21
Problem Definisi Istilah adat yang berasal dari bahasa Arab ‘adab atau ‘urf yang diartikan sebagai suatu kebiasaan atau hukum kebiasaan dalam perkembangannya bisa disesuaikan pada konteksnya. Pertma, istilah adat dapat diartikan sebagai hukum, aturan atau ajaran tentang moralitas yang sesuai dengan kebiasaan dan kesepakatan masyarakat. Kedua, adat juga bisa digunakan dalam hubungan kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah tertantu. Sebab di beberapa wilayah atau Negara yang masih menganut system hukum adat memiliki aturan sendiri yang berbeda dengan system adat lainnya, tergantung dari identitas kultur dan bahasanya. Aspek ketiga mengartikan istilah adat sebagai kumpulan literatur dari dan tentang adat oleh para ahli hukum. Meskipun, pada saat ini perkembangan adat pasif tetapi pembahasan, diskusi perkembangan adat itu sendiri masih terus berkembang, karena pembahasan mengenai adat tidak saja pada lingkup sosio antropologisnya melainkan juga lingkup normatifnya yang menyebabkan studi mengenai adat menjadi variatif. Snouck Hurgoronje menyampaikan bahwa ada perbedaan mengenai istilah adat yang digunakan dalam dialek Melayu dan Minangkabau yang perlu disadari. Jika dalam bahasa Melayu adat istiadat adalah sebagai institusi manusia secara keseluruhan, maka dalam bahasa Minangkabau istilah adat isitiadat menunjuk pada suatu kategori tertentu yang berbeda dari institusi lain sebab orang Minangkabau biasa membedakan antara 3 kata : adat- istiadat, adat nan diadatkan dan adat teradat, yang masing-masing memiliki makna yang berbeda. Snouck Hurgoronje juga

Resume Perikatan Adat

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Perikatan Adat

Citation preview

Problem DefinisiIstilah adat yang berasal dari bahasa Arab adab atau urf yang diartikan sebagai suatu kebiasaan atau hukum kebiasaan dalam perkembangannya bisa disesuaikan pada konteksnya. Pertma, istilah adat dapat diartikan sebagai hukum, aturan atau ajaran tentang moralitas yang sesuai dengan kebiasaan dan kesepakatan masyarakat. Kedua, adat juga bisa digunakan dalam hubungan kebiasaan yang berlaku di suatu wilayah tertantu. Sebab di beberapa wilayah atau Negara yang masih menganut system hukum adat memiliki aturan sendiri yang berbeda dengan system adat lainnya, tergantung dari identitas kultur dan bahasanya. Aspek ketiga mengartikan istilah adat sebagai kumpulan literatur dari dan tentang adat oleh para ahli hukum. Meskipun, pada saat ini perkembangan adat pasif tetapi pembahasan, diskusi perkembangan adat itu sendiri masih terus berkembang, karena pembahasan mengenai adat tidak saja pada lingkup sosio antropologisnya melainkan juga lingkup normatifnya yang menyebabkan studi mengenai adat menjadi variatif.Snouck Hurgoronje menyampaikan bahwa ada perbedaan mengenai istilah adat yang digunakan dalam dialek Melayu dan Minangkabau yang perlu disadari. Jika dalam bahasa Melayu adat istiadat adalah sebagai institusi manusia secara keseluruhan, maka dalam bahasa Minangkabau istilah adat isitiadat menunjuk pada suatu kategori tertentu yang berbeda dari institusi lain sebab orang Minangkabau biasa membedakan antara 3 kata : adat-istiadat, adat nan diadatkan dan adat teradat, yang masing-masing memiliki makna yang berbeda. Snouck Hurgoronje juga menjelaskan bahwa bagi sebagian orang, adat istiadat bermakna sebagai keseluruhan hukum dari masyarakat pendahulu maupun kebiasaan yang disusun oleh para tetua, yang berbeda dari apa yang disusun oelh generasi kemudian. Dua istilah adat lainnya yaitu adat nan diadatkan dan adat teradat mengindikasikan kebiasaan dan ditentukan melalui kesepakatan (mufakat) yang karenanya tidak dapat disamakan dengan arti adat yang tidak pernah berubah (adat nan sabana adat).Kusumardi Pudjosewojo disisi lain berusaha memahami pengertian adat ini dari perspektif proses kreasi hukum yang berlangsung dalam