13
 RABIES A. Definisi Rabies Rabies atau dikenal juga dengan istilah penyakit anjing gila adalah penyakit infeksi yang bersifat akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Bersifat fatal viral encephalomyelitis akut yang menyerang carnivora dan kelelawar, meskipun dapat menginfeksi mamalia juga manusia Menurut cara penularannya rabies termasuk golongan zoonosis langsung (direct zoonosis) yaitu zoonosis yang hanya memerlukan satu jenis vertebrata saja untuk kelangsungan hidupnya, dan agen penyebab penyakit hanya sedikit berubah atau malahan tidak mengalami perubahan sama sekali selama penularan. Sedangkan menurut reservoir utamanya rabies digolongkan dalam antropozoonosis, yaitu penyakit yang secara bebas berkembang di alam di antara hewan-hewan liar maupun domestik. Manusia hanya kadang-kadang saja terinfeksi dan merupakan titik akhir dari infeksi. Menurut agen penyebabnya rabies merupakan zoonosis kausa viral. Rabies dapat ditularkan oleh satwa liar (wild life zoonosis), hewan piara (domesticated animal zoonosis) maupun hewan yang hidup dipemukiman manusia (domiciliated zoonosis). (1) . Faktor resiko yang menjadi hambatan dan peluang penyebaran dari rabies adalah: menyerang hewan liar (terutama skunk, raccon, kelelawar dan rubah), kurang cukupnya vaksinasi anti rabies dan luka gigitan/cakaran dari anjing, kucing atau hewan liar yang belum divaksin (3) . B. Etiologi, Patofisiologi dan Gejala Klinis  Gambar 1 : Lyssavirus  

Rabies (1)

Embed Size (px)

Citation preview

RABIESA. Definisi Rabies

Rabies atau dikenal juga dengan istilah penyakit anjing gila adalah penyakit infeksi yang bersifat akut pada susunan saraf pusat yang disebabkan oleh virus rabies. Bersifat fatal viral encephalomyelitis akut yang menyerang carnivora dan kelelawar, meskipun dapat menginfeksi mamalia juga manusia Menurut cara penularannya rabies termasuk golongan zoonosis langsung (direct zoonosis) yaitu zoonosis yang hanya memerlukan satu jenis vertebrata saja untuk kelangsungan hidupnya, dan agen penyebab penyakit hanya sedikit berubah atau malahan tidak mengalami perubahan sama sekali selama penularan. Sedangkan menurut reservoir utamanya rabies digolongkan dalam antropozoonosis, yaitu penyakit yang secara bebas berkembang di alam di antara hewan-hewan liar maupun domestik. Manusia hanya kadang-kadang saja terinfeksi dan merupakan titik akhir dari infeksi. Menurut agen penyebabnya rabies merupakan zoonosis kausa viral. Rabies dapat ditularkan oleh satwa liar (wild life zoonosis), hewan piara (domesticated animal zoonosis) maupun hewan yang hidup dipemukiman manusia (domiciliated zoonosis).(1). Faktor resiko yang menjadi hambatan dan peluang penyebaran dari rabies adalah: menyerang hewan liar (terutama skunk, raccon, kelelawar dan rubah), kurang cukupnya vaksinasi anti rabies dan luka gigitan/cakaran dari anjing, kucing atau hewan liar yang belum divaksin (3).B. Etiologi, Patofisiologi dan Gejala Klinis

Gambar 1 : Lyssavirus

Etiologi :Rabies merupakan penyakit zoonosis yang dapat menular melalui semua hewan berdarah panas dan hampir semua kejadian infeksinya akan berakhir dengan kematian. Penyakit ini disebabkan oleh Rhabdovirus Virus ini berbentuk peluru berkapsula dengan ukuran 70x170 nm. Kapsula yang menyelubungi nya tersusun atas peplomer glikoprotein, bahan protein (protein matrix) dan lipoprotein. Virus ini memiliki nukleo kapsid dengan simetri heliks, genom sRNA linear polaritas minus, 11-12 kb. Rhabdovirus mereplikasi diri dalam sitoplasma, transkiptrase virus mentranskripsi lima RNA subgenom yang ditranslasi menjadi lima protein yaitu transkriptase (150 K), Nukleoprotein (50-62 K), protein matrix (20-30 K), peplomer glikoprotein (70-80 K) dan protein tidak bersturktur (40-50 K). pendewasaan virus ini melalui penguncupan menembus membrane (Fenner, 1987). Rhabdovirus mempunyai masa inkubasi selama 10 hari 6 bulan namun, biasanya 3-8 minggu (Soeharsono,2002).

