Refrat Dm Tipe 2 Indria (110.2007.146)

Embed Size (px)

Citation preview

DIABETES MELITUS TIPE 2

Pembimbing: Dr. DONNY GUSTIAWAN, Sp.PD Disusun Oleh: Nama NPM : INDRIA PARAMITHA : 110. 2007.146

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BEKASI OKTOBER 2011INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 1

KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan sari pustaka yang berjudul DIABETES MELITUS TIPE 2. Sari pustaka ini merupakan salah satu syarat untuk ujian pada Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSUD Kabupaten Bekasi. Terwujudnya sari pustaka ini adalah berkat bantuan dan dorongan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :1. Dr. Donny Gustiawan, Sp.PD selaku dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dalam penulisan Sari Pustaka ini. 2. Dosen-dosen Ilmu Penyakit Dalam FK Universitas Yarsi yang telah banyak berjasa memberikan bimbingan dan pengajaran kepada penyusun selama ini. 3.Para perawat, yang telah banyak membantu selama kepaniteraan ini. 4.Orang tua, yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan baik moril dan materiil. 5. Rekan-rekan kepaniteraan SMF Ilmu Penyakit Dalam, atas bantuan, dukungan, dan kerjasamanya.

Penulis menyadari bahwa sari pustaka ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga penyusunan ini dapat lebih baik sesuai dengan hasil yang diharapkan. Akhir kata dengan mengucapkan Alhamdulilah, semoga Allah SWT selalu meridhoi kita semua dan tulisan ini dapat bermanfaat.

Jakarta, Oktober 2011 Penulis

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 2

DAFTAR ISI Daftar Isi................... Kata Pengantar. .................... Bab I Pendahuluan...................................................................................... I.1 Latar Belakang .................................. Bab II Diabetes Mellitus Tipe 2................................................................. 2.1 Gambaran Umum ................................ 2.2 Epidemiologi ....................................... 2.3 Etiologi ........................................ 2.4 Patofisiologi................................. 2.5 Manifestasi klinik......................... 2.6 Pemeriksan penunjang..................................... 2.7 Diagnosis ............................................ 2.8 Penatalaksanaan .......................... 2.9 Komplikasi .................................. 2.10 Pengendalian....................................................................................... 2.11 Prognosis...................................... Bab III Penutup ............................................................................................ 3.1 Kesimpulan ................................... Daftar Pustaka ....................................... 36 37 i ii 1 1 4 4 4 7 7 8 9 13 17 34 35 35

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 3

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Diabetes Melitus (DM) adalah suatu penyakit metabolik yang dinyatakan dengan adanya hiperglikemia kronik dan gangguan pada metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang berkaitan dengan perkembangan terjadinya kelainan, disfungsi dan kerusakan beberapa organ khususnya mata, ginjal, saraf, jantung dan pembuluh darah (Suyono, 2007). Sebagian besar gambaran patologik Diabetes Melitus (DM) dapat dihubungkan dengan salah satu efek utama akibat kurangnya insulin yaitu: (1)Berkurangnya pemakaian glukosa oleh sel-sel tubuh, mengakibatkan peningkatan konsentrasi glukosa darah hingga 300-1.200 mg/dL; (2)Peningkatan metabolisme lemak, menyebabkan terjadinya metabolisme lemak abnormal disertai dengan endapan kolesterol pada dinding pembuluh darah sehingga timbul gejala aterosklerosis; dan (3)Berkurangnya protein dalam jaringan tubuh (Soegondo, 2005). Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit dengan konsentrasi gula darah tinggi dalam darah (hiperglikemia), diakibatkan karena defisiensi insulin relatif maupun absolut. Hiperglikemia timbul karena penyerapan glukosa ke dalam sel terhambat serta metabolisme glukosa yang terganggu. Dalam keadaan normal, kirakira 50% glukosa yang dimakan mengalami metabolisme sempurna menjadi CO 2 dan air, 5% diubah menjadi glikogen dan kira-kira 3040% diubah menjadi lemak. Pada penderita DM semua proses terganggu, glukosa tidak dapat ke dalam sel, sehingga energi terutama diperoleh dari metabolisme protein dan lemak (Soegondo, 2005). Hiperglikemia sendiri relatif tidak berbahaya, kecuali apabila berlebihan sehingga darah menjadi hiperosmotik terhadap cairan intrasel. Kondisi yang berbahaya adalah glikosuria karena glukosa bersifat diuretik osmotik, sehingga diuresis meningkat disertai hilangnya berbagai elektrolit. Hal ini menyebabkan dehidrasi dan hilangnya elektrolit pada penderita Diabetes Melitus (DM) yang tidak INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 4

diobati. Karena adanya dehidrasi, maka tubuh berusaha mengatasi dengan banyak minum (polidipsia). Badan kehilangan empat kalori untuk setiap gram glukosa yang diekskresi. Sedangkan, polifagia timbul karena perangsangan pusat nafsu makan di hipotalamus oleh kurangnya pemakaian glukosa di kelenjar itu (Soegondo, 2006). Saat ini angka kejadian Diabetes Melitus (DM) diperkirakan akan terus meningkat. Berbagai penelitian di Indonesia menunjukkan peningkatan prevalensi dari 1.5-2.3% menjadi 5.7% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun (Subekti, 2004). Diabetes Melitus (DM) sering disebut sebagai the great imitator karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. DM yang tidak ditangani dapat mengakibatkan berbagai penyulit atau komplikasi yang meliputi komplikasi akut dan kronik (Supartondo dan Waspadji, 2003). Prevalensi Diabetes Melitus Tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 36% dari orang dewasa. Negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan ekonominya sangat menonjol, seperti di Singapura, kekerapan DM sangat meningkat dibanding dengan 10 tahun yang lalu. Menurut penelitian epidemiologi yang sampai saat ini dilaksanakan di Indonesia, kekerapan DM di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6%, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3% dan di Manado 6% (Suyono, 2007). Gaya hidup mempengaruhi kejadian Diabetes Melitus (DM), di mana penelitian yang dilakukan di Jakarta tahun 1993, kekerapan DM di daerah urban yaitu di kelurahan Kayu putih adalah 5,69%, sedangkan di daerah rural di suatu daerah di Jawa Barat tahun 1995, angka kejadian sekitar 1,1%. Penelitian terakhir antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan pevalensi DM Tipe 2 sebesar 14.7%, di Makassar prevalensi DM terakhir tahun 2005 yang mencapai 12.5% (Soegondo, 2006). Jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan peningkatan jumlah pasien Diabetes Melitus (DM) yang jauh lebih besar yaitu 86138%. Faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan tersebut diantaranya (Suryono Slamet, 2006) : a. Faktor demografi : 1) Jumlah penduduk meningkat 2) Penduduk usia lanjut betambah banyak 3) Urbanisasi makin tak terkendali b. Gaya hidup yang kebarat-baratan : 1) Penghasilan per capita tinggi INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 5

2) Restoran siap santap 3) Teknologi canggih menimbulkan sedentary life, kurang gerak badan c. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi d. Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih panjang. Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit metabolik yang sangat sering dijumpai di Indonesia. Semakin hari angka kesakitannya semakin meningkat. Dengan referat ini diharapkan dapat menambah pemahaman pembaca tentang Diabetes Melitus (DM) serta dapat berguna bagi panduan untuk tatalaksana penyakit metabolik yang paling sering di jumpai di masyarakat Indonesia.