masyarakat. Ia berpandangan bahwa sangat dimungkinkan suatu tindakan awal diikuti sebagai kebiasaan yang kemudian berangsur-angsur tertanam dalam masyarakat yang menimbulkan suatu perasaan kepatutan dan pada akhirnya tindakan tersebut menjadi suatu adat. Berbeda dari definisi yang dikemukakan Kusumardi Pudjosewojo, Hazairin mengkaji adat dari segi etika, dimana adat amerupakan sedimen etika yang karenanya cenderung meluas cakupannya dalam berbagai nilai etika yang ada dalam masyarakat. Definisi adat yang berbagai macam dan terkesan rumit tidak bisa dilepaskan dari berbagai pandangan masyarakat mengenai adat, tetapi kesemuanya dapat dimasukkan dalam artian yang sama.Kecenderungan masyarakat memahami adat sebagai suatu norma yang mencakup segala aspek kehidupan manusialah yang menjadi basis kuat untuk mempertahankan pandangan taksonomi tersebut. Para tetua adat di Minangkabau membagi adat secara umum, yakni adat sabana adat yang digunakan untuk menunjukan adat yang absolute, bersifat universal dalam pengaplikasiannya dan tidak ada pembatasan ruang dan waktu maupun diskriminasi antar individu. Sebagian orang menganggap adat sabana adat ini berisikan tentang hukum alam. Ijenis yang kedua adalah adat non-sabana adat diklasifikasikan ke dalam tiga criteria, yakni adat-istiadat (kebiasaan) yang berfungsi sebagai petunjuk baku untuk masyarakat yang tidak mudah dirubah, adat nan teradat yang dipraktekan secara berulang-ulang di suatu wilayah tertentu, dan adat nan diadatkan digunakan untuk bentuk tindakan tertentu yang dapat berubah sesuai dengan perkembangan waktu dan tempat.Terlepas dari semua perbedaan taksonomi yang ada di Nusantara, secara etimologis adat digunakan untuk menyebut norma yang mengikat dari fase masyarakat tertentu sebagai suatu bentuk tradisi hukum dalam ide modern. Pada dasarnya adat terdiri atas tiga hal, pertama bentuk adat sebagai suatu deskripsi yang terdiri dari beberapa institusi yang saling berkaitan dalam masyarakat. Kedua, adat sebagai suatu aturan yang memberikan arahan untuk mentataati suatu peraturan yang ada dalam institusi yang bersangkutan. Ketiga, adat merupakan intreprestasi dari suatu keputusan adat yang muncu dalam keputusan-keputusan fungsionaris adat. Hal-hal inilah yang menyebabkan adat tidak bisa dipisahkan dengan ide hukum yang juga dipahami sebagai norma yang mengikat semua orang.Polemik Adat Sebagai HukumPara Ahli Hukum Barat belum bisa menerima adat sebagai hukum, sebab adanya perbedaan pemahaman mengenai hukum pada masyarakat Barat dibanding pemahaman yang serupa dalam Masyarakat Indonesia. Masyarakat Barat cenderung melihat hkum hanya pada diimensi legalisasi dan preseden yang diturunkan dari sumber hukum tertulis saja, sedangkan bentuk hukum lain yang tidak tertulis, dihasilkan melalui tradisi lisan dipandang hanya sebagai kebiasaan tetapi bukan termasuk hukum. Pandangan ini juga dipengaruhi oleh para sarjana Barat yang hanya melihat aspek hukum dari adat melalui lensa pengajaran dan definisi hukum yang dapat diterima dalam dunia barat sehingga mempengaruhi pemerintah colonial Belanda ketika menghadapi fenomena adat dalam masyarakat lokal.Masyarakat Indonesia memberikan definisi adat sebagi suatu hukum karena pada esensinya adat dipahami sebagai norma yang mengikat dan dipelihara oleh masyarakat dalam rangka kepentingan mengatur kehidupan bermasyarakat. Ada dua hal yang menjadi dasar yakni pertama, masyarakat memahami bahwa adat berhubungan dengan seluruh kedidupan manusia termasuk hubungan mereka dengan fenomena alam. Kedua, terminologi adat membedakan antara tradisi hukum dengan nilai-nilai yang dibawa oleh agama, khususunya setelah masuknya hukum agama dari luar selain Islam dan Hindu. Para sarjana Belanda akhirnya menggunakan lensa pemahaman mereka tentang hukum Barat untuk memisahkan antara adat yang hanya sekedar suatu kebiasaan dengan adat bermanifrstasi