Gambar 2. Struktur dan komposisi virus Rabies

Ket: Virus rabies dengan bentuk seperti peluru yang dikelilingi oleh paku-paku glikoprotein. Glikonukleoproteinnya tersusun dari nukleoprotein, phosphorylated atau phosphoprotein dan polimerase. Diagram melintang ini menunjukkan lapisan konsentrik yaitu amplop dengan membrane ganda, protein m dan digulung dalam RNA.

Gambar 3. Cross Sectional dari virus Rabies

Ket : Rabies adalah RNA virus. Genomnya terdiri dari 5 protein yang dikenal dengan N, P, M, G dan L. Ukuran gen dan ordo relatif dari genom ditunjukkan pada gambar di bawah ini. Protein dan RNA genom menentukan struktur virus rabies.

Gambar 4. Cara Penularan Virus Rabies

. Penularan rabies biasanya terjadi melalui gigitan hewan yang telah terinfeksi, pencemaran luka segar atau selaput lendir dengan saliva atau otak hewan yang telah terinfeksi. Pada kasus tertentu penularan melalaui udara dapat juga terjadi (Schnurrenberger,1991). Virus ini berkembang biak dalam kelenjar ludah. Sangat peka terhadap pelarut yang bersifat alkalis seperti sabun, desinfektan, alkohol, dll. (2) Sistem yang diserang adalah Sistem syaraf atau nervous system : clinical encephalitis yang dapat bersifat paralitik / furious dan glandula salivarius : mengandung sejumlah besar partikel virus yang berada di saliva.(3)Patofisiologi : Virus masuk ke tubuh melalui luka (biasanya dari gigitan hewan buas) atau lewat membrana mucosa, bereplikasi di mycosit; menyebar ke jaringan ikat neuromusculer dan spindle neurotendineal; berjalan ke CNS lewat cairan intraaxonal dengan nervus perifer; menyebar keseluruhan ke CNS; akhirnya menyebar secara sentrifugal dengan motor perifer, sensori, dan neuron.(3)

.Gambar 5 : Transmisi penyakit rabies(3)

Masa inkubasi rabies adalah 20-90 hari, sangat tergantung pada tingkat keparahan luka, lokasi dan jarak luka dari otak, dan jumlah dan strain virus yang masuk. Semakin dekat dengan otak, semakin berbahaya. Hewan yang terkena rabies biasanya dalam kurun waktu 14 hari akan mati. Rabies endemik pada populasi anjing pada kebanyakan negara berkembang, namun tidak selalu dilaporkan sehingga menyebabkan kurang akuratnya data(2) .

Gambar 5. Tahap Patogenesis Rabies

Meskipun sangat jarang terjadi, rabies juga dapat menular melalui penghirupan udara yang tercemar virus rabies. Dua pekerja laboratorium telah mengkonfirmasi hal ini setelah mereka terekspos udara yang mengandung virus rabies. Pada tahun 1950, dilaporkan dua kasus rabies terjadi pada penjelajah gua di Frio Cave, Texas yang menghirup udara di mana ada jutaan kelelawar hidup di tempat tersebut. Mereka diduga tertular lewat udara karena tidak ditemukan sama sekali adanya tanda-tanda bekas gigitan kelelawar (7). . Penularan antar manusia : Penularan dari orang ke orang secara teoritis dimungkinkan oleh karena liur orang yang terinfeksi dapat mengandung virus, namun hal ini belum pernah didokumentasikan. Transplantasi organ (cornea) orang yang meninggal karena penyakit sistem saraf pusat yang tidak terdiagnosa dapat menularkan rabies kepada penerima organ tadi. Penyebaran melalui udara telah dibuktikan, namun kejadiannya sangat jarang(2)

.

