Referat Trauma

Embed Size (px)

Citation preview

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan petunjuk-Nya penulis dapat menyelesaikan referat berjudul Tonsilitis difteri ini tepat pada waktunya. Referat ini dibuat dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian Telinga Hidung dan Tenggorok RSUD Karawang. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Yuswandi Affandi Sp.THT dan Dr. Ivan Djajalaga, M.Kes, Sp.THT selaku dokter pembimbing dalam kepaniteraan klinik THT ini dan rekan-rekan koas yang ikut membantu memberikan semangat dan dukungan moril. Penulis menyadari bahwa referat ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam bidang THT khususnya dan bidang kedokteran yang lain pada umumnya.

Karawang, 7 September 2011

Penulis

1

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I : Pendahuluan BAB II : Presentasi klinis dan pendekatan untuk pasien dengan trauma wajah BAB III : Anatomi dan kontraindikasi BAB IV : Pemeriksaan Penunjang Terapi Komplikasi Prognosis BAB V : Masa Depan dan kontroversi DAFTAR PUSTAKA

1 2 3 5 10 12

21 22

2

BAB IPENDAHULUAN Cedera Maksilofasial yang biasa ditemui dalam praktek pengobatan darurat. Lebih dari 50% pasien dengan cedera ini memiliki trauma multisistem yang memerlukan manajemen melibatkan koordinasi antara dokter spesialis bedah darurat ,THT, bedah trauma, bedah plastik, oftalmologi, dan bedah mulut dan maksilofasial.

Masalah Trauma maksilofasial memerlukan pemerhatian yang khusus karena di wajah terdapat sistem yang mengontrol fungsi-fungsi khusus termasuk melihat, mendengar, mencium, bernapas, makan, dan berbicara. Di wajah juga berdekatan dengan bagian vital di daerah kepala dan leher sangat berkaitan erat. Maka, gangguan-gangguan fisiologis akan terganggu bila terjadi trauma pada wajah. Regio maksilofasial dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama adalah bagian atas wajah, di mana fraktur melibatkan os frontal dan sinus. Bagian kedua adalah midface dibagi menjadi bagian atas dan bawah. Bagian midface atas adalah di mana rahang atas Le Fort II dan III Le Fort terjadi dan / atau di mana fraktur os nasal, nasoethmoidal atau zigomaticomaxilla kompleks, dan dasar orbita.Le Fort Iadalah fraktur di bagian bawah midface tersebut.Bagian ketiga dari region maksilofasial adalah wajah bagian bawah, di mana fraktur yang terisolasi ke mandibula Epidemiologi Lebih dari 3 juta cedera wajah terjadi di Amerika Syarikat setiap tahun kebanyakannya sekunder kepada perkelahian dan kecelakaan kenderaan bermotor. Informasi tentang penyebab fraktur wajah tergantung pada negara dan lokasi trauma, karena itu,maka statistik yang dilaporkan sangat variasi

Etiologi Trauma wajah di kawasan kota paling sering disebabkan oleh perkelahian, diikuti oleh kendaraan bermotor dan kecelakaan industri. Os zigoma dan mandibular adalah tulang yang paling sering frakturkarena perkelahian. Trauma wajah dalam komuniti yang paling sering3

adalah akibat kecelakaan kendaraan bermotor, kemudian karena perkelahian dan aktivitas rekreasi. Kecelakaan kendaraan bermotor sering menyebabkan frakturdi midface, terutama pada pasien yang tidak mengenakan sabuk pengaman. Penyebab penting lain dari trauma wajah termasuk trauma tusuk, kekerasan dalam rumah tangga, dan penderaan anak-anak dan orang tua.