hukum sehingga kemudian menciptakan terminologi adatrech untuk yang terakhir, yaitu adat yang berisi aturan hukum.Van Vollenhoven kemudian mengembangkan terminologi adatrecht yang diciptakan Snouck Hurgronje menjadi suatu konsep terminologi untuk dapat menyebut adat yang dapat disebut sebagai hukum dengan menggunakan logia pemahaman Barat tentang hukum untuk menyebut adat sebahgai suatu tradisi hukum. Jika Van Vollenhoven secara konsisten menekankan pada eksistensi sanksi sebagai causa sine quanon dari hukum adat yang sebenarnya, maka Ter Haar cenderung mengikuti teori kekuasaan (sovereignty theory) ketika memisahkan adat kebiasaan dan hukum adat karena menurutnya hukum adat adalah hukum sepanjang diekspresikan oleh para fungsionaris adat dalam masyarakat yang memiliki otoritas untuk menjustifikasi kelegalan adat tersebut. Berbeda dengan pandangan Van Vollenhoven yang cenderung melihat adat sebagai institusi hukum yang harus didukung oleh sanksi dalam masyarakat.Baik teori Van Vollenhoven maupun Ter Haar pada dasarnya merupakan derivasi dari ide dasar yang sama bahwa tidak semua adat dapat dikatakan mempunyai karakter sebagai hukum. Ini berarti bahwa adat tidak in toto hukum karena beberapa bagiannya merupakan bagian hukum sedangkan bagian yang lain tidak. Inilah yang menjadi pemahaman umum para sarjana Barat yang membahas adat sebagai hukum. Sejalan dengan Van Vollenhoven dan Ter Haar, Adamson Hoebel juga berpendapat bahwa hukum atas dasar norma social yang bersifat legal apabila ada pembalasann atas perbuatannya baik berupa ancaman maupun sanksi social di dalam masyarakat. Pandangan ini secara jelas merefleksikan ide positivism hukum bahwa terdapat kelompok tertentu yang berhak untuk mengaplikasikan sanksi terhadap pelanggaran norma social tersebut. Beberapa tahun kemudian, Lloyd, memberikan argument serupa ketika menjelaskan tentang adat hukum tanah Yoruba. Disis lain Elias memberikan penjelasan tersendiri, menurutnya hukum dalam masyarakat tertentu adalah system aturan yang dipandang sebagai kewajiban oleh anggota masyarakat tersebut karenanya tidak memandang sebagai sebuah institusi yang merubah sebuah norma menjadi suatu hukm sepanjang ia dipandang sebagai kewajiban oleh masyarakat maka ia adalah hukum.Pengaruh teori para Sarjana Belanda ini juga mempengaruhi pemikiran Sarjana Indonesia yang sebagian besar juga mendefinisikan adat sebagai hukum. Meski demikian, afa beberapa Sarjana yang memiliki pandangan yang berbeda, diantaranya Soepomo yang memandang adat ditentukan menjadi sebuah hukum ataupun tidak haruslah didasarkan pada pendapat masyarakat karena adat pada dasarnya adalah hukum yang hidup ditengah masyarakat dan merefleksikan rasa keadilan masyarakat dalam keseharian mereka. Djojodigoeno mengemukakan mengenai pembedaan pandangan dimensi formal, yakni menyebutkan hukum adat sebagai hukum tidak tertulis, dengan dimensi materialnya yang menyebutkan hukum adat yang merupakan system norma yang mengekspresikan keadilan social masyarakat. Artinya, Djojodogoeno memandang hukum adat dari sisi bentuk hukumnya bukan terjebak pada polemic apakah adat itu hukum atau bukan.Hal ini juga mempengaruhi Koesnoe yang mengadopsi klasifikasi yang diajukan Djojodogoeno dan mengembangkan teorinya sendiri. Secara singkat hukum adat menurutnya merupakan bagian dari adat yang merefleksikan apa yang masyarakat pikirkan sebagai suatu hal yang adil dan pantas dalam kehidupan masyarakat mereka. Posisi hukum adat karenanya dapat dikelompokkan dalam bagian adat ayng dapat memecahkan berbagai masalah manusia yang sejalan dengan keadilan dan kepatutan.Para Sarjana Belanda secara konstan menganalisis adat dari perspektiv positivisme hukum , dimana hukum adat semata-mata dilihat dari segi normatifnya saja dan sama sekali dilepaskan dari nilai-nilai moral dan etika yang ada pada masyarakat sebagai premisnya. Di