Gejala Klinis Pada Hewan: Anjing muda lebih relatif lebih peka dibandingkan hewan dewasa. Masa inkubasi rata-rata 3 s.d 6 minggu dengan variasi yang tinggi , bisa 10 hari atau 6 bulan, jarang kurang dari 2 minggu atau lebih dari 4 bulan. Virus rabies dijumpai pada air liur anjing segera setelah gejala klinis tampak. Ada tiga bentuk rabies pada hewan yaitu (5): a) Furious rabies (bentuk ganas) b) Dumb rabies (bentuk tenang) c) Asimtomatik rabies Pada anjing dan kucing biasanya bersifat ganas. Masa inkubasi 10-60 hari namun bisa juga lebih lama. Air liur binatang sakit yang mengandung virus menularkan virus melalui gigitan atau cakaran (2).

Gejala klinis dari tiga bentuk rabies pada hewan(5) :1. Bentuk ganas (Furious rabies) Masa eksitasi panjang, kebanyakan akan mati dalam 2-5 hari setelah tanda-tanda terlihat. Tanda-tanda yang sering terlihat: Hewan menjadi penakut atau menjadi galak; Senang bersembunyi di tempat-tempat yang dingin, gelap dan menyendiri tetapi dapat menjadi agresif; Tidak menurut perintah majikannya; Nafsu makan hilang; Air liur meleleh tak terkendali; Hewan akan menyerang benda yang ada disekitarnya dan memakan barang, bendabenda asing seperti batu, kayu dsb; Menyerang dan menggigit barang bergerak apa saja yang dijumpai; Kejang-kejang disusul dengan kelumpuhan; ekor diantara 2 (dua) paha.-

2. Bentuk diam (Dumb Rabies) Masa eksitasi pendek, paralisa cepat terjadi. Tanda- tanda yang sering terlihat : Bersembunyi di tempat yang gelap dan sejuk Kejang-kejang berlangsung sangat singkat, bahakan sering tidak terlihat. Lumpuh, tidak dapat menelan, mulut terbuka. Air liur keluar terus menerus (berlebihan).

Mati.

3. Bentuk Asimtomatis: Hewan tidak menunjukkan gejala sakit dan atau hewan tiba-tiba mati Rabies Pada Kucing mempunyai gejala atau tanda-tanda yang hampir sama dengan gejala pada anjing, seperti : menyembunyikan diri, banyak mengeong, mencakar-cakar lantai dan menjadi agresif. Pada 2 - 4 hari setelah gejala pertama biasa terjadi kelumpuhan, terutama di bagian belakang (5). Berikut fase-fase yang dilalui saat hewan terpapar rabies bentuk ganas (furious rabies), yaitu : Fase prodormal (fase awal) : ditandai dengan bersikap tidak normal, bersembunyi di tempat yang gelap, gelisah, tidak dapat tidur, refleks keaktifan meningkat, anoreksia, nyeri pada gigitan, temperatur meningkat sedikit. Fase eksitasi : setelah 1-3 hari, agresif, cenderung menggigit barang, hewan dan manusia termasuk pemiliknya sendiri. Bahkan kadang kadang menggigit dirinya sendiri. Hewan mengalami hipersalivasi karena hewan tidak bisa menelan salivanya sendiri akibat paralisa otot untuk menelan, gonggongannya berubah karena paralisa sebagaian syaraf vokal, hewan cenderung meninggalkan rumah dan lari jauh, seringkali menyerang anjing dan hewan lain. Fase paralisis : konvulsi, diikuti inkoordinasi otot dan kelumpuhan. Selain bentuk ganas bisa juga dijumpai rabies bentuk diam dengan gejala kelumpuhan,fase eksitasi sangat pendek kadang kadang tidak ada, kelumpuhan mulai otot kepala dan leher. Hewan sulit menelan kemudian diikuti total dan berakhir dengan kematian.

