. Risiko Perilaku Kekerasan
b. Risiko Mencederai Diri Sendiri
c. Koping Individu tidak Efektif
B. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko Perilaku Kekerasan
2. Risiko Mencederai Diri Sendiri
3. Koping Individu tidak Efektif
C. IMPLEMENTASI
Pelaksanaan tindakan keperawatan yang dilakukan pada klien disesuaikan
dengan prioritas masalah yang telah disusun. Pelaksanaan tindakan
keperawatan merupakan realisasi dari perencanaan yang telah dibuat. Yang
paling penting pelaksanaan mengacu pada intervensi yang telah ditentukan
dengan maksud agar kebutuhan klien terpenuhi secara optimal
D. EVALUASI
Tahap evaluasi adalah perbandingan hasil-hasil yang diamati dengan
kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Kemampuan yang harus
dimiliki perawat pada tahap ini adalah memahami respon terhadap intervensi
keperawatan. Kemampuan mengembalikan kesimpulan tentang tujuan yang
dicapai serta kemampuan dalam menghubungkan tindakan-tindakan
keperawatan pada kriteria hasil.
Pada tahap evaluasi ini terdiri 2 kegiatan yaitu:
a. Evaluasi formasi menyatakan evaluasi yang dilakukan pada saat
memberikan intervensi dengan respon segera.
b. Evaluasi sumatif merupakan rekapitulasi dari hasil observasi dan
analisis status klien pada waktu tertentu berdasarkan tujuan yang
direncanakan pada tahap perencanaan. Disamping itu, evaluasi juga
sebagai alat ukur suatu tujuan yang mempunyai kriteria tertentu
yang membuktikan apakah tujuan tercapai, tidak tercapai atau
tercapai sebagian.
1) Tujuan Tercapai
Tujuan dikatakan teracapai bila klien telah menunjukkan
perubahan kemajuan yang sesuai dengan keiteria yang telah
ditetapkan
2) Tujuan tercapai sebagian
Tujuan ini dikatakan tercapai sebagian apabila tujuan tidak
tercapai secara keseluruhan sehingga masih perlu dicari
berbagai masalah atau penyebabnya, seperti klien tidak. mau
mengungkapkan halusinasinya , klien tidak mau menyapa
perawat dan menjabat tangan perawat dan lain-lain.
3) Tujuan tidak tercapai
Dikatakan tidak tercapai apabila tidak menunjukkan adanya
perubahan kearah kemajuan sebagaimana kriteria yang
diharapkan.
Dalam evaluasi yang digunakan adalah format SOAP , Adapun isi dari
SOAP tersebut adalah :
S : Subjective = Pernyataan atau keluhan dari pasien setelah diberikan
tindakan.
O : Objective = Data yang diobservasi oleh perawat atau keluarga.
A : Analisys = Kesimpulan dari objektif dan subjektif
P : Planning = Rencana tindakan yang akan dilakuakan berdasarkan
analisis
I. Referensi
Dadang Hawari, 2001, Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa
Schizofrenia, FKUI; Jakarta.
Depkes RI, 1996, Proses Keperawatan Jiwa, jilid I.
Keliat, B. A. 2002. Asuhan Keperawatan Perilaku Kekerasan, FIK, UI :
Jakarta.
Keliat, B. A. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. (Edisi 2).
Jakarta: EGC.
Pramuditya, Arindra. 2014. Laporan Pendahuluan Risiko Perilaku
Kekerasan. Terdapat pada
arindracase.blogspot.com/2014/10/laporan-pendahuluan-resiko-
prilaku.html. Diakses pada 12 Mei 2014.
Stuart & Sudart. 2007. Buku Saku Keperawatan Jiwa.(Edisi 5). Alih
Bahasa: Ramona P, Kapoh. Jakarta: EGC.
Yoseph, Iyus. 2010. Kepeerawatan Jiwa. (Edisi Revisi). Bandung: Revika
Aditama.