Patofisiologi Kehadiran energi kinetik dalam benda bergerak adalah dari massa dikalikan dengan kuadrat kecepatannya. Penyebaran energi kinetik saat deselerasi menghasilkan kekuatan yang menyebabkan kecederaan. Tekanan tinggi dan rendah sesuatu kekuatan didefinisikan sebagai besar atau kecil dari 50 kali gaya gravitasi. Regio wajah tertentu memerlukan kekuatan gaya tertentu untuk mengakibatkan fraktur.Bagian supraorbital, mandibula (simfisis dan sudut), dan os frontal memerlukan kekuatan bertekanan tinggi untuk menyebabkan fraktur.Fraktur di os zigoma dan os nasal hanya memerlukan kekuatan tekanan yang rendah sahaja.

4

BAB II PRESENTASI KLINIS DAN PENDEKATAN UNTUK PASIEN DENGAN TRAUMA WAJAH. y Fraktur tulang frontal o Ditandai dengan distruksi atau krepitasi pada supraorbital rims, emfisema subkutan, dan parestesi pada supraorbital dan nervus supratrochlear. Fraktur dasar orbital o Edema periorbital, krepitasi, ekimosis, enofthalmus, dan cedera pada mata bisa terlihat. Kerusakan nervus infraorbital menyebabkan parestesi atau anestesi pada daerah pipi dan gusi bagian atas yang terkena. Gangguan gerakan bola mata pada arah lateral dan atas bisa disebabkan oleh gangguan pada muskulus rektus medial dan inferior yang akan menyebabkan keluhan diplopia pada pasien.

y

y

Fraktur nasal o Hidung akan tampak membengkak dan bisa terdapat epistaksis. Pada palpasi bisa dirasakan dislokasi dan krepitasi.

y

Fraktur nasoetmoidalis o Ditandai dengan telechantus ( pelebaran dan datar pada pangkal hidung), epistaksis, rinorea (cairan serebrospinal), dan epifora (air mata keluar spontan) akibat daripada penutupan duktus nasolakrimal.

y

Fraktur arcus zigoma o Nyeri pada palpasi dan pembatasan gerakan mandibula.

y

Fraktur kompleks zigomatikomaksila o Penemuan klinis yang bisa ditemukan adalah penekanan eminence, tulang pipi yang datar dan nyeri saat palpasi. Pendarahan subkonjungtiva juga bisa ditemukan. Parestesi pada lateral hidung dan bibir bagian atas disebakan kelainan pada nervus infraorbital. Pasien juga ada mengeluh diplopia jika melirik mata ke atas karena keruskan pada muskulus rektus inferior. Trismus5

bisa terjadi tetapi tidak sering akibat daripada kelainan di mandibula. Bisa juga ditemukan ekimosis intraoral atau destruksi pada gusi.

y

Fraktur maksilaris o Le Fort I : Edema pada wajah, pergerakan palatum durum dan gigi bagian atas. o Le Fort II : Edema pada wajah, telechantus, perdarahan subkonjungtiva, pergerkan tulang maksila daripada sutura nasofrontal, epistaksis dan keluar cairan cerebrospinal pada hidung(rinorea). o Le Fort III : Edema wajah yang masif, dislokasi dan pergerakan tulang wajah, pergerakan gigi, palatum durum, epistaksis, keluar cairan serebrospinal pada hidung.

y

Fraktur alveolar o Gusi berdarah, pergerakan alveolus, gigi bergoyang atau avulsi.

y

Fraktur mandibula o Nyeri saat menggerakkan rahang dan maloklusi pada gigi. Pasien tidak bisa membuka mulut dan mengunyah makanan yang keras. Pada pemeriksaan fisik dirasakan pergerakan tulang dan krepitasi. o Intraoral edema, ekimosis dan perdarahan gusi bisa ditemukan. o Destruksi pada nervus inferior alveolar bisa menyebabkan parestesi pada sebagian bibir bawah dan wajah jika fraktur mandibula melibatkan pada sudut, korpus dan simfisis mandibula.

y

Fraktur Panfasial Temuan fisik tergantung pada kombinasi dari patah tulang berkelanjutan.Apa saja situasi trauma, pada awalnya perlu menghilangkan semua kecederana yang mengancam jiwa. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang sistematis cukup untuk menilai trauma maksilofasial.Tanyakan tentang alergi, obat, riwayat tetanus, riwayat medis dan riwayat operasi, makanan terakhir, dan kejadian trauma berlaku. Aspek yang perlu dipertimbangkan adalah sebagai berikut:

6

Bagaimana mekanisme cedera? Apakah pasien tidak sadaratau mengalami perubahan status mental? Jika ya, berapa lama?