-

Gambar 3 : Gejala rabies

C. Diagnosis, Prognosis dan Diferensial Diagnosis Diagnosis : Hewan yang terjangkit rabies dapat didiagnosis dengan immunoflourensi langsung dari jaringan otak. Dapat pula menggunakan reaksi rantai polymerase (PCR). Dari diagnosis antemortem dapat digunakan uji flourensease atau PCR pada biopsi kulit, sediaan sentuhan kornea atau sediaan air liur (Schnurrenberger,1991). Diagnosis pada hewan berdasar gejala klinis awal dan observasi atas perubahan perilaku hewan, terutama yang melakukan penyerangan tanpa inisiasi. Satu-satunya uji yang menghasilkan keakuratan 100% terhadap virus rabies adalah dengan uji antibody fluoresensi langsung (dFAT) pada jaringan otak hewan yang terinfeksi(10). Diagnosis secara ELISA juga direkomendasikan oleh OIE untuk menentukan tingkat imunitas post vaksinasi pada anjing dan kucing (bahan regulasi pergerakan dan perdagangan internasional) dan populasi anjing liar (monitoring program vaksinasi hewan liar) dengan specimen berupa serum anjing, kucing dan anjing liar (Platelia Rabies II)(11). Beberapa prosedur diagnosis lainnya : FAT (Fluorescent Antibody Technique) test, Isolasi kultur sel, Identifikasi dengan antibody monoclonal dan Intra vitam diagnosis (3) Prognosis : Fatal (menyebabkan kematian), semua anjing dan kucing dengan gejala klinis akan mati dalam 7-10 hari dari gejala klinis Pemeriksaan Pathologik Perubahan makros: umumnya tidak ada, hanya ditemukan penyakit neurologik dramatik Perubahan histopatologi : akut sampai kronik polioencephalitis; peningkatan proses keradangan non suppuratif pada CNS sebagai kemajuan diagnosa, banyak syaraf dengan otak mengandung benda inklusi intrasitoplasmik klasik (Negri bodies) Diferensial diagnosis Beberapa penyakit syaraf : tumor otak, viral encephalitis Luka kepala : Identifikasi lesi dari luka Paralisis laryngeal Tercekik

Pengobatan : Tidak ada treatmen/pengobatan untuk hewan positif rabies, sekali diagnosa positif, diindikasikan euthanasia(3).

D. Program

Pengendalian

dan

Pemberantasan

Rabies

pada

Hewan

:

Secara umum pengendalian rabies pada hewan dilakukan dengan : (1) Pencegahan keterpaparan pada hewan dengan vaksinasi dan cara pemeliharaan hewan yang baik; (2) Pemberantasan (eliminasi) hewan tak bertuan, terutama anjing. Dilakukan dengan peracunan menggunakan strychnine terhadap anjing liar yang berkeliaran di tempat-tempat tertentu misalnya pasar dan tempat pembuangan sampah. Dengan adanya kesadaran tentang kesejahteraan hewan (animal welfare), tindakan peracunan ini harus dipertimbangkan lagi. Program lokal vaksinasi anjing dan kucing, pembatasan gerakan (pengandangan), dan penghapusan binatang liar atau yang tidak diinginkan adalah cara/metode yang sangat efektif untuk kontrol penyakit rabies (Smith, Jean S; 1996). Hewan tersangka rabies atau menderita rabies, petugas berwenang (Dinas setempat) harus melakukan penangkapan dan melakukan eliminasi pada hewan tersebut sesuai dengan ketentuan yang berlaku (jika terinfeksi Rabies) (12).Tabel 1. Tabel tindakan terhadap hewan dalam pengendalian rabies Hewan yang divaksin(12)

Isolasi dan Observasi selama 14 hari Jika dalam mas observasi anjing/kucing tetap hidup dibebaskan tetapi jika najing tidak berpemilik maka dilakukan eliminasi Jika dalam masa observasi anjing mati, otak anjing tersangka dikirm ke Laboratorium untuk peneguhan diagnosa Rabies Isolasi dan Observasi selama 14 hari Jika dalam mas observasi anjing/kucing tetap hidup dibebaskan tetapi jika najing tidak berpemilik maka dilakukan eliminasi Jika dalam masa observasi anjing mati, otak anjing tersangka dikirm ke Laboratorium untuk peneguhan diagnosa Rabies

Mengigit/mencakar

Hewan yang kontak dengan HPR

Hewan yang tidak divaksin Mengigit / mencakar berpemilik

Isolasi dan Observasi selama 14 hari Jika dalam mas observasi anjing/kucing tetap hidup dibebaskan tetapi jika anjing tidak berpemilik maka dilakukan eliminasi Jika dalam masa observasi anjing mati, otak anjing tersangka dikirm ke Laboratorium untuk peneguhan diagnosa Rabies Anjing dieliminasi dan peneguhan diagnosa diambil spesimen untuk