sisi lain paar pemikir Indonesia menekankan pada iseologi hukum alam (natural law), dimana argument moral menjadi fondasi dasar dalam penciptaan hkum,. Ide hukum sebagai manifestasi rasa keadilan dan kepatutan yang dikemukakan beberapa Sarjana Indonesia diatas, sangat jelas merefleksikan pemikiran mereka mengenai hukum adat yang berawal dari hukum alam, yang menyatakan bahwa pemikiran mereka tentang hukum adat pada dasarnya tidak akan sama dengan pemikiran para sarjana Belanda.Terlepas dari semua itu, penggunaan kosakata adat dan hukum adat dalam penggunaannya oleh masyarakat menunjukan makna yang sama yakni sebagai hukum tidak tertulis yang mengatur kehidupan masyarakat mereka. Adat oleh karenanya jelas merupakan bentuk hukum yang berisi segala bentuk institusi social dan perilaku yang diharapkan dimiliki oleh masyarakat tersebut, disamping arahan-arahan prespektif dan aturan yang harus ditaati dalam kehidupan keseharian mereka. Sejalan dengan argument itu, polemeik tentang identifikasi adat sebagai hukum perlu untuk lebih diarahkan pada kenyataan bahwa hukum adat bukanlah sekedar kebiasaan (custom). Karenanya, secara konsisten menggunakan istilah kebiasaan dalam diskusi mengenai adat hanya akan menghasilkan pandangan tidak akurat.Perlu diingat bahwa ada beberapa adat yang ditemukan tertulis terutama yang sudah tercampur dengan Hukum Islam di beberapa tempat. Penekanan tetap pada pandangan adat sebagai tradisi hukum tidak tertulis menghasilkan pendekatan yang lebih konstruktif kepada karakter filosofis hukum adat itu sendiri. Memahami hukum adat hanya sebagai kebiasaan akan justru merendahkan arti hukum itu sendiri walaupun didasarkan pada tingkah laku social masyarakat yang diulang-ulang dan tidak memiliki konsekuensi hukum sama sekali.Karakter Hukum AdatHukum adat secara formulasinya yang tradisional dicirikan oleh penyampaiannya yang dilakukan secara tidak tertulis kepada masyarakat. Bentuknya yang tipikal dari hukum adat terletak dalam tradisi lisannya. Melalui tradisi inilah keaslian adat dapat dipertahankan, dimana dengan hubungannya antara masa lampau, masa kini dan masa depan dari masyarakat dapat dijaga karena itu hukum adat sangat jarang di kodifikasikan. Kalaupun kodifikasi itu berlangsung, itu hanya sebuah pengecualian. Beberapa wilayah yang memiliki sumber hukum adat tertulis diantaranya adalah di Lombok dan Bali dengan fungsi utama mereka secara umum terletak pada pernyataan-pernyataannya yang bersifat perskriptif, bergantung pada daya ingat dan perasaan keadilan kolektif daripada sumber hukum tertulis. Baik sumber dan perkembangannya hukum adat tidak tergantung pada proses tekhnis dari legislasi.Sejalan dengan prinsip tradisi lisan, hukum adat cenderung merujuk pada tradisi leluhur yang disimpan dalam bentuk petuah-petuah dan cerita sebagai sumber hukumnya yang menjadi karakter tradisional hukum adat. Sebagai hukum tradisional, nilai-nilai preskriptif dari hukum adat senantiasa berusaha menghubungkan antara kejadian yang terjadi di masa lampau dan masa kini. Kemudian menyebabkan sebagian besar tuntutan para ahli adat didasarkan pada cerita masa lampau yang berfungsi sebagai justifikasi atas hukum adat itu sendiri yang diformulasikan ke dalam bentuk cerita, petuah, dan puisi yang mengandung prinsip-prinsip yang dipindahtangankan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Petuah-petuah itu sangat bergantung pada pemilihan bahasa yang cenderung samar-samar baik dalam karakter dan maknanya sehingga terasa tidak jelas.Hal tersebut yang menjadikan adat itu unik sehingga membutuhkan para ahli untuk menerjemahkan maknanya ketika terjadi perselisihan ditengah masyarakat. Selain itu, ketidakjelasan itu memberikan keuntungan dengan timbulnya variasi dari resolusi penyelesaian perselisihan tersebut.Aspek Substantif Hukum AdatAjaran adat mengenai harmonis antara masyarakat dan alam