Apakah terdapat gangguan penglihatan, kilatan cahaya, fotofobia, diplopia, pandangan kabur, nyeri, atau perubahan pada visus saat gerakan mata?

Apakah ada gangguan pendengaran? Apakah pasien mengalami tinnitus atau vertigo? Apakah pasien mengalami kesulitan bernapas melalui hidung? Apakah terdapat perdarahan dari hidung atau telinga? Apakah pasien mengalami kesulitan membuka atau menutup mulut? Apakah ada rasa sakit atau kejang otot?

Apakah pasien dapat menggigit tanpa rasa sakit, dan adakah ada gigi yang hilang? Apakah terdapat kaku atau kesemutan pada wajah?

Pendekatan sistematis untuk pemeriksaan fisik yang memadai memastikan penilaian trauma maksilofasial. Pemeriksaan harus mencakup sebagai berikut: Inspeksi wajah simetri atau tidak. Periksa tulang pipi dengan melihat ke bawah dari kepala tempat tidur .Lebar dari pangkal hidung harus setengah dari jarak antara pupil Periksa kepala dan wajah. Ada lecet, bengkak, ekimosis, jaringan , luka, dan perdarahan. Periksa luka terbuka, terdapat benda asing atau tidak Periksa gigi. Periksa mobilitas, fraktur atau maloklusi. Jika terdapat avulsi gigi, menyingkirkan kemungkinan aspirasi. Palpasi untuk cedera tulang, krepitasi, terutama di area supraorbital dan infraorbital rims, os frontalis, arkus zigomatikus, dan pada artikulasi zygoma dengan tulang frontal, temporal, dan maksilla. Periksa mata. Ada atau tidak exophthalmos atau enophthalmos, visus, abnormalitas gerakan mata, jarak interpupil, dan ukuran pupil, bentuk, dan reaktivitas terhadap cahaya, baik langsung dan tidak langsung7

Perhatikan fisura orbital superior, ophthalmoplegia, ptosis kelopak mata atas, proptosis, dan pelebaran pupil.

Perhatikan apeks orbital, kebutaan, penurunan ketajaman visual, dan sindrom fisura orbital superior.

Eversi kelopak mata dan periksa adanya benda asing atau laserasi. Periksa ruang anterior untuk periksa adanya darah, cahaya pada pemeriksaan slitlamp, atau hifema

Periksa kornea. Gunakan pewarnaan fluoresensi untuk membedakan antara abrasi (yaitu, penyerapan zat pewarna) dan laserasi (yaitu, streaming cairan dalam pewarna).

Lakukan forced duction test. Lakukan anestesi pada sklera, pegang bagian inferior dengan forseps, dan tarik ke atas.

Palpasi daerah medial orbita. Rasa sakit merupakan tanda fraktur kompleks nasoethmoidal.

Lakukan tes palpasi bimanual hidung. Anestesi dan tekan secara intranasal melawan medial orbita rim. Secara bersamaan tekan kanthus medial. Jika terdapat pergerakan tulang, tanda nasoethmoidalis retak.

Menilai ligamentum kanus medial dan perlekatan pada prosessus frontal osmaksila Lakukan traction test. Pegang tepi kelopak mata bawah, dan tarik berlawanan perlekatan medial-nya. Jika tampak peregangaan pada tendon, kemungkinan terdapat gangguan pada kanthus medial.

Periksa hidung , ada atau tidak telekanthus (yaitu, pelebaran dan pendataran pangkal hidung) atau dislokasi. Palpasi memeriksa ada atau tidak nyeri tekan dan krepitasi.