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 6

BAB II DIABETES MELITUS TIPE 2 2.1. GAMBARAN UMUM DIABETES MELITUS Meningkatnya prevalensi Diabetes Melitus (DM) di beberapa negara berkembang, akibat peningkatan kemakmuran di negara bersangkutan, akhir-akhir ini banyak diamati. Peningkatan pendapatan per kapita dan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar, menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, seperti penyakit jantung koronner (PJK), hipertensi, hiperlipidemia, diabetes dan lain-lain (Suyono, 2007). Diabetes Melitus (DM) merupakan kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Sudoyo Aru, 2006). Diabetes Melitus (DM) bukan penyakit yang disebabkan oleh satu faktor, tetapi merupakan suatu sindrom yang disebabkan oleh banyak faktor (multifaktor). DM dikarakterisasi oleh hiperglikemia kronik karena penurunan kerja insulin pada jaringan target (disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, resistensi insulin atau keduanya). Penurunan kerja insulin ini berhubungan dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein pada jaringan termasuk hati (Sudoyo Aru, 2006). 2.2. EPIDEMIOLOGI Diabetes melitus (DM) merupakan salah satu penyakit endokrin yang paling sering ditemukan dan diperkirakan diderita oleh 120 juta orang di seluruh dunia. Saat ini angka kejadian DM diperkirakan akan terus meningkat. Berbagai penelitian di Indonesia menunjukkan peningkatan prevalensi dari 1.5-2.3% menjadi 5.7% pada penduduk usia lebih dari 15 tahun (Subekti, 2004). Diabetes Melitus (DM) sering disebut sebagai the great initator karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. DM yang tidak ditangani dapat mengakibatkan berbagai penyulit atau INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 7

komplikasi yang meliputi komplikasi akut dan kronik (Supartondo dan Waspadji, 2003). Prevalensi Diabetes melitus (DM) tipe 2 pada bangsa kulit putih berkisar antara 3-6% dari orang dewasanya. Angka ini merupakan baku emas untuk membandingkan kekerapan diabetes antar berbagai kelompok etnik di seluruh dunia. Dengan demikian kita dapat membandingkan prevalensi di suatu negara atau suatu kelompok etnis tertentu dengan kelompok etnis kulit putih pada umumnya. Misalnya di negara-negara berkembang yang laju pertumbuhan eknominya sangat meningkat dibanding dengan 10 tahun yang lalu (Subekti, 2004). Dari data ini dapatlah disimpulkan bahwa faktor lingkungan terutama peningkatan kemakmuran suatu bangsa akan meningkatkan terjadinya Diabetes melitus (DM).Tabel 1: Urutan 10 negara dengan jumlah pengidap Diabetes terbanyak pada penduduk dewasa di seluruh dunia 1995 dan 2025

Urutan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Negara India Cina Amerika Serikat Federasi Russia Jepang Brazil Indonesia Pakistan Meksiko Ukraine Semua negara lain Jumlah

1995 (juta) 19,4 16,0 13,9 8,9 6,3 4,9 4,5 4,3 3,8 3,6 49,7 135,3

urutan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Negara India Cina Amerika Serikat Pakistan Indonesia Federasi Russia Meksiko Brazil Mesir Jepang

2025 (juta) 57,2 37,6 21,9 14,5 12.4 12,2 11,7 11,6 8,8 8,5 103,6 300

Sumber : Subekti, 2004

Prevalensi Diabetes Melitus tipe 2 di Indonesia, terjadinya DM di Indonesia berkisar antara 1,4 dengan 1,6 %, kecuali di dua tempat yaitu di Pekajangan, suatu desa dekat Semarang, 2,3 % dan di Manado 6%. Di Pekajangan prevalensi ini agak INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 8

tinggi disebabkan di daerah itu banyak perkawinan antara kerabat. Sedangkan di Manado, Waspadji menyimpulkan mungkin angka itu tinggi karena pada studi itu populasinya terdiri dari dari orang-orang yang datang dengan suarela, jadi agak lebih selektif. Tetapi kalau dilihat dari segi geografi dan budayanya yang dekat dengan Filipina, ada kemungkinan prevalensi di Manado tinggi karena prevalensi di Filipina juga tinggi, yaitu sekitar 8,4%-12% di daerah urban dan 3,85-9,7% di daerah rural. Penelitian terakhir antara tahun 2001 dan 2005 di daerah Depok didapatkan prevalensi DM tipe 2 sebesar 14,7%, demikian juga di Makassar, prevalensi terakhir tahun 2005 mencapai 12,5%(Supartondo dan Waspadji, 2003). Jangka waktu 30 tahun penduduk Indonesia akan naik sebesar 40% dengan peningkatan jumlah pasien Diabetes Melitus (DM) yang jauh lebih besar yaitu 86138%. Melihat tendensi kenaikan kekerapan diabetes secara global seperti disebutkan di atas, maka dengan demikian dapat dimingerti bila suatu saat atau lebih tepat lagi dalam 1 atau 2 dekade yang akan datang kekerapan Diabetes Melitus (DM) di Indonesia akan meningkat dengan drastis. Faktor-faktor yang menyebabkan peningkatan tersebut diantaranya (Suryono Slamet, 2006): a. Faktor demografi : 1) Jumlah penduduk meningkat 2) Penduduk usia lanjut betambah banyak 3) Urbanisasi makin tak terkendali b. Gaya hidup yang kebarat-baratan : 1) Penghasilan per capita tinggi 2) Restoran siap santap 3)Teknologi c. Berkurangnya penyakit infeksi dan kurang gizi d. Meningkatnya pelayanan kesehatan hingga umur pasien diabetes menjadi lebih panjang. canggih menimbulkan sedentary life, kurang gerak badan

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 9

2.3.