sangat memberikan pengaruh terhadap aspek substansi hukumnya. Individu mempunyai hak dan kewajiban yang secara spesifik tergantung pada hubungannya dengan masyarakat. Namun demikian, hal tersebut tidak dipahami sebagai suatu yang tetap, melainkan tergantung pada beberapa perilaku yang dituntunkan adat terhadap satu individu. Oleh sebab itu, karena masyarakat pada dasarnya merupakan titik awal dari setiap pertimbangan hukum, kita tidak mendapatkan dalam hukum adat suatu konsep yang menempatkan individu sebagai referensi tergantung dari posisi dan status individu tersebut dalam masyarakat adat. Lebih dari itu, dalam banyak kasus, kewajiban individu sering dipahami sebagai akibat dari latar belakang genealogis seseorang. Ajaran hukum adat tentang kewajiban individual dalam hubungannya dengan masyarakat, baik karena alasan genealogi maupun territorial, senantiasa memiliki hak yang lebih besar ketimbang individu. Ajaran seperti ini memberikan garansi bahwa walaupun hak hak komunal lebih utama, namun keseimbangan harmoni antara individu, masyarakat, dan alam harus tetap dijaga. Hal ini semata karena satu pandangan bahwa dunia ini hanyalah satu, dimana manusia dan alam adalam bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kesatuan tersebut.Hukum Tanah. Tanah merupakan suatu hal terpenting dalam kehidupan masyarakat, hukum adat memberikan aturan secara detail mengenai hak hak yang bersangkutan dengannya. Dalam hal ini kita melihat bahwa hak ulayat atau beschikkingsrecht (istilah Belanda untuk hak komunal tanah adat) mempunyai yang umum didapati di berbagai tradisi kelompok hukum adat. Semenjak system pertama abad ke dua puluh, van Vollenhoven sudah berusaha untuk mendeskripsikan karakter umum dari hak ulayat ini, walaupun ia memahami bahwa variasi lokal bukannya tidak signifikan. Dalam pandangannya, interpretasi yang standar dari hak tanah ini adalah sebagi berikut : Pertama, anggota dari masyarakat otonomi adat biasanya bebas untuk menggunakan semua tanah perawan yang berada dalam wilayahnya. Tanah tersebut dapat digunakan untuk menanam, membangun desa, dsb. Kedua, orang asing diperbolehkan mengerjakan hal yang serupa terhadap tanahtersebut tetapiharus memperoleh izin dari masyarakat desa tersebut. Ketiga, jika orang luar ingin menggarap tanah tersebut maka biasanya mereka harus membayar atau memberikan hadiah sebagai gantinya. Keempat, masyarakat adat mempunyai hak untuk turut menggarap tanah yang telah digarap yang berada dalam wilayahnya. Kelima, masyarakat adat bertanggungjawab terhadap segala sesuatu yang terjadi dalam batas teritorialnya ketika tidak ada orang yang bisa dimintai tanggungjawabnya. Keenam, masyarakat adat tidak dapat mengesampingkan hak alokasi tanah adat selama lamanya. Deskripsi van Vollenhoven tentang hak ulayat ini merupakan potret yang akurat mengenai hak komunal tanah adat yang hidup dalam masyarakat, dimana relasi antara hak individu dan masyarakat senantiasa dipertahankan dalam keadaan yang seimbang. Dua ketentuan dasar Hak Ulayat:1. Hubngan antara hak individu dan hak komunitas selalu di tentukan oleh komitmen dan kewajiban yang ada di dalamnya. Berlaku ketentuan bahwa, semakin banyak prestasi dan modal yang diinvestasikan terhadap suatu tanah, maka akan semakin tinggi pengakuan masyarakat terhadap hak individual, begitu juga sebaliknya.2. Transfer hak tanah tersebut baik terhadap orang asing maupun anggota internal masyarakat selalu di bawah kontrol ketat masyarakat itu sendiri. Biasanya, orang luar dapat memiliki hak tanah itu secara terbatas hanya berdasar pada pembayaran uang recognite dan izin dari anggota masyarakat. Sedangkan anggota masyarakat sendiri biasanya di bebaskan dari pembayaran uang pengakuan tetapi tetap memerlukan izin dari anggota masyarakat.Ciri-ciri umumnya yaitu bahwa semakin urban dari masyarakat yang bersangkutan maka akan semakin besar