Periksa septum hidung, ada hematoma; massa yang menonjol; laserasi dan pelebaran mukosa, fraktur, atau dislokasi, dan rinorea CSF

Periksa ada laserasi liang telinga, kebocoran CSF, integritas membran timpani, hemotimpanum, perforasi, ekimosis pada daerah mastoid (Battles Sign).

8

Periksa lidah dan cari luka intraoral, ekimosis, atau bengkak. Lakukan palpasi bimanual pada mandibula, dan memeriksa tanda-tanda krepitasi atau mobilitas.

Tempatkan satu tangan pada gigi anterior maksilaris dan yang lainnya di pangkal hidung. Jika ada gerakan pada gigi sahaja menunjukkan fraktur Fort Le I. Gerakan di pangkal hidung menunjukkan fraktur Le Fort II atau III.

Memanipulasi gigi satu per satu untuk memeriksa gerakan, nyeri, perdarahan gingiva dan intraoral, robekan, atau krepitus.

Lakukan tongue blade test. Minta pasien untuk menggigit kuat pada pisau. Fraktur rahang di tandai dengan pasien tidak dapat menggigit dan rasa sakit.

Palpasi seluruh rahang dan sendi temporomandibular sama ada nyeri, deformitas, atau ekimosis.

Palpasi kondilus mandibula dengan menempatkan jari di MAE sementara pasien membuka dan menutup mulut. Nyeri atau keterbatasan gerakan kondilus menunjukkan adanya fraktur.

Periksa parestesi atau anestesi pada saraf. Lakukan pemeriksaan saraf kranial menyeluruh.

9

BAB IIIANATOMI y TULANG

Sepertiga atas wajah terdiri dari tulang frontal dan sinus frontal. Sepertiga tengah wajah terdiri dari tulang hidung, etmoid, zigoma, dan maksila. Tulang mandibula membentuk sepertiga bagian bawah wajah. Hal ini dibagi menjadi area yang berbeda, termasuk kondilus, ramus, sudut, korpus, simfisis, dan alveolus. Tulang frontal membentuk batas atas orbital superior. Tulang zigoma dibentuk oleh bagian-bagian yang berasal dari tulang temporal, tulang frontal, tulang sfenoid dan tulang maksila. Bagian-bagian dari tulang yang membentuk zigoma ini memberikan sebuah penonjolan pada pipi di bawah mata sedikit kearah lateral. Batas orbital medial dibentuk oleh prosesus maksila, tulang lakrimalis, tulang frontal, dan tulang etmoid. Batas orbital inferior dibentuk oleh tulang zigoma dan maksila. Bagian apeks dari orbital dibentuk oleh tulang sphenoid, palatin, dan sebagian dari tulang ethmoid. Atap dari sinus maksilaris bentuk dasar pada orbital.

y

NERVUS Nervus Trigeminus dibagi kepada tiga cabang. Cabang yang pertama adalah nervus oftalmikus. Ini merupakan saraf sensorik yang mempersarafi bagian kulit pada dahi, kelopak mata atas dan konjungtiva. Cabang yang kedua dari nervus trigeminus adalah nervus maksilaris yang mempersarafi bagian kulit di posterior hidung, kelopak mata bawah, pipi dan bagian atas bibir. Cabang yang terakhir adalah nervus mandibularis yang merupakan saraf sensorik dan motorik yang mempersarafi otot-otot pengunyahan, dagu, daerah temporal dan bagian dari aurikula.

y

PENDARAHAN Perdarahan pada wajah oleh arteri carotis ekternal. Arteri carotis ekternal memberi cabang kepada lingualis, fasial, maksilaris internus dan temporal superfisial Drainase vena oleh temporal superfisial, pleksus vena pterygoid, retromandibula, lingualis, fasial dan vena jugular eksternal. Kemudian berlaku pengosongan ke vena jugular internal.

10

KONTRAINDIKASI1.

Tidak memanipulasi pada tulang wajah kecuali jika cedera pada servikal telah disingkirkan.

2.

Hindari dari melakukan intubasi nasotracheal dengan pasien yang fraktur pada wajah bagian atas atau fraktur midface. Intubasi nasotracheal dapat menyebabkan perdarahan hidung yang hebat.