ETIOLOGI Diabetes Melitus (DM) tipe 2 disebut juga Non Insulin Dependent Diabetes

Mellitus (NIDDM) disebabkan karena kegagalan relatif sel dan resistensi insulin. Resistensi insulin adalah turunnya kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel tidak mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang sekresi insulin lain. Berarti sel pankreas mengalami desensitisasi terhadap glukosa (Gustaviani, 2006). Pada awalnya resistensi insulin belum menyebabkan klinis Diabetes Melitus (DM). Sel pankreas masih dapat mengkompensasi, sehingga terjadi hiperinsulinemia, kadar glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi kelelahan sel pankreas, baru terjadi diabetes melitus klinis, yang ditandai dengan adanya kadar glukosa darah yang meningkat, memenuhi kriteria diagnosis diabetes melitus (Gustaviani, 2006). 2.4. PATOFISIOLOGI Tubuh memerlukan bahan untuk membentuk sel baru dan mengganti sel yang rusak. Di samping itu tubuh juga memerlukan energi supaya sel tubuh berfungsi dengan baik. Energi pada mesin tubuh manusia berasal dari bahan makanan yang dimakan sehari-hari, yang terdiri dari karbohidrat, protein dan lemak (Suyono, 2007). Supaya dapat berfungsi sebagai bahan bakar, zat makanan harus masuk dulu ke dalam sel untuk dapat diolah. Di dalam sel, zat makanan terutama glukosa dibakar melalui proses kimia yang rumit, yang hasil akhirnya adalah timbulnya energi. Proses ini disebut metabolisme. Dalam proses metabolisme itu insulin memegang peranan yang sangat penting yaitu bertugas memasukkan glukosa ke dalam sel, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Insulin ini adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel beta pankreas (Suyono, 2007). Diabetes Melitus (DM) tipe 1 disebabkan adanya reaksi otoimun yang disebabkan oleh peradangan pada sel beta. Ini menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel beta yang disebut Islet Cell Antibody (ICA). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA) menyebabkan hancurnya sel beta (Suyono, 2007). INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 10

Pada Diabetes Melitus (DM) tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang. Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel. Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, hingga meskipun anak kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka glukosa yang masuk akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan bahan bakar (glukosa) dan glukosa dalam pembuluh darah meningkat. Keadaan ini disebut sebagai resistensi insulin (Suyono, 2007). Penyebab resistensi insulin pada NIDDM sebenarnya tidak begitu jelas tetapi faktor-faktor di bahwa ini banyak berperan (Suyono, 2007) : 2.5. Obesitas terutama yang berbentuk sentral Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat Kurang gerak badan Faktor keturunan (herediter) MANIFESTASI KLINIK Gejala klasik Diabetes Melitus (DM) adalah rasa haus yang berlebihan (polidipsi), sering kencing terutama pada malam hari (poliuri), banyak makan (polifagi) serta berat badan yang turun dengan cepat. Di samping itu kadang-kadang ada keluhan lemah, kesemutan pada jari tangan dan kaki, cepat lapar, gatal-gatal, penglihatan kabur, gairah seks menurun, luka sukar sembuh dan pada ibu-ibu sering melahirkan bayi di atas 4 kg (Suyono, 2007).

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 11

Perjalan penyakit antara Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dan DM tipe 2 tidak sama. Demikian juga pengobatannya. Oleh karena itu ada baiknya bila diketahui sedikit tentang perbedaannya, karena ada dampaknya pada rencana pengobatan.Tabel 2. Perbandingan antara DM tipe 1 dan DM tipe 2

Onset (umur) Keadaan klinis saat diagnosis Kadar Insulin Berat badan PengobatanSumber : Suyono S, 2007

DM Tipe 1 Biasanya < 40 tahun Berat Tak ada insulin Biasanya kurus Insulin, diet, olahraga

DM Tipe 2 Biasanya > 40 tahun Ringan Insulin normal atau tinggi Biasanya gemuk atau normal Diet, olahraga, tablet, insulin

2.6.

PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan untuk diagnosa Diabetes Melitus (DM), melalui pemeriksaan

kadar glukosa darah (gula darah puasa, gula darah 2 jam setelah makan/post prandial/PP) dan setelah pemberian glukosa per-oral (TTGO) (Gustaviani Reno, 2006). Pemeriksaan kadar glukosa darah. Bahan untuk pemeriksaan gula darah puasa, pasien harus berpuasa 6 12 jam sebelum diambil darahnya. Setelah diambil darahnya, penderita diminta makan makanan seperti yang biasa dia makan/minum glukosa per oral (75 gr) untuk TTGO, dan harus dihabiskan dalam waktu 15 20 menit. Dua jam kemudian diambil darahnya untuk pemeriksaan glukosa 2 jam PP (Gustaviani Reno, 2006). Pemeriksaan dilakukan dengan cara darah disentrifugasi untuk mendapatkan serumnya, kemudian diperiksa kadar gula darahnya. Bila pemeriksaan tidak langsung dilakukan (ada penundaan waktu), darah dari penderita bisa ditambah dengan antiglikolitik (gliseraldehida, fluoride, dan iodoasetat) untuk menghindari terjadinya glukosa darah yang rendah palsu. Ini sangat penting untuk diketahui karena kesalahan pada fase ini dapat menyebabkan hasil pemeriksaan gula darah tidak INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 12

sesuai dengan sebenarnya, dan akan menyebabkan kesalahan dalam penatalaksanaan penderita Diabetes Melitus (DM) (Gustaviani Reno, 2006). Metode yang digunakan dalam pemeriksaan gula darah meliputi metode reduksi, enzimatik, dan lainnya. Yang paling sering dilakukan adalah metode enzimatik, yaitu metode glukosa oksidase (GOD) dan metode heksokinase (Gustaviani Reno, 2006). a. Metode GOD, akurasi dan presisi yang baik (karena enzim GOD spesifik untuk reaksi pertama), tapi reaksi kedua rawan interferen (tak spesifik). Interferen yang bisa mengganggu antara lain bilirubin, asam urat, dan asam askorbat. b. Metode heksokinase juga banyak digunakan. Metode ini memiliki akurasi dan presisi yang sangat baik dan merupakan metode referens, karena enzim yang digunakan spesifik untuk glukosa. Untuk mendiagnosa Diabetes Melitus (DM), digunakan kriteria dari consensus perkumpulan Endokrinologi Indonesia tahun 1998. Pemeriksaan lainnya untuk mendiagnosa Diabetes Melitus (DM) Antibody marker adanya proses autoimun pada sel beta adalah islet cell cytoplasmic antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), dan antibody terhadap glutomic acid decarboxylase (anti-GAD) (Gustaviani Reno, 2006). a. Islet cell cytoplasmic antibodies (ICA) bereaksi dengan antigen yang ada di sitoplasma sel-sel endokrin pada pulau-pulau pancreas. ICA menunjukkan adanya kerusakan sel. Adanya ICA dan IAA menunjukkan risiko tinggi berkembangnya penyakit ke arah Diabetes Melitus (DM) tipe 1. b. antibody terhadap glutomic acid decarboxylase (anti-GAD) adalah enzim yang dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmitter g-aminobutyric acid (GAB). Anti GAD ini bias teridentifikasi 10 tahun sebelum onset klinis terjadi. Jadi, 3 petanda ini bisa digunakan sebagai uji saring sebelum gejala Diabetes Melitus (DM) muncul. Untuk membedakan Diabetes Melitus (DM) tipe 1 dengan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 digunakan pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi C-peptide merupakan INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 13