kesempatan hak individu terhadap tanah itu untuk diakui. Hal ini sebagian besar berlaku di daerah Jawa, tetapi tidak banyak ditemui di daerah lain seperti Sumatera Barat, Bali, Kalimantan dan Papua. Kuatan hak individu dibanding hak komunal itu juga bergantung pada lokasi tanah. Biasanya hak individu lebih kuat pada tanah untuk tanaman kering, sementara untuk tanah lahan basah, rumah pedesaan atau untuk tujuan ibadah biasanya berada dalam kontrol masyarakat.Hukum Perkawinan. Perilaku yang umum untuk mempertahankan sikap hidup komunal seperti di atas juga dapat ditemui dalam hukum adat tentang perkawinan. Idenya di sini adalah bahwa perkawinan berfungsi tidak hanya untuk memastiakn kontinuitas ras manusia tetapi juga keberlangsungan masyarakat itu sendiri. Perkawinan karenanya lebih dari sekedar intuisi yang dicipatakan untuk memproteksi masyarakat dari kepunahan. Dalam masyarakat adat, perkawinan merupakan kejadian dalam hidup yang sangat penting, karena melalui perkawinan ini seseorang laki laki dan perempuan secara sadar masuk menjadi anggota masyarakat dan dengan melakukan hal itu maka mereka akan memperoleh hak dan kewajiban yang sama terhadap masyarakatnya. Perkawinan dalam adat karenanya berfungsi sebagai langkah awal untuk mendapatkan pengakuan sebagai anggota penuh dari masyarakat. Hal ini karena dalam adat pengakuan tidak diberikan semata karena individunya saja tetapi kepada individu sebagai bagian dari masyarakat. Dan karena inti dari masyarakat adalah keluara, maka perkawinan menjadi syarat mutlak untuk sesorang mendapatkan identitas dari masyarakat tersebut. Kita melihat di sini betapa adat memandang perkawinan sebagai sesuatu yang sangatpenting dalam kehidupan, tidak hanya bagi kehidupan individu tetapi juga bagi masyarakat secara luas. Karena perkawinan pada esensinya adalah acara komunal, maka suatu hal yang logis bahwa tidak hanya keluarga dari pasangan pengantin laki laki dan perempuan yang dilibatkan tetapi juga masyarakat secara keseluruhan, tidak ketinggalan pula para pengurus adat.Hukum Kewarisan. Hukum adat kewarisan merefleksikan prinsip prinsip kehidupan yang muncul dari pemikiran komunal, dimana keluarga sebagaimana kita lihat di atas, menjadi komponen inti dalam struktur masyarakat. Hukum kewarisan adat terdiri dari berbagai aturan yang mengatur prose pengalihan hak dan kepemilikan keluarga, baik terhadap objek material maupun dari satu generasi kepada generasi berikutnya. Proses hak milik ini dengan demikian tidak difokuskan kepada kematian dari orang tua atau sesorang tertentu dalam keluarga tapi bermula semenjak terbentuknya keluarga itu sendiri. Tidak berarti bahwa hukum kewarisan harus dimulai dari kematian tersebut, karena pengalihan hak milik itu bisa terjadi tanpa harus adanya sebab kematian itu sendiri. Mekanisme dari hukum kewarisan adat karenanya tidak melibatkan perhitungan tehnis dan matematis yang sangat rumit dalam hal pembagian harta warisan. Dapat dikatakan bahwa hukum kewarisan adat dalam prakteknya terletak pada kenyataan masyarakat yang tidak pernah memisahkan hukum waris dengan hukum hukum lain yang berlaku dalam klan yang dianut oleh komunitas bersangkutan. Karena itu, tergantung dari model pengelompokkan yang berlaku didalamnya, entah itu patrialkal, matrialkal atau parental, prosedur pengalihan hak itu mengikuti pola tertentu. Terlepas dari perbedaan dalam hal kewarisan karena perbedaan klan sebagaimana disebutkan di atas, semua kelompok adat di Indonesia pada dasarnya menganut pemahaman yang sama dalam membedakan antara harta benda yang dimiliki oleh kedua orang tua sebelum dan sesudah perkawinan. Karena garis perbedaan antara kedua pada dasarnya adalah perkawinan, maka kepemilikan yang dihasilkan sebagai hasil dari adanya perkawinan tersebut dibedakan dengan kepemilikan yang diperoleh melalui sumber sumber lain, dan ini menjadi penting ketika