3.

Tidak bisa dilakukakan reduksi tertutup pada fraktur mandibula dengan fiksasi intermaksilaris pada pasien yang peminum alcohol, retardasi mental atau mempunyai riwayat gangguan kejang. Pasien-pasien ini biasanya dilakukan dengan reduksi terbuka.

11

BAB IV PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Laboratorium a. Pemeriksaan darah lengkap tiap 4 jam untuk evaluasi hemoglobin dan hematokrit bila terjadi perdarahan massif. b. Golongan darah dan cross match. c. Pemeriksaan koagulasi. d. Pemeriksaan beta human chorionic gonadotropin (bhCG). 2. Pencitraan a. Wajah bagian atas : pilihan adalah CT scan koronal dan aksial. Alternatif adalah seri tengkorak dan radiografi Waters. b. Wajah bagian tengah : pilihan adalah CT scan koronal dan aksial. Alternatif adalah posisi Waters, postero anterior, submental vertex dan occlusal. c. Wajah bagian bawah : pilihan adalah x-ray panografi. Alternatif adalah posisi postero anterior, lateral oblik kanan dan kiri untuk mandibular, projeksi Towne dan occlusal. CT scan kondilus diindikasikan jika curiga fraktur yang hasil radiografinya negatif.

12

TERAPI Perawatan & Manajemen Trauma Maksilofasial Perawatan Umum Airway Beri oksigen dan mempertahankan jalan napas paten. Mempertahankan tulang belakang leher setiap kali bergerak. Menyingkirkan benda asing atau debris, dan suction jika ada darah. Intubasi Intubasi jika diindikasikan. Sediakan persiapan krikotiroidotomi dan trakeostomi sebelum upaya awal intubasi.Pertimbangkan intubasi dengan sedasi sadar jika terdapat distorsi dari mandibula dan maksila karena masker mungkin tidak dapat disegel ketat saat memompa ambubag. Pertimbangkan intubasi nasotrakeal jika terdapat edema orofaringeal masif.Pertimbangkan intubasi orotrakeal jika trauma wajah midface atau atas. Jika tidak dapat dilakukan intubasi secara nasotrakeal atau endotrakeal, krikotiroidotomi adalah prosedur berikutnya. Breathing Menilai bunyi nafas. Circulation Jangan keluarkan benda asing yang tertusuk karena dapat memperparah kerusakan jaringan dan memperbanyak pendarahan. Kontrol perdarahan dengan memberi tekanan langsung.

13

Disability Menilai pasien dengan menggunakan skala Glasgow Coma Scale. Lakukan pemeriksaan neurologis singkat.Perhatikan setiap perubahan status mental. Exposure Lepas semua pakaian dan aksesoris tetapi tetap menjaga kehangatan. Memulihkan semua jaringan keras dan lunak avulsi, dan transportasi jaringan dengan kasa basah tanpa es dan manipulasi manual yang sangat minimal. Terapi medis dan bedah. y Terapi medis umum Diberikan oksigen dan cairan kristaloid isotonik. Mengadministrasikan Packed Red Cell(PRC) jika pasien mengalami pendarahan masif. Diindikasikan tetanus profilaksis. y Antibiotik Untuk luka wajah, gunakan Kefzol. Untuk luka rongga mulut, gunakan klindamisin.Untuk patah tulang sinus, gunakan amoksisilin.Untuk patah tulang dengan robeknya duramater atau kebocoran cairan serebrospinal, gunakan vankomisin dan ceftazidime. y Manajemen nyeri Gunakan obat oral untuk luka ringan dan obat parenteral jika pasien tidak dapat mengambil obat oral (yaitu, tidak melalui mulut). Untuk obat antiinflamasi, gunakan ibuprofen, naproxen, atau ketorolac.Untuk kontrol pusat, gunakan narkotika (misalnya, kodein, oxycodone, xanax, meperidin, morfin).14