Mengigit/mencakar tidak berpemilik

Apabila setelah dilakukan observasi selama lebih kurang dua minggu ternyata hewan itu masih hidup, maka hewan tersangka diserahkan kembali kepada pemiliknya setelah divaksinasi, atau dapat dilakukan eliminasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku apabila tidak ada pemilikinya E. Antibodi Hewan terhadap Rabies Usaha yang dapat dilakukan untuk mencegah infeksi rabies dapat dilakukan dengan vaksinasi. Tingkat keberhasilan vaksinasi sangat tergantung pada beberapa hal kemampuan ketrampilan tenaga kesehatan yang melakukan vaksinasi, proses penyimpanan, pengangkutan vaksin serta hal-hal teknis yang berkaitan dengan pemberian vaksin rabies tersebut kepada anjing. Tingkat kesehatan anjing sangat mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Apabila anjing yang akan divaksin kondisi tubuhnya tidak benarbenar sehat, antibodi terhadap vaksin tersebut tidak akan terbentuk sempurna. Sehingga vaksinasi yang diberikan tidak akan memberi pengaruh pada kondisi kesehatan anjing. Vaksin rabies hewan dibuat pada biakan sel sebagai vaksin inaktif. Namun dibeberapa negara juga digunakan vaksin virus-hidup yang diatenuasi (Fenner, 1987). Selain itu vaksin metode pembuatan vaksin rabies dapat dilakukan dengan cara lintasan berulang pada telur yaitu galur lintas telur rendah (LEP) dan vaksin lintas telur tinggi (MEP) (Tizard, 1988). Baru-baru ini juga dikembangkan vaksin dengan teknologi baru yaitu HTLP (high titer and low passage) (Anonim2, 2009). Apabila ditinjau dari cara pembentukan zat antibodi pada anjing terdapat dua sistem kekebalan yaitu, sistem kekebalan pasif dan system kekebalan aktif. Sistem kekebalan pasif adalah kekebalan yang didapatkan dari anjing lain baik yang diperoleh dari induk cairan limfosit dan cairan antibodi yang disuntikkan serta vaksinasi (Tizard, 1988). Mekanisme Specific Defenses dapat berupa hummoral immunity atau cell-mediated immunity. hummoral immunity adalah sistem imun yang terbentuk karena sel Limfosit B mengalami kontak dengan antigen lalu berkembang menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi. Sedangkan cell-mediated immunity terjadi karena sel Limfosit T terinfeksi bakteri, virus, sel kanker, atau jaringan transplantasi. Limfosit T akan menstimulasi limfosit B untuk memproduksi antibodi. Limfosit B dan Limfosit T dibedakan berdasarkan tempat deferensiasi dan adanya reseptor khusus pada membrannya. Pada Limfosit B reseptor ini berupa immunoglobulin, sedangkan pada

Limfosit T reseptor ini adalah molekul khusus yang disebut reseptor sel T (TCR) (Tizard, 1988).