indicator yang baik untuk fungsi sel beta, juga bias digunakan untuk memonitor respons individual setelah operasi pancreas. Konsentrasi C-peptida akan meningkat pada transplantasi pancreas atau transplantasi sel-sel pulau pancreas (Gustaviani Reno, 2006). Pemeriksaan untuk pemantauan Diabetes Melitus (DM) Untuk Pemantauan Pengelolaan Diabetes Melitus (DM), yang digunakan adalah kadar gula darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated hemoglobin, khususnya HbA1C, serta pemeriksaan fruktosamin (Gustaviani Reno, 2006). Pemeriksaan fruktosamin saat ini jarang dilakukan karena pemeriksaan ini memerlukan prosedur yang memakan waktu lama. Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin. Pemeriksaan ini bisa dilakukan sebagai selfassessment untuk memantau terkontrolnya glukosa melalui reduksi urin (Gustaviani Reno, 2006). Pemeriksaan HbA1C HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara glukosa dengan N terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk yang dihasilkan ini diubah melalui proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil dan irevarsibel (Gustaviani Reno, 2006). Metode pemeriksaan HbA1C ; ion-exchange chromatography, HPLC (high performance liquid chromatography), electroforesis, Immunoassay (EIA), Affinity Chromatography, dan analisis kimiawi dengan kolorimetri (Gustaviani Reno, 2006). a. Metode Ion Exchange Chromatography, harus dikontrol perubahan suhu reagen dan kolom, kekuatan ion, dan pH dari buffer, Interferens yang mangganggu adalah adanya Hbs dan HbC yang bias memberikan hasil negatif palsu. b. Metode HPLC (high performance liquid chromatography), prinsip sama dengan ion exchange chromatography, bias diotomatisasi, serta memiliki akurasi dan presisi yang baik sekali. Metoce ini juga direkomendasikan menjadi metode referensi. c. Metode elektroforesis, hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi presisinya kurang dibanding HPLC, HbF memberikan hasil positif palsu, INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 14

tetapi kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan HbC tidak banyak berpengaruh pada metode ini. d. Metode immunoassay (EIA), hanya mengukur HbA1C tidak mengukur HbA1C yang labih maupun HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang baik. e. Metode Affinity Chromatography, non-glycated hemoglobin serta bentuk labih dari HbA1C tidak mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak dipengaruhi suhu. Presisi baik. HbF, HbS, ataupun HbC hanya sedikit mempengaruhi metode ini, tetapi metode ini mengukur keseluruhan glycated hemoglobin, sehingga hasil pengukuran dengan metode ini lebih tinggi dari metode HPLC. f. Metode Kalorimentri, waktu inkubasi lama (2 jam), lebih spesifik karena tidak dipengaruhi non-glycosylated ataupun glycosylated labil. Kerugiannya waktu lama, sample besar, dan satuan pengukuran yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu m mol/L. Interpertasi hasil pemeriksaan HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah meningkat. Karena itu, HbA1C bisa digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa darah pada penderita DM (glukosa darah tak terkontrol, terjadi peningkatan HbA1C-nya) sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat : pemberian Therapi lebih intensif untuk menghindari komplikasi (Gustaviani Reno, 2006). Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA1C (terkontrol) : 4%, 5,9%.(6) Jadi, HbA1C penting untuk melihat apakah penatalaksanaan sudah adekuat atau belum. Sebaiknya, penentuan HbA1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali (Gustaviani Reno, 2006).

2.7.

DIAGNOSIS DIABETES MELITUS Diagnosis Diabetes Melitus (DM) ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 15

glukosa darah. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria. Guna penentuan diagnosis DM, pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Penggunaan bahan darah utuh (whole blood) vena ataupun kapiler tetap dapat dipergunakan dengan memperhatikan angka-angka kriteria diagnostik yang berbeda sesuai pembakuan oleh WHO (Sudoyo Aru, 2006). Ada perbedaan antara uji diagnostik Diabetes Melitus (DM) dan pemeriksaan penyaring. Uji diagnostik DM dilakukan pada mereka yang menunjukkan gejala atau tanda DM, sedangkan pemeriksaan penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai resiko DM. Serangkaian uji diagnostik akan dilakukan kemudian pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitif (Sudoyo Aru, 2006).

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 16

Keterangan : GDP GDS GDPT TGT = Glukosa Darah Puasa = Glukosa Darah Sewaktu = Glukosa Darah Puasa Terganggu = Toleransi Glukosa Terganggu

Pemeriksaan penyaringan Pemeriksaan penyaring ditujukan pada mereka yang mempunyai risiko Diabetes Melitus (DM) namun tidak menunjukkan adanya gejala DM. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menemukan pasien dengan DM, TGT (Toleransi Glukosa Terganggu) maupun GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu), sehingga dapat ditangani lebih dini secara tepat. Pasien dengan TGT dan GDPT juga disebut sebagai prediabetes, merupakan tahapan sementara menuju DM. Kedua keadaan tersebut merupakan faktor risiko untuk terjadinya DM dan penyakit kardiovaskular di kemudian hari (PERKENI, 2002).

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 17

Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok yang memiliki salah satu faktor risiko DM sebagai berikut (PERKENI, 2002) : 1. Usia 45 tahun 2. Usia lebih muda, terutama dengan IMT > 23 kg/m, yang disertai dengan faktor risiko: Kebiasaan tidak aktif Turunan pertama dari orang tua dengan DM - Riwayat melahirkan bayi dengan BB lahir bayi > 4 kg, atau riwayat DM gestasional - Hipertensi ( 140/90 mmHg) - Kolesterol HDL 35 mg/dL dan atau trigliserida 250 mg/dL - Menderita Policictic Ovarial Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang terkait dengan resistensi insulin - Adanya riwayat TGT atau GDPT sebelumnya - Memiliki riwayat penyakit kardiovaskular

Tabel 3. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)

Bukan DM Kadar glukosa darah Plasma vena Darah Kadar glukosa kapiler darah Plasma vena Darah kapilerSumber : Soegondo S (2005) catatan :

Belum pasti DM 110-199 90-199 110-125 90-199

DM > 200 > 200 > 126 > 110

< 110 < 90 < 110 < 90

sewaktu (mg/dl)

puasa (mg/dl)

Untuk kelompok risiko tinggi yang tidak menunjukkan kelainan hasil, dilakukan pemeriksaan ulangan tiap tahun. Bagi mereka yang berusia > 45 tahun tanpa faktor risiko lain, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.