Fraktur Tulang Frontal Perhatian besar adalah patensi duktus nasofrontal. Jika saluran ini tersumbat, operasi dapat diindikasikan. Penyumbatan dapat mengakibatkan mucopyocele atau abses. Dislokasi fraktur dinding sinus anterior harus diobservasi dan jika disertai fraktur kominutif berat dan cedera mukosa memerlukan THT, bedah plastik, bedah mksilofasial oral untuk cangkok tulang dan obliterasi sinus frontal. Terapi untuk fraktur dinding sinus posterior masih variable dan kontroversial. Fraktur dinding sinus posterior diperiksa untuk dislokasi, robekan dura, kebocoran cairan serebrospinal.Fraktur dislokasi dengan kebocoran cairan serebrospinal dapat diamati selama 5-7 hari saat menjalani pengobatan dengan antibiotik intravena.Obliterasi sinus frontal diindikasikan jika kebocoran cairan serebrospinal berlanjut.Terapi bedah untuk fraktur dislokasi tanpa kebocoran cairan serebrospinal berdasarkan dari berat kominusi. Kominusi ringan membutuhkan flap osteoblastik dan obliterasi sinus. Kominusi lebih besar dari 30% dari dinding posterior sinus membutuhkan ahli bedah saraf untuk menghapus tabel posterior hingga memungkinkan otak untuk memperluas ke sinus frontalis, ini dikenal sebagai kranialisasi.Fraktur dinding sinus yang terdislokasi dengan kebocoran cairan serebrospinal dan kominusi ringan-sedang membutuhkan obliterasi sinus. Kominusi moderat sampai berat membutuhkan sinus kranialisasi.

Fraktur Tulang Dasar Orbital Fraktur blowout di dasar orbita memerlukan konsultasi dengan dokter spesialis mata dan spesialis trauma maksilofasial (misalnya, otolaringologi, ahli bedah maksilofasial oral, atau ahli bedah plastik).

15

Dalam sebuah penelitian retrospektif, Salgarelli dkk membandingkan hasil estetika, komplikasi, dan indikasi bedah pada 274 pasien yang dirawat karena trauma orbital (tanpa laserasi jaringan lunak daerah orbital) melalui (n = 219) subsiliaris, transkonjungtiva (n = 32 ), atau transkonjungtiva dengan pendekatan kantotomi lateral (n = 23).Secara keseluruhan, 50 (18,2%) pasien mengalami komplikasi:. 41 pasien dalam kelompok pendekatan subsiliaris, 1 pasien pada kelompok pendekatan transkonjungtiva, dan 8 pasien pada kelompok transkonjungtiva dengan pendekatan kantotomi lateral - para peneliti juga mencatat malposisi kelopak mata bawah terjadi lebih tinggi pada pasien dengan pendekatan bedah terakhir . Salgarelli dkk menyimpulkan bahwa insisi transkonjungtiva tanpa kantotomi adalah pendekatan bedah yang paling berhasil untuk pengobatan fraktur terisolasi dari dasar orbit, namun ketika paparan bedah utama diperlukan, sayatan subsiliaris direkomendasikan. Indikasi dan waktu untuk memperbaiki fraktur masih diperdebatkan, namun, banyak literatur yang mendukung waktu 2-minggu untuk perbaikan. Indikasi untuk operasi: cacat besar di dasar orbita (> 50%), enoftalmos (> 2 mm) karena herniasi isi orbit ke sinus maksilaris, diplopia pada lirikan atas / bawah karena jepitan otot dan dalam waktu 30 tatapan primer dengan tes forced duction positif , dan CT scan konfirmasi adanya fraktur. Fraktur Tulang Nasal Pasien dengan patah tulang hidung bisa pulang dan dikirim untuk tindak lanjut dengan otolaryngologist atau ahli bedah plastik dalam waktu 5-10 hari, sehingga terjadi resolusi edema jaringan sekitar hidung.