F. Sekilas Kejadian dan Pembebasan Rabies di Indonesia Berdasarkan kesepakatan bersama bahwa upaya pembebasan rabies per pulau sampai saat ini belum menunjukkan keberhasilan, bahkan cenderung di berbagai propinsi dilaporkan adanya kematian pada daerah tertular. Meskipun telah diterbitkan SK Menteri Pertanian No. 566/KPTS/PD.640/10/2004 tentang pernyataan bahwa Propinsi Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat dinyatakan bebas rabies, akan tetapi pada awal tahun 2005 kembali muncul kasus gigitan oleh hewan positif rabies di Kabupaten Garut, dan selanjutnya diikuti di Kab. Tasikmalaya ( 1 orang meninggal). Namun dalam kenyataannya, Pemerintah Kabupaten/Kota tidak dapat menyediakan VAR manusia yang dibutuhkan, sehingga perlu meminta bantuan pihak Dinas Kesehatan Propinsi bahkan ke Ditjen PP-PL Depkes. Berdasarkan laporan yang kami terima situasi rabies di Indonesia dari tiap provinsi pada tahun 2006 dari 10.760 kasus Gigitan HPR ternyata hanya 646 spesimen yang dapat diperiksa. Hal ini menunjukkan bahwa masih sangat banyak HPR yang menggigit tidak dapat diperiksa spesimennya, sehingga mau tidak mau pihak Dinas Kesehatan harus memberikan vaksinasi terhadap manusia yang digigit, untuk mengurangi risiko lebih lanjut yaitu kematian (1). Pulau Bali yang secara historis bebas dari rabies, sejak bulan Desember 2008 telah dinyatakan sebagai daerah tertular rabies berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian nomor 1637.1/ Kpts/PD. 610/12/2008. Demikian pula dengan pulau Nias di Sumatra yang secara historis juga merupakan daerah bebas rabies, telah dinyatakan tertular melalui Keputusan Menteri Pertanian no 1242/Kpts/PD.620/3/2010 tentang Pernyataan Berjangkitnya Wabah Penyakit Anjing Gila (Rabies) Di Kota Gunungsitoli Provinsi Sumatera Utara Provinsi Jawa Barat dan Banten yang tadinya telah dinyatakan bebas dari rabies pada tahun 2004, sejak tahun 2009 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 3600/Kpts/PD.640/10/2009 tentang Pernyataan berjangkitnya penyakit anjing gila (Rabies) di kabupaten Garut, Tasikmalaya, Sukabumi, Cianjur dan Kota Sukabumi di Provinsi Jawa Barat serta Kabupaten Lebak di Provinsi Banten telah dinyatakan tidak bebas lagi(13). Ada sedikit kisah sukses pengendalian dan pemberantasan rabies di Indonesia, yaitu pulau Jawa berhasil dibebaskan dari Rabies pada tahun 2004 setelah sebelumnya Pulau Jawa bagian tengah dan timur meliputi Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur dibebaskan terlebih dahulu pada tahun 1996. Walaupun

kemudian penyakit ini muncul lagi (reoccurrence) di Garut (2005, 2007) dan Tasikmalaya (2006) Provinsi Jawa Barat serta Lebak (2008) Provinsi Banten. Kisah sukses lainnya adalah keberhasilan membatasi outbreak rabies di Provinsi Kalimantan Barat (2005) menjadi hanya outbreak tunggal (1). Rabies di Indonesia bersifat zoonosis yang sangat mematikan yaitu case fatality rate (CFR) nya 100%, dapat ditularkan juga melalui jilatan pada luka atau selaput lendir dan melalui udara (aerogen). Tindakan pencegahan pada hewan dilakukan melalui Hewan yang divaksinasi dan vaksinasi dengan vaksin inaktif (killed) secara intramusculer atau intradermal dan vaksin aktif (live virus) secara injeksi atau peroral. daerah endemik. Di daerah endemik, terdapat hewan (anjing, kucing, carnivora liar) yang bertindak sebagai carrier tanpa menunjukkan gejala klinis, terutama hewan-hewan yang dibiarkan tidak terpelihara dengan baik dan tidak divaksinasi. Hewan carrier tersebut harus dicegah masuk ke daerah bebas (Juknis Rabies,2006). Tingginya lalu lintas hewan dan manusia merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi meluasnya rabies. Sebesar 98 persen rabies di Indonesia ditularkan oleh anjing. Pada awalnya, pergerakan hewan pembawa rabies, terutama anjing, berpengaruh terhadap perluasan rabies ke daerah yang semula tidak ada kasus rabies. Konsumsi daging anjing juga berpengaruh karena kadang-kadang anjing-anjing dari berbagai tempat dikumpulkan terlebih dahulu di suatu tempat (6). Kunci penanganan zoonosis, seperti rabies, ialah melakukan deteksi awal, pelaporan, dan respons yang cepat (6). G. Penanganan Rabies di DKI Jakarta Sejak tahun 1926 pemerintah telah mengeluarkan peraturan tentang rabies pada anjing, kucing, dan kera. Yaitu Hondsdol heid Ordonantie Staatblad No. 452 tahun 1926 dan pelaksanaannya termuat dalam Staatblad No. 452 tahun 1926. Selanjutnya Ordonantie tersebut tersebut mengalami perubahan/penambahanpenambahan yang disesuaikan dengan perkembangan yang ada. Di DKI Jakarta terdapat SK Gubernur No. 3213 tahun 1984 tentang Tatacara Penertiban Hewan Piaraan Anjing, Kucing dan Kera di wilayah DKI Jakarta yang antara lain berisi : Kewajiban pemilik hewan piaraan untuk memvaksin hewannya dan menggantungkan peneng tanda lunas pajak. kebal (titer antibodi > 0,5 IU/ml) tidak mengandung virus walaupun berasal dari