Langkah-langkah Menegakkan Diagnosis Diabetes Melitus dan Gangguan INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 18

Tolerangi Glukosa Diagnosis klinis Diabetes Melitus (DM) umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl sudah cukup untuk

menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan utnuk patokan diagnosis DM (Sudoyo Aru, 2006). Untuk kelompok tanpa keluhan khas Diabetes Melitus (DM), hasil pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan kadar glukosa darah pasca pembebanan 200 mg/dl (Sudoyo Aru, 2006). Cara Pelaksanaan TTGO (PERKENI, 2002) : 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup) Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih diperbolehkan Diperiksa kadar glukosa darah puasa Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 15 menit Diperiksa kadar glukosa darah dua jam sesudah beban glukosa Selama proses pemeriksaan subyek yang dipeiksa tetap istirahat dan tidak merokok

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 19

Tabel 4. Kriteria diagnostik diabetes melitus * dan gangguan toleransi glukosa

1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl Atau 2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl Atau 3. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada dua jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO**Sumber : PERKENI, 2002*

Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali

untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik berat, seperti ketoasidosis, gejala klasik : poliuri, polidipsi, polifagi dan berat badan menurun cepat.**

Cara Diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin di klinik, untuk penelitian

epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik kadar glukosa darah puasa dan dua jam pasca pembebanan. Untuk DM gestasional juga dianjurkan kriteria diagnostik yang sama.

2.8.

PENATALAKSANAAN

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatnya kualitas hidup Diabetes Melitus (DM) (Sudoyo Aru, 2006). Tujuan penatalaksanaan A. Jangka pendek : hilangnya keluhan dan tanda DM, mempertahankan rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah. B. Jangka panjang : tercegah dan terhambatnya progresivitas penyulit mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan maortalitas dini DM. INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 20

Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus(PERKENI, 2006) 1. 2. 3. 4. Edukasi Terapi gizi medis Latihan jasmani Intervensi farmakologis Pengelolaan Diabetes Melitus (DM) dimulai dengan terapi gizi medis dan latihan jasmani selama beberapa waktu (2 4 minggu). Apabila kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan insulin. Pada keadaan tertentu, OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi, sesuai indikasi. Dalam keadaan dekompensasi metabolik berat, misalnya ketoasidosis berat, stres berat, berat adan yang menurun dengan cepat, adanya ketonuria, insulin dapat segera diberikan. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan pada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus (PERKENI, 2006) I. Edukasi Edukasi yang diberikan kepada pasien meliputi pemahaman tentang : Perjalanan penyakit DM Makna dan perlunya pengendalian dan pemantauan DM Penyulit DM dan risikonya Intervensi farmakologis dan non-farmakologis serta target perawatan - Interaksi antara asupan makanan, aktifitas fisik, dan obat hipoglikemik oral atau insulin serta obat-obatan lain - Cara pemantauan glukosa darah dan pemahaman hasil glukosa darah atau urin mandiri (hanya jika pemantauan glukosa darah mandiri tidak tersedia) - Mengatasi sementara keadaan gawat darurat seperti rasa sakit, atau hipoglikemia - Pentingnya latihan jasmani yang teratur INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 21

- Masalah khusus yang dihadapi ( missal : hiperglikemia pada kehamilan) - Pentingnya perawatan diri - Cara mempergunakan fasilitas perawatan kesehatan II. Terapi gizi medis (TGM) Setiap diabetisi sebaiknya mendapat TGM sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai target terapi prinsip pengaturan makan pada diabetisi hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum, yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Pada diabetisi perlu ditekankan pentingnya keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis dan jumlah makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat penurun glukosa darah atau insulin.

A.

Komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari : Karbohidrat - Dianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energi - Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak dianjurkan - Makanan harus mengandung lebih banyak karbohidrat terutama yang berserat tinggi - Sukrosa todak boleh lebih dari 10% total asupan energi - Sedikit gula dapat dikonsumsi sebagai bagian dari perencanaan makan yang sehat dan pemanis non-nutrisi dapat digunakan sebagai pengganti jumlah besar gula misalnya pada minuman ringan dan permen - Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam sehari Lemak Dianjurkan sekitar 20 25% kebutuhan kalori Lemak jenuh < 7% kebutuhan kalori Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 22

tunggal - Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans antara lain : daging berlemak dan susu penuh (whole milk) - Anjuran konsumsi kolesterol < 300 mg/hari. Diusahakan lemak berasal dari sumber asam lemak tidak jenuh (MUFA / Mono Unsaturated Fatty Acid), membatasi PUFA (Poly Unsaturated Acid) dan asam lemak jenuh Protein - Dibutuhkan sebesar 15 20% total asupan energi - Sumber protein yang baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang dan kacangkacangan, tahu, tempe - Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8 g/kg BB/hari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya bernilai biologik tinggi Garam - Sama dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6 7 g (1 sendok teh) garam dapur - Pembatasan natrium sampai 2400 mg atau sama dengan 6g/hari terutama pada mereka yang hipertensi Serat Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari, diutamakan serat larut Pemanis Batasi penggunaan pemanis bergizi Fruktosa tidak dianjurkan karena efek samping pada lipid plasma Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman B. Kebutuhan kalori INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 23

Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan diabetisi. Diantaranya adalah dengan perhitungan berdasarkan kebutuhan kalori basal sebesar 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah dan dikurangi bergantung pada beberapa faktor, yaitu jenis kelamin, umur, aktifitas, berat badan, dll. Perhitungan berat badan ideal ( BBI ) menurut Broca yang dimodifikasi adalah sebagai berikut : Berat badan ideal = 90 % x ( TB dalam cm - 100) x 1 kg Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150 cm, rumus modifikasi menjadi : ( TB dalam cm 100) x 1 kg BB Normal : BB ideal 10 % Kurus : < BBI 10 % Gemuk : > BBI + 10 % Penentuan status gizi dapat digunakan BMI / Body Mass Index = IMT / Indeks Masa Tubuh dan Rumus Broca. BB ( Kg ) IMT = TB ( M2 ) Klasifikasi IMT : BB Kurang BB Normal BB lebih Dengan risiko Obes I Obes II < 18,5 18,5 22,9 23,0 23,0 24,9 25,0 29,9 30 Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain : Jenis kelamin Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil dari pada pria. Kebutuhan kalori wanita sebesar 25 kal / kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal / kg BB INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 24

Umur Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5 % untuk dekade antara 40 an 59 tahun, dikurangi 10 % untuk usia 60 s/d 69 tahun, dan dikurangi 20 % untuk usia diatas 70 tahun Aktifitas fisik atau pekerjaan Penambahan 10 % dari kebutuhan basal diberikan pada keadaan istirahat, 20 % pada pasien dengan aktifitas ringan, 30 % dengan aktifitas sedang, dan 50 % dengan aktifitas sangat berat Berat badan - Bila kegemukan dikurangi 20 30 % bergantung pada tingkat kegemukan -Bila kurus ditambah 20 30 % sesuai dengan kebutuhan untuk meningkatkan BB -Untuk tujuan penurunan BB jumlah kalori yang diberikan paling sedikit 1000 1200 kkal / hari untukwanita dan 1200 1600 kkal / hari untuk pria Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi( 20 % ), siang ( 30 % )dan sore ( 25 % ) serta 2 3 porsi makan ringan ( 10 15 % ) diantaranya. Untuk meningkatkan kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan kebiasaan. Untuk diabetisi yang mengidap penyakit lain, pola pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya. III. Latihan jasmani Dianjurkan latihan jasmani teratur 3-4 kali tiap minggu selama + 30 menit yang sifatnya Continous INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 25 CRIPE ( Continous Rhytmical Interval Progressive Endurace training ).