16

Fraktur Tulang Nasoetmoid Fraktur yang dicurigai atau terdeteksi ada robekan duramater memerlukan konsultasi dengan seorang ahli bedah saraf, dan pasien harus dirawat untuk observasi dan antibiotik intravena. Dokter mata harus dikonsultasi untuk perbaikan aparatus lacrimalis.Ahli bedah mulut dan maxillofacial, bedah plastik, atau otolaryngologist juga harus dikonsultasi untuk perbaikan tulang hidung, canthus medial, dan saluran nasofrontal. Fraktur Arkus Zigomatikum Pasien dengan patah tulang terisolasi arkus zigomatikum bisa dirawat di rumah, diikuti follow-up dari otolaringologi, ahli bedah mulut dan rahang atas, atau ahli bedah plastik jika dislokasi minimal.Dislokasi ditandai dan / atau pelampiasan dari proses koronoideus mandibula dan membutuhkan reduksi terbuka. Fraktur Kompleks Zigomatikum Konsul ke dokter mata dan otolaringologi, dokter bedah plastik, atau oral dan ahli bedah maksilofasial.Standar perawatan adalah dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal dengan miniplates dan sekrup.Lantai orbital sering dieksplorasi dan diperbaiki jika diperlukan. Fraktur Tulang Maksila Konsul ke otolaringologi, dokter bedah plastik, atau ahli bedah mulut dan rahang atas.Dilakukan reduksi terbuka dan fiksasi intermaxillary harus untuk membangun oklusi benar.

17

Fraktur Tulang Mandibula Manajemen dilakukan oleh otolaringologi, dokter bedah plastik, atau ahli bedah mulut dan rahang atas.Stabilisasi sementara di departemen darurat dapat diatasi dengan penerapan perban Barton. Bungkus perban di sekitar mahkota kepala dan rahang .Sebuah fraktur simfisis atau badan dapat dikurangi sementara dengan bridal wire (kawat 24-gauge dibungkus sekitar 2 gigi di kedua sisi fraktur). Hal ini sangat membantu mengontrol perdarahan dan nyeri dan mencegah infeksi karena ini adalah patah tulang senyawa terbuka. Awalnya, fraktur distabilkan dengan fiksasi intermaxillary diikuti oleh reduksi terbuka dan fiksasi kaku menggunakan miniplates titanium, piring mandibula, atau pelat rekonstruksi, tergantung di mana fraktur berada. Fraktur nondisplaced dari kondilus memerlukan fiksasi intermaxillary selama 10 hari, diikuti dengan fisioterapi untuk membantu memulihkan fungsi. Ankilosis sendi ini sangat langka dan diyakini disebabkan oleh cedera intrakapsular atau fraktur. Fraktur Panfacial Pada saat operasi, trakeostomi atau intubasi submandibula diperlukan. Intubasi Nasoendotracheal merupakan kontraindikasi absolut. Reposisi tulang wajah dimulai dari tengkorak.Setelah oklusi ini didirikan oleh fiksasi intermaxillary, tulang wajah yang tersisa diperbaiki dengan reduksi terbuka dan fiksasi internal.

18

KOMPLIKASI 1. Aspirasi 2. Gangguan jalan nafas 3. Jaringan parut 4. Deformitas wajah permanen jika pengobatan tidak benar 5. Kerusakan saraf yang mengakibatkan hilangnya sensasi, gerakan wajah, bau, rasa, atau visi 6. Sinusitis kronis 7. Infeksi 8. Malnutrisi 9. Penurunan berat badan 10.Nonunion atau malunion tulang 11.Maloklusi 12.Pendarahan HASIL DAN PROGNOSIS -Pengananan secara reduksi terbuka dan fiksasi internal tulang wajah berdampak penampilan wajah yang memuaskan dan pemulihan fungsi. -Fraktur wajah bertekanan tinggi sering dikaitkan dengan cedera tubuh lainnya yang dapat mengancam kehidupan. -Fraktur wajah bertekanan rendah jarang menyebabkan kematian jika pengobatan yang tepat diberikan. -Cedera jaringan lunak yang dalam atau avulsi dengan fraktur kominutif jauh lebih sulit diterapi dan mungkin memiliki hasil yang buruk. -Perdarahan berat dari cedera midface yang massif dapat mengakibatkan kematian.19

- Obstruksi jalan napas, jika tidak diobati atau terdeteksi, menyebabkan resiko kematian meningkat.