perhitungan warisan tersebut dimulai karena salah seorang dari mereka meninggal.Hukum Pidana. Prinsip keseimbangan dan harmoni dalam kehidupan masyarakat adat juga menjadi karakter dari konsep hukum adat tentang hukuman. Karena adat senantiasa mendasarkan diri pada premis hubungan erat antara individu dan masyarakat, maka pembentukan delik dalam masyarakat juga diarahkan oleh suatu kepercayaan bahwa, pemertahanan keseimbangan antar dunia lahiriah dan gaib, maupun antara manusia dan semua mahluk hidup lain dalam masyarakat merupakan yang sangat penting. Karenanya, segala sesuatu yang merusak keseimbangan tersebut dapat dilihat sebagai tindakan melawan hukum. Setiap tindakan yang merusak harmoni masyarakat adalah tindakan yang keliru yang pantas untuk mendapatkan hukuman, sehingga keadaan harmoni itu dapat dikembalikan seperti sediakala.Sifat adat sebagai hukum yang tidak tertulis juga mempengaruhi pola hukum pidana adat ini. Para ahli Belanda saat itu tentu tidak banyak yang memahami hal ini. Kebanyakan mereka lebih memahami doktrin prae-existente regels dimana suatu pelanggaran dianggap suatu kejahatan jika memang disebutkan demikian dalam sumber hukum tertulis. Nilai nilai pidana dalam hukum adat mempunyai dasar dasar filosofis untuk menjaga keseimbangan dan harmoni dalam masyarakat baik dalam hubungan antara manusia dengan alam dan hubungan alam dan dunia supernatural.

Kontinuitas dan PerubahanFleksibilitas hukum adat sebagai tradisi hukum tidak tertulis senantiasa mengalami perkembangan melalui interpretasi hukum. Aturan yang dibuat senantiasa bisa dinegosiasikan, disesuaikan dan dirubah sejalan dengan keadaan masyarakat itu sendiri. Lylod menyampaikan persepsi yang sama mengenai fleksibilitas hukum adat pada masyarakat Yoruba. Mengutip pernyataannya bahwa hukum adat secara konstan sellau diinterpretasi berulang-ulang untuk memenuhi kebutuhan ekonomi komersial, cenderung menggunakan kata ditafsir ulang daripada dirubah. Sejalan dengan pandangan ini, kelenturan hukum adat bergerak sejalan dengan gerakan evolusi dari masyarakat tersebut.Eksistensi hukum adat esensisnya berkutan berakar dalam rasa keadilan masyarakat, karakter hukum didalamnya mengikuti pemikiran masyarakat dalam kasus-kasus tertetntu. Sehingga, dapat dikatakan bahwa hukum adat pada dasarnya adalah case-law system, karena detail hukum itu dibangun berdasarkan perkembangan opini masyarakat yang menyerupai system hukum terbuka baik ide filososfis maupun aspek detail subtantifnya melalui diskusi panjang yang melibatkan seluruh bagian masyarakat. Hukum dari masyarakat adat bukanlah sesuatu yang kaku dan tidak mampu berubah melainkan senantiasa berkembang sejalan dengan keinginan dan perubahan waktu dan keadaan dimana masyrakat itu berada.Pada dasarnya aspek fundamental hukum itu bersifat kekal walaupun aspek subtantifnya hukum itu secara konstan berubah sejalan dengan kebutuhan social. Hukum adat seperti yang digambarkan masyarakat Minangkabau adalah tetap kekal dalam penampakannya. Hal ini hampir serupa dengan istilah adat nan sabana adat dimana bagian adat aynag tidak berubah yaitu adat yang rigid dan tidak berubah serta tidak berhubungan dengan perubahan waktu dan tempat. Adat dilihat sebagai prinsip-prinsip hukum yang menginspirasikan semua aturan dan norma yang diaplikasikan dalam masyarakat. Dengan kata lain, adat universal berisi nilai-nilai hukum yang umum dan mendasar, menurunkan hukum yang kekal dan berlanjut serta tidak mengenal perubahan meskipun hukum adat itu sendiri karakernya seperti air yang mengalir secara konstan.Peran fungsionaris dan ahli adat yang diharapkan memahami dan mampu memerankan peran yang tepat dalam mengimpletasikan aspek-aspek adat, menginterprestasi sumber hukum adatdan menyesuaikannya dengan perubahan social. Sedangkan lembaga peradilan lebih dari sebagai suatu tempat untuk mendapatkan pengadilan