Latihan harus berkesinambungan dan dilakukan terus-menerus tanpa henti. Contoh : bila dipilih jogging 30 menit, maka selama 30 menit pasien melakukan jogging tanpa istirahat. Rytmical

Latihan olah raga harus dipilih yang berirama, yaitu otot-otot berkontraksi dan berelaksasi secara teratur. Interval

Latihan dilakukan selang-seling antara gerak cepat dan lambat. Contoh : jalan cepat diselingi dengan jalan lambat, dsb.

-

Progressive

Latihan dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan dari intensitas ringan sampai hingga mencapai 30-60 menit. Sasaran Heart Rate Maksimum Heart Rate = 75-85 % dari Maksimum Heart Rate = 220-umur Endurance

Latihan daya tahan untuk meningkatkan kemampuan kardiorespirasi, seperti jalan (jalan santai/cepat, sesuai umur), jogging, berenang dan bersepeda. Hal yang perlu diperhatikan dalam latihan jasmani ini adalah jangan sampai memulai olah raga sebelum makan, harus menggunakan sepatu yang pas, didampingi oleh orang yang tahu bagaimana cara mengatasi hipoglikemia, harus membawa permen, membawa tanda pengenal sebagai pasien DM dalam pengobatan, dan memeriksa kaki dengan cermat setelah berolahraga. Sedapat mungkin mencapai zona sasaran atau zona latihan yaitu 75-85% denyut nadi maksimal yang dapat dihitung dengan cara sbb : INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 26

DNM = 220 Umur ( dalam Tahun ) Kegiatan jasmani sehari hari dan latihan jasmani secara teratur ( 3 4 kali seminggu selama 30 menit ) merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitifitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan jasmani aerobik seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan status kesegaran jasmani. Hindarkan kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas malasan.

IV.

Terapi Farmakologis

Intervesi farmakologis ditambahkan jika sasaran glukosa darah belum tercapai dengan TGM dan latihan jasmani (Sudoyo Aru, 2006). 1. Obat Hipoglikemik Oral ( OHO ) Berdasarkan cara kerjanya, OHO dibagi menjadi 4 golongan (Sudoyo Aru, 2006) : A. Pemicu sekresi insulin (insuline secretagogue): sulfonilurea dan glinid B. Penambah sensitifitas terhadap insulin : metformin, tiazolidindion C. Penghambat glukoneogenesis : metformin D. Pengambat absorpsi glukosa : penghambat glukosidase A. Golongan Insulin Secretagogues Insulin secretagogues mempunyai efek hipoglikemik dengan cara stimulasi sekresi insulin oleh sel beta pankreas. 1) SULFONILUREA Digunakan untuk pengobatan Diabetes Melitus (DM) tipe 2 sejak tahun 1950-an. Obat ini digunakan sebagai terapi farmakologis pada awal INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 27

pengobatan diabetes dimulai, terutama bila konsentrasi glukosa tinggi dan sudah terjadi gangguan pada sekresi insulin. Sulfonilurea sering digunakan sebagai terapi kombinasi karena kemampuannya untuk meningkatkan atau mempertahankan sekresi insulin. Mekanisme kerja efek hipoglikemia sulfonilurea adalah dengan merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta pankreas. Bila sulfonilurea terikat pada reseptor (SUR) pada channel tersebut maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini menyebabkan penurunan permeabilitas K pada membran dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan menyebabkan peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada Calmodilun dan menyebabkan eksositosis granul yang mengandung insulin. Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin yang tersimpan. Oleh karena itu hanya bermanfaat untuk pasien yang masih mempunyai kemampuan untuk sekresi insulin. Golongan obat ini tidak dapat dipakai pada diabetes mellitus tipe 1. Pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk menghindari kemungkinan hipoglikemia. Pada keadaan tertentu dimana kadar glukosa darah sangat tinggi, dapat diberikan sulfonilurea dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam 1 minggu sudah terjadi penurunan kadar glukosa darah yang cukup bermakna. Bila konsentrasi glukosa puasa < 200mg/dl, Sulfonilurea sebaiknya dimulai dengan pemberian dosis kecil dan titrasi secara bertahap setelah 1-2 minggu sehingga tercapai glukosa darah puasa 90130mg/dl. Bila glukosa darah puasa > 200mg/dl dapat diberikan dosis awal yang lebih besar. Obat sebaiknya diberikan setengah jam sebelum makan karena diserap dengan lebih baik. Pada obat yang diberikan satu kali sehari sebaiknya diberikan pada waktu makan pagi atau pada makan makanan porsi terbesar.

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 28

2) GLINID Kerjanya juga melalui reseptor sulfonilurea (SUR) dan mempunyai struktur yang mirip dengan sulfonilurea tetapi tidak mempunyai efek sepertinya. Repaglinid (derivat asam benzoat) dan nateglinid (derivat fenilalanin) kedua-duanya diabsorbsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan cepat dikeluarkan melalui metabolisme dalam hati sehingga diberikan 2 sampai 3 kali sehari. B. Golongan Insulin Sensitizing 1) BIGUANID Saat ini golongan biguanid yang banyak dipakai adalah metformin. Metformin terdapat dalam konsentrasi yang tinggi didalam usus dan hati, tidak dimetabolisme tetapi secara cepat dikeluarkan melalui ginjal. Oleh karena itu metformin biasanya diberikan dua sampai tiga kali sehari kecuali dalam bentuk extended release. Efek samping yang dapat terjadi adalah asidosis laktat, dan untuk menghindarinya sebaiknya tidak diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin >1,3mg/dl pada perempuan dan >1,5mg/dl pada laki-laki) atau pada gangguan fungsi hati dan gagal jantung serta harus diberikan dengan hati-hati pada orang usia lanjut. Mekanisme kerja metformin menurunkan glukosa darah melalui pengaruhnya terhadap kerja insulin pada tingkat seluler, distal reseptor insulin dan menurunkan produksi glukosa hati. Metformin meningkatkan pemakaian glukosa oleh usus sehigga menurunkan glukosa darah dan menghambat absorpsi glukosa di usus sesudah asupan makan. Setelah diberikan secara oral, metformin akan mencapai kadar tertingi dalam darah setelah 2 jam dan diekskresi lewat urin dalam keadaan utuh dengan waktu paruh 2,5 jam. Metformin dapat menurunkan glukosa darah tetapi tidak akan menyebabkan hipoglikemia sehingga tidak dianggap sebagai obat hipoglikemik, tetapi obat antihiperglikemik. Metformin tidak meyebabkan kenaikan berat badan. INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 29