20

BAB VMasa Depan dan Kontroversi -Sebuah perkembangan masa depan, mungkin dengan menggunakan protein morfogenik tulang, yang merupakan protein yang merangsang stem sel untuk berdiferensiasi menjadi osteoblas. Penggunaan zat ini dengan pembawa seperti spons kolagen dapat digunakan untuk mengisi cacat tulang. - Waktu dan indikasi untuk rekonstruksi fraktur tulang lantai orbita tetap kontroversial. -Kontroversi lain adalah antara reduksi terbuka dan reduksi tertutup pada fraktur kondilus mandibula.

21

DAFTAR PUSTAKA1. Rosen P, Barkin R. Face. In: Rosen P, et al, eds. Emergency Medicine Concepts and Clinical Practice. 5th ed. St. Louis, Mo: Mosby-Year Book; 2002:315-29. 2. Maxillofacial trauma. In: Tintinalli JE, Kelen GD, Stapczynski JS, eds. Emergency Medicine: A Comprehensive Study Guide. 6th ed. New York, NY: McGraw-Hill; 2004:1583-9. 3. Salgarelli AC, Bellini P, Landini B, Multinu A, Consolo U. A comparative study of different approaches in the treatment of orbital trauma: an experience based on 274 cases. Oral Maxillofac Surg. Mar 2010;14(1):23-7. [Medline]. 4. Adamo AK, Pollick SA, Lauer SA, Sterman HR. Zygomatico-orbital fractures: historical perspective and current surgical management.J Craniomaxillofac Trauma. 1995;1(2):2631. [Medline]. 5. Burnstine MA. Clinical recommendations for repair of orbital facial fractures. Curr Opin Ophthalmol. Oct 2003;14(5):236-40. [Medline]. 6. Daffner RH. Imaging of facial trauma. Curr Probl Diagn Radiol. Jul-Aug 1997;26(4):15384. [Medline]. 7. Dale RA. Dentoalveolar trauma. Emerg Med Clin North Am. Aug 2000;18(3):52138. [Medline]. 8. Ellis E 3rd, Scott K. Assessment of patients with facial fractures. Emerg Med Clin North Am. Aug 2000;18(3):411-48, vi. [Medline]. 9. Ellis E, Throckmorton GS. Treatment of mandibular condylar process fractures: biological considerations. J Oral Maxillofac Surg. Jan 2005;63(1):115-34. [Medline]. 10. Forrest CR. What's new in plastic and maxillofacial surgery. J Am Coll Surg. Mar 2005;200(3):399-408. [Medline]. 11. Hatamleh MM, Watts DC. Mechanical properties and bonding of maxillofacial silicone elastomers. Dent Mater. Feb 2010;26(2):185-91.[Medline]. 12. Laskin DM, Best AM. Current trends in the treatment of maxillofacial injuries in the United States. J Oral Maxillofac Surg. Feb 2000;58(2):207-15. [Medline]. 13. Manson PN, Clark N, Robertson B, Crawley WA. Comprehensive management of pan-facial fractures. J Craniomaxillofac Trauma. 1995;1(1):43-56. [Medline]. 14. Morton D, Fridrich K, Aquilino SA, Fridrich TA. Interdisciplinary treatment of severe maxillofacial trauma: a clinical report. J Prosthet Dent. Aug 2000;84(2):133-5. [Medline]. 15. Pedroletti F, Johnson BS, McCain JP. Endoscopic techniques in oral and maxillofacial surgery. Oral Maxillofac Surg Clin North Am. Feb 2010;22(1):169-82. [Medline]. 16. Tuli T, Haechl O, Berger N, et al. Facial trauma: how dangerous are skiing and snowboarding?. J Oral Maxillofac Surg. Feb 2010;68(2):293-9. [Medline].

22