Menangkap dan menyerahkan hewannya apabila mengigit orang untuk diobservasi. Hewan yang dibiarkan lepas dan dianggap liar atau tersangka menderita rabies akan ditangkap oleh petugas penertiban. Selain itu Pemerintah DKI Jakarta juga mempunyai Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 1995 tentang Pengawasan Hewan Rentan Rabies, serta Pencegahan dan Penanggulangan Rabies di DKI Jakarta yang antara lain memuat tentang vaksinasi, aturan pemeliharaan terhadap pemelihara hewan rentan rabies serta aturan terhadap hewan rentan rabies yang berkeliaran di luar pekarangan pemilik. Pemerintah Propinsi DKI Jakarta juga telah melaksanakan surveilans 3 (tiga) tahun terakhir ini berupa vaksinasi yang dilanjutkan dengan monitoring titer antibody post vaksinasi dengan menggunakan metode ELISA. (drh. Jekti M dan drh. Asyhari)

DAFTAR PUSTAKA1. Anonimus(1). 2010. Rabies di Indonesia : Usulan Tindakan Pengendalian ; http://kafeungu.blogspot.com/2009/11/rabies-di-indonesia-usulan-tindakan.html 2. Anonimus(2).2010. Penyakit Rabies; http://id.shvoong.com/exact-sciences/veterinary/2027648rabies/ 3. Anonimus(3). 2010. Artikel Pets Animals Penyakit Rabies; http://www.vet-klinik.com/petsAnimals/Penyakit-rabies.html 4. Anonimus(4). Petunjuk Teknis Penatalaksanaan. 5. Anonimus(5).2010. Penyakit Anjing Gila (Rabies), Sumber : Suku Dinas Peternakan dan Perikanan Kodya Jakarta Pusat; http://www.indoforum.org/archive/index.php/t-11437.html 6. Anonimus(6).2010. 24 Provinsi Endemik Rabies; Kompas; http://health.kompas.com/read/2010/09/16/03552388/24.Provinsi.Endemik.Rabies 7. Anonimus(7).2010. Anjing Gila, Pengertian, Sejarah, Penyebab, Cara Mengatasi; http://ridwanaz.com/kesehatan/anjing-gila-pengertian-sejarah-penyebab-cara-mengatasi/ 8. Anonimus(8).2010. Rabies Ancam DKI, Ribuan Hewan Divaksinasi; http://metro.vivanews.com/news/read/185922-jakarta-cegah-rabies-ribuan-hewan-divaksinasi 9. Rabies ; http://id.wikipedia.org/wiki/Rabies/ 10. OIE; 2007; OIE Procedure for Validation and Certification of Diagnostic Assay 11. Pengobatan, Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan; http://www.civas.net/content/pengobatan-pencegahan-pengendalian-dan-pemberantasan 12. Menuju Sumatra Bebas Rabies Tahun 2015; http://www.bkpcilegon.com/cetak.php?id=50 13. J. Frank, Fenner. 1987. Veterinary Virologi. [ D. K. Harya Putra, K. G. Suaryana]. Semarang: IKIP Semarang Press. 257:279 14. Perda Nomor 11 DKI Jakarta Tahun 1995 tentang Pengawasan Hewan Rentan Rabies, Serta Pencegahan dan Penaggulangan Rabies di Daerah Khusus Ibukota Jakarta 15. Smith, Jean S; 1996; New Aspects of Rabies with Emphasis on Epidemiology, Diagnosis and Prevention of the Disease in the United States; Clinical Microbiology Reviews Vol. 9, No.2. 16. Soeharsono. 2002. Zoonosis. Jogjakarta: Kanisius. 67:72

17. Sudomo, Agung; Kusuma, Megasari; Maryuni, Vivi. IPB. 2009. Program Kreativitas Mahasiswa. Pemanfaatan Habbatus Sauda Untuk Terapi Penunjang Pencegah Rabies Pada Anjing 18. Tizard, Ian. 1988. Immunologi Veteriner Ed. 2. Surabaya: Penerbit Universitas Airlangga. 203:206, 224:232 19. Schnurrenberger, R. Paul.1991. An Outline of the Zoonoses.Alabama: The Iowa State University Press. 60:63