Kombinasi sulfonilurea dengan metformin saat ini merupakan kombinasi yang rasional karena mempunyai cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada pengobatan tuggal masing-masing, baik pada dosis maksimal keduanya maupun pada kombinasi dosis rendah. Pemakaian kombinasi dengan sulfonilurea sudah dapat dianjurkan sejak awal pengelolaan diabetes, berdasarkan hasil penelitian UKPDS (United Kingdom Prospective Diabetes Study) dan hanya 50 persen pasien DM tipe 2 yang kemudian dapat dikendalikan dengan pengobatan tungal metformin atau sulfonylurea sampai dosis maksimal. Kombinasi metformin dan insulin juga dapat dipertimbangkan pada pasien gemuk dengan glikemia yang sukar dikendalikan. Kombinasi insulin dengan sulfonilurea lebih baik daripada kombinasi insulin dengan metformin. Penelitian lain ada yang mendapatkan kombinasi metformin dan insulin lebih baik dibanding dengan insulin saja. Karena kemampuannya mengurangi resistensi insulin, mencegah penambahan berat badan dan memperbaiki profil lipid maka metformin sebagai monoterapi pada awal pengelolaan diabetes pada orang gemuk dengan dislipidemia dan resistensi insulin berat merupakan pilihan pertama. Bila dengan monoterapi tidak berhasil maka dapat dilakukan kombinasi dengan SU atau obat anti diabetik lain. 2) GLITAZONE Merupakan obat yang juga mempunyai efek farmakologis untuk meningkatkan sensitivitas insulin. Mekanisme kerja Glitazone (Thiazolindione) merupakan agonist peroxisome proliferators-activated receptor gamma (PPAR) yang sangat selektif dan poten. Reseptor PPAR gamma terdapat di jaringan target kerja insulin seperti jaringan adiposa, otot skelet dan hati, sedang reseptor pada organ tersebut merupakan regulator homeostasis lipid, diferensiasi adiposit dan kerja insulin. Glitazone diabsorbsi dengan cepat dan konsentrasi tertinggi ter jadi setelah 1-2 jam dan makanan tidak mempengaruhi farmakokinetik obat ini. Waktu paruh berkisar antara 3-4 jam bagi rosiglitazone dan 3-7 INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 30

jam bagi pioglitazone. Secara klinik rosiglitazone dengan dosis 4 dan 8 mg/hari (dosis tunggal atau dosis terbagi 2 kali sehari) memperbaiki konsentrasi glukosa puasa sampai 55 mg/dl dan A1C sampai 1,5% dibandingkan dengan placebo. Sedang pioglitazone juga mempunyai kemampuan menurunkan glukosa darah bila digunakan sebagai monoterapi atau sebagai terapi kombinasi dengan dosis sampai 45 mg/dl dosis tunggal. Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung kelas I IV karena dapat memperberat udem / retensi cairan dan juga pada gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu dilakukan pemantauan faal hati secara berkala. Saat ini tiazolidindion tidakdigunakan sebagai obat tunggal.

C. Penghambat Glukoneogenesis 1) METFORMIN Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), disamping juga memperbaiki ambilan perifer. Terutama dipakai pada diabetisi gemuk. Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum > 1,5) dan hati, serta pasien pasien dengan kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebrovaskular, sepsis, syok, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping mual. Untuk mengurangi efek samping tersebut dapat diberikan pada saat atau sesudah makan. D. Penghambat Alfa Glukosidase ( acarbose ) Obat ini bekerja secara kompetitif menghambat kerja enzim alfa glukosidase di dalam saluran cerna sehingga dengan demikian dapat menurunkan penyerapan glukosa dan menurunkan hiperglikemia postprandial. Obat ini bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemia dan juga tidak berpengaruh pada kadar insulin. Efek samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulen. INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 31

Acarbose hampir tidak diabsorbsi dan bekerja local pada saluran pencernaan. Acarbose mengalami metabolisme di dalam saluran pencernaan, metabolisme terutama oleh flora mikrobiologis, hidrolisis intestinal dan aktifitas enzim pencernaan. Waktu paruh eliminasi plasma kira-kira 2 jam pada orang sehat dan sebagian besar diekskresi melalui feses. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Memilih Obat Hipoglikemi Oral: a. b. Dosis selalu harus dimulai dengan dosis rendah yang Harus diketahui betul bagaimana cara kerja, lama kerja dan kemudian dinaikkan secara bertahap. efek samping obat-obat tersebut (misalnya klorpropamid jangan diberikan 3 kali 1 tablet, karena lama kerjanya 24 jam). c. d. Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya interaksi obat. Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakanlah menggunakan obat oral golongan lain, bila gagal baru beralih kepada insulin. e. Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien.Tabel 5 Mekanisme kerja, efek samping utama dan pengaruh OHO terhadap penurunan A1C ( Hb-glikosilat )

Golongan

Cara kerja utama Meningkatkan

Efeksamping utama BB naik, hipoglikemia BB naik,

Penurunan A1C 1,5 2 % 1,5 2 %

Sulfonilurea Glinid

sekresi insulin Meningkatkan

sekresi insulin hipoglikemia Menekan produksi Diare, dyspepsia, glukosa hati & asidosis laktat menambah sensitifitas terhadap insulin Menghambat

Metformin

1,5 2 %

Penghambat

Flatulens, tinja

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 32

glukosidase Tiazolidindion

absorpsi glukosa Menambah sensitifitas

lembek Edema

0,5 1,0 % 1,3%

terhadap insulin Menekan produksi Hipoglikemia, BB Insulin glukosa stimulasi pemanfaatan glukosaSumber : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia, 2006

hati, naik

Potensial sampai normal

Cara pemberian OHO terdiri dari (PERKENI, 2006) : OHO dimulai dengan dosis kecil dan ditingkatkan secara bertahap sesuai respon kadar glukosa darah, dapat diberikan sampai dosis hampir maksimal sebelum makan makan sebelum makan makan karbohidrat jadwal makan Acarbose : bersama suapan pertama makan Tiazolidindion : tidak bergantung pada Metformin : sebelum / pada saat / sesudah Repaglinid, Nateglinid : sebelum / sesaat Glimepiride : sebelum / sesaat sebelum Sulfonilurea generasi I & II : 15 30 menit

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 33

Tabel 6 Obat Hipoglikemik Oral di Indonesia

Golongan

Generik Klorpropamid Glibenklamid Glipizid Glikuidon Glimepirid Repaglinid Nateglinid Rosiglitazon Pioglitazon

Mg/tab 100-250 2,5 - 5 5 - 10 30 1,2,3,4 0,5,1,2 120 4 15,30 50-100

Dosis harian 100-

Lama Frek/hari kerja 24-36 1 12 12 23 1 3 3 1 1 3

Waktu

Sulfonilurea

500 2,5 - 15 12-24 5 210-16 30 - 6-8 120 0,5 - 6 1,5 - 6 360 4-8 15 - 45 100300 24 24 24