tetapi lebih pada proses untuk dapat meningkatkan keadilan dan keseimbangan dalam masyarakat dengan metode pengembalian keadlian (restorative justice), bukan koreksi keadilan (corrective justice) seperti yang ada pada konsep peradilan barat. Sehingga hukum tidak pernah dilihat sebagai sesuatu yang tidak mengenal perubahan tetapi sebagai suatu system aturan yang dibentuk sesuai dengan kebutuhan riil dari masyarakat dan secara prinsip teoritis hal ini sangat dekat dengan perubahan.Relasi Adat dan Tradisi Hukum LainnyaHukum adat esensinya merupakan tradisi terbuka sehingga memungkinkan adanya pertukaran antara hukum adat dengan hukum lainnya yang tampak jelas utamanya dalam hubungan antara hukum adat dengan hukum Islam. Sejak kedatangan Islam hubungan antara hukum adat dengan hukum Islam memang dilihat sebagai penyempurnaan dari hukum adat itu sendiri, bahkan kemudian hukum agama justru dilihat sebagai bagian dari hukum adat.Kedamaian dan harmoni dalam konteks keadilan pada hukum adat dan agama umumnya menjadi tujuan utama dimana keduanya dicapai dengan memberikan tempat untuk berkembang dari dalam maupun dari luar masyarakat itu. Penduduk asli cenderung memandang hukum adat dan agam sebagai suatu tradisi yang sama-sama memiliki misi mencapai nilai-nilai kebaikan dan memberantas kemungkaran meskipun memiliki perbedaan dalam beberapa aspek.Pendekatan yang non-konfliktual dari sisi adat terhadap berbagai tradisi hukum yang amsuk dalam masyarakat memang akibat pengaruh dari sikap personal dari masyarakat memang akibat pengaruh dari sikap personal dari masyrakat ayng cenderung pluralistik. Dalam kasus pergumulan antara adat dan hukum Islam, tema umum harmonisasi antar kedua tradisi terefleksi ke dalam berbagai maksim yang hidup dalam masyarakat. Orang karenany apercaya bahwa walaupun hukum adat tidak bersifat sacral, namun ia berasal dari sumber yang sama dengan hukum sacral. Ditambah, kedua hukum tidak bertentangan dan bahkan saling melengkapi dan hukum Islam juga dipandang sebagai penyempurnaan hukum adat.Dalam beberapa aspek memang ditemukan perbedaan diantara hukum adat dengan hukum agama yang dapat menimbulkan konflik dan tidak dapat dihindari. tetapi kedua hukum senantiasa mengalir sesuai juridiksinya masing-masing, terlepas dari pertentangan itu dengan kompromi antar kedua tradisi yang biasanya yang mampu memberikan solusi yang berbeda. Sifat adat yang terbuka menyebabkan terjadinya pertukaran tradisi walaupun konsekuensinya sering mengorbankan karakter hukum adat.Sementara hubungan antara tradisi hukum adat dengan tradisi hukum barat menjurus pada pembawaan tradisi hukum tertulis untuk dimasukkan ke dalam subtansi dan filsafat hukum adat yang mempengaruhi pemikiran hukum adat secara normative. Tetapi banyak yang menilai adanya tradisi hukum tertulis pada hukum adat menyebabkan pembekuan perkembangan hukum adat itu sendiri. Para ahli adat hanya mampu berbicara sejauh perkembangan tradisi hukum adat dengan system Belanda berdasar pada sifat aslinya. Tradisi hukum baru karenanya bisa dilihat bukan sebagai perusakk tetai sebagai pengayaan dari kehidupan adat. Boleh jadi tradisi hukum tertulis menghambat perkembangan adat, tetapi sepanjang rasa keadilan tidak rusak maka semuanya tetap dianggap baik.Maka dari itu, transplantasi hukum karenanya merupakan fenomena yang umum didapatkan dalam hal hubungan hukum adat dengan hukum lain. Sehinggap dapat dikatakan keunikan dan kedinamisan hukum adat telah mampu memfasilitasi adat utuk berprilaku yang positif terhadap tradis lain dengan adanya proses pertukaran dan transformasi demi meningkatkan keseimbangan, kedamaian dan harmoni dalam masyarakat.

TUGAS RESUMEKebendaan dan Perikatan Adat(ditulis sebagai tugas mata kuliah Kebandaan dan Perikatan Adat kelas A)

Oleh :Fifin Lujjatil Bahril Wahdati(110710101199)

Fakultas HukumUniversitas JemberTahun 2014