Sebelum makan

Glinid Tiazolidindion

Tdk bergantung jadwal makan Bersama suapan

Penghambat glukosidase

Acarbose

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 34

Biguanid

Metformin

500-850

2503000

6-8

1-3

pertama Bersama/se sudah makan

Sumber : Sudoyo Aru, 2006

2. INSULIN (Sudoyo Aru, 2006) Insulin diperlukan pada keadaan : Penurunan berat badan yang cepat Hiperglikemia berat yang disertai ketosis Ketoasidosis diabetik Hiperglikemia hiperosmolar nonketotik Hiperglikemia dengan asidosis laktat Gagal dengan kombinasi OHO dosis hampir maksimal Stres berat ( infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke ) Diabetes melitus gestasional yang tidak trkendali dengan TGM Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO Jenis dan lama kerja insulin Berdasar lama kerja, insulin terbagi menjadi empat jenis, yaitu : Insulin kerja cepat ( rapid acting insulin ) Insulin kerja pendek ( short acting insulin ) Insulin kerja menengah ( intermediate acting insulin ) Insulin kerja panjang ( long acting insulin ) Insuln campuran tetap ( premixed insulin ) INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 35

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Efek samping terapi insulin - Efek samping utama adalah terjadinya hipoglikemia - Efek samping yang lain berupa reaksi imun terhadap insulin yang dapat menimbulkan alergi insulin atau resistensi insulin

Table 7 Insulin di Indonesia

Nama Cepat Actrapid Humulin-R Menengah Insulatard Monotard Human Humulin-N Campuran Mixtard 30 Humulin-30/70 Panjang Lantus Bentuk Penfill untuk

Buatan Novo Nordisk (U-40&U-100) Eli Lilly (U-100)

Efek puncak 2-4 jam

Lama kerja 6-8 jam

4-12 jam Novo Nordisk (U-40&U-100) Novo Nordisk (U-40&U-100) Eli Lilly (U-100) 1-8 Novo Nordisk (U-40&U-100) Eli Lilly (U-100) Aventis Novopen 3 adalah : Actrapid Human 100 Insulatard Human 100 Maxtard 30 Human 100 Tidak ada

18-24 jam

14-15

24 am

Bentuk Penfill untuk

Humapen Ergo adalah : Humulin-R 100 Humulin-N 100

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 36

Humulin-30/70 Bentuk Penfill untuk Optipen adalah : LantusSumber : PERKENI, 2006

Terapi kombinasi Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respon kadar glukosa darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi. Terapi OHO dengan kombinasi harus dipilih dua macam obat dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin. Pada pasien yang disertai alasan klinik dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, dipilih terapi kombinasi dengan tiga OHO. Untuk kombinasi OHO dengan insulin, yang banyak dipergunakan adalah kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja sedang / panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin kerja menengah / panjang adalah 10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka obat hpoglikemik oral dihentikan dan diberikan insulin saja (PERKENI, 2006) 2.9. KOMPLIKASI Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi penyulit akut dan menahun (Sudoyo Aru, 2006). I. Penyulit akut Penyulit akut DM sampai saat ini masih merupakan kegawatan yang harus ditangani dengan tepat dan benar karena hanya dengan cara itulah INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 37

angka kematiannya dapat ditekan serendah mungkin. Ketoasidosis diabetik Hiperosmolar nonketotik Hipoglikemia II. Penyulit menahun 1. Makroangiopati, yang melibatkan : Pembuluh darah jantung Pembuluh darah tepi Pembuluh darah otak 2. Mikroangiopati: 3. Neuropati 2.10. PENGENDALIAN DM Untuk dapat mencegah terjadinya komplikasi kronik, diperlukan Retinopati diabetik Nefropati diabetik

pengendalian DM yang baik yag merupakan sasaran terapi. DM terkndali baik, apabila kadar glukosa darah mencapai kadar yang diharapkan serta kadar lipid dan A1C juga mencapai kadar yang diharapkan. Demikian pula status gizi dan tekanan darah (Sudoyo Aru, 2006).Tabel 8 Kriteria pengendalian DM

GD puasa GD 2 jam pp A1C Kolesterol total LDL HDL Trigliserida IMT Tekanan darah

Baik 80 - 109 80 - 144 < 6,5 < 200 < 100 >45 < 150 18,5 22,9 < 130/80

Sedang 110 - 125 145 - 179 6,5 8 200 - 239 100 - 129 150 - 199 23 - 25 130 140 / 80 - 90

Buruk 126 180 >8 240 130 200 >25 >140/90

Sumber : Sudoyo Aru, 2006

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 38

2.11.

PROGNOSIS Sekitar 60% pasien DM yang mendapat insulin dapat bertahan hidup seperti

orang normal, sisanya dapat mengalami kebutaan, gagal ginjal kronis, dan kemungkinan untuk meninggal lebih cepat( Mansjoer, 2001).

BAB III KESIMPULAN 3.1. KESIMPULAN a. Diabetes Melitus (DM) merupakan kumpulan gejala (rasa haus yang berlebihan, sering kencing terutama pada malam hari, banyak makan serta badan yang turun dengan cepat) yang timbul pada seseorang karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif baik yang disebabkan oleh autoimun, obesitas sentral, diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat, gerak badan kurang dan keturunan (herediter). Prevalensi DM diperkirakan akan terus meningkat dari tahun ke tahun di mana 120 juta orang di seluruh dunia terkena DM, sehingga perlu adanya upaya pencegahan seperti dengan uji diagnostik DM dan pemeriksaan penyaring. b. Gejala Diabetes Melitus (DM) dapat berupa banyak makan (polifagia), sering merasa haus (polidipsia), sering kencing (poliuria) terutama malam hari, lemas, berat badan menurun, kesemutan pada jari tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan kabur, impotensi pada pria, pruritus vulva pada wanita, luka sukar sembuh, melahirkan bayi dengan berat badan > 4 kg. c. Diagnosis Diabetes Melitus (DM) ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan pada orang yang mempunyai risiko DM, tetapi tidak menunjukan gejala DM melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 39

glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar. d. Pilar penatalaksanaan Diabetes Melitus (DM) terdiri dari edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis. e. Dalam perjalanan penyakit Diabetes Melitus (DM), dapat terjadi penyulit akut yang merupakan kegawatan dan penyulit menahun yang dapat menimbulkan kecacatan. DAFTAR PUSTAKA Gustaviani Reno. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; 1857-9. Mansjoer Arif, dkk. Kapita selekta kedokteran ed III jl I. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta : 2001 Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. PB Perkeni, Jakarta: 2002; hal 1-19 Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia. Semarang: 2006. Powers C Alvin. Harrisons Principle of Internal Medicine 16th. Medical Publishing Division Mc Graw-Hill. North America: 2005. Soegondo S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed 4 jl 2. Perhimpunan Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: 2005; Hal 1974-80. Soegondo S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th . Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; Hal 1860-3. Subekti I (2004). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Balai Penerbit INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 40

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2004; Hal 217-23. Sudoyo Aru.W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam ed IV, jl III. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006 Supartondo, Waspadji S. Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2003; hal 375-7. Suyono S. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2007; Hal 7-14 Yunir Em, Soebardi Suharko. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 4th. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2006; 1864-7.

INDRIA PARAMITHA | DIABETES MELITUS TIPE 2 41